Anda di halaman 1dari 40

Akur

BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama
PROFIL TOKOH LAPORAN UTAMA

Silaturrahmi dan Dialog Umat Beragama


HABAR

H. M. Asywadie Syukur; Cendekiawan dan Ulama Bersahaja DR. Fridolin Ukur (Alm)
JEJAK RUMAH IBADAH

Pengukuhan FKUB Kalsel Diskusi Buku: Pluralisme dan Kebebasan Beragama Silaturrahmi FKUB Kabupaten Kotabaru
ARTIKEL

Masjid Sultan Suriansyah Sekelumit Sejarah Gereja Katedral Banjarmasin


RESENSI BUKU

Pergumulan Intelektual Djohan Effendi


Mujiburrahman
MIMBAR

Indahnya Persaudaraan Insani: Sebuah Pengalaman


Zulkifli Musaba

Pembinaan Kerukunan Umat Beragama


M. Ilham Masykuri Hamdie
REFLEKSI

Lembaga Kerukunan
Noorhalis Majid

Belajar pada Anak-Anak


Mujiburrahman

Edisi 1 Tahun 2011

FKUB

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

PENANGGUNG JAWAB Fadhly Mansoer Ketua FKUB Provinsi Kalsel

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

SUSUNAN REDAKSI

REDAKTUR PELAKSANA Mujiburrahman Noorhalis Majid STAF REDAKSI Agus Setiyo Utomo DISTRIBUTOR Hidayaturrahman

DEWAN REDAKSI Ilham Masykuri Hamdie Yohanes Lie Cokorda Anom Pemayun Kornelius Sukaryanto Dedy Syamsuddin Suwarsono

DAFTAR ISI
3 s SAMBUTAN PENGURUS FKUB 4 s EDITORIAL Silaturrahmi Dan Dialog 5 s Umat Beragama 7 s Pengukuhan FKUB Kalsel Diskusi Buku: 9 s Pluralisme Dan Kebebasan Beragama Silaturrahmi 11 s FKUB Kabupaten Kotabaru Indahnya Persaudaraan Insani: 13 s Sebuah Pengalaman 15 s Lembaga Kerukunan
Zulkifli Musaba Noorhalis Majid
ARTIKEL HABAR LAPORAN UTAMA PROFIL TOKOH

H. M. Asywadie Syukur; Cendekiawan dan Ulama Bersahaja s 17 DR. Fridolin Ukur (Alm) s 19
JEJAK RUMAH IBADAH

Masjid Sultan Suriansyah s 23 Sekelumit Sejarah Gereja Katedral Banjarmasin s 26


RESENSI BUKU

Pergumulan Intelektual Djohan Effendi s 30


Mujiburrahman
MIMBAR

Pembinaan Kerukunan Umat Beragama s 34


M. Ilham Masykuri Hamdie
REFLEKSI

Belajar Pada Anak-Anak s 38


Mujiburrahman

FKUB

Edisi 1 Tahun 2011

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

SAMBUTAN PENGURUS FKUB PROVINSI KALIMANTAN SELATAN


Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama. Agar pemberdayaan tersebut dapat terlaksana dengan baik, diperlukan adanya suatu wadah untuk menghimpun para pemuka agama, yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang bertugas melakukan dialogdialog, menampung dan menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan, dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, kami menyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi atas penerbitan buletin AKUR yang dipelopori pengurus FKUB Provinsi Kalimantan Selatan. Diharapkan buletin ini dapat menjadi media komunikasi bagi gagasangagasan toleransi, serta mampu terus membangun kesadaran akan komitmen kebangsaan yang telah disepakati yaitu Bhinneka Tunggal Ika, guna menjaga kerukunan umat beragama, khususnya di Kalimantan Selatan. Selain itu diharapkan buletin ini dapat menjadi media sosialisasi berbagai kegiatan FKUB itu sendiri. Selamat dan sukses atas terbitnya buletin AKUR, semoga dapat menjadi harapan bersama. Amien. Banjarmasin, Juni 2011 Ketua Drs. H.M. Fadhly Mansoer
SUSUNAN PENGURUS FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB) PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERIODE 2010 S/D 2015
NO 1 2 3 4 5 6 NAMA Drs. H.M. Fadhly Mansoer Yohanes Lie, SH Drs. Bayani Dahlan, M.Ag Drs. Ilham Masykuri Hamdie, M.Ag Cokorda Anom Pemayun, SH DR. Zulkipli Musaba, M.Pd ORGANISASI KEAGAMAAN Islam Katolik Islam Islam Hindu Islam JABARAN DALAM FKUB Ketua Wakil Ketua I Wakil Ketua II Sekretaris Wakil Sekretaris Ketua Bidang Sosialisasi Perundang-undangan dan Pemberdayaan Umat Beragama Ketua Bidang Pelayanan dan Rekomendasi Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota

7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Noorhalis Majid, SE, ME Drs. Bahran Noor Haira Drs. H. Abu Bakar Kabi Drs. H. Makhmud Syazali, SH, MH Drs. Syamsul Rani, S.Ag Prof. DR. Athaillah, M.Ag Prof. DR. Mahyudin Barni Dra. Hj. Masyithah Umar, M.Hum DR. Mujiburrahman, MA Drs. H. Ridhani Fidzi, M.Pd Drs. Hidayaturrahman Deddy Syamsudin Suwarsono Ir. Kornelius Sukaryanto Hendri Juni, S.PAK

Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Buddha Khonghucu Kristen Kristen

Akur
BULETIN

l toria Edi

uji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buletin AKUR edisi perdana berhasil terbit. Buletin ini dimaksudkan untuk mempublikasikan berbagai kegiatan dan pemikiran seputar kerukunan umat beragama. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Selatan, sengaja menerbitkan buletin ini agar menjadi wahana komunikasi dan interaksi di antara para anggota, institusi dan para tokoh yang perduli terhadap kerukunan umat beragama. Dari dan untuk anggota FKUB, itulah tujuan diterbitkannya buletin ini. Sekalipun dalam distribusinya juga meluas kepada institusiinstitusi yang berkaitan dengan FKUB, atau pihak-pihak yang berhubungan serta peduli terhadap FKUB. Karena itu para anggota dapat mengirimkan tulisan dan pemikirannya untuk dimuat dalam buletin ini. Buletin ini juga menjadi satu bagian dari website www.fkubkalsel.org karena semua rubrik yang terdapat dalam buletin ini juga ditampilkan dalam website tersebut. Buletin ini diberi nama AKUR, sebuah kata yang lahir dari proses diskusi cukup alot di antara para pengurus FKUB. Sejumlah usulan disampaikan, berbagai argumen diberikan, akhirnya AKUR menjadi kata sepakat untuk nama buletin ini. AKUR merupakan ungkapan Bahasa Banjar yang berarti SEPAKAT, DAMAI, RUKUN. Diharapkan dengan AKUR maka buletin ini dapat membawa pesan damai, pesan kerukunan dan berbagai kesepakatan menyangkut upaya membangun kebersamaan di antara umat beragama. AKUR merupakan ungkapan yang mudah diucapkan, namun sulit dipraktikkan, apalagi AKUR dalam soal-soal keagamaan dan berbedaan keimanan. Berbeda agama dan keimanan namun tetap AKUR, adalah sesuatu yang sangat ideal. Kalau itu bisa terealisasi, berarti telah tumbuh kesadaran bahwa perbedaan adalah sebuah kenyataan, termasuk perbedaan agama, perbedaan iman. Hidup AKUR dalam perbedaan, adalah cita-cita dilahirkannya FKUB. Karena itu, di tengah kenyataan keragaman agama dan iman, marilah kita selalu AKUR. Pada edisi perdana ini, buletin AKUR mempublikasikan beberapa aktivitasnya,

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan


yaitu kegiatan Silaturrahmi Dan Dialog Umat Beragama. Kegiatan ini ditempatkan sebagai laporan utama, karena merupakan dialog umat beragama pertama sejak kepengurusan baru FKUB dikukuhkan. Kegiatan lainnya yaitu pengukuhan FKUB Kalsel, Diskusi Buku: Pluralisme dan Kebebasan Beragama dan Silaturrahmi FKUB Kabupaten Kotabaru. Selain publikasi aktivitas, AKUR edisi ini juga menurunkan dua artikel yang berjudul Indahnya Persaudaraan Insani: Sebuah Pengalaman oleh H. Zulkifli Musaba, dan Lembaga Kerukunan, oleh Noorhalis Majid. AKUR juga memuat rubrik Tokoh, edisi perdana ini menampilkan tokoh yang bernama H.M. Asywadie Syukur (Alm.) dan memperkenalkan seorang tokoh bernama DR. Fridolin Ukur (Alm.). Fridolin Ukur adalah seorang tokoh agama yang pluralis dan dikenal juga sebagai budayawan yang sangat di hormati, terutama dilingkungan warga Gereja Kalimanatan Evangelis. Rubrik Jejak Rumah Ibadah menyajikan sejarah Masjid Sultan Suriansyah dan Gereja Katedral Banjarmasin, dua tempat ibadah yang sangat tinggi nilai sejarahnya. Rubrik Resensi Buku mengambil buku Pluralisme dan Kebebasan Beragama, sebuah buku kumpulan tulisan Djohan Effendi. Dalam resensi ini Mujiburrahman menyajikan tulisan dengan tema Pergumulan Intelektual Djohan Effendi. Rubrik Mimbar bertema Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, disampaikan oleh M. Ilham Masykuri Hamdie. AKUR ditutup dengan Rubrik Refleksi mengangkat tema Belajar pada Anak-Anak oleh Mujiburrahman, sebuah pengalaman yang cukup menarik untuk direnungkan. Akhirnya kami dari redaksi mengucapkan selamat membaca. Semoga AKUR menjadi bacaan alternatif yang dapat mencerahkan, menjadi media komunikasi antar lembaga keagamaan, dan memberi kontribusi terhadap upaya membangun kerukunan umat beragama. Mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekeliruan. Masukan dan koreksinya sangat kami butuhkan. Salam Kerukunan! Banjarmasin 2011 Redaksi

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

SILATURRAHMI DAN DIALOG

Utama Laporan

UMAT BERAGAMA
B
ertempat di Graha Abdi Persada Banjarmasin, Kamis, 17 Maret 2011, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, bekerjasama dengan FKUB Kalimantan Selatan, menyelenggarakan kegiatan Silaturrahmi dan Dialog Umat Beragama. Dialog tersebut mengangkat tema 'Agama dan Perdamaian', dan bertujuan merefleksikan berbagai aksi kekerasan atas nama agama, hubungannya dengan komitmen kebangsaan serta semangat Bhinneka Tunggal Ika, juga dalam rangka membangun kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga kerukunan antar dan internal umat beragama di Kalimantan Selatan. Selain itu dilaog ini juga bertujuan untuk menyatakan komitmen bersama melalui penandatanganan naskah kesepakatan untuk selalu menjaga kerukunan umat beragama di Kalimantan Selatan. Kegiatan dialog ini dianggap penting karena Indonesia dan tentu juga Kalimantan Selatan adalah negeri yang pluralistik multikultural, baik dari sisi agama, budaya, bahasa, adat istiadat, tradisi dan lain sebagainya. Kemajemukan itu tidak dapat disangkal, suatu kenyataan yang menyebabkan Indonesia itu ada. Indonesia adalah negeri yang lahir dari komitmen kemajemukan untuk bersama dalam satu bangsa, tertuang dalam janji setia Bhinneka Tunggal Ika, menjadi semboyan hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Ideologi Pancasila adalah satu ideologi yang menghormati, menghargai dan membuka ruang seluasnya atas berbagai kemajemukan itu, karenanya Pancasila menjadi kata sakti yang dapat menjaga keutuhan Indonesia sebagai negeri pluralmultikultural. Dialog adalah satu cara yang dapat menjadi jembatan memperkuat cara pandang pluralisme multikulturalisme. Melalui dialog, peluang melakukan berbagai pendidikan dan pengayaan

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

pluralisme multikulturalisme menjadi terbuka. Selanjutnya berbagai isu yang menjadi persoalan bersama dapat disikapi dan dijawab secara bersama pula. Karena itu dialog antar iman, yang menjadi bagian dari kenyataan pluralisme multikulturalisme harus digiatkan di berbagai kalangan. Kalimantan Selatan juga dihadapkan pada kenyataan interaksi budaya, sebagai konsekuensi perubahan sosiokultural masyarakat. Perbenturan berbagai kenyataan ini merupakan potensi konflik yang dapat melahirkan kekerasan massa. Untuk itulah FKUB Kalimantan Selatan diharapkan dapat mewadahi berbagai aspirasi umat beragama melalui dialog umat beragama. Hanya dengan dialog berbagai kepentingan yang saling berbenturan dapat diselesaikan secara adil melalui prinsip musyawarah mufakat. FKUB memiliki tugas penting untuk terus membangun dialog yang terbuka. Terlebih merespon berbagai bentuk kekerasan atas nama agama yang terjadi di beberapa tempat di wilayah Indonesia. FKUB mesti melakukan antisipasi agar kekerasan tersebut tidak meluas ke berbagai wilayah lainnya. Apapun alasannya, kekerasan atas nama agama tidak boleh terjadi. Perbedaan pemahaman terhadap ajaran keagamaan harus diselesaikan dengan cara dialog, agar kekerasan atas nama

agama tersebut tidak meluas ke Kalimantan Selatan, serta untuk mengingatkan komitmen kebangsaan yang telah lama dibangun. Dialog yang diselenggarakan Pemda Kalimantan Selatan bekerjasama dengan FKUB ini dilakukan dalam dua sesi. Sesi pertama menghadirkan para pemuka agama, yaitu MUI Kalsel diwakili Bahran Noor Haira, Keuskupan Banjarmasin diwakili Romo Gregorius, Matakin diwakili Suwarsono, Hindu diwakili Cokorda Anom Pemayun, Budha diwakili Dharma dan Kristen diwakili ketua Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Pdt. Petrus Jarot. Sedangkan sesi kedua menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu ketua FKUB Kalimantan Selatan, Kapolda Kalimantan Selatan diwakili Budi, dan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan diwakili Suparman. Pada sesi pertama, pembicaraan lebih mengarah kepada titik temu agamaagama. Bahwa hidup bersama secara damai telah ada dan diajarkan oleh agama-agama. Para narasumber mengungkapkan berbagai teks dan ajaran keagamaan yang menganjurkan hidup damai saling menghargai dalam keragaman. Sejarah dari agama-agama lebih banyak mengisahkan tentang hidup damai, namun perang antar agama yang
Bersambung ke halaman 8

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

PENGUKUHAN

FKUB KALSEL
B
ertempat di Graha Abdi Persada, Rabu, 1 Desember 2010, dikukuhkan kepengurusan FKUB Kalimantan Selatan periode 2010-2014 oleh Wakil Gubernur (Wagub) Kalimantan Selatan, Rudy Resnawan. Dalam sambutannya Wagub mengatakan, dengan terbentuknya FKUB, Pemerintah Daerah di Kalimantan Selatan memiliki mitra yang tepat untuk memecahkan masalah kerukunan umat beragama. FKUB sangat diharapkan perannya sebagai media bagi para pemeluk agama untuk saling bertukar informasi yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama yang dapat mengganggu keamanan dan kedamaian para pemeluk umat beragama. Komunikasi yang penuh dengan kekelurgaan hendaknya ditumbuhkan di FKUB, karena FKUB memang dimaksudkan sebagai lembaga komunikasi umat beragama, karena itu komunikasi atau yang biasa disebut dengan dialog antar umat beragama harus menjadi bagian yang utama dalam FKUB. Wagub menambahkan, tantangan untuk memelihara keharmonisan dan kerukunan umat beragama semakin berat, sejalan dengan dinamika sosial yang rumit dan banyaknya problematika yang muncul karena perkembangan teknologi informasi. Untuk itu, keberadaan FKUB Kalimantan Selatan harus lebih diperkuat, dengan melakukan konsolidasi internal maupun eksternal. FKUB diharapkan dapat menjadi elemen penting dalam membina kerukunan beragama dan kebangsaan. Untuk itu yang harus dibangun adalah komunikasi yang maksimal, sehingga

Habar

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN

peran dan tugas kita masing-masing akan dapat berjalan secara sinergis yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri, masyarakat maupun bagi Daerah Kalimantan Selatan. Para anggota FKUB perwakilan organisasi keagamaan yang dilantik tersebut diantaranya Drs. H.M. Fadhly Mansoer; Drs. Ilham Masykuri Hamdie, M.Ag; Yohanes Lie, SH; Cokorda Anom Pemayun, SH; Ir. Kornelius Sukaryanto; Dedy Syamsuddin; Suwarsono; DR. Zulkifli; Dra. Hj. Masyitah Umar, M.Hum; Drs. Bayani Dahlan, M.Ag dan lain-lain. Setelah pelantikan, pengurus FKUB langsung melakukan rapat-rapat internal dalam rangka menyusun program kerja tahunan dan menyiapkan beberapa rencana konsolidasi dan sosialisasi ke berbagai organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan instansi terkait yang berhubungan dengan peran dan tugas FKUB. Rencana kerja ini penting untuk dirumuskan agar FKUB dapat lebih efektif dalam memerankan fungsi dan tugasnya. Para pengurus berkomitmen menjadikan FKUB sebagai organisasi yang dapat mewadahi berbagai persoalan menyangkut hubungan antar agama, maupun internal agama. Disadari, persoalan hubungan antar agama dan terlebih internal agama akhir-akhir ini semakin memanas. Berbagai kekerasan atas nama agama juga kerap terjadi. Tidak menutup kemungkinan berbagai persoalan yang terjadi di daerah lain juga terjadi di Kalimantan Selatan. Untuk itu FKUB siap mengambil peran sebagai mediator dalam berbagai persoalan keagamaan.q

Sambungan dari halaman 6

waktunya pendek meninggalkan luka yang sangat dalam, sehingga membuat hubungan antar agama menjadi kaku, saling mencurigai satu dengan lainnya. Pada sesi kedua, Ketua FKUB menyampaikan tugas dan fungsi FKUB sebagai lembaga komunikasi antar umat beragama. Dia mengatakan diperlukan keterbukaan dan kesediaan untuk menerima orang lain yang berbeda, hanya dengan seperti itu komunikasi antar umat beragama bisa dilakukan. Peraturan dan petunjuk pelaksanaan serta keputusan musyawarah nasional FKUB disampaikanya sebagai informasi untuk diketahui para peserta seminar. Sementara itu dari pihak kejaksaan lebih menekankan tentang tugas dan fungsi Bakorpakem yang mengawasi keberadaan aliran-aliran keagamaan. Sejumlah pertanyaan yang tertuju pada tugas dan fungsi Bakorpakem dari para peserta, membuat dialog semakin hangat, mengingat berbagai rekomendasi yang dikeluarkan Bakorpakem di berbagai daerah sering kali menimbulkan masalah di masyarakat. Para peserta dialog yang terdiri dari para tokoh agama, menyambut positif kegiatan dialog umat beragama ini, karena dapat membuka kebekuan hubungan umat beragama. Selain dialog, juga dilakukan penandatanganan naskah kesepakatan untuk selalu menjaga kerukunan umat beragama di Kalimantan Selatan. Sejumlah tokoh agama menandatangani naskah tersebut dan menjadi sebuah komitmen bersama untuk selalu menjaga kerukunan umat beragama.q

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Diskusi Buku PLURALISME & KEBEBASAN BERAGAMA


L
embaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK3) bekerjasama dengan FKUB Kalimantan Selatan bertempat di Aula Banjarmasin Post menyelenggarakan diskusi buku Pluralisme dan Kebebasan Beragama karya Djohan Effendi. LK3 melibatkan FKUB dalam kegiatan bedah buku ini karena menyangkut pluralisme agama yang menjadi perhatian atau fungsi dan tugas pokok FKUB. Diskusi tersebut dilaksanakan pada Rabu, 20 April 2011 pukul 14.00 s/d 17.30 wita. Sejumlah pengurus FKUB Kalimantan Selatan hadir dalam kegiatan diskusi tersebut, juga ada beberapa ketua dan

Habar
pengurus FKUB kabupaten/kota, diantaranya ketua FKUB Kotabaru Mukhtasar. Selain itu para tokoh agama, tokoh masyarakat, insan press, aktivis NGO dan akademis. Dibuka oleh Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post, Yusran Pare. Hadir sebagai narasumber, penulis buku Djohan Effendi, serta narasumber dari akademisi Islam yang sekaligus pengurus FKUB Kalimantan Selatan yaitu. Mujiburrahman. Narasumber lainnya seorang cendekiawan Kristen yang juga aktivis dialog antar iman yaitu. Darius Dubut. Djohan Effendi dalam paparannya mengatakan bahwa tulisan yang ada dalam buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang disampaikan di berbagai dialog antar iman sejak tahun 1980. Dian/Interfidei sebuah lembaga dialog antar iman di Yogyakarta, mengumpulkan tulisan tersebut dan menerbitkannya menjadi sebuah buku. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku tersebut kata Djohan adalah responnya

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

terhadap berbagai konflik agama yang terjadi di Indonesia. Tidak mungkin memaksakan keyakinan kita kepada orang lain ditengah pluralisme agama. Kita harus menghargai dan menghormati perbedaan, karena hanya dengan seperti itu kehidupan yang damai dapat terwujud. Mujiburrahman menyatakan apresiasinya terhadap buku tersebut. Selain karena ditulis oleh Djohan Effendi yang dianggapnya sebagai gurunya dalam soal pluralisme dan dialog antar agama, juga karena isu buku tersebut menjelaskan berbagai fenomena kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini. Mujib menyampaikan bahwa Djohan telah memilih sisi toleransi atau pluralisme pandangan Islam terhadap orang lain diluar Islam. Ini merupakan pilihan, karena banyak juga cerita atau dalil yang menyatakan sebaliknya. Karena itu toleransi atau pluralisme merupakan pilihan bagi Djohan yang harus dikenalkan secara luas agar citra Islam yang damai itu semakin kuat. Darius Dubut menekankan pentingnya dialog. Darius menganggap

Djohan sebagai tokoh dialog antar iman, penggagas dialog antar iman di Indonesia. Buku ini kata Darius menggambarkan peran Djohan dalam membangun dialog antar iman. Dialog bagi Darius merupakan pintu untuk membangun hubungan antar iman. Dialog dimaksud harus setara, terbuka dan saling menerima kenyataan perbedaan. Sejumlah peserta menanyakan tentang pandangan Djohan yang hanya melihat sisi toleransi atau pluralisme. Mereka menanyakan pandangan Djohan berkaitan fakta-fakta dari beberapa dalil yang juga dapat ditafsirkan menganjurkan aksi kekerasan atas nama agama. Djohan tetap pada pandangannya, bahwa toleransi adalah pilihan, sekalipun ada dalil yang menganjurkan untuk bersikap in-toleransi namun kita dapat memilih dalil lain yang mengajurkan hidup toleransi, Djohan beranggapan bahwa dalil yang menganjurkan hidup aman, damai, saling menghormati, jumlah dalilnya lebih banyak, dengan menganjurkan hidup damai maka Islam sebagai rahmatan lil'allam'in akan terwujud.q

10

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

FKUB
Kabupaten KOTABARU
ada Senin, tanggal 11 April 2011, FKUB Kabupaten Kotabaru bertandang ke FKUB Kalimantan Selatan. Kedatangan FKUB Kabupaten Kotabaru ini merupakan kunjungan atau silaturrahmi pertama FKUB kabupaten/kota kepada FKUB Provinsi Kalimantan Selatan. Lebih dari 15 orang anggota FKUB Kabupaten Kotabaru ikut serta dalam kunjungan tersebut, yang diterima oleh Ketua dan pengurus FKUB Kalimantan Selatan di aula Kantor Wilayah Kementerian Agama. Acara kunjungan tersebut diisi dengan dialog seputar struktur, mekanisme dan tata kerja keorganisasian FKUB. Hadir memberikan sambutan dalam kunjungan dan dialog tersebut Kakanwil Kementerian Agama Kalimantan Selatan H. Abdul Halim. Dalam sambutannya beliau mengatakan, kunjungan FKUB Kabupaten Kotabaru ini selain sebagai ajang silaturrahmi juga dalam rangka berbagi pengalaman tentang keorganisasian FKUB, dan mendiskusikan berbagai masalah yang menjadi perhatian serta tugas FKUB. Disadari bahwa hubungan antar agama

Silaturrahmi

Habar
merupakan hal yang sangat sensitif. FKUB hendaknya dapat menjembatani berbagai komunikasi antar organisasi keagamaan. Dengan komunikasi yang intensif diharapkan terbangun hubungan yang lebih baik di antara umat beragama. Sementara itu, Ketua FKUB Kalimantan Selatan H.M. Fadhly Mansoer, menyambut gembira kedatangan rombongan FKUB Kabupaten Kotabaru. Dia menyampaikan bahwa keberadaan kepengurusan FKUB Kalimantan Selatan baru seumur jagung, belum berbuat banyak, baru menyelesaikan berbagai perencanaan program tahun pertama. Ketua FKUB Kalimantan Selatan juga menyampaikan tentang tugas pokok FKUB yang terimplementasi dalam stuktur FKUB. Melalui struktur itulah program dilaksanakan dan akhirnya tugas dan fungsi FKUB dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain menyangkut soal struktur dan tata kerja, Fadhly juga menyinggung tentang konsep toleransi, kerukunan dan dialog. Toleransi katanya, adalah menyangkut kesediaan kita menerima keberadaan orang lain yang berbeda. Setiap agama tentu mengajarkan toleransi kepada orang lain di luar dirinya, tetapi pada kenyataannya banyak sekali ketegangan di antara umat beragama, terutama bila menyangkut

Akur 11
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

pendirian tempat ibadah. Di sinilah tugas FKUB, yaitu membangun pemahaman melalui komunikasi antar umat beragama sehingga terwujud kerukunan hidup umat beragama. Bagi FKUB kata Fadhly, selain harus berpedoman pada aturan dan ketentuan yang sudah dibuat, juga harus mengutamakan dialog atau komunikasi, tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan apabila kita mau berdialog, mau berkomunikasi satu dengan lainnya. Ketua FKUB Kabupaten Kotabaru Mukhtasyar, menyampaikan rasa terimakasih karena telah disambut dengan baik. Kunjungan ini kata dia, adalah wahana untuk menggali pengalaman agar FKUB Kabupaten Kotabaru dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Dia juga mengatakan bahwa kepengurusan FKUB Kabupaten Kotabaru baru saja diperbarui sehubungan

beberapa pengurus yang telah berhalangan tetap. Setelah sambutan dari kedua Ketua FKUB tersebut, acara dilanjutkan dengan dialog. Anggota FKUB Kabupaten Kotabaru bertanya seputar struktur organisasi, sumber dana dan laporan pertanggungjawaban dana. Selain itu, ada juga pertanyaan seputar fungsi FKUB dalam menerima laporan masyarakat berkaitan tentang pendirian tempat ibadah dan bentuk rekomendasi yang dikeluarkan oleh FKUB. Muncul pula dalam dialog tersebut usulan agar FKUB Kalimantan Selatan membuat SOP (Standar Operational Procedure) menyangkut penanganan konflik keagamaan. Tanya jawab dan diskusi berlangsung dengan penuh kekeluargaan. Acara ditutup dengan pembacaan do'a dan foto bersama.q

12

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

INDAHNYA PERSAUDARAAN INSANI: Sebuah Pengalaman


Zulkifli Musaba
datnya hidup adalah adanya pergaulan, adanya hubungan antar sesama manusia. Dalam pergaulan itu tak selalu banyak hal yang sama, terkadang banyak hal berbeda. Ada beda tingkat pendidikan, beda latar belakang ekonomi, beda keturunan, beda suku, beda warna kulit, beda adat dan kebiasaan, juga beda agama dan keyakinan. Artinya, tiap diri hendaknya mampu bersiap diri untuk bergaul dengan sesama yang masing-masing punya perbedaan. Tiap diri menghargai dan menghormati perbedaan, walau tanpa harus menggugurkan identitas dan keyakinan diri. Yang penting dengan bekal alamiah yang berupa perbedaan itu tak membuat melahirkan benih-benih permusuhan dan keretakan, tak harus membuat jarak buat kerjasama kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan. Penulis memperoleh pengalaman sederhana, namun berkesan dalam kerangka memperkuat bingkai kerukunan, walau dengan latar belakang agama dan keyakinan yang berbeda. Antara tahun 1990 hingga 1993, penulis mengikuti kuliah di IKIP Malang (sekarang menjadi Universitas Negeri Malang) dalam rangka tugas belajar pada jenjang Strata 2. Penulis dan keluarga tinggal di Malang. Selama kuliah, gaji penulis dengan lancar diperoleh melalui jasa pengiriman uang dari teman penulis. Teman penulis yang biasa penulis panggil Bu Maria, seorang penganut Katolik yang taat selalu mengambilkan dan mengirimkan gaji penulis tiap bulan, bahkan terkadang urusan keluarga penulis

Ar tikel

di Banjarmasin juga menjadi bagian yang 'harus diambilalihnya'. Penulis sangat berterima kasih atas kebaikan yang diberikan Bu Maria, yang tanpa pamrih menjalankan tugasnya sebagai 'pengirim gaji penulis'. Hingga sekarang Bu Maria dan keluarga menjadi sahabat karib penulis dan keluarga. Sering kami saling tanya tentang keadaan keluarga. Kadang ia tanya ke saya, 'Khutbah di mana hari ini?, Penulis menjawab bahwa penulis khutbah di mesjid dekat saja. Pertanyaan seperti ini membuat kami saling mengerti dan memahami. Tahun 1992, penulis dan rombongan mahasiswa berangkat ke Bali. Penulis dan rombongan singgah di rumah salah seorang mahasiswa (sama-sama tugas belajar di IKIP Malang). Tiba waktu sholat, Pak Made Gosong (sekarang sudah menjadi guru besar) telah menyiapkan seperangkat alat shalat, sajadah dan mukena, istimewanya waktu itu ia menunjukkan arah kiblat, sebelum kami mencoba untuk mengetahuinya. Sehari-hari kami bercengkerama di kampus dengan Pak Made Gosong. Itulah sebuah percikan indah dari sebuah 'kebersamaan dalam perbedaan' yang mampu mengisi kedamaian dalam kutub yang berbeda. Sebuah kerjasama saling menguntungkan lahir, pemandangan 'aneh' terlihat sehari-hari. Mahasiswi berjilbab hampir setiap hari terlihat di depan Gereja Eben Ezer Jalan S Parman Banjarmasin. Ceritanya sederhana. Para mahasiswa STIKES Muhammadiyah Banjarmasin memerlukan tempat parkir. Kebetulan salah satu kampusnya terletak

Akur 13
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

di samping Gereja Eben Ezer. Pimpinan STIKES Muhammadiyah memutuskan dalam rapat (penulis salah seorang anggota Badan Pelaksana Harian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin ikut dalam rapat tsb) untuk bekerja sama dengan pihak Gereja Eben Ezer dalam hal parkir kendaraan. Alhasil, para mahasiswa setiap hari diberi keleluasaan untuk memarkir kendaraannya di depan gereja, khusus untuk hari Minggu dan waktu lainnya yang memungkinkan, jamaah gereja dapat memarkir kendaraannya di depan Kampus STIKES. Persoalan parkir tampak sederhana, tetapi dengan kerjasama ini akan member nilai tambah bagi terwujudnya kerukunan. Hal ini merupakan bukti kecil sebuah kerjasama bidang sosial kemasyarakatan. Yang penting bagi penulis dan mahasiswa berjilbab itu, aqidah tetap terjaga, saling peduli bisa terwujud. Memang, selama ini, STIKES Muhammadiyah juga mendidik mahasiswa non-muslim untuk menjadi perawat, menjadi bidan, dan farmasis. Dalam sebuah kesempatan, Ketua STIKES Muhammadiyah Banjarmasin (La Ode Jumadi Gaffar, alm) mengemukakan bahwa STIKES Muhammadiyah Banjarmasin adalah wadah untuk semua anak bangsa. Dalam sebuah kesempatan, penulis singgah di warung yang menjual bubur kacang dan ronde. Penulis duduk menikmati semangkuk bubur kacang, sambil menghilangkan kepenatan habis bekerja. Tiba-tiba, seorang tokoh muda

Katolik (yang baru 1 tahun ini penulis kenal) memesan ronde untuk dibawa pulang. Kami pun saling bertegur sapa. Akhirnya, penulis bayarkan dia. Tokoh muda Katolik pun mengucapkan terima kasih. Biasanya kami bertemu dalam acara yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Memang, kami samasama aktif di forum yang khusus giat dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Suatu hari, hujan lebat. Kami terjebak dan harus berjam-jam menanti redanya hujan di kantor Kementerian Agama Prov. Kalsel. Akhirnya, hujan pun reda, tokoh muda itu mengantar penulis ke rumah, naik kendaraan roda dua. Tak berapa lama penulis tiba di rumah, ia menolak mampir karena mau cepat balik ke rumahnya. Penulis ucapkan terima kasih atas jasa ojeknya. Anehnya, ia yang berkali-kali mengucapkan terima kasih saat pulang mengantar penulis. Begitulah, beberapa pengalaman penulis dalam berinteraksi dan bergaul dengan sesama. Persaudaraan kemanusiaan memang harus ditumbuhkembangkan. Hal-hal kecil tak jarang menjadi amat berharga dalam membingkai nilai-nila universal dan merupakan bagian penting bagi tegaknya kemaslahatan kehidupan bersama. Benteng kemanusiaan harus dipelihara agar kehidupan ini tetap bersahabat. Di sisi lain, penulis sebagai seorang muslim tetap menjaga dan memperkuat keimanan dan keberadaan penulis sebagai seorang muslim. Tulisan kecil ini semoga bermanfaat bagi semua.q Drs.H. Zulkifli Musaba, M.Pd, Anggota FKUB Kal-Sel

14

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

LEMBAGA KERUKUNAN
Noorhalis Majid

Ar tikel
dan mencoba memainkan instrumen agama, maka keluarlah Perda Khatam Qur'an. Serta banyak lagi jenis Perda yang batasan kewenangannya berada pada wilayah abu-abu antara pemerintah pusat dan daerah. Kiranya begitu pula saat menyikapi lembaga kerukunan, apakah masuk wilayah pemerintah pusat ataukah daerah? Taruhlah kemudian kewenangan itu oleh pemerintah pusat menjadi suatu tugas yang diperbantukan kepada pemerintah daerah, maka harus dilihat dinamika kehidupan umat beragama di masing-masing daerah, bila tidak maka kepentingan politik dapat merebut dan memanipulasinya untuk tujuan-tujuan tertentu. Sebegitu rumitnyakah sudah urusan agama bagi pemerintah dan masyarakat?, jawabannya kabur, karena selalu saja terdapat pertentangan pandangan. Ada yang beranggapan bahwa agama boleh dan wajar di 'politisasi', karena bukankah beragama adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan dan termasuk pula di dalamnya berpolitik. Pendapat lain mengatakan bahwa agama tidak boleh dipolitisasi atau dijadikan alat politik karena politik adalah kotor sedang agama adalah suci kudus. Disitulah letak kerumitan, karena tidak mungkin ada titik temu di antara keduanya. Dengan dua pandangan ini dan melihat dinamika pada tingkat lokal maka menyerahkan kewenangan bidang agama atau satu urusan pada bidang agama harus dengan suatau kearifan sehingga tidak terdengar lagi marjinalisasi satu kelompok atau aliran dengan kelompok atau aliran lainnya.

ejak adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, bidang keagamaan menjadi sesuatu yang diperdebatkan batas wilayah kewenangannya, sekalipun konstitusi menyebutkan bidang agama merupakan kewenangan pemerintah pusat, tetapi acap kali daerah juga memanfaatkannya. Kenapa mesti terpusat? Karena ada anggapan bahwa yang dimaksud dengan bidang keagamaan adalah hal-hal yang menyangkut ritual keagamaan semisal perayaan hari besar, pelaksanaan ibadah dan pengakuan terhadap satu aliran agama, karena itu penting sebuah kebijakan terpusat guna meminimalkan potensi konflik ditengah keragaman agama, suku dan aliran kepercayaan di Indonesia. Pendapat lain yang berbeda mengatakan, agama memiliki cakupan dimensi yang luas, hingga menyangkut prikehidupan masyarakat, dari ritual hingga sosial, dari lembaga rumah tangga hingga lembaga pendidikan, dari simbol hingga substansi, dari yang vertikal hingga horisontal, karena itu tidak mungkin menetapkan urusan agama sebagai urusan pemerintah pusat semata, daerah sangat berkepentingan mengatur agama sebagai satu instrumen mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera lagi makmur dan berkeadilan. Tarik menarik kewenangan ini menimbulkan ketegangan mana kala pemerintah daerah memainkan instrumen agama sebagai bagian dari kebijakannya. Misalnya ketika ingin mengatur tentang ketertiban social, keluarlah Peraturan Daerah (Perda) tentang Anti Maksiat, Perda Jilbab, Perda Berbusana Muslim, Perda Miras, Perda Jum'at Khusuk, Perda Ramadhan, dan lain sebagainya. Ketika pemerintah ingin memajukan pendidikan,

Pemberdayaan Lembaga Kerukunan Pluralisme dan multikulturalisme adalah satu keniscayaan bagi seluruh wilayah Indonesia, bila ada satu wilayah menolak keniscayaan tersebut maka akan terjadi ketegangan dan berujung pada konflik serta kekerasan pada wilayah tersebut. Sepanjang kurun waktu sepuluh

Akur 15
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

tahun terakhir ini kita dibuat trauma oleh berbagai konflik yang tersebar di berbagai tempat, konflik suku, konflik agama, konflik aliran kepercayaan dan keyakinan, serta lain sebagainya. Semuanya buah dari ditolaknya pluralisme dan multikulturalisme yang niscaya tersebut. Sekarang ini pemerintah beranggapan bahwa diperlukan suatu kelembagaan kerukunan, yang dapat menjaga kerukunan antar umat beragama. Kerukunan harus direkayasa, harus didesain sehingga tidak terjadi ketegangan antar bagian yang senyatanya berbeda-beda itu. Untuk itu diperlukan pemberdayaan terhadap lembaga kerukunan sehingga mampu menjalankan fungsi dan perannya, begitu kira-kira anggapan pemerintah dan banyak orang yang setuju dengan pembentukan lembaga kerukunan. Tidak bermaksud menentang gagasan seperti tersebut di atas, namun sebaiknya pemerintah juga memperhatikan kelembagaan-kelembagaan yang bersifat lokal. Jangan serta merta membentuk kelembagaan baru yang seragam dan hirarkis. Kelembagaan lokal yang beragam bentuknya di masyarakat sebaiknya dimanfaatkan, karena selain memiliki kekuatan kultural juga memiliki kearifan dalam aktivitas dan operasionalnya. Fungsi pemerintah hanya sebagai fasilitator agar kelembagaan tersebut mampu menangkap tantangan-tantangan baru yang menjadi fokus dan perhatian pemerintah, terutama menyangkut kerukunan umat beragama. Lembaga kerukunan merupakan organisasi masyarakat sipil yang harus berfungsi memperkuat hubungan sosial di masyarakat. Agar masyarakat memiliki kekuatan kolektif dalam mempertahankan dan memperjuangkan eksistensinya sebagai masyarakat. Karenanya yang harus diperkuat adalah solidaritas kolektif tersebut, terutama terhadap ancaman yang datangnya dari luar. Terlebih bila kita melihat akar konflik yang terjadi di berbagai tempat maka ancaman utamanya adalah sesuatu yang datangnya dari luar yang bermaksud mengganggu solidaritas kolektif di masyarakat. Konflik antar suku di Sambas dan Sampit berakar dari

perebutan akses sumber daya ekonomi yang kemudian mengganggu solidaritas kolektivitas masyarakat. Begitu juga dengan konflik Ambon Poso Tentena, dipicu oleh persoalan politik yang juga menggangu solidaritas kolektif masyarakat. Karena itu secara internal bagaimana lembaga kerukunan itu dimulai dari memperkuat internal, yaitu solidaritas kolektif agar tidak mudah diporakporandakan kepentingan eksternal berbaju ekonomi, politik, dan bahkan berbaju agama. Kekuatan internal ini terus dikembangkan menjadi suatu gaya hidup yang dapat menyikapi perbedaan di tengah-tengah masyarakat. Disinilah kemudian secara ideal pluralisme dan multikulturalisme dijadikan gaya hidup, artinya memandang biasa - wajar pada realitas perbedaan. Berawal dari pengakuan yang tulus bahwa perbedaan itu nyata, baru kemudian menghormati dan menghargai segala perbedaan yang ada. Jadi pluralisme multikulturalisme yang menjadi gaya hidup adalah sebuah pengakuan dan penghormatan terhadap segala perbedaan yang ada di tengahtengah kita, bukan sebaliknya kecurigaan, rasa benci, permusuhan dan saling memarjinalkan. Kiranya pluralisme multikulturalisme yang dapat menjadi gaya hidup hanya mungkin dipromosikan oleh kelembagaan kerukunan yang memiliki kekuatan kultural. Untuk itulah pemberdayaan lembaga kerukunan sebaiknya memperhatikan organisasiorganisasi yang sudah memiliki ikatan kultur yang kuat di masyarakat. Upayaupaya mediasi, komunikasi dapat diperankan oleh pemerintah melalui fungsi fasilitasi yang melekat dalam dirinya sehingga ikatan sosiokultur di masyarakat dapat terjalin dengan baik. Selama kita mendambakan kehidupan damai, saling menghormati, menghargai, maka selama itu pula pluralisme multikulturalisme menarik untuk dikembangkan sebagai gaya hidup, karena dia bukan singkritisme yang mencampur baurkan semua perbedaan. Dia berada pada batas pengakuan dan penghormatan sehingga kerukunan sosial itulah yang menjadi cita-citanya. Wallahu'alam.q Anggota FKUB Provinsi Kalsel

16

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

okoh P r of i l T
Dekan III Fakultas Tarbiyah pada tahun 1968 hingga tahun 1970. Sejak tahun 1970 sampai 1975, ia dipercaya sebagai Dekan pertama Fakultas Dakwah IAIN Antasari selama dua periode. Selama menjadi Dekan, usaha monumental yang dilakukannya adalah membuka program doktoral pada Fakultas Dakwah. Waktu itu sejak didirikan, Fakultas Dakwah hanya memiliki jejang pendidikan sarjana muda. Tahun 1981 hingga 1983, ia kembali menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah IAIN Antasari. Pada tahun itu juga, ia terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan periode 1982 1987 mewakili Golkar. Setelah sempat vakum dari jabatan, tahun 1995 sampai tahun 1998, diangkat kembali sebagai Dekan Fakultas Dakwah. Belum habis masa jabatan sebagai Dekan, ia kemudian dipercaya sebagai Rektor IAIN Antasari sejak tahun 1997 sampai tahun 2001. Ketika menjadi Rektor, beliau membuka Program Pascasarjana (S2) untuk Ilmu Tasawuf dan Filsafat Hukum Islam. Selain berkarier di kampus IAIN Antasari, Asywadie juga dipercaya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 1980 s/d 1990. Kemudian untuk periode 1995 s/d 2011 Asywadie kembali dipercaya sebagai Ketua MUI, sayang beliau meninggal duni pada tahun 2010. Selain aktif di MUI, Asywadie juga berkiprah di beberapa organisasi kemasyarakatan, di antaranya Pengurus Palang Merah Indonesia (PMI) Kalimantan Selatan tahun 1986 - 1992, Ketua Majelis Dakwah Islamiyah Provinsi Kalimantan Selatan tahun 1983 1988, Ketua Dewan Mesjid Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan tahun 1985 1992, Pengurus GAKARI Provinsi Kalimantan Selatan tahun 1983 1993, Pengurus Persatuan Pertahanan Takekat Islam (PPTI) Provinsi Kalimantan Selatan tahun 1984 1993, Pengurus Ikatan Cendekiaawan Muslim Indonesia (ICMI) tahun 1991 2001, Ketua Badan Amil zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) Provinsi Kalimantan Selatan tahun 1995 1998.

H.M. ASYWADIE SYUKUR


Cendekiawan dan Ulama Bersahaja

okoh yang satu ini merupakan Ketua FKUB Provinsi Kalimantan Selatan pertama. Nama lengkapnya H.M. Asywadie Syukur. Ia dilahirkan pada 18 Agustus 1930 di Desa Benua Hulu, Kecamatan Lahai Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kedua orangtuanya dari suku Bakumpai Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Ibunya bernama Iyah, wafat pada Oktober 1939 ketika Asywadie baru berusia dua bulan. Ayahnya bernama Syukur, seorang pedagang bahan makanan dan hasil bumi, wafat pada tahun 1967. Asywadie semasa kecilnya bersekolah dasar di Desa Benua Hulu, menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1953. Melanjutkan ke Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) di Martapura Kalimantan Selatan. Setamat dari SMIP, ia melanjutkan studi ke Ma'had Bu'uts Islamiyah Al-Azhar di Mesir. Pada tahun 1960, ia melanjutkan lagi ke Fakultas Syari'ah Universitas Al-Azhar, selesai pada tahun 1965. Setelah pulang ke Banjarmasin, ia diangkat menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN Antasari pada tahun 1967. Asywadie menikah dengan Tsuwaibatul Aslamiyah pada tahun1968. Tahun 1975, ia kembali berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studinya pada Jurusan Ushul Fiqh di Universitas Al- Azhar. Tahun 1976, setelah selesai studi, ia mengajar di Fakultas Dakwah IAIN Antasari. Karier Asywadie sebagai PNS pada IAIN Antasari, dimulai sebagai Pembantu

Akur 17
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Asywadie juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Utusan Daerah, yaitu pada tahun 1997 sampai 2002. Sejak tahun 2002, Asywadie tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik, karena adanya peraturan larangan berpolitik bagi PNS. Asywadie juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Sejak muda sampai akhir usianya, banyak karya tulis yang dia hasilkan. Beberapa karya ilmiah yang berhasil dipublikasikan antara lain; Filsafat Al-Qur'an, 1969; Filsafat Islam, 1969; Islamologi, 1970; Pengantar Ilmu Agama Islam (2 jilid), 1975; Ilmu Tasawuf (2 jilid) 1980; Perbandingan Mazhab, 1980; Apakah Hukum Islam Dipengaruhi oleh Hukum Romawi, 1981; Studi Perbandingan tentang Masa dan Lingkungan Berlakunya Hukum Positif dan Fikih Islam, 1990; Sejarah Perkembangan Dakwah Islam dan Filsafat Tasawuf di Indonesia, 1982; Studi Perbandingan tentang Beberapa Macam kejahatan dalam KUHP dan Fikih Islam, 1990; Selain itu, Asywadie juga menulis Filsafat Tasawuf dan Aliran-alirannya, 1981; Bimbingan Ibadah Bulan Ramadhan, 1982; Asas-Asas Hukum Perdata Islam, 1970; Asas-asas Hukum Kebenaran dan Perjanjian dalam Fikih Islam, 1984; Intisari Hukum Pewarisan dalam Fikih Islam, 1992; Intisari Hukum Wasiat dalam Fikih Islam, 1992; Intisari Hukum Perkawinan dalam Fikih Islam, 1985; Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, 1990; Khotbah Sebagai Media dan Metode Dakwah, 1982; Strategi dan Teknik Dakwah Islam, 1982; Ilmu Dakwah, 1970; Hukum Konstitusi dalam Fikih Islam, 1990; Hukum Keuangan dalam Fikih Islam, 1990; Internasional Dalam Fikih Islam, 1990; Ringkasan Ilmu Perbandingan Mazhab, 1983; Laporan Penelitian tentang Naskah Risalah Tuhfatur Raghibin, 1990; Konsultasi Hidup dan Kehidupan 1, 2002. Bukan hanya menulis, Asywadie juga menerjemahkan beberapa buku, yaitu; Dasar-Dasar Ilmu Dakwah (2 jilid), 1979; Metodologi Ilmiah, 1986; Allah Menurut Syari'ah Islam, 1982; Beberapa Petunjuk untuk Juru Dakwah, 1982; Kitab Sabilal Muhtadin (2 jilid), 1967; Lima Kaidah

Pokok dalam Fikih Mazhab Syafi'i, 1986; Risalah Syarah Fathil Rahman, 1991; Risalah Kanzil Ma'rifah, 1991; Ummil Barahim, 1992; Syarah Hududhi 'ala Ummil Barahin, 1992; Kitab Tanwirul Qulub, 1992; Kitab Aqidatin Najin, 1992; Kitab Tahqiqul Maqam 'ala Kifayatil Awam, 1992; Kritik terhadap Hadits Nur Muhammad Riwayat Abdurrazak, 1983; Tasawuf dan Kritik terhadap Filsafat Tasawuf, 1983; Pemikiran-pemikiran Tauhid Syekh Muhammad Sanusi, 1994; Al-Milal wa Al-Nihal, 2005. Melihat dari perjalanan hidupnya, Asywadie adalah seorang ulama sekaligus cendekiawan. Memiliki prinsip yang teguh, berkarakter, kuat dan diterima berbagai kalangan. Dalam menjelaskan masalah hukum mengenai topik bahasan tertentu, Asywadie terlebih dahulu menjelaskan hubungan syariat dan hakikat, zuhud, tawakal, wilayah atau kewalian dan penjelasan tentang Nur Muhammad. Dalam menjelaskan masalah-masalah tersebut, ia senantiasa menjaga prinsip dualisme, yaitu pemisahan antara makhluk dengan Tuhan, selalu berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis, dan bersifat teoantroposentris. Dalam menjelaskan sesuatu, dia juga sering menggunakan term-term Tasawuf Falsafi. Ia juga selalu memadukan pandangan Syari'at dengan pandangan Hakikat, dan selalu melibatkan diri dalam rekonstruksi sosio moral masyarakat. Sikap ini menurut banyak pengamat merupakan ciri ulama dari neo sufisme. Bahkan banyak yang mengatakan Asywadie adalah seorang yang mengembangkan neo sufisme di Kalimantan Selatan. Asywadie akhirnya dipanggil Allah SWT diusianya yang ke-71. Beliau meninggal Sabtu petang, 27 Maret 2010 di rumahnya, di Jalan Sultan Adam Kompleks Madani Nomor 5 Banjarmasin. Selamat jalan ulama bersahaja, jasa dan karyamu sangat bermanfaat bagi kami yang masih hidup.q (Disadur dari Bayani Dahlan dkk, H.M. Asywadie Syukur: Ulama Kampus dan Ulama Pembangunan, Banjarmasin: Antasari Press, 2007).

18

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

okoh P r of i l T
Sebagai seorang anak sukunya, ia sangat kenal dengan kebudayaan sukunya, Maanyan. Sebab itu ia juga dikenal sebagai informan adat dan kebudayaan Dayak Maanyan. Itu sebabnya ia dikenal sebagai budayawan penyair. Kritikus sastra, HB Yasin dalam bukunya Angkatan '66, Prosa dan Puisi menobatkannya sebagai salah seorang penyair Angkatan '66. Mengenang masa kecilnya ia menulis: Setelah menamatkan sekolah rakyat di kampungnya, pada tahun 1936 Pak Ukur (begitu ia biasa dipanggil kawankawannya), bersama abangnya ia bersekolah di HIS (setingkat sekolah dasar untuk anak pribumi) lalu melanjutkan ke MULO (setingkat sekolah menengah) dan VHOWN (Voorbereind Hoogere OnderwijsWisen Naturkunde Afdl) setingkat SMU. Di usia yang seharusnya masih di bawah pengawasan dan kasih sayang orang tua di rumah sendiri, Fridolin Ukur justru harus memulai hidup di lingkungan yang benarbenar baru dan berbeda. Saat inilah, pelan namun pasti ia mulai mengalami metamorfose. Keadaan berubah ketika tentara pendudukan Jepang masuk ke Banjarmasin tahun 1942. Ia harus pulang ke Tamiang Layang. Namun selama itu minat belajarnya taak pernah surut. Di tengah-tengah kesibukan membantu keluarga ia menyempatkan diri membaca buku-buku milik ayahnya, yang waktu itu menjadi kepala sekolah rakyat di kampungnya. Di antara buku-buku milik ayanya itu ia menemukan sebuah buku, semacam buletin, yang berjudul Pakat Dayak. Buku ini diterbitkan oleh sebuah organisasi bernama Pakat Dayak, yang mengusung isu nasionalisme. Selain itu ia juga membaca buku-buku karangan Bung Karno. Hal inilah yang membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme dalam diri Pak Ukur. Bahkan ia termasuk seorang pengagum Bung Karno. Di ruang kerja di

DR. FRIDOLIN UKUR


Pendeta, Cendekiawan, Budayawan, dan Penyair Kalimantan
Oleh: DR. Darius Dubut, MM (pegiat dialog antar iman di Banjarmasin)

ridolin Ukur (alm), sahabat karib alm. Jok Mentaya (Pendiri B.Post) ini lahir pada tanggal 5 April 1930 di Tamiang Layang, Barito Timur, Kalimantan Tengah adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Termasuk salah seorang budayawan dan penyair nasional. Minatnya dalam baca tulis sudah diperlihatkan sejak kecil, ketika masih belajar di sekolah rakyat di kampungnya. Hal itu ia lakukan bahkan ketika sedang menjaga ladang. manisnya/masa kanakku hidup kembali/si bocah gundul keras kepala/terulang ini semua:/pukulan di pantat diseling nasihat,/cubitan telinga disela belaian hangat!/Ai manisnya/masa kanakku hidup kembali/Bunda,/waktu kita menanam kacang/semasa kita menyiangi ladang.... (Fridolin Ukur, 2000: 65).

Akur 19
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

rumahnya terpajang gambar Bung Karno ukuran besar. Semangat dan jiwa nasionalisme itulah yang mendorong Pak Ukur pada tahun 1947 1950 untuk bergabung dengan laskar ALRI Divisi IV Kalimantan (pimpinan alm Hasan Basrie) yang melakukan gerilya di wilayah Barito Selatan dan bermarkas di Sanggu, sebuah desa sekitar 20 km dari Buntok. Karena pendidikannya ia diberi pangkat Pembantu Letnan Satu dengan jabatan Wakil Komandan Kompi. Nama samarannya adalah Effendy Udaya. Sedangkan komandan kompi adalah abangnya sendiri Wilson Ukur (pensiun dengan pangkat kolonel di Pusat Pendidikan Infrantri, Cimahi). Ketika keadaan normal ia kembali ke Banjarmasin dan diangkat sebagai Wakil Komandan Kompi Commando Troop Perserikatan Bangsabangsa dan ditempatkan di Kuala Kapuas. Sedangkan jabatan Komandan Kompi dipercayakan kepada abangnya. Ketika Sang Abang melanjutkan pendidikan militer di AMN Magelang, jabatan Komandan Kompi diserahkan kepada Pak Ukur. Namun tahun 1950 Pak Ukur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Hoogere Theologische School waktu itu). Ketika baru kuliah ia masih militer aktif dan masuk ke ruang kuliah pun masih memakai pakaian tentara lengkap dengan atribut kepangkatannya. Ia baru resmi berhenti jadi tentara pada bulan Desember 1950 dengan pangkat terakhir Letnan Satu. Selama menjadi mahasiswa itulah Pak Ukur memiliki kesempatan yang luas untuk lebih mengembangkan semangat nasionalismenya dengan terlibat dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Ia pun menjadi anggota aktif dari GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Aktifitasnya yang meninjol dalam GMKI itu membuat ia terpilih menjadi anggota komite eksekutif World Student Christian Federation pada 1954 1955. Pak ukur dipercaya oleh kongres untuk menjadi Sekretaris Umum

PP GMKI tahun 1955 1958. Kegemarannya menulis di berbagai media ketika masih menjadi mahasiswa membuat ia pun terpilih sebagai Wakil Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (sebuah lembaga pers kemahasiswaan yang dibentuk oleh berbagai pergurun tinggi di Jakarta). Tahun 1956 Pak Ukur merampungkan studynya di STT jakarta. Waktu itu masa study di STT jakarta adalah 6 (enam) tahun. Mengawali karir kependetaannya ia mulai mengajar di Akademi Theologi GKE di Banjarmasin dan tahun 1963 itu ia dipercayakan untuk memimpin Akademi Theologi GKE (sekarang STT GKE). Salah satu bagian dari proses belajar mengajar yang ia perkenalkan adalah kegiatan Praktik Pengenalan Lapangan bagi setiap mahasiswa yang hendak mengakhiri studynya. Pak Ukur melihat bahwa harus terdapat hubungan yang dialektis antara apa yang dipelajari di bangku kuliah dengan persdoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Hanya dengan demikian maka pergulatan keilmuan di dunia perguruan tinggi akan memperoleh tempat sebagai sarana dan metode pengabdian bagi pembangunan masyarakat dan manusia. Pengalaman berorganisasi selama bertahun-tahun semasa study mendorong pak ukur untuk menggagas berdirinya Persetia (Persekutuan Sekolah-sekolah Tinggi Teologia di Indonesia) yang eksis sampai sekarang. Sambil memimpin Akademi Theologia Pak Ukur mulai mempersiapkan diri untuk study doktor. Untuk itu ia belajar ke Fakultas Teologi Universitas Basel, Swiss sekaligus melakukan riset kepustakaan. Dari Fakultas Teologi Basel itu ia meraih gelar doktorandus (kandidat doktor). Lalu gelar doktor teologi ia peroleh dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1972. Karena sejak awal ia memang berminat dalam bidang sejarah kebudayaan, maka itu pulalah yang menjadi riset doktoralnya, yang ia tuangkan dalam disertasi yang berjudul Tantang Jawab

20

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Suku Dayak. Ia adalah doktor teologi angkatan pertama dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Setelah merampungkan study doktornya, tahun 1972 itu Pak Ukur dipercaya untuk memimpim sebuah lembaga yang bergengsi, yaitu Lembaga Penelitian dan Study Dewan Gereja-gereja di Indonesia (LPS DGI) di Jakarta. Selama ia menjabat sebagai pimpunan lembaga ini banyak produk-produk riset, kajian, dan penerbitan yang dihasilkan. Salah satu karya monumental lembaga ini adalah buku berjudul Jerih dan Juang Gereja-gereja di Indonesia. Sebuah buku yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian mengenai gumul dan juang gereja-gereja di Indonesia dalam konteks sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama-agama. Selain sebagai Direktur LPS DGI ia juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Jabatanjabatan sosial yang pernah ia pangku adalah Anggota Badan Sensor Film dan Dewan Film nasional, Anggota Dewan Pertahanan Keamanan Nasional RI, Anggota Tim Telaah Strategi Nasional Indonesia, dll. Setelah melaksanakan tugas di LPS DGI, tahun 1980 1981 Pak Ukur manjadi Sekretaris Departemen PI dan Komunikasi, lalu 1981- 1984 ia menjabat sebagai Direktur Yayasan Komunikasi Massa DGI sekaligus sebagai Dosen pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, bidang Sejarah Gereja. Tahun 1984 1989 Pak Ukur terpilih menjadi Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (dahulu DGI). Sebuah jabatan politispelayanan gerejawi. Ia dipilih oleh lebih dari 50 gereja anggota PGI. Selain jabatan-jabatan tersebut di atas pak Ukur juga menjadi Penasehat GKE sejak tahun 1981 sampai akhir hayatnya. Beliau juga dipercaya menjadi Penasehat Pemerintah Privinsi Kalimantan Tengah sejak 1983 sampai akhir hayatnya. Selama tahun-tahun di Jakarta itulah Pak Ukur aktif mengisi acara Mimbar Protestan di TVRI jakarta. Yang menarik

dari acara itu ialah keberhasilan Pak Ukur memadukan unsur-unsur seni budaya dengan pewartaan Injil dalam kemasan acara siaran, sehingga acara-acara yang disajikan tidak membosankan. Memang Pak Ukur melihat bahwa Injil atau Khabar Baik itu semestinyalah dipahami dan dihayati dalam konteks budaya. Kalau tidak maka kekristenan lalu hanya akan menjadi barang asing dalam konteks berbudaya suatu masyarakat. Hanya dengan demikian kekristenan dapat menjadi bagian dari Keindonesiaan. Itu pula sebabnya, Pak Ukur selalu memakai lawung, celana batik, dan baju palembangan (baju tradisonal sehari-hari orang Dayak) dalam setiap perisiwa senibudaya di mana pun, bahkan ketika ia memperoleh kesempatan hadir dalam pesta puisi di Swiss tahun 1989, di mana ia diminta membacakan puisi-puisi karyanya sendiri. Dari perspektif kultural ini pulalah watak pluralistik pak Ukur terbangun, dan yang ia nyatakan dalam berbagai kegiatan dialog antar iman, baik selama ia di Jakarta mau pun di Banjarmasin, Palangka Raya, Sampit, Pangkalan Bun, dll., terutama setelah konflik Sampit tahun 2000. Setelah pensiun Pak Ukur masih mengabdikan diri untuk pelayanan di Kalimantan. Masa itu ia sering ke berbagai daerah di Kalimantan Tengah bersama dengan LK3 (Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan- Banjarmasin) melakukan berbagai kegiatan berkaitan dengan resolusi konflik antar iman. Bahkan di saat-saat ia menderita kanker usus, ia masih aktif dalam berbagai kegiatan resolusi konflik. Menikah dengan Sri Partiwi, seorang gadis Dayak Jawa dari desa Tamiang Layang dan dianugerahi 1 orang putra, Perah Tamiang Ukur. Sri Partiwi bekerja sebagai PNS adalah seorang guru yang mengajar di SMEA Negeri Banjarmasin, lalu pindah ke Jakarta mengikuti sang suami tercintanya.

Akur 21
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Sejak operasi ambeien tahun 1989 dokter sudah memperingatkan Pak Ukur akan adanya gejala kanker di ususnya. Namun kesibukannya mengakibatkan ia tidak terlalu memperhatikan peringatan yang diberikan dokter itu. Setelah sebeberapa lama dirawat karena penyakit kanker ususnya, pak Ukur harus menyerah pada penyakit kanker usus yang menggerogotinya, dan ia wafat dengan meninggalkan berbagai kenangan orang tentang diri dan karya kemanusiaannya pada tanggal 27 Juni 2003 pukul 05.25 WIB di Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta. Di tahun 2002 ketika ia harus menjalani kemotherapi di Jakarta, Pak Ukur berkata kepada seorang teman begini: Aku berada di RS PGI "CIKINI" dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 31 Agustus 2002. Empat minggu lamanya aku terbaring di sana, karena harus menjalani operasi "kanker usus". Sebuah peristiwa yang luar biasa, yang telah mengubah seluruh gaya hidupku. Pengalaman batin yang sangat dalam telah kulewati. Segala rasa yang harus dialami oleh seorang anak manusia kulalui dalam penghayatan yang sangat tajam.

Pak Ukur memang telah tiada tapi kita masih bisa berbincang dengan dia dalam banyak karya tulisnya, terutama beberapa buku kumpulan puisinya, yang berjudul: Malam Sunyi (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1960), Darah dan Peluh (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1961), Belas Tercurah (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1980), Iklan dari Surga (Kumpulan Renungan, terbitan Pustaka Sinar Kasih 1980), Wajah Cinta (Kumpulan Puisi, terbitan 2001). Selain karya monumentalnya yang berjudul Tantang Jawab Suku dayak dan Tuaiannya Sungguh Banyak kita masih bisa membaca pikirannya dalam bgitu banyak artikel yang tersebar dalam bunga rampai di banyak buku. Beberapa catatan mengenai Pak Ukur juga bisa dijumpai dalam Leksikon Kesusteraan Indonesia Modern kumpulan Pamusuk Eneste, seorang yang pernah menjadi dosen sastra Indonesia di Universitas Hamburg. Sebagian besar hasil karyanya disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yasin.q Banjarmasin, 26 Mei 2012 Darius Dubut

Karena langkah-langkah kaki kita Sudah terseret, selangkah-selangkah Tidak lagi semantap dulu! Tak usah risau Tak usah resah Telah kita tanami bibit cinta Telah kita semai benih-benih kasih Di sepanjang perjalanan pengabdian - Fridolin Ukur -

22

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

MASJID SULTAN SURIANSYAH

Jeja

ah Ibadah k Rum

Masjid Sultan Suriansyah zaman dulu (http.ramlinawawiutun.blogspot.com)

Masjid Sultan Suriansyah saat ini

anjarmasin selain dikenal sebagai Kota Seribu Sungai, sering kali juga disebut dengan Kota Seribu Masjid. Julukan ini dikarenakan jumlah masjid dan langgar di Banjarmasin cukup banyak. Hampir di setiap satuan lingkungan terdapat masjid ataupun langgar, bahkan tidak jarang jumlahnya lebih dari satu. Dalam rubrik tempat ibadah kali ini, kami ingin mengenalkan salah satu masjid bersejarah di kota Banjarmasin, yaitu masjid Sultan Suriansyah. Masjid ini merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah, yakni pada tahun 1526-1550 M oleh Khatib Dayan. Sultan Suriansyah adalah Raja Kerajaan Banjar Pertama yang memeluk agama Islam Sultan, berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Menurut sarjana Belanda J.C. Noorlander bahwa berdasarkan nisan makam, umur kuburan dapat dihitung sejak lebih kurang tahun 1550. Berarti Sultan Suriansyah diperkirakan meninggal

pada tahun 1550. Ia bergelar Susuhunan Batu Habang. Khatib Dayan sendiri merupakan keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon, Jawa Barat. Ia menyampaikan syiar-syiar Islam dengan kitab pegangan Surat Layang Kalimah Sada. Ia seorang ulama dan pahlawan yang telah mengembangkan dan menyebarkan agama Islam di Kerajaan Banjar. Pada tahun 1521 Khatib Dayan datang ke Bandar Masih untuk mengislamkan Raden Samudera (Sultan Suriansyah) beserta sejumlah kerabat istana. Sesuai janji semasa pertentangan antara Kerajaan Negara Daha dengan Kerajaan Bandar Masih Masjid Sultan Suriansyah letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah. Di seberangnya terdapat Sungai Kuin. Dilihat dari bentuk arsitektur dan konstruksi panggungnya yang beratap tumpang, menandakan bahwa masjid ini bergaya tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar memiliki ciri pada bagian mihrabnya. Beratap sendiri dan terpisah dengan

Akur 23
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

bangunan induk. Bentuk asli masjid ini dapat dilihat pada 2 buat inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm, yang terletak di dua daun pintu Lawang Agung. Pada dua daun pintu masing-masing terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu. Kesan pertama dan kental dari masjid peninggalan Pangeran Suriansyah ini adalah, ornamen dari kaligrafi Arab yang menghiasai hampir di setiap jengkal bangunan. Saat Pertama kali pengunjung memasuki kompleks masjid, pemandangan ornamen khas Banjar yang didominasi oleh motif flora dan fauna. Mulai dari beranda hingga dinding-dinding yang memisahkan alam luar dengan ruangan induk dalam masjid. Pada 17 pintu yang ada, di setiap daun pintu dibuat ventilasi yang bermotif kaligrafi shahadat. Begitu pula empat tiang utama di ruang dalam, diberikan sentuhan ornament, bahkan sampai pada ujung-ujungnya yang menghubungkan dengan langit-langit. Masjid Sultan Suriansyah ini telah mengalami beberapa kali pemugaran. Dari pemugaran dan rehabilitasi tersebut yang terbesar dilakukan pada tahun 1999. Yang paling mendasar dari pemugaran ini adalah menjadikan pondasi dari pancangan kayu galam dan neut beton sebagai konstruksinya. Memang, konstruksi ini berbeda dengan konstruksi asli masjid, namun pemugaran tersebut harus dilakukan untuk menghindari kerusakan struktur pondasi masjid dari kerapuhan. Oleh karena itu pemugaran ini tetap didasarkan pada analisis literatur. Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah, merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang diadopsi dan dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Oleh karena mengadopsi arsitektur Masjid Demak, masjid Sultan Suriansyah masih menyisakan pengaruh Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut

tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut adalah: atap meru, ruang keramat (cella), dan tiang sokoguru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi hierakis kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Bentuk atap yang besar dan dominan memberikan kesan lega di ruang yang terletak di bawahnya. Ruang ini merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Pada dinding cella tersebut juga terdapat ukiran keliling bermotif tulisan 99 Asmaul Husna. Sementara itu, tiang sokoguru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di

24

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab. Masjid Sultan Suriansyah ini sebagian besar terbuat dari bahan kayu ulin. Jenis kayu ini akan semakin kuat bila terendam oleh air. Menurut Penjaga Masjid Sultan Suriansyah, Anwar, setiap minggu selalu ada warga negara asing yang datang berkunjung ke masjid tertua di Kalimantan itu. Selain berziarah, para pengunjung tersebut juga ingin melihat langsung bangunan masjid yang memiliki keindahan dan keunikan tersendiri. Warga negara asing yang datang tak hanya dari negara-negara Islam, tapi juga warga negara dari Benua Eropa. Warga negara asing yang sering datang kesini umumnya berasal dari Malaysia, Brunai Darussalam, Jepang, Jerman, Australia dan Amerika Serikat. Saat melihat masjid yang bersejarah itu, umumnya pengunjung merasa kagum melihat empat tiang besar yang menjadi sokoguru bangunan utama masjid itu. Di pintu masjid ini juga terukir cerita sejarah tentang persaudaraan antara Kerajaan Demak dengan Kerajaan Banjar. Konon kabarnya, Kerajaan Demak

menyatakan kesediaannya membantu Kerajaan Banjar menyelesaikan persoalan dengan Raja Daha yang merupakan paman Sultan Suriansyah. Keistimewaan lain Masjid Suriansyah ini terdapat pada mimbarnya. Selain usianya yang telah mencapai 200 tahun, mimbar masjid ini dibuat oleh Haji Muhammad Ali Al Banjari. Di mimbar ini terdapat hiasan ukiran bunga dan tahun pembuatan. Saat ini, mimbar yang berbahan kayu ulin itu terlihat masih kuat dan kokoh dan dimanfaatkan sebagai tempat khatib menyampaikan khotbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap Ramadhan tiba, masjid yang terletak di tepi Sungai Kuin itu selalu dipenuhi jamaah, tak hanya warga sekitar namun juga warga dari daerah lain. Oleh karena untuk menampung jamaah tersebut, pengurus masjid membangun bagian tambahan di sekitar masjid. Tambahan tersebut tetap berorientasi pada struktur dan pola hiasan dari bangunan induk, sehingga terkesan bangunan tambahan tersebut tetap menyatu dengan sejarah Masjid Sultan Suriansyah.q

Akur 25
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Jeja

ah Ibadah k Rum

SEKELUMIT SEJARAH GEREJA KATEDRAL BANJARMASIN

Gereja Batu zaman dulu

Gereja Batu saat ini

angunan Gereja Katedral yang dikenal sekarang ini bukan bangunan Gereja Katolik yang pertama di kota Banjarmasin. Bangunan Gereja pertama terletak di Jalan Lambung Mangkurat No. 4, di samping Balai Pemuda. Bangunan tersebut dibuat untuk usaha losmen, kemudian pada 30 Desember 1929, bangunan yang terbuat dari dinding kayu beratap sirap dibeli oleh misi MSF. Baru pada 28 Juni 1931, diresmikan dan diberkati sebagai Gereja. Tanggal tersebut diambil sebagai pendirian Paroki Keluarga Kudus di Banjarmasin. Dengan demikian Paroki Katedral" lebih tua usianya dari Gereja Katedral sendiri. Bangunan Gereja pertama tersebut memiliki fungsi ganda yaitu sebelah kiri sebagi Gereja dan kanan Pastoran. Bentuk bangunannya sangat sederhana tetapi di atas atap terdapat menara kecil dengan loncengnya. Seorang arsitek Roestenhurg, telah membangun beberapa gedung di Banjarmasin, antara lain: Bank Indonesia, Bank Bumi Daya, Kantor RRI (dh. Sositet) dan lain-lain, diserahi tugas membangun Gereja Katedral dan Pastoran, dibantu oleh Bruder Longinus MSF, yang baru tiba dari negeri Belanda. Sesuai peraturan Liturgis, pada 19 November 1935, Pastur J. Groen MSF. Meletakkan Salib ditempat

mana altar akan dibangun dan keesokan harinya baru dilaksanakan peletakkan batu pertama oleh Pastur. Seluruh bangunan termasuk pondasi terbuat dari beton, juga menara setinggi 17 meter. Hal tersebut mungkin dilaksanakan oleh perancang agar bangunan Gereja Katedral tahan sampai hari kiamat. Pembangunan memakan waktu hanya 5 (lima) bulan dengan biaya termasuk pengurukan tanah kompleks dan bangunan sebanyak NE 22.000,-. Untuk pengukuran tanah dan bangunan Pastoran telah dikeluarkan sejumlah NE 7.000,-. Setelah bangunan gereja Katedral selesai, perayaan Ekaristi di Gereja lama diadakan untuk terakhir kali pada 16 Maret 1936. Pada 22 Maret 1936, perayaan Misa pertama dilaksanakan dalam Gereja baru dan satu minggu setelah perayaan Paskah, pada 19 April 1936, Gereja "Katedral" diberkati oleh Pastur J. Groen, Superior MSF. Upacara pemberkatan ini memperoleh sambutan dan perhatian besar dari masyarakat Banjarmasin. Hadir dalam pemberkatan antara lain Komandan Teritorial KNIL, Komandan KNIL setempat, Wakil Residen karena Residen sedang sakit, Sekretaris Kotapraja dan pimpinan Sarikat Islam setempat. Lagu-lagu

26

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Gregorian dinyanyikan oleh para Bruder Kongregasi Santa Maria Perawan Tak Bernoda, sebagai tema khotbah oleh Pastur J. Groen, selaku pemimpin upacara, dipilih Mzm 122, "Aku gembira ketika orang berkata kepadaku: Marilah kita ke rumah Allah". Hari tersebut merupakan hari bersejarah bagi umat Katolik karena memiliki Gereja baru dan bagus, walaupun tidak terlalu luas tetapi merupakan rumah Allah, tempat bertemu dengan Tuhan. Tidak terdapat data-data lengkap mengenai jumlah umat Katolik saat itu, tetapi jumlah mereka pasti tidak banyak, karena pada akhir 1940 tercatat di daerah Kal-Sel/Teng 375 jiwa terdiri dari 106 Katolik Indonesia dan 269 Katolik asing. Kawanan domba yang tersebar di daerah sangat luas. Pada 8 Desember 1941, Pemerintah Belanda menyatakan perang kepada Jepang, dengan demikian Indonesia yang dahulu dinamakan Hindia-Belanda juga berada dalam keadaan perang. Setelah pernyataan perang, para orang tua murid tidak berani menyekolahkan anak-anak mereka, khawatir terjadi serangan udara sehingga sekolahan Bruder dan Suster menjadi kosong. Pada Januari 1942, diadakan rapat antar petugas Misi (Pastur, Bruder dan Suster) dibawah pimpinan Mgr Kusters, rapat juga dihadiri oleh Walikota. Keputusan rapat yang diambil ialah, "Apapun yang akan terjadi, kami sekalian akan tetap tinggal di Banjarmasin". Walikota menyetujui keputusan tersebut, meskipun saat itu banyak penduduk Banjarmasin, masyarakat Jawa, Tionghoa dan orang asing lainnya mengungsi ke Jawa dan toko-toko ditutup. Pzada 24 Januari 1942, tentara Jepang mendarat di Balikpapan, 28 Januari 1942 untuk pertama kali lapangan terbang Banjarmasin dihujani bom, 2 Februari 1942 Kotabaru mengalami hal serupa, 8 dan 9 Februari beberapa gedung penting dan jembatan Koen diledakkan

oleh KNIL. Perampokan-perampokan pun terjadi terutama di pasar-pasar. Tentara Jepang berusaha mencapai Banjarmasin lewat darat. 10 Februari 1942 dini hari, Mgr. J. Kusters berikut seluruh personil Misi oleh Walikota diperintahkan meninggalkan Banjarmasin menuju Jawa. Walikota memperoleh berita bahwa terjadi pembunuhan terhadap orang-orang asing dan Indonesia di Balikpapan. Sesuai keputusan rapat bulan Januari yang dihadiri oleh Walikota, Mgr. J. Kusters kini menolak lagi perintah Walikota selaku penguasa perang tetap pada keputusannya. Jam 10.00 pagi Mgr. J. Kusters beserta pastur G. Schoone, 5 Bruder dan 6 Suster serta banyak orang lain menuju Kuala Kapuas dengan kapal roda lampung (hek-wieler) dan perjalanan selanjutnya ke Jawa dilakukan dengan perahu Bugis. Jumlah pengungsi 184 orang dan mereka tiba di Gresik pada 18 Februari 1942. Setelah meninggalkan Banjarmasin 1 jam kemudian diketahui bahwa anggota pasukan Jepang memasuki Banjarmasin. Menurut norma-norma hukum internasional, walikota selaku penguasa perang menyerahkan diri dan kota kepada perwira Jepang. Kenyataannya waktun itu bertentangan dengan hukum internasional. Walikota bersama 7 orang lainnya dibunuh di tepi Jembatan Koen (Jembatan Dewi sekarang). Setelah ditinggalkan Mgr. J. Kusters, Gereja dan Pastoran dijaga dan dihuni oleh suami/isteri Boejari serta, dua orang lain yaitu Imang dan Talim. Pada 15 Februari 1942, Toekimoen seorang anggota kepolisian dan tokoh Katolik bertemu di Gereja dengan seorang perwira Jepang beragama Katolik bernama Mara-uka. Mereka berkomunikasi dalam bahasa isyarat. Perwira tersebut menanyakan keadaan para Pastur dan dijawab bahwa semuanya telah mengungsi ke Jawa. Dijelaskan oleh perwira Jepang itu sebetulnya para Pastur tidak perlu mengungsi karena ia dapat melindungi mereka.

Akur 27
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Beberapa hari setelah tentara Jepang menduduki Banjarmasin, tentaranya memasuki Gereja dan Pastoran, mengangkuti barang-barang yang dikehendaki, melempar buku-buku keluar, patung-patung salib dirusak, sedang Toekimoen tidak dapat berbuat apa-apa. Berkat bantuan perwira Marauka, barang-barang di Gereja Kelayan dapat diselamatkan dan dipindah/disimpan di Gereja Lambung Mangkurat. Banyak barang-barang antara lain: piala-piala dan kain altar yang telah disita dikembalikan oleh petugas kepolisian dari pedagang-pedagang di pasar. Umat Katolik tetap diperbolehkan menggunakan Gereja untuk keperluan ibadat, tiap minggu diadakan kebaktian umat dan doa rosario dibawah pimpinan O. Wowor, seorang guru. Awal Maret 1942 pemerintah sipil Jepang mengambil alih Pastoran di J1. Lambung Mangkurat dan 3 orang penjaganya harus keluar dari situ, Boejari pulang kampung, Talim, Imang dan Yosef Roesita pindah ke Kelayan untuk menjaga rumah Susteran. Perayaan Paskah pertama di masa perang diikuti dengan sangat meriah oleh umat Katolik Banjarmasin dan perwira Mara-uka. Besar kemungkinan, karena kehadirannya pada perayaan Paskah itu, perwira Mara-uka dipindahkan dari Banjarmasin dan sejak itu umat Katolik mulai menghadapi bermacam-macam kesulitan. Izin masuk ke Gereja ditetapkan dengan keputusan resmi hanya untuk hari Minggu dan hari-hari besar, Gereja hanya dapat dibersihkan pada hari Minggu. Jepang berpendapat bahwa Gereja adalah milik mereka karena dulu merupakan milik Belanda, hal ini disangkal oleh Toekiman dengan pernyataan bahwa Gereja adalah milik umat Katolik. Sedikit demi sedikit hak umat Katolik dipersempit. Buku-buku yang disimpan di Gereja harus disensor dan Toekimoen diperintahkan melaksanakan kedaan itu, namun perintah tersebut tidak pernah terlaksana. Pada April 1943, Pengadilan

Negeri karena kekurangan tempat meminjam ruang Gereja untuk tempat sidang. Hari berikutnya para hakim Pengadilan Negeri Jepang datang untuk meninjau keadaan ruang Gereja. Toekimoen menyambut mereka dan mengajak mereka masuk ke Gereja, seperti kebiasaan Toekimoen masuk Gereja, berlutut dan memberi hormat hal mana diikuti oleh hakim kepala Jepang sambil membuka topinya. Para hakim dan pengikut lainnya segera ingin mengambil barang-barang yang ada di Gereja tetapi dapat dicegah oleh Toekimoen. Dijelaskan oleh Toekimoen, bahwa: hanya imam diperbolehkan naik kepanggung tempat Altar dan beberapa hal pula disepakati untuk diperhatikan antara lain kamar-kamar pengakuan dosa tidak dapat dipakai, tidak boleh meludahi lantai (hal biasa bagi orang-orang Jepang dan penduduk) dan panggung Imam akan ditutup dengan papan. Syukurlah hanya terjadi satu kali sidang di ruang Gereja. Pada 1942 telah dibentuk semacam Perhimpunan Umat Katolik dengan ketuanya Toekimoen, Sekretaris Rajimin, Bendahara 0. Wowor (kedua terakhir adalah guru) dan seluruh umat Katolik sebagai anggotanya. Tidak dipungut iuran apapun. Pada 20 Februari 1945, dengan resmi perhimpunan ini diakui oleh pemerintah Jepang dan diberi nama: Borneo Tensjoe Kokjo Kjokai (Badan Kebaktian Katolik Borneo) serta diberi bantuan FL 1.000,-setahun. Dengan demikian perhimpunan tersebut menjadi badan hukum dengan Toekimoen sebagai pimpinan Gereja Katolik se-Borneo dan untuk Gereja Katolik di Banjarmasin diangkat Liem Hok Tjiang. Demi keselamatan umat Katolik di Kalimantan, Toekimoen bersedia diangkat sebagai pimpinan Gereja Katolik seKalimantan oleh pemerintah Jepang dan meskipun pengangkatan tersebut tidak sesuai dengan hukum Gereja. Akhir 1943 umat Protestan juga ikut mempergunakan

28

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Gereja sebagai tempat ibadat mereka tiap minggu. Pada 30 Oktober 1944, Pastur Tanaguchi tiba di Banjarmasin dari Makasar, ia mulai mempersembahkan kurban Misa setiap hari di Gereja. Pada November 1944, Pastur Tanaguchi berangkat ke Pontianak dan dengan berani berhasil membebaskan Pastur Bong dari penjara. Pada Desember 1944, beliau tiba kembali di Banjarmasin dan bulan Januari 1945 berangkat lagi ke Pontianak untuk mendirikan sekolah, sejak itu beliau tidak kembali lagi ke Banjarmasin. Pastur Tanaguchi adalah seorang gembala yang baik, seorang imam Projo dari Keuskupan Yokohama, selama di Banjarmasin ia sempat mempermandikan beberapa anak dan bayi. Sampai 1976 beliau diketahui masih hidup. Pada 24 Agustus 1945, setelah kapitulasi Jepang, Mgr. AI. Ogihara SJ, Administrator Apostolik Hiroshima tiba di Banjarmasin sebagai utusan Sri Paus XII, berada di Banjarmasin sampai tanggal 16 September 1945. Selama itu beliau juga bergaul dengan sesama orang Jepang, beliau mempersiapkan penyambutan para misionaris yang akan dibebaskan dari tahanan, beliau juga bertindak sebagai gembala umat Katolik setempat. Banyak yang telah dihasilkan oleh oleh Mgr. AI. Ogihara, antara lain: Toekimoen berhasil memperoleh ganti rugi sebanyak FL 5.000,-dari pemerintah Jepang untuk sekian banyak barang keperluan Gereja yang hilang entah kemana. Tetapi karena banyak bantuan yang diberikan oleh Mgr. AI. Ogihara kepada umat Katolik, beliau tidak disenangi oleh pejabat-pejabat Jepang. Pertengahan September 1945 Mgr. AI.

Ogihara diperintahkan oleh sekutu untuk berangkat ke Balikpapan dan beliau sempat diinternir karena dianggap kolaborator. Selama dalam tahanan beliau tidak memperoleh perlakuan yang baik dari Sekutu. Pada Nopember 1945 Mgr. J. Kusters tiba kembali di Banjarmasin dari Jawa lewat Balikpapan. Mgr. J. Kusters berusaha menemui Mgr. AI. Ogihara, namun tidak berhasil, karena tidak diizinkan oleh Sekutu, tetapi pada 27 Desember 1945 beliau dikembalikan ke Jepang. Setelah tentara Sekutu mendarat di pelabuhan Banjarmasin, tentara Jepang meninggalkan kota ini. Pada tanggal 14 September 1946 Toekimoen berhasil menguasai Pastoran. Tentara Australia karena kekurangan lokasi berusaha menguasai dan menginap di Pastoran dan mengambil segala peralatan rumah tangga yang masih ada tetapi ini dapat dicegah oleh Toekimoen dengan mempergunakan sepatah kata Inggris yang ia kuasai, ialah "No-no". Pada 30 September 1946 Misa Syukur Agung untuk pertama kali dipersembahkan kembali oleh Pastur J. Romeyn, dalam kedudukannya sebagai Pastur Tentara, didampingi oleh 4 tentara Australia yang bertindak sebagai pelayan Misa. Perayaan diiringi penghormatan militer. Selain umat, Misa ini dihadiri pula oleh 20 Pastur dan Bruder MSF, yang baru keluar dari kamp tawanan Kandangan, juga oleh komandan tentara Australia perwiraperwira NICA (Netherland Indies Civil Administration) dan anggota Dewan Kotapraja. Gereja dihiasi dengan benderabendera Belanda, Inggris, Australia dan Republik Cina, Merah Putih saat itu masih dilarang.q

Akur 29
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

i Buku Resens

PERGUMULAN INTELEKTUAL DJOHAN EFFENDI


Mujiburrahman
disambut oleh seorang penjaga, yang meminta kami memakai kopiah khusus. Setelah masuk, DE ternyata hanya ingin melihat-lihat, dan sedikit berdialog dengan si penjaga. Setelah itu kami pulang. Sampai hari ini, itulah satusatunya pengalaman saya masuk Sinagog, dan sejak itulah saya mengenal DE secara personal. Sebelum perjumpaan tahun 2000 itu, bagi saya dan kawan-kawan segenerasi yang kuliah di Banjarmasin di awal 1990an, DE adalah tokoh nasional yang nama dan pemikirannya hanya kami kenal melalui tulisan-tulisannya, atau cerita orang tentang dirinya. Bahkan di masa itu, buku karyanya pun jarang kami temukan, kecuali dalam bentuk artikel di jurnal Prisma dan Ulumul Qur'an, atau salah satu artikel dalam sebuah buku kumpulan tulisan. Mungkin karena wataknya yang sangat rendah hati, dan lebih suka berperan di balik layar, DE tampaknya tidak berusaha menerbitkan kumpulan tulisannya sebagai buku tersendiri. Kebanyakan karya DE yang saya temukan ketika itu hanyalah karya-karya terjemahan, terutama seputar tokoh yang sudah tentu menjadi idolanya, yakni Muhammad Iqbal, filosof asal anak benua India itu. Hal ini berbeda dengan temantemannya seangkatan seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Dawam Rahardjo, yang menerbitkan buku kumpulan tulisan mereka masing-masing. Tapi tak dapat disangkal pula, nama DE justru mencuat antara lain gara-gara sebuah buku yang bukan karyanya sendiri, melainkan catatan harian sahabat karibnya yang telah meninggal dunia, yakni Ahmad Wahib. Meskipun tentu saja, orang juga mengetahui, DE ikut terlibat dalam pergolakan pemikiran Wahib.

embahas buku karya Djohan Effendi (DE) yang diterbitkan "Dian/Interfidei", merupakan suatu kembanggaan bagi saya. Ini merupakan suatu perjumpaan pemikiran antara generasi muda dan generasi yang lebih tua. Perjumpaan saya dengan DE secara personal untuk pertama kalinya terjadi tahun 2000 silam, bukan di Indonesia, melainkan di Montreal, Kanada. Waktu itu DE diundang untuk menyampaikan kuliah umum di Institute of Islamic Studies, McGill University. Usai acara, DE bertanya, Apakah di kota ini ada Sinagog? Rupanya, DE ingin mengunjungi tempat ibadah Yahudi itu. Setelah panitia menemukan alamat satu Sinagog, saya diminta menemani DE pergi ke sana. Ketika tiba di tempat, kami

30

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Karena itulah, penerbitan kumpulan tulisan DE sebagai buku dengan judul Pluralisme dan Kebebasan Beragama (2010) ini patut disambut gembira. Dengan penerbitan dalam bentuk buku ini, tulisan-tulisan DE yang tersebar bahkan tercecer di mana-mana, kini bisa kita temukan dalam satu buku. Terlepas dari penilaian orang terhadap kandungan buku ini, ia adalah dokumentasi yang amat bernilai sebagai warisan intelektual bagi generasi yang akan datang. Saya juga percaya bahwa masih banyak tulisantulisan DE yang belum diterbitkan, dan berharap dalam waktu yang tidak lama lagi, semua tulisan itu dapat dikumpulkan dalam sebuah atau beberapa buku agar bisa dibaca oleh kita semua dan anak cucu kita kelak. Menurut saya, hal paling penting untuk memahami tulisan-tulisan DE adalah keterlibatan penuh dirinya dalam masalah-masalah yang dia angkat. Ia bukanlah seorang akademisi yang merasa nyaman tinggal di menara gading sebuah lembaga penelitian atau perguruan tinggi apapun. Sejak muda, DE adalah seorang aktivis. Namun bukan seorang aktivis yang hanya pandai bermain politik dan licin bagai belut, melainkan seorang aktivispemikir, yang berusaha mempertemukan bahkan mengkonfrontasikan gagasan dengan kenyataan, ide dengan realitas. Meminjam ungkapan Karl Marx, ia bukanlah sekadar pemikir yang berusaha memahami dan menafsirkan realitas, melainkan berusaha untuk mengubah realitas. Dengan demikian, aktivisme DE adalah juga pergumulan personal dirinya, suatu pencarian yang seolah tanpa akhir. Karena pemikirannya adalah hasil dari pergumulan intelektual dirinya sendiri berhadapan dengan realitas, maka ia menjadi seorang yang penuh keberanian menyampaikan keberanan yang diyakininya, meskipun dengan resiko yang cukup tinggi. Sebagai anak dari keluarga santri, dan kemudian menempuh pendidikan di sekolah-sekolah berbasis Islam hingga

kuliah di IAIN dan aktif di HMI, DE pada dasarnya adalah seorang aktivis dan pemikir keagamaan, atau dalam ungkapan lain, seorang cendekiawan Islam. Karena itu, perhatian DE terutama adalah masalah-masalah keagamaan. Tentu saja ia juga berbicara soal budaya, politik dan ekonomi, namun semua ini hanyalah latar belakang atau konteks bagi pemikiran keagamaan yang ia lontarkan. Selain itu, kalau kita telusuri lebih jauh, di antara bidang pemikiran Islam yang amat luas dan kompleks, DE lebih tertarik pada soalsoal teologi, filsafat dan tasawuf ketimbang fiqh atau hukum Islam. Hal ini tampaknya disebabkan karena ia ingin menggali masalah-masalah substansial dari agama, bukan bentuk lahiriah yang sifatnya formal belaka. Tampaknya, kalau kita telusuri tulisan-tulisan di buku ini, kita akan temukan bahwa DE sebenarnya berusaha menjawab satu masalah yang telah menantang para pemikir teologi, filsafat dan mistik sepanjang masa, yaitu bagaimanakah menghubungkan antara yang satu (the one/wahdah) dengan yang banyak (the many/katsrah)? Dengan ungkapan lain, bagaimanakah kiranya menemukan kesamaan dalam perbedaan, dan perbedaan dalam kesamaan, sehingga keduanya berjalan serasi? Pertanyaan ini begitu menggoda pikirannya terutama karena pengalamannya sebagai anak Indonesia, sebuah bangsa yang amat majemuk dalam hampir segala segi. Kenyataan yang majemuk itu bukan hanya berpotensi melainkan sudah terbukti berkali-kali menimbulkan bencana kemanusiaan yang amat memilukan hati. Lebih menantang lagi bagi DE, di antara unsur-unsur yang membentuk kemajemukan itu, ternyata agama merupakan unsur yang signifikan dalam berbagai kasus konflik di negeri ini. Sebagai aktivis-pemikir Islam, DE tentu terpanggil untuk mencoba mencari jalan keluar bagi masalah yang pelik ini. Dalam usahanya mencari jalan keluar bagi masalah ini, DE pertama mencoba

Akur 31
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

mencari jawaban atas pertanyaan, mengapa konflik antar perbedaan, termasuk perbedaan agama, terjadi di masyarakat? Setelah didiagnosa, ternyata ada dua masalah besar yang menyebabkan konflik itu, yaitu pemikiran keagamaan yang memandang negatif terhadap perbedaan, dan kedua kondisi sosial yang tidak mendukung. DE kemudian berusaha menemukan alternatif pandangan keagamaan yang bersikap positif terhadap perbedaan, sekaligus berusaha untuk mengingatkan bahwa kesenjangan sosial dan penindasan politik tidak boleh dibiarkan. Karena ia adalah seorang aktivis, ia juga menawarkan langkahlangkah praktis yang bisa diambil dalam rangka mewujudkan sikap yang positif terhadap perbedaan dan kesetaraan sosial itu. DE menilai, sikap antipati atau acuh tak acuh pada kelompok keagamaan yang berbeda adalah akibat dari pandangan yang tidak menghormati dan menghargai perbedaan. Masalah ini semakin rumit karena bagaimanapun juga, agama mengandung konsepsi tentang yang mutlak. Bukankah setiap penganut agama merasa yakin bahwa agamanya adalah yang paling benar? DE mengatakan, bahwa sebenarnya kebanyakan kita menganut agama karena faktor lingkungan, terutama keluarga, bukan karena pilihan sadar. Ini merupakan fakta sosial yang tak dapat dimungkiri. Selain itu, agama yang kita yakini kebenarannya itu, sesungguhnya adalah tafsiran kita, atau tafsiran tokoh agama yang kita ikuti, yang mungkin bertentangan dengan tafsiran lainnya, meskipun merujuk kepada sumber yang sama. Berdasarkan argumen ini, DE mengatakan bahwa keberagamaan sejati adalah keberagamaan yang rendah hati, yang meskipun yakin akan kebenaran dari paham yang dianutnya, orang tidak berarti berhak menghakimi paham orang lain yang dianggapnya salah. Di sinilah DE menemukan hakikat kebebasan beragama. Bagi DE, bagaimanapun juga, iman tidak

bisa dipaksakan. Iman yang dipaksakan akan melahirkan kemunafikan. Sebagai seorang Muslim, DE mencoba melihat ayat-ayat Alqur'an, yang ternyata dengan tegas menyerukan kebebasan bergama. Misalnya al-Baqarah, 256: l ikrha fi al-dn, qad tabayyan al-rusyd min al-ghayy (Tidak ada paksaan dalam agama. Kebenaran sudah jelas berbeda dengan kesesatan) dan al-Kahfi, 29: wa qul al-haqq min rabbikum, fa man sy'a falyu'min, wa man sy'a falyakfur (katakanlah, kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka siapa yang mau, silahkan beriman, siapa mau, silahkan pula menolak). Jika Tuhan sendiri, kata DE, memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman atau tidak, mengapa kita merasa berhak untuk memaksa orang lain mengikuti agama atau paham kita? Untuk mendukung pandangannya, DE juga mengutip kasus HAMKA di Deli, ketika yang terakhir memperjuangkan kebebasan Muhammadiyah untuk sembahyang di masjidnya sendiri. Ia juga mengutip kasus yang terjadi di Pakistan, berkenaan dengan Munir Report yang menemukan bukti betapa para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai apa arti Islam dan apa arti Muslim. Dalam konteks hubungan antara Muslim dan Kristen, DE mengutip catatan sejarah bahwa Raja Negus melindungi sahabat-sahabat Nabi yang mengungsi ke Abbesinia. Sebaliknya, Nabi Muhammad juga pernah mengizinkan orang-orang Kristen Najran untuk melaksanakan kebaktian di masjid nabawi. Tetapi, mengapa ajaran Islam yang penuh toleransi itu ternyata tidak selalu menjadi kenyataan dalam sejarah? Menurut DE, ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, paham keagamaan yang sangat formalistik dan simbolik. Agama dipahami sebagai identitas kelompok ketimbang sebagai sumber moralitas dan spiritualitas. Kedua, kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat dapat mendorong

32

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

konflik di mana agama ikut terbawabawa. Menerima kebebasan berarti menerima persaingan. Dalam kondisi yang lemah secara materi dan organisasi, suatu kelompok akan takut terhadap kebebasan karena merasa tidak siap menghadapi persaingan. Ketiga, kebijakan negara yang otoriter dan sentralistik, membuat orang takut menyampaikan uneg-unegnya, sehingga ketika ada peluang, semuanya meletus tak terkendali. Keempat, kurangnya penghargaan terhadap budaya dan kepemimpinan lokal. Padahal pemimpin lokal adalah orang-orang lapangan yang benar-benar mengerti keadaan di masyarakat, dan budaya lokal adalah sumber kearifan yang telah terbukti menjaga harmoni sosial sejak lama. Lalu, bagaimana jalan keluar dari kondisi ini? DE menyarakan antara lain, pertama, pemahaman keagamaan yang menghargai perbedaan harus dikembangkan dan disebarluaskan di masyarakat. Para pemikir agama juga harus berusaha mencari titik temu di antara perbedaan, misalnya dengan melihat dimensi etis dari ajaran agama seperti yang terkandung dalam HAM dan ajaran tentang the golden rule. Kedua, dialog antar agama dan intra-umat beragama, seharusnya dilaksanakan dari bawah. Di tahun 1970-an, DE sudah berpengalaman menjalankan program dialog, yang kegiatannya adalah usaha mempertemukan pemuka-pemuka agama agar saling mengenal. Ada pula penelitian hubungan antar agama yang dilaksanakan oleh peneliti dari berbagai latarbelakang agama. Kegiatan yang lain adalah mempertemukan calon-calon pemuka agama, yakni para mahasiswa di pendidikan tinggi agama (misalnya IAIN dan STT) dalam diskusi. DE juga menganjurkan kuliah umum untuk mahasiswa tentang berbagai agama oleh masing-masing ahli. Ketiga, para tokoh dan penganut agama harus sadar bahwa

musuh bersama mereka adalah kemiskinan dan kebodohan. Jika orang mau bicara mayoritas-minoritas kata DE, maka mayoritas itu adalah miskin dan minoritas itu adalah kaya, tak peduli apapun agamanya. Kesenjangan ini wajib dijembatani jika kita ingin hidup damai dan saling menghormati. Demikianlah gambaran umum dari buku ini. Kalau Anda seorang akademisi yang ingin suatu pembahasan yang rinci dan lengkap, maka buku ini mungkin belum memuaskan. Ada beberapa rujukan yang tidak menyebutkan sumbernya secara khusus. Penyunting juga tampak kurang bekerja dengan baik karena masih ada kesalahan ejaan di sana-sini. Riwayat masing-masing tulisan juga tidak semuanya ada. Lebih dari itu, sebagaimana umumnya pemikir pembaruan, DE cenderung mengembangkan pola argumen yang eklektik. Ia bisa memilih HAMKA, Agussalim dan Soekarno dalam konteks tertentu, tanpa harus menjelaskan bahwa ketiga orang ini dalam beberapa hal mungkin tidak sependapat, atau bahwa pemikiran mereka dalam satu periode berubah pada periode lainnya. DE juga kurang memperhatikan dalil-dalil keagamaan kelompok yang tidak toleran terhadap perbedaan. Padahal, jika dalildalil lawan itu juga dikemukakan dengan penafsiran yang berbeda, mungkin pandangan DE akan semakin kuat dan diterima. Namun jika kita kembali mengingat bahwa DE adalah seorang aktivis-pemikir, maka kita bisa memahami mengapa tulisan-tulisan dalam buku ini demikian adanya. Bagi seorang aktivis, yang penting bukanlah kecanggihan sebuah presentasi pemikiran, melainkan bagaimana pemikiran itu bisa diterima dan menimbulkan perubahan di masyarakat. Saya kira itulah target utama dari DE.q Wallhua'lam bi al-shawb.

Akur 33
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

PEMBINAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


M. Ilham Masykuri Hamdie

r Mimba

embinaan kerukunan umat beragama di Indonesia pernah mendapatkan pujian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disampaikan oleh utusan Sekjen PBB Jamsheed Marker yang datang ke Indonesia Maret 1997. Hal ini tentu saja mengundang pertanyaan sejauh mana peran pemerintah (Kementerian Agama) dalam mengupayakan berbagai program dan kebijakan pembinaan kerukunan hidup umat beragama selama ini. Secara sederhana pola pembinaan kerukunan umat beragama menempuh strategi dasar yang disebut trilogi kerukunan: (1) kerukunan intern umat beragama, (2) kerukunan antar umat beragama, dan (3) kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Dalam kerangka "empirik" strategi dasar ini diimplementasikan sekurang-kurangnya dalam lima pola pendekatan, yaitu (1) pendekatan pragmatis, (2) pendekatan legalistik, (3) pendekatan kultural, (4) pendekatan sosio-institusional, dan (5) pendekatan teologis. Pendekatan pragmatis dapat dikatakan sebagai security approach, merupakan langkah pertama yang sering diambil setiap kali terjadi ketegangan atau konflik antar umat beragama. Memang pada tingkat awal ketegangan dapat diatasi seketika, tetapi itu sering tampak hanya di permukaan, sementara di baliknya masih tersimpan gejolak dan dendam yang sewaktu-waktu dapat meletup. Security approach bersifat reaktif, hanya berguna untuk jangka pendek, tetapi tak dapat diandalkan untuk kepentingan jangka panjang. Sedangkan pendekatan legalistik, merupakan kelanjutan belaka dari security approach, yang mengandaikan bahwa kerukunan umat beragama dapat dijalin dengan sejumlah peraturan perundang-undangan. Tampaknya, pandangan ini didasari oleh suatu keyakinan yang kuat bahwa ada

keterkaitan yang erat antara perilaku rukun dengan ketentuan-ketentuan yuridis. Namun kenyataan sering menunjukkan bahwa peraturan-peraturan itu sebagian tidak berfungsi secara efektif dan optimal. Pendekatan sosio-institusional diupayakan dengan asumsi dasar, bahwa para pemuka agama mempunyai otoritas dan kedudukan terhormat dalam struktur komunitas di setiap agama. Mereka dianggap sebagai representasi kelompok agama yang dipandang kapabel dan kredibel sebagai agen pembangun kerukunan beragama di dalam komunitas agama masing-masing. Karena lebih berorientasi pada aspek kelembagaan, pendekatan ini sering cenderung bersifat top down. Akibatnya kebutuhan untuk hidup rukun kurang dirasakan oleh segala lapisan masyarakat, hanya pada kalangan elite agamawan ataupun pada tingkat akademis tertentu, itupun terasa seringkali masih dalam bentuk formalistik, diplomatis, dan basa-basi. Adapun pendekatan kultural ditandai dengan sejumlah prakarsa acara dialogdialog yang digagas oleh kelompokkelompok tertentu. Pendekatan ini didasari oleh pandangan bahwa dialog merupakan sarana yang tepat untuk mencari titik temu untuk dapat saling mengerti dan bekerjasama antara umat beragama. Pendekatan ini cukup penting untuk diapresiasi, tetapi masih sering mengalami kemacetan, sebab belum sepenuhnya didorong oleh sebuah keinsyafan yang benar-benar menginginkan sebuah kehidupan yang rukun dan damai, hingga cenderung menjadi rutinitas 'ritual' yang hampa. Agar berfungsi optimal, dialog seharusnya dibiarkan berlangsung apa adanya, mulai dari pengalaman dialog hidup bersama sehari-hari, sampai dengan dialog-dialog aksi sosial, dan lain-lain. Disinilah upaya pengenalan multikulturalisme dan pluralitas agama-agama perlu diajarkan

34

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

sejak dini. Pengajaran tentang agamaagama hendaknya dimulai, misalnya dari rumah dan sekolah akan merupakan kunci sukses dan bekal terlaksananya dialog yang diharapkan. Sebagai penyempurna dari pendekatan-pendekatan di atas, maka pendekatan teologis perlu dipertimbangkan. Pendekatan ini mengandaikan bahwa sebuah kerukunan yang hendak dibangun bukan diatur secara eksternal, melainkan tumbuh secara otentik dari dalam diri setiap umat beragama melalui penghayatan iman masing-masing. Sesungguhnya pemerintah telah memprakarsai program-program yang mengusahakan adanya kerangka atau bingkai teologis dari agama masing-masing dalam pembinaan kerukunan hidup umat beragama. Dalam pemaparan ajaran teologis masing-masing agama ditemukan dan dimunculkan sikap-sikap inklusif dan sekaligus pluralis dalam hubungan antar agama-agama. Dari sekian pendekatan di atas, tampaknya pendekatan kultural yang dipadukan dengan pendekatan teologis merupakan hal yang ideal yang perlu terus diperhatikan dan ditingkatkan, sebab pada kedua pendekatan ini ditemukan pentingnya semangat kerukunan itu tumbuh secara otentik dalam diri umat beragama berkat dorongan ajaran teologis masing-masing. Sesungguhnya betapa penting peranan pemerintah (kementerian agama) dalam memprakarsai, memberi motivasi dan menyediakan fasilitas untuk pembinaan kerukunan umat beragama yang tentu tetap menuntut pembenahan dalam birokrasi. Masih sering muncul kritik terhadap birokrasi agama. Perahu birokrasi ini sering harus mendayung di antara banyak pulau-pulau karang 'kepentingan' yang berbeda-beda. Mulai dari persoalan kepentingan agama-agama yang belum terpenuhi secara adil (dan proporsional tentunya), opini publik agar negara netral, dalam arti tidak intervensi terhadap kehidupan beragama, lalu peran negara sebagai penjamin kebebasan beragama yang harmonis, sampai kepada pengayoman kepentingan pluralitas internal dan pluralitas agama-agama. Ini semua membutuhkan perhatian para birokrat agama, sehingga mulai isu konflik 'kepentingan' (isu aliranisasi ?) dalam jabatan-jabatan struktural, sampai hambatan-hambatan struktural dan

kultural seperti mis-management, KKN, dan sebagainya yang dapat menyumbat munculnya good and clean governance. Namun begitu, menuju efisiensi birokrasi keagamaan tentu tidak berarti memperlemah peran civil society, peran tokoh-tokoh agama. Pentingnya keterlibatan para tokoh agama dalam membangun dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, sangatlah strategis, didorong terutama oleh kenyataan bahwa para tokoh agama itu memiliki fungsi-fungsi sentral dan signifikan di tengah-tengah komunitasnya. Secara esensial paling tidak ada dua fungsi keagamaan yang cukup sentral dari tokoh agama, (1) fungsi pemeliharaan ajaran agama dan (2) fungsi pengembangan ajaran agama. Makna dari fungsi pemeliharaan adalah bahwa tokoh agama memiliki hak dan wewenang untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, disamping berfungsi sebagai penjaga kemurnian ajaran agamanya. Karena itu ia selalu mengajarkan ritual keagamaan secara benar dan berperilaku sesuai dengan ajarannya. Ia akan bereaksi dan mengoreksi bila terjadi penyimpanganpenyimpangan. Sedangkan fungsi pengembangan ajaran adalah bahwa mereka berupaya melakukan misi untuk menyiarkan ajaran agama dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeluknya. Posisi strategis dari para tokoh agama itu, selain sebagai pemimpin keagamaan juga karena seringkali mereka memiliki peran ganda yang lebih luas pada bidang-bidang lain seperti sosial-budaya, politik, ekonomi dan hankam. Dalam aspek sosial-budaya para tokoh agama dapat berperan sebagai agen pengembangan masyarakat, karena tokoh agama melalui dalil-dalil keagamaan dapat mendukung dan memperkokoh pengembangan masyarakat yang dikehendaki. Di bidang politik mereka juga dapat berperan sebagai pemimpin politik yang handal, karena mampu menggerakkan massanya secara fanatik untuk mendukung aspirasi tertentu. Di bidang ekonomi para tokoh agama dapat juga berperan sebagai motivator dan fasilitator terhadap umatnya untuk ikut serta mengembangkan perekonomian masyarakat, seperti pesan-pesan spiritual dan pesan moral agar mencari nafkah

Akur 35
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

Akur
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

secara benar, secara halal sesuai dengan tuntunan agama. Terciptanya hubungan yang harmonis dalam kehidupan umat beragama pada masa yang lalu, jelas tidak terlepas dari peran dan kontribusi para tokoh agama tersebut, dan bahkan keharmonisan ini telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Namun sayangnya keharmonisan tersebut seakan runtuh, bersamaan dengan runtuhnya Orde Baru dengan merosotnya peranan tokoh agama dan ketidak-berdayaan masyarakat untuk menangkal konflik-konflik yang terjadi. Diduga hal ini terkait erat dengan kebijakan sosial, politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru yang sangat sentralistik dan kurang menghargai potensi-potensi lokal. Banyak kritik yang dilontarkan terhadap proses pemberdayaan tokoh agama pada masamasa yang lampau, seperti terjadinya kooptasi terhadap tokoh agama secara tidak proporsional, khususnya untuk kepentingan politik penguasa, demi untuk mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya pengaruh dan kewibawaan mereka yang signifikan berkurang terhadap masyarakat luas. Demikian pula pengendalian tokoh agama yang terlalu kuat, khususnya bagi mereka yang menolak dikooptasi atau tidak sejalan dengan kemauan pemerintah, hal itu mungkin secara individual, dari sisi organisasi sosial politik para tokoh agama juga mengalami pemandulan peran karena mereka dikontrol secara imperatif melalui berbagai kebijakan. Bagi mereka yang mendukung pemerintah mendapatkan fasilitas, dana dan perlakuan khusus, tetapi bagi yang berseberangan mendapatkan tekanan dan hambatan dalam bergerak. Faktor-faktor di atas dapat menyebabkan rendahnya daya kreativitas dan inovasi para tokoh agama untuk melakukan kegiatankegiatan sosial dan membangun hubungan yang harmonis di tengah masyarakat. Menyadari tentang kelemahan pola pemberdayaan di masa lalu, kini pola pemberdayaan terhadap para tokoh agama dalam rangka menciptakan ketahanan dan kerukunan pada masyarakat lokal, perlu disesuaikan dengan tuntutan masyarakat era reformasi dan otonomi daerah yang cenderung lebih bebas, terbuka dan

demokratis. Berdasarkan pengalaman masa lalu, penyelesaian masalah sosial tidak boleh lagi hanya mengandalkan semata-mata berdasarkan pendekatan keamanan atau kebijakan yang bersifat top down. Diperlukan upaya penyadaran dan pemberdayaan para tokoh agama lapisan bawah untuk lebih memahami masalah sosial di daerahnya dan untuk mencegahnya supaya negeri ini tidak hancur berantakan, mereka harus diberi kesempatan untuk memikirkan atau berbuat sesuai dengan kapasitas masingmasing. Harus diakui bahwa posisi tokoh agama dalam masyarakat bak koin mata uang yang memiliki dua sisi. Di satu sisi para tokoh agama memiliki potensi sumber lahirnya ketegangan dan konflik yang membawa kepada keadaan 'disharmony' hubungan antar umat beragama, seperti benturan kepentingan antara para tokoh di berbagai lapisan sosial, yang karena kedudukannya sebagai panutan, ketegangan itu akan diikuti oleh ketegangan bahkan konflik antar pengikut-pengikutnya. Pada sisi lain para tokoh agama juga mengandung potensi sumber kedamaian, ketenangan dan integrasi sosial yang dapat mendukung terpeliharanya hubungan harmonis antar umat beragama. Kedamaian dan ketenangan dapat lahir apabila para tokoh agama di berbagai lapisan mampu menjadi teladan, terampil memfasilitasi dan mengedepankan pesan-pesan bagi terwujudnya kedamaian, persatuan sosial antara sesama penganut agama yang diinginkan bersama. Demikianlah bila para tokoh yang berbeda agama di semua lapisan dapat saling bekerjasama, saling hormat menghormati, saling menghindari ketegangan dan konflik sosial, maka para pengikutnya masing-masing akan mengambil sikap, prilaku dan keteladanan para pemimpin mereka. Berdasarkan hal-hal di atas, maka konsep pemberdayaan tokoh agama perlu diarahkan untuk meningkatkan peranan dan posisi, serta kemampuan tokoh agama dalam membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis, damai, berakhlak mulia, serta memiliki kemampuan teknis untuk mencegah dan menanggulangi konflik dalam rangka meningkatkan ketahanan nasional. Untuk itu strategi yang ditawarkan adalah:

36

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

1. Meningkatkan kualitas para tokoh agama sebagai negarawan yang handal, dalam kaitan ini antara lain upaya yang dilakukan adalah memfasilitasi para tokoh agama untuk meningkatkan wawasan kebangsaan dan mendorong terwujudnya kader-kader tokoh agama yang berwawasan inklusif dan mampu mengembangkan wawasan multikulturalisme, melalui berbagai fasilitas pendidikan dan pelatihan. 2. Meningkatkan kualitas keterampilan para tokoh agama dalam menangani konflik sosial, seperti workshop peningkatan pengetahuan tentang konflik sosial, memberi pengetahuan dan keterampilan dalam bidang manajemen konflik, juga memberi pengetahuan dan keterampilan dalam bidang rekonsiliasi dan islah, seperti mediasi, arbitrasi dan ligitasi. 3. Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan para tokoh agama terhadap kemungkinan timbulnya konflik yang bernuansa keagamaan. Untuk itu diperlukan usaha seperti peningkatan pengetahuan tentang wawasan kebangsaan, ketahanan nasional dan kewaspadaan nasional, wawasan tentang analisis lingkungan strategis. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan program gugus tugas pemantauan, yang selain memantau keadaan masyarakat, juga dapat berfungsi sebagai agen informasi dan pendeteksi dini (early warning agent) terhadap setiap gejala yang mengarah pada gangguan kerukunan dan ketertiban keamanan. 4. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan para tokoh agama dalam

membangun jaringan lintas agama. Untuk itu perlu diupayakan terbentuknya wadah atau forum dialog umat beragama mulai dari tingkat lokal, atas prakarsa umat beragama sendiri. Di sini mereka dapat berdiskusi tentang problema-problema kerukunan di tempat mereka dan upaya-upaya pemecahannya, kemudian menyusun agenda ke depan untuk menjalin keakraban, persahabatan dan keharmonisan. Pada forum ini juga dapat digalakkan penggalian dan fungsionalisasi kearifan-kearifan lokal baik berupa norma adat, cerita-cerita, legenda-legenda yang dapat memberikan inspirasi untuk mengatasi masalah kerukunan di daerah setempat. 5. Meningkatkan kesejahteraan para tokoh agama, seperti memberikan insentif bagi para tokoh agama yang memiliki pengaruh luas dalam komunitasnya, serta memberikan reward atas prestasi para tokoh agama yang berjasa menciptakan keharmonisan hubungan umat beragama. Akhirnya, untuk mengakhiri pembicaraan tentang peran birokrat dan tokoh dalam pembinaan kerukunan umat beragama, mari kita simak pesan K.H. Wahid Hasyim, Menteri Agama Tempoe Doeloe, Dan sabarlah hatimu untuk menyusun tenaga berideologi ketuhanan, dan janganlah perhatianmu berbelok lalu menitik-beratkan pekerjaan serta bersandar pada kedudukan-kedudukan dan formalitas yang mengikat. Pesan ini dapat dipahami antara lain, bahwa birokrasi agama haruslah efisien, sementara civil society tetap bekerja keras.q Wallahu a'lam bis-shawwab.

Akur 37
BULETIN
Media Komunikasi Antar Umat Beragama

leksi Ref

BELAJAR pada Anak-anak


Mujiburrahman
bangsa kita cukup lama. Karena itu, kamu jangan takut menghadapi temantemanmu orang Belanda itu. Kalau mereka mengganggumu, lawan saja, kata saya. Apa arti menjajah itu? tanya Nawwal. Saya terdiam sejenak, lalu mencoba menjelaskan dengan bahasa yang kira-kira dapat dia pahami. Menjajah itu artinya sama dengan merampok, mengambil milik bangsa lain dengan paksa, kata saya. Nawwal manggut-manggut. Kalau begitu, penjajah itu jahat ya, katanya. Saya pun mengiyakan. Pada caturwulan pertama, rapor dibagikan. Rapor tidak dibagikan secara bersamaan, tetapi satu persatu diserahkan kepada orangtua murid secara pribadi. Masing-masing orangtua harus membuat janji terlebih dahulu, jam berapa dia akan datang. Ketika si orangtua datang, dia akan diterima langsung oleh guru untuk menerima rapor sekaligus wawancara seputar perkembangan anak. Ketika itu, isteri saya yang datang menghadap guru. Guru menjelaskan, perkembangan Nawwal cukup pesat dan baik. Cuma pernah pada suatu hari kejadian, dia menggigit teman sekelasnya hingga luka. Isteri saya kaget, lalu bertanya, siapakah anak yang digigit Nawwal itu. Guru tidak mau memberitahu. Ini tidak perlu

ahun 2003 silam, kala saya pertama kali tinggal di Leiden, Belanda, bersama anak dan isteri, ada satu pengalaman yang cukup mengesankan. Waktu itu, anak saya Nawwal Hikmah, masuk Basisschool (Sekolah Dasar). Dalam sistem pendidikan Belanda, Sekolah Dasar terdiri dari delapan kelas. Kelas 1 dan 2 setara dengan Taman Kanak-Kanak di Indonesia. Sekolah Dasar itu diberi nama De Leidse Houtschool, yang tidak jauh dari apartemen kami yang terletak di Boerhaavelaan. Ketika awal mula masuk ke sekolah itu, kesulitan besar yang dihadapi Nawwal adalah bahasa, karena teman-temannya dan bahasa pengantar guru dalam proses pembelajaran, semua menggunakan Bahasa Belanda. Namun anak-anak cenderung lebih cepat dan alamiah menguasai bahasa. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa asing itu. Dia mulai mengerti perbedaan antara bahasa di rumah, dan bahasa di sekolah. Di rumah kami berbahasa Banjar, di sekolah dia berbahasa Belanda. Melalui pengalaman langsung, ia menemukan arti dan fungsi perbedaan bahasa. Ketika ia mau masuk ke sekolah itu, saya pernah mengajarkan sesuatu yang salah. Orang Belanda itu dulu menjajah

38

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan

diperpanjang. Ini hanya soal anak-anak, kata guru. Tapi saya ingin minta maaf pada orangtuanya, kata isteri saya. Tidak perlu. Ini bukan soal besar, pungkas guru. Sepulang dari rumah, isteri saya langsung menuding saya. Ini gara-gara kamu mengajari anak bahwa Belanda itu penjajah yang harus dilawan dengan berani, katanya. Saya terdiam, mengaku salah. Dengan caranya sendiri, isteri saya meneliti, kira-kira siapa anak yang pernah digigit Nawwal itu, dan akhirnya bertemu juga. Isteri saya pun segera mencari orangtuanya, dan meminta maaf. Orangtua Chris, begitu namanya, dengan ramah mengatakan bahwa ia sama sekali tidak marah. Baginya, perkara seperti itu biasa terjadi pada anak-anak. Dia juga menjelaskan bahwa bapaknya (kakeknya Chris) dulu lahir di Jakarta. Karena itu, keluarganya sangat menyukai Indonesia dan sering makan di restoran Indonesia yang ada di Belanda. Ketika isteri saya menceritakan latar belakang keluarga Chris ini, dengan bercanda saya katakan, Berarti dia benar-benar keturunan penjajah! Karena keperluan penelitian, saya kembali pulang ke Indonesia, dan Nawwal bersama ibunya ikut juga pulang. Ketika kembali ke Belanda, kami kesulitan mendapatkan tempat tinggal di Leiden, sehingga harus tinggal di Amsterdam. Di kota besar ini, Nawwal kembali masuk Basisschool, yang kali ini bernama De Notenkraker, yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal kami di Haarlemmermeerstraat. Amsterdam adalah kota yang amat heterogen dan banyak kaum pendatang. Maka Nawwal mendapatkan banyak teman dari berbagai bangsa, termasuk orang-orang Muslim dari Maroko, Etiopia dan Turki. Setelah kurang lebih setahun di Amsterdam, saya akhirnya mendapatkan apartmen di Leiden, tepatnya di Boerhaavelaan. Karena kantor saya berada di Leiden, saya memutuskan untuk pindah. Maka otomatis sekolah Nawwal

pindah lagi. Kali ini ia masuk ke Basisschool di Leiden bernama Woutertje Pieterse. Di sekolah ini, Nawwal juga bertemu dengan banyak kawan dari berbagai bangsa. Ada orang Vietnam, Afrika, Iran, Belanda dan Jepang. Uniknya, di antara teman-temannya itu, ada dua orang yang amat dekat dengannya, yaitu Vera yang orang Belanda, dan Nina yang orang Jepang. Suatu hari saya mencoba menggoda anak saya. Jepang itu sama saja dengan Belanda, pernah menjajah kita, kata saya. Kali ini Nawwal sudah pintar menanggapi. Tapi teman-teman saya itu kan anak-anak, bukan orang dewasa. Mereka orang-orang baik, bukan penjajah, katanya. Saya pun tertawa, dan diam-diam saya mulai belajar pada kepolosan dan ketulusan anak-anak. Akhir 2005, ketika kami mau pulang ke Indonesia karena studi saya sudah selesai, teman-teman Nawwal banyak yang sedih. Mereka ingin terus bermain dan bercanda dengannya. Maka sebagai perpisahan terakhir dengan Nawwal, Vera dan Nina, bergiliran bermalam di rumah kami. Mereka bermain sepuasnya, makan bersama, dan tidur satu kamar. Saya sungguh tersentuh dengan hubungan kemanusiaan yang akrab ini. Ketika Vera melihat Nawwal dan ibunya salat, dia tertegun dan kemudian bertanya, Kalian tadi melakukan apa? Isteri saya menjelaskan, bahwa mereka berdoa kepada Tuhan. Begitu pula ketika Nina melihat Nawwal diajari ibunya membaca buku Iqra' (pengantar dasar untuk kemahiran membaca Alqur'an), ia juga bertanya tentang buku itu. Isteri saya menjelaskan, buku itu adalah pelajaran membaca huruf Arab, sebagaimana Nina juga belajar huruf Kanji. Demikianlah hubungan antar manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama, dapat terjalin dengan indah di dunia anak-anak yang tak berdosa. Kita rupanya harus banyak belajar pada anak-anak, bukannya mengajari mereka belaka.q Wallhua'lam.

Akur 39
BULETIN

Anda mungkin juga menyukai