Biografi Suli Artawi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

Suli Artawi: Kembalikan Manisnya Mangga Probolinggo SULI ARTAWI Lahir : Probolinggo, 5 Mei 1955 Alamat : Desa Alaskandang,

Kecamatan Besuki, Kabupaten Probolinggo Istri : Jumiati Anak : - Indah Adistya - Lestari Ramadani Pendidikan : SMP Pekerjaan : Petani mangga Organisasi : - Ketua Kelompok Tani Sumber Bumi Probolinggo - Ketua Gapoktan Hasil Tani Probolinggo Penghargaan : 1. Penghargaan dari Menteri Pertanian (2006) karena mengangkat kembali nama mangga Probolinggo 2. Penghargaan dari Menteri Pertanian (2008) karena melestarikan keberadaan mangga Probolinggo 3. Penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai sosok pendukung ketahanan pangan Siapa tak kenal buah mangga ("Mangifera indica L") yang daging buahnya terasa manis dan segar itu. Buah mangga ini boleh dibilang memiliki posisi penting dalam dunia buah Indonesia. Bukan hanya biasa menjadi tanaman perindang halaman bagi sebagian anggota masyarakat, dan sekadar dinikmati buahnya. Namun, bagi mereka yang jeli, mangga adalah buah yang sangat menguntungkan. OLEH DAHLIA IRAWATI Salah satu yang menganggap buah mangga adalah sebagai "jalan hidup dan harga diri" adalah Suli Artawi (56), seorang petani dan eksportir mangga yang hingga kini tidak punya lahan khusus mangga, selain di halaman rumahnya di Probolinggo, Jawa Timur. Mangga probolinggo adalah jenis mangga yang cukup terkenal di samping mangga-mangga unggulan Indonesia, seperti mangga indramayu, mangga gedong, dan mangga gedong gincu. Dengan mangga, Suli telah mengangkat nama Probolinggo ke kancah buah internasional. Dialah yang sejak tahun 2000 mengekspor mangga probolinggo ke Singapura dan kini juga melayani Hongkong. Jadi jangan kaget jika anda jalan-jalan ke dua kota tersebut dan anda menikmati jus mangga, kemungkinan bahan bakunya adalah mangga asal Probolinggo. "Ada kebanggaan ketika mangga kita bisa bersaing di tingkat internasional. Artinya, kalau kita benar-benar serius merawat mangga, kita bisa mengharumkan nama bangsa di tingkat internasional," ujarnya. Selain Indramayu dan Cirebon, Probolinggo merupakan salah satu sentra buah yang aslinya berasal dari India dan menyebar ke Asia Tenggara itu. Sayangnya, menurut Suli, selama ini masyarakat tak begitu serius merawat mangga. Tanaman mangga dibiarkan tumbuh begitu saja, tidak dipupuk atau disiram, dipetik asalasalan. Dan, saat tidak lagi menguntungkan, ditebang begitu saja. Menurut Suli, sudah banyak orang enggan menanam mangga karena dinilai terlalu ribet mengurusnya, dengan hasil yang tidak maksimal. Setidaknya Suli mencatat, sudah lebih dari 100.000-an pohon mangga di Probolinggo ditebang karena dinilai tidak lagi menguntungkan. Masyarakat beramai-ramai menggantinya dengan pohon sengon yang

secara ekonomis lebih menghasilkan. Seperti juga di sejumlah kawasan di Jawa. pohon sengon kini menjadi salah satu tanaman yang banyak ditanam di berbagai lahan petani. "Harga jual mangga tidak bagus karena petani sendiri. Mereka memetik mangga saat masih terlalu muda sehingga rasanya asam dan tidak layak jual. Coba kalau mangga dipetik tepat waktu, harga jualnya akan tinggi,' ujar pria lulusan SMP itu. Memetik Pemahaman bertani mangga dengan benar itulah yang kini ditularkan Suli ke berbagai kelompok tani di pelosok Tanah Air. Untuk itulah, hari-hari Suli kini lebih banyak diisi dengan melatih petani-petani mangga yang butuh bantuannya. Salah satu kelompok tani asal Nganjuk, Jawa Timur, misalnya, setelah dilatih selama beberapa saat, kini mampu mengekspor mangga produksi mereka sendiri."Kebanyakan orang bisa merawat tanaman mangga mereka. Namun, yang dilupakan adalah saat memetik.Orang cenderung asal-asalan memetik buah mangganya sehingga kualitas rasanya jelek. Hal inilah yang harus disadari petani," ujarnya. Selain menularkan ilmu soal kualitas mangga. Suli juga menjadi petani pemulih lahan mangga telantar menjadi produktif kembali. Suli menyewa lahan-lahan telantar petani selama beberapa tahun, memulihkan tanaman mangganya agar kembali berproduksi. Setelah itu, Suli mengembalikannya kepada petani tersebut jika ia berminat meneruskan penanaman mangga. "Saya menyewa lahan tersebut salah satu tujuannya agar tanaman mangga tidak ditebang dan diganti tanaman lain. Rata-rata lahan mangga telantar oleh pemiliknya. Awalnya mau dijadikan lahan tanaman sengon," tambah Suli. Ia memang menjalankan upayanya dengan sungguh-sungguh. Setiap mendengar ada pohon mangga yang akan ditebang, Suli mendekati pemiliknya dan mengatakan bahwa produksi tanaman mangga itu bisa dipulihkan kembali. Jika si pemilik berkeras tetap akan memangkas tanaman mangganya, Suli baru menyatakan ingin menyewa lahan tersebut. Ia menuturkan kepada si pemilik lahan akan membuktikan bahwa tanaman mangga tersebut bisa kembali produktif. Lambat laun lahan mangga sewaan Suli menumpuk.Kini ada 40 hektar lahan tanaman mangga Suli yang semuanya adalah lahan sewaan dari orang lain. Suli memang bukan pemain baru di bisnis mangga. Dia menggeluti bisnis mangga sejak tahun 1982 (menyetor mangga ke berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta dan daerah lain). Namun, uniknya hingga kini tidak mempunyai lahan mangga sendiri selain yang ada di halaman rumahnya. "Ya, saya justru tidak punya lahan sendiri. Selama ini saya bertani dengan menyewa lahan milik orang. Tidak masalah, asal saya tidak melihat lagi pohon-pohon mangga ditebangi," tutur Suli. bagi dia, mangga tidak hanya dilihat secara ekonomi. Namun, mangga merupakan harga diri dan masa depan bangsa."Kalau mangga-mangga kita menguasai luaar negeri, tentu kita akan bangga. Citra bangsa kita pun akan ikutan baik," katanya. Suli kini bisa mengekspor 1-3 ton mangga setiap hari (saat musim) ke Singapura dan Hongkong. Beberapa negara lain di Asia juga sebenarnya minta dikirimi buah mangga, tetapi karena belum bisa mencukupi kebutuhan tersebut, kerjasama dengan negara-negara itu belum bisa direalisasikan. Untuk menarik minat orang lain menanam mangga, Suli menampung mangga petani dengan harga di atas rata-rata. Asalkan mangga tersebut dirawat dengan benar. Mangga yang semula hanya laku Rp 4.000 per kilogram di pasaran, kini setelah dirawat harganya minimal Rp 8.000 per kilogram. Usaha Suli tidak sia-sia karena kini banyak orang di kampungnya ikut-ikutan berkebun mangga dengan benar.Mereka kini pun menjadi penyuplai mangga siap ekspor bagi Suli. Masyarakat pun mulai kembali merasakan "manisnya' mangga Probolingo.

Suli, Duta Mangga Probolinggo


LAKSANA AGUNG SAPUTRA [ kompas.com, Senin, 2 Februari 2009 | 00:45 WIB ] Jika di Singapura Anda menemukan mangga arumanis, mungkin itu adalah mangga asal Probolinggo. Bukan mengada-ada, sebab Suli Artawi telah menjadi dalang menjalarnya mangga Probolinggo hingga ke negeri itu. Suli, warga Kabupaten Probolinggo, itu berprofesi sebagai petani, pedagang, sekaligus eksportir mangga. Sudah delapan tahun terakhir ia mengekspor mangga ke Singapura. Merek dagangnya Sumber Bumi. Namun, tulisan Mangga Probolinggo tetap dia pertahankan, mendampingi merek dagang di kardus kemasannya. Dari dulu Probolinggo terkenal dengan mangga arumanis. Jadi, brand itu saya pertahankan sekaligus mengenalkannya kepada masyarakat yang lebih luas, kata Suli di rumahnya di Desa Alaskandang, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo. Mangga Probolinggo, kata Suli, punya keunggulan dibandingkan mangga dari daerah lain, di antaranya rasa yang manis, tahan lama, dan tekstur dagingnya lembut. Dari tes yang dilakukan importir Jepang, mangga Probolinggo berkadar gula 17, sedangkan mangga Sri Lanka yang dijadikan pembanding kadarnya 14. Setiap musim panen, Agustus-Desember, Suli mengirim mangga ke Singapura, rata-rata 3 ton per hari. Sebenarnya, permintaan dari importir banyak, tetapi karena kewalahan menyediakan mangga kualitas ekspor dalam jumlah besar, Suli baru memenuhi sebagian. Volume ekspor mangga Suli baru 20 persen dari total penjualannya dalam setahun, 80 persen sisanya dipasarkan di dalam negeri, seperti Jakarta dan Surabaya (40 persen), Medan (15 persen), serta Samarinda, Pekanbaru, Pontianak, dan Jawa Timur. Dari 800 ton mangga, omzetnya pada musim panen 2008 sekitar Rp 3 miliar. Ia dibantu 70 karyawan yang bekerja mulai dari kebun sampai pengemasan. Kebunnya seluas 7 hektar, sedangkan total luas lahan kelompok tani yang didirikannya 64 hektar. Atas keberhasilannya membudidayakan mangga berkualitas ekspor, kebun Suli dan kelompok taninya menjadi laboratorium terbuka bagi mereka yang ingin belajar. Berbagai kelompok tani dari Jawa Timur, bahkan kelompok tani dari Malaysia, pun datang untuk menimba ilmu. Pencapaian Suli mendapat pengakuan dari Menteri Pertanian berupa piagam penghargaan atas Prakarsa dan Prestasi Dalam Upaya Pengembangan Komoditas Mangga di Kabupaten Probolinggo. Piagam ini diberikan Menteri Pertanian pada 2006 saat meninjau kebun Suli. Pada 19 Desember 2008, ia kembali menerima penghargaan dari Menteri Pertanian di Jakarta, bersama 15 eksportir hasil pertanian se-Indonesia. Suli menerima penghargaan sebagai Eksportir Hasil Pertanian Berprestasi. Bangkrut dan bangkit Apa yang dicapai Suli tak datang dengan mudah. Ia perlu 12 tahun jatuh-bangun sebelum menuai kesuksesan. Selepas putus kelas I SMA di Jakarta pada 1974, ia kembali ke kampung halaman, Probolinggo. Pada 1976 ia bekerja menjadi sopir angkutan di Kota Probolinggo.

Profesi itu dilakoni selama dua tahun. Suli lalu melirik usaha berdagang mangga. Inspirasi muncul dari keprihatinannya melihat mangga milik sang kakek ditebas tengkulak dengan harga murah. Pada 1982 ia mulai berdagang mangga dengan sistem konsinyasi. Setiap minggu, ia mengirim mangga setengah truk ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta. Saat itu saya masih bujangan, tak punya apa-apa. Untuk modal, saya berutang pada saudara, kenang Suli. Selama delapan tahun ia menjalankan bisnis mangga. Namun sejatinya, naik-turunnya bisnis mangga Suli pada periode ini berakhir dengan kerugian. Maka, sawah, mobil, dan sepeda motor yang dimilikinya dijual untuk menutupi kerugian. Namun, utangnya masih terserak di mana-mana. Pada 1990 Suli bangkrut. Utangnya menumpuk hingga Rp 100 juta. Di tengah kekalutan, ia memutuskan berhenti berbisnis mangga. Ia pergi ke Bandung mencari peruntungan baru. Di sini ia bekerja sebagai penjaga malam gudang buah milik seorang juragan di Pasar Ciroyom. Upahnya Rp 20.000 per hari. Dua bulan di Bandung, ia kembali ke Probolinggo karena kangen orangtua. Kembali Suli mencoba berbisnis mangga. Pada 1991 ia kepincut menjadi aparat dan mencalonkan diri menjadi kepala desa. Tak punya uang, ia berutang tiga sapi. Ternyata Suli kalah. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Utang saya yang Rp 100 juta dulu belum terbayar, malah bertambah utang tiga sapi, kenangnya. Satu tahun kemudian, ia menikahi Jumiati. Meski kondisi ekonominya morat-marit, bisnis mangga terus dilakoni. Berbagai upaya dia lakukan, antara lain dengan mengirim mangga kualitas ekspor dengan kemasan kardus. Pada tahun ini pula, Suli menggunakan merek Sumber Bumi. Tahun 1994, sejumlah pedagang dari Jakarta, Medan, dan Samarinda datang ke rumahnya untuk berbisnis mangga. Usaha Suli mulai menggeliat. Utangnya yang Rp 100 juta dan tiga sapi terbayar lunas pada musim panen tahun ini. Seiring bertambahnya pengiriman mangga, terutama ke Medan, ia mulai mengenal pasar ekspor. Pada 2000 Suli memutuskan untuk mandiri, menembus langsung importir di Singapura. Awalnya ia mengekspor 2 ton mangga per minggu ke Singapura. Sekarang ekspornya 3 ton per hari atau 21 ton per minggu atau meningkat sekitar sepuluh kali lipat dalam delapan tahun. Bahkan, pada 2009, importir dari China memesan 20 ton mangga per minggu dan importir dari Malaysia 12 ton mangga per minggu. Sekolah di kebun Suli tak berpendidikan formal pertanian. Saya belajar cara membudidayakan pohon mangga dari membaca buku dan coba-coba di kebun. Saya ini sekolah di kebun, kata pria yang lebih senang disebut petani mangga itu. Salah satu temuannya yang tepat guna dan murah adalah cara mengurangi hama lalat buah. Caranya dengan menggantung plastik berisi kapur barus di dahan pohon mangga. Pergulatannya di kebun membuat dia belakangan ini sering diundang menjadi pembicara dalam seminar soal mangga. Namun, Suli mengaku gamang jika diminta presentasi di gedung atau hotel. Bagaimana bisa menjelaskan mangga di hotel? Saya lebih senang kalau orang datang ke kebun saya, melihat langsung cara budidayanya, katanya. Sampai sekarang ia tetap ke kebun. Pada masa perawatan, setengah hari ia habiskan di kebun.

Meski usahanya sukses, Suli belum puas. Mangga yang diekspornya tak semuanya dari Kabupaten Probolinggo. Sebab, stok mangga kualitas ekspor dari kabupaten itu terbatas. Guna memenuhi permintaan, ia berburu mangga dari sejumlah daerah yang mutunya setingkat dengan mangga Probolinggo kualitas ekspor. Masalahnya, belum banyak petani yang punya kesadaran merawat secara serius pohon mangganya agar menghasilkan buah berkualitas ekspor. Padahal, mangga kualitas ekspor di tingkat petani harga jualnya minimal tiga kali lipat harga lokal. Kondisi itu bertambah berat karena pemerintah daerah pun kurang berupaya mengembangkan pertanian mangga meski citra Kabupaten Probolinggo sebagai daerah mangga sudah dikenal. Sebenarnya pemerintah daerah tinggal mengembangkannya. Saya mengimpikan, suatu hari nanti mangga yang diekspor semuanya dari Kabupaten Probolinggo, katanya. Di sisi lain Suli khawatir, suatu hari nanti justru Kabupaten Probolinggo sebagai daerah mangga hanya tinggal nama besar.

Anda mungkin juga menyukai