Anda di halaman 1dari 17

http://inspiratifstory.wordpress.

com/2012/07/25/pengusaha-tempe-yang-suksesdengan-ide-kreatif-2/
Pengusaha Tempe Yang Sukses Dengan Ide Kreatif 2
July 25, 2012 inspiratifstory Leave a comment Go to comments

Di usia muda Muhammad Rusyad Isnadi (34) sudah mencatat kesuksesan sebagai pengusaha.
Berkat tempe mentega produksinya, ia bisa mendapat keuntungan minimal Rp 400.000 per
hari. Tak aneh ia tidak tertarik lagi menjadi pegawai negeri.
Isnadi, warga Dusun Wiyoro, Baturetno, Banguntapan, Bantul, memulai usahanya setelah
gempa dahsyat melanda wilayah Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) pada tahun 2006.
Sebelumnya, ia malang melintang menjadi tenaga pemasaran bahan pokok ke pasar-pasar.
Bosan menjadi tenaga pemasaran yang terus bergerak ke seluruh pasar, ia ikut bekerja di
tempat adiknya.
Saya ikut membuat tempe di tempat adik karena bingung mau kerja apa, katanya saat
ditemui di tempat usahanya beberapa waktu lalu.
Setelah cukup menguasai teknik pembuat tempe kedelai, Isnadi memutuskan membangun
usaha sendiri.
Kalau lama-lama ikut di tempat adik saya, takut menjadi beban. Jadi, mending buka usaha
sendiri. Keputusan itu saya ambil setelah saya yakin bisa membuat tempe sendiri, ujarnya.
Seperti yang lazim terjadi, awal usaha adalah masa-masa tersulit. Ia harus memasarkan tempe
sendiri ke pasar-pasar.
Dari setiap tiga orang yang ditawari paling hanya satu yang mau menerima titipan tempe.
Meski banyak ditolak, ia tidak menyerah.
Pengalaman bekerja sebagai tenaga pemasaran membuat saya tidak kecil hati meski ditolak
banyak penjual. Yang penting jangan malu menawarkan. Ternyata prinsip saya itu
membuahkan hasil, katanya.
Selama dua tahun membuat tempe, usaha Isnadi tidak mengalami perkembangan berarti.
Kondisi tersebut membuatnya penasaran.
Ia bermimpi memiliki usaha tempe yang sukses. Suatu ketika ia menceritakan kondisinya itu
kepada seorang teman.
Teman saya menyarankan agar saya mencoba mencampur tempe dengan mentega. Idenya
memang konyol, tetapi akhirnya saya coba, katanya.
Lebih gurih dan lezat

Mentega ditambahkan saat proses peragian tempe. Berkat tambahan mentega, tempe kedelai
Isnadi menjadi lebih gurih dan lezat.
Respons pasar pun sangat positif. Permintaan terutama datang dari warung-warung makan di
sekitar kos-kosan mahasiswa dan penjual gorengan.
Kini, setiap hari Isnadi memproduksi 6 kuintal kedelai. Dari jumlah tersebut diperoleh sekitar
2.200 potong tempe seharga Rp 3.000 per potong.
Dibandingkan dengan tempe lain, harga produksi tempe Isnadi lebih mahal. Kalau tempe
lain paling dijual sekitar Rp 2.000 per potong. Meski lebih mahal, ternyata permintaannya
justru naik terus, katanya.
Omzet Isnadi per hari Rp 4 juta-Rp 5 juta. Dia harus mengerahkan 31 karyawannya yang
sebagian besar adalah tetangga sekitar rumahnya. Penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi
membuat Isnadi disenangi para tetangganya.
Untuk urusan penjualan, Isnadi memiliki 19 tenaga pemasaran. Mereka diberi kelonggaran
mengambil keuntungan sampai 10 persen dari harga jual. Mereka juga menerima uang bensin
Rp 2.500 per hari dan uang penggantian oli setiap bulan.
Tingginya permintaan membuat kami kewalahan memasok ke pasar-pasar tradisional. Para
tenaga pemasaran sudah memiliki pelanggan tetap, yang sebagian besar berupa rumah
makan, katanya.
Proses rumit
Menurut Isnadi, proses pembuatan tempe tergolong rumit. Pertama, kedelai harus direndam
dulu baru kemudian direbus. Hasil rebusan selanjutnya digiling dengan mesin khusus agar
teksturnya menjadi lembut. Setelah itu, kedelai kembali direndam selama semalam baru
dicuci dan direbus lagi.
Proses terakhir adalah pengeringan serta pemberian ragi dan mentega. Peragian menjadi
proses paling sulit. Jika takaran raginya tidak pas, tempe bisa membusuk, kata pria lulusan
SMA tersebut.
Dia mengatakan, saat musim kemarau dengan terik matahari yang lumayan, pemberian ragi
biasanya dikurangi karena suhu udara cukup panas. Sebaliknya saat musim hujan, ragi
diperbanyak.
Kalau sudah busuk, tempenya harus dibuang karena tidak bisa dijual lagi,ujarnya.
Untuk membuat tempe, Isnadi menggunakan kedelai impor karena harganya lebih murah,
yakni Rp 4.800 per kilogram. Kualitasnya juga lebih bagus.
Kedelai lokal harganya berkisar Rp 5.500 per kg dan kualitasnya tidak bagus. Kedelai lokal
lebih bagus kalau dibuat tahu, katanya.

Kapasitas produksi tempe Isnadi naik-turun seiring dengan ketersediaan tenaga kerjanya.
Biasanya, produksi akan turun hingga 50 persen pada saat hari raya, seperti Lebaran, karena
sebagian besar perajin tempe pulang kampung. Sebagian besar dari mereka dari Pekalongan,
Jawa Tengah.
Stok tempe di pasar akan berkurang drastis karena perajin libur untuk pulang kampung.
Sebenarnya saya bisa saja menambah produksi sampai 100 persen, tetapi kapasitas mesin dan
tenaga yang ada tidak mencukupi, katanya.
Berkat tempe mentega, Isnadi sudah mampu membeli mobil, membangun rumah dan lokasi
usaha. Ia berharap usahanya bisa diteruskan anaknya kelak.
Saya mulai terapkan pemahaman supaya anak tidak terpaku menjadi pegawai. Menjadi
wiraswasta asal ulet dan rajin, hasilnya jauh lebih menguntungkan, katanya.
Sikap dan pandangan Isnadi yang pantas diikuti banyak anak muda lainnya di negeri ini.
Menjadi wirausaha pun bisa lebih menguntungkan dan dapat memberikan lapangan kerja
bagi banyak orang.

http://indonesiaproud.wordpress.com/2010/02/21/rustono-raja-tempe-di-jepang/
Bangunlah JiwanyaBangunlah BadannyaUntuk Indonesia Raya!

Beranda

Catatan iProud

PesanLogo

Prihatin

Salut

Tentang Blog

Rustono: Raja Tempe di Jepang


Februari 21, 2010
tags: Akiko Aoujaga, Noemi Kuzumoto, Raja Tempe, Rustos Tempeh, Rustono,
Tsuruko Kuzumoto, William Shurtleft

Bungkus itu terbuat dari plastik putih yang


kualitasnya terlihat biasa-biasa saja. Di atasnya terdapat label bertuliskan, Rusto Tempe
Made in Japan. Di bawah label itu tertera tulisan dalam huruf kanji, yang kira-kira
menjelaskan akan kandungan produk tersebut dan beratnya.
Ada catatan kaki berbahasa Inggris dalam bungkus itu, tertulis Tempe an original, delicious
cultural food, with no cholesterol made by Rustono, an Indonesian living ini Shiga
Perfecture. It is a traditional fermented 100% soybean product. yang artinya kira-kira,
Tempe asli, makanan tradisional nan enak, yang tidak mengandung kolesterol. Dibuat oleh
Rustono, warga Indonesia yang tinggal di Provinsi Shiga (Jepang). Produk ini terbuat dari biji
kedelai yang 100 persen dibuat dengan proses peragian secara tradisional.
Tempe Rusto Made in Japan mudah didapatkan di berbagai supermarket di seluruh negeri
Matahari Terbit. Ia menjadi makanan populer di Jepang karena bangsa ini memang menyukai
produk-produk hasil peragian. Tempe Rusto dengan berat 250 gram dijual dengan harga 500
yen atau sekitar Rp 50 ribu. Di Indonesia, khususnya di Jawa, tempe seberat itu paling dijual
dengan harga Rp 1.000 saja.
Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang
terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam
Jepang. Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah
cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu
berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih
tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal
perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang
menyebutnya.

Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang


menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah
tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram
dengan label Rustos Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa
tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.
Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat
perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang
kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan
lagu Going Home dari Kenny G.
Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu
dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji,
ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di
sampingnya.
Semangat dari kerinduan
Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu, Rustono
menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. Dan berdendang dengan tiupan
saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam, tambahnya.
Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa
Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono
meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.
Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan
tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan
keputusan jalan hidup.
Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup
mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya,
seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai

berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah
tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh
hidup barunya di Kyoto.
Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan
sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain
penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga
kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa
kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk
peralatan dan meja kerja.
Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia.
Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat
maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang
belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari
kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.
Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal.
Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan
kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber
mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.
Perjalanan panjang
Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal.
Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu
bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.
Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono
kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin
tempe di seluruh Jawa.
Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe,
tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah.
Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus
dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa
menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.
Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus
melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung
jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan
bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi
peraturan daur ulang kemasan.

Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui


adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam
cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di
Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan
tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya
sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.
Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi
dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula
untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.
The King of Tempe
Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang
salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe
dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama
dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.
Dari peta penyebaran Rustos Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya
tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan
masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan
vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.
Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah
produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi
hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang
Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata
air, di atas lahan 1.000 meter persegi.
Penghargaan
Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah
The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap
dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar
belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.

Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi.
Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe.
Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.
Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai
bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal
adalah burger tempe.
Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan Makanan enak belum tentu
menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan
menyehatkan adalah tempe! Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi
bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa
menghaluskan kulit.
Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang,
Rustono menjelaskan, Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang
semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah
Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan
burgernya, bukan tempenya.
Bagi yang ingin kontak silakan hubungi beliau di rustonotempeh@yahoo.com
Sumber: GM Sudarta (Kompas), Tribun Timur, GoodNewsFromIndonesia

http://bisnisukm.com/sukses-merintis-usaha-tempe-di-negeri-sakura.html

Sukses Merintis Usaha Tempe di Negeri Sakura


Siapa sangka bila Rustono seorang mantan bell boy Hotel Sahid Yogyakarta ini
sekarang bisa sukses merintis usaha tempe di negeri sakura (Jepang).
03 March 2012 5 Komentar Pengusaha Sukses

Terlahir di kota kecil Grobogan, Jawa Tengah ternyata tidak


menyurutkan semangat juang Rustono (43) untuk meraih mimpi besarnya. Siapa sangka bila
seorang mantan bell boy Hotel Sahid Yogyakarta ini sekarang bisa sukses merintis usaha
tempe di negeri sakura (Jepang) serta mendapatkan gelar khusus yakni The King of Tempe.
Video Praktisi

Membuat Konsep Produk Coklat

Meskipun bisnisnya kini telah berkembang dengan pesat, namun perjalanan suksesnya dalam
membangun usaha tempe tidaklah semulus apa yang kita bayangkan. Setelah memutuskan
untuk menuntut ilmu di Akademi Perhotelah Sahid pada tahun 1987, Ia kemudian merintis
karirnya sebagai seorang bell boy di Hotel Sahid Yogyakarta hingga bertahun-tahun lamanya.
Pengalaman inilah yang kemudian mempertemukan Rustono dengan seorang wanita asli
Jepang bernama Tsuruko Kuzumoto, yang kini telah dipersunting sebagai istrinya.
Di tahun 1997, Rustono memutuskan untuk hijrah ke Kyoto, Jepang untuk melanjutkan hidup
baru bersama istri tercintanya. Dari sinilah perjuangan Rustono mulai dirintis dari awal. Ia
bekerja di beberapa perusahaan Jepang mulai dari perusahaan sayur-mayur higga perusahaan
roti yang semuanya menuntut ketelitian dan tanggungjawab cukup besar dari para
karyawannya. Rustono yang saat itu berprofesi sebagai seorang karyawan, mendapatkan
banyak ilmu dari masyarakat di negeri matahari terbit tersebut, baik dari perilaku hidup
sehari-hari maupun dari segi etos kerja para karyawan yang relatif cukup tinggi.
Awal Merintis Usaha Tempe

Berbekal pengalaman dan pengetahuannya di beberapa sektor industri, hati kecil Rustono

mulai terdorong untuk membuka peluang bisnis baru yang


belum pernah ada sebelumnya di Negara Jepang. Terinspirasi dari makanan nato (sebangsa
makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas orang Jepang), ayah dari Noemi Kuzumoto

ini mencoba menekuni sektor bisnis makanan dan membuat tempe dengan sedikit
pengetahuan yang pernah Ia ketahui.
Proses trial and error Ia jalani kurang lebih selama empat bulan, bahkan Ia rela pulang ke
Indonesia selama tiga bulan hanya untuk belajar membuat tempe yang lezat dari 60 pengrajin
tempe di seluruh Pulau Jawa. Kuatnya tekad dan semangat Rustono untuk terus belajar
memproduksi tempe, akhirnya membuahkah hasil manis sehingga Ia berhasil membuat tempe
yang lezat dengan bantuan ragi dari Indonesia, dan memanfaatkan sumber mata air di sekitar
kediaman mertuanya.
Setelah berhasil memproduksi tempe dengan sempurna, ternyata masih banyak kendala usaha
yang dihadapi oleh Rustono. Salah satunya yaitu mengenai izin produksi di Negara Jepang
yang cukup rumit (harus melalui berbagai tahap penelitian dan tes), serta kendala iklim alam
yang kurang bersahabat karena memiliki kelembapan udara kurang dari 60%, sehingga proses
fermentasi tempe tidak bisa berjalan maksimal tanpa bantuan peralatan khusus yang bisa
menjaga kestabilan cuaca.
Semua kendala tersebut dijadikannya sebagai sebuah tantangan baru, hingga pada akhirnya Ia
berhasil mengantongi perizinan dari pemerintah setempat dan memasarkan produk tempenya
dengan merek Rusto Tempeh yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar suasana kehidupan
kampung di Pulau Jawa. Dengan memanfaatkan kemasan produk 200 gram, sekarang ini
kapasitas produksi Rusto Tempeh bisa mencapai 16.000 bungkus setiap lima hari. Ia
memasarkan produk tempenya hampir ke seluruh kota di Jepang, baik di perusahaan jasa
boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah-sekolah, hingga ke beberapa rumah
sakit di Fukuoka.
Kerja keras dan semangat juang Rustono di negeri sakura, kini telah terbayar dengan
keberhasilan usaha tempe yang Ia rintis. Bila dulunya usaha tempe Rustono dijalankan di
rumah kecilnya, kini suami Tsuruko Kuzumoto ini telah membangun pabrik tempe di
kawasan pinggir hutan yang bermata air dan memanfaatkan lahan seluas 1.000 meter2.
Semoga kisah pengusaha sukses dari Grobogan, Jawa Tengah ini memberikan manfaat bagi
para pembaca dan menginspirasi seluruh lapisan masyarakat untuk segera memulai usaha.
Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses.
Sumber gambar :
1.
http://multiply.com/mu/sifitrina/image/2/photos/upload/300x300/RLyzlAoKCrwA
AGvLZog1/DSC01028.JPG?et=ueTsobm2UAEWNi%2BPYCWj5w&nmid=8562601
2. http://karangjunti.files.wordpress.com/2010/11/rustono.jpg?w=266&h=400

http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/10/30/rustono-pengusaha-tempesukses-di-jepang-606165.html

Rustono, Pengusaha Tempe Sukses di Jepang


REP | 30 October 2013 | 09:31

Dibaca: 1540

Komentar: 13

Tempe, aduh kayanya saya harus menyerah untuk bisa bikin tempe sendiri.
Padahal seharusnya tinggal di Negeri orang kalau mau makan makanan khas
negeri kita, harus puter otak dulu, browsing resep sana-sini dan berusaha
mengakali bahan-bahan apa yang bisa diganti dengan bahan-bahan yang ada di
Negara yang sekarang kta tinggal.

Tapi saya sudah bisa bernafas lega, setelah mengetahui ada Pak Rustono.
Pak Rustono???

Sayapun belum pernah kenalan langsung dengan beliau, tapi ketenarannya


sudah bergaung di Jepang apalagi di kalangan masayakakat Indonesia yang
bermukim di Jepang.

Pak Rustono adalah Pengusaha Tempe asal Grobogan, Jawa Tengah, yang pernah
mengecap pendidikan di Akademi Perhotelan Sahid tahun 1987, menikah dengan
Wanita Jepang dan sekarang mempunya dua orang putri. Beliau memutuskan
untuk pindah menetap di Jepang sejak tahun 1997.

Usaha Tempe Rustono terbilang sangat sukses, karena sudah 490 tempat di
Jepang dari Hokkaido sampai Okinawa, kalau lihat peta Jepang dari ujung utara
ke ujung selatan Jepang. Namun sepertinya itu belum memberikan kepuasan
bagi beliau, karena ingin mengenalkan Tempe ke Dunia luar adalah cita-cita
Bapak Rustono ini. Terbukti Tempe Rustono bisa didapatakan di Korea, Meksiko,
Hungaria, Prancis dan Polandia. Hebaat!!

Dan saya bangga juga sebagai salah satu penikmat Tempe Rustono ini, yang
menurut saya paling lezat dan memiliki rasa yang sama dengan tempe yang
biasa saya makan di Indonesia. Dibalik keberhasilan beliau saya yakin pasti ada
kerja keras dan proses yang panjang untuk bisa sampai pada kesuksesan ini.

Pak Rustono memulai usaha ini, dilatarbelakangi pada saat beliau bekerja paruh
waktu di tempat makanan, pada saat itulah beliau sadar kenapa tidak makanan
Indonesia sendiri yang dikembangkan, yaitu Tempe. Maka beliau memutuskan
belajar langsung dari para pembuat tempe di Indonesia agar bisa membuat
tempe sendiri di Jepang.
Salut dengan perjuangan beliau, karena seorang ahli tempe Jepang mengatakan
bahwa situasi dan kondisi alam lingkungan alam di Jepang, sepertinya susah
untuk membuat tempe karena ragi yang dibuat di Jepang tidak bisa seperti ragi
yang di buat di Indonesia. Namun dari pembelajaran yang didapat melalui para
pembuat tempe di Jawa Tengah, beliau akhirnya berhasil membuat ragi sendiri
untuk usaha tempenya itu.

Kegagalan-kegagalan yang ada pada proses pembuatan tempe sampai pada


akhirnya mendapatkan celah dan berhasil serta stabil dengan baik membuat
usaha tempe Pak Rustono sangat sukses dan terkenal. Walaupun begitu Pak
Rustono tetap turun tangan pada proses pembuatan tempe ini, beliau melakukan
monitoring agar tidak terjadi kekurangan atau kesalahan sampai proses
pembuatan tempe selesai.

Keberhasilan Pak Rustono dengan tempenya, tentu saja membuat orang-orang


Indonesia yang ada di Jepang ingin sekali mengikuti jejak beliau, seperti banyak
teman-teman yang memulai usahanya dengan berjualan makanan, pakaian ala
Indonesia (kebaya, gamis ala syahrini?) , sampai pada penjualan tiket maskapai
penerbangan (bagi pemegang paspor hijau yang diberi potongan harga yang
sangat menggiurkan apabila ingin mudik ke Tanah Air tercinta).

Berapa sih pendapatan Beliau untuk usahanya ini?

Ternyata beliau seperti sungkan kalau mulai berbicara tentang uang. Tapi dari
informasi beliau kalau perharinya, PALING SEDIKIT terjual 50 bungkus!
Sedangkan harga satu tempe dijual 250yen/bungkus.
Kalau dihitung matematika 50X30X250=375.000 yen perbulan atau sekitar Rp.
43.500.000 (kurs Rp116 per yen) walau itu pendapatan kasar, dalam arti belum
adanya potongan-potongan biaya pembelian bahan dan sebagainya. Tapi suatu
angka yang sangat besar, apalai 50 bungkus itu adalah paling sedikit order, yang
dterima perharinya, wah saya tambah berdecak kagum.

Dari artikel dan berita tentang keberhasilan Bapak Rustono, walaupun saya
belum kenal dan bertemutergambar sosok yang ramah dan rendah hati,
terlihat dari keinginan beliau yang mengatakana bahwa, yang terpenting dari
usaha ini adalah kepuasan kita bagaimana bisa membuat tempe yang sama dan
asli rasa Indonesia, lalu beliau ingin meng-global-kan tempe kita ini yang berarti
agar dapat mempromosikan Indonesia lebih harum dan lebih luas lagi melalui
makanan Indonesia, Tempe ini. Dan beliau bisa bangga dan senang kalau nama
Indonesia bisa lebih baik lagi di pasar dunia. Dan agar dunia tahu bahwa
Indonesia tidak bisa disepelekan lagi dan menjadi salah satu kaliber dunia dalam
perdagangan dunia.

Wah cita-cita yang sangat terpuji Pak Rustono!


Salah satu anak bangsa yang sudah mengharumkan nama Bangsa Indonesia di
belahan dunia, khususnya Jepang.

Ganbatte Kudasai Pak Rustono!!


(foto dari manuverbisnis.wordpress.com)
sumber : Majalah JIEF

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/21/20093063/Rustono..King.of.T
empe.Jepang.dari.Grobogan.
Rustono, "King of Tempe" Jepang dari Grobogan
Minggu, 21 Februari 2010 | 20:09 WIB

Terkait

Ikut Pameran, Belajar Melihat Selera Konsumen

Bos Jamsostek dan Koleksi Ribuan Dasi

Peluang Bisnis Penyewaan Mainan Anak

Adji, dari Studio Menjelma Perusahaan Iklan Terkemuka

Bisnis Kerajinan Logam Beromzet Ratusan Juta

GM Sudarta
Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang
terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam
Jepang.
Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di
sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di
sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sanasini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya
dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.
Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan
bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah
hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rustos Tempeh
bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan
di Jepang.
Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat
perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang
kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan
lagu Going Home dari Kenny G.
Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu
dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji,
ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di
sampingnya.
Semangat dari kerinduan
Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu, Rustono
menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. Dan berdendang dengan tiupan
saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam, tambahnya.
Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa

Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono
meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.
Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan
tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan
keputusan jalan hidup.
Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup
mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya,
seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai
berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah
tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh
hidup barunya di Kyoto.
Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan
sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain
penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga
kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa
kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk
peralatan dan meja kerja.
Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia.
Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat
maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang
belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari
kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.
Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal.
Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan
kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber
mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.
Perjalanan panjang
Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal.
Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu
bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.
Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono
kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin
tempe di seluruh Jawa.
Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe,
tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah.
Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus
dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa

menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.


Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus
melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung
jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan
bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi
peraturan daur ulang kemasan.
Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang.
Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen,
yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim,
mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi,
lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur
kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.
Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi
dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula
untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.
The King of Tempe
Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang
salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe
dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama
dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.
Dari peta penyebaran Rustos Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya
tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan
masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan
vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.
Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah
produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi
hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang
Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata
air, di atas lahan 1.000 meter persegi.
Penghargaan
Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah
The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap
dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar
belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.
Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi.
Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe.

Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.
Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai
bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal
adalah burger tempe.
Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan Makanan enak belum tentu
menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan
menyehatkan adalah tempe! Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi
bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa
menghaluskan kulit.
Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang,
Rustono menjelaskan, Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang
semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah
Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan
burgernya, bukan tempenya.

Editor

: Edj

Sumber

Link youtube : http://www.youtube.com/watch?


feature=player_embedded&v=yHm1ukruZ_s

Anda mungkin juga menyukai