Anda di halaman 1dari 11

Metode PNF Dikembangkan pertama kali oleh dr.

Herman Kabat (neurology/psikolog) dari Amerika Serikat pada tahun 1950-an yang kemudian dikembangkan oleh Margaret Knott (fisioterapis) dan Dorothy Voss (okupasi terapis) hingga tahun 1970-an. Pada awalnya PNF lebih ditekankan pada berbagai kasus muskuloskeletal. Tetapi kemudian dikembangkan juga untuk kasus-kasus neurology termasuk hemiplegia (stroke)Prinsip umumnya adalah dengan pemberian stimulasi tertentu untuk membangkitkan kembali mekanisme yang latent dan cadangan-cadangannya maka akan dicapai suatu gerak fungsional yang normal dan terkoordinasi.Prinsip-prinsip yang mendasari adalah: Proses tumbuh kembang Prinsip-prinsip neurofisiologis Ilmu gerak (biomekanika) Tujuan PNF pada kasus hemiplegia adalah: Menimbulkan, menaikkan, memperbaiki tonus postural Memperbaiki koordinasi gerak Mengajarkan pola gerak yang benar Beberapa dasar teori neurofisiologis yang masih sering dijadikan acuan, misalnya: Perbaikan dimulai dari proksimal ke distal (Souza et al, 1980) Stabilitas dan kontrol dari shoulder diperlukan lebih dahulu sebelum gerakan tangan Spastisitas harus diinhibisi sebelum gerak aktif ekstremitas (Bobath, 1990) Perbaikan ekstremitas atas menganut pola tertentu: proksimal ke distal, perbaikan gerak fleksi diikuti gerak ekstensi, gerak sinergis fleksor, ekstensor diikuti gerak fungsional Motor Relearning Programme (MRP) Latar Belakang Rehabilitasi pasien pasca stroke dari tahun ke tahun selalu mengalami kemajuan, tetapi kualitas rehabilitasi itu sendiri masih dipertanyakan dalam menuju perbaikan fungsi terbaik yang bisa dicapai (Carr & Shepperd, 1998). Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang menimbulkan keragu-raguan tersebut, diantaranya hasil dari latihan fungsional yang sederhana ternyata sama dengan hasil dari rehabilitasi formal, atau nyeri bahu lebih sering terjadi pada pasien stroke yang mendapat program fisioterapi.Walaupun tentunya lebih banyak penelitian-penelitian lain yang menunjukkan efektivitas dari program fisioterapi terhadap pasien stroke. Untuk itulah berbagai teknik pendekatan pada pasien stroke terus bermunculan, diantaranya Motor Relearning Programme (MRP) yang

dikembangkan oleh Janet H. Carr dan Roberta Shepherd, dua orang fisioterapis Australia pada sekitar tahun 1980-an. MRP menjadi teknik pendekatan stroke yang terpopuler di Australia pada saat ini, disamping pendekatan Bobath.Tujuan dikembangkannya pendekatan ini diantaranya adalah:Memberikan motivasi kepada fisioterapis harapan yang lebih tinggi akan hasil dari rehabilitasi pada pasien stroke Memberikan alternatif metode pendekatan/terapi pada penderita stroke Motor Relearning Programme Suatu program spesifik untuk melatih kembali kontrol motorik spesifik dengan menghindarkan gerakan yang tidak perlu atau salah Melibatkan proses kognitif dan penerapan ilmu gerak

Pelatihan kembali kontrol motorik yang berdasarkan pemahaman tentang kinematika dan kinetika gerakan normal, kontrol dan latihan motorik Tidak berdasarkan pada teori perkembangan normal Ketrampilan motorikSegala aktivitas atau gerak manusia yang terorganisasi dengan lebih baik dan lebih efektif karena latihan (Annet J, 1971).Latihan/belajar motorikSatu proses latihan dan pengalaman sehingga terjadi perubahan yang relatif permanen dalam kemampuan melakukan aktivitas yang trampil (Schmidt, 1991). Komponen-komponen penting dalam melakukan aktivitas yang trampil Keadaan lingkungan sekitar Jenis aktivitas, tempat melakukan aktivitas dan waktu melakukan aktivitas Kekuatan otot untuk melakuan gerakan Komponen-komponen dalam latihan motorik Komponen-komponen dasar Bertujuan Membutuhkan latihan dan pengulangan Dasar teori MRP Dasar teori dari MRP adalah penelitian tentang: Pemahaman tentang gerak manusia (kinematika dan kinetika) Anatomi dan terutama fisiologi saraf

Biomekanika Psikologi dan kognitif Ilmu perilaku Latihan dalam olahraga

Asumsi Proses belajar, bahwa orang dengan disabilitas memiliki kebutuhan belajar yang sama dengan orang normal Kontrol motorik: antisipasi, persiapan dan kelangsungan gerak Latihan spesifk +++, lingkungan bervariasi Input sensorik mempengaruhi gerak Plastisitas otak dipengaruhi oleh kejadian di alat gerak Peran pasien: Melatih gerakan yang sebelumnya memang telah mahir/kemampuan yang dimiliki Melibatkan kemampuan kognitifnya

Pasien ikut bertanggung jawab pada peningkatan ketrampilan dirinya Peran fisioterapis: Memberikan instruksi Menjelaskan Memberikan penilaian Mengatur lingkungan latihan/aktivitas Filosofi: Melatih vs melakukan terapi kepada pasienDidalamnya termasuk latihan aktivitas fungsional dan pengulangan latihanDimulai seawal mungkin begitu pasien dinyatakan stabil dari sisi medis Konsep dari Latihan motorik: Kognitif Atensi dan konsentrasi Instruksi

Demonstrasi Motivasi Penentuan tujuan Penilaian yang obyektif Latihan yang konsisten Arahan manual Catatan kemajuan Latihan dengan aktivitas spesifik Manipulasi lingkungan

Langkah dalam MRP (Carr and Shepherd, 1998) Analisa aktivitas Observasi Perbandingan Analisa

Catat komponen pokok yang hilang atau salah Komponen pokok: penting dalam aktivitas tersebut kebutuhan dari sisi biomekanika berkait dengan spatial-temporal, grup otot dan lain-lain proses ini berlangsung selama terapi

Melatih komponen-komponen yang hilang Penjelasan identifikasi tujuan Instruksi

Latihan + feedback verbal dan visual + mengarahkan gerak dengan pegangan Latihan keseluruhan aktivitas Penjelasan identifikasi tujuan Instruksi

Latihan + feedback verbal dan visual + mengarahkan gerak dengan pegangan Evaluasi ulang Merangsang fleksibilitas

Pada langkah 2 dan 3, hal-hal yang penting: Latihan secara keseluruhan atau per komponen Gerak motorik dilatih secara keseluruhan sesegera mungkin

Mungkin diperlukan arahan manual untuk memungkinkan latihan gerak motorik keseluruhan, juga gerakan yang salah, dimana akan memberikan efek positif pada irama gerakan atau aktivitas Kelurusan tubuh (body alignment) harus dijaga

Latihan: Variasi dalam berlatih merupakan hal penting Perlu diperkuat dengan feedback yang sesuai Kuantitas dan kualitas latihan sangat penting

Tujuan feedback: Pemahaman tentang hasil terapi, menghasilkan belajar yang cepat dan bersifat permanen Pemahaman tentang kinerja, variable terpenting dalam pembelajaran motorik Waktu pemberian feedback:

Seketika Mungkin diperlukan untuk memotivasi dan mempertahankan pasien tetap siaga Berguna pada awal dari latihan dalam mengkoreksi kesalahankesalahan yang fatal Bentuk komunikasi dengan pasien

Pada akhir sesi: Kinerja yang buruk saat fase akuisisi Menghasilkan retensi yang lebih baik Perlu untuk meyakinkan waktu optimal pemberian feedback

Terlalu pendek/cepat: menyebabkan ketergantungan Terlalu panjang/lama: tidak cukup petunjuk untuk belajar efektif Arahan manual yang efektif Memperbaiki kinerja (performance) Memberikan ide gerakan

Bantuan dalam melatih bersamaan dengan instruksi verbal dan membuat demonstrasi lebih efektif Pada latihan yang lambat dan pada latihan yang berbahaya Mentransfer latihan ke aktivitas nyata Kesempatan untuk berlatih sesuai konteksnya Konsistensi dari latihan Mengorganisai latihan untuk memonitor diri sendiri Lingkungan berlatih yang terstruktur Keterlibatan keluarga dan teman

Metode progresivitas Harus berlatih pada kinerja (performance) terbaik/puncak

Meningkat kompleksitasnya, makin berkurang feedback, arahan manual dan petunjuk, rubah kecepatan , tambahkan variasi Seiring dengan meningkatnya ketrampilan, maka latihan dilakukan pada lingkungan yang berbeda/bervariasi Fase kognitif: fase otomatisasi dalam belajar. Latihan hingga gerakan tersebut menjadi suatu gerakan yang otomatis. Kelebihan metode MRP Latihan sangat spesifik/individual Partisipasi aktif dari pasien Didukung oleh bukti-bukti empiris di klinik

Berdasarkan pada prinsip-prinsip neurofisiologi dan pendekatan kognitif untuk latihan/belajar yang relatif baru Prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan pada pasien dengan variasi yang banyak Kekurangan metode MRP Apabila ada gangguan kognitif pasien Latihan membutuhkan kecepatan dan pengulangan Latihan komponen vs latihan keseluruhan

Lebih ke kompensasi daripada perbaikan Secara ringkas MRP dapat dikatakan: Berdasarkan pada gerakan normal Perbaikan bersifat individual berdasarkan potensi yang dimiliki atau keadaan pasien Pentingnya assessment dan re-assessment Pentingnya aktivitas +++

Kombinasi antara observasi klinis yang baik dengan pengetahuan neuroanatomi dan neurofisiologi (neuroscience)

Sehingga latihan yang efektif adalah: Latihan aktif Sedini mungkin Aktivitas spesifik Variasi latihan Motivasi Pemanfaatan lingkungan aktivitas maksimal

pnanganan pasca stroke Stroke adalah defisit neurologis mendadak susunan saraf pusat yang disebabkan oleh peristiwa iskemik atau hemoragik (Setyopranoto, 2004). Insidensi stroke iskemik 81 % dan stroke hemoragik 19 % (Sidharta, 1995). Stroke non hemoragik terjadi akibat suplai darah berkurang (iskemia) atau terhenti pada sebagian daerah di otak tapi tidak sampai terjadi perdarahan. Sedangkan stroke hemoragik terjadi karena dinding pembuluh darah robek (akibat tekanan darah yang tinggi dan mendadak). Kondisi ini mengakibatkan fungsi otak terganggu (Misbach, 1999). Setelah penyakit jantung koroner dan kanker, stroke menduduki urutan ketiga penyebab kematian di negara barat. Insidensi stroke 25 % terjadi pada usia 65 tahun dan 50 % pada usia 75 tahun (Carr dan Shepherd, dikutip Bonita dan Beaglehole, 1992). Menurut data di Amerika Serikat, insidensi stroke adalah sekitar 500.000 orang setiap tahun, dan prevalensinya adalah sekitar 800 per 10.000 penduduk (Soeroto, 2003). Di Indonesia stroke menjadi pembunuh nomor tiga setelah penyakit infeksi dan jantung koroner (Lumbantobing, 2002). Sedangkan khusus Jawa Barat, penyakit ini sudah menjadi pembunuh nomor satu sejak tahun 1986 (Widjajakusuma, 2004). Menurut data Depkes yang dikutip oleh Setyopranoto (2004) bahwa jumlah penderita stroke yang dirawat di rumah sakit meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu contoh di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, hingga tahun 1995 rata-rata dirawat 726 penderita stroke dengan case fatality rate ratarata 37,2 %. Adapun tahun 2000, terdapat 1.000 pasien yang dirawat. Menurut Sudomo (2006) jumlah penderita stroke di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Gejala stroke harus menjadi kewaspadaan, khususnya bagi mereka yang beresiko kena stroke, seperti para pengidap darah tinggi, kencing manis, lemak (lipid) dalam darah yang tinggi, atau mereka yang mengidap penyakit jantung, atau gabungan dari penyakitpenyakit tersebut (Handrawan, 2004). Stroke merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian, kecacatan, dan biaya yang dikeluarkan sangat besar, maka diperlukan usaha pencegahan untuk terjadinya stroke primer maupun stroke sekunder. Kasus stroke juga bisa muncul sebagai stroke yang berulang. Jika serangan stroke pertama tidak ditindaklanjuti dengan

upaya menghentikan proses yang memupuk terbentuknya kembali faktor-faktor penyebab stroke, cepat atau lambat, serangan stroke susulan akan muncul lagi. Serangannya bisa muncul di lokasi otak yang sama, atau bisa juga di area otak lain dengan gejala dan manifestasi yang tentu berbeda (Hariyono, 2004). Stroke juga sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan penderita, ekonomi maupun sosial serta membutuhkan penanganan yang komprehensif termasuk upaya pemulihan dalam jangka waktu yang lama bahkan sepanjang sisa hidup pasien (Mulyatsih, 2003). Secara ekonomi, dampak dari insidensi, prevalensi dan akibat kecacatan karena stroke akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya produktifitas dan kemampuan ekonomi mulai dari ekonomi, tingkat keluarga sampai pengaruhnya terhadap beban ekonomi, masyarakat dan bangsa (Sudomo, 2006). Lumbantobing (2002) berpendapat bahwa banyak masyarakat awam yang tidak menyadari bahwa stroke sangat berbahaya. Informasi ini sering tidak didapat oleh masyarakat kalangan menengah kebawah. Yang perlu diketahui adalah sesungguhnya stroke merupakan keadaan gawat darurat. Stroke membutuhkan penanganan sesegera mungkin, sama hal nya dengan penyakit jantung. Jika pada penyakit jantung terjadi serangan jantung, sedangkan pada stroke terjadi serangan otak. Problem pada pasca stroke yang paling dominan biasanya gangguan fungsi motorik, koordinasi dan keseimbangan serta gangguan aktifitas fungsional, selain gangguan-gangguan neurologis fokal lainnya sesuai area otak yang mengalami kerusakan. Pada pasien pasca stroke ditemukan adanya gangguan fungsi motorik karena kelayuhan otot dan gangguan koordinasi dan keseimbangan (Carr dan Shepherd, 1987). Keseimbangan yang cukup tidak hanya dibutuhkan untuk berjalan tetapi juga semua aktifitas pasien yang dilakukan selama hidupnya. Kemampuan mempertahankan keseimbangan merupakan dasar untuk melakukan semua gerakan terampil yang diperlukan untuk perawatan diri dan kerja. Oleh karena itu keseimbangan sangat penting untuk mengembalikan kemampuan fungsional pasien dengan kasus pasca stroke. Selain latihan gerak fungsional itu sendiri latihan gerak fungsional diberikan dengan harapan pasien lebih mandiri dalam melakukan aktivitasnya (Davies, 1994). Tujuan fisioterapi pada penderita pasca stroke adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, dapat bekerja kembali sesuai dengan pola gerak yang normal atau mendekati normal serta menurunkan tingkat kecacatan (Sudomo, 2006). Untuk mengatasi banyaknya gangguan tersebut diatas, banyak sekali manajemen rehabilitatif yang bisa digunakan mulai dari metode tradisional sampai dengan metode aktual seperti Proprioceptif Neuromusculair facilitation (PNF), Brunstrom, Bobath, Motor Relearning Programme (MRP) dan masih banyak lagi metode pendekatan yang bisa di berikan kepada pasien

stroke yang pada prinsipnya adalah berdasarkan teori neurodevelopment, neurofisiologi dan kontrol motorik spesifik. Salah satu metode yang cocok digunakan dalam penanganan gangguan fungsi motorik, gangguan koordinasi dan keseimbangan dalam melakukan aktifitas fungsional adalah Motor Relearning Programme. Motor Relearning Programme merupakan program yang melatih kembali kontrol motorik yang berdasarkan pemahaman kinematik dan kinetik gerakan normal, kontrol dan latihan motorik. Latihan ini harus diberikan sedini mungkin sebab pelatihan motorik sedini mungkin akan meningkatkan kapasitas pembelajaran adaptasi otak (Carr dan Shepherd, 1987). Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Birgitta Langhammer dan Johan Stanghelle menunjukan hasil bahwa pasien yang ditangani dengan metode Motor Relearning Programme mendapatkan pemulihan yang lebih cepat dibanding pasien yang ditangani dengan metode Bobath. Pada 61 pasien stroke ditunjukkan hasil bahwa metode Motor Relearning Programme dapat memberikan hasil yang baik dalam meningkatkan fungsi motorik, keseimbangan dan aktivitas fungsional pasien. Dengan dipakainya metode ini, akan dapat memperpendek masa rawat inap pasien di Rumah Sakit (Langhammer & Stanghelle, 2000). Namun demikian, pilihan untuk menggunakan pendekatan selain Motor Relearning Programme pada kenyataannya masih banyak dipakai di lapangan. Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mengangkat metode Motor Relearning Programme sebagai pendekatan yang dipakai pada Karya Tulis Ilmiah ini.

Anda mungkin juga menyukai