Anda di halaman 1dari 27

Ibnu Haitham, Sang Penemu Ilmu Optik

Thursday, 23 June 2011 20:33 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Dunia mendapuknya sebagai Bapak Optik. Gelar kehormatan itu dianugerahkan kepada Ibnu Haitam atas kontribusinya dalam mengembangkan ilmu optik. Alhazen, begitu orang Barat menyebutnya, bernama lengkap Abu Ali Muhammad ibnu Al-Hasan ibnu Al-Haitham. Ia merupakan sarjana Muslim terkemuka yang lahir di Basrah, Irak pada 965 M. Sejak kecil Ibnu Haitham yang berotak encer menempuh pendidikan di tanah kelahirannya. Ia merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah. Namun ia ternyata tak betah berlama-lama berkarir di dunia birokrasi. Ibnu Haitham yang lebih tertarik untuk menimba ilmu akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai pegawai pemerintah. Ia pun lalu memilih merantau ke Ahwaz dan pusat intelektual dunia saat itu, yakni kota Baghdad. Di kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang tinggi membawanya terdampar hingga ke Mesir. Di negeri piramida itu, Ibnu Haitham meneliti aliran dan saluran sungai Nil serta menerjemahkan buku-buku tentang matematika dan ilmu falak. Ibnu Haitham juga sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar. Setelah itu, secara otodidak ia mempelajari hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat. Secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya. Penelitiannya tentang cahaya memberikan ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler yang menciptakan mikroskop serta teleskop. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku. Sayangnya, hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab Al-Manadhir, tidak diketahui lagi rimbanya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin. Kekurangpedulian umat Islam terhadap karya-karya ilmuwan terdahulu, telah membuat Islam tertinggal. Melalui Al-Manadhir, teori optik pertama kali dijelaskan. Hingga 500 tahun kemudian, teori Ibnu Haitham ini dikutip banyak ilmuwan. Tak banyak orang yang tahu bahwa orang pertama yang menjelaskan soal mekanisme penglihatan pada manusiayang menjadi dasar teori optik modernadalah ilmuwan Muslim asal Irak. Selama lebih dari 500 tahun, Al-Manadhir terus bertahan sebagai buku paling penting dalam ilmu optik. Pada 1572, karya Ibnu Haitham ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Opticae Thesaurus. Bab tiga volume pertama buku ini mengupas ide-ide dia tentang cahaya. Dalam buku itu, Haitham meyakini bahwa sinar cahaya keluar dari garis lurus dari setiap titik di permukaan yang bercahaya. Ia membuat percobaan yang sangat teliti tentang lintasan cahaya melalui berbagai media dan menemukan teori tentang pembiasan cahaya. Ia jugalah yang melakukan eksperimen pertama tentang penyebaran cahaya terhadap berbagai warna. Dalam buku yang sama, ia menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam, dan juga teori tentang berbagai macam fenomena fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi. Ia juga melakukan percobaan untuk menjelaskan penglihatan binokular dan memberikan penjelasan yang benar tentang peningkatan ukuran matahari dan bulan ketika mendekati horison. Haitham mencatatkan namanya sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra pengelihatan manusia. Ia memberikan penjelasan yang ilmiah tentang bagaimana proses manusia bisa melihat. Salah satu teorinya yang terkenal adalah ketika ia mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua ilmuwan Yunani, Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada cahaya yang keluar dari mata yang

mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, Ibnu Haitham mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat. Dalam buku ini, ia menjelaskan bagaimana mata bisa melihat objek. Ia menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan manusia. Salah satu karyanya yang paling menomental adalah ketika Haitham bersama muridnya, Kamaluddin, untuk pertama kali meneliti dan merekam fenomena kamera obsecura. Inilah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai ruang gelap. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya. Sementara dalam kitab Mizan Al-Hikmah, ia mendiskusikan kepadatan atmosfer dan membangun korelasi antara hal tersebut dengan faktor ketinggian. Ia juga mempelajari pembiasan atmosfer dan menemukan fakta bahwa senja hanya muncul ketika matahari berada 19 derajat di bawah horison. Dengan dasar itulah, ia mencoba mengukur tinggi atmosfer. Dalam buku ini, ia juga membahas teori daya tarik massa, suatu fakta yang menunjukkan ia menyadari korelasi percepatan dengan gravitasi. Selain di bidang fisika, Ibnu Haitham juga memberikan kontribusi penting terhadap ilmu matematika. Dalam ilmu ini, ia mengembangkan analisis geometri dengan membangun hubungan antara aljabar dengan geometri. Haitham juga membuat buku tentang kosmologi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani di abad pertengahan. Karya lainnya adalah buku tentang evolusi, yang hingga kini masih menjadi perhatian ilmuwan dunia.

Perkembangan Farmakologi di Era Khilafah


Kamis, 23 Juni 2011 20:43 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, ''Setiap penyakit pasti ada obatnya.'' Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmakologi dan farmasi. Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah. Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh. Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmakologi. ''Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,'' papar Turner. Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep. Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Dalam praktiknya, farmakologi dan farmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam. Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam. Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah - namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan. Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar. Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan - mengawasi dan memeriksa

seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan. Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia. Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam. Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat. Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. "Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat ini," papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?

Potret Kemajuan Dunia Kedokteran dalam Sejarah Islam


Thursday, 29 July 2010 08:23 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ilmuwan bernama Ehsan Masood mengungkap fakta. Dalam bukunya, 'Science in Islam', ia menyebutkan bahwa ilmu kedokteran merupakan bidang sains yang paling produktif di masa awal Islam. Ini bukan begitu saja terjadi, namun ada latar belakang sebagai pijakan berkembangnya ilmu kedokteran. Aspek medis dan kesehatan, sudah mendapat perhatian besar Rasulullah SAW semasa hidupnya. Inilah yang mengilhami pencapaian luar biasa umat Islam dalam ilmu kedokteran. Banyak ayat Alquran dan hadis yang berkaitan dengan persoalan kesehatan. Di lapangan, umat telah mempraktikkan ajaran Nabi Muhammad terkait kesehatan. Bahkan, para Muslimah misalnya, secara sukarela menjadi tenaga perawat untuk mendukung perjuangan yang dilakukan pasukan Islam dalam sejumlah pertempuran. Pemanfaatan teknik pengobatan dan ilmu kedokteran terus berlanjut. Pada masa selanjutnya, terjadi pula transfer ilmu dari masa Yunani kuno. Literatur-literatur medis dari peradaban lama diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Suriah pada abad ke-7 hingga ke-9. Khalifah al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, mendorong gerakan gerakan pengalihbahasaan literatur penting itu. Bahkan, khalifah memberikan imbalan besar bagi ilmuwan yang melakukan penerjemahan. Tak jarang, proses penerjemahan juga melibatkan para sarjana Kristen atau Yahudi. Salah satu karya besar yang diterjemahkan adalah buku de Materia Medica yang ditulis pada abad ke-1 oleh Dioscorides. Dia adalah dokter bedah asal Yunani yang bekerja di kententaraan Romawi. Beberapa karya monumental dari Gelanus, dokter asal Yunani, turut dialihbahasakan. Salah satu penerjemah paling masyhur adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873). Tokoh kelahiran al Hira ini tercatat sudah menerjemahkan sekitar 116 karya, termasuk menuliskan 21 buku bidang kedokteran. Islam juga mengenal sejumlah penerjemah lain, seperti Jurjis ibnu Bakhtisliu dan Yuhana ibn Masawaya. Selain itu, penerjemahan literatur medis dari para dokter dan tabib India serta Persia kuno juga gencar dilakukan. Peter E Poorman dan Emilie SavageSmith melalui bukunya, Medieval Islamic Medicine, mengatakan teks itu menjadi rujukan. Berdasarkan teks-teks terjemahan, ujar mereka, para ilmuwan Muslim meneliti, menyempurnakan, sekaligus mengembangkan teknik pengobatan baru. Agar mudah dipahami, dipelajari, dan diaplikasikan, umat Islam membuat karya itu lebih sistematis. Ini terwujud lewat daftar indeks, ensiklopedia, atau kesimpulan. Para ilmuwan Muslim juga memadukan teknik medis dari beragam peradaban sehingga ditemukan cara pengobatan yang lebih baik. Atas dasar fakta tersebut, tak heran jika Poorman dan Smith kurang sependapat dengan anggapan bahwa dokter Muslim hanya mengambil mentah-mentah ilmu kedokteran dari Yunani kuno. Sejarawan Philip K Hitti menyatakan, ketika Eropa memasuki zaman kegelapan, peradaban Islam mengalami masa keemasan. Termasuk, dalam ilmu kedokteran. Ia mengungkapkan, banyak kemajuan yang mampu dicapai bangsa Arab pada masa tersebut. Mereka, jelas Hitti, membangun apotek pertama, sekolah farmasi, dan buku daftar obat-obatan. Berdiri pula banyak balai pengobatan serta rumah sakit besar di sejumlah kota utama Islam. Misalnya, Damaskus, Kairo, hingga Baghdad, yang menandai kegemilangan kaum Muslim di ranah kedokteran. Sir John Bagot Glupp, seorang sejarawan, mengatakan pada masa itu rumah sakit di dunia Islam berfungsi ganda. Rumah sakit tak hanya untuk merawat pasien, tetapi juga tempat para dokter mengasah dan mengembangkan keahliannya. Layaknya sekarang, rumah sakit Islam tak membedakan latar belakang pasien.

Baik pemeluk Islam, Kristen, maupun Yahudi, semuanya memperoleh pelayanan terbaik dan tanpa mengeluarkan dana sepeser pun. Tenaga dokter dan perawatnya berasal dari beragam etnis dan agama. Catatan sejarang menyingkap, rumah sakit pertama berada di Damaskus pada 707 Masehi. Rumah sakit itu dibangun pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid ibnu Abdul Malik. Bahkan, untuk pertama kali, rumah sakit ini mengenalkan sistem dokter spesialis. Pada 872 Masehi, rumah sakit umum dibangun di Kairo. Di kota yang sama, berdiri pula rumah sakit paling modern abad pertengahan, yaitu RS al-Mansuri. Rumah sakit ini dibangun Sultan alMansur pada 1285. Menurut pakar sejarah, Will Durant, tersedia fasilitas lengkap di sana. Di samping terdapat ruang perawatan pasien, ada pula laboratorium, perpustakaan, dapur, kamar mandi, gudang obat-obatan, serta ruang studi. Pada abad ke-11, di setiap kota Islam sudah berdiri beberapa rumah sakit. Kordoba di Spanyol, setidaknya memiliki 50 rumah sakit yang representatif pada masa Abu al-Qasim alZahrawi (Abulcasis). Di Tunisia, Pangeran Ziyadad I membangun RS al Qayrawan pada 830 Masehi. Fasilitas umum itu dibangun di Kota al-Dimnah. Rumah sakit ini telah menerapkan pemisahan antara kamar rawat pasien dan ruang tunggu pengunjung. Lalu di Maroko, Khalifah al-Mansur Ya'qub ibnu Yusuf pada 1190 membangun RS Marakesh. Ini menjadi rumah sakit terbesar dan terindah pada masanya. Sebuah taman asri membuat suasana rumah sakit ini menjadi begitu nyaman. Studi kedokteran turut berkembang. Sir John Bagot Glubb menjelaskan, sekolah kedokteran Islam pertama hadir di Kota Baghdad pada masa kekhalifahan Abdullah al Ma'mun (786-833). "Ketika sistem sudah terbangun, para dokter dan ahli mendapat tugas memberikan kuliah bagi para siswa kedokteran," paparnya.

Sumbangsih Islam untuk Kemajuan Teknik Mesin


Wednesday, 21 July 2010 08:55 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengembangan teknologi telah dirintis lama. Umat Islam ikut memberikan andil di dalamnya. Paling tidak, hal ini bisa diketahui melalui berbagai temuan dan pembuatan peralatan mekanik oleh cendekiawan Muslim. Karya paling menonjol dihasilkan oleh Badi al-Zaman al-Jazari dan Taqi al-Din. Sebagian teknologi peralatan yang berhasil dikembangkan itu diyakini turut membantu dimulainya revolusi industri di Barat. Beragam peralatan itu tak hanya bernilai estetik, tetapi juga memiliki fungsi membantu pengembangan perta nian, baik industri maupun keperluan sehari-hari. Melalui al-Jazari dan Taqi al-Din, yang tercatat sebagai insinyur yang berpenga ruh pada bidang teknologi permesinan, generasi ilmuwan berikutnya dapat menemukan rujukan mengenai poros engkol, misalnya. Juga, katup yang kini mewujud pada mesin pembakaran internal. Profesor Salim al-Hassani dari Universitas Manchester, Inggris, memuji kejeniusan mereka. Menurut dia, al-Jazari dan Taqi al-Din adalah penemu dan perancang peralatan permesinan awal di dunia Islam. Ia telah melakukan penelitian dan kajian terhadap rancangan mesin al-Jazari dan Taqi al-Din. Selain mengandalkan analisis matema tika, Hassani melakukan pengukuran perinci memakai simulasi komputer gra fis. Hasilnya, unjuk kerja peralatan kuno memiliki karakteristik serupa dengan peralatan modern yang ada. Tak heran jika sejumlah kalangan menyematkan Bapak Teknik Modern pada al-Jazari. Sejarah mencatat al-Jazari sebagai tokoh besar di bidang mekanik abad ke-12. Ia lahir sekitar 1136 Masehi di alJazira, sebuah kawasan antara Sungai Tigris dan Eufrat. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Diyar Bakir, Turki. Di sana, dia menuangkan pemikiran dan berkarya. Ini merupakan masa ketika orang-orang berbahasa Turki mulai menguasai bagian dunia tersebut. Pada tahun 1174, al-Jazari bekerja sebagai ahli teknik untuk Dinasti Bani Artuq, penguasa Mesopotamia (Irak). Karena keahliannya, ia memperoleh sejumlah gelar prestisius, seperti Rais al-Amal. Gelar tersebut menunjukkan dirinya adalah pemimpin para insinyur pada masa itu. Sementara itu, gelar Badi alZaman dan al-Shaykh memberikan pengakuan sebagai ilmuwan tak tertandingi serta bermartabat. Ehsan Masood dalam Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern mengatakan bahwa alJazari juga seorang ahli komunikasi andal. Al-Jazari mampu menulis dan menggambar. Temuan-temuannya menginspirasi rancangan mesin-mesin modern saat ini. Karya fenomenalnya adalah al Jami Bain al-Ilm Wal Aml al-Nafi Fi Sinat at al-Hiyal atau The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices yang dirampungkan pada 1198 Masehi. Buku ini seluruhnya mencakup teori dan praktik mekanik sekaligus mendokumentasikan sekitar 50 temuan yang dilengkapi rancangan gambar secara teperinci. Berkat kepeloporan yang gemilang pada bidang teknik, al-Jazari turut mengangkat sejarah peradaban Islam pada abad pertengahan. Di antara desain mekaniknya yang mengundang decak kagum para ilmuwan adalah pembuatan jam gajah. Alat tersebut tepatnya berupa jam air berbentuk gajah. Jam gajah mengombinasikan prinsip air Archimedes dengan gajah India dan pengukur waktu yang menggunakan air, naga Cina, phoenix Mesir, karpet Persia, serta angka Arab. Jam tersebut dipandang sebagai pencapaian luar biasa yang memanfaatkan tekanan air untuk otomatisasi. Adanya kebutuhan untuk mengetahui waktu shalat menjadi titik penting pengembang an jam air semacam itu. Alat ini mampu menunjukkan waktu secara tepat, baik siang maupun malam, melalui simbal dan burung berkicau.

Kondisi geografis di dunia Islam memicu pula sejumlah penemuan. Air menjadi masalah krusial di wilayah kekuasaan Islam yang beriklim kering dan tanah tandus. Warga harus mencari sumber mata air bawah tanah untuk keperluan minum, rumah tangga, irigasi pertanian, industri, dan sebagainya. Untuk itulah, diperlukan alat pemompa air yang efektif. Masyarakat kuno sejatinya sudah memanfaatkan semacam peralatan pompa air, yakni shaduf dan saqiya. Shaduf digunakan secara luas oleh peradaban Assiria dan Mesir kuno. Alat itu terdiri atas balok panjang yang ditopang dua pilar dengan balok kayu horizontal. Adapun shaqiya berupa mesin bertenaga hewan dengan mekanisme gerak yang terdiri atas dua roda gigi.Al-Jazari lalu mengembangkan kedua alat ini menjadi sebuah mesin yang mampu memasok air dalam jumlah cukup banyak. Ia juga menciptakan mesin yang menggunakan balok dan tenaga binatang. Mekanisme yang melibatkan roda gigi dan engkol menggerakkan secara naik turun balok tadi. Ini adalah mesin pertama yang menggunakan engkol sebagai unsur penting sebuah mesin. Sebuah mesin kontrol mekanik merupakan karyanya yang lain. Alat itu diterapkan pada pintu besi besar yang memakai kombinasi kunci dengan baut. Dia pun merancang sejumlah peralatan automata, seperti mesin otomatis, peralatan rumah tangga, dan automata musik yang digerakkan air. Prestasi mengagumkan di bidang teknik mesin turut ditorehkan Taqi al-Din. Ilmuwan ini lahir di Damaskus, Suriah, pada 1525 Masehi. Nama lengkapnya adalah Taqi al Din Muhammad bin Maruf bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al-Shami. Ia merupakan ahli teknik terbesar di dunia Islam. Ia juga penulis produktif. Hal ini terbukti dengan 19 buku teknik yang berhasil ia tulis. Salah satunya berjudul Al-Toruq alSaniyah fi al-Alat al-Rohanyah, yang berisi deskripsi beberapa peralatan mesin kreasinya. Dalam manuskripnya, Taqi alDin menjelaskan mekanisme kerja mesin pompa. Mesin yang digerakkan oleh air ini menunjukkan kemajuan hebat yang dicapai umat Islam. Roda air yang ada di dalam mesin menggerakkan piston yang saling berhubungan. Silinder piston terhubung dengan pipa penyedot. Pipa penyedot selanjutnya menyedot air dari sumbernya dan membagikannya ke sistem pasokan air. Para ahli permesinan meyakini bahwa pompa ini merupakan contoh awal dari sistem double-acting principle. Menurut Ehsan Masood, periode kedua tokoh besar ini berkiprah merupakan puncak teknologi mekanik Islam. Yang mereka ciptakan telah membawa penga ruh luar biasa di berbagai bidang kehidupan pada zamannya. Al-Jazari dan Taqi al-Din berhasil menunjukkan betapa penting teknologi kuno dalam membentuk dunia modern.

Benarkah Manusia Purba Memang Ada?


Thursday, 15 July 2010 21:19 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--JAKARTA--Sekali-kali, tengoklah buku sejarah untuk tingkat SMP. Bab I buku itu membahas tentang sejarah manusia, yang dikaitkan dengan kemungkinan adanya jenis makhluk bernama 'manusia purba'. Mengapa teori semacam ini dimunculkan dan diajarkan di sekolah-sekolah? Perlu dicatat, Ilmu pengetahuan yang berkembang pada era dominasi Peradaban Barat sekarang ini bersumber dari paham sekularisme, utilitarianisme dan materialisme. Pahampaham tersebut menolak unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari kehidupan dan nilai yang tidak mutlak atau relatif (Harvey Cox, The Secular City, 1965). Semenjak Rene Descartes (m. 1650) menyampaikan prinsip cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) maka rasio menjadi satu-satunya pengetahuan dan satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Rasio menjadi pokok pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, credo, nilai dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan Barat modern tidak mempunyai pinjakan kuat tentang asal-usul manusia, berbeda dengan wahyu yang jelas-jelas menyebutkan manusia pertama adalah Adam. Merekapun menyusun suatu landasan teori yang menyebutkan bahwa asal-usul manusia adalah manusia purba. Teori ini 'diperkuat' dengan temuan-temuan fosil manusia purba yang berusia jutaan tahun. Maka muncul dan berkembanglah teori evolusi yang menyatakan asal usul manusia sekarang ini adalah manusia kera, kemudian berkembang menjadi manusia purba dan manusia modern. Dalam pelajaran sejarah Indonesia kita sering mendapat informasi adanya fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa lokasi di Jawa yang oleh para arkeolog diperkirakan berumur mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50 ribu tahun yang lalu (Ngandong). Terdapat kategori dua subspesies berbeda yaitu Homo erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada Homo erectus soloensis. Disebutkan bahwa mereka hidup sezaman dengan manusia modern Homo sapiens kurang lebih 50.000 tahun lalu. Namun demikian hampir semuanya sepakat bahwa nenek manusia bukan manusia model yang fosilnya ditemukan itu. Para ahli pendukung teori evolusi mengatakan bahwa makhluk itu merupakan missing link (mata rantai yang hilang) dari ras manusia. Namun bagi umat Islam dan para ilmuwan modern, keberadaan fosil manusia purba tidak pernah diakui kebenarannya. Para evolusionis (kaum yang menganut paham teori evolusi Darwin) yang memang atheis tidak punya pijakan siapa manusia pertama sehingga berasumsi bahwa manusia yang sekarang ada merupakan perkembangan dari manusia purba. Keberadaan manusia purba, termasuk binatang dinosaurus sudah banyak disangkal oleh para ilmuwan modern. Beberapa temuan terakhir justru menunjukkan bahwa teori manusia purba tidak benar alias tidak pernah ada. Selama ini kita mendapatkan pemahaman yang salah yang diberikan pada waktu pendidikan dasar, ditambah dengan rekayasa film ala holywood yang memvisualisasi keberadaan mahlukmahluk di jaman purba, di antaranya Film Jurasic Park. Keadaan menjadi bertambah parah tatkala teori tentang manusia purba yang dikemukakan oleh para evolusionis ini diberikan tempat di dalam kurikulum pendidikan dasar kita. Para ilmuwan Barat yang sebagian besar memang menganut teori evolusi memasukkan Australopithecus atau ras kera yang telah punah sebagai ras "nenek moyang manusia". Padahal ada jurang besar dan tak berhubungan antara kera dan manusia. Perbedaan ini yang tidak bisa dijelaskan oleh mereka selanjutnya disebut dengan mata rantai yang hilang (missing link). Adapun ras manusia primitif menurut mereka, sebenarnya hanya variasi dari ras manusia modern, namun dibesarbesarkan sebagai spesies yang berbeda. Faktanya, spesies yang berbeda. Fakta tidak ada urutan kronologis seperti itu. Banyak yang hidup pada periode yang sama yang berarti tidak ada evolusi, bahkan ada yang lebih tua dari jenis yang diklaim sebagai nenek moyangnya.

Tatkala para evolusionis tak juga menemukan satu fosilpun yang bisa mendukung teori mereka, terpaksa mereka melakukan manipulasi. Contoh yang paling terkenal adalah manusia Piltdown yang dibuat dengan memasangkan tulang rahang orang utan pada tengkorak manusia. Fosil ini telah mem bohongi dunia ilmu pengetahuan selama 40 tahun. Ilmuwan evolusionis yang tidak mengenal Tuhan tidak mendapatkan informasi siapa manusia pertama yang mendiami bumi ini. Oleh karena itu mereka membuat teori asal usul manusia yang dimulai dari manusia kera, manusia purba dan manusia modern. Apabila kita orang Islam mengemukakan konsep manusia pertama adalah Adam, sebagaimana disebutkan di dalam Alquran dan Hadis Nabi SAW, besar kemungkinan akan ditolak karena bertentangan dengan teori yang mereka buat. Karena dunia Barat saat ini tengah menguasai peradaban dunia, maka mereka bisa dengan mudahnya memasukkan teori-teori tersebut ke dalam kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam di negerinegeri muslim. Sampai saat ini teori evolusi dengan keberadaan manusia purbanya masih banyak dipakai dan di ajarkan di sekolah-sekolah Islam. Padahal itu semua tidak benar karena berasal dari pemikiran yang sangat spekulatif dan jauh dari unsur wahyu. Ironisnya, banyak orang tua tidak peduli, saat belajar sejarah, anaknya dijejali dengan teori yang menanamkan benih keraguan terhadap iman mereka.

Alat Militer dalam Risalah


Jumat, 25 Maret 2011 08:22 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penemuan teknik dan mekanik pada bidang militer umat Muslim dapat ditelurusi melalui berbagai karya. Beberapa ilmuwan Muslim menuliskan dengan lengkap proses pembuatan, material yang digunakan, hingga mekanisme kerja alat-alat perang dari abad pertengahan. Salah satu yang terkenal ditorehkan oleh Najm al Din Hassan al Rahman. Saintis asal Suriah yang wafat tahun 1295 itu menyajikan sebuah buku berisi sejumlah perlengkapan teknologi militer. Judulnya Kitab al Furusiyya wa al Manasib al Harbiyya. Buku ini menjadi rujukan sejarah paling penting yang mendokumentasikan teknologi roket awal kreasi ilmuwan Muslim. Menurut Frank H Winter pada buku The Genesis of the Rocket in China and its Spread to the East and West, kaum Muslim mewarisi senjata roket. Dari naskah-naskah klasik di dunia Islam, para saintis Barat pun mengenal teknologi ini untuk dikembangkan lebih lanjut. Di samping buku Hassan al Rahmah, masih ada karya lain yang membahas teknologi roket. Yakni risalah milik fisikawan bernama Yusuf ibn Ismail al Kutub. Pada karya yang selesai disusun tahun 1311 itu, ia membeberkan penggunaan serbuk potasium nitrat sebagai campuran bahan bakar roket. Umat Muslim juga menemukan teknik torpedo. Pada masa modern, torpedo yang diluncurkan dari kapal selam atau kapal permukaan memakai sirip yang menjadi pengarah atau kemudi. Berabad-abad silam, ilmuwan Muslim telah mengungkapkan mekanisme serupa. Hassan al Rahmah menyebut torpedo tersebut sebagai 'telur yang bisa meluncur di air dan meledak.' Bentuk torpedo awal itu sekilas mirip cangkang telur. Badan torpedo terbuat dari bahan aluminium, di dalamnya ditaruh serbuk mesiu. Tenaga dorongnya berupa dua roket serta sirip (rudder) untuk pengarah ke sasaran. Perlengkapan kanon meriam turut menjadi simbol kejayaan teknologi militer umat Muslim. Setidaknya ada empat manuskrip Arab peninggalan abad 14 yang menjelaskan mengenai meriam portabel pertama. Satu tersimpan di St Petersburg, dua di Paris dan satu terdapat di Istanbul. Prinsip kerja meriam kuno itu mirip dengan meriam modern. Pada artikelnya di laman Muslim Heritage, Prof Mohammed Mansour menyebut teknologi meriam dan bahan peledak yang dibawa kaum Muslim ke Andalusia, dan diguanakan dalam peperangan melawan pasukan Nasrani, menginsiprasi para ilmuwan Eropa. ''Sejak dikenalkan di Spanyol, teknologi itu lantas berkembang dengan pesat di Prancis, Italia, serta Jerman,'' paparnya.

Geliat Studi Matematika di Maghrib


Friday, 18 July 2008 20:07 WIB

Ajaran Islam mulai bersemi di wilayah Maghrib - Afrika Utara - pada tahun 642 M. Setelah melalui berbagai ekspedisi penaklukan, seluruh wilayah Maghrib yang meliputi Aljazair, Mesir, Libya, Maroko, Sudan, Tunisia akhirnya berhasil dikuasai Islam pada awal abad ke-8 M. Sejak itulah, di wilayah Maghrib mulai menggeliat aktivitas intelektualitas, salah satunya adalah studi matematika. Geliat studi matematika yang berkembang di era keemasan Islam di Afrika Utara ternyata hingga kini masih berlangsung. Matematika menjadi salah satu ilmu yang digemari masyarakat Afrika Utara. Saat ini, tercatat terdapat 2.000 doktor matematika yang tersebar di Afrika Utara. Sedangkan di Selatan Sahara terdapat 1.000 matematikus bergelar doktor. Ali Mostafa Mosharafa tercatat sebagai matematikus Maghrib pertama yang meraih gelar doktor dari University of London pada tahun 1923. Sebagai perbandingan, Indonesia hingga kini hanya memiliki 100 dokter matematika. Jumlah doktor matematika itu dihitung mulai dari Dr Sam Ratulangi. Begitu banyaknya doktor matematika yang terdapat di benua 'hitam' itu menunjukkan betapa masih kuatnya pengaruh geliat studi matematika di era keemasan Islam. Lalu bagaimanakah studi matematika berkembang pesat di daratan yang dulu termasyhur dengan sebutan Maghrib itu? Prof Ahmed Djebbar seorang guru besar pada University of Sciences and Technologies Lille I di Lille, Prancis dalam tulisannya berjudul Mathematics in the Medieval Maghrib membagi perkembangan matematika di era kejayaan Islam di Afrika Utara ke dalam empat periode. Periode pertama adalah masa kelahiran dan perkembangan pertama matematika di Maghrib yang berlangsung dari abad ke-9 M hingga 11 M. Periode kedua adalah perkembangan matematika pada era kekuasaan Kerajaan Almohad yang berlangsung dari abad ke-12 M hingga 13 M. Periode ketiga adalah masa lahirnya teori-teori baru matematika di Maghrib pada abad ke-14 M hingga 15 M. Sedangkan, periode keempat adalah perkembangan matematika di Afrika Utara setelah abad ke-15 M. Menurut Prof Djebbar, lahir dan berkembangnya studi matematika di wilayah Maghrib sangat dipengaruhi perkembangan keilmuan di Andalusia. ''Secara ekonomi, politik dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib pada abad pertengahan memiliki keterikatan dan kedekatan,'' papar ilmuwan yang berkiprah di Laboratoire Paul Painlev, Prancis itu. Terlebih, Muslim Spanyol dan Maghrib memiliki keterkaitan tradisi keilmuan. Meski secara sosial dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib berbeda, namun keduanya direkatkan oleh akidah yang mereka anut yakni Islam. Sejarawan abad ke-11, Said Al-Andalus, memaparkan pada awal Islam masuk ke Spanyol, penduduk negeri itu sama sekali tak tertarik pada sebuah ilmu. Minat masyarakat Spanyol Muslim terhadap keilmuwan mulai tumbuh ketika Dinasti Umayyah berdiri secara independen di negeri Matador itu. Perkembangan dan ghirah (semangat) keilmuwan di Spanyol Muslim itu perlahan namun pasti lalu merambat ke wilayah Maghrib. Studi matematika mulai digandrungi masyarakat Muslim di Afrika Utara sejak abad ke-9 M. Pusat studi matematika pertama terdapat di Ifriqiyan atau lebih tepatnya lagi di Kairouan. Pada era itu geliat studi matematika memang masih terbatas di wilayah itu. Meski masih terbatas, di Maghrib telah muncul matematikus terkemuka seperti Yahya Al-Kharraz dan muridnya Yahya Al-Kanuni (829 M - 901 M). Yahya tercatat sebagai orang Maghrib yang pertama kali menulis buku berjudul Hisba - membahas tentang aturan transaksi perdagangan di pasar. Pada era itu, Maghrib juga memiliki seorang matematikus kondang bernama Shuqrun Ibn Ali - ahli berhitung dan falak dalam ilmu waris. Buku matematika yang ditulis Shuqrun terbilang fenomenal. Sejarawan Ibnu Khair mengungkapkan buku karya Shuqrun masih tetap dijadikan referensi pengajaran pada abad ke-12 M di sekolah-sekolah yang tersebar di kota Bougie - metropolis ilmu pengetahuan Maghrib Tengah. Sedangkan pada abad ke-9 M, matematikus yang terekam dalam sejarah hanya satu orang, yakni Abu Sahl al-Qayrawani. Abu Sahl tergolong matematikus perintis di Maghrib. Dia berhasil menulis sebuah kitab yang bertajuk Kita-b fi `l-hisab al-hindi (Buku berhitung India). Di era kekuasaan Dinasti Aghlabid (800 M - 910 M), Kairouan memainkan peranan penting dalam perkembangan matematika. Sejumlah ilmuwan dari Timur hingga Ifriqiya berdatangan ke kota itu untuk mengembangkan aritmatika dan geometri. Sepanjang abad ke-9 M hingga 11 M, wilayah Maghrib telah menjadi metropolis ilmu pengetahuan. Di era itu,

perdagangan buku berkembang pesat, pembiayaan proyek perbanyakan manuskrip mulai semarak, para ilmuwan mulai menadapatkan gaji yang tinggi dan sekolah-sekolah mulai dibangun. Hal itu merupakan salah satu pengaruh eratnya hubungan Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dengan Dinasti Aghlabid. Dinasti Aghlabid ternyata meniru kebijakan Kekhalifahan Abbasiyah dalam bidang ilmu pengetahuan. Di wilayah Maghrib pun ternyata di buat lembaga ilmu pengetahuan yang juga diberi nama Bait Al-Hikmahyang didirikan Sultan Ibrahim II (875 M - 902 M). Bait Al-Hikmah di Baghdad berdiri lebih awal yakni ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid (786 M - 809 M) memimpin Dinasti Abbasiyah. Sejak itulah, studi matematika berkembang di wilayah Maghrib. Memasuki abad ke-10 M, geliat studi matematika di Maghrib kurang terekam dalam sejarah. Saat itu, tercatat beberapa matematikus seperti Al-Utaq Al-Ifriqi (wafat 955 M), Ya`qu-b Ibnu Killis (wafat 990 M) dan Al-Huwa-ri(wafat 1023 M). Sejarah kembali merekam secara baik aktivitas matematika di Maghrib pada abad ke-11 M. Ada sederet nama matematikus yang muncul pada era itu. Ibn Abi ar-Rijal (wafat 1034-35 M) tercatat sebagai salah seorang matematikus pada abad itu. Selain itu, juga ada Abu As-Salt (wafat 1134 M). Matematikus lainnya yang mengembangkan matematika di Maghrib adalah `Abd alMun`im al-Kindi- (wafat 1043-44 M), Ibnu `Atiya al-Katib (wafat 1016 M). Mereka adalah matematikus yang mengembangkan geometri dan Aritmatika. Begitulah studi matematika berkembang dengan pesat di wilayah Maghrib alias Afrika Utara. Dari Maghrib untuk Matematika Al-Qurashi Nama lengkapnya Abu Al-Qasim Al-Qurashi. Dia adalah matematikus kelahiran Seville, Spanyol. Namun, dia mengabdikan separuh hidupnya di Bougie, Afrika Utara sebagai seorang matematikus. Di abad ke-12 - era keemasan Islam di wilayah Maghrib -- Al-Qurashi terkenal sebagai matematikus yang ahli di bidang Aljabar dan juga pakar ilmu waris. Jejak hidupnya tak banyak diketahui. Yang jelas, Al-Qurashi meninggal di Bougie pada tahun 1184 M. Meski begitu, kontribusinya dalam pengembangan Aljabar tertoreh dalam tinta emas sejarah perkembangan matematika di Afrika Utara. Salah satu pemikirannya yang paling terkenal adalah komentarnya atas buku yang ditulis matematikus Mesir terkemuka abad ke-10 M, Abu Kamil. Buah pikir Al-Qurashi dalam Aljabar sangat berpengaruh pada sejumlah matematikus di abad berikutnya, seperti Ibnu Zakariya (wafat 1404 M). Pemikiran Al-Qurashi juga turut mempengaruhi matematikus Ibn al-Banna- (wafat 1321 M) untuk menulis Kitab al-'us ul wa-`l-muqaddimat fi-`l-jabrI [Buku dasar-dasar dan persiapan dalam Aljabar). Al-Hassar Shaykh Al-Jama'a ( Pemimpin Masyarakat). Itulah julukan yang diberikan masyarakat Muslim Afrika di era kejayaan kepada matematikus bernama Al-Hassar. Riwayat hidupnya memang tak terekam dalam sejarah. Yang jelas, dia adalah seorang ahli matematika yang mengabdikan dirinya di kota Sebta, Maghrib. Jejak hidupnya hanya terekam dalam dua kitab yang masih tersisa hingga kini. Pertama kali dia menulis kitab bertajuk Kitab al-bayan wat-tadhkar. Kitab itu merupakan semacam buku pegangan tentang penjumlahan angka-angka, operasi aritmatika terkait bilangan dan pecahan. Buku ini begitu fenomenal, sehingga menempati peranan yang sangat penting dalam sejarah matematika di Afrika Utara. Buku matematika kedua yang ditulis Al-Hassar berjudul Al-Kita-b al-kamil fi sina `at al-`adad (Buku lengkap tentang seni ilmu berhitung). Buku ini adalah pengembangan dari kitab pertama yang telah ditulisnya. Seperti halnya AlQurashi, buah pikir Al-Hassar juga begitu berpengaruh terhadap matematikus lainnya di abad-abad berikutnya. Ibnu Al-Yasamin Setelah menimba ilmu matematika di Seville, Spanyol, Ibnu Al-Yasamin mengembangkan pengetahuannya di Maghrib. Matematikus terkemuka di Afrika Utara pada abad ke-12 M itu juga sempat mengambil studi di Marrakech alias Maroko - ibu kota Kerajaan Al-Mohad. Ibnu Al-Yasamin merupakan ilmuwan yang berkulit hitam. Ia terkenal lewat Urjuza fi- l-jabr (Syair tentang Aljabar). Selain itu, dia juga sukses menulis dua puisi lainnya tentang matematika. Namun, ketimbang tiga puisi yang dihasilkannya, kitab Talqi-h al-afkar bi rushum huruf al-ghubr dinilai para ahli sejarah sebagai hasil karya Ibnu Al-Yasamin yang paling penting baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Kitab yang ditulis Ibnu Al-Yasamin itu tebalnya mencapai 200 halaman. Isinya mengupas tentang ilmu penjumlahan serta geometri. Hasil pemikirannya itu banyak mempengaruhi para ahli matematika Muslim di abad ke-14 M dan 15 M, seperti Ibnu Qunfudh (wafat 1407 M) serta Al-Qalasadi- (wafat 1486 M).

Ibnu Mun`im Sejatinya Ahmad Ibnu Mun`im terlahir di Denia - pantai barat Spanyol dekat Valencia. Namun, dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Marrakech/ Maroko. Ibnu Mun'im dikenal sebagai spesialis terbaik dalam Geometri dan Teori Ilmu Hitung. Ibnu Mun'im sebenarnya adalah seorang dokter. Namun, dia lebih banyak mengisi waktunya dengan mengembangkan matematika. Dalam bidang matematika, Ibnu Mun`im telah berhasil mempublikasikan sederet hasil karyanya. Di antra beragam masalah yang dikaji Ibnu Mun'im antara lain; geometri Euclid, penjumlahan, teori ilmu hitung serta pembuatan segi empat besar. Salah satu karyanya yang masih tetap survive hingga kini adalah Fiqh al-hisab (Ilmu Penjumlahan). Uniknya, judul kitab yang ditulisnya tak mencerminkan keberagaman dan kekayaan dari isi bukunya. hri/yto/

Al Farghani, Rujukan Astronom Eropa


Rabu, 15 Oktober 2008 01:09 WIB

Astronomi merupakan ilmu yang telah lama menjadi objek kajian umat Islam. Melalui kajian ilmu ini umat Islam mampu mengurai misteri benda-benda langit dan memberikan sumbangan berharga di dalamnya. Tak heran pula jika banyak astronom Muslim dan menyumbangkan pemikirannya dalam karya yang dibukukukan. Sebagian besar karya mereka pun menjadi rujukan. Tak hanya oleh ilmuwan semasanya yang juga Muslim namun juga oleh ilmuwan non-Muslim. Buku karya mereka telah melintasi batas wilayah. Karya mereka tak hanya dirujuk di negeri asalnya namun juga bangsa-bangsa lainnya, semisal di Eropa. Salah satu astronom Muslim yang berhasil menorehkan prestasi gemilang itu adalah Abu'l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Pria yang karib disapa AlFarghani ini lahir di Farghana. Ia adalah salah satu astronom yang hidup pada masa pemerintahan khalifah AlMamun pada abad kesembilan dan pewaris pemerintahan selanjutnya. Pada masa itu pemerintah memang memberikan dukungan bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kajian astronomi. Bahkan khalifah membangun sebuah lembaga kajian yang sering disebut sebagai Akademi Al-Mamun. Al-Farghani merupakan salah satu ilmuwan yang direkrut untuk bergabung di dalam akademi tersebut. Al-Farghani bersama astronom lainnya telah menggunakan peralatan kerja yang canggih pada masanya. Mereka mampu memanfaatkan fasilitas yang ada, hingga mampu menghitung ukuran bumi, meneropong bintang-bintang dan menerbitkan berbagai laporan ilmiah. Dan kemudian Al-Farghani pun mampun menuliskan sebuah karya astronomi yang di kemudian hari menjadi rujukan banyak orang. Ia menuliskan Kitab fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm al-Nujum yang dalam dialihbahasakan menjadi The Elements of Astronomy. Buku ini isinya mengenai gerakan celestial dan kajian atas bintang. Pada abad kedua belas buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan memberikan pengaruh besar bagi perkembangan astronomi di Eropa sebelum masa Regiomontanus. Al-Farghani memang mengadopsi teori-teori Ptolemaeus namun kemudian ia kembangkan lebih lanjut. Hingga akhirnya ia mampu membentuk teorinya sendiri. Selain itu ia pun kemudian berhasil menentukan besarnya diameter bumi yang mencapai 6.500 mil. AlFarggani menjabarkan pula jarak dan diameter planet lainnya. Ini merupakan pencapaian yang sangat luar biasa. Tak heran jika buku karya Al-Farghani tersebut mendapatkan respons yang positif tak hanya oleh kalangan Muslim juga ilmuwan non-Muslim. Terkenalnya karya Al-Farghani ini disebabkan adanya upaya penerjamahan atas karyanya tersebut. Dua terjemahan The Elements of Astronomy dalam bahasa latin ditulis pada abad kedua belas. Salah satunya ditulis oleh John Seville pada 1135 yang kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada 1460-an. Sedangkan terjemahan lainnya ditulis oleh Gerard Cremona sebelum 1175. Karya selanjutnya disusun oleh Dante yang dilengkapi oleh pemahaman dirinya mengenai astronomi dan ia masukan dalam karyanya, La Vita Nuova. Seorang ilmuwan Yahudi, Jacob Anatoli menerjemahkannya pula ke dalam bahasa Yahudi. Ini menjadi versi latin ketiga yang dibuat pada 1590. Dan pada 1669 Jacob Golius menerbitkan teks latin yang baru. Bersamaan dengan karya-karya tersebut, banyak ringkasan karya Al-Farghani yang beredar di kalangan saintis dan ini memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran Al-Farghani di Eropa. Kelak kemudian hari, The Elements of Astronomy diakui memang sebagai sebuah karya yang sangat berpengaruh. Seorang ilmuwan yang bernama Abd al-Aziz al-Qabisi memberikan komentar atas karya Al-Farghani tersebut, yang kemudian komentar Abd al-Aziz ini tersimpan di Istanbul sebagai manuskrip yang sangat berharga. Manuskrip lainnya juga banyak bertebaran di berbagi perpustakaan yang ada di Eropa. Ini membuktikan pula bahwa pemikiran Al-Farghani menjadi acuan dalam perkembangan astronomi di Eropa. Aktivitas Al-Farghani tak melulu di bidang astronomi namun ia pun melebarkan aktivitasnya di bidang teknik. Ini terbukti jika kita mengutip ucapan seorang ilmuwan yang bernama Ibn Tughri Birdi. Ia menyatakan, Al-Farghani pernah ikut dalam melakukan pengawasan pembangunan Great Nilometer, merupakan alat pengukur air, di Fustat atau Kairo Lama. Bangunan tersebut rampung pada 861 bersamaan dengan meninggalnya Kalifah Al-Mutawwakil yang memerintahkan adanya pembangunan Nilometer tersebut. Tughri menyatakan bahwa semula Al-Farghani memang tak dilibatkan. Namun ia akhirnya terlibat juga karena harus melanjutkan tugas yang dibebankan kepada putra khalifah yaitu Musa Ibn Shakir, Muhamad dan Ahmad. Ia harus melakukan pengawasan atas penggalian kanal yang dinamakan Kanal Al-Ja'fari di kota baru Al-Ja'fariyya, yang letaknya berdekatakan dengan Samaran di daerah Tigris. Al-Farghani saat itu memerintahkan penggalian kanal dengan membuat hulu kanal digali lebih dalam dibandingkan bagian lainnya. Maka tak ada air yang cukup mengalir pada kanal tersebut kecuali pada saat permukaan air Sungai Tigris sedang pasang. Kebijakan Al-Farghani ini kemudian didengar oleh sang khalifah dan membuatnya marah. Namun hitungan Al-Farghani kemudian dibenarkan oleh seorang pakar teknik lainnya yang berpengaruh pula, yaitu Sind Ibn Ali. Sind membenarkan perhitungan yang dilakukan oleh Al-Farghani. Paling tidak ini membuat khalifah menerima kebijakan tersebut. Dalam bidang teknik, Al-Farghani juga menelurkan karya dalam bentuk buku yaitu Kitab al-Fusul, Ikhtiyar al-Majisti, dan Kitab 'Amal al-Rukhamat. ( fer/berbagai sumber )

Abul Wafa Muhammad Al Buzjani, Peletak Dasar Rumus Trigonometri


Rabu, 15 Oktober 2008 02:46 WIB

Masa kejayaan Islam tempo dulu antara lain ditandai dengan maraknya tradisi ilmu pengetahuan. Para sarjana Muslim, khususnya yang berada di Baghdad dan Andalusia, memainkan peran cukup penting bagi tumbuh berkembangnya ilmu kedokteran, matematika, kimia, dan bidang ilmu lain yang sekarang berkembang. Selama berabad-abad sarjana-sarjana Muslim tadi menuangkan buah pikiran dan hasil penelitian ke dalam kitab-kitab pengetahuan untuk kemudian menjadi rujukan ilmu pengetahuan modern. Kini, dunia telah dapat mengambil manfaat dari pengembangan ilmu yang dirintis oleh para ilmuwan serta sarjana Muslim. Abul Wafa Muhammad Ibn Muhammad Ibn Yahya Ibn Ismail al-Buzjani, merupakan satu di antara sekian banyak ilmuwan Muslim yang turut mewarnai khazanah pengetahuan masa lalu. Dia tercatat sebagai seorang ahli di bidang ilmu matematika dan astronomi. Kota kecil bernama Buzjan, Nishapur, adalah tempat kelahiran ilmuwan besar ini, tepatnya tahun 940 M. Sejak masih kecil, kecerdasannya sudah mulai nampak dan hal tersebut ditunjang dengan minatnya yang besar di bidang ilmu alam. Masa sekolahnya dihabiskan di kota kelahirannya itu. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Abul Wafa lantas memutuskan untuk meneruskan ke jenjang lebih tinggi di ibukota Baghdad tahun 959 M. Di sana, dia pun belajar ilmu matematika. Sejarah mencatat, di kota inilah Abul Wafa kemudian menghabiskan masa hidupnya. Tradisi dan iklim keilmuan Baghdad benar-benar amat kondusif bagi perkembangan pemikiran Abul Wafa. Berkat bimbingan sejumlah ilmuwan terkemuka masa itu, tak berapa lama dia pun menjelma menjadi seorang pemuda yang memiliki otak cemerlang. Dia pun lantas banyak membantu para ilmuwan serta pula secara pribadi mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika, utamanya geometri dan trigonometri. Di bidang ilmu geometri, Abul Wafa memberikan kontribusi signifikan bagipemecahan soal-soal geometri dengan menggunakan kompas; konstruksi ekuivalen untuk semua bidang, polyhedral umum; konstruksi hexagon setengah sisi dari segitiga sama kaki; konstruksi parabola dari titik dan solusi geometri bagi persamaan. Konstruksi bangunan trigonometri versi Abul Wafa hingga kini diakui sangat besar kemanfaatannya. Dia adalah yang pertama menunjukkan adanya teori relatif segitiga parabola. Tak hanya itu, dia juga mengembangkan metode baru tentang konstruksi segi empat serta perbaikan nilai sinus 30 dengan memakai delapan desimal. Abul Wafa pun mengembangkan hubungan sinus dan formula 2 sin2 (a/2) = 1 - cos a dan juga sin a = 2 sin (a/2) cos (a/2) Di samping itu, Abul Wafa membuat studi khusus menyangkut teori tangen dan tabel penghitungan tangen. Dia memperkenalkan secan dan cosecan untuk pertama kalinya, berhasil mengetahui relasi antara garis-garis trigonometri yang mana berguna untuk memetakannya serta pula meletakkan dasar bagi keberlanjutan studi teori conic. Abul Wafa bukan cuma ahli matematika, namun juga piawai dalam bidang ilmu astronomi. Beberapa tahun dihabiskannya untuk mempelajari perbedaan pergerakan bulan dan menemukan "variasi". Dia pun tercatat sebagai salah satu dari penerjemah bahasa Arab dan komentator karya-karya Yunani. Banyak buku dan karya ilmiah telah dihasilkannya dan mencakup banyak bidang ilmu. Namun tak banyak karyanya yang tertinggal hingga saat ini. Sejumlah karyanya hilang, sedang yang masih ada, sudah dimodifikasi. Kontribusinya dalam bentuk karya ilmiah antara lain dalam bentuk kitab Ilm al-Hisab (Buku Praktis Aritmatika), Al-Kitab Al-Kamil (Buku Lengkap), dan Kitab alHandsa (Geometri Terapan). Abul Wafa pun banyak menuangkan karya tulisnya di jurnal ilmiah Euclid, Diophantos dan al-Khawarizmi, tetapi sayangnya banyak yang telah hilang. Kendati demikian, sumbangsihnya bagi teori trigonometri amatlah signifikan terutama pengembangan pada rumus tangen, penemuan awal terhadap rumus secan dan cosecan. Maka dari itu, sejumlah besar rumus trigomometri tak bisa dilepaskan dari nama Abul Wafa. Seperti disebutkan dalam Alquran maupun hadis, agama Islam menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Inilah yang dihayati oleh sang ilmuwan Muslim, Abul Wafa Muhammad hingga segenap kehidupannya dia abdikan demi kemajuan ilmu. Dia meninggal di Baghdad tahun 997 M. ( yus/berbagai sumber )

Pengaruh Ibn Al-Baitar, Berpengaruh dalam Ilmu Kedokteran Dunia


Wednesday, 15 October 2008 02:30 WIB

Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi. Namun salah satu ilmuwan Muslim terbaik yang pernah ada ini lebih dikenal sebagai Ibnu Al-Baitar. Dia dikenal sebagai ahli botani (tetumbuhan) dan farmasi (obat-obatan) pada abad pertengahan. Dilahirkan pada akhir abad 12 di kota Malaga (Spanyol), Ibnu Al-Baitar menghabiskan masa kecilnya di tanah Andalusia tersebut. Minatnya pada tumbuhtumbuhan sudah tertanah semenjak kecil. Beranjak dewasa, dia pun belajar banyak mengenai ilmu botani kepada Abu al-Abbas al-Nabati yang pada masa itu merupakan ahli botani terkemuka. Dari sinilah, al-Baitar pun lantas banyak berkelana untuk mengumpulkan beraneka ragam jenis tumbuhan. Tahun 1219 dia meninggalkan Spanyol untuk sebuah ekspedisi mencari ragam tumbuhan. Bersama beberapa pembantunya, al-Baitar menyusuri sepanjang pantai utara Afrika dan Asia Timur Jauh. Tidak diketahui apakah jalan darat atau laut yang dilalui, namun lokasi utama yang pernah disinggahi antara lain Bugia, Qastantunia (Konstantinopel), Tunisia, Tripoli, Barqa dan Adalia. Setelah tahun 1224 al-Baitar bekerja untuk al-Kamil, gubernur Mesir, dan dipercaya menjadi kepala ahli tanaman obat. Tahun 1227, al-Kamil meluaskan kekuasaannya hingga Damaskus dan al-Baitar selalu menyertainya di setiap perjalanan. Ini sekaligus dimanfaatkan untuk banyak mengumpulkan tumbuhan. Ketika tinggal beberapa tahun di Suriah, Al-Baitar berkesempatan mengadakan penelitian tumbuhan di area yang sangat luas, termasuk Saudi Arabia dan Palestina, di mana dia sanggup mengumpulkan tanaman dari sejumlah lokasi di sana. Sumbangsih utama AlBaitar adalah Kitab al-Jami fi al-Adwiya al- Mufrada. Buku ini sangat populer dan merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan hingga abad 16. Ensiklopedia tumbuhan yang ada dalam kitab ini mencakup 1.400 item, terbanyak adalah tumbuhan obat dan sayur mayur termasuk 200 tumbuhan yang sebelumnya tidak diketahui jenisnya. Kitab tersebut pun dirujuk oleh 150 penulis, kebanyakan asal Arab, dan dikutip oleh lebih dari 20 ilmuwan Yunani sebelum diterjemahkan ke bahasa Latin serta dipublikasikan tahun 1758. Karya fenomenal kedua Al-Baitar adalah Kitab alMlughni fi al-Adwiya al-Mufrada yakni ensiklopedia obat-obatan. Obat bius masuk dalam daftar obat terapetik. Ditambah pula dengan 20 bab tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Pada masalah pembedahan yang dibahas dalam kitab ini, Al-Baitar banyak dikutip sebagai ahli bedah Muslim ternama, Abul Qasim Zahrawi. Selain bahasa Arab, Baitar pun kerap memberikan nama Latin dan Yunani kepada tumbuhan, serta memberikan transfer pengetahuan. Kontribusi Al-Baitar tersebut merupakan hasil observasi, penelitian serta pengklasifikasian selama bertahun-tahun. Dan karyanya tersebut di kemudian hari amat mempengaruhi perkembangan ilmu botani dan kedokteran baik di Eropa maupun Asia. Meski karyanya yang lain yakni kitab Al-Jami baru diterjemahkan dan dipublikasikan ke dalam bahasa asing, namun banyak ilmuwan telah lama mempelajari bahasan-bahasan dalam kitab ini dan memanfaatkannya bagi kepentingan umat manusia. ( yus/berbagai sumber )

Muhammad Husayn Thabathaba'i, Syekh Bidang Ilmu Syariat dan Tafsir


Wednesday, 15 October 2008 23:56 WIB

Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i adalah seorang ulama, pemikir, faqih, filosof, dan ahli matematika. Dia banyak menelurkan karya-karya penting di bidang keislaman, antara lain Dasar-dasar Filsafat dan Metode Realisme serta karya monumentalnya yakni Al-Mizan, yang sering disebut tafsir Alquran dengan Alquran. Di dalam dirinya telah terdapat sifat rendah hati dan ditambah pula dengan kemampuan analisis intelektualnya. Dalam kelompok ulama tradisional Thabathaba'i memiliki kelebihan sebagai seorang syaikh dalam bidang syariat dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang hakim (filosof atau, tepatnya, teosof Islam tradisional) yang terkemuka. Sejarah mencatat Thabathaba'i telah membaktikan segenap hidupnya untuk mengkaji agama. Sebuah dedikasi tinggi terhadap perkembangan ilmu-ilmu Islam dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz pada tahun 1321 H /1903 M, dari suatu keluarga keturunan Nabi Muhammad SAW yang selama 14 generasi telah menghasilkan ulama-ulama Islam terkemuka. Pendidikan awalnya dia peroleh di kota kediamannya dan dalam usia muda telah berhasil menguasai unsur-unsur bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama. Ketika usianya menginjak 20 tahun, Thabathaba'i berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajarannya. Disana dia mempelajari ilmu syariat dan ushul al-fiqh dari dua di antara syekh-syekh terkemuka pada masa itu yaitu Mirza Muhammad Husain Na'ini dan Muhammad Husain Isfahani. Akan tetapi, bukanlah menjadi mujtahid tujuannya. Thabathaba'i lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh dasar matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari. Di samping itu dia pun mempelajari sejumlah ilmu lain yakni filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku Asy-Syifa karya Ibnu Sina dan Al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi, serta Tamhid al-Qawa'id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba'i. Thabathaba'i juga mempelajari ilm Hudhuri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Alquran), atau makrifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakekat-hakekat supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasiarahasia Ilahi dan menuntunnya dalam perjalananan menuju kesempurnaan spritual. Sebelum berjumpa dengan syekh ini, Thabathaba'i mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibn Arabi. Namun ketika bertemu dengan syekh besar ini, dia baru menyadari bahwa sebenarnya ia belum mengetahui apa-apa. Berkat sang syekh ini, tahun-tahun di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spritual. Pada 1934 Allamah Thabathaba'i kembali ke Tabriz dan menghabiskan beberapa tahun yang sunyi di kota itu, mengajar sejumlah kecil murid. Kejadian-kejadian pada Perang Dunia II dan pendudukan Rusia atas Persia-lah yang membawa Thabathaba'i dari Tabriz ke Qum (1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Ia mengajar tafsir Alquran serta filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak diajarkan di Qum. Oleh karenanya Thabathaba'i telah memberikan pengaruh yang amat besar dalam bidang ilmu pengetahuan, baik di dalam basis tradisional maupun modern. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite intelektual baru di kalangan kelompok masyarakat berpendidikan modern yang ingin menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di samping dengan dunia modern. Banyak murid tradisionalnya yang termasuk kelompok ulama telah mencoba untuk mengikuti teladannya dalam upayanya yang amat penting ini. Beberapa muridnya seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas Masyhad dan Murtadha Muthahhari dari universitas Teheran juga dikenal sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa. Selain di kota Qum, ulama ini kerap mengunjugi Darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran. Di tempat inilah Thabathaba'i menghabiskan bulan-bulan musim panas, menyingkir dari panas Kota Qum, kediamannya. Di desa tersebut pula, pada satu hari, Profesor Kenneth Morgan, seorang orientalis terkemuka berkunjung untuk memintanya menulis mengenai pandangan-pandangan Islam Syiah untuk masyarakat intelektual Barat. Dengan kemampuannya yang mumpuni dan penguasaan pada ilmu-ilmu Islam tradisional serta pengenalan terhadap pemikiran Barat menjadikan Thabathaba'i memang orang yang tepat untuk menulis hal tersebut. Kecintaannya pada ilmu telah mengejawantah dalam pribadinya. Dia menjadi lambang dari suatu tradisi panjang kesarjanaan dan ilmu-ilmu tradisional Islam. Kehadirannya meniupkan suatu aroma dari pribadi yang telah mendapatkan buah pengetahuan Ketuhanan. ( yus/berbagai sumber )

Mahmud Syaltut, Pelopor Penerapan Tafsir Tematis


Rabu, 15 Oktober 2008 23:55 WIB

Dalam hal kebebasan beragama, ia melihat hal itu sebagai hal yang harus dijamin dalam Islam. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dia adalah salah seorang ulama dan pemikir Islam yang pernah menjadi Rektor Universitas Al-Azhar Mesir. Syaltut dikenal pula sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematis, yakni metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya guna memahami pesan Alquran terutama untuk menjawab permasalahan manusia di abad modern ini. Syaltut dilahirkan tahun 1893 di Desa Maniyah, Bani Mansur Provinsi Bukhairah, Mesir. Sejak kecil Syaltut telah memperlihatkan keinginan yang besar dalam ber-tafaquh fid diin (belajar Islam). Pendidikannya dimulai di kampung halamannya dengan menghafal Alquran pada seorang ulama setempat. Pada tahun 1906, ketika menginjak usia 13 tahun, ia mulai pendidikan formalnya dengan masuk Ma'had Al Iskandariah. Studinya ini dirampungkan setelah ia mendapat Syahadah 'Alamiyah an-Nizamiyyah (setingkat ijazah S1) pada tahun 1918. Kemudian tahun 1919, Syaltut mengajar di almaternya. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya. Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar. Selain sebagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pangawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan Islam Al Azhar, wakil syekh Azhar, sampai akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi syekh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar). Syekh Mahmud Syaltut merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional, dan pemikiran yang bijak. Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Syaltut diutus Majelis Tertinggi Al-Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Alqanun al Dauli al Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Den Haag, Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman. Tahun 1941 ia menyampaikan sebuah risalah tentang 'Pertanggungjawaban Sipil dan Pidana dalam Syariat Islam' (Al-Mas'uliyah al-Madaniyah wa al-Jina'iyyah fi asy-syariah al-Islamiyah). Tesis-tesisnya dalam risalah ini mendapat sambutan baik sehingga secara aklamasi Syaltut diangkat menjadi anggota termuda Majelis Ulama-ulama Besar. Setahun kemudian Syaltut mengemukakan pandangannya mengenai perbaikan Universitas AlAzhar dalam bidang kebahasaan. Lantas sebagai realisasi dari harapannya ini pada tahun 1946 dibentuklah lembaga bahasa dan dia diangkat menjadi salah seorang anggotanya. Tahun 1950 ia juga diangkat menjadi pengawas umum pada bagian penelitian dan kebudayaan Islam di Universitas al-Azhar. Kesempatan ini dia pergunakan sebaikbaiknya untuk meletakkan dasar-dasar pembinaan lembaga ini, terutama guna membina hubungan kebudayaan Mesir dengan kebudayaan Arab dan dunia Islam. Dalam kaitan ini, ia pernah menjadi penasehat Muktamar Islam di bawah pemerintahan Republik Persatuan Arab (federasi Suriah dan Mesir antara tahun 1958-1961). Hingga pada tanggal 21 Oktober 1958, Syaltut terpilih menjadi Rektor Universitas al-Azhar yang ke-41. Dan sebagai rektor, kini dia memiliki peluang untuk merealisasikan cita-cita maupun pemikirannya demi memajukan universitas tersebut. Upaya yang ditempuh antara lain dengan memindahkan Institut Pembacaan Alquran ke dalam Masjid al-Azhar dengan susunan rencana pelajaran tertentu dalam masalah keislaman. Ini sekaligus mengembalikan fungsi al-Azhar sebagai pusat kajian Alquran bagi seluruh umat secara bebas tanpa terikat jam pelajaran dan ujian. Selain menjabat selaku rektor di universitas terkemuka, Mahmud Syaltut pun memangku jabatan penting sebagai anggota Badan Tertinggi untuk Hubungan-hubungan Kebudayaan dengan Luar Negeri pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Dia pun pernah menjadi anggota Dewan Tertinggi untuk Penyiaran Radio Mesir, anggota Badan Tertinggi untuk Bantuan Musim Dingin serta ketua Badan Penyelidikan Adat dan Tradisi pada Kementerian Sosial Mesir. Dalam percaturan intelektual, Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendekiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran Islam moderat dan fleksibel. Itu bisa dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antaragama, hukum Islam, pluralisme, dan ragam aliran pemikiran dalam Islam. Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahwa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam Islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin dekat dengan sang Khalik. Dalam upaya kontekstualisasi Islam, Syaltut mencoba merumuskan suatu konsep yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah yang karenanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup. "Islam memberikan tempat yang luas sekali kepada kita untuk menerjemahkannya bukan dalam konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai hidup. Islam memberikan kebebasan berpikir manusia untuk memahami agamanya sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya," ujarnya dalam Islam Aqidah wa Syariah. Syaltut dikenal pula dengan salah satu karyanya menyangkut penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan wanita yakni Alquran wa al-Mar'ah, sehingga dia dipandang sebagai salah seorang pelopor

tafsir maududi (tafsir tematis) atau metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan Alquran guna menjawab problema manusia abad modern. Dalam kaitan pemikiran keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi akidah Islam adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta maupun terhadap apa yang akan diciptakan oleh sang Pencipta. Kalimat syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian keimanan manusia dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhan-nya yang satu dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati dan pikiran manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas. Untuk mencari kebenaran Tuhan, menurut Syaltut, manusia harus menyadari bahwa ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang diketahuinya dan memang harus diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk memperoleh kebenaran itu manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional. Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963. Pengabdian dan sumbangsihnya dalam memajukan Universitas Al-Azhar maupun dalam pemikiran keislaman akan selalu dikenang dan dijadikan pedoman guna mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya umat Islam pada masa kini dan mendatang.

Tantawi Jauhari, Motivator Umat Dalam Penguasaan Ilmu


Rabu, 15 Oktober 2008 23:51 WIB

Dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim asal Mesir, dia kesohor terutama karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan untuk menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Tantawi Jauhari mendapat julukan 'musafir ilmu' lantaran keluasan ilmu yang dimiliki. Berasal dari keluarga petani sederhana di wilayah al-Ghar, Tantawi yang lahir tahun 1870 mengawali pendidikannya di kota kelahirannya tersebut. Kepada anak-anaknya, orangtua Tantawi menginginkan mereka dapat tumbuh menjadi orang terpelajar. Oleh karenanya setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, dia dikirim untuk melanjutkan belajar ke universitas al-Azhar di ibukota Kairo. Ketika menimba ilmu di universitas terkemuka tersebut, dia berkesempatan bertemu dengan tokoh pembaharu, Muhammad Abduh. Tokoh ini kemudian memang mampu memberikan pengaruh besar bagi pemikiran dan keilmuan Tantawi, khususnya pada bidang ilmu tafsir. Setelah itu dia melanjutkan belajarnya ke Darul Ulum dan mampu menyelesaikan pendidikan di sana tahun 1893. Akan tetapi Tantawi merasa kurang puas dengan program belajar yang diberikan, utamanya ilmu tafsir, yang antara lain dikarenakan bimbingan dari Muhammad Abduh sebelumnya hingga membuat dia memiliki cakrawala pemikiran yang luas. Meski begitu Tantawi tetap bertekad menyelesaikan studinya tersebut. Setelah beberapa tahun kemudian, dia pun berhasil tamat pendidikan di Darul Ulum untuk selanjutnya berkiprah sebagai tenaga pengajar. Dia tercatat pernah menjadi guru di madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah dan kemudian sebagai dosen pada almamaternya, yakni Universitas Darul Ulum. Dan lantas tahun 1912 diangkat menjadi dosen di Al-Jamiah Al-Misyriyah pada mata kuliah falsafah Islam. Di samping mengajar, layaknya seorang cendekiawan dia pun terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Hal itu dilakukan dengan membaca buku-buku serta dari artikel di majalah dan surat kabar. Selain itu pula berbagai seminar maupun pertemuan ilmu pengetahuan tidak ketinggalan dihadiri. Bidang ilmu yang menjadi fokus perhatiannya adalah ilmu tafsir. Namun dia pun mengikuti pula ilmu fisika, ilmu yang menurut pandangannya dapat menangkal kesalahpahaman yang kerap menuding Islam sebagai agama yang menentang ilmu dan teknologi modern. Bertahuntahun lamanya segala perhatian dicurahkan untuk meningkatkan kepedulian umat terhadap pentingnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Gagasan serta pemikirannya lambat laun mulai diperhitungkan dan menjadikannya masuk dalam jajaran pemikir Islam terkemuka. Setidaknya ada tiga hal yang patut dicatat dari Tantawi Jauhari. Pertama, obsesinya untuk memajukan daya pikir umat; kedua, pentingnya ilmu bahasa dalam menguasai idiom-idiom modern, dan ketiga; pengkajiannya terhadap Alquran sebagai satu-satunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu. Dengan begitu dapat dipahami mengapa Tantawi semasa hidupnya begitu menentang bidah dan taklid. Sebab menurutnya, kedua hal tersebut akan dapat menyeret umat ke jurang kebodohan dan keterbelakangan. Sebaliknya tokoh ini begitu bersemangat untuk memajukan daya pikir umat, menjauhkan dari kebekuan berpikir sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan modern. Sehingga untuk memajukan ilmu pengetahuan di kalangan umat, maka didesaklah pemerintah agar lebih banyak membangun sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dalam banyak kesempatan, hal yang kerap dikemukakan terkait harapannya tadi adalah perlunya penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Karena dia berpendapat, secara garis besar, ilmu pengetahuan terbagi dua yakni ilmu bahasa dan selain bahasa. Tantawi menyatakan bahwa ilmu bahasa memegang peranan signifikan dalam sebuah studi, sebab ia merupakan alat untuk menguasai beragam bidang ilmu. Pada bagian lain, Tantawi pun membina studi Alquran, yakni guna membuktikan bahwa kitab suci umat Islam itu adalah satu-satunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu. Karena dalam pandangannya, Alquran senantiasa menganjurkan kepada umat Muslim untuk menuntut ilmu dalam arti seluas-luasnya. Pernyataan tersebut dikemukakan sambil menunjukkan bukti-bukti bahwasanya dalam Alquran terdapat banyak ayat yang memotivasi umat agar menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, tidak kurang dari 750 ayat yang menegaskan pentingnya penguasaan ilmu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Dari penelitian itu Tantawi kemudian menulis kitabnya yang kondang, yaitu Al-Jawahir fi Tafsir Alquran (Permata-permata Dalam Tafsir Alquran). Kitab tafsir ini terdiri dari 25 juz dan ditulis saat dia sudah berusia 60 tahun. Dalam pendahuluannya jelas disebutkan alasannya menulis kitab tadi yakni agar umat menyadari betapa pentingnya penguasaan ilmu bagi umat Islam seperti fisika, matematika, pertanian, ilmu falak, ilmu kedokteran, dan lain-lain. Tantawi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Tidak kurang dari 30 buku hasil buah pemikirannya sudah dihasilkan dan mewarnai khazanah ilmu pengetahuan dunia. Di antara beberapa karya yang fenomenal adalah Alquran wa Ulum al-Asyriyyat (Alquran dan Ilmu-ilmu Modern), Mizan al-Jawahir fi Aja'ibi al Kawn al-Bahir (Timbangan Mutiara Keajaiban Alam Raya), Jamal al-Alam (Keindahan Alam), dan masih banyak lagi. yus/ensiklopedi islam

As-Shakawi, Peletak Dasar Ilmu Sejarah Islam


Rabu, 15 Oktober 2008 23:48 WIB

Kepakarannya mulai diakui publik pada pertengahan 1400-an. Bahkan, seorang sultan pada Dinasti Mamluk 'melamar' menjadi muridnya. Ulama ini dikenal sebagai seorang ahli hadis, sejarawan besar pada zamannya serta penulis yang produktif. Dia berasal dari keluarga miskin yang tinggal di As-Sakha, sebuah perkampungan di Kairo, Mesir. Nama lengkapnya adalah Abu al-Khair Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakr bin Usman asy-Syakhawi al-Qahiri asy-Syafi'i dan lahir sekitar tahun 1427 di Kairo. Kakeknya seorang miskin dan hidup dari berdagang barang tenunan secara kecil-kecilan. Meski serba kekurangan, namun tidak mengurangi semangat sang kakek untuk tetap beribadah kepada Allah SWT. Sementara ayahnya yang bernama Abdurrahman adalah seorang pedagang kecil tetapi kuat ibadahnya. Dia kerap menghadiri majelis taklim dan punya hubungan luas dengan sejumlah ulama di wilayahnya. Di antara para ulama itu yakni Ibnu Hajar al-Asqalani, ahli hadis yang juga sejarawan terkemuka. Dari kakeknya, ayah dan Ibnu Hajar itulah, As-Shakawi memperoleh bekal ilmu pendidikan. Terutama Ibnu Hajar yang sangat mencintainya, dengan penuh kasih sayang senantiasa menurunkan ilmunya kepada sang murid. Ketika menimba ilmu dari Ibnu Hajar, As-Shakawi mengkaji tulisan dalam berbagai bidang ilmu semisal hadis, sejarah maupun biografi. Dan sebagaimana gurunya itu, di kemudian hari dia banyak menuliskan biografi para tokoh, utamanya untuk kepentingan seleksi hadis. Di samping dia pun terbilang gemar menulis kritik tentang hadis yang diriwayatkan oleh para tokoh tersebut. Dalam bidang yang satu ini, dia memang banyak belajar pada Ibnu Hajar yang tak pernah lupa mengirimkan pembantunya untuk membacakan karyanya pada as-Shakawi bila dia sendiri berhalangan. Oleh sebab itu, Ibnu Hajar lantas memberikan pujian bagi muridnya tersebut. "Dia, yang masih muda ini, karena kesungguhan, ketekunan, kehati-hatian dan daya kritiknya, mengungguli murid-murid yang lebih senior," begitu komentarnya. Sehingga tidaklah mengherankan bila di masa tuanya, Ibnu Hajar mengangkat muridnya yang cerdas ini untuk menjadi asistennya dalam memberi pelajaran hadis. Tahun 1449 Ibnu Hajar al-Asqalani meninggal dunia dan itu sangat memukul as-Shakawi. Saking tak kuat menahan sedih, dia bermaksud meninggalkan Mesir dan pindah ke Suriah dengan niat ingin menimba pengetahuan pada guru yang terkenal di sana. Namun harapannya ini tidak kesampaian lantaran tidak mendapat izin dari orangtuanya. Oleh karenanya, dia pun terpaksa tetap tinggal di Mesir serta melanjutkan pendidikannya pada bidang ilmu hadis. Dia kemudian banyak mengembara dari satu kota ke kota lain demi menemukan guru pembimbing yang mumpuni. Kota-kota besar semisal Dimyath, Manuf dan Iskandariyah pernah disinggahinya. Sekaligus pada waktu bersamaan, dia berupaya mendapatkan tugas dalam pengajaran hadis di Kairo dengan meminta bantuan dari kawan-kawan Ibnu Hajar. Sekitar tahun 1452 pergilah ia ke tanah suci Makkah guna menunaikan ibadah haji. Namun setelah itu as-Shakawi memutuskan untuk menetap selama beberapa lama di sana serta menyempatkan diri berziarah ke Madinah. Maka sejak tahun 1453, hidupnya berpindah-pindah antara Mesir, Suriah dan juga Hejaz. Tercatat sebanyak lima kali dia menunaikan ibadah haji dengan yang terakhir ialah tahun 1492. Dan setiap kali berhaji, tokoh ini selalu bermukim beberapa waktu di Makkah, sesudah itu kembali ke Mesir untuk mengajar hadis di beberapa madrasah di ibukota Kairo. Pada masa-masa tersebut As-Shakawi mulai rajin menulis. Saat ditugaskan untuk memberi pelajaran sejarah pada Sultan Dinasti Mamluk, Qait Bey (1468-1496), setiap dua malam dalam seminggu, ia menolak. Bahkan dia juga menyatakan dengan tegas keberatannya ketika sultan berharap agar As-Shakawi bersedia menerima sultan sebagai murid khusus yang akan hadir di kediamannya. Akan tetapi, beberapa anak sultan terus mengikuti pengajiannya. Sebagai seorang penulis yang produktif, As-Shakawi meninggalkan banyak karya, antara lain Ad-Dau' al-Lami fi A'yan al-Qarn at-Tasi (Cahaya Gemerlap tentang Tokoh-tokoh abad ke-9 H), berisi 12 jilid. Buku ini merupakan kamus yang memuat tokoh-tokoh terkenal abad ke-9 H, disusun secara alfabetis Arab. Bukunya yang berjudul Al-I'lan bi atTaubikh li Man Zamma Ahl at-Tawarikh pada intinya menerangkan pengertian ilmu tarikh dan kedudukan ilmu ini bagi masyarakat, adalah sebuah buku yang demikian terkenal dalam bidang historiografi. Melalui karya tersebut, dapat dikatakan bahwa as-Shakawi telah meletakkan monumen penting bagi historiografi Islam. Kitab ini juga merupakan makalah panjang tentang kritik sejarah. Dengan segala kekurangannya, buku ini ia tulis setelah melakukan sejumlah penelitian mendalam berkenaan penulisan sejarah. Karya ini banyak memberikan informasi tentang karya-karya sejarah dan teologi serta sedikit tentang karya sejarah yang disebut sebagai sejarah umum. ( yus/ensiklopedi islam )

Al Zahrawi, Dokter Bedah Muslim Ternama


Wednesday, 15 October 2008 23:31 WIB

Dalam dunia kedokteran, nama Albucasis alias Al Zahrawi tidak pernah luntur. Apalagi bila merunut pada penemuan penyakit hemofilia. Penyakit ini sebenarnya telah ada sejak lama sekali, dan belum memiliki nama. Talmud, yaitu sekumpulan tulisan para rabi Yahudi, 2 abad setelah Masehi menyatakan bahwa seorang bayi laki-laki tidak harus dikhitan jika dua kakak laki-lakinya mengalami kematian akibat dikhitan. Titik terang ditemukan setelah Al Zahrawi pada abad ke-12 menulis dalam bukunya mengenai sebuah keluarga yang setiap anak laki-lakinya meninggal setelah terjadi perdarahan akibat luka kecil. Ia menduga hal tersebut tidak terjadi secara kebetulan. Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah tulisan yang ditulis oleh Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Dan menurut ensiklopedia Britanica, istilah hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793 - 1864), pada tahun 1928. Lukas menelusur aneka catatan kedokteran, termasuk tulisan Al Zahrawi atau Albucasis itu. Albucasis lahir sebagai Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas Al-Zahrawi di Al Zahra'a, 6 mil utara Cordoba di Andalusia (sekarang Spanyol), tahun 936. Dia mengawali karirnya sebagai dokter bedah dan pengajar di beberapa sekolah kedokteran. Namanya mulai menjadi perbincangan di dunia kedokteran setelah dia meluncurkan buku yang kemudian menjadi buku paling populer di dunia kedokteran, At-Tasrif liman 'Ajiza 'an at-Ta'lif (Metode Pengobatan). Dalam buku itu, ia banyak menguraikan tentang hal-hal baru dalam operasi medis. Apa yang ditulisnya merupakan cetak biru dari apa yang dilakukannya selama 50 tahun melang melintang dalam dunia pengobatan. Bahkan, bukunya dianggap sebagai ikhtisar ensiklopedi kedokteran. Al Zahrawi juga menciptakan sejumlah alat bantu operasi. Ada tiga kelompok alat yang diciptakannya, yaitu instrumen untuk mengoperasi bagian dalam telinga, instrumen untuk inspeksi internal saluran kencing, dan instrumen untuk membuang sel asing dalam kerongkongan. Di atas semua itu, ia terkenal sebagai pakar operasi yang piawai mengaplikasikan aneka teknik paling tidak untuk 50 jenis operasi yang berbeda. Dia jugalah yang pertama menguraikan secara detil operasi klasik terhadap kanker payudara, lithotrities untuk 'menggempur' batu ginjal, dan teknik membuang kista di kelenjar tiroid. Dia juga termasuk salah satu penggagas operasi plastik, atau setidaknya, dialah yang memancangkan prosedur bedah plastik pertama kali. Dalam bukunya, Al-Tasrif, Al-Zahrawi mendiskusikan tentang penyiapan aneka obatobatan yang diperlukan untuk penyembuhan pasca operasi, yang dalam dunia pengobatan modern dikenal sebagai ophthalmologi atau sejenisnya. Dalam penyiapan obat-obatan itu, ia mengenalkan tehnik sublimasi. Al Zahrawi juga ahli dalam bidang kedoteran gigi. Bukunya memuat beberapa piranti penting dalam perawatan gigi. Misalnya thereof, alat yang sangat vital dalam operasi gigi. Di buku yang sama, ia juga mendiskusikan beberapa kelainan pada gigi dan problem deformasi gigi serta bagaimana cara untuk mengoreksinya. Ia juga memciptakan sebuah teknik untuk menyiapkan gigi artifisial dan cara memasangnya. Al-Tasrif dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin pada abad pertengahan oleh Gherard of Cremona. Sejumlah editor lain di Eropa mengikutinya, dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa mereka. Buku dengan sejumlah diagram dan ilustrasi alat bedah yang digunakan Al Zahrawi ini kemudian masuk ke kampus-kampus dan menjadi buku wajib mahasiswa kedokteran. Al Zahrawi disebut oleh Pietro Argallata (meninggal tahun 1423) sebagai "Pimpinan segala operasi bedah tanpa keraguan". Jacques Delechamps (1513-1588), ahli bedah Prancis lainnya, menyebut Al Zahrawi sebagai pemikir jempolan abad pertengahan hingga Renaissance. Ia merujuk komentarnya pada kitab At Tasrif karya Al Zahrawi yang banyak dirujuk dokter-dokter pada masa itu. Al Zahrawi menjadi pakar kedokteran populer di zamannya. Bahkan hingga lima abad setelah kematiannya, bukunya tetap menjadi buku wajib bagi para dokter di berbagai belahan dunia. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kedokterannya, menurut Dr Cambell, pakar sejarah pengobatan Arab, dimasukkan dalam kurikulum fakultas kedokteran di seluruh belahan Eropa. Dia juga dikenal sebagai fisikawan andal kebanggaan Raja Al-Hakam II dari Spanyol. Setelah malang melintang di dunia kedokteran dengan sejumlah temuan baru, Al Zahrawi berpulang pada tahun 1013. Namanya tercatat dengan tinta emas dalam dunia kedokteran modern hingga kini. ( tri/islamonline )

Anda mungkin juga menyukai