Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KELOMPOK HUKUM PIDANA INTERNASIONAL ANALISA KASUS PERDAGANGAN WARGA NEGARA INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT Oleh: YOSANDRA

WIDYAN BAYU SETYONO FUAD FAHMI FIRMANSYAH AYU ANGGRAENI PUSPITASARI ADITYA MULYA P M FAIZ KURNIAWAN ICHA NUR FIDIANA DENY HARRY (B2A009191) (B2A009206) (B2A009207) (B2A009020) (B2A009071) (B2A009241) (B2A009186) (B2A008 (B2A008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO 2011

1. Kasus Posisi Perdagangan Warga Negara Indonesia di Amerika Serikat. Dua perempuan warga negara Indonesia yang belum diketahui namanya diduga dijadikan budak oleh pasangan dari Las Cruces, Amerika Serikat. Pasangan ini, Elina Sihombing (47 tahun) dan suaminya, David Girle (54 tahun), sudah ditahan pihak berwajib Amerika sejak Senin 23 Mei 2011. Kantor Berita The Associated Press melaporkan, Elina dan Girle didakwa atas kasus perdagangan manusia dan memperbudak dua perempuan yang mereka bawa dari Indonesia. Kejaksaan Amerika Serikat menyatakan, mereka mendatangkan perempuan itu pada tahun 2004 dan 2005 ke kota Phoenix sebagai pembantu dan menjanjikan kedua perempuan itu untuk sekolah. Namun, bukannya justru mendapatkan janjinya, kedua perempuan malang ini disuruh bekerja dari pukul 08.00 pagi sampai tengah malam setiap harinya tanpa dibayar dan tanpa mendapatkan kesempatan bersekolah. Kemudian, tahun 2007, pasangan Elina-Girle ini pindah ke Las Cruces dan kedua perempuan yang bekerja bak budak itu bekerja dengan mereka sampai tahun 2010. Menurut Las Cruces Sun-News, Elina dan Girle yang memiliki sebuah penginapan di Picacho Avenue ini muncul di pengadilan federal Las Cruces pada Selasa pagi. Dakwaan pertama untuk mereka, "mendapatkan tenaga dan jasa dari dua perempuan Indonesia dengan paksaan, ancaman paksaan dan tekanan fisik." Ancaman untuk keduanya adalah hukuman penjara maksimum 20 tahun dan denda US$250.000. Dakwaan berikutnya, "Merekrut, membawa orang-orang untuk tujuan diperkerjakan dan mengambil paksa dokumen imigrasi korban." Ancaman untuk ini adalah maksimum penjara lima tahun dan denda US$250 ribu. Menariknya, Elina adalah penulis lepas di Sun-News di kategori berita kisah. Namun saat hadir di sidang, Elina tak memberikan komentar. Felipe Milan, kuasa hukum mereka, juga tak bisa dihubungi mengenai dakwaan ini. Namun mulai Selasa, keduanya dilepaskan dari tahanan dengan status tahanan kota dengan jaminan US$25 ribu. Paspor mereka juga ditahan dan tidak boleh berhubungan dengan korban atau keluarganya.1

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=kasus+perdagangan+manusia+di+indonesia&source=web&cd=2& ved=0CCgQFjAB&url=http%3A%2F%2Fdunia.vivanews.com%2Fnews%2Fread%2F222431-2-perempuanindonesia-diduga-diperbudak-dias&ei=kJj6Tt63LIe0rAfSgb2MDg&usg=AFQjCNExcTcaZ13Yri3gauhQh2lV17ZAUA&cad=rja

2. Analisa dan Pembahasan a. Penjelasan Mengenai Perdagangan Manusia.

Perdagangan manusia (human traficking) menurut undang-undang 21 Tahun 2007 adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberibayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari pihak pengendali atas oranglain tersebut, baik didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspoitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi. Dalam konsiderans penjelasan undang-undang nomor 21 tahun 2007 Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan

menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara. Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan

mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyusunan Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah,

Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.2 Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000 Konvensi PBB tersebut menentang kejahatan terorganisir transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. pasal 3 protocol ini menyatakan sebagai berikut : perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan tau penerimaan orang baik dibawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang mirip dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh. dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur dari perdagangan orang adalah : 1. perbuatan : merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima 2. sarana atau cara untuk mengandalikan korban : ancaman, penggunanan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaaan, pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. 3. tujuan : eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.
Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU-PTPPO). Hampir senada dengan Protokol Palermo, pengertian perdagangan orang dalam UU-PTPPO adalah :

Konsideran penjelasan undang-undang 21 tahun 2007

tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. bertolak dari pengertian tersebut diatas, maka dapat dikembangkan beberapa unsur tindak pidana perdagangan orang, yaitu : -

Perekrutan Pengangkutan Penampungan Pengiriman Pemindahan atau penerimaan seseorang

Untuk modus yang digunakan, maka apabila dirinci sebagai berikut :


-

Ancaman kekerasan Penggunaan kekerasan Penculikan Penyekapan Pemalsuan Penipuan Penyalahgunaan kekuasaan Penjeratan utang atau member bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujun dari orang yang memegang kendali atas orang lain.

Selanjutnya tujuan dan akibat eksploitasi manusia :


-

Eksploitasi prostitusi Eksploitasi seksual Perbudakan Kerja paksa atau pelayanan paksa Praktek serupa perbudakan Perhambaan Peralihan organ dengan atau tanpa persetujuan orang

Sarana pengangkutan tindak pidana perdagangan ini bisa menggunakan metode :


-

Overt (terang-terangan), identitas atau dokumen perjalanan asli atau dipalsukan atau visa palsu

Covert (sembunyi) : kendaraan, kereta, perbatasan tanpa penjagaan (melalui jalan tikus, pelabuhan kecil, dan lain sebagainya)

b. Traficking dalam Hukum Internasional. Masyarakat internasional telah berulang kali mencoba untuk menghapuskan praktek perdagangan manusia melalui instrumen-instrumen internasional. Konferensi instrumen pertama Trafficking in Woman diadakan di Paris pada tahun 1895. Pada tahun 1904 di kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional pertama yang menentang perdagangan budak berkulit putih yang dikenal dengan International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic yang telah diratifikasi oleh 100 negara. Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan keluar negeri dengan tujuan pelanggaran kesusilaan. Konvensi ini membatasi diri pada pertentangan bentuk pemaksaan dalam perdagangan perempuan. Pada tahun 1910, konvensi tersebut diperluas cakupannya dengan memasukkan persoalan perdagangan perempuan di dalam negeri dan mewajibkan negara untuk menghukum siapapun yang membujuk orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan menggunakan kekerasan paksaan, penyalahgunaan kekuasaan atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik, atau membujuk perempuan dewasa untuk pelanggaran kesusilaan.3 Kedua konvensi tersebut masih membatasi diri pada proses rekruitmen yakni proses sampai seseorang perempuan dipindahtangankan. Liga Bangsa-Bangsa mengeluarkan Convention on the Suppression of Traffic in Women and Children yang ditandatangani pada tanggal 30 September 1921. Konvensi tersebut mengatur tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Pada tahun 1933, lahir kesepakatan baru di tingkat internasional yaitu International Convention for the Suppression of the Traffic in Women of the Full Age yang ditandatangani di Jenewa. Konvensi ini meniadakan persyaratan pemaksaan dalam rekruitmen terhadap
3

Article 1 International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic 1910: Whoever, in order to gratify the passions of another person, has procured, enticed, or led away, even with her consent, a woman or girl under age, for immoral purposes, shall be punished, not with standing that the various acts constituting the offence may have been committed in different countries

perempuan. Di dalam Pasal 1 Konvensi ini mewajibkan negara peserta untuk menghukum siapapun yang membujuk orang lain dengan cara memberikan atau membujuk, menggiring walaupun dengan persetujuan seseorang perempuan dewasa untuk dibawa keluar negaranya dengan tujuan prostitusi.4 Selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1947, dengan protokol PBB diamandemenkan International Convention of The Suppression of Traffic in Women of Full Age. Akhirnya pada tahun 1949, konvensi-konvensi tersebut dikonsolidasikan oleh PBB ke dalam The Convention for the Suppression of The Traffic in Person and of The Exploitation of The Prostitution of other Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 317 (IV) tanggal 2 desember 1949 sebagai pengganti semua instrumen terdahulu. Menurut preambul konvensi ini menentukan prostitusi dan semua perbuatan jahat yang menyertai perdagangan orang dengan tujuan prostitusi bertentangan dengan harga diri, kepatutan dan kehormatan, serta membahayakan kesejahteraan individu, keluarga, dan komunitasnya.5Konvensi ini juga mewajibkan negara peserta untuk menghukum siapapun yang:6 a. Memberikan jalan dan membujuk perempuan untuk tujuan prostitusi walaupun dengan persetujuannya; b. Menjalankan, membiayai atau mengambil bagian dalam pembiayaan sebuah rumah bordil;
4

Article 1 International Convention for the Suppression of the Traffic in Women of the Full Age 1933: Whoever, in order to gratify the passions of another person, has procured, enticed or led away even with her consent, a woman or girl of full age for immoral purposes to be carried out in another country, shall be punished, not with standing that the various acts constituting the offence may have been committed in different countries. Attempted offences, and, within the legal limits, acts preparatory to the offences in question, shall also be punishable. For the purposes of the present Article, the term "country" includes the colonies and protectorates of the High Contracting Party concerned, as well as territories under his suzerainty and territories for which a mandate has been entrusted to him. 5 Premble Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others 1949: Whereas prostitution and the accompanying evil of the traffic in persons for the purpose of prostitution are incompatible with the dignity and worth of the human person and endanger the welfare of the individual, the family and the community,... 6 Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others 1949: Article 1 The Parties to the present Convention agree to punish any person who, to gratify the passions of another: (1) Procures, entices or leads away, for purposes of prostitution, another person, even with the consent of that person; (2) Exploits the prostitution of another person, even with the consent of that person. Article 2 The Parties to the present Convention further agree to punish any person who: (1) Keeps or manages, or knowingly finances or takes part in the financing of a brothel; (2) Knowingly lets or rents a building or other place or any part thereof for the purpose of the prostitution of others.

c. Secara sadar membiarkan atau menyewa bangunan atau tempat lain atau bagian, dalam usaha memprostitusikan orang lain. Pada konvensi-konvensi tersebut, perbedaan antara perdagangan perempuan ke luar negeri dan dalam negeri keduanya dapat dihukum walaupun ada persetujuan dari perempuan yang bersangkutan (korban). Definisi trafiking terus diperluas untuk mengatasi kompleksitas tersebut dan sidang umum PBB 1994 mengadopsi definisi yang sangat luas. Dari perkembangan definisi perdagangan perempuan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa tujuan akhirnya adalah memaksa perempuan ke dalam situasi opresif dan eksploitatif secara seksual dan ekonomi.7 Perempuan dalam situasi yang opresif terus mengalami penindasan dengan cara yang kejam dan tidak adil. Mereka dalam keadaan yang tertindas dan perasaan terbebani secara mental dan fisik, karena adanya permasalahan, kondisi buruk, dan kecemasan yang timbul. Ekploitasi seksual dilakukan oleh pelaku trafiking sendiri maupun dilakukan oleh orang lain yang telah membeli perempuan tersebut. Perempuan terus menerus mengalami pemaksaaan untuk ekploitasi seksual maupun ekonomi demi keuntungan para pelaku trafiking. Berkembangnya kerangka konseptual tentang trafiking terhadap perempuan menunjukkan intensitas dan perluasan bentuk perdagangan perempuan. Sejak saat itu bentuk perdagangan dipandang sebagai pelanggaran HAM. Konvensi dunia tentang HAM tahun 1993 yang dikenal dengan Vienna Declaration and Program of Action merupakan pengakuan terhadap hak asasi perempuan dan anak perempuan adalah hak asasi universal yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dibedakan. Dalam deklarasi ini juga menyatakan bahwa perdagangan perempuan secara internasional adalah sebuah bentuk kekerasan berbasis jender dan menyerukan agar menghapus hal tersebut melalui kerjasama internasional dalam bidang ekonomi, pengembangan lainnya dan melalui peraturan perundang-undangan nasional. c. Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Human Traficking). Untuk menanggulangi masalah perdagangan anak dan perempuan ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan: 1. Memberi pengetahuan tentang Human Trafficking Untuk dapat mencegah permasalahan ini, perlu diadakan penyuluhan dan sosialisasi masalah ini kepada masyarakat. Dengan sosialisasi secara terusmenerus, masyarakat akan mengetahui bahayanya masalah Human Traffiking agar
7

Sari Mandiana dan Elfina L Sahetapy, Implementasi UU Nomor 21 Tahun 2007 dalam Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO),Jurnal Dinamika HAM Vol. 7 No. , (Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, 2007), halaman 268.

tidak terjebak didalamnya, dan bagaimana solusi mengatasinya. Pendidikan ini tidak hanya diberikan kepada masyarakat menengah atas. Yang paling penting adalah masyarakat kelas bawah. Karena perdagangan manusia banyak terjadi pada masyarakat dengan kelas pendidikan yang cukup rendah. Pendidikan harus diberikan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. 2. Memberitahu orang lain Ketika telah mengetahui masalah ini dan bagaimana solusinya, tetapi tidak memberitahu orang lain, permasalahan ini tidak akan selesai. Setelah tahu masalah dan solusinya maka sebagai orang yang mengerti masyarakat atau pemerintah berkewajiban untuk menyampaikan apa yang terjadi pada orang lain, khususnya pada masyarakat yang dianggap berpotensi mengalami perdagangan manusia. Sebab, orang yang tidak mengetahui adanya permasalahan ini tidak menyadari bahwa hal ini mungkin telah terjadi pada orang-orang di sekitarnya. 3. Berperan aktif untuk mencegah Setelah mengetahui dan mencoba memberitahu orang lain, masyarakat harus berperan aktif dengan cara melaporkan kasus human traffiking yang diketahui kepada pihak yang berwajib. Cara berperan aktif ini bisa melalui media massa, perbincangan, seminar, dan segala hal yang bisa mencegah terjadinya human trafficking.

4.Kesimpulan Human trafficking merupakan kejahatan Internasional yang sekarang sering terjadi baik di Indonesia maupun negara lainnya. Permasalahan ini merupakan masalah global yang harus diatasi bersama oleh seluruh pihak yang ada. Human Trafficking ini memiliki banyak modus didalam menjebak korban-korbannya. Menurut Konvensi Palermo Tahun 2000 Human Trafficking merupakan kejahatan Transnasional yang tidak hanya melibatkan satu negara saja, dan menurut Undangundang 21 tahun 2007 Human Trafficking merupakan kejahatan yang harus diperangi. Seluruh pihak baiknya bekerjasama dimulai dari pihak yang berwajib maupun masyarakat agar hal ini tidak terjadi lagi dikarenakan akan merugikan bagi pihak yang menjadi korban human trafficking ini.

DAFTAR PUSTAKA Yentriyani, Andy. Politik perdagangan perempuan, Yogyakarta: Galang Press, 2004. Lapian, Gandhi dan Hetty Ageru, trafiking perempuan dan anak. Penanggulangan komprehensif Studi kasus: Sulawesi Utara, Jakarta: yayasan obor indonesia, 2006. Brown, Louise, Sex slaves: Sindikat Perdagangan Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Sari Mandiana dan Elfina L Sahetapy, Implementasi UU Nomor 21 Tahun 2007 dalam Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO),Jurnal Dinamika HAM Vol. 7 No. , Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, 2007. Irianto, Susilowati dkk, Perdagangan perempuan dalam Jaringan pengedaran narkotik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Konvensi dan peraturan perundang-undangan:
International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic 1910. International Convention for the Suppression of the Traffic in Women of the Full Age 1933. Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others 1949. Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others 1949

Convention Palermo, 2000 Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000

undang-undang 21 tahun 2007 Website: Http//: www.google.com


Http//: www.vivanews.com

Anda mungkin juga menyukai