Anda di halaman 1dari 15

PENYULINGAN DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN KETUMBAR (Coriandrum sativum Linn) DI INDONESIA

Sintha Suhirman dan J.T. Yuhono Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK
Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) bukan merupakan tanaman asli Indonesia, komoditas tersebut di budidayakan petani di Indonesia baru sebatas diambil daunnya yang masih muda untuk lalab, sayuran. Biji ketumbar masih di impor dari India, Rusia, Bulgaria, Rumania, China, Emirat Arab dan negara produsen lainnya rata-rata sekitar 19 ribuan ton. Kegunaan lain ketumbar cukup banyak dan beragam mulai dari untuk bahan baku bermacammacam obat, industri penyamak kulit, flavour, fragrance dan bahan baku pembuatan minyak wangi. Dalam rangka menciptakan nilai tambah (added value), telah banyak dilakukan diversifikasi produk primer melalui ekstraksi atau penyulingan dari tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak ketumbar (coriander oil) merupakan komoditas penghasil minyak atsiri yang diperkirakan berpotensi dan bernilai komersial tinggi yang juga belum diusahakan di Indonesia serta belum diketahui layak tidaknya diusahakan dan daya saingnya. Hasil analisis sementara dari produksi dan biaya produksi hasil penelitian mengenai teknologi budidaya dan sosial ekonomi ketumbar dalam skala kecil dan ditambah referensi-referensi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa budidaya ketumbar dan upaya untuk memperoleh nilai tambah dari diversifikasi produk primer dalam bentuk minyak ketumbar tidak layak dilaksanakan di Indonesia dan tidak mempunyai daya saing dipasar internasional.
Kata kunci : Penyulingan, minyak ketumbar, pengembangan, Coriandrum sativum

ABSTRACT Distillation and Potential Development of Coriander (Coriandrum sativum Linn) in Indonesia
Coriander (Coriandrum sativum Linn) is not an indigeneous plant of Indonesia. The plant is cultivated by farmers in Indinesia mainly for vegetables and a spicy sauce. Seeds of coriander are still imported from India, Rusia, Bulgary, Rumania, China, Emirate Arab and other producing countries in quite big numbers (around 19 thousand tons per year) Other uses of coriander are raw material of varie medicine, industry of skin tanner, flavour, fragrance and raw material of perfume. In accordance with increasing the added value of coriander, atlempts have been made through extraction or distillation from essential oil. Coriander oil is estimated to have potency and high commercial value. This plant has not been cultivated in Indonesia. Result of temporary analysis from production and socioeconomy of coriander in small scale showed that cultivation of coriander and diversification of primary product in the form of coriander oil is not proper to be carried out in Indonesia and does not have competition power in international market.
Keywords : Distillation, coriander oil, opportunity Coriandrum sativum

48

PENDAHULUAN Minyak atsiri merupakan suatu produk alam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam obat-obatan, rokok, kosmetika, bahan pewangi, farmasi, aroma makanan dan minuman, permen, aromaterapi, bahan pengawet maupun sebagai bahan pestisida (Narpati, 2000). Di Indonesia terdapat kurang lebih 50 jenis tanaman yang mengandung minyak atsiri, namun baru 14 jenis tanaman yang sudah diusahakan secara komersial dan menjadi komoditas ekspor antara lain minyak nilam, minyak seraiwangi, minyak akarwangi, minyak kenanga, minyak cendana, minyak pala, minyak daun cengkeh, minyak kayu putih dan minyak massoi (Rusli, 2002). Pada umumnya harga minyak atsiri di pasaran internasional sangat berfluktuasi. Hal ini menyebabkan harga minyak atsiri di Indonesia juga sangat berfluktuasi karena eksportir membeli hasil sulingan dari produsen sesuai dengan harga di pasar internasional. Kecenderungan untuk menghasilkan jenis minyak atsiri tertentu dalam jumlah besar seperti minyak nilam, akarwangi dan seraiwangi, menyebabkan tingkat kejenuhan pasaran dunia meningkat sehingga melemahkan daya saingnya (Mauludi dan Hobir, 1991).

Untuk mengurangi dampak fluktuasi harga, perlu pemikiran untuk memproduksi jenis minyak atsiri baru yang diduga bernilai komersial tinggi. Salah satu minyak atsiri yang dapat dikembangkan adalah minyak ketumbar. Ketumbar (Coriandum sativum) dapat digunakan untuk sayuran, bahan penyedap dan obat-obatan, mengandung karbohidrat, lemak dan protein yang cukup tinggi (Wahab dan Hasanah, 1996). Ketumbar juga berdampak positif terhadap kesehatan karena hampir seluruh bagian tanaman dapat digunakan sebagai obat, daun yang muda untuk lalaban, analgesic dan obat sakit mata (Basu, 1975), dan bunganya bersifat karminatif (Hargono, 1989). Selain itu minyak ketumbar dapat untuk menghilangkan rasa mual, sariawan dan pelega perut (Soeharso, 1988) serta mencegah bau nafas tak sedap (Duryatmo, 1999). Tujuan dalam penulisan ini adalah untuk memberikan informasi cara penyulingan ketumbar, sifat fisik dan mutu minyak ketumbar serta kemungkinan pengembangannya di Indonesia. PENYULINGAN MINYAK KETUMBAR Sebelum penyulingan sebaiknya terlebih dahulu dilakukan penghancuran ketumbar atau pengecilan ukuran bahan, dengan tujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan. Selama proses pengecilan ukuran bahan akan terjadi penguapan komponen minyak bertitik didih rendah dan jika dibiarkan terlalu lama akan terjadi penyusutan bahan sekitar 0,5% akibat

49

penguapan minyak (Ketaren, 1985). Oleh karena itu, hasil rajangan harus segera disuling. Adapun kelemahannya pengecilan ukuran bahan menurut Ketaren (1985), adalah (1) jumlah minyak berkurang akibat penguapan selama pengecilan ukuran bahan, (2) komposisi minyak akan berubah dan akan mempengaruhi aroma minyak yang dihasilkan. Penyulingan merupakan proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam campuran atau lebih dan berdasarkan perbedaan titik uapnya. Pada awal penyulingan, hasil sulingan sebagian besar terdiri dari komponen minyak yang bertitik didih rendah, selanjutnya disusul dengan komponen yang bertitik didih lebih tinggi dan pada saat mendekati akhir penyulingan, penambahan minyak yang tersuling akan berkurang (Ketaren, 1985; Guenther, 1987). Jumlah minyak yang menguap bersama uap air ditentukan oleh tiga faktor, yaitu besarnya tekanan uap yang digunakan, berat molekul dari masingmasing komponen dalam minyak dan kecepatan keluarnya minyak dari bahan yang disuling. Untuk memperoleh minyak yang bermutu tinggi, maka sebaiknya selama proses penyulingan berlangsung menggunakan suhu rendah atau dapat juga pada suhu tinggi tapi dalam waktu yang sesingkat mungkin. Namun cara penyulingan uap, besarnya suhu ditentukan oleh tekanan uap yang dipergunakan, pada prinsipnya tekanan yang dipergunakan tidak boleh terlalu tinggi (Guenther, 1987). Menurut Guenther (1987), penyulingan ketum-

bar sebaiknya menggunakan penyulingan uap karena penyulingan dengan uap sangat baik untuk mengekstraksi minyak dari biji-bijian yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik didih tinggi dan mempunyai sifat kimia yang stabil. Disini terlihat bahwa salah satu rendemen dan mutu minyak dipengaruhi oleh cara dan proses penyulingannya sendiri, karena masing-masing jenis komoditi tergantung dari cara penyulingan yang digunakan sebagai contoh daun nilam, kemangi dan sereh wangi sebaiknya disuling dengan cara penyulingan dengan uap langsung. Hal ini dikarenakan pada penyulingan uap biasanya proses penyulingan dimulai dari tekanan rendah sekitar 1 atmosfir dan akhirnya tekanan tinggi, sehingga penetrasi uap ke dalam daun dapat berlangsung dengan sempurna. Komponen minyak nilam terdapat dalam fraksi yang titik didihnya tinggi dan komponen tersebut hanya tersuling bila tekanan uap cukup tinggi dan waktu penyulingan cukup lama. Tekanan uap yang dipakai biasanya sampai 2,5-3,0 atmosfir, dan tekanan uap pada awal penyulingan sekitar 1 atmosfir (Ketaren, 1985). Dari hasil penelitian Nurdjannah dan Hidayat (1994), bahwa penyulingan cara direbus menghasilkan rendemen minyak bunga cengkeh yang lebih tinggi dari pada cara dikukus. Hal ini diduga dengan cara direbus, kontak air dengan bahan lebih lama dibandingkan dengan kontak uap dengan bahan sehingga lebih banyak minyak yang keluar. Minyak hanya akan menguap setelah terjadi difusi cairan minyak se-

50

jumlah air panas, dan akan berhenti sama sekali atau menurun aktivitasnya jika bahan tersebut menjadi kering. Ampas sisa dari penyulingan ketumbar setelah dikeringkan dapat digunakan untuk makanan ternak karena masih mengandung 11-17% protein dan 1121% lemak (Ketaren, 1985). Bittera dalam Guenther (1990) telah melakukan penyulingan buah ketumbar dengan cara penyulingan uap selama 9 jam menghasilkan 0,92% minyak. Menurut Rusli et al., 1979 bahwa semakin lama penyulingan akan semakin banyak uap air yang berhubungan dengan minyak yang terdapat pada bahan, sehingga minyak yang tersuling semakin banyak. Sedangkan menurut Guenther (1949), pengambilan minyak dari jaringan tanaman oleh uap air berlangsung melalui proses diffusi yang berlangsung secara pelan-pelan. Oleh sebab itu semakin lama kontak bahan dengan uap air akan semakin banyak minyak yang terkandung didalam destilat. Beberapa dari hasil penelitian, seperti di Eropa Tengah dengan cara penyulingan uap menghasilkan minyak atsiri 0,5%. Rendemen minyak selain dipengaruhi lama penyulingan, faktor yang lainnya adalah penanganan bahan sebelum penyulingan yaitu penghalusan bahan. Dari hasil penelitian, pengaruh kehalusan bahan terhadap rendemen minyak, menunjukkan bahwa bahan yang dihaluskan dapat meningkatkan rendemen minyak. Hal ini dikarenakan air dan bahan lebih mudah kontak sehingga memudahkan minyak keluar dari bahan, penetrasi air atau uap ke

dalam jaringan bahan akan lebih mudah akibatnya minyak akan lebih mudah keluar dari dalam jaringan bahan. Berdasarkan dari literatur, buah ketumbar dari Hongaria diperoleh rendemen minyak 1,1%. Buah ketumbar dari Jerman dan Cekoslovakia masingmasing menghasilkan rendemen minyak 0,8 dan 1%. Buah ketumbar berasal dari Perancis rendemen minyaknya sekitar 0,4%, buah ketumbar berasal dari Italia 0,35%, buah ketumbar dari Maroko rendemen minyaknya sekitar 0,3% sedangkan buah ketumbar dari Indonesia menghasilkan rendemen minyaknya antara 0,15 - 0,25% (Guenther, 1949). Hal ini menunjukkan bahwa rendemen minyak atsiri dipengaruhi oleh faktor iklim, tempat tumbuh dan ketinggian tempat. Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (kurang lebih 1 atmosfir), kemudian secara berangsur-angsur tekanan uap dinaikkan secara bertahap sampai pada akhir proses yaitu ketika minyak yang tertinggal dalam bahan relatif kecil dan hanya komponen minyak yang bertitik didih tinggi saja yang masih tertinggal di dalam bahan. Jika permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi, maka komponen kimia dalam minyak akan mengalami dekomposisi. Jika minyak kimia dalam bahan dianggap sudah habis tersuling, maka tekanan uap perlu diperbesar lagi yang bertujuan untuk menyuling komponen kimia yang bertitik didih tinggi. Penyulingan pada tekanan dan suhu yang terlalu tinggi akan menguraikan komponen kimia minyak dan dapat

51

mengakibatkan minyak.

proses

resinifikasi

Komposisi minyak ketumbar Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia yang terdapat dalam minyak atsiri. Ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri berkisar antara 0,4-1,1%, minyak ketumbar termasuk senyawa hidrokarbon beroksigen, komponen utama minyak ketumbar adalah linalool yang jumlah sekitar 60-70% dengan komponen pendukung yang lainnya adalah geraniol (1,62,6%), geranil asetat (2-3%) kamfor (24%) dan mengandung senyawa golongan hidrokarbon berjumlah sekitar 20% (-pinen, -pinen, dipenten, p-simen, -terpinen dan -terpinen, terpinolen dan fellandren) (Lawrence dan Reynolds, 1988; Guenther, 1990). Kom Tabel 1. Komposisi kimia minyak ketumbar No. Komponen 1. Hidrokarbon, terdiri dari: d--pinen dl--pinen -pinen dipenten p-simen -terpinen dan -terpinen terpinolen dan fellandren 2.

posisi kimia minyak ketumbar dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan jenis unsur penyusun senyawa minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa hidrokarbon beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak atsiri, serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi dan resinifikasi. Tingkat kematangan ketumbar akan mempengaruhi komposisi minyak ketumbar, komposisi minyak akan menentukan mutu minyak ketumbar. Pada ketumbar yang belum masak, komponen minyaknya adalah golongan aldehid. Sedangkan ketumbar yang masak, komponen minyaknya adalah golongan alkohol monoterpen dan linalool. Persenyawaan linalool, jika dioksidasi akan menghasilkan sitral atau persenyawaan geraniol. Jumlah (%) 20

Hirdrokarbon beroksigen, terdiri dari: d-linalool n-desil aldehid geraniol l-borneol asam asetat asam desilat

60-70

Sumber: Guenther (1990)

52

Sifat fisika kimia dan mutu minyak ketumbar Setiap minyak atsiri mempunyai sifat-sifat yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Sifat khas suatu minyak atsiri dibentuk oleh komposisi senyawa-senyawa kimia yang dikandungnya dan biasanya dinyatakan dalam sifat organoleptik dan sifat fisika kimia. Sifat organoleptik minyak atsiri dinyatakan dengan warna dan aroma. Sedangkan sifat fisika kimia meliputi berat jenis, indeks bias, putaran optik, bilangan asam dan kelarutan dalam etanol 70%, bilangan asam, bilangan ester, serta komposisi senyawa kimia yang dikandungnya dapat dijadikan kriteria untuk menentukan tingkat mutu dari minyak (Anonim, 2006). Sifat kimia menyatakan jumlah atau besaran kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam minyak atsiri tersebut (Sulaswatty dan Salim, 2002). Nilai-nilai sifat fisika kimia minyak atsiri merupakan gambaran umum minyak atsiri. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai patokan dalam perdagangan, baik di dalam negeri (Standar Nasional Indonesia) maupun internasional (Standar Internasional). Sifat fisika kimia minyak ketumbar dapat dilihat pada Tabel 2. Minyak atsiri merupakan hasil metabolisme sekunder di dalam tumbuhan. Karakteristik fisika kimia minyak atsiri setiap tanaman berbeda. Mutu minyak atsiri pada tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jenis atau varietas tanaman, iklim, bibit unggul, kondisi lingkungan tumbuh, umur dan waktu panen, cara

penanganan bahan, metode ekstraksi, penyulingan yang tepat, jenis logam alat penyulingan, jenis kemasan dan cara penyimpanan minyak (Ketaren, 1985; Rusli, 2002). Sifat-sifat khas dan mutu minyak atsiri dapat berubah mulai dari minyak yang masih dalam bahan yang mengandung minyak, selama proses ekstraksi, penyimpanan dan pemasaran. Untuk itu perlu diperhatikan mulai dari teknik penanganan bahan baku sampai ke penyimpanan minyak atsiri. Kesulitan lainnya dalam menganalisis minyak adalah karena sebagian besar komponen berupa cairan, sehingga diperlukan teknik fraksinasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak ketumbar dipengaruhi oleh (1) suhu pengeringan, dikeringkan dengan alat pengering sebaiknya tidak lebih dari 40C, (2) tingkat kematangan buah ketumbar, buah ketumbar yang belum matang akan menghasilkan mutu dan rendemen minyak yang rendah. Ketumbar yang matang dan segera disuling, menghasilkan rendemen minyak sekitar 0,83%. Matangnya buah tidak bersamaan tapi bertahap untuk itu dibutuhkan penilaian untuk menentukan waktu optimal panen. Hasil penelitian Setyaningsih (1992), menunjukkan bahwa masak fisiologi tercapai pada saat buah ketumbar berwarna kuning sampai coklat (sekitar 4-6 bulan setelah tanam) dimulai dengan mengeringnya tangkai payung yang diikuti dengan mengerasnya pangkal perlekatan buah dengan tangkai payungnya serta buahbuah pada payung telah berubah warna

53

dari hijau menjadi kuning kecoklatan, (3) tanah tempat tumbuh, tanaman ketumbar cocok di tanam pada tanah yang agak liat, (4) iklim, (5) ukuran bentuk buah ketumbar, buah ketumbar berukuran kecil menghasilkan rendemen minyak lebih tinggi dibandingkan buah berukuran besar dan (6) teknik penyulingan, pada penyulingan uap, jumlah air yang kontak langsung dengan bahan yang disuling, diusahakan sedikit mungkin, tetapi air harus ada untuk membantu kelancaran proses difusi, (7) varietas ketumbar, varietas Coriandrum sativum var. microcarpum D.C diameter buahnya berkisar antara 1,5 - 3 mm lebih kecil kandungan minyak atsirinya lebih tinggi dari pada Coriandrum sativum var. vulgare Alet diameter buahnya berkisar antara 3-6 mm (Ketaren, 1985; Guenther, 1987; Purseglove et al., 1981; Hadipoentyanti dan Udarno, 2002). Linaool merupakan penyusun utama minyak ketumbar, pada minyak ketumbar linalool yang terkandung sekitar 60 - 70%, linalool termasuk senyawa terpenoid alkohol, berbentuk cair, tidak berwarna dan beraroma wangi. Linalool mempunyai rumus empiris Tabel 2. Sifat fisika kimia minyak ketumbar Karakteristik Berat jenis, pada 15C

C10H18O rumus struktur 3,7 dimetil1,6 oktadien-3-ol, linalool merupakan senyawa alcohol tidak siklik (lurus) (http://chemicalland 21.com/specialtychem/perchem/linalool. htm). Linalool dapat dibuat secara alami maupun sintesis, dari alami berasal dari bunga lavender, bergamot, rose wood, sereh wangi, bunga dan daun jeruk. Sedangkan sintesis linalool diperoleh dari dan - pinen dan diproses secara etimilasi dengan katalis asetilen menjadi dehidrolinalool, menghasilkan linalool melalui proses hydrogenasi dari ikatan rangkap tiga dengan katalis lain karbon paladium. Senyawa komponen linalool sintesis sama seperti linalool alami, aromanya wangi lembut seperti bergamot (http://www.Leffingwell.com/bacis/bnb 99081. html). Linalool mengandung 2 enansiomer atau lingkaran antipoda yang mempunyai nama (R) (-) linalool atau likareol dan (S) (+) linalool atau koriandrol. Likareol terdapat pada bunga lavender sedangkan koriandrol terdapat pada ketumbar yang menghasilkan aroma wangi.

Nilai 0,870-0,885, biasanya tidak lebih dari 0,878 Putaran optik +80 sampai +13O Indeks bias pada 20C 1,463-1,471 Bilangan asam, maks 5,0 Bilangan ester 3,0 22,7 Kelarutan dalam alkohol 70% pada suhu 20C larut dalam 2-3 volume
Sumber: Guenther (1952) dalam Ketaren, 1985

54

Senyawa linalool merupakan komponen yang menentukan intensitas aroma harum, sehingga minyak ketumbar dapat dipergunakan sebagai bahan baku parfum, aromanya seperti minyak lavender atau bergamot. Linalool banyak digunakan dalam dalam industri farmasi sebagai obat analgesik (obat menekan rasa sakit), parfum, aroma makanan dan minuman, sabun mandi, bahan dasar lilin, sabun cuci, sintesis vitamin E dan pestisida hama gudang maupun insektida untuk basmi kecoa dan nyamuk. Kegunaan ketumbar sebagai bahan obat antara lain untuk diuretik (peluruh air kencing), antipiretik (penurun demam), stomatik (penguat lambung), stimulant (perangsang), laxatif (pencahar perut), antelmintif (mengeluarkan cacing), menambah selera makan, mengobati sakit empedu dan bronchitis (Wahab dan Hasanah, 1996). Identifikasi linalool di dalam minyak dilakukan dengan metode kromatografi gas dan menggunakan bahan standar otentik linalool. Analisis dengan metode kromatografi gas memberikan informasi kualitatif dan kuantitatif tentang komponen utama dalam minyak. Disamping itu hasil kromatografi gas juga merupakan sidik jari (fingger print) yang dapat menunjukkan secara cepat mutu dan kemurnian suatu minyak atsiri. Sifat fisika kimia linalool dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat fisika kimia linalool Karakteristik Berat jenis (g/cm3) Titik leleh (C) Titik didih (C) Tekanan uap (at 25C) Nilai 0,8580,868 <20 198-200 21

Sumber : http://www.Ch.ic.ac.uk/wiki/index.php/It 07 linalool

KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN KETUMBAR DI INDONESIA Ketumbar merupakan tanaman asli dari daratan Eropa Timur, kemudian menyebar ke India, Morocco, Pakistan, Rumania dan Rusia (Purseglove et al., 1981). Rusia merupakan produsen terbesar rempah-rempah, sedang untuk ketumbar, India merupakan produsen terbesar dengan daerah-daerah penyebarannya meliputi Madras, Madya Pradesh, Bombay, Mysore dan Bihar. Negara-negara produsen ketumbar lainnya adalah Iran, Turki, Mesir, Libanon dan Israel. Ketumbar dapat tumbuh pada kisaran iklim yang lebar, tetapi dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah medium sampai berat pada lokasi yang subur, berdrainase baik dan kondisi lembab (Purseglove et al., 1981). Produksi ketumbar di Indonesia baru sebatas diambil daunnya yang masih muda untuk lalab, sayuran dan konsumsi swalayan. Produksi dalam bentuk biji masih rendah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan bumbu dapur, penyedap rasa dan untuk industri penyamak kulit setap tahunnya harus

55

mengimpor dari India, Rusia, Eropa Timur dan negara produsen lainnya dalam volume yang cukup besar antara 6.222.832 kg tahun 2005, sampai dengan 15.165.938 kg tahun 2004 (Badan Pusat Statistik, 2005). Besarnya impor ketumbar berfluktuasi, tetapi kecenderungannya selalu meningkat rata-rata sekitar 11,71 % per tahun dari tahun 1991 - 2005 (Tabel 5). Daerah penanaman yang dianggap cocok dan sudah ada tanamannya adalah Cipanas, Cibodas, Temanggung, Jember dan Sumatera Barat (Wahab dan Hasanah, 1996). Penanaman biasanya di sela-sela bedengan tanaman wortel. Walaupun komoditas ketumbar telah lama digunakan di Indonesia, namun penanamannya secara luas belum terdata secara pasti. Kondisi ini menunjukkan bahwa tanaman ketumbar belum diperhatikan oleh petani maupun pengusaha di bidang pertanian. Dengan belum terdatanya tanaman ketumbar secara luas dan produksi secara signifikan serta keterkaitannya dengan kebutuhan impor yang sangat tinggi, sebetulnya pengembangan agribisnis ketumbar mempunyai arti strategis. Strategisnya adalah bahwa ketumbar dibutuhkan setiap hari, minimal sebagai bumbu dapur. Namun demikian untuk mengetahui seberapa besar strategisnya, dibutuhkan data dukung secara rinci. Alat analisis yang digunakan adalah analisis finansial, digunakan untuk mengetahui layak tidaknya ketumbar ditanam di Indonesia dan analisis keunggulan kompetitif, digunakan untk mengetahui daya saing pro-

duk dan minyak ketumbar dalam negeri dibanding dengan bila diimpor. Analisis finansial usahatani ketumbar dan daya saingnya Karena ketumbar merupakan komoditas impor, maka untuk mengetahui apakah layak bila ditanam di dalam negeri dan mampu bersaing dengan harga internasional, perlu dilakukan kajian kearah analisis finansial dan daya saingnya. Analisis finansial digunakan untuk melihat manfaat suatu aktifitas ekonomi dalam hal ini budidaya ketumbar di Indonesia dilihat dari sudut petani atau individu yang terlibat dalam aktifitas tersebut (Sudaryanto et al., 2001). Sedang untuk melihat daya saing komoditas tersebut digunakan konsep keunggulan kompetitif (Saragih, 2001), konsep tersebut mendasarkan pada kondisi perekonomian aktual yang mengukur keuntungan privat (private profitability) dan dihitung berdasarkan harga aktual dengan menggunakan nilai tukar uang resmi yang berlaku saat itu. Untuk mengetahui kelayakan financial komoditas ketumbar digunakan data hasil penelitian Rosmeilisa et al. (2002). Hasil penelitian Rosmeilisa et al. (2002), diperoleh angka besarnya biaya produksi ketumbar dengan luasan 0,1 ha = Rp 3.178.000,- yang terdiri dari biaya upah sebesar Rp 1.220.000,- dan biaya bahan sebesar Rp 1.958.000,-. Dengan perolehan produksi berupa biji ketumbar sebanyak 165 kg, maka besarnya harga pokok produksi sebesar Rp 19.200,-/kg (Tabel 4).

56

Tabel 4. Biaya usahatani ketumbar (luas : 0,1 ha) Uraian A. UPAH Pengolahan tanah Membedeng dan melubang Membagikan pupuk dasar Pemberian pupuk dasar Menanam Menyulam Penyiangan Pemupukan susulan Pemberantasan H & P Panen 2 x setahun Sub Jumlah B BAHAN . Bibit / benih Pupuk kandang Pupuk NPK Fungisida Insektisida Sub Total TOTAL
Sumber : Rosmeilisa et al. (2002)

Volume (HOK) 20 10 5 5 10 5 30 5 12 20 122 1 kg 4 ton 500 kg 3 kg 3 kaleng

Harga (Rp) 10.000,-*) 10.000,10.000,10.000,10.000,10.000,10.000,10.000,10.000,10.000,-

Nilai (Rp) 200.000,100.000,50.000,50.000,100.000,50.000,300.000,50.000,120.000,200.000,1.220.000,28.000,100.000,1.500.000,150.000,180.000,1.958.000,3.178.000,-

28.000,25.000,3.000,50.000,60.000,-

Karena ketumbar merupakan komoditas impor dari India, Rusia, Eropa Timur dan negara eksportir lainnya, maka harga yang terbentuk merupakan harga bursa berjangka (futures exchange) dalam bentuk cif (cost insurance freight), artinya harga yang terjadi di-

pelabuhan ekspor dari negara eksportir. Untuk mengetahui harga domestik misalnya pada harga lokal di tingkat petani, caranya harus dilakukan konversi dari harga internasional menjadi harga lokal/domestik (Deperindag, 2000). Caranya sebagai berikut :

57

a) Rusian whole coriandrum sativum Linn, Agustus 2007 b) Freight + asuransi + komisi (10 %) c) Harga fob d) Kurs tengah Bank Indonesia e) Harga fob Tanjung Priok =900 x Rp 9 200,f) Atau harga fob di Pelabuhan Tanjung Priok sebesar g) Biaya : * biaya tetap(gaji pegawai, listrik, air, penyusutan) * biaya langsung terdiri dari: - penyusutan kdr air, triase, kotoran dll - bunga bank (3%) -ongkos buruh -biaya sortasi -biaya EMKL dan OPP -bahan pembantu (karung, tali dll) -biaya sampling h) Harga Lokal ( f g)

= 1 050 US dolar/mt = = = = = 150 US dolar/mt 900 US dolar/mt Rp 9.200,-/US dolar Rp 8.280.000,-/mt Rp 8.280,-/Kg

= Rp 237,-

= = = = = = = =

Rp 828,Rp 188,80 Rp 10,Rp 15,Rp 42,Rp 45,Rp 2,Rp 6 912,20/Kg

Dari harga lokal yang terjadi, selanjutnya ingin diketahui harga ketumbar di tingkat petani, apabila ketumbar dibudidayakan di Indonesia. Penelitian tentang marjin pemasaran ketumbar dan harga yang diterima petani belum tersedia. Oleh karenanya diasumsikan pemasaran dan harga yang diterima petani ketumbar diasumsikan seperti pada komoditas lada hasil penelitian Mauludi dan Rosmeilisa (1989) yaitu marjin pemasaran sebesar 11,9%, dan bagian harga yang diterima petani sebesar 88,1%. Harga ketumbar yang wajar diterima oleh petani dengan demikian adalah sebesar Rp 6.912,20 x 88,1% = Rp 6.089,65/kg. Dari hasil perhitungan harga yang wajar dari ketumbar asal impor sebesar Rp 6.089,65/kg dibanding dengan harga pokok produk seandainya ketumbar ditanam di Indonesia sebesar

Rp 19.200,-/kg (Tabel 4), maka dikatakan bahwa pengembangan ketumbar di Indonesia tidak efisien, karena untuk menghasilkan 1 kg ketumbar yang dibudidayakan di Indonesia dibutuhkan dana sebesar Rp 19.200,- sedang apabila di impor dari luar negeri, 1 kg ketumbar hanya dibutuhkan biaya sebesar Rp 6.089,65. Untuk melihat daya saing ketumbar apabila dikembangkan di Indonesia, diukur melalui keuntungan privat berdasarkan atas harga aktual. Keuntungan yang diperoleh dari usahatani ketumbar di Indonesia dari hasil analisis adalah negatif atau merugi sebesar Rp 10.920,- yang didapat dari harga fob dikurangi harga pokok produksi. Sedangkan DRCR (Domestic Resource Cost of Revenue) diperoleh sebesar negatif 2,31. Artinya bahwa produksi ke-

58

Tabel 5. Volume dan nilai impor ketumbar serta pertumbuhannya Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Volume (kg ) 5.450626 9.489.567 10.377.594 6.480.936 6.405.832 7.958.029 9.046.600 7.703.923 11.531.408 8.947.338 9.244.317 9.695.702 6.613.014 15.165.938 6.222.832 8.728.910,4 Pertumbuhan (%) 74,10 9,35 ( 3,75 ) ( 1,15 ) 24,23 13,67 ( 14,84 ) 49,68 ( 22,40 ) 3,32 4,88 ( 31,79 ) 129,33 ( 58,96 ) 11,71 Nilai (US $) 2.268.832 4.918.327 4.123.283 2.571.685 2.286.131 3.795.046 4.369.046 2.895.809 3.064.437 2.510.503 2.865.280 3.551.953 2.741.475 5.525.710 2.062.503 3.303.334,6 Pertumbuhan (%) 116,77 ( 16,16 ) ( 37,63 ) (11,10) 66,04 15,09 ( 83,7 ) 5,87 ( 22,06 ) 14,13 23,96 ( 22,81 ) 112,65 ( 62,67 ) 6,55

Sumber: Badan Pusat Statistik (1991- 2005)

tumbar yang dihasilkan Indonesia tidak mempunyai daya saing di pasar internasional, karena untuk menghasilkan devisa sebesar 1 US dolar dibutuhkan biaya dalam negeri sebesar 2,31 US dolar. Analisis Nilai Tambah (added value) minyak ketumbar Untuk mengetahui besarnya nilai tambah dari pengolahan biji ketumbar menjadi minyak ketumbar, dianalisis melalui dua skenario yaitu : (1) bahan baku biji ketumbar berasal dari impor dan (2) bahan baku berasal dari produksi dalam negeri.

Skenario (1) Dengan harga minyak atsiri ketumbar asal Rusia pada pasar penyerahan (Rusian Spot) sebesar 49 US dolar (Public Ledger, 2007) atau setara dengan Rp 450.800,- per kg, maka salah satu upaya untuk memperoleh nilai tambah dari komoditas ketumbar adalah melalui pengolahan biji menjadi minyak ketumbar. Dengan rendemen minyak sebesar 1,0% (Purseglove et al., 1981), maka setiap 100 kg biji ketumbar akan dihasilkan minyak ketumbar sebanyak 1,0 kg. Jika harga impor biji ketumbar per kg sebesar Rp 8.280,- (harga fob di pelabuhan Tanjung Priok), maka untuk memperoleh 1 kg minyak, akan dibutuhkan biaya bahan sebesar 100 x Rp 8.280,= Rp 828.000,-. Upaya penciptaan nilai

59

tambah melalui pengolahan biji ketumbar asal impor menjadi minyak ketumbar tidak memberikan nilai tambah, bahkan merugi sebesar Rp 378.000,per kilgram minyak. Skenario (2) Dengan harga pokok produk ketumbar di dalam negeri sebesar Rp 19.200,-/kg (Tabel 4) dan rendemen minyak sebesar 1%, maka untuk memperoleh 1 kg minyak atsiri dibutuhkan biaya sebesar Rp 1.920.000,-. Jika harga minyak ketumbar impor sebesar 49 US dolar atau setara Rp 450.800,- maka usaha penyulingan minyak ketumbar dengan bahan baku yang diperoleh dari budidaya ketumbar di dalam menjadi tidak efisien karena lebih mahal sebesar Rp 1.470.000,- per kilogramnya. KESIMPULAN Ketumbar merupakan salah satu komoditas penghasil minyak atsiri yang semula diperkirakan mempunyai potensi dan bernilai komersial tinggi, ternyata setelah melalui perhitungan-perhitungan dengan analisis finansial dan analisis biaya sumber daya domestik ternyata belum layak dikembangkan di Indonesia. Melalui analisis keunggulan komparatif komoditas ketumbar tidak mempunyai daya saing karena diperoleh keuntungan privat yang negatif. Hingga saat ini budidaya ketumbar baru sebatas diambil daunnya yang masih muda, digunakan untuk lalaban, bumbu masak dan memenuhi permintaan swalayan sebagai sayuran. Karena produktivitas bijinya yang

masih rendah, apabila disuling menjadi minyak ketumbar ternyata juga tidak menguntungkan dan tidak mempunyai daya saing. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor. Badan Pusat Statistik. Jakarta. 738 hal. Basu, B.D., 1975. Indian Medical Plant. Part II. Bishen Singh Mahendra Pal Singh, New Connaught Place, Dahra Dun. 64 p. Deperindag, 2000. Petunjuk cara mengkonversikan harga internasional ke harga lokal. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. Jakarta. 25 hal. Duryatmo S., 1999. Majalah Trubus 356 (XXX). Jakarta. hal 71. Guenther, E., 1949. The essential oils. Vol. I D. Van Nostrand Co., Inc. New York. 354-356 p. Guenther, E., 1987. Minyak atsiri. Jilid I, Penerjemah S. Ketaren. Penerbit Universitas Indonesia. 507 hal. Guenther, E., 1990. Minyak atsiri. Jilid IV B, Penerjemah S. Ketaren dan R. Mulyono Penerbit Universitas Indonesia. hal. 679-693. Hadipoentyanti, E. dan L., Udarno, 2002. Karakteristik plasma nutfah ketumbar (Coriandrum sativum L.). Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. hal. 357-361.

60

Hargono D., 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan Indonesia. hal. 149-152. Hobir dan S. Rusli, 2002. Diversifikasi ragam dan peningkatan mutu minyak atsiri. Makalah pada Workshop Nasional Minyak Atsiri di Cipayung. Dep. Perindustrian dan Perdagangan. 22 hal. It: Linalool. http://www. Ch.ic.ac.uk/ wiki/index.php/It: linalool (http://www. Leffingwell.com/bacis/ bnb 99081. html. Linalool (3,7 dimethyl-1,6-octadien3ol). http://chemicalland 21.com/ specialtychem/perchem/linalool.ht m. Ketaren, S., 1985. Pengantar teknologi minyak atsiri. PN Balai Pustaka, Jakarta. 426 hal. Lawrence, B.M. and R.J., Reynolds, 1988. Progress in essential oils. Perfumer Flavorist. An Allured Publication. Vol. 13(3): 49-50. Mauludi, L. dan Hobir, 1991. Prospek dan permasalahan dalam pengembangan tanaman atsiri Indonesia. Prosiding Pengembangan Tanaman Atsiri di Sumatera. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hal. 158-163. Mauludi, L dan P. Rosmelisa, 1989. Keragaan dan Prospek Pemasaran Lada Hitam di Lampung. Seminar Balittro tanggal 11 Pebruari 1989. Balittro. 14 hal. (tidak dipublikasi).

Nurdjannah, N. dan T. Hidayat, 1994. Pengaruh cara dan waktu penyulingan terhadap mutu minyak bunga cengkeh. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balai Penelian Rempah dan Obat, Bogor. Vol. IX (2): 61-66. Narpati, D., 2000. Prospek dan kendala ekspor nilam. Prosiding Gelar Teknologi Pengolahan Gambir dan Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hal. 7585. Public L., 2007. Daily Market Price. World Commodity Weekly (72) 537. w w w. Public-ledger. Com. P. 16-21. Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green and S.R.J. Robbin, 1981. Spices. Vol II. Longman Group Limited, New York. p. 813. Rusli, S., D. Sumangat, I.S. Sumirat, 1979. Pengaruh lama pelayuan dan lama penyulingan terhadap rendemen dan mutu minyak pada penyulingan serai dapur. Pemberitaan Lembaga Penelitian Tanaman Industri, Bogor. hal. 44-54. Rusli, S., 2002. Diversifikasi ragam dan peningkatan mutu minyak atsiri. Makalah Workshop Nasional Minyak Atsiri. Deperindag. Jakarta. Rosmeilisa, P., D. Rusmin dan Sukarman, 2002. Potensi dan Kendala Pengembangan Tanaman Ketumbar di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Pusat Pene-

61

litian Biologi LIPI bekerjasama dengan Yayasan Keaneka Ragaman Hayati, Asian Pasific Information Net Work on Medicinaland Aromatic Plant United Nation Educational Scientific and Cultural Organization, Japan International Cooperation Agency. hal. 482487. Saragih, B., 2001. Agribisnis. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pustaka Wira Usaha Muda. Jakarta. 243 hal. Setyaningsih, P., 1992. Studi fenologi dan pengaruh posisi payung terhadap viabilitas benih ketumbar. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta, IPB. Bogor. 54 hal. Sudaryanto T., I Wayan Rusastra dan Saptana, 2001. Perspektif Pengembangan Ekonomi Kedelai di Indonesia. Forum Penelitian Agro Eko-

nomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal. 1-20. Sulaswatty, A. dan T. Salim, 2002. Pengembangan teknologi pengolahan minyak atsiri di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Unpublish makalah disampaikan pada diskusi atsiri Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. hal. 1-12. Soeharso, 1988. Coriandrum Sativum L. Asri (63) :98 p. Standar Nasional Indonesia, 2006. Minyak nilam. Badan Standardisasi Nasional. 11 hal. Wahab, I. dan M., Hasanah, 1996. Perkembangan penelitian aspek perbenihan tanaman ketumbar (Coriandrum sativum Linn). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol XV(1) 1-5.

62

Anda mungkin juga menyukai