Disusun oleh:
Eka rini mahmudah (10)
Eri ermawati (11)
Ida rahayu (14)
Krismono ardiyanto (16)
Mariyati(19)
Tri meilani (31)
Sekolah menengah kejuruan negeri 1 panjatan
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian minyak atsiri
Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dan banyak digunakan dalam industri
sebagai pemberi aroma dan rasa. Nilai jual dari minyak atsiri sangat ditentukan oleh kualitas
minyak dan kadar komponen utamanya. Minyak atsiri di Indonesia sebagian besar masih
diusahakan oleh masyarakat awam, sehingga minyak yang dihasilkan tidak memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan. Kualitas atau mutu minyak atsiri ditentukan oleh karakteristik
alamiah dari masing-masing minyak tersebut dan bahan-bahan asing yang tercampur di
dalamnya. Adanya bahan-bahan asing tersebut dengan sendirinya akan merusak mutu minyak
atsiri yang bersangkutan. Bila tidak memenuhi persyaratan mutu, maka nilai jual minyak tersebut
akan jauh lebih murah.
Untuk meningkatkan kualitas minyak dan nilai jualnya, bisa dilakukan dengan beberapa proses
pemurnian baik secara fisika ataupun kimia. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
proses pemurnian bisa meningkatkan kualitas minyak tersebut, terutama dalam hal warna, sifat
fisikokimia dan kadar komponen utamanya. Proses pemurnian yang akan dibahas adalah untuk
pemurnian minyak nilam, akar wangi, kenanga dan daun cengkeh. Dari proses pemurnian bisa
dihasilkan minyak yang lebih cerah dan karakteriknya memenuhi persyaratan mutu standar.
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak atsiri, seperti minyak nilam, sereh
wangi yang dikenal sebagai Java cittronellal oil, akar wangi, pala, kenanga, daun cengkeh, dan
cendana. Beberapa daerah produksi minyak atsiri adalah daerah Jawa Barat (sereh wangi, akar
wangi, daun cengkeh, pala), Jawa Timur (kenanga, daun cengkeh), Jawa Tengah (daun cengkeh,
nilam), Bengkulu (nilam), Aceh (nilam, pala), Nias, Tapanuli, dan Sumatera Barat (Manurung,
2003).
Teknik penyulingan minyak atsiri yang selama ini diusahakan para petani, masih dilakukan
secara sederhana dan belum menggunakan teknik penyulingan secara baik dan benar. Selain itu,
penanganan hasil setelah produksi belum dilakukan secara maksimal, seperti pemisahan minyak
setelah penyulingan, wadah yang digunakan, penyimpanan yang tidak benar, maka akan terjadi
proses-proses yang tidak diinginkan, yaitu oksidasi, hidrolisa ataupun polimerisasi. Biasanya
minyak yang dihasilkan akan terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman atau sedikit kehijauan
akibat kontaminasi dari logam Fe dan Cu. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisika kimia
minyak. Untuk itu, proses penyulingan minyak yang baik dan benar perlu diketahui secara lebih
rinci, sehingga minyak yang dihasilkan dapat memenuhi persyaratan mutu yang ada.
Kualitas atau mutu minyak atsiri ditentukan oleh karakteristik alamiah dari masing-masing
minyak tersebut dan bahan-bahan asing yang tercampur di dalamnya; adanya bahan-bahan asing
akan merusak mutu minyak atsiri. Komponen standar mutu minyak atsiri ditentukan oleh
kualitas dari minyak itu sendiri dan kemurniannya. Kemurnian minyak bisa diperiksa dengan
penetapan kelarutan uji lemak dan mineral. Selain itu, faktor yang menentukan mutu adalah
sifat-sifat fisika-kimia minyak, seperti bilangan asam, bilangan ester dan komponen utama
minyak, dan membandingkannya dengan standar mutu perdagangan yang ada. Bila nilainya tidak
memenuhi berarti minyak telah terkontaminasi, adanya pemalsuan atau minyak atsiri tersebut
dikatakan bermutu rendah. Faktor lain yang berperan dalam mutu minyak atsiri adalah jenis
tanaman, umur panen, perlakuan bahan sebelum penyulingan, jenis peralatan yang digunakan
dan kondisi prosesnya, perlakuan minyak setelah penyulingan, kemasan dan penyimpanan.
Minyak atsiri yang dihasilkan dari tanaman aromatik merupakan komoditas ekspor non migas
yang dibutuhkan diberbagai industri seperti dalam industri parfum, kosmetika, industri
farmasi/obat-obatan, industri makanan dan minuman. Dalam dunia perdagangan, komoditas ini
dipandang punya peran strategis dalam menghasilkan produk primer maupun sekunder, baik
untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Komoditas ini masih tetap eksis walaupun selalu
terjadi fluktuasi harga, namun baik petani maupun produsen masih diuntungkan.
Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar sebagai salah satu negara penghasil minyak
atsiri. Dari 70 tanaman penghasil penghasil minyak atsiri yang ada di dunia, sekitar 40 jenis
diantaranya dapat diproduksi di Indonesia karena tanaman penghasilnya dapat dibudidayakan
dengan pertumbuhan yang cukup baik. Namun pada kenyataannya sampai dengan tahun 1993
baru tercatat sekitar 14 jenis minyak atsiri Indonesia yang cukup nyata peranannya sebagai
komoditi ekspor. Bidang penggunaan minyak atsiri sangat luas, antara lain dalam industri
kosmetik, penyedap makanan, parfum, farmasi dan obat-obatan, bahkan digunakan pula sebagai
insektisida.
Sebagian besar minyak atsiri yang diproduksi oleh petani diekspor, pangsa pasar beberapa
komoditas aromatik seperti nilam (64%), kenanga (67%), akar wangi (26%), serai wangi (12%),
pala (72%), cengkeh (63%), jahe (0,4%) dan lada (0,9%) dari ekspor dunia (Ditjenbun 2004;
FAO, 2004). Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor minyak atsiri pada tahun 2002,
volume impor mencapai 33.184 ton dengan nilai US$ 564 juta, serta hasil olahannya (derivat,
isolat dan formula) yang jumlahnya mencapai US$ 117.199-165.033 juta tiap tahun. Diantara
minyak atsiri yang diimpor, terdapat tanaman yang sebenarnya dapat diproduksi di Indonesia
seperti menthol (Mentha arvensis) dan minyak anis (Clausena anisata). Oleh sebab itu
keanekaragaman minyak atsiri Indonesia yang bertujuan untuk ekspor maupun berfungsi sebagai
substitusi impor harus ditingkatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Minyak daun cengkeh adalah minyak atsiri yang diperoleh dari penyulingan daun dan ranting
tanaman cengkeh. Minyak daun cengkeh hasil penyulingan rakyat seringkali berwarna hitam
kecoklatan dan kotor, sehingga untuk meningkatkan nilai jual dari minyak tersebut, perlu
dilakukan pemurnian. Dari beberapa hasil pemurnian menunjukkan bahwa minyak dapat
dimurnikan dengan metoda adsorpsi dan pengkelatan. Komponen minyak daun cengkeh dapat
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan eugenol
sebagai komponen terbesar. Kelompok kedua adalah senyawa non fenolat yaitu β-kariofeilen, α-
kubeben, α-kopaen, humulen, δ- kadien, dan kadina 1,3,5 trien dengan β-kariofeilen sebagai
komponen terbesar. Eugenol mempunyai flavor yang kuat dengan rasa yang sangat pedas dan
panas (Sastrohamidjojo, 2002).
Pada proses pemurnian minyak daun cengkeh dengan bentonit 1 sampai 10 % diketahui bahwa
dengan peningkatan konsentrasi bentonit terjadi peningkatan kejernihan, kecerahan dan warna
minyak. Peningkatan kejernihan terjadi karena bentonit sifatnya mudah menyerap air dan logam,
sehingga dengan berkurangnya air dan logam yang terikat dalam minyak menyebabkan minyak
menjadi jernih. Pemurnian secara pengkelatan dengan asam sitrat 0,6 % juga menunjukkan hasil
yang sama, yaitu peningkatan kejernihan dan kualitas minyak (Marwati et al., 2005).
Populasi Cengkeh, bila di daerah Jawa banyak terdapat di Garut, Trenggalek, Pacitan, Malang,
dan di lereng Gunung Lawu. Sementara di luar jawa, Sulawesi Selatan kabarnya juga daerah
dengan populasi yang cukup banyak, namun belum termanfaatkan minyak daunnya. Dan yang
sudah terkenal dari dahulu kala, Maluku dan Maluku Utara, sebagai daerah tujuan pencarian
rempah-rempah, termasuk cengkeh. Di Aceh juga banyak dijumpai tanaman ini. Adapun di
negara lain, Zanzibar adalah salah satu ikon cengkeh dunia. Adapun tujuan pemasaran, daerah
yang banyak membutuhkan ditilik dari permintaan melalui situs Alibaba.com, India adalah
konsumen yang senantiasa memerlukan dalam jumlah besar dan kontinyu.
Produk akhir berupa minyak cengkeh, di apotek, dilihat juga sudah mulai ada yang memasarkan
produk ini, termasuk salah satu produsen minyak-minyakan yang biasanya menjadi ikon minyak
angin dan minyak telon.
Sentra produksi minyak cengkeh terdapat di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra
Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan. Produksi minyak cengkeh Indonesia pada tahun 2007 sekitar
2.500 ton dengan perkiraan pemakaian dunia sekitar 3.500 ton / tahun. Walaupun demikian
volume ekspor minyak cengkeh sangat kecil, karena sebagian besar minyak cengkeh sudah
diolah menjadi produk turunannya sehingga yang diekspor lebih banyak pada produk
turunannya, seperti eugenol, eugenol asetat, dan lain-lain.
Tanaman cengkeh memiliki kandungan minyak atsiri dengan jumlah cukup besar, baik dalam
bunga (10-20%), tangkai (5-10%) maupun daun (1-4%). Dari ketiga bagian tersebut yang paling
ekonomis adalah ekstrak bagian daunnya. Oleh karena itu jenis minyak cengkeh yang umum
diperjualbelikan adalah minyak daun cengkeh ( clove leaf oil ). Kandungan utama minyak atsiri
bunga cengkeh adalah eugenol (70-80%). Eugenol adalah komponen utama minyak cengkeh
berupa cairan tidak berwarna, beraroma khas, dan mempunyai rasa pedas yang banyak
dimanfaatkan dalam industri fragrance dan flavor karena memiliki aroma yang khas dan industri
farmasi karena bersifat antiseptik.
Minyak daun cengkeh Indonesia sudah dikenal di pasar dunia sejak tahun 1970, sedangkan
minyak tangkai dan bunga cengkeh mulai tahun 1992 masuk pasaran dunia. Sebagai bahan obat,
cengkeh telah lama digunakan terutama untuk kesehatan gigi, yaitu eugenol murni sebagai obat
gigi. Disamping itu dapat dipakai sebagai bahan baku obat kumur, dan industri pasta gigi. Dalam
hal ini digunakan minyak cengkeh karena mengandung eugenol yang bersifat antiseptik. Dalam
industri makanan cengkeh digunakan dalam bentuk bubuk atau produk hasil ekstraksi dari bunga
cengkeh seperti minyak cengkeh atau oleoresin.
Standar merupakan dokumen yang sangat penting dalam menentukan kualitas suatu bahan
dengan persyaratan tertentu, yang meliputi persyaratan spesifikasi, prosedur dan aturan yang
bersifat dinamis, sehingga perlu dikelola secara profesional dengan memperhatikan kebutuhan
pengguna serta perkembangan teknologinya. Bila tidak memenuhi aturan tersebut, maka dapat
menimbulkan masalah sosial seperti menurunkan persaingan akibat adanya hambatan dalam
menembus pasar serta tidak cukupnya proteksi terhadap pengguna dan perlindungan lingkungan.
Sebaliknya, apabila standar dirumuskan berdasarkan acuan ke standar-standar nasional yang
telah diakui serta ke standar internasional yang merefleksikan persyaratan pasar dunia dan tidak
sekedar pada kondisi khusus untuk pasar dalam negeri, maka standar dapat membantu proses
perencanaan, mendukung pembuatan dan penjualan barang dan jasa dengan lebih mudah baik di
pasar domestik dan pasar bebas.
Persyaratan standar mutu minyak atsiri menggunakan batasan atau kriteria-kriteria tertentu.
Biasanya dalam karakteristik mutu dicantumkan sifat khas minyak atsiri sesuai dengan bahan
asalnya atau karakteristik ilmiah dari masing-masing minyak tersebut.Dari sifat fisika kita akan
mengetahui keasliannya, sedangkan sifat kimia, meliputi komponen kimia pendukung minyak
secara umum bisa diketahui, terutama komponen utamanya. Adanya bahan-bahan asing yang
tercampur dengan sendirinya akan merusak mutu minyak tersebut. Oleh karena itu, cara-cara
sederhana tetapi teliti sangat diperlukan untuk mendeteksi adanya bahan-bahan asing, baik secara
kualitatif ataupun kuantitatif. Bahkan persyaratan tertentu seperti komponen utama minyak atsiri
perlu dicantumkan dalam upaya menghindari pemalsuan (Pardede, 2003). Contoh standar yang
digunakan dalam perdagangan minyak daun cengkeh
. SNI : 06-4267-1996 Minyak Cengkeh (Clove Oil)
Parameter Mutu Minyak
Karakteristik
Cengkeh
Faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak yang disulingadalah waktu penyulingan, suhu, dan
tekanan uap, serta kualitas mesin yangdigunakan. Minyak atsiri merupakan produk yang sangat
komplek. Minyak atsiridapat diproduksi sangat banyak dari tanaman maupun akar-akaran,
ratusan ikatankimia yang ada pada minyak atsiri dapat membawa aroma dan dapat
digunakansebagai obat-obatan. Beberapa molekul yang terkandung pada minyak atsiri dapatrusak
karena kondisi lingkungan maupun proses pengolahan dengan suhu yangsangat tinggi.Suhu dan tekanan yang
tinggi sering digunakan untuk produksiminyak atsiri dengan skala besar, yang membutuhkan
waktu yang pendek,biasanya minyak yang diproduksi digunakan sebagai industri kosmetik,
maupunbahan tambahan makanan, namun kadang ada yang dijual dalam bentuk minyak atsiri,
dengan harga yang cukup murah jika dibandingkan dengan minyak atsiriyang diolah menjadi produk lain
seperti parfum (Cech 2007).
G. PEMASARAN
b. Harga
Harga minyak daun cengkeh relatif stabil pada tahun 2002 dan 2003. Pada awal tahun 2002 harga minyak daun cengkeh
mencapai Rp 29.500,- dan pada tahun 2003 berfluktuasi antara Rp 23.000,- sampai Rp 25.000,- per kilogram. Harga tersebut
juga cenderung stabil hingga memasuki tahun 2004. Fluktuasi harga minyak daun cengkeh
sedikit banyak juga dipengaruhi oleh fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada
saat krisis tahun 1997, harga minyak daun cengkeh bisa mencapai Rp 57.000,- per kilogram
(data primer). Berdasarkan data primer lapangan yang diperoleh, para pengusaha minyak daun
cengkeh memperkirakan harga untuk kondisi breakeven point (BEP) atau impas adalah sekitar
Rp 20.000,- per kilogram. Dengan melihat selisih harga pada kondisi BEP dengan harga jual di
pasar, maka usaha ini cukup menjanjikan.
c. Jalur Pemasaran
Secara umum, jalur pemasaran minyak daun cengkeh tidak berbeda dengan komoditi pertanian
lainnya. Di pemasaran dalam negeri, produsen menjual produk ke pedagang pengumpul atau
agen eksportir. Barulah kemudian produk tersebut sampai ke tangan eksportir. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, sebagian besar perdagangan minyak daun cengkeh adalah untuk ekspor.
Pada praktiknya, keadaan pasar sering dipengaruhi oleh orang yang pertama kali melakukan
proses transaksi. Ada beberapa situasi pemasaran yang terjadi. Pertama, pihak produsen langsung
menjual produk ke tengkulak, pedagang perantara, atau agen eksportir. Dalam hal ini, produsen
memiliki posisi tawar yang lemah. Harga lebih banyak dipengaruhi oleh pembeli. Situasi kedua,
pihak pembeli yang mencari produsen. Pada situasi ini, produsen dapat memperoleh harga yang
relatif lebih baik. Hal ini seringkali terjadi, terbukti dengan adanya pemesanan dengan uang
muka terlebih dahulu oleh pembeli kepada produsen sementara minyak daun cengkeh masih
pada proses produksi.
Jalur pemasaran minyak daun cengkeh dari pengusaha pengolahan sebagian besar ditampung
terlebih dahulu oleh para pengumpul. Dari survai di wilayah Kulon Progo, setidaknya ada tiga
perusahaan pengumpul yang cukup besar, yaitu PT Djasula Wangi di Solo, CV Indaroma di
Yogyakarta, dan PT Prodexco di Semarang.
Untuk jalur pemasaran luar negeri ada beberapa pihak yang mungkin terlibat, yaitu pemakai
(end-user), broker murni, broker merangkap trader, dan pedagang (trader). Jalur perdagangan
minyak daun cengkeh dapat digambarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 1. Pemasaran
tersebut juga dapat menjadi lebih pendek. Produsen menjual minyak daun cengkeh pada
pedagang kecil dan pedagang besar dan kedua jenis pedagang tersebut langsung menjualnya
pada eksportir, seperti ditunjukkan pada
d. Kendala Pemasaran
Kendala pemasaran yang utama pada minyak daun cengkeh ini adalah mata rantai perdagangan
yang cukup panjang. Para pengusaha pengolahan minyak daun cengkeh masih mengalami
kesulitan untuk memasok langsung ke eksportir atau end-user. Akibat panjangnya rantai
perdagangan ini adalah ketidakseragaman mutu yang ditetapkan. Faktor yang harus diperhatikan
dalam upaya pemasaran minyak daun cengkeh, terutama untuk tujuan ekspor adalah dengan
memperhatikan kualitas, harga yang kompetitif dan keberlangsungan produksi. Secara umum,
kendala pemasaran minyak daun cengkeh disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. mutu yang rendah karena sifat usaha penyulingan minyak daun cengkeh yang umumnya
berbentuk usaha kecil dengan berbagai keterbatasan modal dan teknologi,
2. pemasaran dalam negeri masih bersifat buyer market (harga ditentukan pembeli) karena
lemahnya posisi tawar pengusaha pengolah, dan
3. harga yang berfluktuasi (dalam dan luar negeri) akibat tidak terkendalinya produksi dalam
negeri dan persaingan negara sesame produsen.
Secara umum, jalur pemasaran minyak daun cengkeh tidak berbeda dengan komoditi pertanian
lainnya. Di pemasaran dalam negeri, produsen menjual produk ke pedagang pengumpul atau
agen eksportir. Barulah kemudian produk tersebut sampai ke tangan eksportir.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Usaha penyulingan minyak daun cengkeh pada umumnya dilakukan di wilayah pedesaan dengan
teknologi sederhana dan berskala kecil.
2. Usaha minyak daun cengkeh memiliki masa depan yang cerah. Peluang pasar komoditas minyak
daun cengkeh, terutama untuk ekspor masih terbuka, sehingga secara langsung memberikan
peluang bagi pengembangan dan peningkatan produksi minyak daun cengkeh.
3. Berdasarkan kondisi alam di Indonesia, potensi usaha penyulingan minyak daun cengkeh dapat
dilakukan di banyak wilayah di Indonesia terutama di wilayah pedesaan dengan sumber air yang
cukup.
4. Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh para pengusaha penyulingan minyak daun cengkeh
adalah masalah bahan baku yang sangat tergantung pada musim. Bahan baku berupa daun
cengkeh kering hanya tersedia pada musim kemarau.
5. Munculnya usaha penyulingan minyak atsiri memberikan peluang kerja bagi masyarakat
setempat, baik untuk pengusaha maupun para pekerjanya, sehingga dapat meningkatkan taraf
hidupnya.
6. Usaha penyulingan daun cengkeh tidak menimbulkan pencemaran dan tidak menghasilkan
limbah yang berbahaya. Limbah berupa abu daun cengkeh bahkan dapat digunakan sebagai
pupuk.
b. Saran
1. Usaha minyak daun cengkeh di pedesaan masih dapat dikembangkan lagi di wilayah lain di
Indonesia, terutama yang dekat dengan sumber bahan baku.
2. Untuk memperbaiki mutu minyak daun cengkeh, yang sangat penting dalam persaingan di masa
yang akan datang, pengusaha perlu membekali diri dengan pengetahuan yang memadai
mengenai minyak daun cengkeh dari pengolahan sampai pengemasannya.
3. Faktor yang harus diperhatikan dalam dalam upaya pemasaran minyak daun cengkeh, terutama
untuk tujuan ekspor adalah dengan memperhatikan kualitas, harga yang kompetitif dan
keberlangsungan produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Guenther E, 1987. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh R.S. Ketaren dan R. Mulyono. Jakarta : UI
Press
Nurdin, A dan A. Mulyana. 2001. Isolasi Eugenol Dari Minyak Cengkeh Skala Pilot Plant.
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. No. 9. Hal 58 – 62
Nurdjannah, N. 2004. Diversifikasi Penggunaan Cengkeh. Persektif. Vol 3. No. 2, 61-70.
Ruhnayat, A. 2002. Memproduktifkan Cengkeh. Jakarta : Penebar Swadaya
http://www.infopasaragro.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=54&Itemid=59
LAMPIRAN