Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi sumber daya
alam yang besar, antara lain pada rempah-rempahnya. Bahkan Indonesia adalah salah
satu negara pengeskpor rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-rempah merupakan
jenis tumbuhan dengan aroma dan rasa yang kuat yang sering dimanfaatkan menjadi
bumbu dapur. Selain itu rempah-rempah juga banyak digunakan untuk bahan dasar
kosmetik maupun obat-obatan. Karena banyaknya manfaat, tidak heran rempah-
rempah menjadi salah satu komoditas dengan nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan, pada
saat zaman penjajahan, salah satu alasan utama para penjajah melakukan eksplorasi di
Indonesia adalah untuk mengambil dan memanfaatklan rempah-rempahnya.
Salah satu rempah-rempah yang memiliki banyak manfaat yaitu ketumbar
(Coriandrum sativum L.). Ketumbar sendiri sudah banyak digunakan sejak dahulu
karena ketersediaan dan manfaatnya yang banyak. Ketumbar disebut-sebut bisa
menjadi antidiabetes, stimulan, bahkan dapat digunakan untuk memperlancar
pengaturan gas tubuh. Banyak orang yang mengambil manfaat dari ketumbar dengan
mengonsumsi minyak atsirinya.
Ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri sekitar 0,4 – 1,1%. Di dalam
ketumbar mengandung hidrokarbon berjumlah sekitar 20%. Komposisi minyak
ketumbar dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia minyak ketumbar.
No. Komponen Jumlah (%)
1. Hidrokarbon, terdiri dari: 20
d-α-pinen
dl-α-pinen
β-pinen
dipenten p-simen
α-terpinen
dan γ-terpinen
terpinolen
dan fellandren

2. Hidrokarbon beroksigen, terdiri dari: 40


d-linalool
n-desil aldehid
geraniol
l-borneol
asam asetat
asam desilat

(Guenther, 1990)
Pengambilan minyak ketumbar bisa dilakukan dengan metode ekstraksi.
Ekstraksi dilakukan untuk mengambil satu atau lebih komponen dari suatu bahan.
Metode ekstraksi mengandalkan sifat kelarutan dari senyawa yang akan diekstrasi
terhadap pelarut yang digunakan.
1.2.Tujuan Penelitian
1. Mempelajari proses ekstraksi minyak atsiri dari biji ketumbar.
2. Mengetahui konsentrasi pelarut untuk menghasilkan minyak atsiri yang
optimum.
3. Mengetahui waktu ekstraksi minyak atsiri dari biji ketumbar yang
optimum.
1.3.Rumusan Masalah
1. Berapa konsentrasi pelarut yang optimum untuk mengekstraksi minyak
atsiri dari biji ketumbar?
2. Berapa waktu terbaik untuk mengekstraksi minyak atsiri dari biji ketumbar
yang optimum?
1.4.Batasan Masalah
1. Ketumbar didapat dari

1.5. Manfaat Penelitian


1. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
2. Mengetahui hasil optimum pada variabel saat proses ekstraksi.

1.6. Hipotesis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biji Ketumbar dan kandungannya
1. Ketumbar

Tanaman ketumbar (Coriandrum sativum Linn) diduga berasal dari sekitar Laut
Tengah dan Pegunungan Kaukasus di Timur Tengah. Di Indonesia, tanaman ketumbar belum
dibudidayakan secara intensif dalam skala luas, penanaman hanya terbatas pada lahan
pekarangan dengan sistem tumpangsari dan jarang secara monokultur. Tanaman ketumbar
(Coriandrum sativum Linn) diduga berasal dari sekitar Laut Tengah dan Pegunungan
Kaukasus di Timur Tengah.

Ketumbar dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran tinggi hingga


ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini dipanen setelah berumur tiga
bulan, kemudian dijemur, dan buahnya berwarna kecoklatan dipisahkan dari tanamannya.
Hasil panen umumnya dijual ke pasar tradisional untuk keperluan bumbu rumah tangga
(Hadipoentyani dan Wahyuni, 2004; Astawan, 2009). Tanaman ketumbar di Indonesia belum
dibudidayakan secara intensif dalam skala luas, penanamannya hanya terbatas pada lahan
pekarangan dengan sistem tumpangsari, dan jarang secara monokultur. Produksi biji
ketumbar tertinggi tercatat sebesar 1.500 ton/tahun (Badan Pusat Statstik, 2005). Daerah
penanaman yang cocok dan sudah berproduksi adalah Cipanas, Cibodas, Jember, Boyolali,
Salatiga, Temanggung, dan sebagian daerah di Sumatera Barat (Astawan, 2009).

2. Kandungan Gizi dan Khasiat Ketumbar

Biji ketumbar (Coriandrum sativum L) juga merupakan salah satu jenis tanaman
bumbu-bumbuan yang sejak lama digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat
atau untuk meningkatkan cita rasa bahan pangan (Purseglove et al., 1981). Zat yang
terkandung pada minyak atsiri selain fenol adalah flavonoid. Flavonoid bersifat antibakteri
dan antioksidan (Wangensteen et al., 2004), mampu meningkatkan kerja sistem imun
karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan sistem limfa lebih
cepat diaktifkan (Angka, 2004). Beberapa tipe senyawa flavonoid yang terdapat di dalam biji
ketumbar adalah kuersetin, asam ferulat, rutin, koumarat, asam proto katekuat dan asam
vanilat. Tipe-tipe tersebut merupakan derivat dari asam sinamat dan flavonol.
Biji ketumbar juga mengandung berbagai macam mineral. Mineral yang banyak
terkandung pada biji ketumbar adalah kalsium, fosfor, magnesium, potasium, dan besi.
Kalsium selain berperan sebagai mineral tulang, juga berperan menjaga tekanan darah agar
tetap normal. Mineral fosfor berperan dalam pembentukan dan 6 pertumbuhan tulang.
Fosfor juga berperan dalam menjaga keseimbangan asam dan basa tubuh. Magnesium
merupakan mineral yang berperan dalam metabolisme kalsium dan potasium, serta
membantu kerja enzim dalam metabolisme energi. Potasium membantu keseimbangan
cairan elektrolit dalam tubuh. Besi merupakan mineral yang dibutuhkan dalam
pembentukan sel darah merah, hemoglobin, dan mioglobin otot (Fauci et al., 2008;
Astawan, 2009).

Ketumbar berfungsi sebagai antioksidan (Wangensteen et al., 2004), antidiabetes


(Gallagher et al., 2003) dan efek stimulasi dalam proses pencernaan (Cabuk et al., 2003).
Aktivititas biologis di dalamnya dapat merangsang enzim pencernaan dan peningkatan
fungsi hati (Hermandez et al, 2004). Minyak atsiri pada biji ketumbar memiliki sifat
antimikroba terhadap spesies patogen seperti Salmonella (Isao et al., 2004). Minyak atsiri
adalah cairan lembut, bersifat aromatik, dan mudah menguap pada suhu kamar. Minyak
atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan adanya senyawa fenol dan turunannya yang
mampu mendenaturasi protein sel bakteri (Wangensteen et al., 2004). Daya antibakteri
minyak atsiri lebih efektif karena memiliki zona hambat lebih besar dan bersifat bakterisidal.

Minyak atsiri merupakan suatu produk alam yang banyak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam obat-obatan, rokok, kosmetika, bahan pewangi, farmasi,
aroma makanan dan minuman, permen, aromaterapi, bahan pengawet maupun sebagai
bahan pestisida (Narpati, 2000). Di Indonesia terdapat kurang lebih 50 jenis tanaman yang
mengandung minyak atsiri, namun baru 14 jenis tanaman yang sudah diusahakan secara
komersial dan menjadi komoditas ekspor antara lain minyak nilam, minyak seraiwangi,
minyak akarwangi, minyak kenanga, minyak 7 cendana, minyak pala, minyak daun cengkeh,
minyak kayu putih (Rusli, 2002). Salah satu minyak atsiri yang dapat dikembangkan adalah
minyak

3. Komposisi Minyak Ketumbar

Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen


kimia yang terdapat dalam minyak atsiri. Ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri
berkisar antara 0,4-1,1%, minyak ketumbar termasuk senyawa hidrokarbon beroksigen, 8
komponen utama minyak ketumbar adalah linalool yang jumlah sekitar 60-70% dengan
komponen pendukung yang lainnya adalah geraniol (1,6-2,6%), geranil asetat (2-3%) kamfor
(2-4%) dan mengandung senyawa golongan hidrokarbon berjumlah sekitar 20% (α-pinen,
βpinen, dipenten, p-simen, α-terpinen dan γ-terpinen, terpinolen dan fellandren) (Lawrence
dan Reynolds, 1988; Guenther, 1990). Komposisi kimia minyak ketumbar dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Minyak Ketumbar
No Komponen Jumlah (%)
1 Hidrokarbon, terdiri dari: 20
d-α-pinen
dl-α-pinen
β-pinen
dipenten
p-simen
α-terpinen dan γ-terpinen
terpinolen dan fellandren

2 Hirdrokarbon beroksigen, terdiri dari: 60-70


d-linalool
n-desil aldehid
geraniol
l-borneol
asam asetat
asam desilat

Sumber : Guenther (1990)

4. Sifat Fisika Kimia dan Mutu Minyak Ketumbar

Setiap minyak atsiri mempunyai sifat-sifat yang berbeda antar satu dengan yang
lainnya. Sifat khas suatu minyak atsiri dibentuk oleh komposisi senyawasenyawa kimia yang
dikandungnya dan biasanya dinyatakan dalam sifat organoleptik dan sifat fisika kimia. Sifat
organoleptik minyak atsiri dinyatakan dengan warna dan aroma, sedangkan sifat fisika kimia
meliputi berat jenis, indeks bias, putaran optik, bilangan asam dan kelarutan dalam etanol
70 %, bilangan asam, bilangan ester, serta komposisi senyawa kimia yang dikandungnya
dapat dijadikan kriteria untuk menentukan tingkat mutu dari minyak. Sifat kimia
menyatakan jumlah atau besaran kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam minyak
atsiri tersebut (Guenther, 1987). Nilai-nilai sifat fisika kimia minyak atsiri merupakan
gambaran umum minyak atsiri. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai patokan dalam
perdagangan, baik di dalam negeri (Standar Nasional Indonesia) maupun Internasional
(Standar Internasional). Sifat fisika kimia minyak ketumbar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sifat Fisika Kimia Minyak Ketumbar
Karakteristik Nilai
0,870-0,885, biasanya tidak lebih
Berat jenis, pada 15o C dari 0,878
Putaran optic +800’ sampai +13oO’
Indeks bias pada 20o C 1,463 - 1,471
Bilangan asam, maks 5,0
Bilangan ester 3,0 - 22,7
Kelarutan dalam alkohol 70%
pada suhu 20o C larut dalam 2-3 volume
Sumber : Guenther (1952) dalam Ketaren, 1985

Minyak atsiri merupakan hasil metabolisme sekunder di dalam tumbuhan.


Karakteristik fisika kimia minyak atsiri setiap tanaman berbeda. Mutu minyak atsiri pada
tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jenis atau varietas tanaman, iklim,
bibit unggul, kondisi lingkungan tumbuh, umur dan waktu panen, cara penanganan bahan,
metode ekstraksi, penyulingan yang tepat, jenis logam alat penyulingan, jenis kemasan dan
cara penyimpanan minyak (Ketaren, 1985; Rusli, 2002).

Menurut Guenther (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak


ketumbar dipengaruhi oleh (1) suhu pengeringan, dikeringkan dengan alat pengering,
sebaiknya tidak lebih dari 40o C, (2) tingkat kematangan buah ketumbar, buah ketumbar
yang belum matang akan menghasilkan mutu dan rendemen minyak yang rendah.
Ketumbar yang matang dan segera disuling menghasilkan rendemen minyak sekitar 0,83%.

2.2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses dimana satu atau lebih komponen dipisahkan secara
selektif dari sebuah cairan atau padatan menggunakan pelarut yang tidak dapat larut.
Proses pemisahan tersebut bergantung pada kelarutan dari tiap komponen. Dari proses
ekstraksi akan menghasilkan dua fase, yaitu fase ekstrak dan fase rafinat. Setelah itu
untuk regenerasi pelarut, perlu dilakukan langkan pemisahan lain, misalnya distilasi.
(ETH Zurich, 2014)
Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi
yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Secara garis besar, proses
pemisahan secara ekstraksi terdiri dari tiga langkah dasar yaitu :
1. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel,
biasanya melalui proses difusi.
2. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk
fase ekstrak.
3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel
(Wilson, et al., 2000)
Ekstraksi adalah penarikan suatu zat aktif dari suatu padatan atau cairan
menggunakan sebuah pelarut. Pelarut yang digunakan tidak larut atau hanya larut
sebagian dengan padatan atau cairan tersebut. Karena terjadi kontak intensif, zat aktif
akan berpindah dari padatan atau cairan (rafinat) ke pelarut (ekstrak). Setelah berpindah
ke pelarut, dua fase akan berpisah baik oleh gaya gravitasi atau gaya sentrifugal. Untuk
pemurnian zat aktif dapat dilakukan dengan proses pemisahan lebih lanjut.
Berdasarkan fasenya, ekstraksi dibedakan menjadi dua:
1. Ekstraksi padat – cair
2. Ekstraksi cair – cair
Ekstraksi gas – cair disebut absorpsi.
(Gamse, tanpa tahun)

Faktor-faktor yang mempengaruhi ektraksi antara lain:


1. Rasio Campuran
Jumlah ekstrak akan menurun dengan jumlah pelarut yang konstan dan
proporsi material simplisia yang meningkat. Dalam artian, walaupun
simplisia terus ditambah, jika pelarut yang digunakan tetap maka ekstrak yang
dihasilkan juga tidak akan bertambah, karena keseimbangan konsentrasi akan
cepat tercapai tetapi tidak seluruh kandungan dalam simplisia terlarut dalam
pelarut yang digunakan. Semakin besar rasio antara pelarut dan bahan baku,
maka akan memperbesar pula jumlah senyawa yang terlarut. Akibatnya laju
ekstraksi akan semakin meningkat.
2. Proses pelarutan (disolusi) dari sel terdesintegrasi
Substansi lebih cepat terlarut dari sel terdisintegrasi dibandingkan dari sel
utuh. Dengan sel-sel terdisintegrasi yang berarti sel-sel dengan ukuran lebih
kecil karena terbagi-bagi akan lebih cepat untuk berdifusi ke pelarut sehingga
keseimbangan lebih cepat tercapai. Dibandingkan dengan sel utuh, akan lebih
sulit untuk berdifusi karena ukurannya yang terlalu besar. Maka dari itu,
simplisia yang lebh halus pada dasarnya akan lebih disukai asalkan tidak
menyebabkan kesulitan saat proses pemisahan.
3. Perendaman (steeping) dan pengembangan (swelling) simplisia
Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam proses ekstraksi, dimana
terjadi pelebaran sel kapiler sehingga dapat meningkatkan proses difusi.
Namun, ekstraksi dapat terhenti jika pada simplisia mengandung sejumlah
besar lendir. Idealnya, pengembangan hanya berfungsi memfasilitasi proses
difusi substansi ekstrak tanpa menghalangi terjadinya proses ekstraksi.
4. Difusi dari sel utuh (intact cell)
Pelarut harus dapat berdifusi ke dalam sel utuh terlebih dahulu sebelum dapat
melarutkan substansi ekstraknya. Substansi yang diinginkan harus dapat larut
dalam pelarutnya untuk dapat menghasilkan suatu konsentrasi tinggi di dalam
sel sehingga keseimbangan konsentrasi dengan pelarut sekitar dapat terjadi
dengan cara difusi.
5. Laju penetapan keseimbangan
Hal ini mempengaruhi waktu selesainya atau terpenuhinya proses ekstraksi.
Dimana faktor ini dipengaruhi oleh:
a. Ukuran partikel dan derajat pengembangan (swelling) simplisia
Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas bidang kontak antara
padatan dan solven, sehingga mempercepat penetrasi pelarut ke dalam
bahan yang akan diekstrak serta semakin pendek jalur difusinya, yang
menjadikan laju transfer massa semakin tinggi dan mempercepat waktu
ekstraksi. Laju ekstraksi juga meningkat apabila ukuran partikel bahan
baku semakin kecil. Dalam arti lain, rendemen ekstrak akan semakin
besar bila ukuran partikel semain kecil. Tetapi, ukuran partikel juga tidak
boleh terlalu kecil karena akan menyulitkan saat proses filtrasi.
Begitu juga dengan pengembangan, dimana semakin cepat terjadinya
pengembangan akan semakin cepat pula terjadi proses difusi yang
mempercepat proses ekstraksi karena terjadi pelebaran kapiler. Namun,
adanya pengembangan karena mukus atau lender yang terlalu banyak
akan menghalangi proses ekstraksi karena proses difusii akan terhalangi
oleh adanya lendir tersebut. Pengembangan simplisia ini juga
dipengaruhi oleh ukuran partikel, jika partikel lebih kecil maka simplisia
akan lebih cepat mengembang.
b. Suhu ekstraksi
Kelarutan bahan yang diekstraksi dan difusivitas umumnya akan
meningkat dengan meningkatnya suhu, sehingga diperoleh laju ekstraksi
yang tinggi.
c. Sifat pelarut yang digunakan
Sifat pelarut yang mempengaruhi laju keseimbangan konsentrasi yaitu
seperti viskositas. Dimana jika viskositas besar maka akan
memperlambat proses ekstraksi karena lebih membutuhkan waktu dalam
proses difusinya.
d. Intensitas pergerakkan simplisia dan pelarut
Pergerakan disini maksudnya adalah adanya proses pengadukkan dalam
ekstraksi. Sama halnya jika kita melakukkan pengadukan pada larutan
gula, pengadukan yang semakin cepat akan mempercepat proses
kelarutan. Saat dilakukkan pengadukan saat proses ekstraksi, maka akan
lebih cepat terjadi kesetimbangan konsentrasi karena difusi semakin
cepat.
6. Temperatur
Secara umum, kenaikan temperatur akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke
dalam pelarut. Temperatur pada proses ekstraksi terbatas hingga suhu titik
didih pelarut yang digunakan dan perlu diperhatikan sifat termostablitas
senyawa yang akan di ekstraksi. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada
suhu tinggi. Suhu tinggi meningkatkan pengeluaran (desorption) senyawa
dari bagian aktif (active sites) karena perusakan sel bahan meningkat. Suhu
ekstraksi meningkatkan suhu pelarut secara konvektif.
Pelarut panas mengalami penurunan tegangan permukaan (surface tension)
dan viskositas (viscosity). Keadaan ini meningkatkan daya pembasahan
(wetting) bahan dan penetrasi matriks (Jain et al., 2009). Akan tetapi, suhu
tinggi ini juga memerlukan perhatian keselamatan (safety) yang lebih intensif
dalam menggunakan pelarut mudah terbakar (Kaufmann dan Christen, 2002).
Suhu tinggi yang berlebihan dapat berdampak pada degradasi senyawa target
secara termal
7. Nilai pH
pH pelarut akan mempengaruhi selektivitas ekstraksi. Selektivitas
berhubungan dengan nilai kualitatif dan kuantitatif substansi aktif yang
terekstraksi maupun substansi asing lain. Dimana pH harus berada pada
rentan pH substansi aktif tersebut, jika tidak sesuai maka proses ekstraksi
akan sulit dan bisa jadi substansi lain dapat terekstraksi. pH disini dapat diatur
dengan adjust atau penambahan dapar.
8. Jumlah proses ekstraksi
Jumlah proses ekstraksi juga meningkatkan efisiensi ekstraksi. Misalnya,
empat ekstraksi dengan 50 ml pelarut lebih efisien dibanding satu ekstraksi
dengan 200 ml pelarut. Biasanya, rendemenen dapat maksimal dengan 3-5
proses ekstraksi bahan secara berturut-turut .
9. Interaksi substansi terlarut dengan material tanaman lain yang tidak terlarut
Bahkan dengan pemilihan pelarut yang sudah selektif dan berada pada
kemungkinannya, masih terjadi kemungkinan ekstrak yang terlarut dapat
terabsorbsi pada material tanaman penunjang. Hal ini dapat disebabkan
karena banyaknya proporsi material tanaman dalam ekstraksi untuk jumlah
ekstrak yang relatif kecil.
10. Derajat lipofilisitas
Pemilihan derajat lipofilisitas sangat penting untuk penggunaan pelarut
organik atau campuran pelarut. Adanya perubahan akan merubah
perbandingan jumlah substansi yang terekstraksi dan komposisi kualitatif
suatu ekstrak. Sehingga diperlukan pemeriksaan ekstrak lagi jika agen
pengekstraksi diubah.
11. Waktu ekstraksi
Waktu merupakan parameter penting dalam ekstraksi. Umumnya, waktu
ekstraksi berkorelasi positif terhadap jumlah senyawa target, walaupun
terdapat resiko terjadinya degradasi senyawa target itu sendiri. Waktu
ekstraksi tergantung pada bahan yang diekstrak.
(Anonim, 2015)

2.3. Ekstraksi Padat – Cair


Leaching ialah ekstraksi padat cair dengan perantara suatu zat pelarut. Proses ini
dimaksudkan untuk mengeluarkan zat terlarut dari suatu padatan atau untuk
memurnikan padatan dari cairan yang membuat padatan terkontaminasi. Metode
yang digunakan untuk ekstraksi akan ditentukan oleh banyaknya zat yang larut,
penyebarannya dalam padatan, sifat padatan dan besarnya partikel. Jika zat terlarut
menyebar merata di dalam padatan, material yang dekat permukaan akan pertama kali
larut terlebih dahulu. Biasanya proses leaching berlangsung dalam tiga tahap yaitu
yang pertama perubahan fase dari zat terlarut yang diambil pada saat zat pelarut masuk.
Kedua terjadi proses difusi pada cairan dari dalam partikel padat menuju keluar
(Kusuma, 2017)
Ekstraksi padat cair adalah proses ekstraksi suatu konstituen yang dapat larut
(solute) pada suatu campuran solid dengan menggunakan pelarut. Proses ini sering
disebut Leaching. Proses ini biasanya digunakan untuk mengolah suatu larutan pekat
dari suatu solute (konstituen) dalam solid (leaching) atau untuk membersihkan suatu
solute inert dari kontaminannya dengan bahan (konstituen) yang dapat larut (washing).
Metode yang diperlukan untuk leaching biasanya ditentukan oleh jumlah konstituen
yang akan dilarutkan, distribusi konstituen di dalam solid, sifat solid, dan ukuran
partikelnya. Bila konstituen yang akan larut ke dalam solvent lebih dahulu, akibatnya
sisa solid akan berpori-pori. Selanjutnya pelarut harus menembus lapisan larutan
dipermukaan solid untuk mencapai konstituen yang ada dibawahnya, akibatnya
kecepatan ekstraksi akan menurun dengan tajam karena sulitnya lapisan larutan
tersebut ditembus. Tetapi bila konstituen yang akan dilarutkan merupakan sebagian
besar dari solid, maka sisa solid yang berpori-pori akan segera pecah menjadi solid
halus dan tidak akan menghalangi perembesan pelarut ke lapisan yang lebih dalam.
Umumnya mekanisme proses ekstraksi dibagi menjadi 3 bagian :
1. Perubahan fase konstituen (solute) untuk larut ke dalam pelarut, misalnya
dari bentuk padat menjadi liquid.
2. Diffusi melalui pelarut di dalam pori-pori untuk selanjutnya dikeluarkan
dari partikel.
3. Akhirnya perpindahan solute (konstituen) ini dari sekitar partikel ke dalam
lapisan keseluruhannya (bulk).
(Indradjaja, 2017)

Secara umum ada lima tahap pada proses leaching:


1. Pelarut berpindah dari larutan ke permukaan padatan.
2. Pelarut menembus atau berdifusi ke dalam padatan (difusi intrapartikel).
3. Solute larut dari padatan ke solven.
4. Solute berdifusi melalui campuran ke permukaan padatan (difusi
intrapartikel)
5. Solute akan menyebar pada larutan.
(Almohsin, tanpa tahun)

2.4. Pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair atau gas,
yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan dalam kehidupan
sehari-hari adalah air. Pelarut lain yang juga umum digunakan adalah bahan kimia
organik (mengandung karbon) yang juga disebut pelarut organik. Pelarut biasanya
memiliki titik didih rendah dan lebih mudah menguap, meninggalkan substansi terlarut
yang didapatkan. Untuk membedakan antara pelarut dengan zat yang dilarutkan,
pelarut biasanya terdapat dalam jumlah yang lebih besar.
Sebagian besar reaksi kimia secara luas dilakukan di dalam larutan. Larutan
terdiri dari pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute). Pelarut (solvent) pada umumnya
adalah zat yang berada pada larutan dalam jumlah yang besar, sedangkan zat lainnya
dianggap sebagai zat terlarut (solute). Pelarut memenuhi beberapa fungsi dalam reaksi
kimia, dimana pelarut melarutkan reaktan dan reagen agar keduanya bercampur,
sehingga hal ini akan memudahkan penggabungan antara reaktan dan reagen yang
seharusnya terjadi agar dapat merubah reaktan menjadi produk. Pelarut juga bertindak
sebagai kontrol suhu, salah satunya untuk meningkatkan energi dari tubrukan partikel
sehingga partikel-partikel tersebut dapat bereaksi lebih cepat, atau untuk menyerap
panas yang dihasilkan selama reaksi eksotermik.
(Rahayu, 2017)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Bahan dan Alat
1. Bahan
• Biji ketumbar
• Etanol
• Aquadest
2. Rangkaian Alat

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Ekstraksi


Keterangan :

1. Motor pengaduk
2. Pengaduk mekanik
3. Pendingin balik
4. Thermometer
5. Labu leher tiga
6. Waterbath
7. Statif

Gambar 3.2. Rangkaian Alat Distilasi


Keterangan :

1. Pemanas
2. Labu destilasi
3. Keluaran air pendingin
4. Masukan air pendingin
5. Kondensor
6. Erlenmeyer
7. Klem
8. Statif

3.2. Cara Kerja


1. Persiapan Bahan Baku
Ketumbar yang didapat dicuci terlebih dahulu untuk membuang
kotoran yang terdapat pada permukaan kulit ketumbar. Kemudian
ketumbar dihaluskan menggunakan blender dan diayak dengan ukuran -
30+80 mesh.
2. Ekstraksi Ketumbar
Ketumbar yang telah dihaluskan ditimbang dengan berat 50 gram
kemudian dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang telah diisi etanol 96%
sebagai pelarut dengan variasi perbandingan massa bahan dan volume
pelarut 1:4, 1:6, 1:8, 1:10. Waterbath dan pendingin balik dihidupkan, pada
saat larutan untuk mencapai suhu tertentu, pengaduk dijalankan dengan
kecepatan konstan dan perhitungan waktu ekstraksi dimulai. Dengan cara
yang sama, digunakan variabel konsentrasi pelarut 0,5 N dan 0,8 N dan
variabel waktu 60, 80, dan 100 menit.
3. Destilasi Minyak Ketumbar
Hasil ekstraksi kemudian disaring untuk memisahkan padatan
ketumbar. Selanjutnya, filtrat didestilasi untuk memisahkan minyak
ketumbar dari pelarutnya. Setelah itu dilakukan penimbangan sampai
diperoleh berat konstan.

3.3 Diagram Alir Penelitian

1. persiapan bahan

Dicuci

Dibersihkan

Dijemur

Diblender

Diayak -80+100 mesh

Serbuk biji ketumbar Analisa I


2. Pengambilan Minyak Ketumbar
Serbuk biji ketumbar

Etanol Ekstraksi

Penyaringan Ampas

Filtrat

Etanol Pemisahan Pelarut


dengan minyak

Minyak Biji Ketumbar Analisa II


1. Analisis I (Kadar air dan kadar minyak)
a) Kadar air
Sampel biji ketumbar yang telah dihancurkan hingga berbentuk bubuk
ditimbang sebanyak 1-2 gram. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu35-40C
selama 3 jam. Kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Panaskan lagi
dalam oven selama 30 menit, didinginkan dalam eksikator, dan ditimbang.. Perlakuan
ini diulang sampai tercapai berat konstan
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Kadar air = 𝑥 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ

b) Kadar minyak
sampel dan kertas saring masing masing ditimbang beratnya. Kemudian sampel
dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi Soxhlet.
Labu ekstraksi diisi dengan etanol sebanyak 350 ml. Alat Soxhlet dipassang pada
pemanas dan dihidupkan. Pendingin balik dialirkan. Proses ini dihentikan setelah
tercapai 40 kali recycle. Etanol yang telah mengandung ekstrak minyak kemudian
didistilasi untuk diambil etanolnya. Ekstrak minyak dimasukkan ke dalam oven untuk
menguapkan sisa etanol pada suhu 100-105 C. Selanjutnya didinginkan dalam
eksikator dan ditimbang. Pemanas dan pendingin dilakukan berulang ulang sampai
diperoleh berat konstan
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘
Kadar minyak = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100 %

2. Analisis 2 (berat jenis)


a) Berat Jenis
Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Lalu ditimbang beratnya. Kemudain
diisi dengan aquadest. Piknometer diisi sedemikian rupa sampai air dalam piknometer
meluap dan tidak terbentuk gelembung udara. Diukur suhu aquadest yang digunakan.
Piknometer dengan isinya ditimbang . Bobot air adalah selisih bobot piknometer
beserta isinya dikurangi bobot piknometer kosong.
Piknometer diisi dengan minyak sampai meluap dan diusahakan agar tidak
terbentuk gelembung udara. Piknometer ditutup. Minyak yang menempel di bagian
luar piknometer dibersihan Kemudian yang berisi minyak tersebut direndam dalam
aquadest selama kurang lebih 30 menit atau sampai suhu minyak sama dengan suhu
aquadest. Piknometer dibersihkan dan dikeringkan dengan tisu. Piknometer beserta
isinya ditimbang dan bobot sampel dihitung dari selisih bobot piknometer beserta
isinya dikurangi bobot piknometer kosong.
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑗𝑖 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑚𝑏𝑎𝑟
Berat jenis minyhak = 𝑥 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

ETH Zurich. 2014. Practica in Process Engineering II. Zurich: IPE Separation
Process laboratory
Wilson I D, Michael C, Colin F P, Edward R A. 2000. Encyclopedia of Separation
Science. Academic Press.
Gmase, Thomas. Extraction, Liquid – Liquid Extraction, Solid – Liquid Extraction,
High Pressure Extraction. Graz : Department of Chemical Engineering and
Environmental Technology Graz University of Technology
Kusuma, Kurnia Arifiani. 2017. Leaching (Ekstraksi Padat-Cair).
https://kupdf.net/download/leaching-ekstraksi-padat-cair-
repaired_5a070f4ce2b6f51148c0e653_pdf [21 November 2019]
Indradjaja, Suryadi. 2017. Leaching (Ekstraksi Padat Cair).
https://docplayer.info/43823621-Leaching-ekstraksi-padat-cair.html [21 November
2019]
Almohsin, Mohammad. (Liquid-Solid) Leaching.
https://www.academia.edu/24808088/_Liquid-Solid_Leaching [21 November 2019]
Anonim. 2015. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi.
https://dokumen.tips/download/link/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-ekstraksi [21
November 2019]

Rahayu, Siti. 2017. Isolasi Pektin dari Kulit Pepaya (Carica Papaya L.) dengan
Metode Refluks Menggunakan Pelarut HCl Encer. Palembang: Politeknik Negeri
Sriwijaya.

Anda mungkin juga menyukai