Anda di halaman 1dari 6

Tugas Review II untuk mata kuliah Teori Hubungan Internasional 2

Nama NPM Jurusan : Irfan Surya Asgani : 1006764151 : Ilmu Hubungan Internasional

Sumber

: Steve Smith. Wendts World, dalam Review of International Studies (2000) 26, hal. 151-163

Konstruktivisme dan Dunia Alexander Wendt


Dalam tulisannya yang berjudul Wendts World ini, Steve Smith mengkritisi pemikiran dari Alexander Wendt pada bukunya Social Theory of International Politics. Sebagai salah satu upaya untuk memahami bagaimana sebenarnya paham konstruktivisme dalam ilmu Hubungan Internasional, penulis akan melakukan critical review terhadap tulisan Steve Smith ini. Smith sendiri merupakan editor dari buku yang ditulis oleh Alexander Wendt, sehingga apa yang ditulisnya dapat dikatakan merupakan sebuah kritikan dari teman yang berusaha membawa teori ini menuju tingkat yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari tone tulisan Smith yang memang tidak berusaha untuk menyerang secara langsung tapi mengekspose sedikit demi sedikit kesalahan-kesalahan apa saja yang menurutnya fatal dan mencerminkan inkonsistensi dalam tulisan Wendt. Pada halaman terakhir Smith sendiri menganggap bahwa adanya buku ini akan menjadi acuan untuk menjelaskan batasan dalam penggunaan ideational pada studi Hubungan Internasional dalam beberapa dekade mendatang. Buku ini kemudian juga menjadi bahan pelajaran bagi para pemikir ilmu Hubungan Internasional karena upayanya dalam menjembatani positivism dan post-positivism menjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya metodologi terbaik untuk mempelajari ilmu sosial. Dengan adanya perdebatan tersebut, penulis kemudian mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang Bagaimana penjelasan dari konstruktivisme Alexander Wendt dalam upayanya untuk menjembatani positivisme dan post-positivisme? Pertanyaan tersebut sebenarnya muncul ketika penulis membaca tulisan Alexander Wendt dan akhirnya menyadari bahwa penerapan murni metodologi ilmu pengetahuan alam ke ilmu sosial akan mengurangi beberapa bagian dalam upayanya membentuk teori sehingga dapat menyalahartikan sebuah fenomena ilmu sosial. Dalam penulisan review ini, penulis menggunakan beberapa pemikiran dari pemikir-pemikir ilmu Hubungan Internasional seperti Alexander Wendt, Stephen D. Krasner, dan John J. Mearsheimer. Pada tahun 1999 Alexander Wendt menerbitkan bukunya yang berjudul Social Theory of International Politics dan dapat dikatakan sebagai titik puncak dari tulisan-tulisan Wendt mengenai konstruktivisme dalam ilmu Hubungan Internasional yang dimulainya pada tahun 1992 dengan Anarchy is What States Make of It. Steve Smith yang kemudian menulis sebuah artikel pada jurnal Review of International Studies di tahun 2000 yang berisi kritikan mengenai buku tersebut. Smith mengutarakan kritiknya tersebut bukan terhadap teori yang dikemukakan oleh Wendt akan tetapi

terhadap posisinya dalam dunia konstruktivis. Wendt menuliskan bahwa dirinya berdiri di tengah dua pandangan ekstrim yang berupa konstruktivis lemah (thin constructivism atau lebih ke positivis) dan konstruktivis radikal. Hal ini diyakini oleh Wendt karena dia merupakan seorang positivis dan mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan alam (science).1 Selain itu pemikirannya terhadap ilmu sosial adalah berlandaskan kepada bahwa tidak semua fenomena yang ada secara idealistic dapat dijelaskan dengan 100% menggunakan metodologi seperti dalam ilmu pengetahuan alam yang berdasarkan pada hal material dan dapat dilihat (observable), di lain sisi ilmu sosial pada analisis terakhirnya harus merujuk kepada hal yang lebih naturalis (natural kinds, alam semesta sesuai dengan kausalitas) karena manusia sendiri merupakan naturalisKonstruktivisme tanpa adanya nature ini akan melangkah terlalu jauh.2 Menurut Smith, pemikiran Wendt yang berusaha untuk membuat rasionalitas berdasarkan wawasan realisme Waltz dan mengkonstruksi sebuah pemikiran politik internasional yang idealis. Dari kalimat tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang diupayakan oleh Wendt ini merupakan suatu misi yang hampir bisa dikatakan tidak mungkin karena perbedaan yang mendasar dalam pencarian kebenaran mengenai sebuah kejadian atau peristiwa. Selain itu menyadari bahwa penerapan metodologi dalam ilmu pengetahuan alam tidak bisa dengan semerta-merta diterapkan dalam ilmu pengetahuan sosial, Smith mengungkapkan bahwa pemikiran Wendt yang berusaha untuk menggabungkan antara epistemologi positivis dengan ontologi post-positivis adalah sebuah kesalahan yang fundamental.3 Dengan kata lain, Wendt berusaha untuk menciptakan sebuah teori yang lebih menekankan pada aspek ideational (ide dalam masyarakat sosial dan terkadang tidak dapat terlihat/unobservable) daripada material (dapat terlihat/observable) dan holism (struktur sosial tidak bisa direduksi) dibandingkan individualism (struktur sosial direduksi agar menghasilkan kausalitas). Pada bukunya sendiri, Wendt mengungkapkan bahwa pemikirannya tersebut bertempat pada kuadran sisi kanan-atas yang menggabungkan antara idealisme dan holisme dan bertujuan agar lebih memberikan pemahaman terhadap fenomena sosial yang kemudian membentuk politik internasional daripada penjelasan mengenai fenomena tersebut. Steve Smith mengungkapkan dalam tulisannya tersebut bahwa buku Wendt tersebut mengandung beberapa unsur yang tidak konsisten dan malah akan cenderung membuat pembacanya bingung dengan klaim-klaim mengenai teori sosial dalam politik internasional. Salah satunya adalah mengenai penggunaan pendekatan scientific realism yang dikatakan oleh Wendt sebagai sebuah salah satu upayanya untuk menjembatani pemikiran dari positivis dan post-positivis. Wendt menyatakan
1 2

Steve Smith. Wendts World, dalam Review of International Studies (2000) 26, hal. 153 Ibid. hal. 155 3 Ibid. hal. 152

bahwa dalam penggunaan scientific realism terdapat prinsip utama yaitu: dunia ini independen, teoriteori dari ilmu pengetahuan akan mengacu pada dunia tersebut meskipun tidak semuanya dapat terlihat secara langsung (not directly observable). Mengenai hubungan antara ideational dan material saja, Smith menuliskan bahwa terdapat inkonsistensi dalam tulisan Wendt, pada satu sisi ia menyatakan bahwa faktor struktur material ini merupakan sesuatu yang tidak hanya diatur oleh keinginan dari sosial saja, akan tetapi kemudian di halaman lain Wendt menegaskan bahwa efek struktur material tersebut tergantung oleh keinginan negara dan disebabkan oleh interaksi dengan idem aka mereka akan memberikan efek tersebut. Secara garis besar, permasalahan bagi Steve Smith terhadap pemikiran Alexander Wendt mengenai usahanya untuk menggabungkan antara pendekatan ilmiah yang biasa digunakan ilmu pengetahuan alam ke dalam dunia ilmu sosial dapat menyalahartikan konsep-konsep ilmu sosial dan malah akan membatasi range dari kemungkinan teori-teori ilmu sosial. Alexander Wendt sendiri kemudian menanggapi kritikan Steve Smith ini dalam artikelnya yang berjudul On the Via Media: A Response to the Critics. Di dalam tulisannya tersebut, Wendt mengakui bahwa tulisannya mengenai hubungan material dan ideational memang kurang lengkap (incomplete) akan tetapi tidak untuk membingungkan pembaca mengenai perbedaan antara keduanya. 4 Kedua hal tersebut dijelaskan oleh Wendt sebagai sesuatu yang berbeda namun tidak perlu untuk membuat dikotomi antara keduanya dan berusaha hanya untuk menggunakan salah satu saja. Mungkin banyak yang menganggap bahwa sebenarnya pembedaan antara kedua hal tersebut seperti pikiran dan tubuh (mind and body) yang bisa dipisahkan, meski demikian di dalam kehidupan nyata kita tidak mungkin bisa memisahkan keduanya begitu saja karena memang saling mempengaruhi satu sama lain. Penjelasan mengenai hubungan keduanya ini juga disebutkan oleh Wendt sebagai dibanding perbedaan yang mengikat kuat, banyak dari keanekaragaman bentuk budaya dapat berlaku jika ada beberapa kondisi material tertentu.5 Keberadaan rump materialism (material yang dapat mempengaruhi politik internasional) ini menurutnya juga memberikan efek tertentu pada independent ideas yang tidak boleh diabaikan oleh budaya. Efek yang dihasilkannya antara lain adalah mendefinisi adanya batasan fisik dari kemungkinan, sebagai contoh adalah ketika tidak adanya teknologi yang dimiliki bangsa Romawi di zaman dulu untuk melawan bangsa-bangsa pemberontak di luar negaranya menjadikan mereka tidak bisa melakukan serangan dari jarak jauh, sedangkan pada saat ini Amerika Serikat bisa melakukannya. Kemudian yang kedua adalah bagaimana keberadaannya dapat membantu untuk menetapkan keuntungan dan kerugian dari sebuah tindakan alternatif yang ada. Meski demikian efek yang kedua ini tidak hanya eksklusif milik rump materialism saja, ide dalam masyarakat dapat

4 5

Alexander Wendt, On the Via Media, dalam Review of International Studies (2000), 26, hal. 166 Ibid.

memikirkan mengenai untung dan rugi suatu tindakan, meski demikian jika kita mengambil contoh invasi yang dilakukan oleh Nazi Jerman ke Polandia pada tahun 1939 tidak hanya disebabkan oleh intense agresif mereka saja, namun juga melihat bahwa Polandia merupakan negara yang lebih mudah untuk diserang dan ditaklukkan terlebih dahulu.6 Pada tulisannya tersebut, Wendt juga mencoba untuk memberikan pandangan mengenai bagaimana Kenneth Waltz secara implisit memberikan pembenaran terhadap adanya peran ide di dalam ilmu Hubungan Internasional, yaitu dalam penelitiannya diawali dengan faktor-faktor struktur material dan tambahkan faktor ide jika dibutuhkan.7 Wendt kemudian juga menambahkan tentang bagaimana menurutnya akan lebih berhasil jika kita menempatkan faktor ide tersebut di latar depan (foreground) dibandingkan penggunaan faktor material saja sebagai titik awal. Pada akhirnya Wendt mengutip pendapat dari Robert Keohane bahwa jika kita dapat fokus terhadap bagaimana faktor material dan ideas ini diartikulasikan pada situasi yang konkrit maka kita akan dapat mendapatkan hasil terbaik dari kedua dunia tersebut.8 Mengenai pemikiran Alexander Wendt ini, Stephen D. Krasner menyatakan kesetujuannya dalam klaim Wendt mengenai pengaruh aspek ideas dalam pengambilan kebijakan sebuah negara. Namun, Krasner juga mengungkapkan bahwa dengan adanya logika dari kepantasan (appropriateness) dan logika konsekuensi (consequences) tersebut akan dipengaruhi oleh konsekuensi material, kejelasan suatu peraturan dan bagaimana mereka melekat pada suatu negara, serta konsekuensi berbeda yang akan dihasilkan oleh pilihan alternatif lainnya.9 Hal ini diberikan contoh oleh Krasner tentang bagaimana Amerika Serikat mengirimkan pasukan mereka ke Grenada di tahun 1984 di mana letaknya sangat dekat dengan Bahamas telah melanggar logika kepantasan yang berkaitan dengan kedaulatan sebuah negara. Meskipun Wendt telah berupaya dalam melakukan sosialisasi terhadap politik internasional, norma dan logika serta ide adalah sesuatu yang masih dipegang secara lemah oleh negara yang diakuinya sebagai aktor utama dalam politik internasional saat ini.10 Setelah membaca pemikiran di atas mengenai bagaimana peran dari ideas dan material dalam ilmu sosial yang kemudian berujung pada usaha untuk menganalisa perannya dalam politik antar bangsa membuat penulis merasa bahwa masih terdapat banyak ambiguitas di dalam ilmu sosial. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya perdebatan untuk hal metodologi dan filsafat dari ilmu sosial saja, berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang sudah mempunyai pakem sendiri dalam pencarian kebenaran. Keberadaan post-positivisme dalam pemikiran ilmu sosial yang berusaha untuk mendobrak pemikiran mainstream positivisme di mana penerapan metodologi ilmu pengetahuan alam malah dianggap akan
6 7

Ibid. hal. 167 Ibid. hal. 168 8 Ibid. hal. 169 9 Stephen D. Krasner, Wars, Hotel Fires, and Plane Crashes, dalam Review of International Studies, 26, hal. 136 10 Ibid.

mengurangi makna-makna tertentu dan membatasi objek penelitian di dalam ilmu sosial. Akan tetapi kemudian banyak dari pemikir post-positivisme menganggap bahwa dengan adanya metodologi yang membatasi mereka untuk meneliti suatu fenomena telah menjadikan mereka sebagai pemikir saja, ini kemudian dianggap oleh John J. Mearsheimer bahwa post-positivisme dan juga critical theory adalah sebuah ide besar tetapi tidak dapat direalisasikan di dunia nyata.11 Alexander Wendt dengan konstruktivismenya berusaha untuk menjadi sebuah jembatan yang dapat menghubungkan kedua pemikiran tersebut. Menurut penulis sendiri dalam melakukan penelitian terhadap fenomena sosial memang tidak bisa jika kita menggunakan metodologi yang murni seperti halnya ilmu pengetahuan alam. Ilmu sosial mempunyai konsep dan nilai-nilai yang terkadang tidak bisa dilihat serta diteliti secara langsung oleh peneliti tapi dapat dirasakan jika kita berada di dalam situasi tersebut. Permasalahan mengenai hubungan ideas dan material yang menurut Wendt berbeda tapi tidak mengharuskan kita untuk memilih salah satu telah menjadi sebuah gebrakan dalam dunia ilmu sosial. Jika kita mengharapkan metodologi yang paling dapat mendekati kebenaran dalam ilmu sosial, konstruktivisme versi Alexander Wendt inilah yang dapat membuat kita tidak hanya memahami fenomena ilmu sosial akan tetapi juga dapat menjelaskan dengan terang apa yang menyebabkannya. Metodologi dalam ilmu sosial digunakan bukan sebagai sebuah pagar ketika kita melakukan penelitian, namun sebagai sebuah awal atau starting point para peneliti. Dapat dikatakan pula bahwa dalam konstruktivisme kita akan menghilangkan segala sesuatu yang bersifat given dalam ilmu Hubungan Internasional. Sebagai contoh; adalah konsep power yang menurut kaum realis sebagai sebuah tujuan utama dari negara. Inilah yang kemudian menjadi asumsi dasar bagi mereka dan kemudian memberikan persepsi bahwa semua negara ingin menjadi yang paling kuat di dunia. Secara konstruktivis, asumsi dasar tersebut berusaha untuk dihilangkan dan lebih berusaha digali lebih dalam mengenai apa yang menjadi alasan dasar sebuah negara melaksanakan kebijakan luar negerinya. Bila kita melihat dari perspektif Amerika Serikat menggunakan paradigma realis mengenai kebangkitan Eropa sebelum adanya krisis ekonomi tahun 2008, Amerika Serikat seharusnya berupaya untuk memperkuat power yang mereka miliki jika kita menggunakan teori Balance of Power dari Kenneth Waltz. Akan tetapi Amerika Serikat tidak melakukan upaya berarti apapun seperti halnya ketika mereka dalam kondisi Perang Dingin dengan Uni Soviet. Perilaku ini dapat kita jelaskan sama dengan perumpaan bahwa pistol di kawan berbeda dengan pistol di lawan. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada saat Perang Dingin merupakan kondisi di mana pistol di lawan sehingga mereka harus memperkuat diri agar bisa melawan Uni Soviet jika dibutuhkan. Akan tetapi penulis juga menyetujui

11

John J. Mearsheimer, The False Promise of International Institutions, dalam International Security, Vol. 19, No. 3 (Winter, 1994-1995), hal. 40

pendapat Krasner bahwa keadaan dunia saat ini tidak memiliki peraturan yang sangat mengikat terhadap negara. Perilaku Israel yang dapat dikatakan tidak mempedulikan tatanan dunia dan peraturan dari PBB dapat kita analogikan sebagai keadaan di mana terdapat seorang anak yang memang mempunyai sifat seenaknya sendiri dan tidak adanya peraturan ketat dari orang tuanya yang mampu memberikan efek jera. Ini merupakan salah satu contoh bahwa pada dasarnya negara juga merupakan manusia (states are people too) dan apa yang negara lakukan adalah hasil dari konstruksi sosial dari interaksi antar negara. Sebagai penutup dari critical review ini kita dapat melihat kembali bagaimana dalam mencari kebenaran dalam ilmu sosial, kita masih menggunakan metodologi yang diadopsi dari ilmu pengetahuan alam. Metodologi ini sendiri telah lama menjadi sebuah pakem atau sesuatu yang dianggap pasti dalam melakukan penelitian, kemunculan pemikir-pemikir post-positivisme telah memberikan dimensi baru dalam ilmu sosial karena mereka memungkinkan untuk melihat fenomena sosial jauh ke dalam agar tidak ada makna-makna tertentu yang dihilangkan agar mendapatkan kesamaan untuk membentuk teori. Konstruktivisme Alexander Wendt berusaha untuk menjembatani perbedaan antara kedua metodologi positivisme dan post-positivisme, singkatnya adalah menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu pengetahuan yang dapat diteliti menggunakan beberapa metodologi ilmu pengetahuan alam tetapi tidak menghilangkan makna-makna tertentu dalam fenomena sosial. Ketika kita membawa konsep ini ke dalam interaksi antar negara, dapat kita lihat bahwa negara merupakan makhluk sosial juga. Apa yang mereka lakukan tergantung oleh konstruksi sosial yang mereka dapatkan ketika berinteraksi dengan negara lain dalam tatanan sistem internasional.

Anda mungkin juga menyukai