Anda di halaman 1dari 10

Bab 9: Teori-teori Belajar Behavioristik yang masih tampak dalam Aplikasi Ilmu Sosial Komunikasi, Informasi, dan Perpustakaan

Oleh: Drs. Pawit M. Yusup, M.S.

Untuk Anda Mahasiswa pembaca modul ini. Modul ini sebaiknya Anda baca sekaligus sampai selesai sebelum pindah ke modul selanjutnya, Sebab konsep teori belajar yang didasarkan atas psikologi behavioristik ini kami sajikan dalam satu kesatuan yang utuh, setidaknya untuk pemahaman secara minimal. Andalah yang nantinya mengembangkan sendiri sesuai dengan wawasan pengetahuan dan pengalaman yang Anda alami sehari-hari. Namun sebagai patokan, cobalah Anda jawab dan kembangkan soal yang kami ajukan di akhir modul ini, dan bandingkan dengan sajian isi pada modul ini. 1. Konsep dan pengertian Teori perubahan perilaku (belajar) dalam kelompok behaviorisme ini memandang manusia sebagai produk lingkungan. Segala perilaku manusia sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah yang membentuk kepribadian manusia. Behaviorisme tidak bermaksud mempermasalahkan norma-norma pada manusia. Apakah seorang manusia tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Di sini hanya dibicarakan bahwa perilaku manusia itu sebagai akibat berinteraksi dengan lingkungan, dan pola interaksi tersebut harus bisa diamati dari luar. Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya dikatakan sebagai hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respons yang ditampilkan oleh individu. Respons tertentu akan muncul dari individu, jika diberi stimulus dari luar. S singkatan dari Stimulus, dan R singkatan dari Respons. Pada umumnya teori belajar yang termasuk ke dalam keluarga besar behaviorisme memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimuli di sekitar lingkungannya. Orang akan bereaksi jika diberi rangsangan oleh lingkungan luarnya. Demikian juga jika stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup lama, akan berakibat berubahnya perilaku individu. Misalnya dalam hal kepercayaan sebagian masyarakat tentang obat-obatan yang diiklankan di televisi. Mereka sudah tahu dan terbiasa menggunakan obatobat tertentu yang secara gencar ditayangkan media televisi. Jika orang sakit maag maka obatnya adalah promag, waisan, mylanta, ataupun obat-obat lain yang sering diiklankan televisi. Jenis obat lain tidak pernah digunakannya untuk penyakit maag tadi, padahal mungkin saja secara higienis obat yang tidak tertampilkan, lebih manjur, misalnya. Syarat terjadinya proses belajar dalam pola hubungan S-R ini adalah adanya unsur: dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respons, dan penguatan (reinforcement). Unsur yang pertama, dorongan, adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan tersedianya sejumlah uang untuk membeli buku bacaan tertentu, maka ia terdorong untuk membelinya dengan cara meminta uang kepada ibu atau bapaknya. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama, ada yang kuat menggebu, ada yang lemah tidak terlalu peduli akan terpenuhi atau tidaknya. Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus. Unsur ini datang dari luar diri individu, dan tentu saja berbeda dengan dorongan tadi yang datangnya dari dalam. Contoh rangsangan antara lain adalah bau masakan yang lezat, rayuan gombal, dan bahkan bisa juga penampilan seorang gadis cantik dengan bikininya yang ketat. 1

Dalam dunia aplikasi komunikasi instruksional, rangsangan bisa terjadi, bahkan diupayakan terjadinya yang ditujukan kepada pihak sasaran agar mereka bereaksi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kegiatan mengajar ataupun kuliah, di mana banyak pesertanya yang tidak tertarik atau mengantuk, maka sang komunikator instruksional atau pengajarnya bisa merangsangnya dengan sejumlah cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan bertanya tentang masalah-masalah tertentu yang sedang trendy saat ini, atau bisa juga dengan mengadakan sedikit humor segar untuk membangkitkan kesiagaan peserta dalam belajar. Dari adanya rangsangan atau stimulus ini maka timbul reaksi di pihak sasaran atau komunikan. Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi, kondisi, dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam dunia teori belajar ini. Respons ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang positif, dan ada pula yang negatif. Yang positif disebabkan oleh adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang negatif adalah apabila seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan. Unsur yang keempat adalah masalah penguatan (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar, ditujukan kepada orang yang sedang merespons. Apabila respons telah benar, maka diberi penguatan agar individu tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba dibentak dengan kasar oleh kakaknya, maka ia bisa terkejut dan bahkan bisa menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang anak tadi tidak mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk di kemudian hari adalah bisa menjadi trauma untuk mencoreti buku karena takut bentakan. Bahkan yang lebih dikhawatirkan lagi akibatnya adalah jika ia tidak mau bermain dengan buku lagi atau alat tulis lainnya. Itu penguatan yang salah dari seorang kakak terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang mau memulai menulis buku. Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi tidak dengan cara membentak kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus sambil membawa alat tulis lain berupa selembar kertas kosong sebagai penggantinya. Misalnya, "Bagus!, coba kalau menggambarnya di tempat ini, pasti lebih bagus". Dengan cara penguatan seperti itu, sang anak tidak merasa dilarang menulis. Itu namanya penguatan positif. Contoh penguatan positif lagi, setiap anak mendapat ranking bagus di sekolahnya, orang tuanya memberi hadiah berwisata ke tempat-tempat tertentu yang menarik, atau setidaknya dipuji oleh orang tuanya, maka anak akan berusaha untuk mempertahankan rankingnya tadi pada masa yang akan datang. Ada tiga kelompok model belajar yang sesuai dengan teori belajar behaviorisme ini, yaitu yang menurut namanya disebut sebagai hubungan stimulus-respons (S-R bond), pembiasaan tanpa penguatan (conditioning with no reinforcement), dan pembiasaan dengan penguatan (conditioning through reinforcemant). Ada satu lagi teori belajar yang masih menganut paham behaviorisme ini adalah teori belajar sosial dari Bandura. 2. Teori belajar S-R (Stimulus-Respons) Teori belajar S-R yang langsung ini disebut juga dengan koneksionisme menurut Thorndike, dan behaviorisme menurut Watson, namun dalam perkembangan besarnya koneksionisme juga dikenal dengan psikologi behavioristik. Dikatakan koneksionisme karena proses hubungan antara stimulus dan respons bersifat langsung. Kelak para ahli psikologi banyak yang mengembangkannya dengan masih berakar dari S-R ini seperti Albert Bandura, B.F Skinner, Robert M. Gagne, dll. Mereka dikenal dengan neobehaviorists. (Bigge, 1984: 50). Koneksionisme Thorndike berasumsi bahwa belajar merupakan proses hubungan dua unsur fisik dan mental secara bergabungan. Unit mental adalah sesuatu yang dirasakan sedangkan unit fisik adalah stimulus dan respons. Secara khusus ia melihat bahwa belajar sebagai proses hubungan (komunikasi) antara unsur mental dan unsur fisik, unit fisik dengan unit fisik, dan mental dengan unit mental. 2

Teori belajar dari Thorndike disebut juga dengan S-R bond. Melalui pembiasaan, respons tertentu dihubungkan dengan stimulus tertentu. Pola hubungan atau koneksi ini bersifat biologis, yakni perubahan dalam sistem saraf. Belajar terjadi jika stimulus mendapatkan respons yang benar, dan respons yang benar diperoleh melalui tindakan merespons secara trial and error; mencoba, gagal, mencoba lagi, gagal lagi, sampai pada kali tertentu menjadi berhasil. Berikut gambar tentang teori belajar koneksionisme.

Hubungan langsung S (koneksi) R

Teori belajar yang tergolong kepada keluarga behaviorisme ini masih banyak, misalnya seperti yang dicontohkan oleh Skinner dengan teori belajar pembiasaan operant-nya (operant conditioning). Proses belajar ini masih berdasar kepada rumus atau percobaan dari Pavlov yang didasarkan atas reaksi tak terkontrol dalam individu setelah menerima suatu rangsang tertentu yang datang dari luar. Perhatikan gambar berikut:

Stimulus tanpa kondisi (US)

Respons tanpa kondisi (UR)

Proses S-R ini bisa berlangsung secara mekanis, dan bahkan seseorang terkadang tidak harus dalam keadaan belajar. Pengubahan respons tanpa kondisi (UR) menjadi respons berkondisi bisa ditempuh dengan menambahkan kondisi tertentu pada stimulus (CS). Dengan demikian, jika hal ini dilakukan secara berulang-ulang, pada suatu saat seseorang bisa belajar dengan cara memberikan respons tertentu yang sesuai dengan harapan (CR). Rumus atau gambar perubahan tersebut bisa dipola sebagai berikut:

US US + CS US + CS US + CS CS

UR UR UR UR + CR CR CR

CR

Gambar: Model Perubahan Perilaku

Teori pembiasaan klasik ini pada asalnya merupakan suatu percobaan yang dilakukan pada seekor anjing yang sedang lapar. Setiap kali diberi makan, bel dibunyikan, keluar air liur. Demikian seterusnya hal ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga pada kali tertentu, tanpa pemberian makanan pun, apabila bel dibunyikan, anjing tadi mengeluarkan air liur. (Bigge, 1984: 52). Pembiasaan klasik ini dapat menjelaskan pola kebiasaan yang terjadi sehari-hari. Bila seorang anak kecil bermain dengan buku, orang tuanya memujinya bahwa hal itu baik sekali dilakukan, maka di kemudian hari anak akan menyenangi buku. Bila prestasi kita diakui orang lain, maka kita akan berusaha untuk mempertahankannya. Contoh yang mirip dengan model rumus perubahan di atas adalah ketika sedang berlangsung ujian di kalangan mahasiswa atau para pelajar pada umumnya yang biasa nyontek. Pengawas ujian keluar sebentar (mau ke closet), lalu masuk 3

lagi ke dalam ruangan sambil mengetuk pintu, peserta ujian yang nyontek ketakutan. Pengawas ujian keluar lagi (karena ada keperluan lagi) dan masuk lagi dengan didahului mengetuk pintu lagi, peserta ujian pun ketakutan lagi (dengan cara buru-buru menyembunyikan kertas contekannya). Pada kali tertentu, pengawas ujian keluar lagi, dan dari luar mengetuk pintu tetapi tidak dibarengi dengan masuk ke dalam ruang ujian, peserta ujian yang nyontek pun ketakutan, padahal tidak ada pengawas yang masuk. Dalam hal ini peserta ujian yang nyontek pada pelaksanaannya sering ketakutan ketika sedang ujian ada yang mengetuk pintu. Dengan kata lain, ketukan pintu bisa membuat takut para peserta ujian (yang nyontek tentunya). Dalam waktu yang lama respon berkondisi (CR) ini terkadang bisa tersembunyi, bahkan hilang, terutama jika stimulus berkondisi (CS) diberikan bersama stimulus lain yang tidak menyenangkan. Contoh dalam kasus keseharian kita, meskipun seorang orator ulung biasa lancar berpidato di depan publik, namun karena pada saat itu ia sedang mengalami ketidaksenangan di lingkungan keluarganya, menghadapi masalah yang rumit dan kacau, misalnya, sehingga ia mengalami stress berat, maka dimungkinkan pidatonya tidak selancar biasanya. Konsentrasinya terganggu. Namun jika ternyata permasalahan pribadinya tadi bisa diselesaikan dengan hasil yang menyenangkan, sangat mungkin ia bisa berpidato dengan lebih baik lagi. Berkaitan dengan contoh kasus di atas, kita pun pernah mengalami hal serupa, meskipun tidak sama. Kita tiba-tiba menjadi tidak lancar berbicara, tidak lancar dalam berkomunikasi di depan kelas, konsentrasi buyar, muka tidak bersinar, murung, atau tampak stres dalam menghadapi permasalahan yang sebenarnya ringan. Itu mungkin karena pada saat itu kita sedang mendapatkan stimuli yang tidak menyenangkan. Bentuk stimuli yang tidak menyenangkan banyak sekali jenisnya. Bisa datang dari lingkungan sosial, kolega, kerja, kolega, atau juga keluarga. Misalnya ada anggota keluarga kita yang sakit keras, masuk rumah sakit, meninggal dunia, atau masalah lain yang atidak menyenangkan. Semua itu turut mengganggu konsentrasi kita dalam berpikir dan bertindak. Dalam bahasa teori belajar behavioristik ini, itu yang disebut dengan respons berkondisi yang hilang atau tersembunyi. Pembiasaan klasik ini berasumsi bahwa anak atau para komunikan yang sedang belajar itu pasif dan tentu saja reaktif terhadap stimulus yang datang dari luar. Oleh karena itu respons harus dikontrol dari luar. Stimulus apa dan kapan diberikannya, pihak luarlah yang menentukan. Individu tadi hanya berperilaku sesuai dengan stimulus yang diberikan. Dan oleh karena itu dalam hal ini disebut sebagai perilaku responden (respondent behavior). Stimuluslah yang menyebabkan perilaku seseorang. Dalam pandangan perpustakaan, informasi yang tersedia atau tersaji di berbagai media bisa berperan sebagai stimulus. Berbeda dengan teori belajar behavioris khususnya pembiasaan klasik dari Pavlov di atas, seorang behavioris lain, Skinner mengembangkan perilaku operant dalam teori belajarnya. Kalau pada perilaku responden yang dominan adalah pihak luar dalam memberikan stimulus kepada seseorang, maka pada pembiasaan operant, justru pihak luarlah yang harus menunggu adanya respons yang diinginkan. Jika respons yang timbul itu benar maka langsung diberi penguatan. Di sini guru atau para praktisi komunikasi instruksional lainnya dianggap sebagai seorang arsitek dan pembangun perilaku murid-muridnya (Bigge, 1984: 110). Oleh karena itu tugasnya hanya merancang dan mengkondisikan suasana sehingga masing-masing murid atau sasaran berperilaku responsif secara terus-menerus sesuai dengan yang diharapkan. Individu berperilaku secara aktif agar diberi penguatan. Di sinilah yang dimaksudkan dengan perilaku operant. Operant itu sendiri merupakan seperangkat tindakan yang menyebabkan organisme hidup melakukan sesuatu, misalnya mengangkat kepala, atau mendorong pengungkit (Bigge, 1984: 110). Perilaku-perilaku tersebut dilakukan terhadap rangsangan yang terjadi di sekitar lingkungannya sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, penguatan, misalnya. Bahkan Skinner mengatakan bahwa hampir seluruh perilaku manusia merupakan produk dari penguatan operant, dan teorinya disebut dengan pembiasaan operant (operant conditioning). Penguatan diberikan karena adanya respons yang benar, sehingga hal ini menyebabkan respons dilakukan secara berulang-ulang. 4

Menurut Skinner, belajar masih dalam pola hubungan S-R, namun ia lebih memandang bahwa individu yang sedang belajarlah yang aktif, bukan sebaliknya seperti menurut Pavlov. Teori Skinner didasarkan pada percobaan-percobaan menggunakan burung merpati, sedangkan Pavlov menggunakan tikus putih (Rakhmat, 1985: 25-32) dan bahkan anjing yang sedang lapar (Bigge, 1984: 52). Mengapa bisa ada sedikit berbeda pandangan, apakah burung merpati berperilaku lebih aktif daripada anjing yang lapar dan tikus putih? Kami tidak tahu jawabannya, yang tampak memang bahwa burung merpati sering kelihatan aktif berloncat-loncatan jika sedang "gembira". (?). Menurut Skinner (2002), prinsip belajar pada model operant ini adalah: (1) Perilaku-perilaku organisme yang positif diperkuat. Artinya manakala terjadi perilaku yang baik di kalangan sasaran (audiens), maka pada saat yang sama harus dilanjutkan dengan pemberian penguatan positif oleh komunikator instruksional (2) Informasi yang disampaikan oleh komunikator instruksional harus dalam penggalanpenggalan konsep atau objek yang tidak terlalu luas sehingga setiap ada respons positif, maka bisa secara langsung diberi penguatan (3) Penguatan-penguatan yang diberikan komunikator instruksional, hendaknya mampu menggeneralisasikan stimulus yang mirip dengan stimulus sebelumnya, sehingga dengan demikian hal itu bisa menghasilkan pembiasaan-pembiasaan lanjutan. Teori belajar lainnya yang masih di bawah keluarga teori belajar behaviorisme namun sudah lebih maju dan lebih kompleks adalah teori perkembangan keterampilan dari Gagne, lengkapnya Robert M. Gagne (1916- ), seorang ahli psikologi pendidikan yang ulung, yang mengembangkan pendekatan behavioristik eklektik pada psikologi belajar. Belajar katanya merupakan perubahan dalam keterampilan seseorang. Gagne menyebutkan adanya tahap-tahap perkembangan intelektual seseorang dalam kaitannya dengan belajar. Tahap-tahap tersebut bersusun secara hierarkis, dimulai dari tahap yang paling mudah sampai kepada tahap yang paling sulit, dari tahap belajar signal sampai kepada tahap belajar memecahkan masalah. Konsep belajar bertahap secara hierarki ini secara tidak langsung merupakan reduksi dari hubungan mekanisme S-R yang lalu, namun di sini sudah lebih kompleks unsur-unsurnya. Tahapan-tahapan tersebut yang disebut juga dengan Conditions of learning atau juga tipetipe belajar (dalam Bigge, 1984: 143-144) adalah sebagai berikut: 1) Belajar signal, belajar melalui tanda-tanda 2) Belajar stimulus-respons 3) Belajar melalui pola perangkaian (chaining) 4) Belajar asosiasi verbal (verbal association) 5) Belajar diskriminasi (discrimination learning) 6) Belajar konsep 7) Belajar keteraturan konsep (rule learning) 8) Belajar pemecahan masalah (problem solving) Tahap belajar signal mendasari tahap belajar selanjutnya (tahap kedua). Demikian seterusnya sehingga tahap belajar pemecahan masalah (tahap ke delapan) hanya bisa dilalui setelah tahap-tahap sebelumnya dikuasai. Contoh konkretnya di lapangan adalah, orang tidak akan bisa mempelajari ilmu ukur ruang sebelum menguasai dasar ilmu ukur bidang. Belajar akar-akaran dalam matematika tidak akan berhasil jika belum menguasai dasar perkalian, contohnya lagi. Berikut adalah sebuah contoh model instruksional yang berpahamkan pada teori belajar dari Gagne di atas. Kita bisa membedakan tahapan-tahapan penguasaan yang kita presentasikan kepada sasaran instruksional kita, yakni sebagai berikut (Gagne, R. 1985): (1) Membangkitkan atensi sasaran: perlihatkan kepada audiens berbagai konsep tentang index html dengan cara membuat gambaran-gambaran padanannya. (2) Identifikasikan sasaran targetnya: Ajukan pertanyaan kepada audiens, Apa yang dimaksud dengan index html?. 5

(3) Panggil kembali hasil belajar yang lalu: Caranya antara lain dengan mereview konsep, definisi, atau pengertian tentang index html. (4) Sajikan stimulus: Berikan batasan tentang index html (5) Bimbing ke arah pemahaman belajar: Dengan cara memberi contoh bagaimana membuat suatu aplikasi index html (6) Dapatkan tampilan kemampuan: Dengan cara bertanya kepada audiens untuk membuat sedikitnya lima contoh index html yang berbeda. (7) Sediakan umpan balik: Untuk mengecek benar atau salah semua contoh yang dibuat audiens di atas. (8) Memasuki tahapan performans: Berupa pemberian skor dan remedial bagi yang memerlukan. (9) Perolehan retensi dan atau transfer belajar: Perlihatkan model-model objek-objek belajar yang menggunakan index html, dan audiens disuruh mengidentifikasikannya serta memberikan penjelasan sesuai dengan hasil pengembangan wawasan belajarnya. Pola belajar menurut Gagne ini sebenarnya sudah mendekati teori belajar menurut pandangan psikologi kognitif yang lebih kompleks, yang akan dibicarakan pada bab berikutnya. 3. Teori belajar Sosial dari Bandura Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. (Lihat Bigge, 1984; dan Tan, 1981: 203-210). Belajar adalah proses perubahan perilaku yang dibentuk melalui umpan balik informatif yang dihasilkan oleh perilaku langsung individu dalam interaksinya dengan lingkungannya, misalnya melalui melihat, mengamati, dan bahkan meniru orang lain di sekitarnya. Dengan demikian maka peristiwa belajar bisa menyenangkan, menyedihkan, atau bisa apa saja sesuai dengan kondisi mental orang yang sedang belajar tadi. Proses perubahan dengan pola belajar sosial ini banyak kaitannya dengan besarnya kondisi lingkungan sekitar yang mempengaruhi individu. Misalnya seorang yang hidupnya dan dibesarkan di lingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau setidaknya menganggap bahwa judi itu tidak jelek. Jika orang hidup dalam lingkungan media dan sumber-sumber informasi, maka orang yang bersangkutan akan menyenangi informasi, atau setidaknya banyak tahu akan informasi dan sumber-sumber informasi. Orang akan selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial sekitarnya. Teori belajar sosial memeng cocok untuk menjelaskan pola perilaku langsung manusia dalam interaksinya dengan lingkungannya. Berarti di sini terjadi hubungan timbal balik antara manusia dengan aspek lingkungan. Dalam kondisi seperti ini, faktor lingkungan sangat kuat pengaruhnya. Bentuk dari belajar dengan model interaksi dengan lingkungan ini bisa diamatai dari luar. Komponen-komponen dari proses belajar yang bersifat observasional ini, seperti yang tampak dalam aspek-aspek berikut: (Bandura,ny). Available at: [http://fates.cns.muskingum.edu/~psych/psycweb/history/bandura.htm]. (1) Atensi (attention), yang meliputi peristiwa-peristiwa yang dijadikan model, dan karakteristik pengamat. (2) Retensi, yang meliputi symbolic coding, organisasi kognitif. (3) Reproduksi gerak (motor reproduction), yang meliputi kapabilitas fisik, pengamatan diri, keakuratan umpan balik (4) Motivasi, yang meliputi internal maupun eksternal, dan juga penguatan diri. Jika seseorang terinspirasikan untuk membuat sesuatu karena hasil mengamati orang lain berbuat sesuatu yang sama, maka itu juga sebagai akibat dari hasil belajar. Anak kecil yang baru bisa berbicara sepatah dua patah kata, terkadang tahu akan sesuatu yang belum pernah dibiasakan 6

oleh orang tuanya. Itu juga akibat dari hasil belajar sosial, karena sang anak tadi hasil meniru orang lain yang pernah dijumpainya. Dalam tataran yang lebih kompleks, misalnya, di jaman yang serba elektronik seperti sekarang ini, seperti misalnya ada e-mail, e-book, e-journal, e-library, e-learning, dan e-e yang lain yang selalu melibatkan penggunaan komputer dan internet; belum lagi dengan adanya bermacam media komunikasi yang ada sekarang ini, yang baik variasi maupun jumlahnya juga sangat banyak, maka semua itu berfungsi sebagai stimuli yang setiap saat menerpa kehidupan kita. Anak-anak kita, atau anak-anak yang seumur dengan anak-anak kita, pada kenyataannya lebih banyak belajar dari media tersebut dibandingkan dengan belajar dari kita sendiri sebagai orang tua. Akibatnya, mereka dididik secara langsung oleh kondisi sosial yang sedang berlaku sekarang ini. Sekarang kita menjadi tidak heran jika ilmu atau pengetahuan yang berbau teknologi menjadi milik mereka. Kita yang sudah tua terkadang terseok-seok mengikuti perkembangan ilmu dan pengetahuan, terutama yang terkait dengan teknologi, khususnya teknologi informasi. Dengan mengamati hal-hal demikian, maka akses belajar secara sosial menjadi relatif tak terbatas. Sekarang ilmu bukan di kelas lagi tempatnya, namun lebih banyak di media secara global. Belajar juga menjadi lebih kompleks untuk dijelaskan. Contohnya, kalau dulu belajar terjadi karena ada interaksi langsung antara guru dengan murid-muridnya, maka sekarang bisa jadi, dan ini yang terbanyak, belajar terjadi karena seseorang berinteraksi langsung dengan media yang sudah disebutkan di atas tadi. Contoh kecil. Ketika saya sebagai dosen berhalangan untuk mengajar di kelas, maka biasanya saya kirimkan media bahan belajar berupa makalah, tulisan, atau bahan belajar lainnya yang harus dipelajari mahasiswa pada jam tersebut. Dan bagi mahasiswa yang juga mungkin berhalangan hadir, bisa meminjam ke teman-temannya. Tetapi, sebenarnya juga mahasiswa bisa membaca tulisan-tulisan kami di situs internet yang sengaja kami siapkan khusus untuk tujuan belajar dan mengajar (pendidikan). Jika Anda tertarik, silahkan buka homepage kami pada: http://bdg.centrin.net.id/~pawitmy/. Teori belajar dari Bandura ini tampaknya memang bisa berlaku umum dalam semua langkah pendidikan, sosial, komunikasi, informasi, dan instruksional, namun karena kondisinya yang umum tadi, yang sulit dilaksanakan dalam sekolah-sekolah formal, maka metode belajar sosial dari Bandura ini agak sulit dilakukan. Hanya dalam situasi sosial kemasyarakatanlah banyak terjadi belajar sosial. Peristiwa sosial juga terjadi di lingkungan sekolahan dan pendidikan pada umumnya, namun hal itu tentu saja sangat khusus dan terbatas, karena suasana dan kondisinya sudah dirancang secara khusus untuk tujuan yang khusus pula, yakni untuk tujuan mempermudah terlaksanakannya proses belajar secara efektif. 4. Transfer belajar dalam teori S-R dan penekanan komunikasi informasi dan instruksionalnya Khususnya dalam teori belajar koneksionisme Thorndike, transfer terjadi jika unsur-unsur yang jadi stimuli identik dengan unsur-unsur lainnya sehingga respons terjadi secara langsung. Respons meliputi seluruh komponen dari perilaku organik. Jika unsur-unsur identik terjadi dalam dua situasi belajar, maka transfer terjadi dari situasi yang pertama kepada situasi yang kedua secara otomatis. Seorang yang sedang belajar bahasa Inggeris akan lebih cepat menguasai kata-kata yang identik dengan bahasa asal orang yang mempelajarinya itu, contohnya. Orang yang bekerja di lingkungan perpustakaan dan pusat-pusat informasi, lebih mudah dalam menguasai materi ilmu perpustakaan dan informasi, contohnya lagi. Dengan melihat hal seperti itu maka penekanan dalam pelaksanaan instruksionalnya adalah dengan meningkatkan adanya hubungan stimulus-respons secara berulang-ulang, terutama jika terjadi hubungan S-R yang diinginkan. Seorang guru akan terus mengupayakan terjadinya respons yang benar kepada murid-muridnya. Seorang orator akan lebih bersemangat jika audiensnya memperhatikan orasinya. Sementara itu transfer pada teori belajar pembiasaan operant lebih banyak terjadi sebagai akibat adanya penguatan yang dikondisikan. Mempertahankan hasil perilaku akibat telah diberikannya penguatan adalah konsep belajar operant. Dengan demikian transfer belajar bisa 7

berlangsung jika setiap individu melakukan respons benar diberi penguatan positif, sehingga ia mempunyai keinginan untuk mengulanginya lagi perbuatannya tadi. Dan dalam hal belajar operant ini tentu saja penekanan instruksionalnya adalah pada pemberian penguatan yang setepat mungkin pada setiap respons yang dilakukan oleh pihak komunikan. Pemberian penguatan ini dalam dunia komunikasi dan informasi sering berupa sajian informasi yang bersifat membangun, positif, dan memuji kepada pihak komunikan. Informasi yang bersifat pujian banyak sekjali contohnya, mulai dari sekadar ucapan selamat, berjabat tangan, atau pemberian hadiah-hadiah tertentu yang lebih nyata. Secara umum, dalam belajar yang mendasarkan diri pada behaviorisme ini memerlukan situasi dan kondisi yang sesuai dengan orang yang sedang belajar. Proses belajar bisa efektif jika dikontrol secara baik oleh pengajar menggunakan instrumen penguatan. Mata pelajaran perlu dibuat pendek-pendek dan disampaikan secara bertahap serta disesuaikan dengan pengalaman pelajar sebelumnya. Komunikator tidak dianjurkan untuk menggunakan kalimat yang panjang-panjang, bicaranya harus runtut, dimulai dari yang mudah dan sederhana dan dilanjutkan kepada hal-hal yang merumit. Artinya tentu saja belajar tidak bisa melompat ke hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pengalaman pelajar sebelumnya. Respons yang benar dari komunikan yang sedang belajar perlu secepatnya diberi penguatan agar hasilnya bisa bertahan lama, dengan cara antara lain berupa pemberian umpan balik atas respons yang diberikannya. Menurut Hartley dan Davis (dalam Sukamto, 1986), teori belajar behaviorisme yang banyak dipakai di lapangan adalah sebagai berikut: (1) Proses belajar dapat terjadi dengan baik jika pihak sasaran ikut terlibat di dalamnya (2) Materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga sasaran hanya perlu memberikan respons tertentu (3) Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga sasaran dapat dengan segera mengetahui apakah respons yang diberikan benar atau tidak. (4) Perlu diberikan penguatan setiap kali sasaran memberikan respons, terutama penguatan positif, sehingga ia berkeinginan untuk mengulangi kembali respons yang telah diberikannya. Terhadap keempat butir di atas, kita bisa menambah satu lagi, yaitu: (5) Pelajaran tidak hanya diberikan kepada murid secara materi, tetapi perlu disertai dengan contoh-contoh bagaimana seorang guru berperilaku sewajarnya dalam memberikan teladan bagi murid-muridnya, terutama dalam pelajaran-pelajaran bidang ilmu sosial dan humaniora. Prilaku teladan atau contoh inilah yang berfungsi sebagai stimuli dan sekaligus penguatan. Pada point yang terakhir di atas tampaknya itu yang sulit dilakukan oleh kondisi jaman model sekarang ini, di mana polanya tampak mulai bergeser dari sosialistik menjadi kapitalistik individualistik. Sekarang jarang sekali orang yang bisa dijadikan panutan karena perilakunya yang memang tidak baik untuk ditiru. Orang sekarang lebih banyak meniru kepada pola kehidupan media. Artis-artis yang sering muncul di media massa justru yang secara langsung ataupun tidak langsung menjadi panutan masyarakat khususnya kalangan mudanya. Panutannya bukan lagi guru dan orang tua, melainkan artis idola. Padahal, artis idola tersebut, belum tentu sebahagia kita dalam menjalani rumah tangganya. 5. Pengaruh teori belajar behavioris dalam praktek komunikasi informasi di masa sekarang Adanya bahan dan pelaksanaan kegiatan komunikasi dan instruksional terprogram sekarang ini di lingkungan sekolah, pendidikan, lembaga nonkependidikan, dan lembaga sosial lainnya, itu menggambarkan pola belajar dan mengajar yang dipengaruhi oleh behaviorisme, khususnya pembiasaan operant. Instruksional terprogram adalah sistem belajar dan mengajar tentang suatu bidang studi tertentu yang dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang kecil-kecil (sempit), dipisah-pisahkan secara hati-hati, serta diorganisasikan ke dalam suatu urutan yang logis, sehingga mempermudah dipelajarinya oleh murid. (Bigge, 1984: 126). Misalnya, modul kuliah dibuat per 8

pokok bahasan atau bagian. Buku teks dibuat per bab dan subbab. Dosen membuat SAP dalam perkuliahannya. Setiap langkah dalam pengajaran terprogram ini harus bersusun dari yang mudah sederhana kepada yang sulit kompleks. Setiap respons yang dilakukan oleh murid sekaligus mendapatkan penguatannya. Begitu sasaran didik merespons secara positif atas stimuli yang kita sampaikan, maka segera kita beri penguatan positif dengan segera. Demikian juga jika komunikan tadi merespons secara negatif atau salah, maka kita segera memberikan penguatan negatif berupa hukuman (punishment). Dengan begitu kaka proses stimulus dan respons ini bisa berlangsung secara terus menerus, sehingga terjadilan transfer belajar secara otomatis. Dalam hal pelaksanaannya di dunia pendidikan, sebagian guru atau para pengajar sering menerapkan disiplin yang sering terkesan kaku terhadap masalah-masalah belajar muridnya. Meskipun sudah menggunakan sistem kredit semester di dunia pendidikan tinggi, namun pada pelaksanaannya sering tidak pas dengan sistem tersebut. Paket-paket belajar atau bidang studi masih banyak yang diberikan kepada sejumlah mahasiswa tanpa bisa menolaknya. Sistem disiplin memang baik untuk menanamkan kebiasaan mahasiswa dalam kehadiran, misalnya, namun situasi dan kondisi yang sering menjadi penghambat terlaksanakannya disiplin juga perlu diperhatikan, sehingga dosen pun perlu memikirkan hal ini. Ada sejumlah dosen yang melarang mahasiswanya masuk ke ruang kuliah jika sudah terlambat lebih dari satu menit dan perkuliahan sudah dimulai. Itu bagus. Akan tetapi jika diselidiki ternyata keterlambatan tadi bukan kesalahan mahasiswa semata, itu kurang adil akibatnya dilihat dari kepentingan mahasiswa. Sumber informasi tambahan dari buku Quantum Learning susunan Bobbi DePorter & Mike Hermacki, 1999, Kaifa, Bandung. 6. Rangkuman dan soal Rangkuman Teori belajar atau teori perubahan prilaku dalam kelompok behaviorisme ini memandang manusia sebagai produk lingkungan. Segala prilaku manusia sebagian besar akibat dari pengaruh lingkungan. Lingkunganlah yang membentuk kepribadian manusia. Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya dikatakan sebagai proses hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respons yang ditampilkan oleh individu. Hubungan stimulus respons ini kemudian dikenal dengan nama teori belajar SR (stimulus-respons). Unsur-unsur belajar SR ini adalah: dorongan, rangsangan, respons, dan penguatan. Teori belajar yang termasuk ke dalam keluarga behavioristik ini antara lain adalah koneksionisme atau pembiasaan klasik, operant conditioning (pembiasaan operan), dan juga teori belajar sosial dari Bandura yang sudah lebih maju. Teori belajar sosial dari Bandura merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi prilaku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya di sini terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Transfer belajar menurut teori koneksionisme ini terjadi jika unsur-unsur yang jadi stimuli identik dengan unsur-unsur lainnya sehingga respons terjadi secara langsung. Jika unsur-unsur identik dalam dua situasi belajar, maka transfer terjadi dari situasi yang pertama kepada situasi kedua secara otomatis. Contohnya, orang yang sedang belajar bahasa Jepang akan lebih cepat menuasai kata-kata yang identik dengan bahasa asal orang yang mempelajarinya itu. Pengaruh teori belajar pada kelompok teori belajar behaviorisme ini antara lain adalah adanya pola belajar terprogram, modul dibuat per pokok bahasan, dsb. Soal Coba Anda buat makalah khusus dengan tema aplikasi teori belajar behavioristik dengan contohcontoh nyata di kehidupan sehari hari. Panjang makalah bebas, yang penting sudah mencakup permasalahan, pembahasan, dan contoh aplikasi. Selamat mencoba dan kumpulkan. Kirim melalui e-mail juga bisa, yakni ke: pawitmy@bdg.centrin.net.id 9

Daftar Pustaka: Bandura, A. (n,y) Social Learning Theory, an overview. Akses pada 20-12-2003. Available at: http://fates.cns.muskingum.edu/~psych/psycweb/history/bandura.htm http://www.ship.edu/~cgboeree/bandura.html http://www.valdosta.edu/~whuitt/psy702/behsys/social.html Bigge, Morris L. 1982. Learning Theories for Teachers, edisi ke-4. New York, Harper & Raw. Bruner, J. (ny). Constructivist theory. Available at: http://www.infed.org/thinkers/bruner.htm; dan http://www.psy.pdx.edu/PsiCafe/KeyTheorists/Bruner.htm; 15 December 2003. DePorter, Bobbi, dan Mike Hermacki, 1999. Quantum Learning. Bandung, Kaiffa. Gagne, R. 1985. The Conditions of Learning (4th ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston. [Available at: http://www.psy.pdx.edu/PsiCafe/KeyTheorists/Gagne.htm; dan http://www.ittheory.com/gagne1.htm]. Skinner, B.F. 2002. Operant Conditioning. B. F. Skinner Foundation. All Rights Reserved, Morgantown, WV, October 18, 2002 Soekamto, Toeti. 1986. Teori belajar dalam sistem instruksional. Makalah disampaikan pada pelatihan sistem instruksional di Pustekkom Dikbud (sekarang Diknas), kerja sama dengan UT Jakarta. Tan, Alexis S.1981. Mass Communication Theories and Research. Columbus, Ohio, Grid Publishing Company. Thorndike, E. (n.y). Connectionism. [Available at: http://www.indiana.edu/~intell/ethorndike.html; dan http://www.psy.pdx.edu/PsiCafe/KeyTheorists/Thorndike.htm]. 15 December 2003. Yusup, Pawit M. 2003. homepage Pawit MY. Biografi, makalah, modul kuliah, dll. Alamat: http://bdg.centrin.net.id/~pawitmy/

10

Anda mungkin juga menyukai