Anda di halaman 1dari 3

STRATEGI MENUJU KETAHANAN ENERGI NASIONAL YANG BERKELANJUTAN

Oleh : Aditia Andria Putra, 12208050

Ketahanan energi merupakan syarat dalam pembangunan dan kemajuan perekonomian bangsa. Tanpa ketersediaan listrik untuk penerangan, menggerakkan industri yang menghasilkan barang dan jasa, membangun infrasturktur, hingga keperluan rumah tangga seperti memasak, maka pertumbuhan dan peningkatan taraf hidup masyarakat tidak akan berjalan. Semakin tinggi taraf hidup seseorang maka kebutuhan akan energi akan semakin tinggi. Orang kaya akan mengkonsumsi energi lebih banyak daripada orang miskin. Berdasarkan penelitian, kebutuhan energi nasional akan meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 5,2 %, dari 674 juta SBM (Setara Barel Minyak) pada tahun 2002 menjadi 1680 juta SBM pada tahun 2020. Oleh karena itu, peningkatan perekonomian masyarakat harus ditopang oleh ketersediaan energi yang berkelanjutan. Namun, kondisi ketahanan energi di Indonesia saat ini berada pada keadaan yang cukup rentan. Sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi net oil importer dan menjalankan kebijakan subsidi BBM sejak jaman orde baru. Perlu kita tahu hingga tahun 2010, subsidi energi (BBM dan Listrik) meningkat dan melebihi anggaran pertahanan, kesehatan, dan jaminan sosial. Para pemangku kebijakan berpendapat bahwa subsidi energi dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan menjamin keamanan pasokan. Namun, hal itu memiliki resiko jangka panjang. Contoh yang sangat jelas adalah ketergantungan masyarakat terhadap BBM dengan harga murah yang kontradiktif dengan usaha konservasi/penghematan dan menjadi faktor penghambat perkembangan sumber energi lain. Penggunaan BBM meningkat pesat terutama untuk transportasi, yang sulit digantikan oleh jenis energi lainnya. Selain itu, pembangkitan energi listrik di beberapa lokasi tertentu masih mengandalkan BBM. Ketergantungan kepada BBM ini sangat tinggi hingga mencapai 60 % dari konsumsi energi final. Padahal, seperti yang kita tahu bahwa produksi minyak nasional mengalami penurunan yang saat ini bekisar antara 900.000-920.000 BOPD sementara kebutuhan minyak nasional mencapai 1,4 Juta BOPD, sehingga ketercukupan konsumsi minyak nasional sangat bergantung impor minyak pada pasar internasional. Hal ini tentunya memberikan pengaruh yang signifikan bagi APBN, karena fluktuasi harga minyak tidak hanya dipengaruhi oleh pasar tetapi juga kondisi politik negara anggota OPEC maupun negara penghasil minyak lainnya. Pengaruh fluktuasi harga minyak merupakan dilema tersendiri bagi pemerintah. Kita tahu bahwa sumber pendapatan negara masih sangat bergantung pada sektor migas. Sehingga jika harga minyak dunia turun maka pendapatan negara juga ikut

turun selain juga akan mempengaruhi investasi pada usaha hulu migas. Sedangkan bila harga minyak dunia naik maka mau tidak mau subisidi BBM akan membengkakan APBN. Lalu, apakah kondisi seperti ini masih akan tetap dipertahankan? Mengingat ketahanan energi merupakan syarat bagi pembangunan dan kemajuan perekonomian bangsa. Sudah saatnya ketergantungan akan minyak harus dikurangi, yaitu dengan mengembangkan dan mengimplementasikan energi baru terbarukan (EBT). Pengembangan EBT tidak hanya akan menyelamatkan devisa negara dan ketahanan energi nasional, tetapi juga mendukung kelestarian lingkungan sebagai pendukung dalam keberlangsungan hidup masyarakat. Pengembangan EBT saat ini sebenarnya sudah dilakukan, namun implementasinya masih sangat minim yang salah satu faktor penghambatnya adalah subsidi BBM. Untuk itu perlu dukungan positif oleh pemerintah melalui kebijakan energi, masyarakat yang berwawasan energi, serta peran para ahli yang berkecimpung di bidang energi. Peran pemerintah disini adalah membuat kebijakan energi yang efektif sehingga implementasi dalam penerapan kebijakan tersebut dapat telaksana dengan baik. Selain itu, lewat kebijakan energi yang baik diharapkan terciptanya iklim investasi yang mendukung. Sedangkan masyarakat yang berwawasan energi adalah masyarakat yang sadar akan permasalahan energi nasional dan mendukung kebijakan pemerintah, sehingga masyarakat mengerti bagaimana menggunakan energi se-efektif dan se-efisien mungkin agar tidak menimbulkan kontradiksi dengan kebijakan pemerintah. Sedangkan peran para ahli adalah mengembangkan IPTEK untuk meningkatkan cadangan energi nasional. Ketiga peran penting yang bersinergi ini merupakan strategi dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional untuk ketahanan energi yang berkelanjutan. Ada 3 point penting dari strategi pemenuhan kebutuhan energi nasional, yaitu Intensifikasi, Diversifikasi, dan Konservasi Energi. Namun, pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas beberapa pandangan mengenai intensifikasi. Intensifikasi yang dimaksud disini secara umum adalah usaha peningkatan sumber daya energi untuk kebutuhan nasional dengan menemukan cadangan baru (minyak, gas, batubara, atau sumber daya yang lain). Secara lebih spesifik yang akan penulis bahas disini adalah peningkatan cadangan dan produksi minyak. Puncak produksi minyak nasional di Indonesia pernah mencapai 1,5 juta BOPD yang terjadi pada tahun 1977. Namun, seiring dengan waktu maka laju produksi akan menurun sehingga lapangan-lapangan minyak yang sudah tua (mature) perlu dilakukan EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk mempertahankan laju produksinya. Oleh karena itu diperlukan investasi yang tidak sedikit dan manajemen resiko demi mengais sisa-sisa minyak dalam reservoir. Namun, saat ini untuk mencapai target produksi pemerintah kita tidak bisa hanya mengandalkan EOR saja, karena peningkatan produksinya yang masih kurang signifikan. Oleh karena itu, diperlukan eksplorasi agar ada penemuan cadangan baru yang tentunya cukup besar dan prospektif untuk dikembangkan. Namun, saat ini penemuan

cadangan baru yang cukup besar masih belum dapat ditemukan setelah Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu. Mengingat selama 10 tahun terakhir belum ditemukan cadangan minyak dalam skala besar seperti yang ditemukan di Banyu Urip, maka realisasi peningkatan produksi minyak yang cukup besar kemungkinan besar belum tentu akan terulang dalam lima tahun ke depan. Salah satu peluang ke depan adalah proyek-proyek deepwater, seperti proyek pengembangan lapangan gas Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur yang dioperatori Chevron. Namun, untuk merealisasikan development lapangan deepwater diperlukan teknologi yang memadai, investasi yang besar, dan waktu hingga sumur pertama dapat diproduksikan. Setidaknya butuh waktu 4 hingga 5 tahun bahkan lebih. Tentunya hal ini menjadi masalah tersendiri untuk memenuhi target produksi pemerintah dalam waktu dekat. Oleh karena itu, peran EOR masih perlu dikembangkan dari sisi teknik dan keekonomiannya agar didapat peningkatan produksi yang signifikan dengan investasi serendah-rendahnya. Sehingga dalam jangka waktu dekat peran EOR perlu ditingkatkan bersamaan dengan pengembangan teknologi deepwater agar dalam jangka panjang penurunan produksi minyak dapat ditekan. Sebagai orang yang nantinya berkecimpung di dunia migas, tentunya ini akan menjadi tantangan tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai