Anda di halaman 1dari 14

Shock kardiogenik Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi

berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan atanomi pembuluh darah atau dan atau sekat jantung (Penyakit jantung bawaan). Definisi klinis di sini mencakup curah jantung yang buruk dan bukti adanya hipoksia dengan adanya volume darah intravaskular yang cukup. Syok terjadi jika kerusakan otot jantung lebih dari 40% dan angka kematiannya lebih dari 80%.

Tanda klinis Penyakit Jantung Bawaan Bibir dan kukunya berwarna kebiruan menetap sejak lahir atau sejak usia bayi dan mungkin akan bertambah berat secara progresif dengan bertambahnya umur

Sesak Nafas dan cepat lelah bila bermain, berlari atau berjalan jauh Nyeri dada Kesulitan makan dan minum : Cepat lelah saat mengisap susu sehingga sering berhenti menghisap untuk istirahat beberapa saat, nafaas memburu, dan berkeringat banyak,.

Gangguan pertumbuhan (terhambat) karena gangguan asupan gizi.

Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah jantung.

Kelainan Jantung Bawaan Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga penyulit yang sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan jantung bawaan. Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini terdapat ketergantungan pada tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk ke dalam golongan penyakit jantung bawaan kritis. Tetap terbukanya duktus ini diperlukan untuk (1) percampuran darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi arteri besar dengan septum ventrikel utuh, (2) penyediaan darah ke aliran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot berat, stenosis pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia trikuspid, (3) penyediaan darah untuk aliran sistemik, misalnya pada stenosis aorta berat, koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung kiri. Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat sementara dan merupakan upaya untukmenstabilkan keadaan pasien, menunggu tindakan operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap kelainan struktural jantung yang mendasarinya

Etiologi shock kardiogenik Infark miokard akut dengan kerusakan otot jantung Kerusakan katup jantung: stenosis mitral, insufisiensi mitral, stenosis katup aorta, insufisiensi katup aorta. Gangguan irama jantung: atrial fibrilasi, ventrikular fibrilasi, ventrikular takikardi Gangguan sistem konduksi hantaran listrik jantung: atrioventrikular blok, sinoaurikular blok. Faktor Pencetus

1. Iskemia atau infark miokard 2. Anemia: takikardi atau bradikardi

3. Infeksi: endokarditis, miokarditis, atau infeksi di luar jantung 4. Emboli paru. 5. Kelebihan cairan atau garam 6. Obat penekan miokard seperti penghambat 7. Lain-lain: kehamilan, tirotoksikosis, anemia, stres (fisik atau emosi), hipertensi akut.

Patofisiologi Syok Kardiogenik Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan faal pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi kecil atau berhenti sama sekali. Secara mekanisme mungkin disebabkan oleh robeknya dinding ventrikel, regurgitasi oleh karena infark juga mengenai katub jantung, aritmia, atau disfungsi dari ventrikel kiri, kanan ataupun keduanya. Pada robeknya dinding ventrikel terjadi 3-6 hari sesudah infark diikuti dengan tamponade dan syok dan peninggian CVP serta tekanan baji pada arteri pulmonalis. Sedangkan regurgitasi dapat terjadi karena infark mengenai muskulus papilaris. Disfungsi dari ventrikel kanan dapat dilihat dari meningginya CVP sedangkan pada ventrikel kiri ditandai dengan edema paru. Kegagalan pompa jantung menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung (cardiac output) dan menyebabkan kegagalan perfusi ke jaringan, akibatnya berbagai organ mengalami kekurangan oksigen sementara terjadi kompensasi tubuh untuk mempertahankan pengaliran darah ke otak.

Gambar Mekanisme Syok Kardiogenik pada Infark Miokard

M k n m S o K r io e ikp d I f r M k r e a is e y k a d g n a a n a k io a d
N k o isV t ik l k i y n lu s e r s e r e ir a g a D fns is u g i M k r iu io a d m H oes ip t n i A it ia r m C r ia O t u ad c upt A id s s t m s o is is e ik A a k r n rm n r n lir n o o e e u u H o s m k r iu ip k ia io a d m T k n nA r mK i e a a t iu ir T k n nA t P lm n lis eaa r. u oa T k n nD r hA t r eaa aa rei M n e t s K ik a if s a i lin V s k n t ik i aoosr s

Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sehingga menyebabkan kongesti paru dan edema. Dengan menurunnya tekanan arteri sistemik, maka terjadi perangsangan baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal menimbulkan reflek vasokonstriksi, takikardi, dan peningkatan kontraktilitas untuk menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat melalui hukum starling melalui retensi natrium dan air. Jadi menurunnya kontraktilitas pada syok kardiogenik akan memulai respon kompensatorik yang meningkatkan beban akhir dan beban awal. Meskipun mekanisme ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteri darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokard justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokard. Aliran darah koroner yang tidak memadai (terbukti dengan adanya infark) menyebabkan meningkatnya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen terhadap miokardium. Syok kardiogenik dicirikan oleh lingkaran setan (vicious circle) dimana terjadi penurunan kontraktilitas miokardium (depression of myocardial contractility), biasanya karena iskemia, menyebabkan pengurangan cardiac output dan tekanan arteri (arterial pressure), dimana menghasilkan hipoperfusi miokardium dan iskemia lanjutan dan penurunan cardiac output. Disfungsi miokardial sistolik mengurangi stroke volume; dan bersama dengan disfungsi diastolik, memicu peninggian tekanan end-diastolic ventrikel kiri dan pulmonary capillary wedge pressure/PCWP (> 18 mmHg) seperti pada kongesti paru. Penurunan/pengurangan perfusi koroner memacu pemburukan iskemia, disfungsi miokardium progresif, dan spiral menurun yang cepat (rapid downward spiral),

bilamana jika tidak diputus, seringkali menyebabkan kematian (Anurogo, 2009). Sindrom respon peradangan sistemik [systemic inflammatory response syndrome (SIRS)] dapat menyertai infark yang luas dan syok. Sitokin peradangan (inflammatory cytokines), inducible nitric oxide synthase (INOS), dan kelebihan nitric oxide dan peroxynitrite dapat berkontribusi terhadap asal-usul (genesis) syok kardiogenik sebagaimana yang mereka lakukan terhadap bentuk lain syok. Asidosis laktat dari perfusi jaringan yang buruk dan hipoksemia dari edem paru (pulmonary edema) dapat sebagai hasil dari kegagalan pompa dan kemudian berkontribusi terhadap lingkaran setan ini dengan memburuknya iskemia miokardium dan hipotensi. Asidosis berat (pH < 7,25) mengurangi daya kemanjuran/efektivitas (efficacy) yang secara endogen dan eksogen telah diberi katekolamin (catecholamines) (Anurogo, 2009). Manifestasi klinis Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal berikut : Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg atau 30-60 mmHg dibawah batas bawah sebelumnya Adanya bukti penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama : -

Keluaran urin < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingi dan lembab Gangguan fungsi mental

dalam urin

Indeks jantung < 2,1 L/menit/m2

Bukti gagal jantung kiri dengan LVEDP/tekanan baji kapiler paru (PCWP) 18-21 mmHg Menurut Mubin (2008), diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan: Keluhan Utama Syok Kardiogenik - Oliguri (urin < 20 mL/jam). - Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut). - Nyeri substernal seperti IMA. Tanda Penting Syok Kardiogenik 1. Tensi turun < 80-90 mmHg.

2. Takipneu dan dalam. 3. Takikardi. 4. Nadi cepat, kecuali ada blok A-V. 5. Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru. 6. Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar. 7. Sianosis. 8. Diaforesis (mandi keringat). 9. Ekstremitas dingin. 10. Perubahan mental. Diagnosis Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari 90mHg), diikuti menurunnya aliran darah ke organ vital :
1. Produksi urin kurang dari 20 ml/jam 2. Gangguan mental, gelisah, sopourus 3. Akral dingin 4. Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya laktat

kardial.
5. Meningkatnya adrenalin, glucose, free fatty acid cortisol, rennin, angiotensin

plasma serta menurunnya kadar insulin plasma. Pada keadaan lanjut akan diikuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hipovolemia, dan asidosis metabolic. Hipovolemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada syok kardiogenik, disebabkan oleh meningkatnya redistribusi cairan dari intravaskular keinterstitiel, stres akut, ataupun penggunaan diuretika. Kriteria hemodiamik syok kardiogenik adalah hipotensi terus menerus

(tekanan darah sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per m2) dan meningginya tekanan kapiler paru (>15 mmHg). Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
1. Tensi turun : sistolis < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg dari

semula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.


2. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2. 3. Tekanan di atrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal,

rendah sampai meninggi.


4. Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi. 5. Resistensi sistemis. 6. Asidosis.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang segera dilakukan :


-

Serum elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hepar. Jumlah sel darah merah, leukosit (infeksi), trombosit (koagulopati) Enzim Jantung (Creatinine Kinase, troponin, myoglobin, LDH) Analisa gas darah arteri, dapat menggambarkan keseimbangan asam-basa dan

kadar oksigen. Defisit basa penting, menggambarkan kejadian dan derajat renjatan, harus dipantau terus selama resusitasi.
-

Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis.

Pemeriksaan yang harus direncanakan


-

EKG, ekokardiografi. foto polos dada

Pemeriksaan foto toraks biasanya menunjukkan jantung normal atau membesar disertai tanda-tanda edema paru. Pada infark ventrikel kanan, didapatkan gambaran foto toraks normal.

Pada sebagian besar kasus syok kardiogenik didapatkan tanda-tanda infark miokard akut, dengan atau tanpa gelombang Q. Amplitudo gelombang QRS yang rendah dapat ditemukan pada keadaan efusi perikardial dengan tanda-tanda tamponade jantung. Pada infark ventrikel kanan, dapat ditemukan adanya gambaran elevasi segmen ST pada sadapan V4R.

Pemeriksaan EKG pada syok kardiogenik akibat infark miokard akut menunjukkan tanda-tanda hipokinetik yang nyata dari ventrikel kiri yang difus atau segmental. Pemeriksaan ini juga penting untuk mengetahui adanya efusi perikardial, kelainan katup, dan adanya ruptur septum interventrikel.

Komplikasi Syok Kardiogenik 1. Cardiopulmonary arrest 2. Disritmi 3. Gagal multisistem organ 4. Stroke 5. Tromboemboli Penatalaksanaan Medis Syok Kardiogenik : Semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard akut sebaiknya dikirim segera ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk kateterisasi, angioplasti, dan operasi kardiovaskular. Tindakan resusitasi dan suportif harus segera diberikan bersamaan pada saat evaluasi diagnosis. 1. Pastikan jalan napas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi. 2. Berikan oksigen 8- 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PO2 70-120 mmHg. 3. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin.

4. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi. 5. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi: o Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan pemberian digitalis. o Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 x/menit harus diatasi dengan pemberian sulfas atropin. 6. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral dengan menggunakan pedoman dasar PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP. Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik. Caranya: o Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskular harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respons, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau tidak semakin berat dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau tidak meningkat > 2-3 mmHg di atas nilai awal), maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit. o Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1.000 ml/jam sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP atau

PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat sampai15 cmH2O). o Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru. o Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakuken tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator. o Jika PCWP atau PAEDP menunjukkan nilai yang (< 5 mmHg), atau jika nilai CVP < 5 cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru akut. o Jika pasien menunjukkan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan maka keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali. 7. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera. 8. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan perubahan dalam regimen terapi. o Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukkan adanya gagal jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterload dilakukan sebagai terapi pertama.

Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian nitropusid di mulai dengan dosis 0,4 mg/kg BB/menit (dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 mg/ kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin diganti dengan doparnin. Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure, maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin. Selama periode ini, pemasangan intraaortic ballon pump (IABP) counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi. Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan. o Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukkan tanda klasik adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, di mana tim ballon perlu digerakkan dan sarana untuk kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini. Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah sistolik mencapai 80-90 mmHg,

kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin. Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk terapi awal dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit. Bila untuk mempertahankan tekanan darah diperlukan dosis dopamin hingga 20-30 mg/kg BB/menit, di mana efek utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih baik digunakan norepinefrin. Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat. o Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan dan sering menunjukkan respons dengan terapi cairan. Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kanan > 20 mmHg. Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin. Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation. 9. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi jumlah miokard yang mengalami nekrosis, sehingga insidens sindrom syok kardiogenik akan berkurang. 10. Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi medis, saat ini dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada terapi suportif sematamata maupun terapi trombolitik. Keberhasilan percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA) terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya

gejala syok kardiogenik, pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel disease. Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien yang lanjut (>70 tahun) dan riwayat infark sebelumnya.

11. Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil dengan terapi farmakologis dan IABP. Guyton menyimpulkan bahwa coronary-artery bypass surgery (CABS) merupakan terapi pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard, kecuali pada kelompok oktogenarian. CABS juga dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan tindakan angioplasti. Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya kontraksi dari segrnen yang tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis. Bedah revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian, pasien dengan LVEDP > 24 mmHg, skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya kerusakan pada organ sistemik yang ireversibel. Pada pasien dengan kerusakan mekanik, misalnya robeknya otot papilaris, robeknya septum interventrikel, maka tindakan operasi akan efektif terutama bila revaskularisasi juga dapat dilaksanakan. 12. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard ireversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi. Medikamentosa : 1. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri. 2. Anti ansietas, bila cemas. 3. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi. 4. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit. 5. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak adekuat. Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m. 6. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan amrinon IV. 7. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m. 8. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan.

9. Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.

Anda mungkin juga menyukai