Anda di halaman 1dari 14

Konsep Pendidikan YB. Mangunwijaya. Pr.

Oleh : Aly Masyhar Abdel Hannan

A. Pendahuluan
Berbicara tentang pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Ada
banyak hal yang masih membutuhkan pembenahan di dalamnya. Mulai dari sisi birokrasi,
menejemen, sistem kontrol, hingga sisi internalnya, yakni mengenai konsep pendidikan dan
aplikasi praksis dalam menciptakan pendidikan yang tepat dengan kondisi dan kultur bangsa.
Dengan problem ini, maka berakibat pada ketidakmampuan pendidikan di Negeri ini dalam
mencetak generasi-generasi bangsa yang cerdas, baik cerdas dalam segi intelektualitas,
kepribadian maupun cerdas dalam segi sosialnya1. Impian anak bangsa ingin manjadi manusia
cerdas hanya tinggal impian belaka. Semua sirna karena terombang-ambingkan oleh
ketidakjelasan sistem pendidikan yang terlalu mengambang dari masa ke masa, dan dari
pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang selanjutnya2.
Banyak kritik yang telah terlontar, namun yang paling menonjol ialah bahwa pendidikan di
negeri ini hanya menekankan atau mengunggulkan salah satu aspek yang dimiliki oleh peserta
didik, yakni aspek kognitifnya saja. Aspek kognitif ini pun, sebagaimana yang terjadi dalam
kenyataan, masih lemah hasilnya, sebab hanya menekankan pada sisi hafalan3. Maka, jika hal ini
masih tetap dipertahankan, jangan heran kalau lembaga pendidikan ini hanya akan melahirkan
manusia-manusia yang tercerabut dari akar sosialnya, tidak punya keshalehan social, bermoral
buruk dan hanya mampu menjadi komentator naïf saja. Sebab, selain hanya menenekanan pada
aspek kognitif dan sisi hapalan, pendidikan di negeri yang dalam salah satu dasar negaranya
mencantumkan kata-kata ‘persatuan’ ini telah memisahkan peserta didik dari sosio-kulutur
masyarakatnya dengan cara menggunakan kurikulum ‘padat isi’ dan mental ‘penyeragaman serta
kedisiplinan ala militer’.
Hal di atas, diperparah lagi dengan proses pembelajaran yang menggunakan system banking,
yakni sebuah system/ proses Transfer of knowlage yang dilakukan secara copy-paste dari seorang
Guru kepada muridnya. Dalam proses pembelajaran ini yang ada ialah murid hanya digurui,
diajari, dan dijejali dengan mata pelajaran yang sudah didesain dan ditentukan oleh guru,
lembaga atau Negara sebelumnya. Dan dalam kenyataannya, sebagian besar mata pelajaran yang
diberikan tersebut berbeda dengan kebutuhan anak dan komunitasnya 4. Dengan ini, maka akibat
yang muncul ialah peserta didik lebih banyak diam membisu dalam kelas, menanggung rasa
tertekan, hilang rasa solidaritas, dan hanya mengejar grade atau ijazah. Keadaan ini akhirnya
akan berakibat pada terbunuhnya daya kritis, kreatifitas dan daya eksplorasi peserta didik itu

1
Baharuddin, Moh. Makin, PENDIDIKAN HUMANISTIK (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia
Pendidikan), (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 5.
2
Dedy Pradipto, Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional : Konstelasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 21.
3
4
Ahmad Bahrudin, Pendidikan Alternatif Qoryah Toyyibah, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. Xiii.
sendiri, atau dalam istilahnya YB Mangunwijaya, pendidikan model ini ialah pemburu, pawing
dan kemudian sebagai pembunuh peserta didik.
Problem Nasional yang tak kalah pelik dan ironis lainnya ialah terkait dengan biaya
pendidikan (baca:sekolah) yang mahal sehingga mengakibatkan kaum miskin tak mampu
mengenyamnya. Seakan-akan di depan gerbang setiap sekolahan terpampang kalimat “Orang
Miskin Dilarang Sekolah”, jika kita meminjam istilah Eko Prasetyo. Memang, pihak Pemerintah
telah menggalakkan sekolah gratis 9 tahun dan beberapa bantuan pendidikan lainnya melalui
program-program seperti BOSS, namun dalam kenyataan yang ada sangat jauh berbeda, masih
banyak iuran-iuran sekolah -dengan bermacam-macam kedok lainnya- yang harus ditanggung
orang tua murid. Entah itu dengan kedok/ nama/ istilah uang pembelian seragam, pembelian
buku, uang gedung, uang infaq, uang denda terlambat sekolah, atau bahkan uang suap untuk
pembelian nilai, skripsi, gelar dan kursi disekolah-sekolah atau kampus-kampus unggulan.
Singkatnya, hingga sekarang praktek kapitalisme pendidikan dalam dunia pendidikan masih
banyak dipraktekkan.
Kemudian, dalam kekacauan seperti di atas lah konsep pendidikan YB. Mangunwijaya. Pr.
mendapatkan tempatnya. Bedanya, jika konsep pendidikan ini lahir ketika pada masa Orde Baru
dan sekarang sudah masa Orde Reformasi periode ke 4. Namun, meski Romo Mangun –sebutan
akrab YB. Mangunwijaya,Pr- menelurkan gagasan pendidikannya tersebut pada masa Orde Baru,
jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini masih banyak
-atau bahkan semua- gagasan-gagasannya yang mampu menjawab atau menjadi penawar jitu atas
penyakit-penyakit yang dideritannya. Selain itu, Romo Mangun bisa dikatakan sebagai pioneer
kritikus pendidikan Indonesia yang menggunakan landasan teori-teori para pakar kritikus
pendidikan Barat, semisal Jean Pieget, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Paulo Friere. Dan oleh
karena alasan - alasan inilah, penulis berminat untuk membahas dan mengakaji konsep
pendidikan YB. Mangunwijaya tersebut pada tulisan ilmiah ini. Kemudian untuk mempermudah
bahasan, di sini kami paparkan hal-hal yang akan diulas pada bahasan kali ini. Pertama, akan
dibahas tentang sekilas biografi dan latar belakang YB. Mangunwijaya, kemudian yang kedua,
akan dibahas tentang dasar-dasar gagasannya, dan yang terakhir akan dibahas tentang poin-poin
pemikiran pendidikannya yang termanifestasi pada lembaga yang didirikannya, yakni di Sekolah
Dasar Kanisius Eksperimen (SDKEM).

B. Biografi dan Latar Belakang YB. Mangunwijaya


Romo Mangun dilahirkan pada 6 Mei 1929 M di Ambarawa, Jawa Tengah dari pasangan
suami-istri Yulianus Sumadi Mangunwijaya dengan Serafin Kamdinijah yang berprofesi sebagai
guru Sekolah rakyat. Ia adalah anak sulung dari sebelas saudara, tujuh diantaranya perempuan.
Dari keluarga besar tersebut, hanya Romo Mangun yang menjadi seorang biarawan5.

Dedy Pradipto, Belajar Sejati. 31 5


Romo Mangun, dibesarkan dan dididik dalam keluarga yang taat agama sekaligus
pemegang erat nilai-nilai tradisi jawa. Maka dari itu tidak heran jika kemudian kedua arus nilai
tersebut sangat berpengaruh pada gagasan cemerlang pendidikannya. Dan hal ini ia akui sendiri.
Dalam riwayat pendidikan, pada tahun 1936 Romo Mangun memulai memasuki sekolah di
HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan Magelang. Kemudian setelah tamat, tahun 1943, ia
meneruskan studinya ke STM Jetis Yogyakarta. Kemudian, setelah satu tahun STM Jetis
dibubarkan pada tahun 1944, karena gedungnya dijadikan markas perjuangan tentara RI, Romo
Mangun muda mendaftarkan diri menjadi prajurit TKR Batalyon X divisi III dan bertugas di
asrama militer di Benteng Vrederburg, lalu di asrama militer di Kota Baru Yogyakarta. Pada
tahun ini, ia ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan di Marnggen. Ketika sekolah
STM Jetis dibuka kembali, tahun 1946, ia melanjutkan sekolahnya lagi hingga lulus tahun 1947.
Setelah lulus dari STM Jetis, yakni tahun 1947, dan pada saat agresi militer Belanda I, ia
tergabung dalam TP Brigade XVII sebagai komandan kompi TP Kompi Kedu. Dan setahun
kemudian ia melanjutkan belajarnya di SMU-B Santo Albertus Malang dan lulus pada tahun
1951. Ketika di Albertus, tepatnya pada tahun 1950, ia mewakili pemuda Katolik menghadiri
perayaan kemenangan RI di alun-alun kota Malang. Di sinilah ia mendengar pidato Mayor Isman
yang kemudian sangat berpengaruh bagi masa depannya, yakni keputusan untuk ‘tobat sejati’,
bertekad untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat yg tertindas haknya6.
Pilihan hidup menjadi Pastor membuat Romo Mangun melanjutkan sekolah di seminari7.
Pertama masuk ke Seminari Menengah di Kotabaru, 1951, kemudian pada tahun 1952 ia pindah
ke Seminari Menengah Petrus Kanisius, Martoyudan Magelang. Dan setelah lulus, tahun 1953, ia
melanjutkan studinya ke Seminari Tinggi, sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di
Kotabaru. Salah satu pengajarnya adalah Uskup Soegijapranata, SJ8.
Pada tahun 1959, Romo Mangun melanjutkan pendidikannya di Teknik Arsitektur ITB dan
tepat pada 8 September, ia ditahbiskan oleh Uskup Agung Semarang Mgr. Soegijapranata
menjadi Imam. Setelah mengenyam pendidikan di ITB, 1960, ia melanjutkan studi arsitekturnya
di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule di Aachen Jerman dan lulus pada tahun 1966.
Kemudian, setelah kembali ke Indonesia, ia menjadi Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia,
Desa Salam Magelang, menjadi Dosen Luar Bisaa jurusan Arsitektur di UGM, mulai menulis
baik dalam bentuk buku, cerpen, novel maupun artikel yang dimuat oleh surat-surat kabar. Hal ini
berjalan pada tahun 1967 sampai 1980. Dan pada masa-masa ini pula, ia mulai berhubungan
dengan para pemuka agama lain, seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes Oka.
Setelah selesai mengikuti kuliah singkat tentang masalah kemanusiaan sebagai Fellow of
Apsen Institute for Humanistic Studies di Aspen Colorado AS karena dorongan dari Dr.
Soedjatmoko, ia melakukan pendampingan pada warga Kali Code yang terancam penggusuran.
6
“Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ”, http://id.wikipedia.org/wiki/Y.B._Mangunwijaya, diakses tanggal 20 Maret
2008.
.Pradipto, Belajar Sejati, 32 7
8
“Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ”, http://id.wikipedia.org/wiki/Y.B._Mangunwijaya, diakses tanggal 20 Maret
2008.
Untuk menolak penggusuran ini, ia melakukan protes mogok makan. Pendampingan ini
berlangsung mulai tahun 1980 hingga tahun 1986. karena pengupayaan dan pembuatan
perumahan untuk warga Kali Code, pada tahun 1992, ia mendapat The Aga Khan Award9.
Kemudian, pada tahun 1986 sampai 1994, ia melakukan pendampingan lagi, yakni pada warga
Kedung Ombo yang menjadi korban pembuatan waduk dan mendirikan Laboratorium Dinamika
Edukasi Dasar (DED) dan menerapkan atau mengoprasikan eksperimennya di SD Kanisius
Mangunan (SDKM) yang bertempat di Dusun Mangunan, Desa Kalitirto, Kec. Berbah,
Kabupaten Sleman, sekitar 12 kilometer di sisi timur Yogyakarta10.
Pada tahun 1998, tepatnya pda tanggal 26 Mei, ia menjadi salah satu pembicara utama
dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di yogyakarta. Dan setahun
kemudian, tepat pada tanggal 10 Februari 1999, setelah memberikan ceramah dalam seminar
yang bertema “meningkatkan peran buku dalam upaya membentuk masyarakat Indonesia baru”
di hotel Le Maridian Jakarta, Romo Mangun meninggal dunia karena serangan jantung.

C. Konsep Pendidikan YB. Mangunwijaya


1. Filsafat Manusia
Menurut Romo Mangun, manusia adalah makhluk yang berakal budi, animal rationale.
Dalam arti, manusia mampu berpikir, menentukan pilihan, dan mengambil tindakan berdasarkan
pilihannya atau lebih mudahnya makhluk merdeka. Dengan pengertian ini maka manusia
mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipilih dan diperbuatnya. Keterangan ini bisa ditemui
banyak dalam belantara pemikiran Romo Mangun meski tidak secara eksplisit.
Kemudian Romo Mangun juga menyatakan bahwa secara kodrat pada diri manusia sudah
tertanam bakat-bakat atau potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan padanya. Diantara potensi-
potensi tersebut ialah potensi ingin selalu tahu, ingin bertanya, ingin mengeksplorasi, ingin maju,
ingin mekar dan ingin mencapai kepenuhan diri. Pandapat ini ia sandarkan pada pemikiran filusuf
klasik Yunani, Socrates dan juga tokoh psikologi perkembangan anak kenegaraan Swiss, Jean
Piaget11.
Selain itu Romo mangun juga menyatakan bahwa pada dasarnya manusia ialah makhluk
bahasa. Dalam arti manusia adalah makhluk yang mempunyai potensi berkomunikasi yang
berguna atau digunakan sebagai alat untuk mengembangkan potensi-potensi awal yang
dipunyainya. Bahasa yang dimaksud Romo Mangun di sini ialah bukan bahasa yang berarti
sempit, yakni bahasa dalam arti symbol verbal komunikasi lisan, namun lebih dari itu, yaitu juga
menyangkut komunikasi lain yang bermacam-macam bentuk, semisal bahasa tubuh, bahasa
gerak, bahasa isyarat dan bahkan interaksi sosial12. Atau, jika meminjam pernyataan Paul

.Yusuf Bilyarta Mangunwijaya”, http://www.architerian.net, diakses tanggal 20 Maret 2008” 9


SD Mangunan: Belajar Sambil Bermain di Alam Bebas”, http://www.sinarharapan.co.id, diakses tanggal 20 Maret” 10
.2008
YB. Mangunwijaya, “Sisi Balik Medali Emas Ibnu Siena”, dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, 11
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 282-283
YB. Mangunwijaya, “ Pendidikan Manusia Merdeka, dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, (Yogyakarta: 12
.Kompas, 2005), 272
Suparno, manusia pada dasarnya, dengan bahasa yang berarti luas pastinya, ialah makhluk sosial.
Makhluk yang tidak bisa hidup dan berkembang menuju kesempurnaan tanpa bantuan atau
bersama orang lain13.
Selain manusia adalah makhluk yang bebas, mempunyai bakat atau potensi bawaan, dan
makhluk bedimensi sosial, menurut Romo Mangun manusia juga makhluk yang bernilai dan ber-
Tuhan. Manusia makhluk yang bernilai karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang berharga,
yang tidak dapat direndahkan atau diperkosa haknya. Terkait keyakinan ini terlihat jelas pada
kegigihan Romo Mangun memperjuangkan kesejahteraan masyarakat miskin baik dari segi
kesejahteraan rohani yakni dengan jalan pendidikan, maupun dari segi kesejahteraan jasmani
semisal pendampingan warga tepi Kali Code dan warga korban pembangunan waduk
Kedungombo dengan pembuatan perumahan14.
Kemudian maksud manusia makhluk ber-Tuhan ialah makhluk yang memiliki dan
membutuhkan Tuhan. Dalam arti untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang penuh dan
utuh, manusia harus menjalin relasi yang baik dengan Tuhan yang menciptakannya. Dengan
kesadaran ini maka manusia akan menjalin hubungan yang harmonis baik dengan sesama
manusia maupun dengan alam semesta yang notabene-nya sebagai sama-sama makhluk Tuhan.
Atau lebih mudahnya, kesadaran ketuhanan ini dijadikan dasar nilai untuk bercarapandang,
bertindak, bersikap, dan juga nantinya dijadikan dasar nilai atas semua ilmu pengetahuan.15”
Beberapa pokok pemikiran filsafat manusia ini kemudian dijadikan prinsip hidup Romo
Mangun yang ia sebut dengan Tri Bina, yakni bina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan.
Dan pastinya, prinsip hidup ini juga akan mempengaruhi konsep pendidikannya16.

2. Filsafat Pengetahuan
Filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan ini disebut dengan epistemology17.
Menurut filsafat (epistemology) klasik pengetahuan itu sudah ada dan sudah jadi. Tugas guru
ialah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak anak didik, sehingga anak didik menjadi tahu.
Filsafat ini dilandaskan pada filsafat John Locke yang mengatakan bahwa anak didik adalah
bagaikan selembar kertas putih atau tabula rasa. Lalu tugas guru di sini ialah memberi tulisan-
tulisan pada kertas kosong tersebut18.
Kemudian menurut Romo Mangun, yang nota bene-nya pengikut dari filsafat
konstruktifisme19, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) peserta didik sendiri yang
belajar. Jadi pengetahuan ialah bukan hal yang sudah jadi, melainkan proses menjadi20. Untuk

.Paul Suparno, SJ, Dkk., Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendai, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 12 13
Mayong S. Laksono, “ Romo Mangun: Merakyat Untuk Balas Budi Rakyat”, http://www.indomedia.com diakses 14
.tanggal 10 Mei 2008
A. Supratiknya, “Romo Mangun dan Pendidikan”, dalam pengantar, Impian Dari Yogyakarta (Yogyajarta: 15
.Kompas, 2005), XXiV
.Singgih Nugroho. Pendidikan Pemerdekaan dan Islam. (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), 53 16
.Suparno, Reformasi Pendidikan, 15 17
.Alex Sobur, Psikologi Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 148 18
.YB. Mangunwijaya, “Sisi Balik Medali Emas Ibnu Siena”., 283 19
.Pradipto, Belajar Sejati, 72 20
lebih jelasnya, tahap-tahap dari proses mengetahui ini ialah sebagaimana yang dicontohkan
Romo Mangun berikut:
“Sang ibu memberi tahu anaknya bahwa benda yang dilihatnya itu disebut
khutuk. Untuk sesaat anak merasa puas dengan pengetahuan itu, kepuasan ini
disebut equilibrium (keseimbangan). Kata khutuk akan muncul dalam benak si
anak setiap melihat anak ayam yang lain, dan proses ini disebut sebagai asimilasi
(pencernaan). Ketika suatu saat si anak melihat seekor anak itik berenang di
selokan keseimbangan tentang khutuk terganggu. Ia melihat khutuk yang bentuknya
berbeda dan bisa berenang. Ketidakseimbangan ini disebut disequilibrium.
Ketidakseimbangan ini membuat si anak menafsir ulang konsep pengetahuannya
terdahulu, proses ini disebut akomodasi (suatu penyesuaian diri dengan situasi
baru). Proses akomodasi ini memunculkan kata baru “khutuk banyu”. Proses
mengatasi disequilibrium ini disebut dengan equilibration. Ketika sang ibu
memberi tahu kata “meri” untuk sebutan khutuk banyu yang dikenal sebelumnya,
si anak tidak merasa kesulitan sebab hanya tinggal soal nama. Pembentukan konsep
baru telah terjadi ketika si anak mengkonstruksi binatang kecil yang bisa berenang
di selokan sebagai khutuk banyu21.

Dari uraian di atas, Romo Mangun ingin memperlihatkan bahwa proses bertanya anak
sudah dimulai sejak mereka mulai berinteraksi dan belajar mengenali lingkungan yang ada
disekitarnya, dan proses ini akan terus berlangsung dan berkembang seumur hidupnya. Hal inilah
yang kemudian menjadi dasar gagasannya tentang konsep Belajar Sejati, yakni sebuah tahap di
mana seseorang punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari, dan menekuni segala
hal yang dialaminya sehari-hari secara terus-menerus22. Jadi ‘Belajar Sejati’ merupakan proses
belajar yang tidak terikat oleh tempat dan waktu, atau lebih mudahnya belajar tidak harus melalui
sekolah formal, namun bisa kapan saja dan di mana saja.

3. Visi Pendidikan
Dengan berlandaskan keyakinan-keyakinan di atas, menurut Romo Mangun visi pendidikan
tidak lain ialah ‘Belajar Sejati’ itu sendiri, yakni mengantar dan menolong anak didik untuk
mengenal dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri,
dewasa, dan utuh; bukan Cuma menjadi kepingan serba pasrah belaka kepada mesin besar yang
tak dia ketahui susunannya dan arahnya; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan
sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang terjadi, dengan jati diri serta citra
diri yang semakin utuh harmonis dan integer23.
Kemudian, supaya ‘Belajar Sejati’ tersebut terwujud, Romo Mangun menunjuk dua
kompetensi dasar yang harus diterapkan dan dikuasai anak didik. Pertama, kemampuan
komunikasi dan penguasaan bahasa yang dilengkapi dengan kepercayaan diri dalam berinteraksi
dengan sesama24. Kedua, pemekaran jiwa anak yang eksploratif, kreatif, dan integral.
Kemampuan eksploratif membuat anak suka mencari, bertanya, dan menyelidik. Kemampuan
YB. Mangunwijaya, “ Cah Bodo Sangsoyo Akeh/ Arang”, dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, 21
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 220-221
.Pradipto, Belajar Sejat,68-69 22
YB. Mangunwijaya. “ Pendidikan Menjelang Tahun 2000 (I)”. dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, 23
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 176
.YB. Mangunwijaya, “ Pendidikan Manusia Merdeka”, 272 24
kreatif membuat anak bisa mencipta hal-hal baru yang lebih baik dan berguna. Kemampuan
integral membuat anak bisa melihat dan menghadapi beragam segi kehidupan dalam keterpaduan
yang utuh25.

4. Konsep Kurikulum
1. Orientasi
Romo Mangun mengkritik kurikulum nasional mulai dari kurikulum 1974, 1984, dan
kurikul 1994. atau bahkan kurikulum sekarang jika sifatnya sama dengan kurikulum pada
masa-masa kehidupannya itu. Menurut Romo Mangun kurikulum-kurikulum tersebut hanya
menekankan pada aspek kognitif saja. Sebab hanya menekankan pada sisi materi (padat
Materi) dan melupakan sisi ketrampilan dan amalnya. Ditambah lagi kesemuannya itu telah
ditentukan secara seragam oleh pemerintah pusat, baik beban mata pelajaran, cara pengajaran,
dan system evaluasinya (THB, NEM, dan EBTA) yang mengakibatkan anak didik buta
dengan lingkungan sekitar serta kehilangan daya kreitifitas dan eksplorasi yang akan
26
menuntunnya pada belajar sejati. . Kemudian untuk mencapai tujuan tersebut, menurut
Romo Mangun kurikulum harus bersifat kontekstual, dimanis, dan berdasar pada kebutuhan,
kemampuan, potensi dan jenjang umur anak didik27.
Selain itu, supaya anak didik mampu menghadapi dunia yang semakin menglobal
sebagaiman sekarang, menurut Romo Mangun kurikulum juga harus diarahkan pada sasaran
itu. Artinya, kurikulum juga harus memberikan alat pada anak didik untuk menghadapinya.
Menurutnya, alat yang perlu diberikan pada anak didik terkait ini ialah penguasaan teknologi
dan bahasa. Bahasa yang tidak berarti sempit, yakni hanya sebagai alat komunikasi verbal,
namun bahasa yang berarti luas yang juga menyangkut tentang kemahiran interaksi. Sebab,
dengan ini anak didik bisa mengakses informasi dan ilmu pengetahuan bertaraf internasional
dengan mudah dan juga mampu mengkomparasikannya dengan pengetahuan yang dimiliki
oleh orang lain. Terkait ini Romo Mangun mengutip kata mutiara “penguasaan bahasa X
adalah anak kunci dunia dan harta perbendaharaan budaya bangsa X itu”28.
Hal yang perlu diperhatikan lagi ialah terkait keberagaman potensi, bakat-minat, daya
tangkap dan kecenderungan yang dimiliki oleh anak didik. Diakui atau tidak hal ini adalah
sunah alam yang harus dihargai dan dikembangkan. Kurikulum tidak bisa dipaksakan pada
anak didik, biarkan mereka memilih sendiri sesuai dengan kecenderungannya. Sebab anak
kunci yang paling menentukan bagi perkembangan anak didik pada hakikatnya ialah

.Pradipto, Belajar Sejati, 69 25


.Ibid., 57-59 26
YB. Mangunwijaya.” Terima Kasih, Pak Fuad Hasan!”. dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, 27
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 208
YB. Mangunwijaya. “Pendidikan Menjelang Tahun 2000 (II)”. dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, . 28
.(Yogyakarta: Kompas, 2005),185
perhatiannya (concern), pilihan pribadinya, dan di mana hatinya29. Maka dari itu, Romo
Mangun sangat menolak system yang otoriter, doktriner dan sentralisasi.
Dari uarain panjang tersebut bisa dipahami bahwa orientasi kurikulum yang digagas oleh
Romo Mangun ialah orientasi kemandirian anak didik dengan pola-pola kurikulum yang
kontekstual, dinamis, demokrasi, humanis, menganut system desentralisasi, dan ia menolak
kurikulum yang berakhir pada pembunuhan karakter anak didik, a histories dan padat isi.
2. Isi/ Materi
Sebagaimana telah diulas pada sub bab sebelumnya, bahwa kurikulum harus bersifat
kontekstual, dinamis, bertumpu pada kemampuan dan kebutuhan anak didik, maka di sini
penulis paparkan beberapa mata pelajaran yang diterapkan oleh Romo Mangun di SDKEM
sekaligus dasar pemikiran yang melatarinya, mata pelajaran tersebut sebagaimana berikut:
a. Pendidikan Seni
Pendidikan seni di sini tidak bermaksud agar anak didik menonjol dalam mementaskan
seni, namun lebih bertujuan untuk membina cita rasa, kepekaan kebudiawanan yang
mengarah kearifan anak didik. Selain itu pendidikan seni juga berguna untuk mempertajam
pikiran, kreativitas dan mnyehatkan tubuh30.
b. Olah Raga
Tujuan mata pelaran ini ialah selain memang untuk menjadikan tubuh anak didik sehat,
juga juga bertujuan untuk menumbuhkan jiwa sportif dan fair anak didik. Jadi bukan
bertujuan untuk menang atau berjaya dalam bermain, namun lebih menekankan nilai dan
manfaat yang terkandung di dalamnya31.
c. Pendidikan Keterampilan
Tujuan pelajaran ini adalah agar anak didik harus belajar untuk yakin, bahwa semua
pekerjaan tangan atau kasar, terutama yang dikerjakan oleh rakyat kalangan bawah, sungguh-
sungguh berguna, berharga, dan mengharukan. Dalam arti tujuan pendidikan ini ialah untuk
menghilangkan rasa minder, pesimis dan canggung anak didik dalam segala hal32.
d. Pendidikan Bahasa dan Komunikasi
Tujuan pendidikan ini ialah untuk memberi bekal anak didik untuk masa depannya nanti.
Dengan penguasaan bahasa, baik bahasa komunikasi interaksi maupun bahasa verbal, baik
bahasa nasional maupun bahasa internasional, anak didik mampu hidup di manapun. Selain
itu dengan bekal ini anak didik juga akan mudah untuk menyerap informasi dan ilmu
pengetahuan secara mandiri. Sehingga wawasan yang dimilikinya bisa lebih luas dan
bertambah33.
e. Pelajaran IPA dan IPS

YB. Mangunwijaya, “Seandainya Saya Gubernur Jenderal Hindia Belanda”. dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. 29
.St. Sularto, (Yogyakarta: Kompas, 2005), 250
.Suparno, Reformasi Pendidikan,32 30
.Ibid,. 34-35 31
.Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan,69 32
.YB. Mangunwijaya, “Pendidikan Manusia Merdeka”, 272-273 33
Pelajaran ini diberikan sesuai dengan kebutuhan anak didik. Dalam arti dipilah mana yang
perlu diketahui dan mana yang tidak ada salah dan ruginya jika tidak diketahui. Yang penting
diketahui adalah kunci dan anak kunci serta rahasia-rahasia di mana ada dan bagaimana cara
memperoleh informasi atau pengetahuan. Dan yang jelasnya lagi, kesemuanya itu harus
sesuai dan relevan dengan kehidupan keseharian anak didik34.
f. Komunikasi Iman
Pengajaran ini berangkat pemahaman bahwa sesungguhnya setiap anak telah berbakat
religius. Tapi bakat religius anak itu perlu dibantu. Dalam pelajaran ini yang diutamakan
bukan pengetahuan tentang agama, melainkan mendampingi anak didik demi pemekaran
sikap dasar dari dalam diri berupa hati nurani dan niat serta tekad untuk berbuat, khususnya
berbuat cinta kasih. Jadi komunikasi iman tidak lagi berupa pengajaran, penataran, hafalan
belaka, tentang agama. Namun yang terjadi adalah dialog, komunikasi, interaksi dan terutama
perbuatan antar iman yang dimiliki oleh anak didik dan civitas akademik35.
Dari sini bisa dipahami bahwa tujuan mendasar pendidikan komunikasi iman ini ialah
menumbuhkan sikap religius anak, yakni agar anak didik semakin punya sikap dasar yang
betul, hati nurani yang peka terhadap yang baik dan menolak segala yang buruk. Dan juga,
dengan komunikasi iman ini anak didik diharapkan mampu menghormati perbedaan dan
keberagaman.
Terkait religiusitas, Romo Mangun membedakannya dengan agama. Yang pertama
menekankan substansi, sementara yang kedua berhenti pada formalitas36. Seorang yang
beragama secara legal-formal, tidaklah praksis menjadi religius, jika pada kenyataannya
seluruh aktifitasnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan duniawi dan mengabaikan
kemanusiaan serta kesetabilan alam. Begitupun sebaliknya, seseorang bisa menjadi religius
jika seluruh aktivitasnya disandarkan secara sungguh-sungguh dengan pengabdian pada
ketuhanan, kemanusiaan, dan keseimbangan alam37.
Bagi Romo Mangun, pengajaran agama tetap perlu dilaksanakan, namun tempatnya
adalah di dalam keluarga, di masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya, bukan di sekolah.
Sekolah harus bersifat dan bersikap inklusif, terbuka bagi murid dari berbagai agama38.

g. Matematika
Menurut Romo Mangun, pelajaran matematika adalah pelajaran penting kedua setelah
bahasa karena membantu anak untuk dapat berpikir logis, kritis, teliti, berabstraksi, bisa

.Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan,71 34


.,Ibid 35
YB. Mangunwijaya. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern. 36
.(Yogyakarta: Kanisius, 1999), 165-166
TH. Sumartana, Mendidik Manusia Merdeka: Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun. (Yogyakarta: Interfidei, 1995), 37
.vi
.Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan. 72 38
mengambil keputusan, dan kreatif39. Hal ini sama dengan yang dinyatakan oleh J. Drost,
tokoh yang sering mengkonter pemikiran Romo Mangun. Menurutnya, meski matematika
adalah ilmu kuantitas, namun mengajarkan seseorang bernalar logis40.
h. Kotak Pertanyaan, Baca Buku Bagus, dan Majalah Meja
Ketiga mata pelajaran ini beserta mata pelajaran komunikasi iman dan pendidikan seni,
bisaanya diadakan pada setiap hari Sabtu dan menjadi mata pelajaran khas SDKEM. Kelima
mata pelajaran khas tersebut merupakan cara untuk melatih kepekaan anak didik untuk
mencermati lingkungan keseharian41.
Kotak pertanyaan berfungsi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan anak didik tentang
sesuatu yang dianggap belum tahu. Pertanyaan-pertanyaan yang terkumpul kemudian dibahas
bersama-sama pada hari Sabtu siang. Lalu dengan baca buku bagus, anak didik diajak untuk
memperluas cakrawalanya, diajak keluar dari tempurung tradisionalisme konservatifnya,
diajak mengenal kebudayaan lain, dan diajak mengenal dialektik antar sana dan sini. Hal ini
dilakukan dengan cara guru bercerita kepada murid42.
Kemudian, dengan adanya majalah meja, anak didik bisa langsung belajar dengan hanya
melihat meja yang ditempatinya. Artinya bagaimana membuat anak didik dekat dengan bahan
atau sumber pengetahuan. Majalah meja ini diisi dengan artikel-artikel baik dari koran
maupun majalah yang diganti setiap hari Minggu oleh staf43.
3. Evaluasi
Terkait evaluasi, Romo Mangun tidak setuju dengan system evaluai normative
sebagaimana THB, UAN, NEM dan Ebtanas. Apalagi kesemuanya ini dilakukan dengan cara
top down. Sebab, system evaluasi ini menurutnya hanya akan membunuh daya kreatifitas dan
eksplorasi anak didik, kemudian membuat belajar hanya untuk mengejar nilai,
menghilangkan rasa solidaritas serta kerja sama, menyuburkan komersialisasi buku-buku
wajib dan lain-lain yang sering sungguh justru memperbodoh murid, semisal menjamurnya
bimbingan tes, tempat kursus yang menggunakan system drill dan serba mahal44.
Selain itu, menurut Romo Mangun evaluasi harus mengikutsertakan orang tua murid.
Keikutsertaan orang tua sangat diharapkan agar bisa mengetahui kegiatan anak didik ketika
berada dirumah. Sebab untuk mencapai pada ‘Belajar Sejati’ anak didik diharapkan tidak
hanya belajar di sekolah saja, namun dimana saja dan kapan saja, baik di sekolah atau ketika
berada di rumah. Maka komunikasi antara Guru dan wali murid menjadi faktor penting45.
Terkait dengan absensi, Romo Mangun tidak terlalu menghiraukan. Sebab, menurutnya
mau berangkat sekolah atau tidak itu ialah kebebasan dari anak didik. Namun, di SDKEM,

.Pradipto, Belajar Sejati. 128 39


.J. Drost. Dari KBK Sampai MBS. (Jakarta: Buku Kompas, 2006), 80 40
.Ibid,. 116 41
YB. Mangunwijaya.”Bila Kuda Andong Mati”. Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. (Yogyakarta: 42
.Kompas, 2005), 265-266
Pradipto, Belajar Sejati. 86 43
.YB. Mangunwijaya, “Cah Bodo Sangsaya Akeh/Arang”., 218-219 44
.Ibid,. 124 45
jika anak didik tidak berangkat lebih dari tiga hari, maka guru atau pihak sekolah akan
mendatangi rumahnya dan menanyakan apa masalah atau penyebabnya. Jika karena masalah
dana, maka pihak sekolah akan mencarikan solusianya.
Dengan dasar di atas, maka absensi tidak mempengaruhi naik kelas atau tidaknya anak
didik, jika dia mampu melalui tes yang diadakan maka dia bisa naik kelas. Bahkan, Romo
Mangun tidak setuju adanya keputusan tidak naik kelas. Anak yang tinggal dikelas
dikhawatirkan membuat anak didik patah semangat karena malu, kehilangan teman-temannya
dan merasa jadi anak yang paing bodoh46.

5. Konsep Pembelajaran
a. Guru dan Murid
Dalam pembelajaran, menurut Romo posisi anak didik dengan guru Mangun ialah sama,
yakni sama-sama menjadi subjek belajar. Jadi hubungan yang terjadi diantara mereka ialah
hubungan dialogis, antar keduanya saling belajar dan saling mengisi, bukannya saling
mendominasi.47. Hal inilah yang menurut Friere menjadi pembeda antara pendidikan yang
membebaskan dengan pendidikan konvensional48.
Dalam konsep ini, guru hanya berfungsi sebagai teman, penolong, dan bidan bagi anak
didik. Fungsi bidan di sini sangat penting dan diharapkan aktif, tidak menonton saja, akan
tetapi tetap bukan primer yang mencerdaskan dan memekarkan anak didik49. Dalam arti guru
harus menggunakan nilai Ajrih-Asih secara seimbang50.
Maka dari itu, untuk mencapai hubungan ideal di atas, menurut Romo Mangun seorang
guru harus memenuhi criteria berikut, antara lain: profesional, demokratis, dialogis,
intelektual, dan harus menghayati tugas guru sebagai panggilan hidup51. Kemudian, karena
dewasa ini kualitas guru sangat rendah dan kesejahteraannya kurang layak, Romo Mangun
berharap pada pemerintah untuk mengusahakan dan memperhatikannya52.

b. Pendekatan dan Metode Pembelajaran


Untuk mencapai ‘Belajar Sejati’, Romo Mangun menganjurkan beberapa pendekatan
dalam pembelajaran, yakni pendekatan joyfull learning, child-center learning, active learning
dan kekeluargaan. Dengan kata lain, pembelajaran harus berpusat pada anak didik dan juga

.Ibid,. 125 46
YB. Mangunwijaya. “ P dan K Rakyat Semesta”. Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. (Yogyakarta: 47
.Kompas, 2005), 145
Ira Shor dan Paulo Friere. Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman. Terj. A. Nasir Budiman. (Yogyakarta: 48
.LKiS, 2001), 50
YB. Mangunwijaya. “ Sisi Balik Medali Emas Ibn Siena”., Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. 49
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 282
.Pradipto. Belajar Sejati., 45 50
Paul Suparno. “Pendidikan dan Peran Guru”. Dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Ed. Tonny d. Widiastono. 51
.(Jakarta: Buku Kompas, 2004), 129-131
.YB. Mangunwijaya. “ Sisi Balik Medali Emas Ibn Siena”.,280 52
bagaimana membuat mereka merasa senang dan enjoy dalam belajar, atau dalam bahasa
Romo Mangun ialah dalam ‘Suasana Hati Merdeka’53.
Kemudian, terkait dengan metode pembelajaran Romo Mangun menggunakan metode
Konstruktif-Progresif, yakni setiap metode pembelajaran yang membantu peserta didik
melakukan kegiatan dan akhirnya dapat mengkonstruksi pengetahuan yang mereka pelajari
dengan baik54. Jika ditelusuri, ada beberapa metode yang diterapkan di SDKEM, antara lain:
1). Metode Penemuan
Dalam penerapan metode ini, anak didik dilatih untuk terbisaa melakukan pengamatan,
membuat hipotesis, memunculkan prediksi, menguji hipotesis, memanipulasi objek untuk
melihat perubahannya, memecahkan masalah, mencari jawaban sendiri, menggambarkan
kejadian, meneliti, berdialog, melakukan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, dan
mengekspresikan gagasan selama proses pembentukan konstruksi pengetahuan yang baru55.
Metode ini terlihat jelas di SDKEM. Anak didik sering diberi tugas untuk observasi langsung
ke lapangan, semisal mengamati batu, bus, atau kereta api56.
2). Metode Dialog dan Diskusi
Metode ini, menurut Romo Mangun bisa terjadi antara guru dengan anak didik ataupun
antara anak didik dengan anak didik lainnya. Yang pertama bisa dilakukan dengan cara guru
merangsang anak didik untuk bertanya dan yang kedua dengan cara membentuk anak didik
menjadi kelompok-kelompok yang masing-masing diberi tema pembahasan. Cara yang kedua
ini, selain antar anak didik bisa saling belajar juga bisa untuk menumbuhkan rasa solidaritas
dan saling menolong57.
3). Metode Cerita
Di SDKEM, metode ini Romo Mangun terapkan pada mata pelajaran Baca Buku Bagus
yang kala itu ia meminta tolong temannya, Butet Karta Rajasa, untuk mengisi dari padanya58.
Menurut Romo Mangun,. metode ini sangat efektif, karena anak didik akan merasa enjoy dan
lebih mudah untuk memperhatikan isi buku. Jika anak didik sudah mulai menaruh perhatian,
maka ia akan mulai mengkonstruksi pengetahuannya59.
4). Metode Pluspunt
Metode pluspunt adalah metode berhitung realistic-mempelajari matematika dari
permasalahan keseharian anak. Anak didik belajar berhitung dari perkara realitas nyata dan
mudah dibayangkan. Di SDKEM metode ini diterapkan pada mata pelajaran matematika60.
Selain pendekatan dan metode di atas, untuk membantu pemahamn anak didik menurut
Romo Mangun juga diperlukan yang namanya laboratorium dan alat peraga. Namun

.Pradipto, Belajar Sejati, 82 53


.Suparno, Reformasi Pendidikan, 47 54
,.Ibid 55
.Pradipto, Belajar Sejati, 64 56
.Ibid., 130 57
.Ibid., 160 58
.Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan, 65 59
.Pradipto, Belajar Sejati, 148 60
menurutnya hal ini tidak harus mahal, tetapi bisa memanfaatkan sesuatu yang terdapat di
lingkungan sekitar sekolah61.
6. Partisipasi Orang tua dan Masyarakat
Bagai ikan dalam air, begitulah Romo Mangun mengibaratkan sekolah dengan
masyarakat. Maju atau mundurnya suatu sekolah sangat ditentukan oleh masyarakat yang
melingkupinya, dan pastinya orang tua masuk di dalamnya. Maka dari itu, keikutsertaan
masyarakat dan orang tua dalam pendidikan sangat urgen dibutuhkan.
Terkait masyarakat, Romo Mangun Mengutip pernyataan Jean Jacques Rousseu
sebagaimana berikut, “ Manusia dilahirkan berkodrat baik, masyarakat yang merusaknya”.
Menurutnya, meskipun orang tua adalah unsure fital dalam mempengaruhi perkembangan
anak didik, namun sebenarnya mereka hanya meneruskan pengarahan yang diterima dari
masyarakat. Dengan kata lain, masyarakatlah yang sebenarnya membentuk anak didik62.
Sisi masyarakat (Indonesia khususnya Jawa) yang dikritik Romo Mangun ialah sisi
mental dan system kemasyarakatannya. Menurutnya, mental yang digunakan oleh masyarakat
ialah mental orang yang dijajah, yakni mental inggih ndoro, ndoro-kawulo (primordialisme),
dan menggunakan system kemasyarakatan fungsionalisme structural. Sebuah tatanan
masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa manusia hidup selalu menempati posisinya
masing-masing yang memang sudah jatah-nya63. Mental dan sistem yang seperti ini,
menurutnya akan membuat anak didik menjadi bernilai skunder dan orang tua atau
masyarakat seakan berhak untuk memaksakan kehendaknya terhadap mereka. Proses ini
akhirnya akan membuat anak didik menjadi kerdil, terkekang, dan kehilangan daya kreatifitas
serta eksplorasinya. Maka dari itu, terkait ini Romo Mangun menggagas untuk dilakukan
revolusi kebudayaan, yakni revolusi budaya dari struktur-struktur feudal dan eks-kolonial
menuju system kebudayaan yang memerdekakan64.
Kembali pada hubungan anatara sekolah dengan masyarakat dalam membentuk dan
mencapai tujuan pendidikan sejati, Romo Mangun menggagas supaya komponen-komponen
pendidikan yang muncul dalam masyarakat tersebut, yakni pendidikan Formal, Nonformal,
dan pendidikan Informal harus disinergiskan, tidak boleh diunggulkan salah satunya
sebagaimana sekarang65.

D. Penutup
Dari uraian di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep pendidikan Romo Mangun
mengerucut pada konsep pendidikan berparadigma pemerdekaan yang berjiwa religiusitas. Yakni
sebuah konsep pendidikan yang bertujuan untuk mengantarkan peserta didik pada ‘Belajar

.Ibid., 87 61
YB. Mangunwijaya. “ Untuk Kaum SD Inna ‘Llaha ma’a ‘Ssabirin”. Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. 62
.Sularto. (Yogyakarta: Kompas, 2005), 229-230
.George Ritzer dan D.J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. (Jakarta: Kencana, 2004), 118 63
.YB. Mangunwijaya. “ P dan K Rakyat Semesta”., 146 64
YB. Mangunwijaya. “ Dimensi Nonformal dan Informal”. Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. 65
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 163-171
Sejati’, yakni kesadaran belajar seumur hidup. Dalam konsep pendidikan ini, sisi yang ditekankan
ialah pengembangan daya kritis, kreatif dan daya eksploratif anak didik secara integral dan
konprehensif. Maka dari itu, untuk mencapai tujuan tersebut proses pembelajaran harus bersifat
demokratis, dialogis, dinamis, kontekstual, menekankan proses dan menggunakan pendekatan
joyfull learning, active learning, child- center learning dan sistem kekeluargaan. Singkatnya,
tujuan konsep pendidikan ini ialah bagaimana peserta didik bisa mencapai ‘Belajar Sejati’ dengan
‘Suasana Hati Merdeka’. Jadi, peserta didik sudah tidak lagi disibukkan untuk memikirkan biaya
untuk sekolah, perasaan minder , dan perasaan takut kepada Guru. Sebab, di sini guru diposisikan
sebagai teman, sahabat, dan bidan bagi peserta didik.
Di samping itu, pendidikan (baca : sekolahan) bukan tempat doktrinasi agama, namun
sebagai tempat komunikasi antar iman yang nantinya akan menumbuhkan rasa toleransi dan
inklusifitas. Menurut Romo Mangun, lembaga sekolah juga harus dijauhkan dari praktek
komodifikasi. Sebab, hal ini hanya akan mencetak peserta didik menjadi skrup-skrup kapitalisme.
Dari sini, maka bias dipahami bahwa Konsep Pendidikan Romo Mangun sangat menolak
pendidikan yang bersifat seragam dan terpusat, kemudian yang bersifat indoktrinasi, otoriter,
uncontectual, dan tak terjangkau kaum miskin atau pendidikan yang tak memihak kaum
mustadl’afin.
Wallahu A’lam Bish-Shawab…
Finished, on Monday, September 15, 2008

Anda mungkin juga menyukai