A. Pendahuluan
Berbicara tentang pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Ada
banyak hal yang masih membutuhkan pembenahan di dalamnya. Mulai dari sisi birokrasi,
menejemen, sistem kontrol, hingga sisi internalnya, yakni mengenai konsep pendidikan dan
aplikasi praksis dalam menciptakan pendidikan yang tepat dengan kondisi dan kultur bangsa.
Dengan problem ini, maka berakibat pada ketidakmampuan pendidikan di Negeri ini dalam
mencetak generasi-generasi bangsa yang cerdas, baik cerdas dalam segi intelektualitas,
kepribadian maupun cerdas dalam segi sosialnya1. Impian anak bangsa ingin manjadi manusia
cerdas hanya tinggal impian belaka. Semua sirna karena terombang-ambingkan oleh
ketidakjelasan sistem pendidikan yang terlalu mengambang dari masa ke masa, dan dari
pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang selanjutnya2.
Banyak kritik yang telah terlontar, namun yang paling menonjol ialah bahwa pendidikan di
negeri ini hanya menekankan atau mengunggulkan salah satu aspek yang dimiliki oleh peserta
didik, yakni aspek kognitifnya saja. Aspek kognitif ini pun, sebagaimana yang terjadi dalam
kenyataan, masih lemah hasilnya, sebab hanya menekankan pada sisi hafalan3. Maka, jika hal ini
masih tetap dipertahankan, jangan heran kalau lembaga pendidikan ini hanya akan melahirkan
manusia-manusia yang tercerabut dari akar sosialnya, tidak punya keshalehan social, bermoral
buruk dan hanya mampu menjadi komentator naïf saja. Sebab, selain hanya menenekanan pada
aspek kognitif dan sisi hapalan, pendidikan di negeri yang dalam salah satu dasar negaranya
mencantumkan kata-kata ‘persatuan’ ini telah memisahkan peserta didik dari sosio-kulutur
masyarakatnya dengan cara menggunakan kurikulum ‘padat isi’ dan mental ‘penyeragaman serta
kedisiplinan ala militer’.
Hal di atas, diperparah lagi dengan proses pembelajaran yang menggunakan system banking,
yakni sebuah system/ proses Transfer of knowlage yang dilakukan secara copy-paste dari seorang
Guru kepada muridnya. Dalam proses pembelajaran ini yang ada ialah murid hanya digurui,
diajari, dan dijejali dengan mata pelajaran yang sudah didesain dan ditentukan oleh guru,
lembaga atau Negara sebelumnya. Dan dalam kenyataannya, sebagian besar mata pelajaran yang
diberikan tersebut berbeda dengan kebutuhan anak dan komunitasnya 4. Dengan ini, maka akibat
yang muncul ialah peserta didik lebih banyak diam membisu dalam kelas, menanggung rasa
tertekan, hilang rasa solidaritas, dan hanya mengejar grade atau ijazah. Keadaan ini akhirnya
akan berakibat pada terbunuhnya daya kritis, kreatifitas dan daya eksplorasi peserta didik itu
1
Baharuddin, Moh. Makin, PENDIDIKAN HUMANISTIK (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia
Pendidikan), (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 5.
2
Dedy Pradipto, Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional : Konstelasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 21.
3
4
Ahmad Bahrudin, Pendidikan Alternatif Qoryah Toyyibah, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. Xiii.
sendiri, atau dalam istilahnya YB Mangunwijaya, pendidikan model ini ialah pemburu, pawing
dan kemudian sebagai pembunuh peserta didik.
Problem Nasional yang tak kalah pelik dan ironis lainnya ialah terkait dengan biaya
pendidikan (baca:sekolah) yang mahal sehingga mengakibatkan kaum miskin tak mampu
mengenyamnya. Seakan-akan di depan gerbang setiap sekolahan terpampang kalimat “Orang
Miskin Dilarang Sekolah”, jika kita meminjam istilah Eko Prasetyo. Memang, pihak Pemerintah
telah menggalakkan sekolah gratis 9 tahun dan beberapa bantuan pendidikan lainnya melalui
program-program seperti BOSS, namun dalam kenyataan yang ada sangat jauh berbeda, masih
banyak iuran-iuran sekolah -dengan bermacam-macam kedok lainnya- yang harus ditanggung
orang tua murid. Entah itu dengan kedok/ nama/ istilah uang pembelian seragam, pembelian
buku, uang gedung, uang infaq, uang denda terlambat sekolah, atau bahkan uang suap untuk
pembelian nilai, skripsi, gelar dan kursi disekolah-sekolah atau kampus-kampus unggulan.
Singkatnya, hingga sekarang praktek kapitalisme pendidikan dalam dunia pendidikan masih
banyak dipraktekkan.
Kemudian, dalam kekacauan seperti di atas lah konsep pendidikan YB. Mangunwijaya. Pr.
mendapatkan tempatnya. Bedanya, jika konsep pendidikan ini lahir ketika pada masa Orde Baru
dan sekarang sudah masa Orde Reformasi periode ke 4. Namun, meski Romo Mangun –sebutan
akrab YB. Mangunwijaya,Pr- menelurkan gagasan pendidikannya tersebut pada masa Orde Baru,
jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini masih banyak
-atau bahkan semua- gagasan-gagasannya yang mampu menjawab atau menjadi penawar jitu atas
penyakit-penyakit yang dideritannya. Selain itu, Romo Mangun bisa dikatakan sebagai pioneer
kritikus pendidikan Indonesia yang menggunakan landasan teori-teori para pakar kritikus
pendidikan Barat, semisal Jean Pieget, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Paulo Friere. Dan oleh
karena alasan - alasan inilah, penulis berminat untuk membahas dan mengakaji konsep
pendidikan YB. Mangunwijaya tersebut pada tulisan ilmiah ini. Kemudian untuk mempermudah
bahasan, di sini kami paparkan hal-hal yang akan diulas pada bahasan kali ini. Pertama, akan
dibahas tentang sekilas biografi dan latar belakang YB. Mangunwijaya, kemudian yang kedua,
akan dibahas tentang dasar-dasar gagasannya, dan yang terakhir akan dibahas tentang poin-poin
pemikiran pendidikannya yang termanifestasi pada lembaga yang didirikannya, yakni di Sekolah
Dasar Kanisius Eksperimen (SDKEM).
2. Filsafat Pengetahuan
Filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan ini disebut dengan epistemology17.
Menurut filsafat (epistemology) klasik pengetahuan itu sudah ada dan sudah jadi. Tugas guru
ialah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak anak didik, sehingga anak didik menjadi tahu.
Filsafat ini dilandaskan pada filsafat John Locke yang mengatakan bahwa anak didik adalah
bagaikan selembar kertas putih atau tabula rasa. Lalu tugas guru di sini ialah memberi tulisan-
tulisan pada kertas kosong tersebut18.
Kemudian menurut Romo Mangun, yang nota bene-nya pengikut dari filsafat
konstruktifisme19, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) peserta didik sendiri yang
belajar. Jadi pengetahuan ialah bukan hal yang sudah jadi, melainkan proses menjadi20. Untuk
.Paul Suparno, SJ, Dkk., Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendai, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 12 13
Mayong S. Laksono, “ Romo Mangun: Merakyat Untuk Balas Budi Rakyat”, http://www.indomedia.com diakses 14
.tanggal 10 Mei 2008
A. Supratiknya, “Romo Mangun dan Pendidikan”, dalam pengantar, Impian Dari Yogyakarta (Yogyajarta: 15
.Kompas, 2005), XXiV
.Singgih Nugroho. Pendidikan Pemerdekaan dan Islam. (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), 53 16
.Suparno, Reformasi Pendidikan, 15 17
.Alex Sobur, Psikologi Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 148 18
.YB. Mangunwijaya, “Sisi Balik Medali Emas Ibnu Siena”., 283 19
.Pradipto, Belajar Sejati, 72 20
lebih jelasnya, tahap-tahap dari proses mengetahui ini ialah sebagaimana yang dicontohkan
Romo Mangun berikut:
“Sang ibu memberi tahu anaknya bahwa benda yang dilihatnya itu disebut
khutuk. Untuk sesaat anak merasa puas dengan pengetahuan itu, kepuasan ini
disebut equilibrium (keseimbangan). Kata khutuk akan muncul dalam benak si
anak setiap melihat anak ayam yang lain, dan proses ini disebut sebagai asimilasi
(pencernaan). Ketika suatu saat si anak melihat seekor anak itik berenang di
selokan keseimbangan tentang khutuk terganggu. Ia melihat khutuk yang bentuknya
berbeda dan bisa berenang. Ketidakseimbangan ini disebut disequilibrium.
Ketidakseimbangan ini membuat si anak menafsir ulang konsep pengetahuannya
terdahulu, proses ini disebut akomodasi (suatu penyesuaian diri dengan situasi
baru). Proses akomodasi ini memunculkan kata baru “khutuk banyu”. Proses
mengatasi disequilibrium ini disebut dengan equilibration. Ketika sang ibu
memberi tahu kata “meri” untuk sebutan khutuk banyu yang dikenal sebelumnya,
si anak tidak merasa kesulitan sebab hanya tinggal soal nama. Pembentukan konsep
baru telah terjadi ketika si anak mengkonstruksi binatang kecil yang bisa berenang
di selokan sebagai khutuk banyu21.
Dari uraian di atas, Romo Mangun ingin memperlihatkan bahwa proses bertanya anak
sudah dimulai sejak mereka mulai berinteraksi dan belajar mengenali lingkungan yang ada
disekitarnya, dan proses ini akan terus berlangsung dan berkembang seumur hidupnya. Hal inilah
yang kemudian menjadi dasar gagasannya tentang konsep Belajar Sejati, yakni sebuah tahap di
mana seseorang punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari, dan menekuni segala
hal yang dialaminya sehari-hari secara terus-menerus22. Jadi ‘Belajar Sejati’ merupakan proses
belajar yang tidak terikat oleh tempat dan waktu, atau lebih mudahnya belajar tidak harus melalui
sekolah formal, namun bisa kapan saja dan di mana saja.
3. Visi Pendidikan
Dengan berlandaskan keyakinan-keyakinan di atas, menurut Romo Mangun visi pendidikan
tidak lain ialah ‘Belajar Sejati’ itu sendiri, yakni mengantar dan menolong anak didik untuk
mengenal dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri,
dewasa, dan utuh; bukan Cuma menjadi kepingan serba pasrah belaka kepada mesin besar yang
tak dia ketahui susunannya dan arahnya; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan
sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang terjadi, dengan jati diri serta citra
diri yang semakin utuh harmonis dan integer23.
Kemudian, supaya ‘Belajar Sejati’ tersebut terwujud, Romo Mangun menunjuk dua
kompetensi dasar yang harus diterapkan dan dikuasai anak didik. Pertama, kemampuan
komunikasi dan penguasaan bahasa yang dilengkapi dengan kepercayaan diri dalam berinteraksi
dengan sesama24. Kedua, pemekaran jiwa anak yang eksploratif, kreatif, dan integral.
Kemampuan eksploratif membuat anak suka mencari, bertanya, dan menyelidik. Kemampuan
YB. Mangunwijaya, “ Cah Bodo Sangsoyo Akeh/ Arang”, dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, 21
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 220-221
.Pradipto, Belajar Sejat,68-69 22
YB. Mangunwijaya. “ Pendidikan Menjelang Tahun 2000 (I)”. dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. St. Sularto, 23
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 176
.YB. Mangunwijaya, “ Pendidikan Manusia Merdeka”, 272 24
kreatif membuat anak bisa mencipta hal-hal baru yang lebih baik dan berguna. Kemampuan
integral membuat anak bisa melihat dan menghadapi beragam segi kehidupan dalam keterpaduan
yang utuh25.
4. Konsep Kurikulum
1. Orientasi
Romo Mangun mengkritik kurikulum nasional mulai dari kurikulum 1974, 1984, dan
kurikul 1994. atau bahkan kurikulum sekarang jika sifatnya sama dengan kurikulum pada
masa-masa kehidupannya itu. Menurut Romo Mangun kurikulum-kurikulum tersebut hanya
menekankan pada aspek kognitif saja. Sebab hanya menekankan pada sisi materi (padat
Materi) dan melupakan sisi ketrampilan dan amalnya. Ditambah lagi kesemuannya itu telah
ditentukan secara seragam oleh pemerintah pusat, baik beban mata pelajaran, cara pengajaran,
dan system evaluasinya (THB, NEM, dan EBTA) yang mengakibatkan anak didik buta
dengan lingkungan sekitar serta kehilangan daya kreitifitas dan eksplorasi yang akan
26
menuntunnya pada belajar sejati. . Kemudian untuk mencapai tujuan tersebut, menurut
Romo Mangun kurikulum harus bersifat kontekstual, dimanis, dan berdasar pada kebutuhan,
kemampuan, potensi dan jenjang umur anak didik27.
Selain itu, supaya anak didik mampu menghadapi dunia yang semakin menglobal
sebagaiman sekarang, menurut Romo Mangun kurikulum juga harus diarahkan pada sasaran
itu. Artinya, kurikulum juga harus memberikan alat pada anak didik untuk menghadapinya.
Menurutnya, alat yang perlu diberikan pada anak didik terkait ini ialah penguasaan teknologi
dan bahasa. Bahasa yang tidak berarti sempit, yakni hanya sebagai alat komunikasi verbal,
namun bahasa yang berarti luas yang juga menyangkut tentang kemahiran interaksi. Sebab,
dengan ini anak didik bisa mengakses informasi dan ilmu pengetahuan bertaraf internasional
dengan mudah dan juga mampu mengkomparasikannya dengan pengetahuan yang dimiliki
oleh orang lain. Terkait ini Romo Mangun mengutip kata mutiara “penguasaan bahasa X
adalah anak kunci dunia dan harta perbendaharaan budaya bangsa X itu”28.
Hal yang perlu diperhatikan lagi ialah terkait keberagaman potensi, bakat-minat, daya
tangkap dan kecenderungan yang dimiliki oleh anak didik. Diakui atau tidak hal ini adalah
sunah alam yang harus dihargai dan dikembangkan. Kurikulum tidak bisa dipaksakan pada
anak didik, biarkan mereka memilih sendiri sesuai dengan kecenderungannya. Sebab anak
kunci yang paling menentukan bagi perkembangan anak didik pada hakikatnya ialah
YB. Mangunwijaya, “Seandainya Saya Gubernur Jenderal Hindia Belanda”. dalam Impian Dari Yogyakarta, ed. 29
.St. Sularto, (Yogyakarta: Kompas, 2005), 250
.Suparno, Reformasi Pendidikan,32 30
.Ibid,. 34-35 31
.Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan,69 32
.YB. Mangunwijaya, “Pendidikan Manusia Merdeka”, 272-273 33
Pelajaran ini diberikan sesuai dengan kebutuhan anak didik. Dalam arti dipilah mana yang
perlu diketahui dan mana yang tidak ada salah dan ruginya jika tidak diketahui. Yang penting
diketahui adalah kunci dan anak kunci serta rahasia-rahasia di mana ada dan bagaimana cara
memperoleh informasi atau pengetahuan. Dan yang jelasnya lagi, kesemuanya itu harus
sesuai dan relevan dengan kehidupan keseharian anak didik34.
f. Komunikasi Iman
Pengajaran ini berangkat pemahaman bahwa sesungguhnya setiap anak telah berbakat
religius. Tapi bakat religius anak itu perlu dibantu. Dalam pelajaran ini yang diutamakan
bukan pengetahuan tentang agama, melainkan mendampingi anak didik demi pemekaran
sikap dasar dari dalam diri berupa hati nurani dan niat serta tekad untuk berbuat, khususnya
berbuat cinta kasih. Jadi komunikasi iman tidak lagi berupa pengajaran, penataran, hafalan
belaka, tentang agama. Namun yang terjadi adalah dialog, komunikasi, interaksi dan terutama
perbuatan antar iman yang dimiliki oleh anak didik dan civitas akademik35.
Dari sini bisa dipahami bahwa tujuan mendasar pendidikan komunikasi iman ini ialah
menumbuhkan sikap religius anak, yakni agar anak didik semakin punya sikap dasar yang
betul, hati nurani yang peka terhadap yang baik dan menolak segala yang buruk. Dan juga,
dengan komunikasi iman ini anak didik diharapkan mampu menghormati perbedaan dan
keberagaman.
Terkait religiusitas, Romo Mangun membedakannya dengan agama. Yang pertama
menekankan substansi, sementara yang kedua berhenti pada formalitas36. Seorang yang
beragama secara legal-formal, tidaklah praksis menjadi religius, jika pada kenyataannya
seluruh aktifitasnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan duniawi dan mengabaikan
kemanusiaan serta kesetabilan alam. Begitupun sebaliknya, seseorang bisa menjadi religius
jika seluruh aktivitasnya disandarkan secara sungguh-sungguh dengan pengabdian pada
ketuhanan, kemanusiaan, dan keseimbangan alam37.
Bagi Romo Mangun, pengajaran agama tetap perlu dilaksanakan, namun tempatnya
adalah di dalam keluarga, di masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya, bukan di sekolah.
Sekolah harus bersifat dan bersikap inklusif, terbuka bagi murid dari berbagai agama38.
g. Matematika
Menurut Romo Mangun, pelajaran matematika adalah pelajaran penting kedua setelah
bahasa karena membantu anak untuk dapat berpikir logis, kritis, teliti, berabstraksi, bisa
5. Konsep Pembelajaran
a. Guru dan Murid
Dalam pembelajaran, menurut Romo posisi anak didik dengan guru Mangun ialah sama,
yakni sama-sama menjadi subjek belajar. Jadi hubungan yang terjadi diantara mereka ialah
hubungan dialogis, antar keduanya saling belajar dan saling mengisi, bukannya saling
mendominasi.47. Hal inilah yang menurut Friere menjadi pembeda antara pendidikan yang
membebaskan dengan pendidikan konvensional48.
Dalam konsep ini, guru hanya berfungsi sebagai teman, penolong, dan bidan bagi anak
didik. Fungsi bidan di sini sangat penting dan diharapkan aktif, tidak menonton saja, akan
tetapi tetap bukan primer yang mencerdaskan dan memekarkan anak didik49. Dalam arti guru
harus menggunakan nilai Ajrih-Asih secara seimbang50.
Maka dari itu, untuk mencapai hubungan ideal di atas, menurut Romo Mangun seorang
guru harus memenuhi criteria berikut, antara lain: profesional, demokratis, dialogis,
intelektual, dan harus menghayati tugas guru sebagai panggilan hidup51. Kemudian, karena
dewasa ini kualitas guru sangat rendah dan kesejahteraannya kurang layak, Romo Mangun
berharap pada pemerintah untuk mengusahakan dan memperhatikannya52.
.Ibid,. 125 46
YB. Mangunwijaya. “ P dan K Rakyat Semesta”. Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. (Yogyakarta: 47
.Kompas, 2005), 145
Ira Shor dan Paulo Friere. Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman. Terj. A. Nasir Budiman. (Yogyakarta: 48
.LKiS, 2001), 50
YB. Mangunwijaya. “ Sisi Balik Medali Emas Ibn Siena”., Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. 49
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 282
.Pradipto. Belajar Sejati., 45 50
Paul Suparno. “Pendidikan dan Peran Guru”. Dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Ed. Tonny d. Widiastono. 51
.(Jakarta: Buku Kompas, 2004), 129-131
.YB. Mangunwijaya. “ Sisi Balik Medali Emas Ibn Siena”.,280 52
bagaimana membuat mereka merasa senang dan enjoy dalam belajar, atau dalam bahasa
Romo Mangun ialah dalam ‘Suasana Hati Merdeka’53.
Kemudian, terkait dengan metode pembelajaran Romo Mangun menggunakan metode
Konstruktif-Progresif, yakni setiap metode pembelajaran yang membantu peserta didik
melakukan kegiatan dan akhirnya dapat mengkonstruksi pengetahuan yang mereka pelajari
dengan baik54. Jika ditelusuri, ada beberapa metode yang diterapkan di SDKEM, antara lain:
1). Metode Penemuan
Dalam penerapan metode ini, anak didik dilatih untuk terbisaa melakukan pengamatan,
membuat hipotesis, memunculkan prediksi, menguji hipotesis, memanipulasi objek untuk
melihat perubahannya, memecahkan masalah, mencari jawaban sendiri, menggambarkan
kejadian, meneliti, berdialog, melakukan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, dan
mengekspresikan gagasan selama proses pembentukan konstruksi pengetahuan yang baru55.
Metode ini terlihat jelas di SDKEM. Anak didik sering diberi tugas untuk observasi langsung
ke lapangan, semisal mengamati batu, bus, atau kereta api56.
2). Metode Dialog dan Diskusi
Metode ini, menurut Romo Mangun bisa terjadi antara guru dengan anak didik ataupun
antara anak didik dengan anak didik lainnya. Yang pertama bisa dilakukan dengan cara guru
merangsang anak didik untuk bertanya dan yang kedua dengan cara membentuk anak didik
menjadi kelompok-kelompok yang masing-masing diberi tema pembahasan. Cara yang kedua
ini, selain antar anak didik bisa saling belajar juga bisa untuk menumbuhkan rasa solidaritas
dan saling menolong57.
3). Metode Cerita
Di SDKEM, metode ini Romo Mangun terapkan pada mata pelajaran Baca Buku Bagus
yang kala itu ia meminta tolong temannya, Butet Karta Rajasa, untuk mengisi dari padanya58.
Menurut Romo Mangun,. metode ini sangat efektif, karena anak didik akan merasa enjoy dan
lebih mudah untuk memperhatikan isi buku. Jika anak didik sudah mulai menaruh perhatian,
maka ia akan mulai mengkonstruksi pengetahuannya59.
4). Metode Pluspunt
Metode pluspunt adalah metode berhitung realistic-mempelajari matematika dari
permasalahan keseharian anak. Anak didik belajar berhitung dari perkara realitas nyata dan
mudah dibayangkan. Di SDKEM metode ini diterapkan pada mata pelajaran matematika60.
Selain pendekatan dan metode di atas, untuk membantu pemahamn anak didik menurut
Romo Mangun juga diperlukan yang namanya laboratorium dan alat peraga. Namun
D. Penutup
Dari uraian di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep pendidikan Romo Mangun
mengerucut pada konsep pendidikan berparadigma pemerdekaan yang berjiwa religiusitas. Yakni
sebuah konsep pendidikan yang bertujuan untuk mengantarkan peserta didik pada ‘Belajar
.Ibid., 87 61
YB. Mangunwijaya. “ Untuk Kaum SD Inna ‘Llaha ma’a ‘Ssabirin”. Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. 62
.Sularto. (Yogyakarta: Kompas, 2005), 229-230
.George Ritzer dan D.J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. (Jakarta: Kencana, 2004), 118 63
.YB. Mangunwijaya. “ P dan K Rakyat Semesta”., 146 64
YB. Mangunwijaya. “ Dimensi Nonformal dan Informal”. Dalam Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. 65
.(Yogyakarta: Kompas, 2005), 163-171
Sejati’, yakni kesadaran belajar seumur hidup. Dalam konsep pendidikan ini, sisi yang ditekankan
ialah pengembangan daya kritis, kreatif dan daya eksploratif anak didik secara integral dan
konprehensif. Maka dari itu, untuk mencapai tujuan tersebut proses pembelajaran harus bersifat
demokratis, dialogis, dinamis, kontekstual, menekankan proses dan menggunakan pendekatan
joyfull learning, active learning, child- center learning dan sistem kekeluargaan. Singkatnya,
tujuan konsep pendidikan ini ialah bagaimana peserta didik bisa mencapai ‘Belajar Sejati’ dengan
‘Suasana Hati Merdeka’. Jadi, peserta didik sudah tidak lagi disibukkan untuk memikirkan biaya
untuk sekolah, perasaan minder , dan perasaan takut kepada Guru. Sebab, di sini guru diposisikan
sebagai teman, sahabat, dan bidan bagi peserta didik.
Di samping itu, pendidikan (baca : sekolahan) bukan tempat doktrinasi agama, namun
sebagai tempat komunikasi antar iman yang nantinya akan menumbuhkan rasa toleransi dan
inklusifitas. Menurut Romo Mangun, lembaga sekolah juga harus dijauhkan dari praktek
komodifikasi. Sebab, hal ini hanya akan mencetak peserta didik menjadi skrup-skrup kapitalisme.
Dari sini, maka bias dipahami bahwa Konsep Pendidikan Romo Mangun sangat menolak
pendidikan yang bersifat seragam dan terpusat, kemudian yang bersifat indoktrinasi, otoriter,
uncontectual, dan tak terjangkau kaum miskin atau pendidikan yang tak memihak kaum
mustadl’afin.
Wallahu A’lam Bish-Shawab…
Finished, on Monday, September 15, 2008