Anda di halaman 1dari 168

REVITALISASI

PENDIDIKAN
IPS

Oleh
Abu Su`ud

0
PENGANTAR

Dalam semua dokumen resmi tercatat tempat dan tanggal lahir saya : Tegal, 27
Juli 1938. Status PNS saya sebagai dosen IKIP Semarang cabang Tegal tercantum sejak 1
Juli 1966. Akhirnya Presiden SBY memberhentikan saya dengan hormat dengan status
pensiun sejak 1 Juli 2008, setelah menjalankan tugas selama 42 tahun lebih satu bulan.
Jadi ya sejak 1 Agustus saya memasuki masa pensiun dalam usia 70 tahun, dalam status
sebagai Guru Besar Emiritus di Universitas Negeri Semarang. Satu tahun kemudian saya
diajak teman-teman pimpinan IKIP PGRI Semarang untuk bergabung dengan mereka,
terutama untuk memperkuat tenaga akademik Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (FPIPS). Dan sebagai salah satu tugas saya adalah menulis nuku-buku mengenai
pendidikan IPS.
Ada dua buah buku yang saya siapkan untuk keperluan itu. Satu berjudul
Fotmulasi Pendidikan Karakter di Sekolah, yang menekankan perlunya secara tegas
menformulasikan generasi muda dengan karakter macam mana yang hendak dicapai
dengan pendidikan karakter. Yang kedua buku yang sedang pembaca hadapi ini,
Revitalisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (UPS), yang dimaksudkan untuk
menghidupkan kembali potensi pendidikan IPS yang telah terpuruk. Itu sebabnya judul
awal buku ini adalah Pendidikan IPS yang terpuruk. Isinya sebuah pikiran mengenai
upaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS, alasan dan beebagai potensi yang
bisa dikembangkan.
Pengalaman selama ini menjadi pengajar Ilmu Sejarah dan Pendidikan Ilmu
Sosial di Unnes, sejak bernama IKIP Semarang merupakan pengalaman awal dan
penerapan untuk terbitnya buku-buku tersebut.
Sampai terbitnya buku ini merupakan ujud pengertian baik dari pimpinan IKIP
PGRI Semarang karena telah memfasilitasi terbitnya nuku ini. Buku ini merupakan
terbitan kedua dengan revisi, sementara terbitan pertama telah difasilitasi oleh Fakultas
Ilmu Sosial Unnes bersamaan dengan saat saya memasuki masa pensiun sebagai Guru
Besar di Unnes pada tahun 2008.
Dengan mengikuti perjalanan tugas selama ini yang saya mencermati, saya
menyadari bahwa pandangan saya tentang konsep dan pelaksanaan pendidikan IPS

1
masih perlu mengalami sejumlah penyesuaain, yaitu bahwa pendidikan IPS dimaksudkan
untuk menyiapkan generasi muda menjadi warga negara ataupun warga masyarakat
yang baik. Untuk itu pada semua jenjang dan sektor, formal, informal maupun
monformal, pendidikan IPS harus menyiapkan peserta didik melakukan penyesuaian
dengan tata nilai ideal, supaya mereka dapat menyesuaikan dengan harapan-harapan
sosial. Selama ini pendidikan IPS banyak dikeluhkan, karena dianggap banyak
mengalami kegagalan dalan melaksanakan fungsinya. Oleh karena itu saya bermaksud
menyampaikan buah pikiran untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS.
Kritik dan saran saya harapkan dari para guru terkait maupun pembaca kedua
buku ini. Terima kasih.

Semarang, 27 Juli 2011.

Penulis

2
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS


1. Konsep Hidup Bik
2. Pendidikan dan Tujuan yang hendak dicapai
3. Masyarakat
4. Sosialisasi dan Fungsinya
5. Integrasi Sosial
6. Konformitas
7. Sosialisasi sebagai Peoses Pendidikan
8. Sosialisasi sebagai Role Learning
9. Pendapat Mengenai Masalah Sosial
10. Relevansi Sosial Budaya

B. KEGAGALAN PENDIDIKAN IPS


1. Erosi Nilai
2. Disintegrasi Sosial
3. Kenakalan Remaja
4. Jarak Sosial
5. Bencana Alam
6. Tsunami

C. POTENSI-POTENSI IPS
1. IPS untuk Pendidikan
2. IPS untuk Pengembangan Kebudayaan
3. IPS untuk Pendidikan Nilai
4. IPS untuk Pendidikan IPS
5. IPS untuk Mubaligh
6. IPS untuk Pembangunan Kesehatan
7. IPS untuk Politisi
8. IPS untuk Memahami Kaum Remaja
9. IPS dan Nilai-Nilai Jawa

D. PEMBERDAYAAN IPS
1. Media Massa dan IPS
2. Museum dan IPS
3. Pariwisata dan IPS
4. Perpustakaan dan IPS
5. Arsip Negara dan IPS
6. Lembaga-Lembaga Publik dan IPS

E. TANTANGAN DAN DUKUNGAN IPS


1. Tantangan Bagi IPS
2. Dukunan Bagi IPS

LAMPIRAN

1. Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah (Pidato Pengukuhan Guru Besar)
2. IPS di Era Reformasi (Artikel pada Harian SUARA MERDEKA)

3
PENDAHULUAN

Sampai tahun 1950 an nyaris tidak pernah terdengar keluh kesah dari kalangan
guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) maupun para siswa jurusan IPS di SMA (Sekolah
Menengah Atas) mengenai betapa tersudutnya posisi mereka dalam dunia pengajaran.
Sebaliknya para guru IPS cukup leluasa melakukan pengajaran IPS di Sekolah-sekolah
Dasar dalam kedudukan sebagai guru kelas. Pada waktu itu betul-betul IPS diajarkan di
SR (Sekolah Rakyat) atau SD (Sekolah Dasar) secara integratif. Guru kelas
memperkenalkan pengetahuan sejarah, ilmu buni maupun etnologi dalam rangkaian
pelajaran yang disebut Pengetahuan Umum. Hebatnya guru yang sama juga mengajar
kami mata pelajaran Berhitung, Bahasa maupun Budi Pekerti.
Selanjutnya di SMP (Sekolah Menengah Pertama) ilmu-ilmu bidang studi
Sejarah, Ilmu Bumi maupun Ekonomi dibberikan kepada semua siswa SMP sampai
dengan kelas II, seimbang dengan bidang studi Ilmu Hayat, Ilmu Alam, Ilmu Ukur,
Aljabar, maupun Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Masing-masing diampu oleh guru
bidang studi. Dan para siswa kelas III SMP sudah merasa mantap memilih bagian A kalau
menyenangi pelajaran ilmu-ilmu sosial dan budaya. Demikian juga yang menyenangi
ilmu-ilmu pasti telah memilih jurusan ilmu pasti alam. Selanjutnya pada jenjang Sekolah
Menengah Atas (SMA) tersedia SMA bagian A bagi mereka yang ingin mendalami ilmu-
ilmu sosial dan budaya yang telah dipilih sejak dari SMP. Sementara itu tersedia pula
SMA bagian B bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu pasti alam. Tersedia pula SMA
bagian C bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu hukum. Tidak ada perasaan rendah
diri kalau menjadi siswa bagian A maupun C. dan perasaan tinggi hati menjadi siswa
bagian B. Masing-masing merasa bangga telah memilih jurusan yang terbaik bagi
masing-masing. Maing-masing sekolah dengan jurusan yang khas itu menempati sekolah
yang terpisah.
Sejak tahun 1970 an ketika setiap SMA atau SMU (Sekolah Menengah Umum)
harus memiliki semua jurusan yang ada, yaitu Bahasa, IPS, Biologi dan IPA, muncul
perasaan rendah diri, pada mereka yang “terpaksa” menjadi siswa jurusan Bahasa
maupun IPS. Hampir-hampir tidak ada perasaan bangga menjadi siswa jurusan Bahasa
maupun IPS, kalau melihat kenyataan bahwa siswa dari jurusan Biologi maupun IPA

4
bisa meneruskan belajar di perguruan tinggi pada fakultas manapun, sementara siswa
Bahasa maupun IPS tidak bisa meneruskan belajar pada fakultas-fakultas teknik maupun
kedokteran yang berbasis ilmu-ilmu pasti alam.
Perasaan rendah diri maupun frustrasi nampaknya menghinggapi pula para guru
IPS. Mereka merasakan betapa rendahnya minat siswa untuk belajar IPS. Kebanyakan
para siswa beranggapan belajar IPS hanya penuh dengan hapalan, dan nyaris tidak ada
daya pikat untuk belajar. Belum lagi kalau dilihat bidang studi IPS terdiri dari banyak
komponen, yang meliputi sejarah, geografi, dan ekonomi. Para guru IPS juga mengeluh
karena tidak mungkin ada siswa yang berhasrat untuk mengikuti belajar tambahan berupa
les IPS. Ini berarrti tertutup kemungkinan guru IPS untuk mendapatkan tambahan
penghasilan, meskipun pada saat-saat menghadapi masa ujian akhir, lebih-lebih ketika
menghadapi masa ujian masuk Perguruan Tinggi.
Berbagai upaya untuk mengubah kurikulum IPS untuk membuat mata pelajaran
IPS menjadi menarik dan berhasil guna, namun selalu saja IPS diajarkan dengan cara
yang tidak menarik. Konsep baru dalam pengembangan pelajaran IPS dalam konsep baru
yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah disusun dengan maksud
untuk membuat IPS lebih menarik dan berdaya guna, namun di lapangan justru KBK itu
telah menimbulkan keluhan sementara guru yang menilai KBK telah memnbuat
pelaksanaannya menjadi amat rumit dan memerlukan proses administrasi yang tidak
sederhana.
Buku ini ditulis untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang sama, yaitu
mengapa pelajaran IPS selalu terpuruk. Perlu kiranya dilakukan pemahaman ulang atas
hakekat pelajaran IPS, potensi-potensi apa yang tersembunyi di dalamnya, serta
bagaimana kiat-kiat yang bisa dilakukan untruk membuat IPS menjadi lebih menarik
untuk para siswa dsb. Buku ini bukan buku pelajaran maupun buku pinter mengenai
pengajaran IPS, sehingga tidak disusun dengan sistematika yang runtut, sejak dari
pengertian, teori-teori yang lazim digunakan, serta metode dan model yang ditawarkan
unruk para guru. Sebaliknya buku ini berisi sekumpulan tulisan lepas sesuai dengan tema
dan topik tertentu sesuai dengan keperluan atau kepentingan dengan maksud untuk
melakukan revitalisasi IPS, atas dasar asumsi bahwa IPS pada dasarnya memiliki
berbagai kekuatan untuk kepentingan umum dalam kehidupan masyarakat.

5
Tulisan-tulisan tersebut meliputi topik-topik yang dibagi ke dalam bagian-bagian
tertentu. Bagian pertama diberi judul Konsep-Konsep dalam IPS, yang meliputi konsep-
konsep falsafi, sosiologi, psikologi sosial maupun antropologi untuk pendidikan IPS.
Bagian kedua berjudul Bencana- Kegagalan IPS, yang meliputi topik-topik tentang
berbagai kondisi sosial yang bisa dimasukkan ke dalam kasus kegagalan IPS. Bagian
ketiga berjudul Potensi IPS, yang meliputi topik-topik di sekitar potensi yang terkandung
dalam pendidikan IPS. Bagian keempat berjudul Pemberdayaan IPS, yang meliputi
topik-topik yang berkaitan dengan yang bisa dilakukan dalam pengembangan pendidikan
IPS. Dan Bagian kelima berjudul Tantangan dan Dukungan bagi IPS, yang meliputi
kondisi-kondisi yang berpotensi menjadi tantangan bagi pendidikan IPS, dan kondisi-
kondisi yang berpotensi sebagai dukungan bagi pendidikan IPS.
Perlu kembali disadari bahwa IPS tidak lain adalah langkah tindakan
memanfaatkan IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) untuk kepentingan pendidikan. Sementara itu IPS
dapat dipahami sebagai Studi Sosial. Oleh karenanya setiap pengajar IPS harus lebih
dahulu atau selalu memahami konsep-konsep IIS ketika mengampu mata pelajaran IPS.
Ini berarti bahwa Pendidikan IPS tidak lain adalah segala kegiatan dalam pengembangan
kurikulum IPS, baik dalam lembaga pendidikan formal , informal maupun nonformal.
Dengan memhami lebih baik konsep=konsep IPS maupun keasadaran yang benar
tentang pendidikan IPS, maka tidak ada lagi perasaan rendah diri maupun keceewa
dengan pendidikan IPS. Pada saat itulah kita semua sudaj siap untuk merevitalisasi IPS
secara proporsional.

@@@

6
A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS

PENGANTAR

Pada bagian ini uraian akan ditekankan pada tinjauan teoritik yang berkaitan
dengan pengertian pendidikan IPS. Uraian itu dimaksudkan untuk memberi batasan
secara teori dasar dari pendidikan IPS, yaitu sosilogi dan psikologi sosial, karena dua
ilmu itu merupakan ilmu yang berkaitan langsung dengan kegiatan manusia, ketika
mereka berinteraksi sebagai sesama mahluk sosial. Hal itu dpandang perlu untuk disadari
benar, karena pendidikan IPS pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan pengertian
kepada peserta didik mengenai pola-pola dan kecenderungan yang terjadi dalam
masyrakat, ketika mereka melakukan interaksi sosial.
Dimaksudkan pula uraian berikut ini untuk memberikan acuan teoritik bagi
kajian-kajian, atau paling tidak melakukan peembahasan sederhana untuk kalangan
siswa peserta didik, tentang hakekat masyarakat, pola hubungan yang terjadi, mekanisme
yang berkembang maupun kecenderungan yang terjadi selama berlangsung interaksi
sosial itu. Dengan demikian kita bisa memberikan penjelasan atas semuanya yang
mencakup kepentingan kelompok, latar belakang perilaku sosial, bentuk perilaku,
maupun tujuan interaksi dilakukan. Di samping itu oleh karena aspek kegiatan manusia
juga memiliki segi falsafi, nilai kemanusiaan maupun pola perilaku manusia sebagai
mahluk berbudaya, akan juga disajikan tinjauan falsafi maupun antropologis. Sekali lagi
untuk membantu kita masing-masing warga sosial memberi penjelasan atas semua gejala
yang terjadi maupun meramalkan apa yang bakal terjadi.
Barangkali uraian dalam bab berikut ini memang lebih bersifat akademis,
sehingga terpaksa harus menggunakan berbagai istilah teknis dan baku sebagaimana
digunakan dalam tinjauan teoritis yang sesuai dengan teori yang digunakan. Namun
diharapkan uraian tersebut bisa diikuti oleh pengguna buku ini dengan memadai. Sebagai
keterangan maupun definisi masih ditulis dalam bahasa asing, dengan maksud masih
otentik, sehingga bisa dimengerti lebih lanjut dengan melakukan diskusi dengan teman
sejawat guru ppendidikan IPS. Dengan cara seperti itu diharapkan kita bisa memahami

7
istilah teknis untuk mengartikan peristiwa maupun pengertian dan tidak rancu oleh
terjemahan yang tidak tepat.
Dengan memahami berbagai istilah maupun pengertian secara teoritis yang
tertera dalam uraian-ueaian pada setiap sub bab, kita akan mudah mengerti uraian-uraian
yang disajikan dalam bab-bab berikut yang menyajikan bdrbagai gejala maupun
mekanisme yang terjadi dalam masyarakat dalam kaitan dengan proses pembelajaran IPS
maupun dengan kasus-kasus yang terjadi di sekitar kita. Semoga bisa berguna.

1. KONSEP HIDUP BAIK

Sebagaimana kita ketahui tujuan akhir dari proses sosialisasi yang merupakan
langkah-langkah dalam komunikasi atau interaksi sosial adalah terjadinya integrasi
sosial. Dengan integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam
(immanent) pada setiap masyarakat, agar masyarakat itu dapat tetap survive, agar tidak
terjadi centang perentang, khaos, kacau ataupun desintegrasi. Namun demikian, konsep
integrasi sosial itu sama sekali tidak mengandung arti suatu peleburan, yang tidak
memperkenankan keberadaan sub-sub sosial atau perbedaan, melainkan yang penting
adalah adanya keseimbangan di antara keanekaragaman yang membentuk suatu harnoni.
Sebuah ungkapan lama yang barangkali tepat untuk memberikan pengertian
yang tepat mnengenai hal itu ialah ‘Bhineka Tunggal Ika’, yang berarti ‘berbeda ragam,
namun tetap satu jua adanya’. Di sini diakui adanya keunikan sub-sub sistem, meski
harus tetap membentuk suatu harmoni dalam suatu sistem. Hal tersebut merupakan
gambaran ideal dari cita-cita masyarakat Indonesia mengenai hidup dalam kebersamaan,
yang telah didambakan sejak lama. Kondisi ideal itu dapat dilengkapi dengan gambaran
masyarakat ideal, yang menurut Ignas Kleden, tercermin pada ungkapan ‘Gemah ripah
loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku, tata tentrem kerta
raharja’ dan sebagainya, yang merupakan ungkapan mengenai hidup yang sejahtera, baik
sosial, politik, maupun ekonomi.
Semua ungkapan tersebut di muka itu memberi gambaran mengenai hidup
baik atau ‘good life’, yang merupakan ungkapan falsafi mengenai keadaan hidup yang
paling menjadi idaman setiap manusia. Keadaan itu diibaratkan sebagai sesuatu yang

8
dikejar namun selalu tak terjangkau, dan tetap menjadi kegiatan manuaia dari waktu ke
waktu. Sehingga demikian dianggap sebagai “the most holistic of man`s attribute”’. Yang
dimaksud adalah suatu upaya pencarian hakekat yang hanya sayup-sayup dimengerti,
namun selalu saja lenyap tanpa punya rasa belas kasihan. Itulah yang dikenal sebagai
hidup baik. Ini berarti bahwa hidup baik merupakan semacam fatamorgana, sesuatu yang
tak pasti, sehingga secara plastis Rogers menyamakannya dengan semacam “‘a journey,
not a destination”. Apapun yang bakal terjadi sulit dapat diramalkan, sebab manusia
hanya merupakan berbagai kemungkinan, namun sangat diperlukan keberanian untuk
mencapai kondisi hidup baik tersebut, menurut Rogers (G. Marian Kinget, 1975, h. 236
1937).
Pengertian kedua, yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah, bahwa soal
‘good life’ adalah soal subyektif, yaitu sesuatu yang sangat tergantung pada siapa yang
memandang. Ini berarti, behwa hakekat hidup baik itu amat bervariasi, tergantung pada
pandangan hidup orang yang mencarinya, apakah termasuk mereka yang menganut
paham yang materialistik, idealistik, fasistik, demokratik, ataukah barangkali
humanistik-personalistik. Sebagai contoh dapat dilihat perbedaan yang terjadi di antara
pandangan Rogers, yang humanistik, dan Skinner yang behavioristik mengenai
hakekat manusia.
Mewakili kawan-kawannya dan pandangan yang humanistik, Rogers beranggapan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan sesuai dengan
pandangannya mengenai lingkungan. Sebaliknya, bagi Skinner, kebebasan itu hanyalah
ilusi, sobab segala keputusan pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Oleh
karenanya, bagi Skinner tingkah laku manusia itu dibentuk oleh lingkungannya. Mereka
banyak tergantung di mana mereka tinggal, perkotaan ataukah poedesaan, dalam
lingkungan industri ataukah dalam lingkungan agraris dsb.
Dengan sendirinya konsep mereka mengenai hidup baik itupun berbeda juga
(G.Marian Kinget, 1975, hal. 230).
Meskipun demikian dalam satu hal pandangan-pandangan itu tidak dapat
dibedakan, yaitu, bahwa hidup baik itu berkaitan dengan kepuasan. Dan ini jelas
berkaitan dengan tingkat terpenuhinya kebutuhan, yang ternyata mempunyai banyak
macamnya. Ada yang termasuk kebutuhan fisik-badani, psikik-ruhani, ada pula yang

9
bersifat sosial-kebersamaan.
Menurut ukuran yang ideal, maka hidup disebut baik kalau seluruh spektrum
kebutuhan hidup dapat terpenuhi, dan seluruh potensialitas diri dapat dinyatakan masih
termasuk ideal pula, kalau mengukur hidup baik dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan
vital hidupnya. Akhirnya manusiapun sadar, bahva kondisi semacam itu hampir tak
mungkin terjadi, hingga harus disadari bahwa dalam kenyataan, hidup baik itu terjadi
manakala terdapat kepuasan yang berimbang (balanced satisfaction) di antara seluruh
kebutuhan hidup. Ini berarti, ada sebagian kebutuhan hidup manusia yang betul-betul
dapat terpenuhi, ada sebagiam lagi yang secara memadai dapat terpenuhi, dan sebagian
kebutuhan lagi yang barangkali tak pernah terpenuhi. Demikian pula da1am hal
potensialitas manusia, tidak selalu dapat dipastikan, sehigga kadar keterwujudannyapun
menjadi relatif. Namun harus diakui, bahwa seluruh kemungkinan yang ada pada
manusia dapat selalu dikembangkan selama hidupnya, dan bahwa dapat terjadi saling
menggeser di antara berbagai kemungkinan itu.
Abrahan Maslow, seorang psikolog mengemukakan konsep jenjang
kebutuhan, yang menjelaskan tentang adanya jenjang-ienjang kebutuhan manusia.
Kebutuhan pada setiap manusia itu tidak sama dan bisa digambarkan sebagai lima
jenjang dalam sebuah segi tiga. tingkat paling bawah disebut basic physical need atau
yang terdiri dari kebutuhan dasar manusia, sebagai yang dimiliki hewan lainnya, yaitu
makan, minum dan seks. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai bagian dari dunia
hewan. Tingkat kedua disebut safety need, di mana orang mulai merasakan kebutuhan
akan rasa aman. Kebutuhan mereka bukan ssekadar kepuasan jasadi, karena sudah
gampang mereka peroleh.

10
Gambar 1
Jenjang kebutuhan menurut Abraham Maslow

Need

Need of Self
Actualization

Esteem Need

Beloved Need

Safety Need

Basic Physical Need

Berikutnya kalau orang sudah bisa mendapatkan rasa aman dalam memenuhi
kebutuhan dasar yang didambakan, muncul kebutuhan pada jenjang berikutnya, yaitu
beloved need atau mendapat pengakuan atau rasa dicintai oleh orang lain. Bila semua
kebutuhan di muka ssudah mudah diperoleh orang mulai mendambakan kepuasan akan
harga diri atau esteen need. Untuk mendapatkan kepuasan pada jenjang di atas memang
diperlukan upaya maupun resiko lebih besar. Dan akhirnya di atas segalanya masih
terdapat kebutuhan tertinggi, yaitu need of self actualization. Yang dimaksud adalah
kebutuhan unruk sebuah pengembangan diri. Biaya untuk mendapatkan kepuasan hatu
untuk memenuhi kebutuhan itu barangkali tak bisa dinilai secara materiil.
Barangkali bahkan tak memerlukan biaya, namun kepuasan itu sendiri tak
bisa dinilai dari luar. Ketika Sakyamuni memutuskan untuk keluar dari istama dan
mengembara sebagai Buda Gautama, dia merasakan kepuasan tertinggi sebagai bentuk
aktualisasi diri. Dia hanya dengan jubah kuning, tongkat dan tempurung kelapa untuk

11
memeinta-minta sedekah. Dia kemudian mendapatkan penerangan atau bodhi ketika
berada di bawah naungan pohon pepala. Hal semacam dialami pula oleh Muhammad
SAW sejak mendapatkan wahyu di gua Hira. Untuk itu dia menafikan semua tawaran
hidup enak yang ditaewarkan oleh para pemimpin Quraisy, asal Muhammad
meninggalkan dakwah Islamnya. Demikiamn juga hal serupa diperoleh oleh seorang
ilmuan amupun guru melakukan pengabdian kepada kemanusiaan. Dengan demikian
yakinlah kita bahwa ukuran hidup baik atau good life amat bervariasi.

2. PENDIDIKAN IPS DAN TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI

Salah satu pengertian yang harus dipahami dalam mengembangan ilmu


sosial adalah bahwa kebenaran ilmu sosial merupakan kebenaran yang relatif dan
tentatif. Begitu nenurut Sullivan (1953). Tak dapat dilupakan pula kenyataan, bahwa
manusia kecuali sebagai obyek juga sebagai subyek penelitian. Di sini sangat diperlukan
peningkatan rasa tanggung jawab mengenai kesejahteraan manusia itu sendiri, sejalan
dengan pikiran Max Weber bahwa tujuan akhir dari ilmu sosial adalah peningkatan
seseorang dalam tanggung jawab. Dalam bahasa aslinya dikatakan “… the ultimate aim
of the science of social men was the enhancement of one's responsibility” (John S.
Nimpoeno, 1980, h. 1).
Hasil kajian yang bersifat subyektif dan tentatif itu juga terjadi kalau
dilakukan dengan pendekatan spesialistis atau hanya dari satu disiplin. Dan untuk
mendapatkan hasil kajian yang lebih mempunyai arti (meaningful), akan digunakan
pendekatan interdisiplin, yaitu dengan menggunakan lebih dari satu disiplin yang relevan.
Itulah yang menjadi dasar yang diharapkan oleh pendidikan I1mu Pengetahuan Sosial
dalam artian Studi Sosial (Achmad Sanusi, l972, h.4-5).
Dengan cara pendekatan interdisiplin ini dimaksudkan dalam waktu bersamaan
digunakan konsep-konsep dalam ilnu-ilmu sosial yang relevan, dalam upaya memberikan
penjelasan sesuatu masalah kemasyarakatan yang sedang dihadapi, agar tercapai tujuan
yang dikehendaki. Meskipun demikian sifat hasil kajian yang bersifat subyektif dan

12
GAMBR 2
Skema Tujuan Program Pendidikan IPS dalam Artian Studi Sosial

MASYARAKAT ORANG DEWASA

I n t e r a k s I S o s i al

KEBUDAYAAN RE MAJA YOUTH CULTURE


ASING

PERTUMBUHAN PENGEMBANGAN
PENGETAHUAN KETRAMPILAN
PENGEMBANGAN & &
SIKAP SALING PENGERTIAN KEMAMPUAN
1. Bersikap 1. a. Latihan
positif thd mengenali hak dan mengidentifikasi
masyarakat kewajiban sebagai masalah
2. Menjadi warga masyarakt 2. Latihan
warga masyarakat yg 2. menganalisa
baik dan fungsi sbg masalah
3. Penyesuaian warga masyarakat 3. Latihan
diri dengan 3. mengambil
masyarakat pengertian di keputusan
4. Penuh saling antara sesama
pengertian dengan warga
sesama masyarakat
5. Peduli thd
lingkungan

INTELEGENT SOCIAL ACTOR

SOCIAL ADJUS MENT

INTELEGENT SOCIAL ACTOR

tentatif masih dimungkinkan terjadi.

13
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa pendidikaan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) dalam artian Studi Sosial yang dimaksud, mempunyai tanggung jawab utama
untuk membantu anak menjadi dewasa dalam artian mampu mengambil keputusan-
keputusan penting yang berkaitan dengan pergaulannya dengan orang lain dalam
masyarakat, dan berani mengambil tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Selain itu
Studi Sosial diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak untuk mengmbil
keputusan secara rasional dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup, dan
mengambil sesuatu tindakan secara cerdik. Dengan perkataan lain program Studi Sosial
diharapkan dapat membuat anak menjadi aktor sosial yang cerdik (intelligent social
actor).
Dan kemampuan untuk mengambil keputusan itu dapat dicapai, antara lain dengan
jalan melatih anak menghadapi masalah-masalah sosial yang ada di sekitar mereka (J.A.
Banks, 1977, h. 10-12). Dari sana sebetulnya dapat terlihat adanya tiga tujuan
pendidikan IPS dalam artian Studi Sosial, yaitu : (1) pengembangan sikap, (2)
pertumbuhan pengetahuan serta saling pengertian, dan (3) pengembangan
ketrampilan serta kemampuan.
Warga masyarakat disebut warga yang efektif, kalau menunjukkan sejumlah
sikap positif dalam menghadapi masyarakat. Sikap-sikap tersebut didasarkan moral, etika
serta nilai spiritual yang serasi dengan masyarakat demokratis, menurut Jarolimeck
(1961). Selain itu harus pula terjadi proses penyesuaian kepribadian anak, sebab perilaku
sosial yang tidak serasi merupakan gejala ketidak mampuan anak dalam penyesuaian
diri. Di pundak generasi tua beban bimbingan itu diletakkan (Noel D. Pryde, 1975, h. 10).
Yang dapat kita tangkap dari harapan yang dibebankan pada Studi Sosial atau IPS tadi,
ialah tumbuhnya rasa tanggung jawab sosial dan penyesuaian diri dengan tata nilai
lingkungan sosial. Ini dkenal sebagai kedewasaan sosial, jadi tidak sekadar kedewasaan
fisik maupun mental, dianggap memiliki tanggung jawab sosial yang baik.
Tiujuan lain program Studi Sosial yang perlu dicapai ialah pertumbuhan pengetahuan
dan pengertian akan hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat. Dengan cara lain
dapat dikatakan, bahwa orang dewasa harus mampu memainkan peran sosial dengan
baik, untuk membantu anak memahami warisan sosial budaya serta belajar menghadapi
masalah-masalah yang bakal dihadapi kelak, menurut R.C. Preston (1960). Yang

14
penting nampaknya pendidikan IPS bertujuan supaya warga masyarakat memahami
warga masyarakat yang lain, serta lingkungan di mana orang itu hidup. Dengan cara itu
akan dapat dicapai saling pengertian di antara warga masyarakat sendiri (Noel D. Pryde,
1975, h. 15).
Tujuan program Studi Sosial tersebut tidak mungkin tercapai tanpa dicapai lebih
dulu sejumlah ketrampilan yang diperlukan, yaitu melakukan adaptasi diri dalam tata
nilai masyarakat. Dari seorang aktor memang dituntut banyak sekali, apalagi kalau harus
memainkan peran-peran sosial yang sering sekali ganda, dan harus pula menghadapi
peran-peran lain yang banyak sekali, dan sering sekali tidak serasi dengan ‘role
expectation’ yang tidak tertulis dan tidak jelas. Di sinilah nampak sekali perlunya proses
sosialisasi, untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial, sehingga setiap warga
mengetahui ‘role expectetion’ yang dituntut dari warga masyarakat tersebut.

3. MASYARAKAT

a. Paradigma Masyarakat

Selanjutnya perlu disepakati lebih dahulu apa yang dImaksud dengan


masyarakat agar selalu terdapat kesamaan arti dalam penggunaan konsep masyarakat
yang kita pergunakan. Kita bakal mengetahui konsep masyarakat yang tidak tunggal arti,
tergantung dari paradigma mana yang kita ikuti. Kepastian dalam memandang
masyarakat ini akan memberikan kemudahan bagi kita dalam memberikan jalan
terhadap berbagai gejala yang bakal muncul dalam pemahaman pada IPS. Di samping itu
juga persepsi mengenai masyarakat tersebut, akan memberikan kemufakatan atau kesatu
bahasaan dalam menggunakan konsep-konsep sosial dalam menganalisis berbagai
kcenderungan yang muncul dalam pembahasan. Di sinilah perlunya kita menyetujui
suatu paradigma mengenai masyarakat. Mula-mula, masyarakat harus dipandang
sebagai sistem yang hubungan antara warganya diikat oleh suatu saling ikatan yang tak
terpisahkan, dalam suatu keseimbangan. Masyarakat bukan sekedar sebagai ‘a set of
interrelated elements’ atau ‘a set of interdependent variables’, melainkan suatu
‘homeostatic interrelated system’. Ini berarti, bahwa mula-mula masyarakat adalah

15
sekelompok manusia, yang diabstraksikan dari kenyataan-kenyataan fenomenologik, dan
yang terdiri dari ‘a set of interdependent (social) variables’. Sebagai suatu sistem
maka masyarakat terdiri dari sub-sub sistem, yang memiliki status, posisi, kepentingan
serta peranan tertentu, namun baru mempunyai makna dalam ikatan keseluruhan yang
padu. Interaksi yang terdapat dalam sistem tersebut, bukan hanya berlangsung di antara
individu dengan individu, namun juga di antara individu dengan kelompok dan di antara
kelompok dengan kelompok. Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa masing- masing sub
sistem atau komponen dalam masyarakat merasakan kebutuhan untuk tetap dalam
kesatuan, karena masing-masing sub sistem hanya mempunyai arti kalau dalam ikatan
kebersamaan. Hal tersebut terjadi karena sebagai sistem, masyarakat mempunyai tujuan
yang dirasakan bersama, sehingga untuk mencapai tujuan bersama tersebut terbentuklah
pola hubungan saliing membutuhkan (social pattern of mutual helpfulness). Dengan
cara itu masing-masing rnerasakan kepuasan bersama (mutual satisfactory), namun
mereka masih tetap merasa saling bergantung satu sama lain (interdependency)’.
Selama interaksi berlangsung, oleh karena masing-masing warga masyarakat
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka yang terjadi adalah rangkaian konflik,
kompetisi, kerja sama dan akomodasi, dan disusul kembali dengan konflik, kompetisi,
kerja sama dan akomodasi. Sehingga terjadilah apa yang dikenal sebagai rangkaian
adaptasi sosial, karena akomodasi sendiri merupakan ‘... the adjustment of hostile
individuals or groups’. Itulah sebabnya masyarakat sebagai suatu totalitas merupakan
suatu ‘stable inner equilibrium’, suatu keseimbangan yang datang dari dalam yang
telah mantap.
Yang ke dua, masyarakat harus dipandang sebagai cara-cara untuk terjadinya
konformitas, dan sementara itu merupakan sistem nilai, atau dengan kata lain dapat
dikatakan, bahwa masyarakat merupakan suatu ‘modes of conformity, and normative
system of values’. Sejak awal sudah diuraikan mengenai proses sosia1isasi yang
dimulai sejak dari lingkungan keluarga, ketika anak-anak harus melakukan adaptasi dan
penerimaan terhadap tata nilai serta norma yang berlaku dalam keluarga. Itu berarti,
bahwa anak-anak sebagai warga baru kelompok atau masyarakat diharapkan dapat
konform dengan tata nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sebagai suatu sistem nilai yang normatif, maka masyarakat juga mengenal

16
adanya sanksi, seperti dikemukakan di depan. Cara tersebut berguna agar supaya setiap
warga masyarakat bisa bertingkah laku dan tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial
yang telah dikomunikasikan selama masa sosialisasi. Yang dimaksud dengan nilai, ialah
bagian dari kebudayaan yang berupa keyakinan yang mengikat warga masyarakat
mengenai baik dan buruk, benar dan tidak benar. Nilai tersebut dimanifestasikan dalam
bentuk norma, kebiasaan, sanksi dan sebagainya dalam kehidupan (James A. 1972 h. 240-
250).
Paradigma ke tiga, ialah bahwa masyarakat merupakan pola-pola bagi integrasi
sosial maupun sosialisasi, yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah ‘patterns of
association and socialization’. Kecenderungan proses sosial yang bersifat asosiatif atau
integratif dapat kita lihat pada Gambar 2 mengenai Basic Social Processes tersebut di
atas...

b. Individu dalam Masyarakat

Mempelajari kecenderungan remaja dalam rangka proses interaksi sosial, tidak lain
dari pada mempelajari manusia dengan perilakunya dalam antarhubungan manusia itu
sendiri. Dan ini jelas menunjukkan bahwa kawasan pembahasannya berada di dalam
kawasan psikologi sosial, yang secara gampang sering disebut sebagai “the science of
interpersonal behavior events" (Krech et al, 1962, h. 5). Dengan demikian maka kita
berangkat dari tinjauan psikologi sosial sebagai pijakan utama. Namun demikian untuk
mendapatkan penjelasan lebih lengkap mengenai manusia dan lingkungan sosial
budayanya, digunakan juga konsep konsep sosiologi.
Manusia dapat dikatakan sebgai mahluk Tuhan yang mempunyai tiga aspek dalam
suatu keutuhan, yaitu aspek organik-jasmaniah, aspek psikik-ruh, dan aspek
sosial-kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi,
sehingga perubahan pada satu aspek akan berpengaruh terhadap aspek yang lain. Oleh
karenanya manusia disebut individu selagi tingkah lakunya hampir identik dengan
tingkah laku masyarakat di mana individu tersebut tinggal. Dan selama itu pula individu
tersebut dibebani berbagai peranan. Dan peranan-peranan itu terutama berasal dari
kondisi kebersamaan hidup dengan sesamanya (John S. Nimpoeno, 1980, h. 4).

17
Dengan memandang setiap individu sebagai suatu ‘self’ yang berdiri
sendiri, William James (1890) memandang bahwa pada diri setiap individu terdapat tiga
tipe ‘self’, yang terdiri dari social self, spiritual self, dan material self ( Lindzey and
Aronson I, H. 522). Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa manusia mempunyai
tiga dimensi, yaitu dimensi badani, dimensi ruhani, dan dimensi sosial-kebersamaan. Dan
ini berarti bahwa setiap nanusia, di satu pihak merupakan individu yang unik, yang
mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan orang lain. Namun di lain pihak,
merupakan warga atau bagian dari lingkungan sosialnya. Oleh karenanya setiap
individu harus berperilaku sesuai dengan pola-pola perilaku kolektif, namun tidak lepas
dari keunikan dirinya.
Dalam perjumpaan antara keunikan individual dengan tekanan pola-pola
sosial budaya, dapat terjadi berbagai kemungkinan. Kemungkinan pertama, seorang
individu akan ‘kehilangan individualitasnya’, karena terbawa oleh tekanan pola-pola
sosial budayanya. Dalam hal ini orang tersebut akan berperilaku tidak menyimpang dari
perilaku yang pada umumnya diperbuat oleh kebanyakan orang dalam lingkungan
sosialnya. Orang tersebut menunjukkan ketundukan yang tinggi terhadap tata nilai
yang berlaku dalam masyarakat.
Gejala ketundukan warga masyarakat terhadap tata nilai masyarakat, sehingga
mereka berperilaku serasi dengan harapan-harapan sosial sesuai dengan peranan yang
disandang oleh masing-masing warga, disebut konformitas. Dalam hal ini tidak berarti
warga masyarakat menunjukkan perilaku yang sama dan seragam dengan warga yang
lain, melainkan warga masyarakat menunjukkan perilaku yang serasi dengan posisi,
status dan peran mereka dalam masyarakat, seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
Kemungkinan kedua yang terjadi dalam perjumpaan antara keunikan individual
dengan pola-pola sosial-budaya, ialah ‘menyimpang dari norma kolektif’(John S.
Nimpoeno, 1980, h. 5). Keadaan yang demikia itu terjadi manakala tingkah laku warga
masyarakat yang unik tidak serasi dengan tingkah laku kolektif, sehingga yang terjadi
ialah nonkonformitas. Akan tetapi dalam kenyataan hidup, setiap warga masyarakat
akan cenderung menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan situasi aktual yang
dihayatinya. Dan keberhasilan untuk mencapai titik optimum antara dua pola tingkah
laku tersebut di atas dalam situasi-situasi yang senantiasa berubah, dianggap sebagai

18
tanda ‘kematangan’ atau ‘kedewasaan’ dalam pengertian sosial. Meskipun demikian
individu dan masyarakat dalam permasalahan ini, tidak pernah disejajarkan hingga
menjadi individu dan masyarakat, atau bahkan dipertentangkan menjadi individu atau
masyarakat. Sebaliknya, lebih pantas kalau tetap disebutkan dengan cara individu
dalam masyarakat (Krech et al., 1962, h. 529).

Ini berarti bahwa kecenderungan apapun yang terjadi, ‘menyimpang dari norma
kolektif’ ataupun ‘kehilangan individualitasnya’, ‘berperilaku konform’ ataupun ‘bebas’,
tampil sesuai dengan ‘kepribadiannya’ atapun ‘mcndapat tekanan dari
masyarakatnya’, mau tidak mau merupakan pencerminan baik dan keunikan maupun
kebersamaan. Agak berbeda dengan kebersamaan dalam kehidupan hewani yang
mengikuti kaidah-kaidah eko1ogis dan bersifat naluriah, maka hidup kebersamaan
manusia didasarkan pada pertimbangan nalar dan saling ketergantungan.
Menurut Durkheim, gejala kolektivitas hewani itu disebut sebagai
‘mekanistik’, sementara dalam dunia manusia dikenal sebagai ‘organik’, yaitu atas
dasar saling mengatur dan saling membutuhkan. Ini berarti, bahwa pola perilaku yang
terjadi dalam kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang dipelajari, merupakan sesuatu
yang tumbuh. Dan karena perilaku manusia itu berkaitan dengan posisi dan status
peranan masing-masing warga dalam sesuatu masyarakat, maka orangpun menyebutnya
sebagai suatu struktur. Di sana masing-masing bagian atau warga masyarakat meru-
pakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan, sebagai sebuah sistem.

c. Interaksi Sosial

Masyarakat pada dasarnya merupakan struktur sosial yang dinamis, dalam


artian di dalamnya terjadi saling hubungan di antara sesamanya (personal interrelations).
Dan para warganya dengan demikian merupakan orang-orang yang saling berhubungan
(interrelating persons). Pengertian itu timbul kalau kita bertolak dari anggapan bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem.
Yang dimaksud dengan sistem di sini ialah seperangkat unsur-unsur yang saling
berhubungan, dalam artian masing-masing unsur saling bergantung sesamanya. Secara
singkat daoat dikatakan, bahwa sistem merupakan ‘a set of interrelated elements’. Ini

19
berarti bahwa, keseluruhan sistem tersebut selalu mempunyai makna lain dari pada
sekedar kumpulan unsur-unsur belaka. Dan sebagai sistem, maka masyarakat yang
merupakan sekelompok manusia dapat digambarkan berdasarkan penuturan Loomis
(1960), Parsons (1951) dan Merton (1949), sebagai berikut.
1) Sistem Sosial terdiri dari bagian-bagian yang utuh, tetapi saling
berkaitan secara bermakna. Jadi sistem itu mempunyai struktur.
2) Setiap bagian dari sistem sosial mempunyai fungsinya tersendiri,
tetapi tetap dalam rangka keseluruhan sistem. Yaitu tidak lain karena
keseluruhan sistem sosial itu juga mempunyai fungsi yang pasti.
3) Tergantung dari konsep yang dipakai, maka bagian-bagian sistem
dapat berwujud pelaku, fungsi atau peranan, yang dapat
mengkonversikan masukan (input) menjadi keluaran (output). Adanya
masukan dan keluaran pada masing-masing bagian itu disebabkan oleh
adanya masukan dan keluaran pada sistem sosial sebagai suatu keutuhan.
4) Sebagai sistem sosial, sistem ini mempunyai tujuan, dan karena
mempunyai tujuan, sistem tersebut juga paling sedikit terikat pada nilai-
nilai tertentu (system values) yang kemudian diendapkan menjadi tolok
ukur-tolok uikur (system parameters).
5) Sistem Sosial tidak kaku (antara lain karena memiliki sifat sebagai
‘sistem terbuka’), sehingga senantiasa marnpu menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungannya dan saat yang satu ke saat yang lain. Perubahan-
perubahan sistem yang ditimbulkan mempunyai corak evolusioner
6) Perubahan revolusioner akan membuat punah sistem yang lama,
karena diganti oleh sistem yang lain. Sebagai contoh: revolusi industri
adalah sebuah perubahan yang cepat dan mendalam, yang merangsang
munculnya sistem masyarakat baru di abad lampau.
(John S, Nimpoeno, 1980, h. 17-18)

Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa sebagai suatu sistem, maka
para warga masyarakat merupakan jalinan ynng padu, yang ditandai oleh adanya
hubungan antara warga. Dan dalam kehidupan yang asosiatif itu, nampaknya interaksi

20
merupakan kunci segalanya, menurut Kimball Young (1942). Interaksi itu sendiri
dapat didefinisikan sebagai hubungan timbal-balik antara dua orang atau lebih, dimana
setiap orang terjalin erat dalam tindakan dan dengan maksud tertentu. Dan dalam
hubungan timbal-balik itu terlihat tiga bentuk hubungan, sebagai berikut
:
1) interaksi orang seorang, di mana seorang bocah untuk pertama kalinya
belajar menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tuanya, atau
dimana seorang perjaka mencari pasangan hidupnya.
2) interaksi antara orang seorang dengan kelompok, atau sebaliknya,
dimana seseorang individu mendapati dirinya bertentangan dengan
norma kelompok, atau di mana sesuatu kelompok memaksakan
kehendak agar anggotanya dapat konform dengan nilai kelompok.
3) interaksi antara dua kelompok, di mana dua partai bekerja sama
untuk mengalahkan partai ke tiga, misalnya, atau manakala dua
negara sedang berperang.

(Selo Soemardjan dkk., 1964, h. 184).

Dapatlah kemudian dipahami kalau dalam interaksi sosial semacam itu, yang
terjadi ialah rangkaian kooperasi, konflik atau kompetisi, dan akhirnya akomodasi.
Konflik dan kompetisi sebetulnya merupakan wujud dari bentuk interaksi yang bernama
oposisi. Dengan koperasi (kerja sama) dimaksudkan sebagai bentuk interaksi yang
bertolak dari kebutuhan bersama, yang dikaitkan dengan upaya untuk mendapatkan
tujuan atau hasil yang sama. Dengan azas ini sebetulnya seluruh interaksi sosial terjadi.
Kerja sama (koperasi) menurut pandangan psikologi, dilatar belakangi oleh
ketergantungan, kasih sayang, simpati maupun identifikasi. Berbeda dengan kooperasi,
maka oposisi bertolak dari perbedaan dalam kepentingan, kebutuhan, tujuan dan
sebagainya, di antara warga masyarakat, dan seringkali diidentikkan dengan
‘pertarungan’ (struggle).
Kimball Young (1942) membedakan oposisi menjadi kompetisi dengan
konflik. Kompetisi merupakan bentuk oposisi yang ‘lebih lunak’, yang lebih

21
menekankan pada tujuan untuk mendapatkan ‘hadiah’ dan bukan pesaing itu sendiri.
Sebaliknya, konflik lebih menekankan pada perjuangan mengalahkan pesaing itu sendiri
(Selo Soemardjan cikk., 1964, h. 185-208).
Sedangkan akomodasi dan asimilasi merupakan proses yang terjadi dalam
masyarakat, yang dimaksudkan sebagai ‘jalan keluar’ atau ‘pilihan’, sebagai akibat
terjadinya oposisi dalam masyarakat. Dengan cara ini maka interaksi sosial menjadi
lebih penuh toleransi dan lebih mnghemat energi. Sebaliknya akomodasi juga
merupakan kondisi berupa persetujuan secara institutional, dimana warga masyarakat
dan masyarakat setuju untuk mengambil sikap tertentu terhadap sesuatu aturan. Kimball
Young (1942) menyebut kondisi itu sebagai pencerminan dari keseimbangan
(equilibrium) antara individu dengan kelompok maupun dengan tatanan yang telah
disetujui bersama.
Perlu dikemukakan bahwa bentuk-bentuk interaksi tersebut di atas merupakan
rangkaian (kontinum) yang silih berganti, dan merupakan wujud dari proses penyesuaian
hidup bermasyarakat (social and life adjustment), yang berlaku bagi setiap warga
masyarat. Rangkaian proses itu sendiri berlangsung sejak dari lingkungan kehidupan
keluarga, kelembagaan, komunitas, masyarakat, hingga lingkungan bangsa. Selama itu
pula warga masyarakat yang lebih mapan (=generasi tua) menggunakan kesempatan
tersebut untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial kepada generasi muda.
Proses tersebut dikenal sebagai sosialisasi atau enkulturasi. Dalam proses sosialisasi
atau enkulturasi itu, generasi tua menyampaikan norma-norma, mores , folkway dan
nilai (value).
Menurut Sumner (1906), selama itu proses sosial yang sesungguhnya terjadi,
di mana umat manusia bukan didesak untuk tunduk pada sesuatu filosofi atau etika besar
yang datang dari luar, melainkan didorong untuk dapat hidup sesuai dengan kondisi
nyata yang hidup.
Dari menit ke menit setiap warga masyarakat dibiasakan dan didorong untuk
melakukan tindakan yang merupakan ‘satu bahasa’. Dan kebiasaan hidup seperti
dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari, dan orang dipaksakan untuk hidup serasi
dengan orang lain. Dengan cara itu orang mencoba untuk hidup benar dan betul.
Dengan agak lengkap Sumner (1906) mengatakan:

22
‘The real (social) process in great bodies of men is not one of deduction
from any great principle of phylosophy or ethics. It is one of minute efforts to
live wel1under existing conditions, which efforts are repeated undefinitely by
great numbers, getting strength from habit and the fellowship of united action.
The resultant folkways become coercive. All are forced to conform, and the
folkways dominate the social life. Then they seem true and right, and arise in
mores as the norm of welfare.

(Lindzey and Aronson, I, 1954, h. 511).

Dalam proses interaksi itu warga baru belajar dari masyarakat ketrampilan,
fakta serta nilai, yang amat berguna bagi kehidupannya kelak dalam masyarakat,
sehingga disebut juga ‘social learning’. Namun sebenarnya dalam proses ‘social learning’
terjadi dua kegiatan yang serempak, yaitu ‘personal-social Learning’ dan ‘cultural
conditioning’ (Kimball Young,58, h. 113-119).
Cultural conditioning’ merupakan proses yang terjadi dalam masyarakat dan
dimulai dari lingkungan keluarga, berupa kelakuan-kelakuan yang harus dilakukan
anak, agar dapat diterima dalam pola budaya suatu masyarakat. Sementara itu setiap
warga masyarakat saling berhubungan dengan mengikuti cara-cara, hak dan kewajiban
dan sebagainya, yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang disebut sebagai ‘personal-
social learning’.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa seluruh proses disebut sebagai
‘personal-social and cultural learning’, yang prosesnya dapat divisualisasikan, seperti
terlihat pada Gambar 3 berikut ini.

23
Pada gambar terlihat adanya satu faktor lagi yang harus diperhitungkan dalam
proses sosial tersebut, yaitu perbedaan (differentiation), yang dapat dianggap sebagai
karakteristik yang dirniliki oleh setiap individu sebagai warga masyarakat.
Karakteristik individual itu bermula dari perbedaan status biologis, seperti
perbedaan jenis kelamin, umur dan sebagainya, yang termasuk dalam dimensi badani.

24
Ketika karakteristik personal itu berhadapan dengan kenyataan hidup dalam masyarakat,
berubahlah menjadi karakteristik atau perbedaan status-status sosial, yang membawa
akibat pula pada perbedaan peranan. Yang dimaksudkan ialah perbedaan berupa
lapisan-lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial dan spesialisasi dalam tugas.
alam maasyarakat yang mengenal kelas, stratifikasi sosial itu dapat berupa
jenis-jenis kasta, kelas pekerja, kelas majikan, kelas menengah dan sebagainya.
Sedangkan spesialisasi dalam tugas dapat berupa jenis-jenis tenaga kerja ataupun jenis
tugas pekerjaan, seperti kaum terpelajar, buruh, majikan, petani dsb.

4. SOSIALISASI DAN FUNGSINYA

a. Sosietalisme kontra Developmentalisme

Masyarakat memiliki mekanisme berupa proses sosial, yang dimaksudkan agar


masyarakat dapat melanjutkan hidupnya (survive). Ini berarti bahwa terhadap generasi
baru perlu dilancarkan berbagai upaya oleh generasi tua - baik dengan cara-cara langsung
maupun simbolik - agar bisa tampil dalam masyarakat sesuai dengan tata nilai dalam
masyarakat. Bisa dilakukan dengan memberikan aturan main secara fotmal, pesan moral
lewat cerita rakyat, mitologi, legenda maupun dengan ceramah maupun pendidikan
formal.
Edward Zigler maupun Irvin L. Child dalam tulisannya berjudul ‘Sosialization’
menekankan bahwa sosialisasi merupakan masalah praktis yang sudah kuno, dan sudah
meresap dalam kehidupan umat menusia, yaitu bagaimana mengasuh anak-anak agar
mereka menjadi warga masyarakat yang benar dalam masyarakatnya sendiri.
Lengkapnya Zigler mengatakan sebagai berikut.
“Sosia1ization refers to a practical problem which is old and pervasive in human
life the problem of how to rear children so that they will become adequate adult
members of the society to which they belong.” (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 450)
Di sini yang ditekankan adalah pentingnya peranan pengasuhan anak, agar anak dapat
menyesuaikan diri dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi orang

25
dewasa yang benar. Jadi konformitas merupakan tujuan akhir dari proses sosialisasi.
Baik Kluckhohn maupun Murray beranggapan bahwa proses sosialisasi itu
sudah berjalan semenjak masa pengemongan atau pengasuhan (nursery). Dan manakala
si anak mulai bertindak sesuai dengan perilaku yang diharapkan orang tua, ini berarti
sosialisasi telah membuahkan hasil (Skinner, ed., 1959, h. 291).
Pendapat semacam itu mewakili aliran sosietalisme, yang amat menekankan
pada pentingnya faktor lingkungan sosial budaya, karena mereka mendsarkan
pandangan pada anggapan bahwa proses sosialisasi tidak lain adalah proses transmisi
kebudayaan (cultural transmission). Ternyata definisi Child tersebut menimbulkan
kritik dari golongan developmentalisme, yang diwakili oleh pandangan-pandangan
Maslow (1954), Yahuda (1955), Allport (1955) maupun Rogers (1951). Mereka yang
terakhir ini sangat menekankan perlunya aktualisasi diri (self-actualization), karena
berkeyakinan bahwa sosialisasi pada dasarnya merupakan proses untuk aktualisasi diri
(Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 472). Dengan demikian, sosialisasi dianggap berhasil
kalau telah terjadi aktualisasi diri pada anak. Pada saat itu seorang anggota baru
masyarakat masih tetap dapat mempertahankan sifat otonominya dalam badai tekanan
pengaruh transaksional (transactional relationship), dimana seseorang individu masih
mampu tampil dengan seluruh potensionalitasnya dalam rangka wadah lingkungan sosial
budayanya.

b. Aliran Kponvergensi

Disinilah perlunya kita menganut aliran konvergensi, yang nampaknya


dapat memberikan penjelasan mantap terhadap berbagai kecenderungan dalam proses
sosial. Aliran ini antara lain diwakili oleh pemikir-pemikir Robert Brown (1965) dan
Kohlberg (1966), yang beranggapan bahwa proses sosialisasi tak dapat dipandang
sebagai proses yang sederhana, tidak sekedar pengendalian atas dorongan alami (the
control of impuls), atau perolehan nilai-nilai yang serasi dengan kaidah-kaidah (the
acquisition of values conforming to norms) maupun internalisasi superego yang timbul
dari orang tua (the internalization of parental superego). Sebaliknya kita tidak boleh
memandang rendah peranan si anak sebagai warga baru masyarakat, karena mereka

26
memiliki berbagai karakteristik intelektual dan persepsi, yang mampu berinteraksi
dengan berbagai faktor eksternal (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 465-474)

GAMBAR 4
KONSEP SOSIALISASI ,MENURUT PARADIGMA

PANDANGAN KAUM PANDANGAN KAUM


SOSIETALIS DEVELOPMENTALIS
 Maslow
 Walter  Yahuda
 Bandura  Allport
SOSIALISASI : SOSIALISASI :
 Traaaansmission of the  Process of becoming human
culture  Facilitating self-
 Impossing conformity actualization

PANDANGAN KONVERGENSI
* Robert Wrong
SOSIALISASI :

 Transmission of the cultur.


 Imposing contormity

seka1igus
 Process of becoming human
 Facilitating self-actualization

27
Aliran atau cara berpikir inilah yang akan melandasi pangertian dan pengembangan IPS
dalam buku ini. Oleh karenanya marilah kita terima batasan yang menganggap sosialisasi
sebagai suatu istilah yang luas, yang mencakup keseluruhan proses seseorang individu
mengembangkan pola-pola spesifik perilaku maupun pengalaman yang serasi dengan
masyarakatnya, lewat transaksi dengan warga masyarakatnya. Menurut Zigler, batasan
sosialisasi menjadi “… socialization is a broad term for the whole process by which an
individual develops, through transaction with other people, his specific patterns of
socially relevant behavior and experience (Lindzey and Aronson III, 1975, h. 474).

Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa sosialisasi sekaligus merupakan


suatu proses untuk ‘imposing conformity’ dan ‘facilitating self actualization’. Di satu
pihak, sosialisasi bersifat negatif, di lain sisi bersifat juga positif. Maksudnya adalah
bahwa kepribadian anak telah dibentuk oleh
lingkungan (ekologi), sekali gus juga diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan
sementara itu perlu dipahami, bahwa sosialisasi berarti menekan dorongan-dorongan
naluriah atau mengendalikannya, juga berarti menciptakan sesuatu yang baru, seperti
saling pengertian di antara sesama warga. Sejalan dengan adanya pengertian
‘personal-social and cultural learning’, dapat dibedakan pula pengertian-pengertian
sosia1isasi dan enkulturasi.
Sosialisas dianggap berbeda dengan enkulturasi oleh Bandura dan Walter (1963),
karena sosialisasi merupakan proses bagaimana anak harus tampil sejak dalam keluarga,
agar kelak dapat tampil sesuai dengan harapan masyarakat, sebagaimana telah
disosialisasika. Sebaliknya dalam enkulturasi seorang dewasa harus menunjukkan
bahwa seseorang tahu norma-norma yang berlaku dalam masyarakat budayanya
(Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547).

Selanjutnya bahkan Sarbin (1954) menekankan, bahwa sosialisasi hanya


berkaitan dengan penguasaan atas peran dan posisi yang dibawa sejak lahir (ascribed
role and position), sementara enkulturasi berkaitan dengan penguasaan atas peran dan
posisi yang diperoleh (achieved role and position). Ini tentu saja berkaitan dengan
bagaimana seorang anak laki-laki misalnya, atau anak raja, seharusnya bertingkah laku
dalam masyarakat, karena anak laki-laki ataupun anak raja merupakan posisi yang

28
dibawa sejak lahir. Sementara itu kedudukan sebagai tukang semir sepatu atau sebagai
dekan sesuatu fakultas, berkaitan dengan enkulturasi, sebab kedudukan tersebut diperoleh
dalam masyarakat (achieved).

Rasanya lebih tepat kalau kita tidak memberikan pembedaan atas kedua
proses sosial itu, sebab pengertian itu tak dapat dipisahkan. Seluruh nilai, norma,
keyakinan dan sebagainya yang diakui oleh masyarakat, tidak lain merupakan sebagian
wujud kebudayaan. Dan sebaliknya sesuatu kebudayaan tak dapat dilepaskan dari
masyarakat pendukung kebudayaan itu. Itulah sebabnya menurut Sutan Takdir
Alisahbana (STA), proses sosialisasi tidak hanya melibatkan nilai maupun norma hidup
sesuatu masyarakat, melainkan juga seluruh kompleks hasil budaya manusia yang
dihimpun oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya sosialisasi dianggap
juga enkulturasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 132).
Anggapan yang demikian itu bukan Sutan Takdir yang pertama kali
menyatakan, karena yang pertama kali beranggapan demikian adalah Herskovits (1948).
Menurut dia, istilah enkulturasi lebih dapat mencakup pengertian yang selama ini disebut
sosialisasi (Selo Soemardjan, 1964, h 192).
Yang lebih penting dalam kaitan ini adalah mengenai fungsi yang terkandung
dalam pengertian tersebut. Yang dimaksud, ialah fungsi penyesuaaian sosial (social adj-
ustment) dan integrasi sosial (socia1 integration), yang akan dijelaskan
selanjutnya.

5. INTEGRASI SOSIAL

Integrasi sosial merupakan konsep sosiologis, yang hendak menangkap semua


karakteristik masing-masing warga masyarakat. Kita harus membedakan konsep
integrasi sosial ini dengan konsep ‘kesatuan nasional’ atau ‘integrasi politik’, yang
merupakan konsep ilmu politik, untuk mengatasi akibat negatif dari masyarakat, baik
dalam artian ideologi, budaya, etnis, kawasan dan sebagainya .
Sementara itu kita juga mengenal konsep ‘kepribadian nasional’, yang tak lain
merupakan konsep politik juga, yang menggunakan tema-tema kebudayaan. Lebih-lebih
konsep itu digunakan untuk menjawab perbenturan arus kebudayaan asing, yang secara

29
politik diartikan sebagai selalu berseberangan dengan kepentingan nasional. Semua itu
dilancarkan dalam rangka proses ‘bation and character building’. Sebaliknya dengan
integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam (immanent) pada
setiap masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan
masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Namun harus dipahami, bahwa konsep
integrasi sosial tidak mengandung arti suatu peleburan budaya, melainkan yang penting
adalah adanya keseimbangan (ekuilibrium). Ini rarti masih dibenarkan adanya keaneka
ragaman, meski dalam suatu harmoni (serasi, selaras dan seimbang) mengandung arti,
dimungkinkan adanya atau munculnya pembaharuan-pembaharuan. Jadi, misalnya, dalam
masyarakat yang terintegrasi masih dimungkinkan muncul manusia-manusia semacam
Budha Gautama, Sokrates, Muhammad maupun Sukarno, dan tidak dianggap sebagai
‘pemberontak-pemberontak’, melainkan sebagai pembawa konsep pembaharuan, yang
berguna bagi kelangsungan hidup (survive).
Mekanisme yang disebut integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan
menggunakan dua pendekatan.
Pertama, konsep integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan psikologi
Gestalt, seperti dikemukakan oleh Wertheimer, Kohler dan Koffka. Mereka memberi
batasan psikologi Gestalt, sebagai sebuah keseluruhan yang karakternya tidak ditentukan
oleh sifat komponen-komponennya, melainkan oleh karakter hakikat keseluruhan itu.
Bagian-bagian dari keseluruhan itu tidak mempunyai arti tanpa kaitan dalam
keseluruhan, dan ditandai pula dengan berlangsungnya saling bergantung. Bukan saja
antara komponen dengan keseluruhan terjadi interaksi, melainkan juga di antara
komponen itu sendiri. Akibatnya kita tidak dapat memahami sesuatu bagian, yang
dilepaskan dari keseluruhan hakikat integrasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 16-
17).
Kedua, mekanisme integrasi sosial itu dapat pula dijelaskan dengan pengertian
masyarakat sebagai sistem seperti dikemukakan pada pembahasan interaksi sosial di
depan, yaitu bahwa masyarakat merupakan jalinan yang padu. Setiap bagian atau sub
sistem sosial, mempunyai posisi serta status tertentu dalam keseluruhan, sehingga
masing-masing juga mempunyai peranan dan penampilan yang telah dipolakan, sesuai
dengan harapan-harapan sosial. Dan karena setiap masyarakat mempunyai tujuan, warga

30
masyarakat juga terikat oleh tujuan yang sama pula, dan terikat pula pada nilai yang
sama. Meskipun demikian masyarakat juga merupakan sistem yang terbuka, maka selalu
terbuka bagi proses penyesuaian dengan kondisi lingkungan.
Terakhir kali, mekanisme yang integratif itu dapat dijelaskan dengan konsep
sosiologi. Para ahli sosiologi beranggapan, bahwa orang tidak dilahirkan sebagai manusia
(human), melainkan harus melewati lebih dahulu proses interaksi dengan orang lain
maupun lingkungan. Proses itulah yang disebut sosialisasi (James A. Banks, 1977, h.
240-250). Lebih jelas dikatakan bahwa "People are not born human, but are made
human by
interacting with the persons in their invironment" . Artinya, bahwa orang tidak dilahirkan
menjadi manusia, sebaliknya menjadi menusia lewat interaksinya dalam masyarakat.
Lewat sosialisasi itu terjdi1ah mekanisme menuju interdependensi (saling
ketergantungan) di antara sesama warga masyarakat. Karena mereka merasa saling
membutuhkan, merekapun perlu saling membantu dan bekerja sama, sampai
merekapun merasa puas. Mekanisme yang terjadi itu dapat digambarkan secara skematik
seperti pada Gambar 5 berikut ini (James A. Banks, 1977, h. 250).

GAMBAR 5
KONSEP SOSIOLOGI MENGENAI SOSIALISASI

NILAI
SOSIALISASI NORMA PERANAN

SANKSI
1.1.1.1.1.1
LEMBAGA

31
KOMUNITAS

MASYARAKAT

Skema tersebut di atas dapat dijelaskan dengan cara berikut. Lewat sosialisasi, warga
baru masyarakat memperoleh nilai serta norma, yang diyakini dan dipergunakan bagi
kehidupan dalam masyarakat, agar mereka dapat memainkan peranan masing-masing
sesuai dengan harapan-harapan sosial. Selama masa sosialisasi itu berlangsung,
masyarakat memberlakukan sistem ganjaran ataupun siksa yang dikenal dengan nama
sanksi, dan diberikan kepada warga masyarakat. Pemberian sanksi tersebut terjadi pada
segala lapisan maupun sub masyarakat. Mekanisme itu dikenal sebagai kontrol sosial,
yang dimaksud untuk mendisiplinkan masyarakat, agar dapat hidup sesuai dengan
kelakuan kolektif. Dengan kata lain, diharapkan dengan begitu setiap individu dapat
hidup dengan bertanggung jawab sebagai warga masyarakat.
Dengan cara-cara tersebut di atas, warga masyarakat dapat memainkan peran
sosial meeeka sesuai dengan harapan-harapan sosial.
Peran yang harus dimainkan itu berbeda-beda sesuai dengan status dan posisi dalam
pelembagaan tertentu, seperti lembaga ekonomi, politik, pendidikn, kepemudaan dan
sebagainya, yang terdapat dalam sesuatu komunitas. Sebetulnya interaksi yang
dirasakan nyata ada, justru terletak pada tingkat lembaga itu. Sedangkan pada tingkat-
tingkat yang lebih tinggi seperti komunitas maupun masyarakat, interaksi itu lebih
bersifat abstrak.
Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang berstruktur, menempati sesuatu
kawasan tertentu, dan di antara para warganya dihubungkan dengan sejumlah peranan,
sehingga membentuk suatu keteraturan. Keteraturan-keteraturan itu terjadi karena seluruh
unit dalam sistem itu tunduk pada norma dan nilai tertentu.
Apa yang dapat ditangkap dari seluruh mekanisme yang bernama sosialisasi itu,
ialah kesimpulan bahwa seluruh sistem sosia1 itti terjalin dalam suatu keterikatan yang
bernama saling ketergantungan atau interdependensi. Dan hal itu merupakan bukti

32
adanya proses penyesuaian diri yang terus-menerus dari warga masyarakat, sehingga
integrasi ssosial diharapkan akan terjadi.

6. KONFORMITAS

Dari pembicaraan rnengenai proses-proses sosial di depan, sudah disebut-sebut


mengenai kecenderungan ketundukan warga masyarakat terhadap polapola kelakuan
kolektif atau kesesuaian kelakuan dengan posisi sosial. Dengan kata yang lebih padu
dapat dinyatakan, bahwa itulah yang disebut sebagai konformitas. Kecenderungan itu
timbul karena adanya tekanan dari kelompok terhadap warga sesuatu kelompok, dan
warga kelompok itu conderung untuk ‘takut salah’ atau ‘being out of step’ dengan
kelompok.
Jadi, manakala seseorang individu dituntut untuk menyatakan pendapat mengenai sesuatu
isu, sedang ia merasa berkepentingan terhadap masalah atau isu tersebut, maka yang
timbul ialah situasi konflik.
Dalam menghadapi situasi konflik semacam itu, hanya ada dua pilihan : atau dia harus
menyatakan pendapat atau pertimbangannyang secara menyimpang dari pola-pola
kolektif, atau dia harus menyatakannya serasi dengan prrtimbangan umum. Kalau
kemungkinan yang pertama yang terjadi, orang tersebut disebut mandiri atau otonom
dari lingkungan konsensus umum. Sebaliknya, kalau dia memilih kemungkinan yang
kedua, orang tersebut disebut konform dengan harapan-harapan sosial (Krech et al., 962,
h. 206).
Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa konformitas merupakan gejala
kepasrahan diri warga masyarakat terhadap tekanan sesuatu kelompok, yang terlihat
pada pertimbangan (judgment) atau tindakan (action). Konformitas itu terlihat dari
perbedaan dalam pertimbangan mengenai sesuatu isu dari diri orang tersebut dengan
yang datang dari kelompok. Makin besar perbedaan dalam pertimbangan atau penilaian
yang ada, makin sulit konformitas itu terjadi. Itu berarti, bahwa tingkat kemandirian
(otonomi) tersebut makin beaar. Sebaliknya manakala seseorang kurang memiliki
kemandirian dalam menentukan sikap dapat atau mudah menjurus pada terjadinya
konformitas dalam masyarakat, dengan acuan nilai tertentu.

33
Kecenderungan timbulnya konformitas itu telah dimulai sejak dalam lingkungan
kehidupan keluarga. Menurut Margareth Mead misalnya, anak-anak sebagai generasi
baru, tumbuh tanpa adanya sesuatu model, hingga segala pengalaman orang tua maupun
kakak-kakak mereka, dianggap sebagai model dan pedoman. Seolah-olah tanpa adanya
alternatif lain, anak-anak “tunduk pasrah” (konform) dalam tata nilai yang berlaku dalam
keluarga (Hilda Taba, 1960, h. 55)
Dalam masyarakat urban, akibat terjadinya mobilitas sosial, terjadilah perubahan
peranan keluarga dalam proses sosialisasi maupun pendidikan. Gejala yang nampak,
ialah merosotnya peranan keluarga, dan untuk sebagian digantikan oleh lembaga sekolah
maupun kelembagaan lain di luar keluarga. Sementara itu tidak dapat dipungkiri bahwa
lembaga sekolah merupakan hasil kelas sosial yang dominan. Dan tidak pula boleh
dilupakan, bahwa sekolah merupakan hasil dari generasi tua, sehingga pada tahapan
inipun untuk kesekian kalinya, anak-anak harus konform dengan lembaga-lembaga itu.
Dan ketika anak-anak kemudian harus berinteraksisi dengan masyarakat yang
lebih luas, mereka berhadapan pula dengan tata nilai maupun norma yang lebih mapan.
Seka1i lagi mereka harus menunjukkan konformisnya, lebih-lebih kalau mereka harus
memasuki masyarakat yang bersifat paternalistik, seperti masyarakat Indonesia. Gejala
semacam itu dapat dijelaskan dengan memakai hasil berbagai studi mengenai
konformitas. Misalnya, bagaimana peranan keluarga terhadap kecenderungan afiliasi
politik, telah dilakukan oleh Lazarsfeld, Bereson dan Gandet di Ohio (1944). Hasilnya
ternyata menunjukkan konformitas yang tinggi (Krech et al,1962. h. 195). Studi Asch
(1955) menemukan banyak hal di sekitar kecenderungan konformitas. Antara lain
menemukan bahwa (1) anak gadis cenderung lebih konform dari pada anak laki-laki;
(2) makin tinggi kecerdasan anak, makin cenderung tidak konform; (3) makin rendah
self-esteem dimiiliki seseorang, makin cenderung untuk konform dengan lingkungan.
Selanjutnya diketahui pula sejumlah kemungkinan alasan yang melatar
belakangi terjadinya konformitas itu. Pertama, agar dapat menyenangkan mayoritas orang
dan menghindari antagonisme dengan orang banyak. Itu yang pertama. Yang kedua,
sebab kelakuan itu dapat dicari pada masuk akal atau tidaknya kelakuan itu, Misalnya,
berkendaraan di sisi kanan pada jalanan di Amerika Serikat, untuk menghindari
kecelakaan lalu lintas. Sebab ketiga yang memungkinkan orang cenderung konform

34
dengan kelakuan umum, ialah ketundukan pada kerangka acuan tertentu. Misalnya,
sejumlah wisatawan akan mengikuti kelakuan ahli antropologi yang menundukkan
kepala pada pribumi yang mengenakan pakaian tertentu (Mark R. Rosenzweig, 1975, h.
66).
Dengan berbagai kecenderungan tersebut dapatlah kemudian dikemukakan
sebuah batasan yang relevan mengenai konformitas tersebut, yang berbunyi :
“Conformity is a change in a person's opinions or behavior as a result of real or imagined
pressure from another person or a group”, menurut Rosenzweig.
Sementara itu dari kaca mata psikologi dapat dibedakan adanya dua jenis
konformitas, yaitu yang satu konformitas ‘pura-pura’, dan yang lain konformitas
‘sesungguhnya’. Dalam bahasa aslinya disebut ‘expedient’ conforming dan ‘true’
conforming.
Disebut konformitas ‘pura-pura’, kalau konformitas itu hanya lahiriah saja,
sedangkan hatinnya tetap tidak sejalan dengan kelompok. Sedang konformitas
‘sesungguhnya’ digunakan untuk konformitas yang baik lahir maupun batin (Krech et al.,
1962, h. 506).
Masih rnenggnnakan kaca mata psikologi dapat kita ikuti studi Kelman (1961)
mengenai latar belakang yang mendasari kecenderungan terjadinya konformitas. Menurut
Kelman ada tiga jenis kenformitas berdasarkan latar belakang yang mendasarinya, yaitu
compliance, identification dan internalization. ‘Complianc’ merupakan istilah lain
untuk kata ‘expedient’. Yang dimaksudkan ialah penampilan seseorang, baik
berupa kelakuan maupun pernyataan yang hanya dilandasi oleh kehendak
memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Orang tersebut kemudian
menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kemauan umum. Namun manakala
harapan akan ganjaran tidak lagi ada, dan ancaman hukuman itupun tidak ada, maka
orang itu kembali menunjukkan ketidak patuhannya. Dengan perkataan lain penampilan
mi merupakan kepatuhan yang ‘pura-pura’, yang berbeda antara yang lahir dan yang
batin.
Sedangkan '’dentification’ merupakan penampilan seseorang yang menurut
Kelman “ … refers to a level of social influence based upon the individual's desire to be
like the influencer”. Di sini penampilan tersebut sama sekali tidak dilatarbelaangi

35
kehendak mendapatkan ganjaran dan menghindari hukuman, melainkan semata-mata
karena ingin menjadi seperti model yang dikehendakinya. Sekali lagi, ini mrupakan
gejala ketundukan pada kerangka acuan yang relevan (a frame or reference).
Jenis konformitas, terjadi sebagai identifikasi yang merupakan tingkatan
pengaruh yang paling permanen yang datang dari masyarakat. Akibatnya, nilai dan
sikap tertanam dan mempribadi dalam diri setiap individu, karena dianggap benar oleh
individu tersebut. Penampilan semacam itu mempermudah terjadinya integrasi dalam tata
nilai mapan ( Mark R. Rosenzweig, 1975, h. 68-69).
Terlepas dari pandangan yang menitik beratkan pada faktor internal
kejiwaan tadi, seperti dikemukakan pada awal uraian mengenai proses interaksi sosial,
konformitas merupakan gejala sosial yang terjadi sebagai akibat hubungan antar manusia
(interpersonal). Dikatakan di muka, bahwa dalam interaksi tersebut, warga baru akan
melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial (social adjustment), sesuai dengan
harapan-harapan sosial yang telah dikomunikasikan. Itu berarti, bahwa kelompok
memaksakan kehendak agar warga baru mau hidup serasi (konform) dengan tata nilai
yang berlaku. Dan kalau proses penyesuaian itu tidak mernbuahkan konformitas,
masyarakat atau kelompok akan memberikan sanksi, untuk menghindari terjadinya
masalah-masalah sosial, yang ditandai oleh kelakuan-kelakuan sosial yang menyimpang
dan tata nilai yang berlaku.
Menurut Robert K. Merton (1949), ada lima jenis kemungkinan sifat
penampilan warga masyarakat dalam kaitannya dengan integrasi sosial, yaitu 1).
konformitas, 2). inovasi, 3). ritualisme, 4). retritisme, dan 5). rebeli. Pada
konformitas, anggota masyarakat tunduk pada tata nilai dan budayanya dan
menerimananyat sebagai tata nilai dan budaya sendiri, lengkap dengan seluruh
kelembagaanya. Pada inovasi, anggota msyarakat menerima tata nilai dan budaya
masyarakat, namun menolak kelembagaan yang ada. Sedangkan dengan ritualisme,
dimaksudkan suatu gejala di mana anggota masyarakat hanya menerima tata cara
kelembagaan yang ada, namun sebenarnya menolak hakekat nilai serta budaya yang
berlaku dalam masyarakat. Dan manakala warga masyarakat menolak kedua-duanya, baik
tata nilai, budaya, maupun kelembagaannya, disebut retritisme. Dalam praktek,
retritisme bisa muncul dalam bentuk kemunafikan maupun apatisme, yaitu manakala

36
warga masyarakat berpura-pura menerima tata nilai dan budaya, ataupun barangkali sama
sekali masa bodon akan ada atau tidaknya tata nilal tersebut. Akhirnya, warga
masyarakat mungkin menunjukkan penampilan yang tak serasi dengan tata nilai serta
budaya yang berlaku dalam masyarakat, dengan sikap maupun kelakuan yang melawan
tata nilai dan budaya tersebut, dan tidak sekedar melarikan diri dari kenyataan hidup
(retritisme). Kemungkian yang teraldiir ini dikenali dengan sebutan rebeli
(pemberontakan) (S.T. Alisjahbana, 1974, h. 145)
Mungkin terlamapau jauh Alisjahbana mengartikan pengertian kepasrahan
diri terhadap tata ni1ai mapan itu sebagai kepasrahan Budha Gautama kepada Dewa.
Mungkin benar pendapat tersebut, kalau hal yang dimaksud adalah kepasrahan Sang
Budha Gautama kepada kepentingan umum, meski harus mengorbankan kepentingan diri
pribadi. Gejala tersebut harus dilihat sebagai keikutsertaan warga masyarakat yang
mempunyai tanggung jawab bagi kepentingan umum, yaitu integrasi sosial.

7. SOSIALISASI SEBAGAI PROSES PENDIDIKAN

Sosialisasi tak dapat dipisahkan dari proses pendidikan, karena pendidikan merupakan
bentuk interaksi sosial yang menyandang fungsi sosialisasi. Oleh karenanya dipandang
perlu untuk memberikan uraian tersendiri mengenai fungsi-fungsi pendidikan. Ada tiga
fungsi pendidikan yang dikenal o1eh umat manusia bagi kepentingan umat manusia itu
sendiri, seperti yang diyakini oleh ketiga aliran pendikan yang ada. Berturut-turut
ketiganya akan disajikan di bawah ini
.
a. Pendidikan Sebagai Proses Pewarisan Budaya

Para pendukung teori yang menyatakan bahwa pendidikan berfungsi sebagai


proses pewarisan budaya, menyatakan bahwa sesuatu kebudayaan memiliki akar pada
kehidupan masa lampau. Oleh karenanya kelangsungan sesuatu kebudayaan hanya dapat
terjadi kalau pendidikan mengambil peranan sebagai penyampai seluruh nilai maupun
keyakinan yang telah mapan kepada generasi baru. Dalam masyarakat Barat sekali pun,
yang dinilai sudah meninggalkan alam tradisionalisme, masih berkembang anggapan

37
semacam itu (Hilda Taba, 1962, h. 19). ‘The Harvard Report on General Education’
merupakan salah satu bukti betapa perlunya perlindungan terhadap tradisi dan
menjaganya dari akar masa lampau.
Para pendukung aliran rasionalis humanis dan klasik humanis dalam
pendidikan, seperti Hutchins (1936), Adler serta Mayer (1958), beranggapan bahwa
fungsi pendidikan harus dilihat dalam kaitannya dengan konsep tentang hakekat manusia,
yang berciri rasionalisme. Menurut mereka, dunia ini hanya dapat dipahami oleh rasio
manusia, sehingga deugan demikian pendidikan harus berfungsi menanamkan ke-
cerdasan, menurut Hutchins tersebut.
Dengan sendirinya dapat dipahami kalau program program pendidikan harus pula
berinti pada ‘liberal arts’ dan ‘humanities’, menurut Brubacher (l95O). Dengan
perkataan lain, pendidikan harus berfungsi sebagai ‘liberalizing education’, dan
diperuntukkan bagi siapa saja, tanpa kecuali. Dan selanjutnya setiap orang harus
menerima konsep, bahwa kebenaran harus diwariskan kepada generasi berikutnya, karena
kebenaran bersifat universal.

b. Pendidikan Sebagai Perangkat Transformasi


Kebudayaan

Ada pandangan lain yang sungguh bertentangan dengan pandangan yang


terdahulu, dalam memahami peranan pendidikan bagi umat menusia. Pandangan yang
kedua ini beranggapan bahwa pendidikan sesungguhnya memiliki fungsi yang lebih
kreatif dalam menentukan dan pembentukan kebudayaan. Berdasarkan pengalaman yang
ada di Amerika Serikat, Horace Mann berkesimpulan, bahwa pendidikan harus dipandang
sebagai sarana untuk menghadapi berbagai masalah yang dihadapi sesuatu masyarakat.
Dengan perkataan lain, pendidikan harus dipandang sebagai sarana bagi rekonstruksi
sosial yang dikehendaki nasyarakat itu. Lalu muncullah John Dewey (1929) yang
beranggapan bahwa dalam proses tersebut terjadilah terus-menerus proses penyusunan
kekuatan pada masing-masing individu, dengan membulatkan kesadaran, pembentukan
kebiasaan hidup, mewujudkan gagasan yang dimiliki, memupuk perasaan dan emosi, dan
seterusnya (Hilda Taba, 1962, h. 23).

38
Nyatalah di sini, bahwa pendidikan mempunyai peranan penting dalam
proses perubahan sosial, baik dengan perombakan bertahap lewat pembentukan penger-
tian pada generasi muda, maupun dengan rekonstruksi yang terencana. Di sini terlihat
adanya tiga hal penting, yaitu bahwa :

1) Di samping kemampuan intelektual, maka pendidikan harus


mampu membangkitkan tanggung jawab untuk melatih diri
dalam tata nilai maupun loyalitas budaya
2) pendidikan harus mengambil peranan dalam proses perubahan
sosial dan mengikuti gerak perubahan
3) pendidikan itu bersangkut- paut dengan moral atau
pertimbangan nilai

(Hilda Taba, 1962, h. 25).

c. Pendidikan Untuk Pengembangan Orang Seorang

John Deweylah, menurut Taba (1962) yang antara lain menegaskan betapa
pendidikan berfungsi pula sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas orang-
seorang (mdividual). Ini berarti bahwa pendidikan dianggap memberi kesempatan bagi
pemenuhan kebutuhan pribadi maupun memberikan peluang bagi upaya mengembangan
diri (se1f realization), baik dalam bidang intelektual maupun emosi. Secara lebih
ekstrim, pendidikan dengan demikian diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk
seluruh anak untuk tumbuh menjadi anak yang unik. Nyata sekali aliran yang ke tiga ini
sangat sesuai bagi sistem sosial yang liberal dan individualis, karena generasi muda
diberikan kebebasan untuk mengembangkan kemandirian orang seorang.
Dalam kenyataan, ketiga fungsi pendidikan itu tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya, karena ketiganya seperti berjalan secara simultan dalam konsep
pendidikan yang dimaksudkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)
1983 di Indonesia di masa Orde Baru, yang merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Republik Indonesia. Ini merupakan contoh bahwa konsep peremcanaan

39
pendidikan telah dirancang secara mendasar dalam masa Orde Baru. Di sana tercantum
rumusan tujuan pendidikan yang mencakup ketiga fungsi tersebut, yaitu tidak saja
sebagai sarana bagi proses pelestarian budaya dan proses transformasi , melainkan
juga sebagai sarana pengembangan potensi orang-seorang, yang bermanfaat bagi
pembangunan diri sendiri dan bangsanya.
Dengan singkat dapat dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan Indonesia di
masa itu yang berdasarkan TAP MPR 1983 itu mencakup enam sasaran, yaitu

1) meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,


2) meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan,
3) mempertinggi budi pekerti,
4) memperkuat kepribadian,
5) mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dan
6) menumbuhkan manusia-manusia pembangun, yang dapat membangun
dirinya dan bangsanya

Sayang sekali peosedur semacam inin tidak diteruskan selama masa-masa


reformasi, padahal mwmiliki makna straregis yang amat nyata.

a. Hubungan Pendidikan Dengan Sosialisasi

Dengan memandang pada konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan di


muka, konsep pendidikan yang digunakan sebagai landasan pendidikan di Indonesia,
maupun konsep-konsep mengenai sosialisasi yang dikemukakan di depan, dapatlah
diambil kesimpulan mengenai hubungan antara pendidikan dengan sosialisasi
memandang sesuatu gejala secara sefihak nampaknya tidak bakal memberikan
kepuasan secara tuntas dalam memberikan makna terhadap gejala tersebut. Demikian
pula dalam mencari tahu mengenai konsep pendidikan maupun sosialisasi.
Sementara itu pengalaman mengajarkan kepada kita betapa pendekatan
konvergensi terhadap berbagai pendapat mengenai kecenderungan atau gejala sosial,
memberikan kejelasan secara lebih baik mengenai konsep-konsep tersebut. Dan sikap

40
semacam itu dianggap paling cocok untuk melandasi setiap langkah pendidikan. Dalam
kenyataan pengertian mengenai pendidikan maupun sosialisasi tidak dapat dijelaskan
secara simplistik dengan hanya memberikan penafsiran yang hitam-putih atau dikhotomis
saja. Kalau kita perhatikan akan kita lihat, bahwa rumusan mengenai pendidikan seperti
dimaksud dalam GBHN yang merupakan pengalaman Indonesia di masa Orde Baru
menunjukan sifat yang konvergen pula.
Di sana terdapat fungsi penguasaan atas sejumlah fakta (mastery of certain facts).
Hal tersebut sesuai dengan pandangan yang menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi
melestarikan dan mewariskan kebudayaan atau ‘reserver and transmitter of the cultural
heritage’. Dalam GBHN 1983 misalnya terdapat :

“…pendidikan berdasarkan Pancasila …”


“… meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan …”
“… meningkatkan kecerdasan...”
“…memperkuat kepribadian dan mempertebal Bemangat kebangsaan dan cinta
tanah air …”
(GBHN IV, 1983)

Di sana juga terdapat tujuan untuk mentransformasikan kebudayaan guna


pembangunan masyarakat atau ‘instrument for transforming culture’, seperti yang tertera
pada GBHN IV berikut mi

“…,,... menumbuhkan manusia-manusia pembangunan …”

“…memperkuat kepribadian

“... dapat membangun dirinya …”


“… bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan ...”
(GBHN IV, 1983)

Juga di sana terdapat ungkapan-ungkapan mengenai fungsi pengembangan


kemampuan orang-seorang guna menyatakan diri atau ‘instrument for individual

41
development’, seperti yang tertera pada contoh berikut ini pada GBHN IV.
“... meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan..”
“… memperkuat kepribadian...”
“… dapat membangun dirinya ...”
GBHN iv,1983)

Kembali kita lihat betapa di masa Orde Baru perangkat GBHN sangat stratgis
untuk perencanaan atau pelaksanaan operasional pendidikan. Oleh karenanya masih
relevan untuk kita jadikan sebagai rambu perencanaan pendidikan unruk generasi muda,
Waktu itu biasa digunakan pendidikan politik. Ternyata sebagian fungsi pendidikan yang
tertnaktub tersebut adalah menjalankan fungsi sosialisasi, yaitu mempersiapkan warga
masyarakat (terutama yang baru datang) untuk dapat melakeanakan peran-peran sosial
mereka sesuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Harus kita ketahui, bahwa dan
proses pendi dikan, baik secara formal maupun tidak formal, manusia memperoleh
berbagai manfaat, yaitu : penguasaan atas sejumlah fakta dan pengetahuan (mastery or
certain facts), kaidah-kaidah ke1ompok (mores of the group), dan cara-cara penyesuaiau
sosial (social technique or adjustment), menurut Olsen (1945) dalam ‘School and
Community’ (Skinner, 1974, h. 508). Yang dimaksud dengan penguasaan sejumlah fakta
di sini, tentu saja meliputi seluruh warisan budaya umat manusia, yang mencakup ilmu
pengetahuan, teknologi, maupun tata nilai. Ini merupakan bagian yang bersifat kognitif
dari kekayaan budaya manusia, maupun berupa ketrampilan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup.
Selanjutnya, anak-anak juga mendapatkan dari pendidikan sejumlah pengalaman
dan keyakinan mengenai mana-mana yang dianggap baik, dan mana-mana yang dianggap
tidak balk, mana-mana yang boleh dilakukan, dan mana-mana yang tidak boleh
dilakukan. Seluruh pengalaman itu diperoleh dari kebiasaan maupun peraturan yang
dibuat oleh masyarakat. Dengan demikian anak- anak diharapkan menjadi sadar akan
segala perilaku yang dilakukan, serta dapat memainkan peran sosial mereka dengan baik,
dan menghindari tindakan tercela karena mengetahui berbagai sanksi yang dikenakan
bagi para pelanggar aturan soaial.
Dan pendidikan anak-anak tidak hanya mendapat pengetahuan maupun

42
kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, melainkan juga cara-cara bagaimana
menyesuaikan dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya.Cara-cara penyesuaian diri
itu tidak hanya menyangkut pergaulan antara individu dengan individu, melainkan juga
dalam pergaulan dengan kelompok, di dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih rumit.
Yang dimakaud di sini tentu saja segala pengalaman warga masyarakat terdahulu yang
mampu dan sukses dalam pergaulan masyarakat.
Dari uraian di depan jelas sudah bahwa fungsi sosialisasi merupakan bagian dari fungsi
pendidikan. Ini berarti bahwa dengan melaksanakan proses pendidikan di sekolah,
misalnya, fungsi sosialisasi telah berlangsung

8. SOSIIALISASI SEBAGAI ROLE LEARNING

Menurut Shakespeare : “All the world's a stage, and all the man and women
merely players ...” Ini berarti, bahwa seseorang hanya rnempunyai arti dalam kaitannya
dengan drama masyarakat, yang ikut memainkannya dengan jalan mengambil bagian
sebagai pemain. Dengan kata lain, dia ikut memainkan peran dalam drama kehidupan
itu. Untuk dapat memainkan peran sebagai aktor yang baik, tentu saja setiap pamain
harus membawakan perannya sesuai dengan posisi yang diduduki dalam drama tersebut.
Dan agar penampilannya dapat tepat dan sesuai dengan skenario yang dikehendaki oleh
drama itu sendiri, pemain tersebut harus pula melakukan latihan serta upaya
penyesuaian dengan tata aturan permainan serta skenario yang dikehendaki oleh drama
itu. Seluruh peribaratan dalam dunia drama tersebut dimaksudkan untuk mempermudah
memberikan penjelasan mengenai teori peran (role theory), dalam upaya memberi dasar
teoritik studi ini. Cara semacampun biasa dilakukan oleh Theodore R. Sarbin (1952)
dalam mengemukakan Role Theory-nya.
Dalam kaitan dengan Studi Sosial atau IPS, anak-anak dilatih untuk
menghadapi masalah-masalah sosial, sebelum menghadapinya kelak dan melakukan
tindakan yang tepat dan jitu berbagai masalah sosial tersebut, dan kemudian melakukan
sesuatu keputusan setelah melakukan berbagai pertimbangan. Kualitas dan kemampuan
semacam itu, dikenal sebagai ‘intelligent social actor’ Dalam Studi Sosial dengan begitu
kemampuan yang diharapkan dari latihan-latihan program Studi Sosial ialah agar anak

43
dapat tampil secara cerdas atau ‘can act intellegently’ (James A. Banks, 1977, h. 12)
Secara tidak resmi (informal), program latihan bagi anak sebagai warga baru
sesuatu kelompok manusia, telah dimulai sejak dalam keluarga, dengan nama sosialisasi
atau ‘social learning’, tergantung dari sudut mana kegiatan itu ditinjau. Dengan proses
sosialisasi tersebut, seperti berkali-kali dinyatakan di depan, warga baru belajar untuk
dapat tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial, sesuai dengan kedudukan mereka
dalam masyarakat. Pada bagian ini akan dikemukakan konsep-konsep sosiologi maupun
psikologi sosial mengenai status, posisi, maupun peran, untuk memberikan landasan
teoritik bagi studi ini.

a. Peranan Pola-pola Masyarakat

Sudah dikemukakan di depan, betapa kehidupan masyarakat tergantung pada


ada tidaknya pola tingkah laku sosial, yang terbentuk dari hubungan timbal balik antar
personal ataupun antar kelompok. Posisi-posisi yang terjadi karena hubungan timbal
balik itu disebut sebagai status.
Dapat difahami kalau dikatakan, bahwa dengan begitu setiap individu dapat
mempunyai lebih dari satu status, karena setiap individu dapat berperan serta dalam
berbagai pola kehidupan yang terjadi dalarn masyarakat. Status-status yang dimiliki oleh
seseorang dalam keseluruhan masyarakat tergantung pada posisi-posisi yang
ditempatinya. Dengan begitu misalnya ,Mr. Jones memiliki sejumlah status dalam
kaitannya dengan suatu komunitas tertentu, di mana dia menjadi warganya. Dia dapat
dipandang sebagai seorang jaksa, namun sekali gus dia juga seorang dari keluarga
Mason, seorang penganut aliran Methodist, suami nyonya Jones dan sebagainya.
Demikianlah misalnya penuturan Ralph Linton (1938) dalam bukunya ‘The Study of
Man’ maupun Lewis A. Coser and Bernard Rosenberg dalam ‘Sosiological Theory, A
Book of Readings’ (Selo Soemardjan, 1964, h. 261-263).
Kehidupan sosial tersebut terus berjalan sepanjang masa, meskipun para
warga masyarakat yang menduduki status-status tersebut telah pindah dari lingkungan
komunitas tersebut atau meninggal dunia. Hal tersebut dapat terjadi karena yang
meninggal dunia atau pindah ialah orangnya, sedangkan status ataupun peranan yang

44
tersandang di dalamnya tidaklah hilang, namun tetap membentuk struktur dalam
masyarakat, menurut A.R. Radcliffe- Brown dalam ‘Structure and Function in Primitive
Society’ (S.T. Alisjahbana (1974. h. 70).
Dengan sederhana dapat dinyatakan, bahwa status mengandung pengertian
adanya hak dan kewajiban. Dan manakala seseorang menggunakan hak dan kewajib-
annya dalam menyatakan sesuatu pendapat atau sikap dalam kaitan dengan statusnya
dalam masyarakat, maka berarti dia sedang memainkan perannya. Di sini nampak sekali
hubungan antara status dengan peran, sebab tak ada peran tanpa adanya status, demikian
pula tak ada status kalau tak dinyatakan dengan peran.
Dalam kenyataan, status dan peran tak dapat dilepaskan dari pola-pola
masyarakat maupun perorangan yang bersangkutan. Misalnya, meskipun status maupun
peran tersebut bermula dari pola-pola masyarakat yang ada, namun pada tingkat tertentu
tergantung pada perorangan itu sendiri. Ketika seseorang individu memainkan perannya
atas dasar status yang didudukinya dalam masyarakat, sebenarnya orang tersebut telah
mengambil pilihan sikap ataupun tingkah laku tertentu sesuai dengan pertimbangannya.
Meskipun demikian tak dapat dipungkiri peranan pola-pola masyarakat, yang memberi
batasan terhadap status maupun peran tersebut. Kembali di sini nampak perlunya
penyesuaian terhadap pola-pola masyarakat pada setiap penampilan seseorang dalam
memainkan peran sesuai dengan status yang sesuai.
Jadi jelas, manakala tidak ada faktor dari luar yang menyela, maka makin
sempurna seseorang warga dalam melakukan penyesuaian dengan status dan peran
mereka dalam masyarakat, makin lancar kehidupan masyarakat berjalan. Namun proses
penyesuaian itu tidak mudah terjadi, karena setiap individu memiliki berbagai kebiasaan
yang telah tertanam sejak masa kanak-kanak, karakteristik individual, baik yang di-
peroleh karena kelahiran maupun yang diperoleh karena usaha. Faktor yang
menguntungkan ialah sifat manusia yang bisa diubah (mutable), yang memungkinkan
seseorang yang normal dapat dilatih untuk dapat secara tepat menampilkan peran apapun
yang diserahkan kepadanya. (Selo Soemardjan, 1961+, h. 261-267).
Pengertian-pengertian tersebut di atas memungkinkan kita dapat memahami
berbagai kecenderungan pendapat para remaja dalam menghadapi berbagai masalah
sosial, seperti yang dikehendaki oleh studi ini. Namun kita akan mendapat wawasan yang

45
lebih luas kalau kita mengikuti konsep-konsep psikologi sosial berikut ini, mengenai
masalah yang sama.

b. Role Enactment

Istilah 'role' atau peran dipinjam dari dunia drama atau teater, yang berarti ikut
ambil bagian atau posisi tertentu dalam sesuatu lakon. Dan orang yang ikut memainkan
peran tertentu atau ‘playing a role’ dalam lakon tersebut disebut pemain, pelakon atau
aktor, menurut Sarbin (1954). Dalam kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat setiap
warga masyarakat tidak lain merupakan pemain dalam drama masyarakat, karena masing-
masing harus memainkan perannya sesuai dengan statusnya. Layaknya sebuah drama,
maka setiap pemain akan tampil dengan mengikuti skenario tertentu. Theodore R. Sarbin
menyajikan teorinya mengenai peran tersebut, yang dianggap dapat menjembatani antara
individu dengan kelompok, dan dikenal sebagai ‘Role Theory’.
Masalah utama yang dihadapi oleh setiap warga masyarakat, menurut teori peran
tersebut, ialah bagaimana seharusnya setiap warga masyarakat memainkan perannya.
Pertanyaan tersebut mencakup tiga macam pertanyaan, yaitu masalah-masalah
‘appropriateness’, ‘propriety’ dan ‘convincing’ (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 490-
491).
Dengan ‘appropriateness’, dimaksudkan apakah perilaku yang diperbuat oleh
seseorang sesuai dengan posisi atau status yang didudukinya? Dengan perkataan lain,
apakah penampilannya tepat?
Dengan ‘propriety’, dimaksudkan apakah penampilan yang dilakukan itu patut.
dilihat dari penilaian orang lain? Artinya, apakah penampilan itu menurut penilaian baik
atau buruk? Sedangkan ‘convencing’ mengandung makna, apakah penampilan itu
meyakinkan atau tidak? Pertanyaan tersebut bertolak dari keraguan akan keabsahan
posisi yang diduduki seseorang individu.
Ketiga pertanyaan disekitar penampilan (role enactment) tersebut di atas,
sebenarnya timbul karema adanya kesenjangan di antara struktur sosial dengan perilaku
sebagai seseorang dalam memainkan peran sosialnya. Kesenjangan itu terjadi kalau
setiap warga masyarakat mengetahui dengan pasti harapan-harapan sosial mengenai

46
apa-apa yang ‘boleh’ dan yang ‘tidak boleh’ dilakukan, serta ‘bagaimana seharusnya’
melakukannya. Dengan mengetahui harapan-harapan sosial tersebut, setiap warga
masyarakat akan mengetahui peran apa yang ‘paling sesuai’ dengan psosisinya dalam
masyarakat, ‘agaimana sepatutnya’ harus tampil, serta ‘bagaimana cara’ tampil agar dapat
meyakinkan. Harapan-harapan sosial tersebut dalam kaitan dengan teori peran, disebut
‘role expectations’. Selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa ‘role expectations’ merupakan
kumpulan kognisi, yang terdiri dari keyakinan-keyakinan tentang hak dan kewajiban,
serta kemungkinan-kemungkinan yang subyektif mengenai bagaimana seharusnya
dilakukan, berkenaan dengan status atau peran yang disandangnya (Lindzey anld
Aronson, I, 1968, h. 498).
Dalam hal status ataupun posisi yang sifatnya formal, seperti jabatan maupun jenis
pekerjaan tertentu, tidak terlalu sukar untuk mengetahui harapan-harapan sosial yang
mengenai peran (role expectations’, sebab hampir setiap orang dapat membaca uraian
tugas (job description) yang dimaksud. Namun dalam hal-hal yang bersifat informal,
kesulitan itu mulai-nampak. Misalnya, dalam hubungan persahabatan. Dalam hal mi amat
terbatas warga masyarakat yang mengetahui uraian mengenai tugas dan kewajiban
sesuatu peran, karena biasanya tidak tertulis, sehingga hanya di kalangan tertentu saja
harapan-harapan sosial itu berlaku. Misalnya, terhadap jabatan ‘guru’ dituntut ‘role
expectations’ yang sudah pasti, namun sementara itu orang tersebut juga ‘badut’,
sehingga ‘role expectations’ terhadapnya menjadi bersifat khusus pula.
Proses sosialisasi dalam kaitan dengan teori ini, ialah suatu proses sosial di mana anak
belajar dari kehidupan masyarakat untuk dapat menghayati tata nilai masyarakat,
sehingga dapat memainkan peran sosial mereka dengan tepat, pantas, serta meyakinkan
sesuai dengan ‘role expectations’. Jadi sosialisasi tidak lain adalah suatu ‘role learning’,
yang merupakan hakekat dari ‘social and cultural learning’.
Peran atau ‘role’ diartikan sebagai organized set or behaviors that belongs to an ident-
ifieble position, and this behaviors are activated when the position is occupied' (Lindzey
and Aronson, I, 1968, hal. 545). Jelas di sini bahwa peran itu merupakan peri1aku sosial,
dan perilaku itu berkaitan dengan posisi dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskan,
bahwa peran itu harus diperoleh melalui proses belajar dalam kaitannya dengan pola
kognisi yang teratur dari keseluruhan peran warga masyarakat lainnya sebagai suatu

47
keutuhan. Oleh karenanya peran baru dapat dimengerti dan berrungsi kalau sudah terlibat
dengan interaksi sosial. Di sini pula selanjutnya dapat dimengerti mengapa peran
disangkut pautkan dengan hak dan kewajiban dalam kaitan dengan posisi seseorang
sebagai warga masyarakat.

Sebelum rnunculnya teori peran, sosialisasi hanya dikaitkan dengan proses pengasuhan
masa kanak- kaak, yang tertuju pada gejala idendifikasi, agresi, serta dependensi anak.
Untuk itu pembahasan banyak bertumpu pada teori-teori Freud mengenai psikoanalisis
yang berkaitan dengan urusan perkembangan kepribadian, sehingga orang lebih banyak
berbicara dengan menggunakan studi motivasi. Selain itu orang banyak menggunakan
teori tingkah laku (behavioral theory), yang mendasarkan pada prinsip S-R (Stimuli and
respons). Teori tentang ‘learning’ yang mendasarkan pada pendekatan tingkah laku itu
dipelopori oleh Waston, yang mengartikan unit S-R itu sebagai suatu refleks, sementara
Hill mengartikannya dalam artian kebiasaan (habit), dan Skinner mengartikan sebagai
suatu dominasi lingkungan atas respons.
Pendekatan- pendakatan psikologis semacam itu ternyata bersifat sempit, sebab
hanya menganggap gejala atau kecenderungan kepribadian manusia itu semata-mata
sebagai aktivitas psikis (internal), dan memandang manusia sebagai mesin yang dapat
dikontrol dengan rangsangan tertentu. Saupai akhirnya Bandura dan Walter (1963)
mengemukakan pandangannya mengenai peranan lingkuugan sosial dalam proses
‘learning ( L.A. Parvin, 1975, h. 363 - 390).
Menurut Bandura dan Walter, dalam sosialisasi anak-anak secara bertahap
belajar dari orang dewasa bagaimana seharusnya berperilaku dalam situasi dan kondisi
tertentu. Dengan perkataan lain, mereka belajar bagaimana harus berperan dalam kondisi,
dan situasi tertuntu. Dengan jelas mereka nengatakan bahwa ‘The learning is shaped in
large part by reinforcement from parents and by imitation of the behavior of others'.
Sementara itu yang terjadi di kalangan orang-orang dewasa, ialah mereka bertanya dan
akhirnya mengetahui bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku.
Pencarian itu dilakukan sebelum orang-orang tersebut menduduki sesuatu
posisi. Dikatakan oleh Merton, misalnya, bahwa “… individual can acquire role expect-
ations by learning, long before he is ready to occupy the social position, through the

48
process of anticipatory socialzation” (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547).
Nampaknya dari sudut teori belajar ini dapat dipetik sebuah pengertian, bahwa
sosialisasi dipisahkan dengan enkulturasi, meski dua-duanya berkaitan dengan peran
juga. Sosialisasi diartikan sebagai suatu proses untuk penguasaan atas peran (role) dari
posisi yang diturunkan (ascribed position), seperti jenis kelamin, usia dan sebagainya,
sedang enkulturasi diartikan sebagai proses penguasaan atas peran (role) dan posisi
seseorang yang diperoleh sebagai hasil belajar (achieved posision). Kecuali itu,
terkanduug juga pengertian, bahwa proses sosialisasi berlangsung dalam lingkungam
keluarga, sedangkan enkulturasi berlangsuug manakala anak sudah hidup di dalam
pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas.

c. Konformitas dalam Berperan

Tinjauan proses sosialisasi, baik dalam tingkat hubungan dalam keluarga maupun
dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, adalah terjadi keserasian di antara
penampilan seseorang dalam memainkan peran sosial (role enactment) dengan harapan-
harapan sosial mengenai bagaimana seharusnya seseorang tampil memainkan peran
sosial (role expectations). Kondisi semacam itu dikenal sebagai konformitas. Kegagalan
dalam memenuhi kondisi semacam akan menimbulkan adanya celaan, bahkan tindakan
pengucilan yang datang dari kelompok terhadap orang atau wargaa masyarakat yang
bersangkutan. Dengan begitu, misalnya, seorang ayah akan tampil sesuai dengan
kedudukannya sebagai ayah. Kalau keseraaian itu tidak terjadi, maka ayah tersebut akan
mendapat celaan mengenai ketepatan, kelayakan dan tingkat meyakinkan dalam
nemainkan peranan sebagai ayah.
Contoh lain lagi berupa kekalahan PSSI pada hampir seluruh pertandingam
internasional, akan dianggap sebagai tidak adanya konformitas di antara ‘role enactment’
dengan ‘role expectations’ yang berkenaan dengan PSSI tersebut. Lalu masyarakat
pecinta persepakbolaan di Indonesia menjadi teramat kecewa, sehingga tercetuslah
berbagai bentuk keluhan maupun celaan terhadap PSSI tersebut. Kesalahfahaman sering
terjadi di dalam masyarakat, karena masyarakat sering salah memperkirakan keadaan,
terutama yang berkaitan dengan keadaan warga masyarakat yang lainnya. Salah satu

49
akibatnya, ialah warga masyarakat adakalanya menuntut terlampau banyak dalam
penampilan warga masyarakat, sehingga akan sering terjadi jarak yang terlampau besar.
Untuk itu dirasakan perlunya kejelasan dalam ‘role expectations’ agar terjadi perilaku
yang jelas pula.
Paling tidak ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan masalah
tersebut di atas, yaitu : 1). kejelasan informasi, 2). kesamaan pengertian, dan 3).
kesamaan tafsir. (Lindzey and Aronson, I, 1968,h.503).
Menurut Bateson (1956), salah satu hambatan bagi terjadinya konformitas dalam
penampilan warga masyarakat, ialah tidak jelasnya informasi mengenai harapan-harapan
sosial berkenaan dengan peran-peran warga masyarakat tersebut dalam masyarakat.
Kemungkinan yang terjadi sebagai akibatnya ialah terjadinya hambatan bagi terjadinya
komunikasi. Ini sama dengan kesalahfahaman yang dapat menjauhkan dari terjadinya
saling pengertian. Bagi sipelaku sendiri, keadaan tersebut menimbulkan keragu-raguan
dalam melaksanakan peran selanjutnya.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi, ialah bahwa pada sub kelompok yang satu
informasi itu diterima secara jelas, sementara pada sub kelompok yang lain informasi
tidak diterima secara jelas. Ini berarti , bahwa di antara warga masyarakat tidak terdapat
konsensus atau kesamaan pengertian terhadap informasi yang seharusnya sama.
Bilamana ‘role dissensus’ tersebut terjadi di antara dua generasi atau dua kelompok
warga masyarakat, ataupun warga masyarakat yang telah mapan dengan yang baru
datang, maka salah faham dapat saja terjadi. Dan konformitas menjadi sesuatu yang tipis
sekali kemungkinan terjadinya.
Studi Corner, Greene, dan Walter (1958), menemukan, bahwa makin kecil unit
interaksi, makin besar kemungkinan konsensus dapat terjadi. Misalnya, pada pasangan
suami istri lebih besar kemungkinan terjadi konsensus, dibanding dalam unit interaksi
antara ayah dengan anak. Demikian pula kemungkinan terjadi konsensus lebih banyak
terjadi pada unit interaksi ibu dan anak, bila dibanding dengan yang terjadi dalam
unit interaksi antara ayah dan anak.
Selanjutnya, peranan perseepsi atau penafsiran terhadap informasi yang datang, yang
berisi harapanharapan sosial mengenai peran sosial yang seharusnya, juga besar dalam
memahami seauatu peran. Terutama yang dimaksud oleh Slater (1960), ialah perbedaan

50
tafsir yang terjadi di antara sesama warga dengan karakteristik yang berbeda. Sehingga
misalnya, sama-sama remaja akan mempunyai kecenderungan penampilan yang berbeda,
karena pemahaman mengenai hak dan kewajiban berkenaan dengan status dan posisi
mereka dalam masyarakat berbeda. Sebaliknya, konformitas dapat terjadi karena motivasi
yang berbeda-beda pula, dan bahkan barangkaii tidak ada hubungannya dengan sesuatu
peranan yang dimainkan, namun terjadi karena adanya sensitivitas seseorang dengan
kemungkinan reaksi yang timbul dari orang lain. Jadi dalam hal ini, konformitas terjadi
sebagai akibat adanya pengamatan dari fihak lain, menurut hasil studi Stouffer dan Toby
pada 1951 (Lindzey and Aronson, I ,1968, h. 502-503)
Kemungkinan yang lain, konformitas juga dapat terjadi, karena orang merasa
berkewajiban untuk dapat menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, atau karena merasa
terikat dengan posisi serta statusnya dalam masyarakat. Dalam hal ini konformitas terjadi
karena ada kesejajaran antara tugas dengan pelaksanaannya. Dalam sektor informal, yaitu
pada unit interaksi sosial di luar lembaga persekolahan, hambatan untuk terjadinya
konformitas itu lebih besar, karena tingkat kejelasan pada informasi mengetahui ‘role
enactment’ dengan ‘role expectations’ sangat rendah. Oleh karenanya diperlukan kehati-
hatian dalam memberikan analisis ataupun penjelasan terhadap gejala yang timbul di
sekitar konformitas kaum remaja.

9. PENDAPAT MENGENAI MASALAH SOSIAL

Pada bagian ini akan dikemukakan pembicaraan di sekitar pendapat,


remaja, dan masalah sosial, yang merupakan pengejawantahan dan keterlibatan
remaja sebagai bagian dari warga masyarakat
.
a. Pendapat sebagai Ekspresi Kebersamaan

Hasil proses sosialisasi akan terlihat pada sikap warga masyarakat, apakah
menunjukkan konformitas atau bahkan non konformitas, terhadap tata nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Sikap itu tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya

51
kedewasaan warga masyarakat. Ketiga komponen sikap, yang terdiri dari kognisi,
afeksi dan konasi (kecenderungan untuk berbuat) dalam menghadapi sesuatu obyek
dalam masyarakat, ikut pula tumbuh dan menjadi sikap yang kokoh. Menurut Krech,
“As the individual develops, his cognition, feeling, and action tendencies with respect
to the various objects in his world become organized into enduring system called
attitudes” (Krech, et al., l962, h. 137). Sejak itu tindakannya menjadi stereotype, dapat
diduga sebelumnya, serta konsisten, yang memungkinkan kehidupan sosial dapat
berjalan dengan baik.
Di dalam sosiologi maupun psikologi sosial sikap digunakan lebih-lebih dalam
kaitan dengan interaksi sosial. Sudah sejak lama para ahli ilmu tingkah laku manusia
mernperbincangkan konsep sikap itu. Dan mereka sudah sampai pada titik di mana
sikap harus diartikan sebagai “suatu neuro-psikik dan kesiapan bagi aktivitas mental
serta fisik”, seperti dikatakan oleh Ailport (1967).
Semula hanya para ahli psikologi saja yang merasa berkepentingan untuk
memperbincangkan masalah sikap itu, sampai kemudian Thomas dan Znaniecki meng-
gunakan konsep tersebut dalam studinya rnengenai kaum tani Polandia (1918). Menurut
mereka studi mengenai sikap itu paling cocok kalau digunakan dalam psikologi sosial,
sehingga oleh mereka dimunculkan definisi berikut ini, yaitu sikap sebagai suatu “ …
proses mental seseorang yang menentukan respon tiap orang… “, baik potensial maupun
yang dinyatakan, dalam pergaulan hidup bersama. Lebih tegas lagi Fishbein menyatakan,
bahwa “Attitude are individual mental process with determine both the actual and
potential responses or each person in the social world” (Fishbein, 1967, h. 6).
Pendapat erat hubungannya dengan sikap. Menurut Hovland dan kawan-kawan
(1955), perbedaan antara pendapat dengan sikap ialah, bahwa pendapat dapat di-
nyatakan secara lisan, sedangkan sikap kadang-kadang diantarai oleh proses-proses non
verbal atau bahkan ‘tak disadari’. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pendapat merupakan
jawaban atau respon, sedangkan sikap adalah predesposisi atau kesiapan respon itu
sendiri. Jadi, pendapat merupakan respon verbal atau dinyatakan secara tertulis, yang
selalu disadari sedangkan sikap adalah predesposisi respon, baik vebal ataupun non
verbal, yang disadari atau tidak disadari. Sedangkan Thurstone (l927) menyatakan arti
konsep pendapat sebagai pernyataan verbal dari sikap. Oleh karena pendapat

52
mewujudkan keadaan kesiapan mental (predesposisi), maka pendapat dapat diukur un-
tuk melihat sikap.
Sikap sebenarnya hanya berkaitan dengan keadaan mental orang-seorang
(individual), sehingga manakala dipertanyakan mengenai kecenderungan sikap sejumlah
individu, maka yang dapat dilakukan sebetulnya suatu sensus pendapat (Sencus of
opinions). Jadi, gambaran yang kemudian muncul adalah suatu pendapat umum atau
‘'public opinions’.
Cara untuk memperaleh gambaran pendapat sesuatu kelompok mengenai sesuatu
isu, ialah dengan menghitung sejumlah kartu suara yang berisi pendapat individual
(ballots) dan kemudian mentabulasinya. Dengan cara itu dapat diperoleh distribusi
pendapat umum, dan tidak mengenai kadar atau intensitas pendapat orang mengenai
sesuatu isu sosial. Sebaliknya, yang diperoleh adalah gambaran relatif berupa prosentase
atau proporsi sesuatu kecenderungan arah pendapat tersebut. Cara semacam itu pernah
dikembangkan dalam studi-studi mengenai sensus pendapat sejumlah mahasiswa, yang
dilakukan oleh Katz dan Allport (1931).
Dalam studi atas sejumlah 4248 orang mahasiswa Universitas Syracuse di
Amerika Serikat, para mahasiswa tersebut tidak menuliskan pendapat (opini) mereka
mengenai sesuatu isu, melainkan memberikan pilihan atas sejumlah pernyataan, yang
dianggap paling cocok atau paling mereka setujui (Fishbein, l969, h. 5-10).
Dilihat dari teori peran (role theory), pendapat merupakan ekspresi dari warga
masyarakat sebagai partisipasi dalam menghadapi berbagai isu dalam masyarakat. Dan
ekspresi tersebut tidak lain adalah penampilan secara verbal atau tertulis yang
ditunjukkan oleh warga masyarakat dalam posisi dan status tertentu dalam masyarakat.
Dengan melihat jawaban atau pendapat yang menunjukkan persetujuan atau tidak
persetujuan dari seseorang atas sejumlah isu sosial, yang dikemukakan kepadanya, akan
diketahui kecenderungan respon orang tersebut mengenai sesuatu masalah yang sedang
disukan. Isu-isu sosial yang dikemukakan tersebut bisa disusun berdasarkan hasil
penilaian sekelompok anggota madyarakat yang lain, sehingga dari pendapat yang
diberikan oleh anggota masyarakat yang lain lagi, dapat diketahui kecenderungan
konformitas atau keserasian di antara sesama anggota masyarakat tersebut.
Dengan menyerahkan sejumlah pernyataan yang berisi hasil penilaian

53
sekelompok warga masyarakat tersebut, berdasarkan nilai yang mereka hayati, se-
benarnya diharapkan orang lain akan memberikan pendapat sesuai dengan harapan-
harapan sosial yang ada. Apalagi kalau pernyataan-pernyataan tersebut diberikan kepada
sekelompok warga baru atau sekelompok remaja yang merupakan anggota generasi baru,
maka diharapkan pula muncul pendapat yang menunjukkan keserasian atau ketidak
serasian dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dan karena pendapat-
pendapat tersebut menurut Thurstone (l967) di muka, merupakan perwujudan dari pre
disposisi yang ada, dapatlah kemudian diketahui kecenderungan sikap yang ada pada
sekelompok warga masyarakat yang memberikan pendapat tersebut.
Sementara itu berbagai penelitian menunjukkan bukti bagaimana peranan sikap
dalam kerangka interaksi sosial. Paling tidak ada dua hal dapat diketahui dari
kecenderungan sikap tersebut.
Pertama-tama, sikap mempunyai makna sebagai penyesuaian sosial, yaitu sejauh mana
keserasian dengan sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat pada umumnya dalam
masyarakat. Misalnya, sikap yang ditunjukkan oleh sekelompok warga masyarakat, yang
menunjukkan ‘anti Yahudi’, misalnya, mungkin bukan karena mereka memang anti
Yahudi, melainkan timbul karena menurut anggapan mereka masyarakat tidak
menyenangi orang Yahudi. Gejala ini disebut sebagai ‘Utilitarian (adaptive)
functions’, seperti dikemukakau oleh hasil studi Smith, Bruner dan White (1956). Sikap
juga mempunyai peranan untuk menyatakan perasaan atau realisasi diri seseorang, yaitu
- untuk menunjukkan kepada orang lain identitas dirinya, dengan jalan mengambil sikap
atau memberikan pendapat tertentu mengenai sesuatu isu. Dengan cara tersebut seseorang
membuat dirinya bermakna dalam masyarakat. Inilah yang disebut sikap sebagai
‘Exprssive (self-realizing) functions’.
Dengan cara inipun seseorang dapat melakukan internalisasi nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat, atau memodifikasi kelakuan mereka (Lindzey and Aronson, III, h.
158-160).
Dengan mengetahui pendapat orang mengenai sesuatu isu, dengan demikian dapat
diketahui kecenderungan-kecenderungan (disposisi) kelakuan yang akan ditunjukkan,
sebagai suatu ‘role enactment’ berkaitan dengan posisi atau status orang tersebut dalam
masyarakat.

54
b. Masalah Sosial

Uraian di muka memberikan pengertian kepada kita, bahwa sosialisasi akan bertujuan
agar respon maupun tingkah laku remaja, sebagai bagian warga baru masyarakat
(generasi baru), yang merupakan ekspresi atau respon terhadap lingkungan hidupnya,
dapat sesuai dengan harapan-harapan sosial, yang telah dikomunikasikan selama interaksi
sosial berlangsung, Dan manakala kemudian terjadi suatu keadaan di mana warga
masyarakat menunjukkan sikap atau tingkah laku yang tidak serasi dengan tata nilai
masyarakat, timbullah masalah. Dalam sosiologi keadaan atau situasi sosial semacam itu
dikenali mengandung adanya tiga gejala, sebagai berikut
.
1) Pelanggaran terhadap norma yang berlaku
2) Pelanggaran itu terjadi cukup sering, yang mengguncangkan sejumlah
besar warga masyarakat
3) Sebagai akibatnya timbullah upaya-upaya untuk menanggulanginya

(Rubington and M.S. Weinberg, 1971, h. 7)

Dengan perkataan lain dapat dikatakan , bahwa situasi semacam itu tidak
cocok dengan nilai-nilai sejumlah besar warga masyarakat yang meyakinkan, hingga
mereka setuju untuk adanya tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Yang mendapat
penekannan di sini ialah adanya situasi yang tidak dikehendaki adanya dalam
masyarakat, dan oleh karenanya masyarakat berusaha meniadakan situasi seperti itu. Para
ahli sosiologi ada yang menyebut situasi yang demikian itu sebagai suatu patologi sosial
(social pathology), yaitu suatu keadaan yang tidak sehat, yang ditimbulkan oleh
hubungan sosial yang tidak beres (maladjustment). Hal tersebut terjadi karena ada
kekurangan dalam proses penyesuaian warga masyakat dalam struktur masyarakat, dan
kurangnya jalan untuk berbuat sesuatu, atau kurangnya pranata sosial yang berfungsi
untuk mengembangkan kepribadian para warganya (E. Rubington and M.S. Weinberg,

55
1971, h. 17).
Kemudian muncullah gejala-gejala yang tidak dikehendaki oleh sebagian
warga masyarakat, seperti kenakalan remaja, kemiskinan, kejahatan seks, pelanggaran
aturan lalu lintas, kebrandalan, alkoholisme, penyalahgunaan obat bius, korupsi, hidup
bersama di luar nikah, pengguguran kandungan, perceraian, pelauran, dan sebagainya.
Biasanya gejala-gejala semacam itu timbul dalam masyarakat yang sedang mengalami
perubahan (socal change), karena adanya proses migrasi, urbanisasi, industrialisasi,
modernisasi, dan sebagainya. Dalam situasi perubahan itu, biasanya timbul suatu
kelambanan dalam kelangsungan budaya, yang dikenal sebagai ‘social lag’ atau ‘cultural
lag’. Pada saat itu laju perubahan dalam teknologi tidak diimbangi dengan laju
perubahan sikap mental untuk menunjang kemajuan teknologi tersebut. Hal itu
disebabkan kurangnya kesiapan mental pembangunan dalam mengiringi kepesatan aspek
pembangunan fisik. Biasanya keadaan semacam itu diiringi dengan timbulnya konflik
antar budaya, konflik antar generasi, konflik antar pandangan hidup, konflik antara kota
dan desa, ketika para petani harus pindah dari desa ke kota untuk mencari kerja dan
sebagainya.
William I. Thomas dan Florian Znaniecki menyebut situasi semacam itu sebagai
suatu kekacauan sosial (social disorganization), yang hakekatnya merupakan
kemerosotan pengaruh aturan atau norma hidup di matamasyarakat. Dalam peralihan dari
masyarakat tradisional ke masyarakat progresif, terlihat gejala memudarnya atau
melemahnya unsur lama, sementara unsur baru belum lagi diterima sepenuhnya. Ini
merupakan bukti kegagalan masyarakat dalam mengontrol warganya. Keadaan itu pula
yang menurut Cooley, adalah ikibat perpindahan status masyarakat yang primer dan
guyub (primary group) ke masyarakat yang se kunder (secondary group). Dalam hal mi,
norma-norma lama dari ‘primary group’ tidak lagi cocok dengan kondisi baru, yaitu
‘secondair group’. Itulah sebabnya Wililiam F. Ogburn menyebutnya sebagai suatu
‘cultural lag’, di mana manusia lebih cepat menerima teknologi dibanding dengan
gagasan modernisasi itu sendiri.
Dengan cara lain dikatakan, bahwa pembaharuan dalam bidang materill lebih cepat
diterima dari pada yang bersifat immaterial (E. Rubington and M.S. Weinberg, 71, h.
48).

56
Perlu kiranya diketahui, bahwa keadaan seperti tersebut di atas sangat bersifat
relatif, dalam arti bahwa ada atau tidaknya masalah sosial itu tergantung pada bagaimana
reaksi masyarakat, atau tergantung pada ‘tahu atau tidaknya’ masyarakat terhadap situasi
tersebut. Demikian pula ‘adanya’ sesuatu masalah sosial tergantung pada fihak pengamat.
Biasanya peranan pengamatan itu dipegang oleh fihak yang memberi penilaian
atas tingkah laku sosial, seperti orang tua, penguasa, guru, pemimpin non formal dalam
masyarakat dan sebagainya, yang seringkali kita ketahui hasil penilaian itu dari media-
media masa.
Proses perubahan sosial, yang diikuti oleh pergeseran nilai atau erosi nilai, membawa
kemungkinan bagi berubahnya cara memandang sesuatu gejala sosial, sehingga berubah
pula kualifikasi sesuatu masalah sosial. Oleh karena itu, diperlukan kembali penjaringan
terhadap penilain atau pandangan masyarakat mengenai sejumlah isu sosial yang
terdapat di dalam masyarakat, pada suatu kurun waktu yang memadai. Caranya, misalnya
dengan membagikan sejumlah angket berisi seperangkat isu sosial kepada sejumlah
warga masyarakat yang dianggap mewakili masyarakat, untuk dimintakan penilaian dan
pertimbangan mereka, apakah isu-isu sosial tersebut dianggap masalah sosial atau
bukan. Adalah wajar kalau masyarakat selanjutnya mengharapkan agar warga baru
masyarakat memberikan pendapat yang tidak berbeda dengan penilaian generasi tua
tersebut. Kesamaan penilaian di antara sesama warga masyarakat terhadap sejumlah
masalah sosial itu menunjukkan kecenderungan konformitas di antara warga masyarakat
tersebut. Dengan demikian adalah wajar kalau generasi tua menaruh harap atas terjadinya
konformitas pendapat terhadap berbagai masalah yang sama tersebut.

10. RELEVANSI SOSIAL BUDAYA

Di depan telah dikemukakan, bahwa dari pandangan sosiologis, proses


sosialisasi telah memperkenalkan norma, nilai serta sanksi-sanksi sosial kepada para
warga baru sesuatu masyarakat ketika mereka melakukan adaptasi dalam sesuatu
masyarakat. Sejak saat itu setiap individu menyerahkan diri pada keterikatan-keterikatan
lingkungan sosial budaya. Hal tersebut terjadi, lebih-lebih dalam hubungannya dengan
adanya dimensi sosial-kebersamaan. Dengan adanya dimensi sosial-kebersamaan ini

57
manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup secara berkelompok, yang didasarkan
pada kecenderungan yang naluriah maupun nalariah. Dalam kehidupan yang penuh
kebersamaan tersebut terjadilah pembagian peran dalam kerangka kehidupan Kolektif,
yang menimbulkan beban hidup menjadi makin ringan. Demikian juga disadari bahwa
dalam kehidupan kolektif semacam itu, di samping kepentingan - kepeutingan pribadi,
maka kepentingan kolektif harus pula diperhitungkan. Itulah sebabnya setiap individu
menjadi terikat oleh saling membutuhkan, saling memenuhi dan saling mendapat
manfaat.
Dengan kata-kata lain di antara warga tersebut terjalin hubungan yang bersifat
saling tergantung. Durkheim menyebut solidaritas yang mendasari hubungan itu sebagai
bersifat ‘organik’. Dalam kerangka pengertian itu dapatlah dimengerti,
mengapa individu hanya mempunyai arti kalau dalam kehidupan bersama. Di sana
perkembangan individu mendapat tekanan dari pola-pola nilai kolektif dari lingkungan
sosialnya, yang ternyata merupakan unit unit yang khas. Setiap unit mempunyai
karakteristik dan kadar tekanan tersendiri, karena sifat hubungan yang terdapat di
dalamnya.

a. Kedudukan Individu Dalam Lingkungan

Hubungan yang terjadi karena ikatan biologis dalam lingkungan keluarga,


membuat hubungan tersebut menjadi bersifat bio1ogis, psikologis dan sosiologis Kadar
keterikatan individu dalam relevansi sosialnya sangat tinggi, karena didasari sifat
hubungan yang genealogis, sehingga keterikatannya bersifat mutlak. Hubungan-
hubungan khusus yang disebut hubungan kekerabatan itu, pada daerah-daerah tertentu
bahkan membentuk hubungan komunitas, seperti yang terjadi dalam masyarakat
Tapanuli, Minahasa dan sebagainya. Semuanya dapat dijelaskan dengan konsep-konsep
Antropologi.
Sementara itu individu juga merupakan bagian dari kelembagaan tertentu, yang
merupakan sub sistem masyarakat yang terbentuk atas dasar legitimitas dan legalitas.
Ini berarti, bahwa lembaga tersebut kecuali merupakan kenyataan subyektif untuk
sebagian warga masyarakat, juga merupakan hasil ketentuan hukum tertentu.

58
Dalam sub sistem yang bernama lembaga ini kedudukan maupun hak dan
kewajiban yang mendasari seluruh penampilan peran yang ada, sudah dibakukan, atas
dasar moral, adat serta hukum yang berlaku. Ini berarti individu mengalami keterikatan
dengan lembaga berdasarkan pola hubungan yang baku. pula. Di dalam sosiologi,
komunitas diartikan sebagai satuan kebersamaan hidup sejumlah orang, yang memliki
ciri-ciri tertentu, yaitu : (a) teritori yang terbatas, (b) keorganisasian tata kehidupan
bersama, dan (c) berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai yang kolektif. Demikian
menurut Poplin (1960) dalam ‘Communities’ (John S. Nimpoeno,1980, h. 6-11).
Komunitas merupakan sub sistem yang mencakup individu-individu, keluarga-
keluarga, lembaga-lemba ga yang terjalin dalam hubungan yang interdependen. Jelaslah
bahwa struktur komunitas menjadi lebih rumit. Sebagai sebuah sub sistem, koraunitas
diwarnai oleh orientasi nilai-nilai yang diakui oleh warganya, yaitu pola kebudayaan
yang berlaku dalam komunitas tersebut. Dengan demikian, seluruh aktivitas,
kecenderungan tingkah laku serta penampilan warga masyarakat terikat oleh pola
kebudayaan serta orientasi nilai yang berlaku. Namun kedudukan serta peran yang
dimainkan dalam sesuatu komunitas oleh sesuatu individu tidak bersifat langsung,
melainkan teiah diwadahi oleh sub sistem yang lebih kecil, yaitu keluarga maupun
lembaga tempat individu tersebut menjadi warganya secara langsung. Ini berarti, bahwa
pengaruh atau tekanan sosial budaya yang datang dari komunitas, berjalan melewati sub
sistem-sub sistem tersebut. Proses internalisasi nilai yang berlaku dalam komunitas
tersebut berlangsung lewat proses sosialisasi yang sudah berlangsung sejak dalam
keluarga, dan diteruskan di dalam lembaga persekolahan, misalnya.
Agak berbeda dengan pengertian komunitas (community) maupun keluarga,
maka masyarakat (society) merupakan lingkungan sosial yang abstrak, di mana aspek
kawasan tidak begitu ditekankan, sementara penekanan diberikan kepada aspek-aspek
keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif, sebab menunjuk pada kadar integrasi
masyarakat. Kecuali itu lingkungan sosial ini bersifat makro, karena masyarakat pada
hakekatnya terdiri dari sekumpulan komunitas yang memiliki karakteristik yang mungkin
tidak sama satu dengan lainnya. Sedang masing-masing komunitas itupun mencakup
sejumlah lembaga dan keluarga, dan pada gilirannya juga terdri dari sekumpulan
individu.

59
Bangsa (nation) yang dimaksud dalam uraian mi merupakan kenyataansosial
yang diperkuat oleh legitimitas maupun legalitas, seperti halnya lembaga, hanya memiliki
cakupan yang lebih besar (makro). Dan seperti alnya masyarakat, angsa di sini
mencakup sejumlah komunitas, lembaga dan individu, yang masing-masing memiliki
karakteristik yang mungkin berbeda-beda. Hubungan antara individu dengan bangsa
terwadahi dalam berbagai status, posisi maupun peran, yang tersalurkan lewat kesatuan-
kesatuan sosial yang lebih nyata, seperti keluarga maupun lembaga. Artinya wawasan
kolektif maupun norma-norma kolektif disalurkan pula lewat kelembagaan ataupun
keluarga, yang mempunyai sifat hubungan yang lebih konkrlt.
Milville J. Herskovits (1955) mengemukakan tentang adanya lebih dari seratus
batasan mengenai kebudayaan, yang masing-masing seperti saling melengkapi. Ini
menunjukkan, baliwa kebudayaan mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga
nampaknya dapat diterima batasan yang agak umum tentang kebudayaan. Yaitu segala
hasil cipta, rasa dan karsa masyarakat. Namun mengapa seringkali dua kata itu
dinyatakan dalam satu nafas sebagai sosial budaya? Dan kedua kata itupun sama-sama
menjadi bahan kajian dua ilmu yang berbeda, yaitu antropologi budaya dan sosiologi,
meski masing-masing mempunyai kekuasan dalam analisis. Sementara itu psikologi
sosialpun menaruh minat terhadap pengkajian kebudayaan, dalam kerangka aktivitas
serta perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan hidupnya.
Agak sulit melakukan pemisahan pengertian di antara kedua istilah tersebut,
yaitu masyarakat dan kebudayaan. Seperti kita ketahui, kebudayaan tidak mungkin
lahir di luar kehidupan masyarakat, sementara masyarakat beserta bagian-bagiannya tidak
lain adalah hasil kebudayaan itu sendiri. Namun yang lebih menarik untuk dibicarakan,
ialah kenyataan bahwa keduanya berhubungan dengan aktivitas dan kelakuan manusia,
balk individual maupun secara kolektif, secara dua arah.Hubungan di antara kebudayaan
dengan individual tidaklah hanya tunggal arus, karena dalam waktu yang bersamaan
terjadi hubungan dua arus di antara keduanya. Di satu flhak, kebudayaan memberi
pengaruh secara mendalam kepada perilaku manusia, sehingga melahirkan kemantapan
(stabilitas) sesuatu masyarakat dan kelangsungan hidup kebudayaan. Di lain fihak, orang
seorang maupun secara kelompok, juga memberi pengaruh terhadap kebudayaan
tersebut, sehingga terjadilah perubahan sosial sepanjang masa (Krech et al., l962, h. 34l).

60
Selanjutnya kalau kita terima batasan kebudayaan sebagai ‘designs for living’
atas setiap individu, yang tercermin pada seluruh pernyataan (ekspresi) warga
masyarakat yang mengacu pada kebudayaan masyarakat itu. Keterikatan semacam itulah
yang diartikan sebagai keterikatan pada relevansi sosial budaya dari seseorang warga
masyarakat, yang tercermim pada seluruh ekspresinya.
Secara akademis dan teoritik, kedua pengertian tersebut, kemasyarakatan dan
kebudayaan, dapat dibedakan secara lebih nyata, karena masing-masing pengertian
tersebut dapat dihubungkan dengan aspek- aspek yang berbeda.Dengan mengikuti
pandangan Bierstedt (1970) misalnya dalam bukunya ‘The Social Order’ , pengertian
kebudayaan mencakup tiga komponen, sebagai berikut
1) Keyakinan-keyakinan (beliefs)
2) Nilai-nilai dan norma-norma (values and norms)
3) Bentukan materi (formed matter)

Kebudayaan manusia itu bermula dari kekayaan batin yang berujud


keyakinan-keyakinan yang dapat mendasari seluruh aktivitas duniawi, dan secara umum
dapat dikenali sebagai ‘ideologi’. Keyakinan keyakinan tersebut selanjutnya mengendap
dalam rumusan-rumusan mengenai baik dan buruk, benar dan salah dan sebagainya, dan
selanjutnya muncul pula dalam permukaan dalam wujud kaidah-kaidah hidup mengenai
apa-apa yang seyogyanya dilakukan dan mana yang seyogyanya tidak diperbuat oleh
warga masyarakat. Dan ketika mereka harus menghadapi kenyataan hidup, manusia
mulai menciptakan bentukan-bentukan materi sesuai dengan kaidah-kaidah yang mereka
yakini, guna melakukan jawaban atas tantangan hidup yang mereka hadapi. Seluruh
ekspresi materiil ini dikenali sebagai memberi corak terhadap bidang ilmu dan teknologi.
Selanjutnya kemasyarakatan mengandung pengertian yang dihubungkan dengan
komponen-komponen yang berbeda lagi, menurut Poplin (1960) dalam bukunya
‘Communities’, yang terdiri dari

1) Adanya territorium terbatas


2) Adanya suatu keorganisasian kehidupan bersama (social order)
3) Adanya nilai-nilai kolektif (collective values), yang tercermin dalam

61
kondisi solidaritas sosial
(J.S. Nimpoeno, 1980, h.29)
Yang menonjol dari pengertian kemasyaraatan ialah adanya struktur dengan peranan
yang teratur sesuai dengan posisi dan status tertentu dari setiap mdividu warga
masyarakat tersebut, yang mengarah pada kecenderungan ketundukan pada nilai-nilai
kolektif. Pengaruh nilai-nilai kolektif tersebut nampaknya hanya terjadi terhadap warga
masyarakat, yang pada hakekatnya merupakan sub sistem dan sesuatu sistem sosial
tertentu. ‘Mekanisme’ terjadi, sekali lagi oleh karena masyarakat merupakan suatu
sistem yang terjalin dalam suatu solidaritas ‘organik’.
Sebaliknya, Melville J. Herskovits memandang kebudayaan sebagai suatu yang
‘superorganik’, karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap
hidup terus, meskipun orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti
disebabkan kematian dan kelahiran (Selo Soemardjan, 19-64, h. 114-115). Sifat yang
‘superorganik’ itu memungkinkan orang-orang baru yang berada di luar pemilik sesuatu
kebuadayaan tersebut, merasakan pengaruh pola kebudayaan tersebut dalam sikap, cara
berfikir maupun perilaku orang tersebut, seperti dirasakan atau dialami masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut.
Gejala semacam itu merupakan contoh dan kebenaran pengertian ‘cultural
determinism’, yang dikemukakan oleh Herskovits maupun Malinowski. Para ahli
sosiologi barangkali lebih suka menggunakan istilah ‘social determinism’ untuk gejala
yang sama. Kedua pengertian tersebut mengandung arti, bahwa unsur-unsur kebudayaan
atau kemasyarakatan mendorong para anggota masyarakat atau komunitas tertentu untuk
menyesuaikan diri dalam sikap, pendapat, cara berfikir ataupun kelakuan pada
lingkungan kemasyarakatan tertentu tersebut.
Dengan pengertian-pengertian ‘cultural determinism’ maupun ‘social determinism’
ini kita dapat mewadahi pendapat Spranger tentang adanya enam nilai dasar yang
melandasi sikap dan perilaku yang diambil oleh manusia. Keenam nilai dasar tersebut,
ialah nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai estetis, nilai agama dan nilai teoritis
(Sutan Takdir Alisjahbana , 1974, h. 29).
Selanjutnya dapat kita ikuti versi Sutan Takdir Alisjahbana mengenai latar belakang
nilai dasar tersebut, yang menyebut nya sebagai dasar proses kultural. Menurutnya, kita

62
dapat membedakan adanya tiga dasar proses kebudayaan, sebagai berikut 1) power-
solidarity process, yang menggambarkan aspek pengorganisasian, 2) religioaesthetic
process, yang menggambarkan aspek ekspresif, dan 3) theoritical-economic process,
yang menggambarkan aspek progresif dan kebudayaan.
Atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengatakan, bahwa aktivitas manusia tidak
hanya dilatarbelakangi oleh dorongan atau instink, melainkan ada sesuatu pola tertentu
yang mendasarinya, serta memberikan arah tujuan aktivitas tersebut yang lebih tinggi.
Gejala itu disebut sebagai ‘superorganik’ yang meliputi bahasa, kebiasaan, tata cara,
teknologi, kemampuan membuat jalan, bangunan, melaksanakan cocok tanam, beternak
maupun mengelola organisasi sosial dan sebagainya. Itu berarti bahwa aktivitas semacam
pembuatan rumah, bercocok tanam, melakukan hubungan kelamin, makan ataupun
minum, rnisalnya, tidak semata-mata merupakan kegiatan ragawi, melainkan juga
berkaitan dengan suatu nilai pengorbanan maupun kesucian, keindahan maupun
ekonomi, solidaritas maupun kekuasaan.
Dengan konsep-lonsep kemasyarakatan maupun kebudayaan seperti yang baru
saja disampaikan di atas, terutama mengenai hubungan-hubungan antara individu dengan
lingkungan-lingkungan sosial budaya, dapatlah selanjutnya kita memahami lebih baik
berbagai kecenderungan sikap, perilaku maupun ekspresi lainnya dari warga masyarakat

. @@@

63
B. KEGAGALAPENDIDIKAN IPS?

PENGANTAR

Uraian-uraian berikut yang tersaji dalam bab berikut ini merupakan sejumlah
sinyalemen masyarakat orang dewasa, baik kaum pendidik, pejabat maupun para ahli,
tentang kondisi masyarakat yang dianggap memprihatinkan, sehingga dianggap sebagai
kegagalan pendidikan IPS. Kekecewaan itu menunjukkan bahwa masyarakat melihat
adanya ketidaksesuaian antara kondisi masyarakat dengan harapan sosial seperti yang
termaktub dalam tata nilai yang berlaku maupun yang dianggap ideal dalam masyarakat
orang dewasa. Dengan perkataan lain tidak terjadinya konformitas di kalangan kehidupan
generasi muda dengan tata nilai yang diharapkan terjadi oleh orang dewasa.
Barangkali sebutan kegagalan pendidikan IPS terlalu berlebihan, namun istilah itu
sengaja digunakan untuk memberikan penekanan atau membangkitkan kesadaran betapa
pendidikan IPS selama ini belum dikembangkan secara maksimal. Padahal penidikam
IPS memiliki potensi yang amat besar untuk mengatasi berbagai masalah sosial yang
sangat memprihatinkan genarasi orang dewasa. Barangkali masih biaa disampaikan lebih
banyak lagi kasus-kasus yang merupakan bukti kegagalan pendidikan IPS yang selama
ini dikembangkan. Oleh karenanya para pembaca buku ini bisa pula melakukan
pengamatan dan menganalisis untuk mengetahui kondisi sosial lain yang dianggap
berkaitan dengan pengembangan pendidikan IPS.

1. EROSI NASIONALISME
Selama masa-masa awal masa kemerdekaan berbagai pernyataan banyak
disampaikan oleh para pejabat, para politisi, para ilmuan sosial ataupun pandidik
mengenai sikap dan perilaku anak-anak bangsa yang dianggap terpuji. Dalam melakukan
perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan bangsa dari kekuaasaan penjajah
misalnya, mereka tidak menonjolkan pamrih, baik pamrih balas budi maupun pujian.
Metreka juga memilki solidaritas dan kebersamaan tinggi di antara warga bangsa, dan

64
tidak membeda-bedakan kelompok maupun golongan. Kecintaan pada tanah air lebih
menonjol ketimbang kepentingan diri sendiri maupun kelompok, seperti suku bangsa
maupun kepercayaan agama. Persatuan bangsa lebih dikemukakan melebihi kepentingan
kelompok maupun golongan. Para pejabat, para politisi, para ilmuan ilmu sosial maupun
pendidik menyebut semua sikap maupun perilaku terpuji itu dengan nama patriotisme,
heroisme, solidaritas, maupun nasionalisme. Dalam bahasa para pejabat di masa Orde
Baru segala watak terpuji itu disebutkan sebagai milai-milai kejuangan atau semangat
1945. Penamaan itu diberikan karena nilai terpuji itu justru mencuat di masa bangsa
Indonesia tengah dalam masa perjuangan pada masa proklamasi kemerdekaan tahun
1945. Kemudian ketika kemakmuran bangsa makin menjadi baik, pendidikan makin
merata, organisasi pemerintahan makin teratur, institusi hukum makin lengkap, berbagai
sifat terpuji itu justru makin merosot. Begitu menurut penilaian para pejabat, para politisi,
para ilmuan ilmu sosial maupun pendidik yang seusia para elaku sejarah di masa
perjuangan fisik melawan penjajahan. Mereka menyebutnya sebagai gejala erosi
nasionalisme.
Pada saat itu anak-anak bangsa dari berbagai kelangan, mulai lebih menjadikan
pertimbangan materi sebagai tujuan. Sebenarnya mereka bukan menganut materialisme
sebagai ideologi, karena mereka masih tetap memeluk agama dan rajin melaksanakan
ritus agama, namun sebaliknya mereka makin memuja materi dan memuja kenikmatan
duniawi jauh melebihi segalanya. Para pejabat, para politisi, para ilmuan ilmu sosial,
maupun pendidik menyebutnya sebagai gejala hedonisme, yaitu semangat memuja
keniikmatan materi dan ragawi. Sementara itu syiar dan gebyar kegiatan ritual agama
sangat fenomenal, bahkan marak. Terrnauk pula gejala makin ketatnya warga masyarakat
mengikuti upacara-upaacara resmi dalam memperingati kepahlawanan bangsa, bahkan
bagaikan mengikuti sebuah ritus.
Sementara itu pula semangat dialog antar umat beragama sangat menonjol secara
kuntitatif. Sering sekali digelar pertemuan antar pemimpin agama, namun dalam
kenyataan semangat toleransi di antara umat berbeda agama sangat kecil. Toleransi itu
atau apa yang dikenal sebagai kerukunan antar umat beragama hanya muncul dalam
pertemuan formal. Namun di belakang pertemuan itu semangat misioner setiap agama
selalu menonjol ketimbang menemukan program-program bersama untuk berperang

65
melawan kemiskinan, kebodohan dan lain-lainnya. Di kalangan umat beragama sendiri
makin sring terjadi konflik horisontal secara fisik. Konflik horisontal itu bahkan tidak
hanya berkembang kiarena alasan perbedaan agama ataupun sekte, melainkan telah pula
berkembang di antara warga bangsa yang berbeda suku bangsa maupun asal usul atau
teritori. Gejala apakah ini?
Semangat Sumpah Pemuda telah betul-betul menghilang dalam kehidupan sosial
politik. Kesadaran untuk bisa hidup dalam realitas multi kultural yang telah dirumuskan
dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika diabaikan sudah dalam kehiupan sosial politik,
lebih-lebih setelah bangsa kita mencoba menerapkan konsep reformasi atau keterbukaan
sebagai salah satu ciri prinsip demokrasi. Para pejabat, para politisi, para ilmuan ilmu
sosial maupun tokoh pendidikam menyebut gejala tersebut sebagai desintegrasi sosial.
Dalam berbagai kesempatan sebagai guru IPS di perguruan tinggi, saya biasa
menyatakan, bahwa berbagai gejala negatif, terutama berkembangnya desintegrasi
sosial itu menunjukkan kegagalan guru IPS dalam mengembangkan proses pembelajaran.
Yang dimaksud tentu saja guru IPS pada semua level maupun semua bidang kehidupan,
sejak dari orang tua dalam keluarga, lurah, kepala daerah, mubaligh, guru sekolah,
sampai pada para pemimpin organisasi sosial maupun organisasi politik, serta presiden.
Selama ini tujuan akhir dari pendidikan IPS itu sering dilupakan. Banyak
penelitian dikembangkan yang berkaitan dengan keberhasilan pendidikan IPS hanya
dikaitkan dengan tujuan instruksional pembelajaran. Secara teknis hasil pembelajaran
IPS hampir selalu dikaitkan dengan kemampuan mengenali, menyebutkan, memahami
atau menghayati berbagai materi pelajaran. Sementara itu proses aktualisasi berbagai
nilai yang terkandung di dalamnya tidak dikaitkan dengan tujuan pembelajaran.
Semuanya itu tentu saja menjadi tugas guru IPS, yang bertujuan untuk menyiapkan
generasi baru menjadi (1) warga negara yang baik.
Tujuan lainnya adalah utnuk membangun (2) saling pengertian di antara sesama
warga bangsa. Tujuan lainnya lagi adalah menciptakan (3) integrasi sosial, yang
merupakan tujuan akhir pendidikan IPS.
Secara teknis barangkali hanya guru IPS di lembaga sekolah saja yang betul-betul
bertanggung jawab atas hasil pendidikan mereka yang terccrmin pada penampilan para
siswa sebagai remaja dalam pergaulan nyata dalam masyarakat. Tentu saja anggapan

66
tersebut bisa dibenarkan, karena mereka itulah yang menjabarkan isi kurikulum di dalam
kelas, dan merekalah yang secara intensif berkomunikasi dengan para siswa.
Selama ini kita melupakan bahwa ada sejumlah faktor yang besar pengaruhnya terhadap
hasil pendidikan IPS, yaitu perilaku kaum remaja berperilaku menyimpang dari tata nilai
yang dipereoleh di dalam kelas-kelas IPS. Salah satunya adalah (1) penampilan para
orang dewasa dalam masyarakat yang tidak serasi dengan tata nilai yang diajarkan, yang
disaksikan oleh para remaja. Demikian pula (2) kondisi sosial politik sewaktu tidak
kalah pengaruhnya terhadap penampilan sosial kaum remaja. Berbagai perasaan frustrasi
berkembang di kalangan remaja, yang kemudian muncul dalam penampilan dan perilaku
sosial mereka.
Perlu dipahami bahwa pihak-pihak yang ikut memainkan fungsi sebagai guru
pendidikan IPS ternyata bukan hanya para guru sekolah. Peranan itu dimainkan pula
secara simultan oleh para pemimpin masyarakat, karena adaptasi nilai-nilai luhur, yang
dihadapi oleh para remaja dan seluruh warga baru masyarakat, berlangsung secara
simultan pula di dalam masyarakat. Sikap dan penampilan para elit politik maupun
pemimpin masyarakat menjadi amat dominan terhadap proses sosialisasi yang dialami
para remaja menuju kedewasaan.

Pemahaman yang demikian itulah yang mendorong lahirnya kesimpulan, bahwa


segala perilaku warga masyarakat yang penuh dengan gejala desintegrasi sosial, yang kita
saksikan selama ini, merupakan bukti kegagalan pendidikan IPS.

2. DE SINTEGRASI SOSIAL

Memasuki era reformasi dalam sosial politik di Indonesia muncul gejala yang
amat menarik, yaitu berkembangnya desintegrasi bangsa. Istilah tersebut adalah konsep
politik, sementara dalam sosiologi lebih sering digunakan istilah desintegrasi sosial.
Hubungan sosial di antara sesama warga bukan sekadar tidak harmonis, melainkan yang
menonjol adalah konflik sosial, yang sering mencuat menjadi bentrokan fisik.
Fenomena yang paling menonjol adalah konflik kepentingan dalam bidang
politik antara kekuatan eksekutif dengan kekuatan legislatif. Ketika posisi kekuatan

67
legislatif makin menguat sebagai akibat dari semangat reformasi di masa pasca
keruntuhan kekuasaan Orde Baru, konflik itu menjadi tidak seimbang. Kekuatan legislatif
menjadi seperti tidak tertandingi.
Pemerintahan Habibie yang tampil sebagai pemerintahan transisi menysul
dilengserkannya rezim Suharto pada Mei 1998, menjadi bulan-bulanan ketidakpuasan
rakyat lewat kekuatan legislatif. Laporan pertanggungan jawabnya telah ditolak oleh
MPR, yang juga telah tidak mempercayai Presiden Suharto, hanya beberapa bulan setelah
secara bulat memberi kepercayaan untuk ketujuh kalinya menjadi presiden.
Gus Dur yang menjadi presiden pertama sebagai hasil pemilu 1999 yang
dianggap “paling demokratis” telah menjadi “korban permusuhan” antara (1) kekuatan
politik, pihak legislatif versus ekskutif. Pada tahun pertama pemerintahannya Gus Dur
telah jatuh, yang disusul oleh masa pemerintahan Mega-Hamzah. Pemerintahan itupun
nampaknya menjadi sasaran pergumulan antara kekuatan -kekuatan politik. Menurut
komentar mantan presiden, Gus Dur, Mega tengah menerima pembalasan “hukum
karma”.
Dalam waktu bersamaan konflik antar warga menjadi sering terjadi di antara (2)
sesama warga masyarakat, hanya karena alasan yang seringkali amat sepele. Warga
kampung yang bersebelahan tiba-tiba menjadi berang dan saling menunjukkan semangat
permusuhan. Bentrok fisik dengan senjata tak urung biasa menjadi hiasan berita media
masa. Warga dari dua atau lebih pendukung partai politik berbeda sering terlibat dalam
bentrokan sacara fisik, yang sering meninggalkan kurban jiwa. Komuinitas yang (3)
berbeda suku bangsa maupun (4) keyakinan agama mudah sekali terlibat bentrokan
fisik dengan menggunakan kekerasan senjata perang.
Berbagai kasus bentrokan antar ras itu tercatat dalam kasus-kasus yang dikenal
sebagai kasus Ambon, kasus Sambas, kasus Poso, maupun kasus Singkawang, dsb.
meluas menjadi semacam “perang antar suku”. Dalam bidang penegakan hukum dan
ketertiban sosial yang amat menonjol adalah gejala main hakim sendiri. Praaktek
“dimasa”’ menjadi ciri khas dalam mengatasi berbagai kasus kriminal maupun
kecelakaan lalu lintas, ketika masa menghakimi dan sekaligus mengeksekusi orang-orang
yang disangka bersalah. Aparat kepolisian nyaris tidak bisa bertindak efektif. Bahkan
pos-pos polisi menjadi sasaran amukan masa, ketika masa tidak puas dengan langkah

68
kebijakan keamanan pihak aparat hukum. Gejala itu merupakan akibat tidak
berwibawanya aparat hukum, yang dinilai amat lamban dan dinilai tidak mampu
menegakkan keadilan.
Sebetulnya berbagai gejala sosial itu bukan monopoli terjadi dalam masa
reformasi. Pada masa Orde Barupun kasus-kasus bentrokan fisik itu telah ada, namun
media massa tidak mendapat peluang untuk mengangkatnya menjadi berita, karena
politik pemberitaan pemerintah yang amat restriktif. Lembaga ‘PANGKOPKAMTIB’
demikian efektifnya, sehingga berbagai gejala konflik sosial tidak kunjung bisa pecah.
Pangkopkamtib adalah singkatan Panglima Komando Operasi Kamanan dan Ketertiban,
sebuah lembaga militer yang memiliki kekuasaan besar untuk menangkap dan
mengekskusi siapapun yang dianggap memusuhi pemerintah, tanpa proses hukum. Rezim
di saat itu telah berhasil mengembangkan kondisi sosial yang tertib dan stabil dalam
suasana “stabilitas nsional”.
Secara konseptual pemerintah mengembangkan cita-cita “selaras, serasi dan
seimbang” lewat berbagai program penataran P4 (Pedoman {enghayatan dan Pengamalan
Pancasila) yang amat berhasil sebagaimana diharapkan pemerintah. Berbagai langkah
kebijakan pemerintahan selama itu telah melahirkan masyarakat yang konform secara
mutlak. Di saat itu tidak dimungkinkan munculnya perbedaan pendapat. Dan dengan
serta merta ketika rezim Orde Baru tumbang oleh kekuatan rakyat dan mahasiswa, proses
demokratisasi menemukan jalan penyalurannya. Ada apa dengan komsep reformasi?
Salahkah pemaknaan kita tentang reformsi?
Reformasi itu sendiri merupakan salah satu alternatif dalam proses perubahan
sosial. Misalnya kita mengenal revolusi, inovasi, rehabilitasi, evolusi, lalu reformasi.
Rrevolusi berarti perubahan sosial yang terjadi secara mendasar dan
menyeluruh dalam waktu yang relatif cepat, dan bisa dilakukan dengan kekuatan
bersenjata maupun secara damai. Rehabilitasi merupakan perubahan sosial yang
dilakukan untuk memperbaiki sesuatu aspek dalam sistem sosial setelah aspek tersebut
dianggap telah mengalami kerusakan, misalnya aspek politik atau aspek perekonomian
saja. Sedangkan inovasi merupakan perubahan sosial yang berlangsung secara bertahap
dalam berbagai aspek yang dianggap perlu, yang dilakukan oleh pemerintahan yang
sama. Dan reformasi merupakan perubahn sosial yang terjadi sesuai dengan

69
perencanaan tertentu, sesuai dengan dasar perundang-undangan yang berlaku, meliputi
semua aspek kehidupan secara simultan, yang dilakukan oleh kekuatan lama (rezim lama)
ataupun oleh kekuatan atau rezim batu. Pelaksanaan reformasi itu dilakukan dengan
menggunakan berbagai azas, yaitu demokratisasi, keterbukaan, toleransi, HAM,
maupun kekuasaan hukum.
Dalam pelaksanaannya sering tidak bisa dihindari terjadinya euforia dalam
banyak zas yang digunakan dalam proses reformasi itu. Artinya sikap berlebihan dari
warga masyarakat dalam melaksanakan reformasi. Dan berbagai bentuk euforia
dilakukan oleh warga masyarakat, seperti anarkisme, seperti main hakim sendiri,
melakukan demonstrasi, pornografi/pornoaksi, kesadararan hukum, amat mementingkan
hak pribadi berlebihan dsb. Tidaklah berlebihan kalau menghadapi berbagai gejala
tersebut di atas, yang bisa disebut sebagai patologi sosial orang mencari akar
permasalahan pada peranan IPS yang selama ini dikembangkan.
Barangkali IPS memang kurang berfungsi dengan baik. Dan peranan IPS itu
terletak pada kurikulum IPS, guru IPS serta para pemimpin, formal maupun informal
dalam masyarakat. Peranan itu ada pada para orang tua dalam keluarga, pengurus RT,
pimpinan organisasi sosial/partai sampai pada kepala negara. Mereka itu semua pada
dasarnya adalah guru IPS, di samping guru IPS di sekolah. Mengapa semua unsur
masyarakat itu dilibatkan, tidak lain, karena peranan IPS tidak lain adalah mengantarkan
genarasi baru menjadi warga masyarakat/ negara yang baik, dalam arti bertanggung
jawab, memiliki saling pengertian di antara sesama warga, menghormati hukum,
mendasarkan pada HAM, menghormati toleraansi, hingga terbentuk integrasi sosial.

3. KENAKALAN REMAJA

Kaum remaja sebagai generasi baru dalam masyarakat, nampaknya


menghadapi kenyataan sosial yang cukup rawan. Dalam media masa, hampir setiap hari
mereka selalu mengetahui berbagai gejala kurangnya keserasian di antara perilaku yang
hidup dengan tata nilai yang diajarkan. Ketika para remaja itu harus memperoleh
hak untuk mendapatkan pendidikan, sebagai bekal bagi pengembangan potensi-
potensi diri mereka menghadapi persaingan yang tidak seimbang. Kadangkala mereka

70
mengetahui dari media massa, bahwa dalam persaingan untuk mendapatkan pendidikan
itu dilakuknu juga cara-cara yang tidak terpuji, yang tidak mengindahkan nilai-nilai
luhur masyarakat.
Dalam pada itu di dalam media massa seringkali diinformasikan kecenderungan
warga masyarakat yang mencari kerja melakukan cara-cara yang tidak serasi dengan
kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Mungkin gejala tersebut dilaporkan dengan cara
yang tidak proporsional dan tidak akurat, bahkan cenderung dibesar-besarkan oleh
media massa, namun bukan tidak mungkin isu tersebut telah termakan dan mempunyai
pengaruh terhadap ganbaran atau persepsi para remaja mengenai keadaan masyarakat.
Kembali yang terlihat adalah perilaku sosial atau penampilan warga masyarakat orang
dewasa yang tidak sesuai deagan harapan harapan sosial. Di samping itu, masyarakat
selalu berkembang dan berubah, yang ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi,
tranaportasi dan telekomunikasi. Semua itu mempunyai potensi untuk terjadinya
pergeseran nilai dalam masyarakat.
Dalam pada itu tata nihi lama yang ideal masih tetap dikomunikasikan dan
aiajarkan lewat berbagai macam interaksi sosial kepada generasi muda, baik secara
formal maupun tidak formal (informal maupun nonformal). Keadaan semacam itu
memberikan tekanan kejiwaan kepada perkembangan kepribadian remaja. Di satu pihak
tekanan itu datang dari tata nilai yang diajarkan oleh generasi tua, dan di lain pihak
tekanan itu datang dari kebudayaan belia (youth culture), yang cenderung untuk mudah
menerima tata nilai baru.
Kedua tata nilai itu cenderung untuk tidak serasi satu dengan lainnya. Gejala
kenakalan remaja yang muncul dalam masyarakat, yang ditandai dengan tindakan-
tindakan kekeraaan maupun perkelahian antara remaja, seperti banyak diberitakan media
masa, menunjukkan menonjolnya perilaku tidak serasi dengan tata nilai yang diajarkan.
Demikian pula berbagai berita mengenai beredarnya minuman keras dalam kemasan
plastik, banyaknya kasus tabrak lari, pelanggaran lalu lintas, kasus hamil di luar nikah,
penyalahgunaan obat bius, penyalahgunaan kekuasaan, cara-cara penyelesaian perkara
dengan “jalan damai”, main hakim sendiri, isu mengenni adanya “orang kebal hukum”
dan sebagainya, menunjukkan betapa berita-berita yang berkaitan dengan masalah-
masalah sosial selalu terpampang di hadapan remaja. Demikian pula kasus-kasus

71
perceraian, keluarga berantakam, hidup bersama di luar nikah, perselingkuhan,
pelacuran, baik yang dilakukan terang-terangan maupun yang terselubung, sudah amat
sering diberitakan lewat media masa, terutama media masa cetak.
Tak dapat disangkal, bahwa kondisi atau gejala yang demikian itu tidak
serasi dengan norma atau nilai luhur, sejauh penilaian para orang dewasa yang
mempunyai wewenang dalam penerbitan media masa tersebut.
Dengan maksud untuk mendisiplinkan kembali warga masyarakat berbagai
isu sosial itu dikomunikasikan kepada khalayak pembaca. Dan banyak sekali cara untuk
melaksanakan upaya mendisiplinkan maayarakat tersebut lewat berbagai proses interaksi
sosial. Berbagai LSM (Lembgaga Swadaya Masyarakat) telah melaporkan pula sejumlah
perilaku atau tindak korupsi yang nampaknya telah membudaya dalam semua lapisan
sosial, sebagai hasil penelitian. Dalam proses itu tentulah ada pihak-pihak yang merasa
berkewajiban untuk “memaksakan” kepada ihak lain, agar dapat hidup dan tampil dalam
masyarakat sesuai dan serasi dengan tata nilai yang diajarkan tadi. Sementara itu warga
masyarakat yang lain telah belajar dari pengalaman, tentang perlunya tampil memainkan
peran sosial sesuai dengan harapan sosial yang ada. Dan hal itu akan terlihat pada ada
tidaknya kecenderungan konformitas di antara warga masyarakat tersebut dengan tata
nilai masyarakat.
Nampaknya generasi tua merasa berkepentingan sekali untuk terjadinya
konformitas di antara kaum rekaja dalam tata nilai masyarakat sesuai dengan harapan
masyarakat. Itulah sebabnya dapat kita fahami timbu1nya keprihatinan di kelangan
orang dewasa terhadap berbagai kecenderungan penampilan kaum remaja, yang dijuluki
sebagai generasi penerus. Berbagai cara telah dilalui untuk meningkatkan mutu generasi
muda, yang juga dijuluki sebagai ‘pemimpin di masa depan’.
Sekali waktu orang lebih menyukai penggunaan istilah ‘nation and character
building’ bagi tindakan itu. Dan untuk maksud yang sama, kemudian juga digunakan
istilah “pewarisan dan pelestarian nilai-nilai empat lima” ataupun “peningkatan ketahanan
nasional”, dan sebagainya, selama masa Orde Baru.
Maaalahnya timbul ketika orang mempertanyakan mengenai “meroaotnya
patriotisme, nasionalisme ataupun heroisme” di kalangan remaja atau generasi muda pada
umumnya, juga merosotnya rasa kebersamaan, naiknya konsumerisme, merosotuya

72
tingkat kepedulian terhadap masalah sosial, dan sebagainya. Kemudian orang mulai
mempertanyakan efektifitas lembaga-lembaga pendidikan secara makro.
Orang juga mulai menyangsikan kemampuan keluarga sebagai ‘cultural conditioning’
dalam proses sosialisasi. Dan orangpun mulai mengkambinghitamkan lembaga
persekolahan, bersama seluruh peranannya, seperti kurikulum, tenaga pengajar, serta
fasilitas belajarnya, atas segala gejala yang memprihatinkan tersebut di atas. Betulkah
semua sinyalemen yang dikemukakan mengenai kaum remaja itu? Betulkah kaum
remaja kurang mempunyai kepedulian terhadap masalah sosial yang ada di sekitar
mereka? Benarkah kaum remaja kurang mempuyai rasa kebersamaan, kurang
mempunyai rasa nasionalisme? Ataukah barangkali orang dewasa telah salah
menggunakan ukuran yang tidak relevan dalam memberikan penilaian terhadap remaja
tersebut?

4. JARAK SOSIAL

Sejarah Indonesia telah beberapa kali mencatat peristiwa kerusuhan antar ras,
terutama kerusuhan antar pribumi dengan penduduk keturunan Cina. Peristiwa
kerusuhan rasial paling besar terjadi pada penghujung abad 20 , yang terjadi di Jakarta,
tepatnya pada tanggal 25 Mei 1998. Tragedi kemanusiaan itu terjadi dua hari setelah
Presiden Suharto terguling pada 23 Mei 1998. Pergeseran kepemimpinan politik itu
sendiri berlangsung secara damai dan konstitusional, berupa penyerahan kekuasaan
kepada wakil Presiden BJ Habibie. Lalu terjadialah tragedi itu, berupa penyerbuan massa
yang seperti dikordinasi ke berbagai pusat hunian dan pusat perdagangan kaum
keturunan Cina. Massa itu menyerbu, memnjarah dan membakar pusat perdagangan dan
pusat hunian itu. Dan yang lebih fenomenal terjadi, yaitu tindak pemerkosaan secara
massal terhadap para perempuan muda keturunan Cina yang berlangsung di tempat
kejadian kerusuhan. Sementara itu tersiar desas- desus bahwa kerusuhan itu didalangi
oleh sebuah kekuatan teratur dari kelompok mliter. Namanya saja desas-desus jadi belum
tentu kebenarannya.Sampai sekarang misteri pelaku atau dalang kerusuhan itu tidak
pernah tuntas terkuak. Buku memoir yang ditulis oleh mantan presiden BJ Habibie yang

73
diterbitkan baru-baru ini sedikit membuka “rahasia” tentang adanya rencana kudeta yang
dilakukan oleh Jendral Prabowo, yang keberulan adalah mantan menantu Presiden
Suharto yang telah lengser.
Peristiwa kesusuhan rasial semacam itu telah berkali-kali terjadi di banyak kota
besar di tanah air, seperti di Semarang, Surakarta, Surabaya, Bandung maupun Sukabumi.
Itu kalau kerusuhan rasial itu terjadi antara penduduk pribumi dan penduduk keturunan
Cim yang sering disebut sebagai golongan non pribumi atau non pri. Sementara itu terjadi
pula kerusuhan rasial di Ambon, antara penduduk asli Ambon terhadap penduduk
pendatang keturunan Bugis, Buton dan Makasar, yang sering disingkat menjadi BBM. Di
Singkawang maupun Sambas terjadi pula tragedi sejenis, yaitu antara penduduk pribumi
dengan kelompok pendatang, yang datang dari Madura . Di Poso serta Palu juga terjadi
kerusuhan antar ras antara dua suku bangsa berbeda agama yaiitu yang beragama Islam
dengan yang beragama Nasrani.
Kalau diperhatikan ada tema yang sama dari semua bentuk kerusuhan antar ras
itu, sehingga disebut kerusuhan rasial, meski melibatkan ras yang berbeda. Namaun
sebenarnya ada latar belakang lain yang melengkapi api permusuhan di antara mereka.
Keseluruhan perbedaan yang mwnjadi latar belakang kerusuhan itu adalah jarak sosial
atau kesenjangan sosial yang membentang di antara dua kelompok sosial yang terlibat
dalam kerusuhan.
Kerusuhan yang terjadi di kota-kota di Jawa bukan semata-mata dilatarbelakangi
perbedaan ras saja, antara pribumi dan non pribumi yang keturunan Cina. Harus diingat,
bahwa penduduk keturunan Cina itu mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang jauh
lebih baik ketimbang kebanyakan penduduk pribumi. Yang non pri kebanyakan
merupakan usahawan sukses, oleh karenanya menjadi penduduk kaya, menjadi kaum the
haves. Mereka menempati kawasan hunian rame di pusat kota untuk perdagangan
maupun kawasan hunian kaum elit. Sementara itu sebagian besar dari mereka memeluk
agama Kristen atau Katolik. Belum lagi kalau diingat bahwa sejarah telah mencatat
posisi sosial mereka di masa penjajahan, yang dekat dengan kaum penjajah. Sementara
itu yang prubumui tinggal di kawasan hunian yang lebih miskin, atau di pinggiran kota,
Hampir semua mereka memiliki kedudukan sosial ekonomi lebih buruk. Lebih buruk lagi
kalau dilihat bahwa sebagian besar kaum pribumi memeluk agama Islam.

74
Faktor-faktor itu semua secara komulatif membentuk jarak sosial antara warga
keturunan Cina dengan kaum pribumi. Jarak sosial yang membentang di antara dua
kelompok sosial itu telah membangkitkan kecemburuan sosial, yang bila sekali waktu
muncul provokasi sangat mudah menjadi pemicu terjadinya kerusuhan rasial. Kejadian
yang berpotensi sebagai pemicu itu amat bervariasi, seperti isu tentnag penganiyaan
terhadap pembantu rumah tangga oleh majikan keturunan Cina, pelecehan atas Kitab Suci
Quran oleh warga Cina, beca yang tertabrak oleh kendaraan mobil milik warga Cina dan
masih banyak lagi.
Berbagai upaya telah dipakukan oleh pemerintah maupun warga masyarakat
untuk melakukan ptogram pembauran banagsa, namun yang masih terlihat adalah
keengganan sosial dari masing-masing segmen masyarakat, sehingga keadaannya masih
tetap seperti minyak dan air. Kondisi laten tersebut masih tetap sebagai potensi untuk
terjadinya kerusuhan rasial di kemudian hari. Kembali kondisi yang semacam itu tetap
merupakan bukti kegagalan IPS dalam arti yang sangat luas. Bisa merupakan kegagalan
kurikulum IPS, bisa merupakan kegagalam materi dan penyajian IPS, bisa merupakan
kegagalan para guru IPS di sekolah maupun para pemimpin formal dan nonformal dalam
masyrakat.

5. BENCANA ALAM

Yang dimaksud dengan bencana di sini adalah semua kejadian yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat yang menimpakan kerugian harta, penderitaan maupun
hilangnya jiwa manusia. Bencana-bencana itu bisa dibedakan antara bencana alam dan
bencana yang semata-mata karena ulah manusia, seperti kecelakaan lalu-lintas,
peperangan, olah raga, keracunan dsb, yang termasuk kecelakaan yang bersifat human
error. Sedangkan yang termasuk bencana alam dapat dibedakan menjadi dua. Pertana
bencana alam yang semata-mata datang dari kejadian alam, seperti gempa bumi, tsunami,
angin lisus atau topan, gunung meletus, banjir, sambaran petir, kebakaran dsb.
Bencana-bencana tersebut merupakan tingkah laku alam yang tidak ada kaitannya
dengan ulah manusia sebagai faktor penyebabnya. Bencana alam itu sudah sering

75
terjadi sebelum ada manusia di atas bumi maupun sebelum manusia menempati tempat-
tempat kejadian. Oleh karenanya bencana alam tersebut tidak menimpakan kerugian pada
manusia. Orang biasanya baru berbicara tentang bencana kalau kejadian alam itu
memimpakan kemalangan pada kehidupan manusia.
Bencana alam juga bisa terjadi karena adanya campur tangan manusia, karena
ulah perbuatan manusia. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, rob, intrusi air laut dsb.
Merupakan bencana alam, namun bisa disebabkan karena ulah tangan manusia, seperti
melakukan penebangan hutan secara liar dan tidak memperhitungkan dampak
lingkungan. Demikian juga pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian baru
dapat pula mengakibatkan kebakaran hutan
Berbagai bencana alam, baik yang terjadi sebagai bagian dari tingkah laku alam
maupun oleh ulah tangan manusia, bisa saja tidak menimpakan kemalangan atau
kerugian pada umat manusia, karena terjadi di luar kawasan hunian manusia, bahkan
seballiknya bisa mendatangkan keuntungan bagi umat manusia. Misalnya banjir tahunan
pada sungai Nil, sungai Yang Tse Kiang dsb, bahkan mendatangkan kesuburan tanah
untuk pertanian.
Bencana jenis kedua di samping bencana alam, adalah yang terjadi dalam dunia
lalu-lintas atau transportasi, baik darat, laut maupun udara. Bencana jenis inipun bisa
dibedakan antara yang semata-mata oleh faktor m,anusia (human factor), dan yang
melibatkan faktor alam, seperti cuaca. Di samping bencana yang termasuk dalam dunia
transportasi adalah dalam dunia olah dsb.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh manusia dalam menghadapi kemungkinan
datangnya bencana-bencana itu? Bagaimana langkah-langkah antisipatif yang bisa
dilakukan umat manusia untuk menghadapi datangnya bencana-bencana itu?
Yang menarik untuk dibicarakan adalah bencana alam yang menimpakan
kemalangan dan kerugian pada umat manusia, namun sebenarnya manusia masih bisa
menghindar dari bencana alam itu ataupun bisa mengurangi kemalangan yang menimpa
umat manusia dengan jalan melakukan antisipasi atas musibah itu. Pilihan pertama
tentunya adalah tidak melakukan perbuatan atau kebijaksanaan yang bakal mendatangkan
bencana, seperti tidak memebang hutan berlebihan kalau bisa diketahui bakal
mendatangkan bencana banjir, longsor dsb. Demikian juga tidak melakukan reklamasi

76
tanpa memperhatikan dampak lingkungan atau tidak menggali sumur air dalam
berlebihan tanpa aturan, karena bisa mendatangkan benvana berupa permukaan tanah
menjadi ambles dan selanjutnya terjadi intrusi atau perembesan air laut ke air tanah,
yang mengakibatkan air tanah berasa asim.
Pilihan kedua adalah menghindar dari tempat yang sudah diduga bakal terjadi
bencana pada saat yang sudah diperkirakan bakal terjadi bencana. Ilmu dan teknologi
umat manusia sudah bisa melakukan peramalam akan datangnya musibah berupa bencana
itu. Semua perlengkapan teknologi itu bisa memberikan tanda-tanda atau peringatan dini
(early warning) bakal terjadinya bencana. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
bisa bertugas memberikan peringatan dini mengenai kondisi cuaca maupun
kemungkinan terjadinya hujan, angin topan maupun gempa bumi. Tinggal manusia yang
menanggapi semua ramalan cuaca maupun ramalan gempa dsb. Namun hambatannya
terletak pada sulitnya melakukan perubahan perilaku manusia dalam bentuk tradisi
maupun kemampuan ekonomi, untuk melakukan langkah ikutan (follow up). Betapa
sulitnya penduduk lereng Gunung Merapi misalnya, untuk mau direlokasi agar terhindar
dari bencana yang datang dari Gunung Merapi, seperti awan panas, banjir lahar dingin,
longsoran tanah dsb. Hal yang sama juga terjadi di kalangan penduduk di bantaran
sungai-sungai yang sering mengalami banjir. Seperti yang menimpa pnduduk di tepian
sungai di Jakarta maupun kota-kota lain.
Apakah dalam hal ini juga membuktikan bahwa IPS telah gagal memainkan
fungsinya? Deangan keterangan lebih luas dapat dikatakan, memang benar hal itu
merupakan kegagalan IPS. Baik dilakukan oleh para guru IPS di sekolah maupun oleh
para pejabat kota terkait untuk selalu mengingatkan dan mengatur tata kota yang aman.

6. TSUNAMI

Tsunami itu berasal dari bahasa Jepa ng, yang sebetulnya merupakan nama sebuah
pelabuhan di Jepang. Pelabuhan itu pernah menjadi korban dari arus atau gelombang
lautan yang maha besar menerjang pelabuhan dan menimbulkan kerusakan dan korban

77
manusia. Sejak itu tsunami menjadi nama jenis bencana alam berupa gelombang laut
bsar yang terjadi karena gempa tektonis, akibat bergesernya lempengan di bawah benua.
Bencana berupa gelombang laut yang dahsyat itu didahului oleh surutnya
permukaan laut secara mendadak. Gejala alam itu terjadi karena ada aliran air ke bawah
laut, yang bagaikan pusaran air laut yang mengalir ke celah bekas pergeseran lempeng
benua. Lalu beberapa saat kemudian air laut bagaikan mendidih menggelegak karena
adanya semburan dari bawah laut yang kembali ke permukaan laut. Disusul kemudian
datangnya gelombang yang datang dari pusaran air laut menggelegak tadi, lalu bergerak
ke segala penjuru sampai ke daratan di sekitar sumber gempa tadi. Itulah gelombang
tsunami yang telah meluluh lantakkan daratan NAD (Nangro Aceh Darusalam) di ujung
paling barat kepulauan Indonesia. Korban manusia mencapai ratusan ribu orang, dan
hewan. Itu terjadi pada penghujung bulan Desember tahun 2005.
Gelombang tsunami itu juga menelan korban sampai ke pesisir Afrika Timur,
pantai selatan dan timur India, seluruh negara pulau Sri Langka serta sebagian pesisir
Thailand. Satui tahun kemudian bencana yang sama dengan skala agak kecil menimpa
pantai selatan pulau Jawa Tengah dan Jawa Barat. Termasuk jenis bencana apakah
gelombang tsunami itu?
Apakah manusia ikut terlibat dalam bencana itu? Masihkah IPS terlibat pula
dalam bencana tersebut? Peristiwa alam itu menjadi bagian dari obyek kajian ilmu fisika,
khususnya geografi fisik. Namun kemudian setiap guru IPS harus mampu menyerap hasil
kajian itu untuk kemudian diterapkan dalam kajian IPS, karena memiliki dampak
langsung bagi kehidupan sosial kemanusiaan.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa gelombang tsunami merupakan bencana alam
murni, yang hanya bisa dijelaskan dengan teori fisika. Bencana alam itu barangkali
pernah pula terjadi di masa lampau, ketika umat manusia belum menempati kepulauan
Indonesia. Oleh karenanya manusia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa atau
perilaku alam itu. Kapan saja bencana semacam itu bisa saja berulang kembali. Namun
manakala yang dimaksud dengan bencana tsunami adalah bencana yang menimpakan
kemalangan ataupun korban pada manusia di banyak lokasi di sekitar Lautan India,
manusia tidak bisa menghindar dari keterlibatan itu, karena peristiwa alam itu sudah bisa
diramalkan bakal terjadi. Hanya sampai sejauh ini teknologi petamalan belum mampu

78
memberikan peringatan dini sedini mungkin. Dengan demikian bencana itu sudah bisa
pula diantisipasi.
Konon pusat Badan Meteorologi dan Geofisika di Jkenewa telah memberi sinyal-
sinyal berupa peringatan dini tentang bakal terjadinya bencana gelombang tsunami itu.
Namun oleh karena tidak jelas kapan dan di mana tepatnya peristiwa alam itu bakal
terjadi, nyaris peringatan dini itu menjadi tidak efektif. Lalu terjadilah musibah berupa
tragedi kemanusiaan itu. “Malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih”. Demikian kata
peribahasa Melayu untuk memberikan keringanan beban rasa bersalah setiap kali
mengalami bencana. Betulkah peribahasa itu cocok untuk digunakan dalam peristiwa itu?
Nampaknya tidak tepat benar. Yang lebih tepat justru peribahasa yang lain lagi,
yaitu “Kalau takut dilembur pasang jangan berumah di tepi pantai”. Nampaknya
peribahasa terakhir itu amat kontekstual, karena orang Melayu ringgal di pantai-pantai
laut, yang selalu ditantang dengan bahaya apsang laut yang sewaktu-waktu bisa
melembur manusia yang tinggal di pantai. Artinya kita harus senantiasa weaspada akan
datangnya bahaya yang datang dari laut, karena kita memang tinggal di pantai laut. IPS
merupakan ilmu dan mata pelajaran di sekolah yang sangat strategis untuk menjelaskan
dan memberi peringatan kapada anak negeri tentang kondisi alam tempat kita tinggal.
Selama ini para guru IPS, terutama bidang studi geografi telah rajin memberi
kesadaran kepada siswa tentang posisi geografis tanah air. Hanya nampaknya penekanan
yang dilakukan kurang lengkap. Selalu ditekankah betapa indahnya posisi Nusantara
yang terserak bagaikan rangkaian mutiara yang menghiasi katulistiwa. Tanahnya subur.
Tongkat kayupun kalau ditanam berubah menjadi tanaman. Penduduknya rajin dan
ramah. Nmun mari kita ingat kembali apa yang telah kita lakukan? Pernahkah kita
menjelaskan kepada para siswa, bahwa kita semua hidup di tubir jurang Lautan India, dan
hanya bertengger di atas lempengan bemua yang amat labil?
Sementara itu proses buni ini menjadi dewasa belum selesai, sehingga geliat
benua-benua masih sering terjadi. Oleh karenanya kita harus selalu waspada akan
konmdisi keselamatan penduduk. Pernahkan pemerintah memberikan penjelasan
kepada penduduk yang berserakan di sepanjang pantai laut selatam? Kalaupun ada mitos
tentang Nyi Roro Kidul, namun konotasinya lain. Memang ada mitos-mitos tentang
kalap, yaitu korban berupa kematian di laut Selatan, yang dianggap karena Nyi Roro

79
Kidil telah menghendakinya sebagai tumbal. Atau apakah kita yang kurang tanggap
terhadap simbolisasi iitu?
Pernahkah kita memberikan peringatan kepada penduduk mengenai “daerah
aman” yang bisa dijadikan kawasan hunian? Pernahkah kita memasang betton-beton di
selanjang pantai atau menanami pantai dengan pohon kelapa? Yang kesemuanya itu
berfungsi untuk memecah ombak, sehingga segala macam ombak bisa “dijiunakkan”
sebelum memukul daratan.
Namun kitapun harus sadar bahwa tidaklah mudah mengajak penduduk untuk
melakukan relokasi. Apalagi kalau bahaya yang datang dari laut belumlah nyata,
sehingga belum mampu menjadi motivasi. Memindahkan PKL dari lokasi yang ada dan
menertibkannya ke lokasi baru bukan main sulitnya. Memindahkan penduduk dari lereng
gunung Merapi maupun dari daerah banjir saja suylitnya bukan main, Dan tidak pernah
berhasil Inipun semua merupakan kegagalan IPS.

@@

80
C. POTENSI POTENSI IPS

PENGANTAR

Baeangkali memang ada keterbatasan dalam jangkauan maupun kompetensi


pendidikan IPS secara kurikuler, karena hanya diajarkan di lembaga pendidikan yang
terbatas. Lebih-lebih kalau pendidikan IPS dipandang hanya sebagai pendidikan formal.
Padahal pendidikan IPS memiliki potensi untuk dikembangkan dalam berebagai kegiatan
kemasyarakat yang lebih luas. Misalnya kegiatan dakwah Islam maupun penyiaran
agama yang lain. Konsep-konsep IPS juga bisa dikembangkan dalam kegiatan sosial
politik, pemerintahan maupun kegiatan pembinaan kesejahteraan umum yang lain, seperti
pembangunan kesehatan dsb.
Dengan memberikan uraian mengenai berbagai bidang kegiatan yang berkaitan
dengan fungsi pendidikan IPS tersebut diharapkan tiumbul kesadaran para guru
pendidikan IPS bahwa pendidikan IPS memiliki kewenangan mat luas dalam kerangka
pendidikan IPS maupun dalam komunikasi sosial dalam wujudnya yang dikenal sebagai
interaksi sosial. Di sana sesama warga masyaralat melakukan hubungan sosial sesuai
dengan peranan sosial masing-masing yang sesuai dengan status sosial yang disandang.
Dalam interaaksi itu masing-masing melakukan koimunikasi sosial, yang
bertujuan untuk mempengaruhi pihak lain. Dan komunikator itu bisa seorang guru,
mubaligh, tim marketing sebuah produk baru makanan misalnya, bisa juga tim promoisi
kesehatan maupun petugas kampanye Keluarga Berencana maupun tim sukses dalam
pemilu.
Ada kesesuaian antara fungsi guru pendidikan IPS dan fungsi komunikator dari
berbagai kegiatan tersebut di atas. Tujuan IPS, yaitu untuk menciptakan terjadinya saling
pengertian antar warga masyarakat dan terjadinya konformitas antara sasaran
komunikasi dengan harapan sosial seperti yang dikemukakan oleh komunikator. Berikut
ini merupakan beberapa contoh sebagaimana dimaksudkan.

81
1. IPS UNTUK KELUARGA

Proses sosialisasi pada tingkat yang paling awal, berlangsung dalam lingkungan
keluarga. Di sana berlangsung proses paling akrab. Anak-anak belajar berbagai nilai
dalam bentuk-bentuk interaksi antar individu. Dalam keluarga juga terjadi rangkaian
‘conditioning’ bagi anak, untuk dapat menghayati berbagai ni1ai kolektif sesuatu
kebudayaan, sehingga proses itu dikenal sebagai ‘cultural conditioning’. Bagian ke dua
dari proses sosialisasi terjadi dalam lingkungan masyarakat, tempat anak-anak dapat
melakukan hubungan antar orang dan antara individu dengan kelompok, sehingga dikenal
sebagai ‘personal social relations’.
Kemudian sebagai sub sistem dalam sesuatu masyarakat, maka keluarga dalam
fungsi sosialisasi tidak dapat melepaskan diri dari pola-pola nilai kolektif sesuatu
masyarakat. Namun demikian, karena masyarakat itu sendiri merupakan pengertian yang
abstrak, demikian pula halnya dengan kebudayaan, maka proses interaksi yang paling
efektif yang dimotivasikan oleh harapan-harapan sosial, terjadi dalam keluarga.
Itulah institusi yang dianggap paling awal dan efektif dalam proses sosialisasi. Itulah
sebabnya, misalnya, orang berbicara mengenai proses sosialisasi keluarga priyayi dalam
masyarakat Jawa. Di sana dikomunikasikan harapan-harapan sosial yang sesuai dengan
pola budaya dan tata nilai yang diakui dalam masyarakat Jawa.
Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dimengerti, bahwa segala
rujukan bagi setiap hasil proses soaialisasi atau perubahan sikap yang terjadi selama
proses berjalan, ialah tata nilai masyarakat itu sendiri. Yang menjadi masalah ialah
pengertian tata nilai masyarakat itu, karena memiliki pengertian yang abstrak. Oleh
karenanya diperlukan kepastian lebih dahulu mengenai pengertian tata nilai masyarakat
ini.
Mula-mula yang diaaksudkan sebagai tata nilai msyarakat tempat segala
penilaian atau tingkah laku harus merujuk, ialah tata nilai yang dianggap ideal oleh
masyarakat. Namun, sebagai sesuatu yang ideal dan abstrak, maka tata nilai itupun
cenderung untuk mudah ditafsirkan secara ganda (multiinterpretable). Itu berarti kita
sudah harus berhadapan dengan tata nilai yang diajarkan, yaitu nilai yang telah men-
dapat penilaian sejauh pemahaman orang mengajarkan nilai tersebut.

82
Tata nilai yang diajarkan ini yang akan dianggap sebagai tata nilai rujukan, dalam
memberikan penilaian mengenai ada atau tidaknya keserasian di antara warga
masyarakat.
Sampai sekarang kita memang belum memiliki rumusan pola pendidikan
keluarga Indonesia. Sebaliknya yang ada hanyalah pola pendidikan keluarga Indonesia
yang mengacu pada tata niulai komunitas tertentu ataupun mengikuti tata nilai ajaran
agama tertentu. Yang paling jelas seperti dikemukakan di depan adalah pola pendidikan
keluarga priyayi Jawa misalnya. Mereka memiliki tatanan nilai yang lebih akrab dengan
adaptasi tata nilai Hibdu-Buda. Namun mereka juga cenderung sinkretis, karena
mengakomodasi tata nilai Islam.
Sementara itu di kalangan keluarga santri, yaitu masyarakat Muslim, dikembangkan
pola pendidikan keluarga yang mengacu pada tata nilai ajaran Islam. Salah satu harapan
mereka adalah terciptanya keluarga sakinah untuk menyiapkan terjadinya anak-anak
soleh. Mereka dikenal sebagai keluarga yang taat menjalankan syariat Islam. Dengan
mengacu pada hasil pengamatan Clifort Geerz misalnya, masih dikenal pula komunitas
abangan dalam masyarakat Jawa, yang dikenal agak longgar dalam menghayati tata nilai
agama yang mereka anut. Merekapun memiliki acuan moralitas hidup yang
disosialisasikan pada anak keturunan mereka. Tentunya di kalangan keluarga pemeluk
agama lainnya akan mengembangkan pola pendidikan keluarga dengan mengacu ajaran
moralitas yang serasi. Di kalangan keluarga keturunan Cina sudah bukan hal baru lagi
dikenal pola pendidikan keluarga Cina.
Sementara itu dikenal pula tata nilai yang hidup dan mengejawantah
(aktual) dalam perilaku warga masyarakat dari etnis maupun suku bangsa lainnya yang
amt bervariasi di Indonesia yang multi kultur ini. Jelas sekali, bahwa bukan tata nilai ini
yang dipergunakan sebagai rujukan atau panutan dalam melihat kecenderungan
konformitas di kalangan warga masyarakat. Justru perilaku yang merupakan gambaran
tata nilai aktual warga masyarakat itu harus pula mendapat penilaian yang rnerujuk pada
tata nilai ideal ataupun tata nilai yang diajarkan, untuk mengetahui ada atau tidaknya
kecenderungan konformitas di antara warga masyarakat tersebut.
Dengan cara itu pula dapat diketahui ada atau tidaknya rnasalah sosial di
dalam masyaraka, sebagaimana dipaparkan di depan. Dan manakala gejala masalah

83
sosial itu timbul, maka merupakan salah satu pertanda kurang berhasilnya proses
sosialisasi dalam masyarakat, sehingga diperlukan upaya mendisiplinkan masyarakat
kembali. Dengan kalimat yang lebih pendek seluruh uraian di atas barangkali dapat
dinyatakan sebagai berikut.
Seluruh proses sosialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari
proses interaksi sosial, dan mempunyai tujuan untuk : Secara mikro, membuat anak,
sebagai bagian dari generasi muda, dapat mengembangkan kemampuan diri dalam
memainkan fungsi sosial mereka dalam menghadapi lingkungan hidup mereka, secara
sosial budaya, dengan sebaik-baiknya, sebagai ‘intelligent social actor’. Artinya setiap
warga masyarakat diharapkan menjadi aktor yang cerdas dalam memainkan fungsi sosial
masing-masing. Secara meso, membuat varga masyarakat dapat mengembangkan
hidup kemasyarakatan dengan penuh keselarasan di antara dirinya dengan lingkungan
sosial budayanya, dan mampu melakukan penyesuaian diri (soclal adjustment).
Secara makro, ialah membuat suatu masyarakat yang terintegrasi, di mana setiap varga
masyarakat dapat menerima tata nilai masyarakat sebagai tata nilai sendiri.Sementara itu,
tampaknya ada kesejajaran antara koneep-konsep ilmiah, konsep formal yang bersifat
nasional, serta konsep nilai hidup Jawa, dalam hal sosialisasi itu, yaitu perlunya tercipta
keselarasan di antara nilai-nilai hidup individual dengan tata nilai masyarakat. Ini berarti,
bahwa otonomi individual diaerasikan dalam pola-pola nilai ko1ektif. Gejala yang
demikian itu dalam filsafat nilai dikenali sebagai bersifat heteronom. Dan
kecenderungan semacam ltu akan memberikan arahan tertentu bagi aspek metodologi
studi yang akan kita lakukan, baik dalam mengkonseptualisasikan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode yang akan dipergunakan, maupun analisis yang
akan dilakukan dalam penelitian .
Seluruh gejala tingkah laku, penampilan maupun kecenderungan berbuat yang
terjadi di kalangan kaum remaja sebagai akibat prosees sosialisasi atau enkulturasi,
harus dilihat dalarn kaitannya dengan proses perubanan, pengembangan kebudayaan serta
pengkayaan kebudayaan. Artinya, rneskipun ada sernacam tekanan-tekanan yang datang
dari pihak orang dewasa terhadap generasi muda berupa harapan-harapan sosial yang
harus dipenuhi oleh generasi muda, Meskipun demikian hasil terakhir dari proses
sosialisasi itu harus dilihat dalam kaitannya dengan proses yang makro, yang berkaitan

84
dengan proses perubahan sosial dan budaya yang berorientasi ke depan. Sehingga dengan
demikian hasil akhir yang diharapkan adalah suatu integrasi sosial, dan bukan sekedar
pelestarian budaya. Itu berarti bahwa proses sosialisasi atau enkulturasi yang
berlangsung selalu berada dalam kaitan perkembangan dan kelangsungan budaya,
karena lingkungan maupun kebutuhan generasi muda yang dihadapipun tidak selalu
sarna dengan yang dihadapi generasi tua.
Dalam kerangka tersebut, yaitu integrasi sosial, kelangsungan (kontinuitas)
budaya, atau kecenderungan yang terjadi pada kaum rernaja seharusnya tidak dipandang
sebagai bahaya bagi kelestarian kebudayaan lama. Kita berangkat dari anggapan bahwa
setiap perubahan kebudayaan akan lebih mudah terjadi jika suatu kebudayaan baru tidak
dianggap sebagai pengaruh baru yang membahayakan kebudayaan larna, melainkan
sebagai lanjutan penyempurnaan kebudayaan larna. Bila sebaliknya yang terjadi, maka
akan timbul resistensi, bahkan penolakan dari kebudayaan lama. Di sini terlihat azas
kontinuitas dan diskontinuitas dalarn perubahan kebudayaan. Pandangan tersebut
bertolak belakang dengan pandangan kaum reservasionis, yang lebih menekankan pada
pelestarian budaya, dan selalu bersikap curiga terhadap setiap gejala kebudayaan baru,
baik yang datang dari luar, maupun yang berupa tingkah laku kaum remaja yang
dianggap tak serasi.

2. IPS DAN PENGEMBANGAN N KEBUDAYAAN

Diskusi yang berkisar di sekitar pengembangan kebudayaan di Indonesia telah


menjadi terkenal dengan adanya Polemik Kebudayaan pada tahun tiga puluhan, antara
kaum reservasionis yang dipelopori Taman Siswa dengan kelompok Poedjangga Baroe
yang dipelopori Sutan Takdir Alisjahbana yang cenderung meniru Barat.
Polemik itu, seperti kita ketahui berrnula dari pandangan kelompok
‘Permusyawaratan Perguruan Indonesia I, yang bersidang di Solo pada 8 - 10 Juni 1935.
Pandangan itu dianggap mencerminkan haluan yang anti-akulturasi secara mutlak, yang
merupakan gerakan revivalisme anti Barat dan mendasarkan pengembangan
kebudayaan pada kenangan pada kejayaan kebudayaan larna. Pandangan tersebut
mendapat tentangan keras sekali dari kelompok Poedjangga Baroe, yang amat

85
menekankan pada perlunya memandang kebudayaan Barat sebagai panutan dalam
proses pengembangan kebudayaan Indonesia, yang dinilai telah mengalami kemandegan
dan statis (J.W.M. Bakker SJ., 1984, hal. 125-128).
Berangkat dari pengertian itu semua dianggap pada tempatnya kalau proses
sosialisasi sebagai bagian dari proses perkembangan kebudayaan, menempatkan sasaran
pada integrasi sosial, suatu kondisi yang penuh keseimbangan. Dengan demikian generasi
muda diletakkan pada posisi subyek yang menjalani masa-masa menghayati dan
mengamati tata nilai masyarakat, dan mempersiapkan untuk dapat mengembangkan
fungsi-fungsi sosial mereka yang serasi dengan lingkungan baru mereka kelak.
Dalam kaitan ini Ki Hajar Dewantara rnengemukakan Paham ‘Trikon’ yang
terkenal itu dalam menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan kebudayaan, yaitu
Konsentrisitas , Kontinuitas, dan Konvergensi (Ignas Kleden, Prisma no. 1, 1985) .
Yang dimaksud ialah, bahwa dalam pengembangan kebudayaan bangsa
Indonesia mengalami tiga dillema. Dilema pertama berupa pilihan antara berkiblat pada
kebudayaan luar, sehingga memudarkan sifat kepribadian nasional, atau lebih
mengutamakan pengembangan kepribadian nasional dengan rnemanfaatkan kebudayaan
luar. Ini merupakan masalah konsentrisitas dan konvergensi dalam proses akulturasi.
Dilema ke dua berkisar pada pilihan antara likuidasi kebudayaan daerah, pengembangan
kebudayaan daerah dan integrasi kebudayaan? Ini merupakan masalah di sekitar
konsentrisitas dan divergensi dalam pengembangan kebudayaan nasional dalarn kaitan
dengan keberadaan kebudayaan daerah atau unsur budaya lainnya. Dan dilema ke tiga
berupa pilihan antara pelestarian kebudayaan dan perencanaan kebudayaan, yang dapat
berakibat pada proses likuidasi kebudayaan larna. Inilah yang disebut sebagai pilihan
yang bersifat konsentrisitas dan kontinuitas kebudayaan. Masalah tersebut selalu saja
rnenghadang di muka setiap generasi yang sedang mnmnbangun.
Pengalaman mengajarkan kepada kita, bahwa bersifat konvergen dalam
mengambil sikap rnengadapi dilema sernacam ini, lebih rnenunjukkan sifat realistis dan
lebih menguntungkan, yang sesuai dengan pandangan sejarawan terkenal Arnold Toynbee
dalam bukunya ‘Study of History’, jilid VI). Akulturasi harus dipandang sebagai mencari
keseimbangan antara warisan kebudayaan lama dengan perubahan yang perlu untuk
survival. Letaknya antara archaisme dan futurisme.

86
Kedua isme itu bertentangan dengan perkembangan kebudayaan- kebudayaan
yang wajar. Archaisme berusaha mempertahankan berlangsungnya zaman baheula yang
baik, namun mengingkari dinamika kebudayaan. Sebaliknya futurisme mengingkari
zaman sekarang, dan terlalu memimpikan masa jaya yang direncanakan di masa depan.
Keduanya tidak realistis. Menurut Toynbee “Archaism is a deliberate attempt to swim
against the stream of life. Futurism does differ materially from archaism in the degree
that is goes against the grain of human nature …” (J.W.M. Bakker SJ., 1984, hal. 121 -
123)
Selama masa Orde Baru kebijakan dalam pengembangan kebudayaan tidak
meninggalkan pilihan yang bersifat konvetgen. Pembangunan masa depan yang harus
disiapkan dengan fase tinggal landas harus diselenggarakan dengan selalu mengikuti
konsep “serasi, selaras dan seimbang”, yang merupakan elaborasi sikap orang Jawa.
Secara politis Pancasila dan UUD q945 dipakai sebagai landasan konstitusional, GBHN
sebagai landasan konseptual.
Sejak memasuki era reformasi kebijakan pengembangan kebudayaan lebih
terbuka. Nyaris kecenderungan itu mengarah pada liberalisme, karena dianggap paling
sesuai dengan kondisi kita yang tengah berada dalam kancah masa globalisasi dalam
banyak hal. Salah satu ciri utama dari kehidupan di era globalisasi ini adalah kemampuan
bersaing dengan mengutamakan kualitas penampilan. Inilah watak utama dari konsep
liberalisme. Dampak paling menonjol dari perbenturan dua arah pengembangan
kebudayaan di era globalisasi ini adalah gencarnya perbenturan dua kekuatan paham. Di
satu pihak tengah bermunculan isu tentang kebebasan berkreasi, feminisme, pelonggaran
moralitas agama, dukungan atas kebebasan pornografi dan pornoaksi, serta pengakuan
atas homoseksualitas. Pada pihak lain adalah kekuatan yang menekankan pada perlunya
penyelamatan nasib generasi muda dari kehancuran moral. Kekuatan pihak kedua ini
sebetulnya jauh lebih bsaar. Akan tetapi kemajuan teknologi komiunikasi dan
pemberitaan telah memunculkan kesan sreolah-olah kekuatan mereka sama besar.
Perbenturan semacam itu akan selalu muncul dalam masyarakat yang hidup.
Dan di sana pulalah proses sosialisasi berlangsung. Di sana pulalah pendidikan IPS selalu
tertantang untuk memberikan penjelasan terhadap semua gejala yang mkuncul dal;am
interaksi sosial yang ada.

87
3. IPS UNTUK PENDIDIK AN NILAI

Sejak semula fungsi pendidikan telah melekat pada peranan ke1uarga, karena
pada dasarnya setiap manusia mempunyai dorongan untuk mengembangkan keturunan
serta melestarikan jenisnya. Untuk itu setiap pasangan suami istri berusaha secara alami
agar anak keturunan mereka dapat tetap survive, meski harus mnenghadapi kondisi
lingkungan hidup fisik maupun sosial yang tidak ramah sekalipun. Di satu pihak,
mereka harus berusaha agar nilai-nilai hidup yang telah dihayati selama mereka
mengarungi hidup, dapat digunakan oleh anak keturunan mereka. Ini berarti nilai-nilai
hidup mereka mendapat jaminan untuk dilestarikan. Di pihak lain, mereka juga
berusaha agar keturunan mereka dapat mengembangkan kemampuan individual maupun
kelompok dengan sebaik baiknya, untuk menghadapi lingkungan hidup mereka kelak.
Tujuannya adalah agar potensi-potensi sosial mereka kelak dapat berfungsi secara wajar,
tepat dan tak menyimpang dari tata nilai yang mapan. Proses itu dikenal sebagai
sosialisasi.
Menurut Dunham's (1957), seperti dikutip oleh Smelser dan Smelser,
sosialisasi dapat diartikan sebagai “… suatu proses yang membuat kanak-kanak
menyatu dalam budaya kelompoknya, sehingga menjadi orang yang dapat diterima
dalam masyarakat …” (… the process by which the newborn child is moulded into the
culture of his group and hence becomes an acceptable person in that society …)
(Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 475). Sedangkan Elkin (l960) mernberikan batasan
sebagai berikut : “ “…suatu proses yang digunakan oleh seseorang untuk menghayati
tata cara yang hidup dalam masyarakat, sehingga dia dapat berperan di dalamnya” (...
the process by which someone learns the ways or a given society or social group, so
that he can function whithin it) (Lindzey and Aronson, III, 1975, 1975, h. 474).
Dalam proses tersebut anak menghayati peranan sosial yang seharusnya ada,
lewat interaksi yang dimotivasikan oleh harapan-harapan masyarakat. Cooley (1902)
memandang proses semacam itu sebagai suatu ‘looking-glass self’, sementara G. Mead
memandangnya sebagai ‘generalized others’. Dengan cara itu setiap anggota masyarakat
berupaya agar citra mengenai dirinya serasi dengan gambaran masyarakat yang ideal.
Jadi masing-masing orang sebenaarnya bagaikan cermin bagi orang lain, sehingga setiap

88
individu akan tampil sesuai dengan tata nilai yang diakui dalam masyarakat.
Di sanalah sebenarnya mulai terjadi proses memanusiakan manusia atau
humanisasi di antara mereka. Pengertian ini didasarkan atas anggapan bahwa orang tidak
dilahirkan sebagai manusia, namun baru kemudian menjadi manusia (humanized), karena
proses interaksi dengan orang lain dalam lingkungannya. Ini jelas merupakan anggapan
yang diwarnai oleh konsep-konsep sosiologi, di mana dikatakan, bahwa “People are not
born human, but are made human by interacting with the persons in their invironment”
(Lindzey and Aronson, III, 1968, h. 240- 250).
Hal itu dapat dipahami kalau kita meyakini, bahwa manusia baru mempunyai
arti ketika berada dalam lingkungan. Di sana setiap orang akan menempati posisi-posisi
tertentu, dan selanjutnya mempunyai peranan tertentu, dan tampil sesuai dengan
kedudukan serta peran yang dipegangnya. Dalam kaitan dengan peran sosial itulah
sesuatu penampilan dapat dipahami dan mempunyai makna.
Sejak sebagian atau seluruh fungsi pendidikan diserahkan oleh keluarga
kepada lembaga persekolahan, maka proses sosialisasipun tidak urung diperankan pula
oleh lembaga persekolahan itu. Dalam rangka persekolahan itulah kemudian dikenal
istilah pandidikan.
Secara sepintas dapat dinyatakan bahwa pendidikan, khususnya
pendidikan humaniora, tidak mengarah pada kejuruan maupun pada ketrampilan tertentu,
melainkan menuju pada kedewasaan pribadi sebagai manusia dan warga negara,
bukannya sebagai pekerja pada bidang tertentu. Oleh karena itu pendidikan humaniora
memusatkan perhatian pada kelangsungan dan perkembangan seni-seni dan keahlian
yang ungkapannya ditemukan pada khasanah-khasanah dan masalah-masalah besar, dan
pada nilai -nilai yang paling tinggi bagi umat manusia, sebagai -tersebut dalam
Encyclopedia Britanica terbitan 1978, jilid 8.
Seperti halnya Studi Sosial, maka Humaniora merupakan bagian dari
pendidikan yang bermakna humanisasi. Sedangkan humanisasi itu sendiri tidak lain
adalah sosialisasi itu sendiri, yaitu proses untuk membuat manusia tetap mempertahankan
harkat kemanusiaannya. Ini merupakan sisi lain dari proses pendidikan yang
menekankan pada kemahiran ketrampilan yang membuat orang menjadi ssemacam robot,
sehingga kehilangan nilai kemanusiannya.

89
Masalahnya mulai muncul manakala dipertanyakan mengenai makna
manusiawi, yang berbeda menurut pandangan mereka mengenai hakekat manusia.
Pengalaman menunjukkan pada kita, betapa cita-cita humanistik yang terdapat
di dalam setiap program pendidikan itu selalu cenderung bersifat elitis. Kecenderungan
teraebut terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
1) Bahwa konsep tentang manusia itu selalu dirumuskan oleh kelompok
yang secara struktural memiliki kemungkinan untuk mengekspresikan
gagasan budayanya. Sedangkan golongan bawah yang secara
struktural tak sempat secara verbal menyatakan gagasan tentang
manusia, hanya tinggal menjadi semacam ‘kebudayaan diam’, menurut
Paulo Freire dalam ‘Cultural Action for Freedom’.
2) Sementara kelompok yang sempat menyatakan gagasan tentang
manusia itu menjadi semakin dominan, kelompok bawah tinggal
melakukan internalisasi nilai-nilai yang disusun oleh kelompok elite
tersebut
3) Manakala terjadi pergeseran di kalangan kelompok elite, berubah pula
panutan (kelompok rujukan) dalam nilai hidup ideal. Misalnya nilai
borjuasi telah menggantikan nilai ideal yang berdasarkan cita-cita
kebangsawanan.

(Dick Hartoko (ed), 19851h.l0)

Proses pemanusiaan (humanisasi) itu berlangsung dalam lingkungan-


lingkungan keluarga serta lembaga persekolahan yang mulai mempunyai fungsi jelas,
yaitu mentransmisikan nila-nilai kepada generasi yang sedang tumbuh, agar supaya
dapat menghadapi hidup kelak dengan lebih baik (Coxon and Jones, l975 h. 257).
Lepas dari corak apapun yang menjadi warna nilai ideal yang diajarkan,
menurut Durkheim dalam bukunya Education and Sosciology, harus diakui betapa
pendidikan adalah produk masyarakat. Dan maksud proses itu sudah jelas, yaitu agar
masyarakat dapat tetap survive (Oteng Sutisna, 1962, h. 38).
Di dalam masyarakat Indonesia tidak dapat dipungkiri, misalnya adanya

90
dominasi sub kultur atau sub sosial, yang karena dianut oleh mayoritas penduduk serta
telah kokoh hidup di dalam masyarakat, nampaknya memberikan corak yang cukup
dominan dalam pertumbuhan budaya masyarakat Indonesia. Yang dimaksud dalam hal mi
ialah nilai-nilai lokal, seperti nilai Jawa, agama-agama dunia maupun kebnudayaan Barat.
Sehingga misalnya, humanisasi yang berlangsung dalam pola pertumbuhan budaya di
Indonesia, khususnya di dalam masyarakat Jawa, menjadi bersifat Jawa pula. Dan
manakala proses itu berhasil, orangpun mengatakan bahwa seseorang telah “menjadi
Jawa” atau “njawani”. Demikian pula kalau anak-anak bersekolah yang dikelola oleh
yayasan berdasarkan agama tertentu, tentunya mereka mendapat semangat agama tertentu
tersebut. Namun secara formal orang mengakui atas dominasi masyarakat Indonesia
sebagai supra sistem, yang mempunyai kemampuan untuk melakukan proses
pemanusiaan (humanisasi) mengikuti pola yang lebih luas cakupannya. Yang dimaksud
adalah gagasan ‘pembanguan manusia seutuhnya’, seperti yang dimaksud oleh Konstitusi
maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), seperti kita saksikan dalam masa
Orda Baru, yang memiliki strategi yang jelas dalam pengembangan generasi mudanya
lewat lembaga persekolahan.
Terlepaas dari setuju atau tidak setuju terhadap materi maupun rumusan tujuan
pendidikan yang dikembangkan, strategi yang jelas itu sungguh amat bermanfaat.
Swtelah masa Orde Baru berlalu dan kita memasuki era reformasi, garis-garis besar
kebijaksanan pendidikan tidak lagi tegas dan gamblang. Di masa Orde Baru seluruh
konsep pendidikan di Indonesia telah dirumuskan dalam buku Repelita II, yang berbunyi
sebagai berikut :
… membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan ruhaniah, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung
jawab, dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur,
serta mencintai bangsanya dan sesamanya

(Buku Repelita II 1974/1975 - 1978/1979).

Konsep mengenai pendidikan itu kemudian diperbaharui dalam Garis - Garis

91
Besar Haluan Negara (GBHN) 1983, yang antara lain berbunyi :
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan,
mempertinggi budi pekerti, memperkuat budi pekerti dan mempertebal semangat
kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia - ma nusia
pembangun an, yang dapat membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

(UUD 1945, p - 4, GBHN 1983, 1984, h. 137).

Sebetulnya rumusan Tujuan Pendidikan itu merupakan penjabaran Arah


Pembangunan Jangka Panjang, yang termaktub dalam GBHN 1983, yang berbunyi :
Pembangunan dilaksanakan di dalam rangka bangunan Manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh Masyarakat Indonesia
……………………………………………………………………….
Indonesia menghendaki keselarasan hubungan antara manusia dan Tuhannya,
antara sesama manusia serta lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan
antara bangsa-bangsa dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dan
mengejar kebahagiaan di akhirat, karena kehidupan manusia dan masyarakat yang
serba selaras adalah tujuan akhir Pembangunan Nasional ;

(UUD 1945, P4 dan GBHN 1983, 1984, h. 96).

Masih di sekitar program pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah,


maka di dalam masyarakat terdapat pula Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan
Generasi Muda. Arah proses pendidikan, pembinaan dam pengembangan terhadap
generaai muda tersebut terlihat pada diagnosis orang dewasa mengenai generasi muda ,
yang antara lain dinyatakan sebagai berikut :
1) Dirasakan menurunnya jiwa idealisme, patriotisme dan nasionalisme
di kalangan masyarakat, termasuk generasi muda.
2) Kurangnya yang dialmi oleh generaai muda terhadap masa depannya.

92
3) Belum seimbangnya jumlah generasi muda dengan fasilitas
pendidikan yang tersedia, baik yang formal maupun nonformal,
tingginya jumiah putus sekolah yang diakibatkan oleh berbagai sebab
yang bukan hanya merugikan generasi muda sendiri, tetapi juga
merugikan seluruh bangsa.
4) Kurangnya lapangan dan kesempatan kerja, serta tingginya tingkat
pengangguran/setengah pengangguran di kalangan generasi muda,
dapat mengakibatkan berkurangnya produktifitas nasional dan
memperkambat kecepatan laju perkembangan pembangunan nasional,
serta dapat menimbulkan berbagai problema sosial lainnya.

(Sekertariat Menmud Urusan Pemuda, 1978, hal. 14-15).

Setuju atau ridak setuju terhadap konsep ujuan pendidikan yang dirumuskan
dalam masa Orde Baru kita harus mengakui lengkapnya koinsep perencanaan pendidikan
generasi muda di masa itu, sehingga bisa diperhatikan kualitas generasi yang bagaimana
yang diharapkan akan “lahir” di masa depan. Jelas konsep seperti ini menunjukkan
lengkapnya transformasi generasi muda yang diharapakn oleh masyarakat orang dewasa
atau rezim yang berkuasa. Kerika memasuki era reformasi seperti yang kita alami, pada
pendidik tidak memiliki pedoman berupa regulasi yang gamblang mengenai konsep
pendidikan generasi muda.

4. IPS UNTUK PENDIDIKAN IPS

Seluruh harapan sosial yang menjadi milik bersama warga masyarakat,


merupakan warisan budaya yang telah dikomunikasikan lewat setiap proses interaksi
sosial sepanjang sejarah. Proses itu menggunakan berbagai kelembagaan, sejak
keluarga, sekolah, teman sebaya, masyarakat, kelembagaan profesional, dengan
menggunakan jalur-jalur tradisional maupun moderen. Ketika bangsa Indonesia
sebagai komunitas besar tumbuh menjadi bangsa merdeka, harapan-harapan sosial

93
tersebut dirumuskan di dalam konsep integratif yang bernama Pancasila. Orang dapat
memandang Pancasila sebagai konsep politik, namun Pancasila juga merupakan konsep
sosial budaya. Artinya, bahwa seluruh penampilan masyarakat dan warganya dalam
memainkan peranan yang sesuai dengan status dan posisinya dalam masyarakat, harus
mengacu pada harapan harapan sosial tadi sebagai suatu ‘role expectation’.
Ketika Indonesia telah menjadi bangsa merdeka maka proses pengkomunikasian
harapan-harapan sosial dalam rangka interaksi sosial, menggunakan juga jalur-jalur
formal seperti lembaga persekolahan dan sebagainya, setelah melewati proses legalistik
yang berlaku dalam konstitusi. Pada instansi tertinggi formulasi dan penjabarannya
tertuang dalam GBHN selama masa Orde Baru. Sebelum itu, selama masa Orde Lama
proses itu berlangsung melalui pidato-pidato Bung Karno nyaris berlangsung setiap saat.
Di masa Orde Baru tujuan pendidikan sebagai formulasi dan harapan-harapan sossial,
yang terdapat dalam GBHN, kemudian dijabarkan ke dalam lembaga-lembaga perseko-
lahan secara kurikuler.
Pada tahun 1970-an mulai diadaptasi dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia, dan
pada tahun 1975 dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan diberi nama Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Istilah tersebut dimunculkan oleh Ketua Pusat Kurikulum
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (PK-BP3K).
Sehingga kemudian, misalnya kita mengenal Tujuan Kurikuler Bidang Studi Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) di SMA, sesuai dengan Kurikulum 1975, yang dianggap
relevan dengan Tujuan Pendidikan Nasional tersebut. Di sana termaktub antara lain
sebagai berikut :
1. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan tentang hubungan
perkembangan sejarah nasional, sehingga dapat menghargai
perjuangan daerah.
2. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan tentang sejarah Indonesia dalam
hubungan dengan negara tetangga, sehingga dapat melihat kedudukan
Indonesia dalam kedudukan antar bangsa
3. Siswa mengetahui, menyadari dan menghayati keaneka ragaman
kebudayaan daerah dalarn rangka kesatuan kebudayaan Indoensia.

94
4. Siswa merniliki pengetahuan lanjutan tentang keadaan geografis
Indonesia dan dapat melihat potensi dalam kehidupan bangsa.
5. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan dan pengertian bahwa
perekonomian Indonesia disusun berdasarkan azas kekluargaan dan
mampu berpartisipasi dalam perkembangan perekonomian Indonesia.
6. Siswa memahami dan menyadari pentingnya bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan mampu
berpartisipasi di dalam pemanfaatannya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
7. Siswa mengerti dan menyadari masalah yang berhubungan dengan
pertumbuhan dan penyebaran penduduk, sehingga dapat menghargai
usaha-usaha yang akan dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah
dalam menanggulangi masalah-masalah kependudukan
8. Siswa memahami dan menghargai kerja sama Indonesia dengan
negara tetangga dan negara lainnya dalam bidang sosial, ekonomi dan
kebudayaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
(Kurikulum SMA 1975, GBPP buku IIc,
Bidang Studi IPS)

Istilah IPS dimaksudkan sebagai label beberapa mata pelajaran ilmu-ilmu sosial
untuk program pembelajaran di Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (Sumantri, 1995). Dalam kurikulum sekolah tahun 1975,
pengertian
IPS adalah bidang studi yang terdiri dari bagian-bagian ilmu sosial yang dipadukan untuk
keperluan pendidikan di sekolah. Pengertian ini sama dengan yang diterapkan di Amerika
Serikat. IPS mempakan mata kuliah bidang studi untuk membekali mahasiswa calon guru
IPS, yang mengkaji hakikat IPS, termasuk pula karakteristik, tujuan, fungsi dan peran
IPS, pengorganisasian materi, sumber materi, pendekatan dan strategi belajar mengajar,
metode pengajaran, sumber belajar dan media pengajaran IPS, penilaian belajar mengajar
IPS. Di samping itu diberikan pula pengertian tentang struktur disiplin ilmu-ilmu sosial
dan konsep- konsep pokok yang digunakan, dalam rangka memahami substansi IPS.

95
Karena perubaha kurikulum, maka kuliah ini disederhanakan menjadi Wawasan IPS
(1988).
Kurikulum pada sekolah lanjutan tersebut merupakan penjabaran konsep
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam artian Studi Sosial. Dan konsep Studi Sosial
tersebut pada tingkat Pendidikan Tinggi dijabarkan dalam wujud Program Ilmu Sosial
Dasar (ISD) ataupun Studi Sosial Dasar (SSD). Pada dasarnya program-program Studi
Sosial tersebut dimaksudkan sebagai program pendidikan interdisiplin, dengan
mengembangkan konsep-konsep yang digunakan dalam Ilmu-Ilmu Sosial, dan
dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman, persepsi maupun sikap terhadap
berbagai tantangan yang dihadapi dalam masyarakat. Lewat program-program
pelajaran IPS di sekolah sebenarnya proses sosialisasi juga berlangsung, dengan tujuan
agar terjadi perubahan sikap pada siswa. Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud adalah
perubahan ke arah penerimaan tata nilai yang diakui dalam masyarakat. Dan
perubahan itu akan nampak pada kecenderungan-kecenderungan penampilan siswa
dalam memainkan peranan soaial mereka.
Pada setiap pegantian kurikulum sekolah rumusan tujuan itu seharusnya secara gamblang
terbaca oleh guru IPS, dan sudah dikomunikasikan kepada peserta didik dan bisa
dijabarkan ke dalan perilaku sosial. Dalam era reformasi proses penyampaian harapan-
harapan sosial itu dikomunikasikan lewat berbagai cara sesuai dengan era keterbukaan.
Bisa lewat media-media kegiatan politik di DPR, pernyataan politik, media massa,
diskusi terbuka, dialog publik, demonstrasi publik, penulisan buku, maupun forum
pengadilan dsb. Sementara itu Kurikulum IPS telah mengalami bekali-kali perubahan dan
penyempurnaan. Kurikulum IPS 1975 kemudian digantikan dengan Kurikulum 1985,
yang mengalami penyempurnaan dua tahun berikutnya, menjadi Kurikulum 1986.
Delapan tahun kemudian kembali mengalami perubahan/penyempurnaan dengan
keluarnya Kurikulum 1994. Dan dalam era reformasi kita mengenal
Kurikulum 2006. Semua itu merupakan upaya untuk merumuskan dan menjabarkan
rumusan harapan sosial terhadap masa depan generasi muda.

96
5. PS UNTUK MUBALIG

Peranan mubaligh pada dasarnya adalah menyampaikan pesan kepada sasaran


warga masyarakat dengan metode dan media tertentu dalam situasi tertentu. Itu adalah
situasi komunikasi pada umumnya. Kata mubaligh berasal dari kata balagha , yang
berarti menyampaikan pesan dengan media bahasa. Jadi tabligh berarti penyampaian.
Artinya penyampaian pesan oleh pihak tertentu kepada pihak lain. Dalam bahasa
komunikasi situasi komunikasi berati ada komunikator menyampaikan pesan kepada
komunikan dengan menggunakan cara/media tertentu dalam situasi tertentu. Dalam
situasi tabligh seorang mubalig adalah seorang komunikator, sedangkan jamaah, santri,
audiens ataupun masyarakat binaan adalah sasaran atau komunikan. Cara atau medianya
bisa berbagai macam. Dalam penyiaran agama kita kenal kata dakwah yang berarti
mengajak, berasal dari kata da`a. Kita mengenal ada dua macam, yaitu dakwah bil lisan
(ajakan dengan lisan, seperti ceramah maupun tulisan) dan dakwah bil hal (dengan
tindakan, seperti pelatihan atau tindakan nyata. Tabligh adalah berdakwah dengan media
bahasa verbal. Dalam situasi tabligh itu seorang mubaligh (juu dakwah) bertujuan untuk
menyampaikan pesan agar komunikan mau menyimak, lalu memahami sesuatu,
melakukan sesuatu dsb. Ini berarti mubaligh melakukan ajakan. Itu sebabnya bertabligh
disebut juga berdakwah atau meminta atau mengajak. Dan mubaligh disebut juga da`i
atau pelaku untuk mengajak orang agar mau memenuhi ajakan sesuai dengan pesan atau
harapan.
Dalam literatur Nasrani mubaligh atau da`i disebut misionaris atau ppenginjil.
Disebut misionaris karena peranan mereka adalah menyampaikan tugas atau misi untuk
menyampaikan pesan. Disebut penginjil, karena isi pesan yang disampaikan adalah isi
atau ajaran yang termaktub dalam Kitab Suci Injil Seorang penganjur, propagandis,
petugas marketing, penginjil, misionaris, mubaligh, da`i maupun guru memiliki peranan
yang sama, yaitu berkomunikasi dengan manusia yang menjadi anggota masyarakat yang
nenjadi sasaran pesan. Inti pesan dari semua macam peranan sosial di atas adalah agar
sasaran mau melakukan apa-apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan itu berisi
ajakan untuk meyakini kebenaran ajaran, kemudian mengamalkan ritus-ritus agama,

97
berperilaku sesuai budipekerti yang diajarkan maupun melakukan amalan soleh di antara
sesama umat.
Dalam bahasa IPS proses tersebut disebut sosialisasi, yang dalam masyarakat
lebih sering diartikan sebagai penyebarluasan (penyiaran) sesuatu isi pesan. Dalam IPS
sosialisasi diartikan sebagai “proses adaptasi diri dalam tata nilai yang berlaku
dalam masyarakat”. Dalam proses tersebut tugas para mubaligh sebagai komunikator
adalah merangsang, memotivasi, atau memfasilitasi komunikan maupun memberikan
tauladan agar mampu melakukan “adaptasi diri demgan tata nilai baru yang sesuai
dengan harapan masyarakat”, seperti yang terdapat dalam syariat agama. Orang tua
dalam keluarga juga mempunyai fungsi sebagai mubaligh atau da’i dalam penyiaran
agama.
Dalam keluarga juga terjadi rangkaian ‘conditioning’ bagi anak, untuk dapat
menghayati berbagai ni1ai kolektif yang dityujuk dari ajaran agama. Kemudian sebagai
sub sistem dalam sesuatu masyarakat, maka keluarga dalam fungsi sosialisasi tidak dapat
melepaskan diri dari pola-pola nilai kolektif sesuatu masyarakat. Sehingga mubaligh
memiliki kebebasan memilih cara dalam menyampaikan pesan sesuai dengan situasi dan
kondisi sesuatu masyarakat.
tulah institusi yang dianggap paling awal dan efektif dalam proses sosialisasi.
Itulah sebabnya, misalnya, orang berbicara mengenai proses sosialisasi keluarga Muslim
ataupun komunitas pesantren dalam masyarakat Islam. Di sana dikomunikasikan
harapan-harapan sosial yang sesuai dengan pola budaya dan tata nilai yang diakui dalam
ajaran Islam atau lebih tegas lagi sesuai dengan ajaran syariat Islam.
Para komunikator, baik sebagai guru IPS, mubaligh, misionaris, propagandis
dsb. harus mengetahui berbagai kemungkinan motivasi yang bisa mendorong terjadinya
konformitas yang diharapkan. Dengan demikian para komunikator tersebut bisa
memanfaatkannya dengan baik.
Menurut Kelman ada tiga jenis kenformitas berdasarkan latar belakang yang
mendasarinya, yaitu compliance, identification dan internalization.
‘Complianc’ merupakan istilah lain untuk kata ‘expedient’. Yang dimaksudkan
ialah penampilan seseorang, baik berupa kelakuan maupun pernyataan yang hanya
dilandasi oleh kehendak memperoleh ganjaran atau pujian, atau menghindari hukuman

98
atau disingkirkan atau mendapat celaan masyarakat. Orang tersebut kemudian
menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kemauan umum. Namun manakala
harapan akan ganjaran tidak lagi ada, dan ancaman hukuman itupun tidak ada, maka
orang itu kembali menunjukkan ketidak patuhannya. Dengan perkataan lain penampilan
mi merupakan kepatuhan yang ‘pura-pura’, yang berbeda antara yang lahir dan yang
batin. Dalam bidang penyiaran agama sering dikemukakan sebagai pendoeong timbulnya
ketaatan dengan konsep ‘sorga dan neraka’, atau ‘pahala dan siksa’.
‘Identification’ merupakan penampilan seseorang yang menurut Kelman “ …
refers to a level of social influence based upon the individual's desire to be like the
influencer”. Di sini penampilan tersebut sama sekali tidak dilatarbelaangi kehendak
mendapatkan ganjaran dan menghindari hukuman, melainkan semata-mata karena ingin
menjadi seperti model yang dikehendakinya. Sekali lagi, ini mrupakan gejala ketundukan
pada kerangka acuan yang relevan (a frame or reference). Dalam agama Islam dikenal
konsep ‘ittiba`’ (meniru) pada Nabi atau Raul Muhammad, yang diposisikan sebagai
‘uswatun hasanah’ atau tauladan baik, atau sebagai model Muslim sejati, karena Nabi
dianggap sebagai ‘insan kamil’ atau manusia sempurna.
Jenis konformitas, terjadi sebagai ‘internalization’ yang merupakan tingkatan
pengaruh yang paling permanen yang ada dalam seriap individu. Akibatnya, nilai dan
sikap tertanam dan mempribadi dalam diri setiap individu, karena dianggap benar oleh
individu tersebut. Penampilan semacam itu mempermudah terjadinya integrasi dalam tata
nilai mapan.

6. IPS UNTUK PEMBANGUNAN KESEHATAN

Sejak lama setiap kali orang berbicara tentang pembangunan kesehatan atau
menanggulangi berbagai gangguan kesehatan, orang lebih sering orang menengok pada
peranan para tenaga medik, yaitu para dokter dari berbagai keahlian khusus, maupun
paramedik, seperti para perawat kesehatan, bidan maupun tenaga kesehatan lain. Kalau
tidak ada dokter, warga akan menyerahkan nasib mereka pada para mantri kesehatan
ataupun bidan.

99
Para dokter dan dunia medik adalah para dewa penolong dalam upaya membuat
masyarakat sehat. Namun orang sering menghadapi kenyataan betapa pertolongan dunia
medik tidak selalu memuaskan, baik karena penampilan dokter yang dianggap ogah-
ogahan, maupun karena dianggap mahal. Oleh karenanya mereka juga mengunjungi
parnormal sebagai alternatif lain untuk supaya sehat kalau penyakit mereka tidak juga
kunjung bisa diatasi. Biasanya pasien yang dirujuk ke dokter sudah parah dan sangat
terlambat, ketika penyakit sudah mulai gawat.
Kasus-kasus semacam itu menunjukkan bahwa pemahaman warga masyarakat
tentang penyakit dan penanggulannya masih rendah. Atau barangkali tingkat kemampuan
ekonomi mereka rendah sehingga tidak mampu menunjang penjagaan kesehatan
keluarga. Sampai kemudian muncul ungkapan sinis dalam masyarakat begini : “Orang
miskin dilarang sakit”. Padahal hubungan antara kemiskinan dan sakit amat akrab. Sering
terdengar pula komentar tentang sikap para dokter yang lebih bersifat sebagai “dokter
menghadapi penyakit”, yang bersifat formal terapik, dan tidak sebagai “dokter
menghadapi orang yang sedang sakit”, yang sikapnya harus lebih manusiawi dan
personal.
Setiap kali kita menyaksikan tayangan tentang kasus-kasus korban flu burung,
DBD, lumpuh layu, gizi buruk dsb, selalu dihubungkan dengan upaya penyembuhan
dan perawatan oleh bidang medik. Bahkan dalam masyarakat awam yang dimaksud
dengan penyembuhan dan perawatan sakit adalah suntik atau obat. Kalau dua tiga hari
belum ada kesembuhan setelah mereka berkonsultasi pada seseorang dokter, mereka akan
datang pada dokter lain. Pengertian semacam itu tentang pembangunan kesehatan
sebetulnya bukan hanya ada di kalangan masyarakat awam.
Pemahaman semacam itu nampaknya telah mengalami perubahan. Paradigma
sehat telah berganti dengan paradigma baru tentang sehat. WHO pernah mendefinisikan
bahwa sehat itu bukan sekadar perasaan nyaman dan terhindar dari cacat dan sidak
merasa sakit. Sehat harus dikaitkan dengan kemampuan untuk berinteraksi sosial. Untuk
itu pembanguna kesehatan bukan sekadar bagian dari penyembuhan dan merawatan,
melainkan bagaimana menciptakan kondisi sehat agar tidak sakit. Untuk itu perlu
dikembangkan sikap dan budaya sehat dalam masyarakat.

100
Yang dimaksud dengan pengertian pembangunan kesehatan adalah semua upaya
manusia yang berkaitan dengan upaya membuat warga masyarakat sehat, jasmani, ruhani,
mupun sosial. Upaya yang pertama-tana dilakukan adalah melakukan pencegahan pada
seseorang dari penyakit, yang dalam kedokteran disebut upaya preventif dan promotif.
Tujuannya untuk mencegah dan menjaga agar tidak kena penyakit. Tindakan yang
dilakukan juga melakukan promosi kepada warga masyarakat untuk bisa hidup sehat.
Secara umum langkah itu dapat dilakukan dengan menjaga lingkungan hidup
agar tidak menjadi sumber penyakit dan mengembangkan kebiasaan hidup sehat agar
terhindar diri menjadi sakit. Upaya kedua yang dilakukan adalah mengembangkan
sikap hidup sehat, yang cakup pola makan, gaya hidup maupun pola hidup keruhanian.
Upaya selanjutnya adalah mengobati penderita agar segera sembuh dari sakit, dan
dikenal sebagai langkah kuratif. Upaya yang dilakukan adalah dengan perawatan dan
pengobatan atas penyakit. Pada fase ini dilakukam pula langkah rehabilitasi pada bekas
penderita maupun masrarakat sebagai kelompok.
Langkah kebijakan kesehatan seperti itu mendasarkan pada paradigma baru
pembangunan kesehatan seperti disebutkan di muka. Yang dimaksud adalah cara
pandang maupun pola pikir atau model pembangunan kesehatan yang bersifat lintas
sektor, dan upayanya lebih diarahkan pada peningkatan, pemeliharaan, dan
perlindungan kesehatan. Jadi bukan hanya menyembuhkan orang sakit atau pemulihan
kesehatan.
Selanjutnya menurut paradigma pembangunan kesehatan itu, dikenal tiga pilar, yaitu 1)
Lingkungan Sehat, 2) Perilaku Sehat, dan 3) Pelayanan kesehatan, yang merupakan
langkah-langkah strategis pembangunan kesehatan. Semua langkah tersebut bisa
dilakukan secara individual maupun secara massal. Baik dilakukan atas prakarsa sendiri
maupun dengan fasilitasi maupun bimbinhgan dari pemerintah maupun lembaga.
Nampaknya kondisi lingkungan yang sehat maupun perilaku sehat merupakan
salah satu syarat bagi terjadinya hiodup sehat . Sedangkan ketika kita menghadapi sakit
beberapa hal yang harus dipersiapkan adalah ketersediaan fasilitas pengobatan, seperti
prasarana dan sarana kesehatan, dan tenaga medik maupun tenaga para medik sangat
multlak diperlukan, Lebih dari itu semua adalah perilaku dan budaya sehat. Lalu apa

101
dan seberapa besar peranan atau kontribusi IPS dalam mengembangkan program
kesehatan dan hidup sehat dalam masyarakat?
Nampaknya, pada fase manapun kita berada, fase preventif dan promotif,
maupun fase kuratif dan rehabilitasi, program pembangunan kesehatan melibatkan
berbagai pendekatan atau pendekatan terpadu, yang menggabungkan PLH (Pendidikan
Lingkungan Hidup), IPS, maupun kedokteran, kimia, farmakologi, keperawatan, maupun
IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat), sesuai dengan lingkup masing-masing pilar :
liongkungan hidup sehat, perilaku sehat, dan pelayanan kesehatan. Tahulah kita bahwa
pembangunan kesehatan pada dasarnya bukan interaksi antara pelayanan kesehatan
dengan penyakit, yang mencakup virus, bakteri, mikroba, patologi anatomi, inveksi
semata, melainkan menghadapi perilaku sehat maupun lingkungan sehat, yang berwujud
manusia dengan berbagai kualitas perilakunya sosial budayanya.
Dapatlah akhirnya dikatakan bahwa dalam proses pembangunan kesehatan, yang
terjadi adalah sebuah jaringan interaksi sosial yang bertujuan untuk melakukan
soisialisasi dan adaptasi sosial sesuai dengan harapn sosial dalam lingkup bidang
kesehatan. Di sinilah barangkali peranan atau kontribusi IPS dalam proses pembangunan
kesehatan harus segera dimainkan. Secara teknis fungsi itu bisa dilakukan secara
konvensional seperti kurikuler persekolahan fdormal maupun lewat pendidikan luar
sekolah (PLS) yang dilakukanm secara simultan.

7. IPS UNTUK POLITISI

Di masa Orde Baru berbagai kegiatan pembangunan, terutama kebijaksanaan


pembangunan bidang politik dan pendidikan telah dirancang dalam sebuah strategi yang
mendasar dan menyeluruh dalam apa yang dikenal dengan GBHN. Kalau dalam
pembangunan bidang politik menjadi amat penting karena akan menjadi landasan uatama
dalam pengelolaan bangsa, pemerintahan, dan negara, maka pembangunan bidang
pendidikan tidak kurang pentingnya, karena merupakan landasan bagi penciptaan dan
pengembangan generasi muda yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan rezim yang
berkuasa. Oleh karenanya talah dirumuskan segala kebijaksanaan bidang-bidang tersebut
di atas dalam BGHN secara gamblang. Dengan demikian sudah tak disangsikan lagi,

102
bahwa rumusan tersebut merupakan penjabaran dari cita-cita bangsa sejak jauh
sebelum Proklamasi kemerdekaan 1945, yaitu suatu ‘integrasi sosial’. Yang dimaksud
adalah suatu keselarasan, kerasian di antara sub-sub sistem dengan masyarakat Indonesia
sebagai suatu sistem yang lebih dikenal sebagai ‘integrasi bangsa’.
Hal tersebut di atas dapat terjadi karena pada dasarnya masyarakat merupakan
suatu kesatuan padu di antara warganya, di mana masing-masing warga memiliki peranan
tertentu karena menduduki status atau posisi tertentu pula dalam masyarakat. Di antara
mereka terjalin suatu hubungan saling ketergantungan bagaikan suatu anyaman.
Dalam konsep politik dikenal istilah ‘kesatuan nasional’ atau ‘integrasi
politik’, yang dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatasi akibat negatif dalam
masyarakat majemuk, baik dalam artian ideologis, budaya, etnis, kawasan dan
sebagainya. Sementara itu kita juga mengenal ‘pembauran bangsa’. Konsep ini
merupakan bagian dari konsep politik ‘integrasi nasional’ di atas, namun iebih
diarahkan sebagai strategi untuk mengatasi masalah eksklusifisme etnik Tionghoa,
misalnya. Yang dimaksud tidak lain adalah konsep mengenai proses integrasi sosial.
Sebetulnya konsep-konsep tersebut merupakan konsep politik, yang
menggunakan tema-tema kebudayaan. Lebih-lebih, konsep tersebut disiapkan nuntuk
menjawab rnasalah perbenturan dengan arus kebudayaan asing, yang secara politis
diartikan sebagai selalu bertentangan dengan kepentingan nasional. Semua itu
dilancarkan dalam rangka proses ‘nation and character building’ yang sudah dicanangkan
oleh Bung Karmo. Sebaliknya dengan ‘integrasi sosial’ dimaksudkan sebagai proses yang
datang dari dalam (immanent) pada setiap masyarakat, agar dapat tetap survive, agar
tidak terjadi centang perentang, khaos, kacau ataupun desintegrasi. Namun demikian,
konsep integrasi sosial itu sama sekali tidak mengandung arti suatu peleburan, yang tidak
memperkenankan keberadaan sub-sub sosial, melainkan yang penting adalah adanya
keseimbangan di antara keanekaragaman yang membentuk suatu harmoni
Sebuah ungkapan lama yang barangkali tepat untuk memberikan pengertian
yang tepat mnengenai hal itu ialah ‘Bhineka Tunggal Ika’, yang berarti ‘berbeda ragarn,
namun tetap satu jua adanya’. Di sini diakui adanya keunikan sub-sub sistem, meski
harus tetap membentuk suatu harmoni dalam suatu sistem. Hal tersebut merupakan

103
gambaran ideal dari cita-cita masyarakat Indonesia mengenai hidup dalam kebersamaan,
yang telah didambakan sejak lama.
Apa yang biasa disebut sebagai pendidikan politik pada dasarnya merupakan
pendidikan kapada warga negara maupun kepada generasi muda IPS, agar peserta didik
menyiapkan diri untuk menjadi warga negara yang baik. Penjabarannya, agar sebagai
warga negara yang baik nantinya mengetahui dan mampu memainkan fungsi sosial
mereka sesuai dengan hak dan kewajiban sebagaimana tertera dalam aturan main yang
berlaku. Program panataran P4 selama masa Ode Baru pada dasarnya program
pendidikan politik yang dilaksnakan umtuk kepentingan politik. Prosesnya tidak lain
mengikuti konsep-konsei pendidikan IPS seperti yang dikembangkan dalam lemb aga
pendidikan formal. Oleh kareananya sangatlah penting para politisi memiliki pemahaman
berbagai konsep sosiologis maupun psikologi sosial, agar lebih mampu memainkan
fungsi sebagai politisi dalam mengembangkan pendidikan politik.

8. IPS UNTUK MEMAHAMI KAUM REMAJA

Sebagai bagian dari umat manusia, remaja juga mempunyai tiga dimensi, yaitu
dimensi fisik, dimensi psikik, dan dimensi sosial-kebersamaan. Pernyataan ini sesuai
dengan anggapan yang dikemukakan Piaget menyatakan, bahwa “Psychologically,
adolescence is the age when the individual becomes integrated into the society of adults,
the age when the child no longer feels that he is below the level of his elders but equal, at
least right …”. Jadi pada saat-saat itu remaja sudah mulai merasa mempunyai hak sama
dengan orang dewasa dalam pergaulan, padahal sementara itu sebetulnya mereka belum
dapat meninggalkan dunia kanak-kanak mereka secara tuntas. Akibatnya, mereka
menjadi serba tanggung. Dalam keadaan semacam itu, mereka sering mengalami
kebimbangan ketika harus menghadapi kehidupan dalam masyarakat (E.B. Hurlock,
1981, h. 222).
Di hadapan para remaja itu terpampang budaya orang dewasa, sekali gus
mereka masih tenggelam dalam budaya kaum belia yang amat merangsang. Sebagai
akibatnya, antara lain mereka cenderung untuk mengingkari, dan bahkan sering

104
melakukan protes terhadap nilai serta x budaya orang
dewasa. Dalam pada itu mereka tidak memiliki kesiapan yang baik untuk memasuki
masyarakat orang dewasa dengan standar nilai dewasa. Untuk memberikan gambaran
lebih lengkap mengenai masa remaja, perlu dikemukakan sejumlah karakteristik remaja
sebagai berikut.

1) Masa remaja adalah masa perubahan, baik fisik maupun psikis, seperti badani
dan interesnya, kematangan seks, emosi, pembentukan pola tingkah laku, nilai,
sikap dan sebagainya.
2)
3) Masa remaja sdalah masa peralihan. Mereka meninggalkan masa lampau,
namun dalam menghadapi masa baru dihantui kebimbangan, baik dalam
memahami status maupun melaksanakan peranannya.

4) Masa remaja adalah masa kebimbangan. Jiwa mereka seolah-olah terbagi


ketika menghadapi perubahan. Mereka ingin kebebasan, namun enggan untuk
memikul tanggung jawab. Mereka juga meragukan kemampuan diri dalam
bertanggung jawab.

5) Remaja adalah masa penuh masalah. Hal ini terutama disebabkan karena
mereka sering tak mampu memecahksn masalah yang mereka hadapi.

6) Masa remaja adalah masa untuk mencari identitas diri. Pada saat-saat itu
remaja mulai meninggalkan identitas kelompok, dan mencari identitas diri
serta penampilannya dalam masyarakat.

7) Masa remaja adalah masa takut menghadapi kenyataan. Misalnya, mereka


merasa takut akan kemampuan orang tua dalam menghadapi remaja, sehingga
selalu merasa canggung.

8) Masa remaja adalah masa yang penuh khayal (unrealism). Artinya, pada

105
masa itu para remaja memandang diri mereka maupun dri orang lain, seperti
yang mereka harapkan. Akibatnya mereka sering merasa kecewa.

9) Masa remaja adalah masa memasuki ambang dewasa. Mereka mulai mencoba-
coba pengalaman baru, yang diperkirakan sebagai identitas kehidupan dewasa,
misslnya mereka mencoba merokok dan sebagainya. Dengan perilaku tersebut,
mereka yakin dapat membuat bayangan menjadi sesuai dengan yang mereka
inginkan.

(E.B. Hurlock, 1981, h. 221-225)

Secara sosiologis terlihat berbagai kecenderungan menarik dari kehidupan remaja,


yang dilihat dari dimensi sosial-kebersamsannya. Sesusi dengan usia mereka, para
remaja menunjukkan kecenderungan membentuk suatu ‘small society’, yang dikenal juga
sebagai ‘youth culture’, yang nampaknya mempunyai tujuan maupun tata nilai yang
terpisah dari tujuan dan tata nilai yang dimiliki oleh masysrakat orang dewasa. Bagi
mereka masyarakat kecil itu lebih memikat, dan di antara mereka terjalin hubungan
akrab. Bagi mereka segala tetek bengek peraturan atau kebiassan orang dewasa tidak
memikat hati, kalau datang dari orang dewasa, sehingga kemudian mereka cenderung
untuk mengundurkan diri dari tatanan orang dewass dan berdiri sendiri dalam dunia
yang memiliki standar nilai sendiri. Mereka mempunyai gaya bahasa sendiri, model
pakaian sendiri, pujaan bintang film maupun bintang penyanyi sendiri, jenis musik
sendiri dan bahkan mempunyai pola sendiri dalam memerankan serbagai ritus dalam
kelompok. Itulah yang dinamakan kebudayaan kaum belia (youth culture) (Grinder,
1975, 1. 217).
Orang dewasa seharusnya bisa memahami mengapa semua itu dapat terjadi pada
anak-anak remaja, karena pada saat-saat itu sebenarnya mereka sedang ingin menyatakan
kepada dunia luar, bahwa mereka merupakan kawula yang berbeda.
Sementara itu mereka juga merasa bahwa di antara kawan sebaya mereka adalah
satu, yang tidak mau disamakan dengan dunia orang dewasa. Dalam pengertian ini, maka
sosislisasi mempunyai artisebagai proses dan cara penyesuaian dalam hidup ber-

106
masyarakat (life-adjustment), di mana para remaja harus menelaah aspek-aspek
masyarakat yang mana atau standar nilai yang mana yang sebaiknya diterima dan mana
yang sebaiknya ditolak. Kita bisa memahami masalah tersebut kalau kita menyadari
bahwa pada saat-saat itu para remaja sedang mencari dan menemukan bentuk identitas
diri, sehingga Erick H. Erikson (1965) beranggapan bahwa sosialisasi itu identik dengan
‘identity formation’ (Grinder, 1975, h. 2-4).
Sehubungan dengan adanya ‘youth culture’ itu, maka menurut Porter (1965),
telah tumbuh semacam moralitas baru (new morality) di kalangan remaja itu. Dengan
moralitas baru itu, misalnya, mereka tidak memandang buku kotor itu kotor, atau
sumpah itu suci, misalnya. Sebaliknya, di mata mereka pornografi adalah seni,
kebebasan seks adalah cinta kasih, nihilisme adalah keberanian, dan tidak beragama itu
adalah kebebasan berfikir.
Sungguh mereka tidak habis pikir, menurut Martineau (1966), kalau mereka
memergoki para orang dewasa melanggar aturan lalu lintas, mengecoh pemerintah dalam
urusan pajak dan sebagainya, sementara para orang dewasa itu selalu saja menekankan
perlunya pendidikan politik, menekankan perlunya kesadaran hukum serta meningkatkan
moralitas bangsa, serta mengobarkan semangat patriotisme. Kesemuanya itu menambah
berkobarnya konflik nilai dalam diri para renaja, kalau mereka menyaksikan gejala
kemunafikan generasi tua. Dan hal itu menjadi sebab terhambatnya tujuan sosialisasi
(Grindar, 1975, h. 5-6).
a. Di sumpang Jalan

Sebsgai remaja mereka mssih bimbang dalam menentukan pilihan ketika menghadapi
dua tekanan atau rangsangan tersebut. Menghadapi keadaan semacam itu, menurut
Talcott Parsons, timbullah keadaan ‘mendua’ pada para remaja. Secara skematis pendapat
Parons tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

107
GAMBAR 6
DUALITY OF ORIENTATION AMONG THE YOUTH

Rising levels of An almost compulsive


expectation for independence,
children a touchiness with
respect to any adult
expectations and
demands
Duality of
orientation among
the youth

ncreased An equally compulsive


utonomy resulting to conformity and loyalty
from permissive child rearing to the peer group
practices and progressive with very literal
educational methods observation of group norms
and intolerance of deviane

Rangsangan yang datang dari luar, berupa temnan dari generasi tua
mengenai apa-apa yang seharusnya diyakini dan bagaimana seharusnya berperilaku.
Sedangkan rangsangan yang datang dari dalam, berupa meningkatnya otonomi pada
dirinya, sebagsi akibat sosalisasi. Kondisi yang demikian itu membuat dua arah orientasi
yang ditunjukkan oleh sikap para remaja, di satu pihak, arah orientasinya mengikuti
harapan orang-orang dewasa, di lain pihak, arah orientasinya menunjukkan konformitas
dan kesetiaan pada teman sebaya
Kecenderungan yang dihadapi oleh para remaja itu merupakan konsekuensi dari
adanya dimensi sosial kebersamsan remaja sebagai manusia. Terlihat di sini ekspresi atau
penampilan mereka sebagai warga bsru masyarakat. Kebimbangan para remaja itu
terletak pada adanya jalan simpang di hadapannnya, yang masing masing menuju pada

108
‘menyimpang dari norma kolektif’ dan ‘kehilangan individualitas’.
Nampaknya kecenderungan remaja dalam menghadapi keadaan yang
membimbangkan itu bervariasi, bila kita memperhatikan hasil studi-studi yang
diselenggarakan di Amerika Serikat. Misalnya, ketika hendak mengetahui kecenderungan
remaja yang berumur antara 7 - 12 tahun, Thomson (1949) dan Mitchell (1945)
menemukan, bshwa dalam menghadapi nilai para remaja cenderung menunjukksn
konformitas tinggi. Sementara itu ‘honesty’ menduduki ranking tertinggi, baru kemudian
disusul ‘kindness’ dan ‘charity’ (Arthur Te Jersild, 1965, h. 587-590). Sementara itu studi
Taba (1955) menemukan kecenderungan sebagai berikut di kalangan remaja.
1) Remaja cenderung menerima stereotype yang lazim berlaku dalam
mssyarakat
2) Remaja cenderung enggan untuk menghadapi konflik nilai yang
berlaku dalam masyarakat
3) Remaja cenderung untuk konform dan tunduk pada aturan sekolah
4) Terdapat kecenderungan untuk terjadi kesenjangan antara tata nilai yang
diakui diterima dengan yang sessungguhnya dilakukan.

Selanjutnya Peck dan Havinghurst (1960) berbasil menyusun tipe-tipe remaja


berdasar kecenderungan mereka berhadapan dengan nilai yang berlaku dalam
masyarakat, menjadi lima tipe.

1) Tipe ‘amoral’, yang ditandai dengan sifat mereka yang cenderung


infantil, impulsif tak bertanggung jawab dan sebagainya

2) Tipe ‘expedient’. Mereka merasa cerdik untuk memilih bagian-bagian


nilai mana yang kiranya menguntungkan diri mereka, ataupun cocok
dengan kepentingan mereka. Kecenderungan tersebut menunjukkan
gejala ‘self-centered’ dalam memandang lingkungan.

3) Tipe ‘conforming’, yang ditandai dengan kecenderungan untuk


melakukan perbuatan atau perilaku yang seperti dilakukan oleh orang

109
lain. Mereka juga cenderung untuk berkata seperti yang seharusnya
dikatakan.

4) Tipe ‘rational conscientious’, yang cenderung cermat penuh penalaran.


Mereka sudah menemukan standar moral yang internal, meski
dijalankan secara kaku. Baik buruk sesuatu perbuatan hanya diukur dari
peraturan, tanpa memperhatikan faktor atau efek yang mungkin timbul
dari perbuatan itu.

5) Tipe ‘rational-altruistic’, yaitu mereka yang lebih mementingkan orang


lain. Mereka sudah cukup matang dan stabil kepribadiannya, dan
menerapkan aturan secara realistik dan rational.

Dan yang lebih menarik dari temuan yang diperoleh studi tersebut ialah, bahwa
mayoritas dari remaja ‘enderung untuk konform dengan tata nilai yang ada, sedang yang
minoritas dari mereka cenderung bertipe ‘rational-altruistic’ (A.T. Jersild, 1963, h. 387-
390). Ternyata hasil studi-studi tersebut menunjang proposisi-proposisi yang
dikemukakan pada awal BAB ini, bshwa individu aakan bertingkah laku sesuai dengan
referensi-referensi pribadi sesuai dengan relevansi sosialnya; bahwa individu akan
mengekspresikan pendapat dan tingkah lakunya sebagai penampilan peran sosialnya
(role enactment) sesuai dengan harapan-harapan sosial yang relevan dengan posisi dan
statusnya dalam masyarakat (role expectations) ; atau bahwa setiap warga baru dalam
masyarakat akan melaksanakan rangkaian proses penyesuaian diri (social and life
adjustment) sesuai dengan pola kolektif yang terdapat dalam masyarakat.

b. Teori Disonans

Cara lain untuk memberi penjelasan terhadap gejala atau kondisi yang
menggambarkan remaja yang berada di antara dua tekanan, seolah-olah berada dalam
simpang jalan, ialah dengan ‘teori disonans’ atau ‘dissonance theory’ dari Festinger
(1957). Dan karena pada dasarnya teori disonans itu bertumpu pada teori kognitif, ada

110
baiknya dijelaskan lebih dahulu nengenai kognisi.
Istilah kognisi sendiri tak mengandung adanya sesuatu kepastian, namun yang
pasti ialah, bahwa istilah itu dikaitkan dengan pengertian ‘belief’, ‘opinion’,
‘knowledge’, ‘conviction’, dan sejenisnya Nyata di sini, bahwa kognisi bersifat selektif
dan subyektif, karena bergantung pada subyek itu sendiri dalam memahami sesuatu
obyek, pengalaman masa lampau maupun keadaan lingkungan (Krech et al., 1962, h. 17 -
18).
Di antara kognisi-kognisi yang dimiliki oleh seseorang terdapat pertautan satu
dengan lainnya, secara relevan ataupun tidak relevan. Manakala terdapat pertautan yang
relevan di antara kognisi tersebut, maka terjadilah hubungan saling berkaitan (interact).
Kadangkala kaitan antar kognisi itu bersifat saling menunjang, sama tindakan, yang satu
merupakan bagian yang lain, membentuk kesatuan-kesatuan, ataupun sebaliknya saling
bertentangan, memodifikasi yang lainnya, dan bahkan saling berlawanan. Dengan pendek
dapat dikatakan, bahwa kaitan keduanya dapat bersifat konsonan, dapat pula bersifat
disonans.
Sesuatu hubungan disebut konsonan, manakala terdapat konsistensi di antara
kedua kognisi tersebut, dan sebaliknya, disebut disonan manakala tak terdapat
konsistensi di antara keduanya. Sehingga dapatlah diketnukakan baliwa : ‘Two elements
are in dissonant relation if, considering these two alone, the obverse of one elemen would
follow from the other’. Ini berarti, bahwa dua hal disebut dalam keadaan disonan
manakala ‘bukan eleman yang dimaksud’ yang ternyata mengikuti ‘elemen yang lain’.
Secara matematis keadaan disonan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : banwa X
dan Y dalam keadaan disonan, seandainya bukan-X yang mengikuti Y (Lindzey and
Aronson, III 1968, h. 360).
Dalam kaitan dengan studi ini, maka dapat di kemukakan, bahwa apa yang
dapat disaksikan oleh generasi muda mengenai tingkah laku sebagian generasi tua, baik
langsung maupun tidak langsung, ialah sesuatu yang disonan. Di satu fihak mereka
menerima sesuatu tata nilai luhur masyarakat, yang diajarkan dan dimotivasikan lewat
berbagai interaksi sosial. Diharapkan oleh generasi muda, generasi tuapun tarnpil dalam
masyarakat sesuai dengan tata nilai yang diajarkan. Namun dalam kenyataan, di mata
generasi muda generasi tua justru melakukan tindakan yang tidak serasi dengan tata nilal

111
yang diajarkan tersebut. Artinya, telah terjadi sesuatu kejanggalan, karena ‘bukan X'
yang keluar mengikuti elemen Y’.
Dalam pada itu, seperti teiah dikemukakan di depan, generasi tua telah pula
melihat sesuatu kejanggalan (disonansi), karena generasi muda telah tampil ‘tidak sesuai
dengan harapan sosial’ seperti yang sejak semula diharapkan oleh generasi tua menurut
keyakinan mereka.
Menurut pandangan orang dewasa (generasi tua), generasi muda telah
mengalami ‘erosi nilai’, dan dianggap memprihatinkan oleh karenanya diperlukan
sejumlah tindakan yang mendisiplinkan kembali, agar tidak terdapat lagi kondisi
disonan. Sedangkan tindakan atau alternatif respon yang diambil oleh generasi muda
mungkin tidak sepositif yang dilakukan oleh fihak orang dewasa, karena posisi mereka
yang memang berbeda dalam masyarakat.
Di satu pihak, orang dewasa merasa menduduki posisi pemegang kendali,
karena kedudukan mereka yang mapan dalam masyarakat. Di lain pihak, orang muda
merasa belurn terikat dengan tata nilai masyarakat secara penuh. Oleh karenanya respon-
respon kaum muda cenderunga bersifat protes, urakan, menganggap sepi tata nilai,
ataupun berusaha menghindarkan diri dari situasi yang diperkirakan dapat menimbulkan
kondisi disonan Dan sebagai akibatnya, bentuk respon tersebut menimbulkan kesan masa
bodoh (apatisme) terhadap masalah sosial. Untungnya, respon yang terakhir ini akan
tampak dalam ujud konformitas dengan tata nilai masyarakat.

Disonansi kognitif merupakan keadaan berbahaya.

1) Manakala seeorang menyaksikan adanya disonansi, orang tersebut berusaha


untuk mengurangi atau melenyapkannya dengan jalan menghindarkan diri dari
kejadian yang diperkirakan dapat meningkatkan kondisi itu.

2) Setiap orang akan melakukan tindakan untuk menghindarkan diri dari


kejadian yang menimbulkan kondisi disonan.

3) Kadar disonansi terletak pada kadar pentingnya kognisi tersebut kalau

112
dilibatkan.

3) Kondisi disonan hanya dapat dikurangi atau dilenyapkan, dengan jalan (a)
menambahkan kognisi baru, atau (b) merubah kognisi yang ada.

4) Tambahan kognisi baru dapat mengurangi kondisi disonan, asalkan (a) dapat
mengurangi proporsi elemen yang disonan, atau (b) dapat mengubah kadar
pentingnya elemen tersebut bagi elemen yang lain.

5) Perubahan kognisi yang ada baru dapat mengubah kondisi disonan, asal (a)
berisi sesuatu yang dapat mengurangi kontradiksi yang ada pada masing-
masing elemen, atau (b) dapat mengurangi kadar pentingnya kognisi tadi bagi
elemen yang lain.

6) Manakala tak ada penambahan kognisi baru, dan kognisi yang ada berubah
sendiri, maka orangpun berusaha mencari informasi lain. (Lindzey and
Aronson, III,l962, h. 360-361).

Dengan mendasarkan pada proposisi-proposisi dari teori disonans tersebut,


dapatlah kita simak adanya persamaan maupun perbedaan dalam memilih alternatif
ketika menghadapi kondisi disonan pada generasi tua maupun generasi muda. Mereka
sama-sama berusaha menghilangkan kondisi disonan. Namun orang dewasa berusaha
menghilangkannya dengan jalan (6a) mengurangi proporsi elemen yang disonan, dan (7a)
mengurangi kontradiksi yang ada pada masing-masing elemen, dengan program-program
pendidikan. Sebaliknya generasi muda memilih cara (2) mengghindarkan diri dari situasi
yang bakal menimbulkan kondisi disonan, dan (6b) dan (7b) mengubah kadar pentingnya
elemen tersebut bagi elemen yang lain.
Jadi misalnya seseorang remaja akan lebih baik ‘tidak naik sepeda motor tanpa
SIM’, karena akan meningkatkan kondisi disonan, yang berupa ‘tindakan denda damai’
atau ‘peristiwa sogok’ di jalan raya. Atau barangkali, justru sang remaja akan tetap saja
‘naik sepeda motor tanpa SIM’ ataupun ‘membeli SIM’ dan sebagainya, karena ‘tanpa

113
SIM waktu mengendarai sepeda motor’ ataupun ‘membeli SIM’ bukan merupakan atau
dianggap bukan merupakan ‘elemen penting’ bagi elemen lain, yang berupa ‘tertib lalu
lintas’. Ini berarti, bahwa bagi mereka hal-hal negatif tadi bukan merupakan masalah,
atau bukan merupakan sesuatu yang disonan.
Tidakan-tindakan yang dilakukan oleh kaum remaja tersebut tidak lain adalah
ekspresi-ekspreai responsif terhadap lingkungan, sejalan dengan tingkat kematangan
mereka dalam pengejawantahan tanggung jawab sosial mereka. Namun ekspresi
responsif tersebut dapat pula berupa respon-respon disional berupa pernyataan dalam
ujud pandangan atau pendapat mengenai berbagai masalah sosial di lingkungan
mereka.

9. IPS DAN NILAI-NILAI JAWA

Mula-mula ‘Jawa’ harus dipahami sebagai konsep kemasyarakatan, baru


kemudian sebagai konsep kebudaysan, meskipun nantinya kita sering menggunakan
pengertian yang menjumbuhkan di antara kedua pengertian teraebut. Dan faktor yang
mentautkan kedua pengertian tersebut, yaitu Jawa sebagai kesatuan masyarakat dan
sebagai kesatuan budaya, ialah nilai. Sebagaimana kita ketahui, baik konsep
kebudayaan menurut Bierstedt (1970) tentang kebudayaan, maupun konsep
kemasyarakatan menurut Poplin (1960), kedua-duanya mengandung komponen nilai-
nilai kolektif yang mengikat masyarakat pendukungnya. O1eh karenanya dalam
kesempatan ini ingin dikemukakam komponen nilai-nilai hidup orang Java. Adapun
relevansi uraian metigenai ni1ai-nilai orang Jawa ini ialah, untuk memberikan
gambaran mengenai lingkungan sosial budaya bagi kepentingan pemberian penjelasan
atau untuk dapat memahami lebih baik kecenderungan yang terjadi pada warga
masyarakat.
Perlu diketahui bahwa uraian ini berkaitan dengan kenyataan sosial budaya dalam
masyarakat Indonesia yang sedang tumbuh.
Sebagai konsep kemasyarakatan, maka Jawa merupakan suatu sistem yang
abstrak dan makro. Sifat makro itu disebabkan karena kesatuan sosial terdiri dari

114
sejumlah komunitas, sejumlah lembaga dan sejumlah keluarga. Kesatuan-kesatuan sosial
yang bersifat mikro itulah yang pada hskekatnya merupakan kesatuan sosial yang konkrit.
Aspek teritorium pada mssyarakat Jawa agak sulit ditangkap, sebab agak berbaur dengan
batasan administratif pemerintahan. Sebaliknya yang lebih menonjol justru kesatuan-
kesatuan komunitas kejawaan, seperti adanya istilah ‘wong pesisiran’, ‘wong gunung’,
‘wong nagari’, atau kesatuan kelembagaan , seperti ‘wong cilik’, ’priiyayi’, atau kalau
meminjam istilah Clifford Geertz (1964) ‘santri’, ‘abangan’ atau ‘priyayi’.
Yang menonjol di sini adalah aspek-aspek keteraturan sosial dan wawasan
hidup kolektif pada pengertian kemasysrakatan Jawa yang dimaksud. Dan Semarang,
Demak, Kandal ndsb. merupakan sebuah komunitas kejawaan yang dikenali sebagai
‘wong pasisiran’, meskipun dalam kenyataan tak hanya terdiri dari kumpulan individu
keturunan orang Java. Meskipun demikian, sebagai koniunitas ‘wong pasisiran’ itu
merupakan sub sistem dari masyarakat Jawa, yang merupakan kesatuan sosial yang
terikat oleh keteraturan yang dijiwai oleh nilai-nilai hidup kolektif Jawa.
Nilai-nilai hidup Jawa inilah yang nampaknya memegang peranan dalam
kecenderungan integratif pada warga masyarakat, sesuai dengan pengertian kebudayasn
sebagai suatu ‘superorganik’. Jadi dengan pengertian itu, patut diduga bahwa nilai-nilai
kehidupan Jawa memberikan pengaruh terhadap warga masysrakat non Jawa sekalipun,
asal berada sebagai sub sistem masyarakat Jawa atau di lingkungan masysrakat yang
mengakui nilai-nilai Jawa. Ini berarti, dalam artian kebudaysan, nilai-nilai hidup Jawa
tidak dibatasi oleh kawasan teritorium, karena sifatnya yang ‘superorganik’ tadi, paling
tidak untuk nilai-nilai tertentu.
Lantas, mana gerangan nilai-nilai hidup Jawa itu? Kita ikuti paparan berikut.

a. Sosialisasi Dalam Masyarakat Jawa

Penanaman nilai-nilai hidup telah dimulai sejak dalam lingkungan keluarga


Jawa, dengan mengikuti pola tradisional. Menurut Hildred Geerz (1961), orang-orang
dewasa di sekitar anak, ataupun kakak-kakak mereka selalu memberikan apa-apa yang
diminta anak-anak, apalagi kalau mereka mulai menangis. Kebiasaan semacam itu mulai
berubah, apabila anak-anak

115
mulai menjadi besar. Menurut pola tradisional itu anak-anak biasanya dibiarkan menuruti
kehendak sendiri, selama dia tidak berbuat hal-hal yang tidak bertentangan dengan tata
nilai umum, sehingga diperkirakan dapat mengganggu keselarasan kehidupan
masyarakat. Baru ketika timbul dugaan akan terjadinya gangguan keselarasan kehidupan
itu, orang tua akan turut campur ( Koentjaraaningrat, 1984, h. 115- 240). Barangkali
inilah yang dikenal kemudian sebagai ‘tut wuri handayani’.
Di kalangan kehidupan priyayi bisa kita catat cara-cara untuk mendisiplinkan anak,
yang antara lain dengan jalan
1.2 engan nengalihkan perhatian anak-anak dari hal-hal yang tidak diperbolehkan
1.3 Dengan menakut-nakuti anak dengan menyatakan bahaya,

1.4 setan, atau makhluk lainnya yang menakutkan


1.5 Dengan menjanjikan gula-gula atau hadia

1.6 Dengan mengancam anak dengan hukuman Dengan membuat anak malu
(Koentjaraningrat, 1984, h. 243-244).

b. Serba Selaras

Dengan cara-cara yang mengikuti pola tradisional pada proses sosialisasi


yang dilaksanakan dalam keluarga-keluarga Jawa, seperti tersebut di atas, nampaknya
yang hendak dicapai ialah tertanam dan berkembangnya nilai hidup yang menghendaki
serba keselarasan dalam hidup. Nilai hidup semacam itu ditandai dengan sikap 'niimo',
yang berarti bersedia menerima keadaan bagaimanapun tidak enaknya, sebagai suatu
nasib, yaitu sebagai suatu kenyataan. Dengan begitu diharapksn anak-anak akan turnbuh
nenjadi warga masyarakat yang tabah dalam menghadapi cobaan hidup, dan kemudian
dapat menerima kenyataan hidup betapapun pahitnya, dengan pssrah.
Ajaran ‘nrimo’ itu ditanankan dengan lebih dahulu menanamkan
pengertian, bahva hidup ini pada dasarnya merupakan rangkaian kesengsaraan, dan oleh
karenanya harus dapat dijalani dengan penuh ketabahan hati dan pasrah pada nasib. Ini
semua merupakan manifestasi dan nilai keselarasan dengan nasib yang merupakan

116
pencerminan hidup metafisik orang.
Aspek kehidupan lain dari manusia Jawa ialah tercermin pada hubungannya
dengan lingkungsn alam alam hubunganmya dengan lingkungan alampun orang Jawa
dituntut untuk mengembangkan keselarasan hidup dalam arti agar tidak suka
mengganggu lingkungan fisik. Dengan berbagai cara orang tua menanamkan nilai kepada
anak-anak untuk tidak suka mengusik keseimbangan alam. Ini semua merupakan
manifestasi dari sikap hidup yang menghendaki keserasian dengan alam.
Sisi lain dari kehidupan orang Jawa, menurut keyakinan mereka adalah,
hubungan antar manusia dalam interaksi sosial, sebagai konsekuensi dari adanya
dimensi sosial-kebersamsan. Di sinipun keselarasan hidup tetap menjadi tujuan, yang
dalam hal ini dimanifestasikan dalarn cara hidup yang berorientasi pads kolateral atau
hidup penuh guyub. Sikap tersebut diambil karena mereka mempunyai keyakinan, bahva
hidup manusia itu tidak sendirian, oleh karenanya sudah wajar kalau di antara mereka
timbul rasa untuk selalu mengharapkan bantuan, dan dengan demikian harus tumbuh
‘tenggang rasadan ‘tepo sliro’ dalam kehidupan guyub mereka. Sementara itu setiap
manusia Jawa merasa bergantung pada bantuan, pandangan serta restu dari orang-orang
penting, berpangkat lebih tinggi, lebih senior ataupun lebih tua.
Dalam suasana komunitas kecil, di mana setiap warganya saling mengenal secara
pribadi, setiap warganya akan rnerasa berkewajiban untuk bertingkahlaku konform
dengan sesamanya, yang sebetulnya merupakan gsngguan terhadap kehidupan pribadi
masing -masing (Koentjarsningrat, 1984, h. 440).

c. Menghindari Konflik

Ciri lain dari nilai hidup orang Jawa ialah adanya prinsip untuk menghindari
konflik, yang merupakan manifestasi pula dari prinsip keselaraaan dalam hidup
bermasyarakatan, karena kerukunan hidup dapat terancam setiap saat oleh setiap bentuk
konflik yang terbuka. Oleh karenanya tuntutan untuk hidup secara rukun penuh harmoni
itu, yang pertama ialah rnenghindari adanya konflik terbuka, sehingga kalau seandainya
terjadi ketegangan, orang beruasha untuk tidak memperlihatkannya secara terbuka.
Sekurang-kurangnya, pada semua bentuk interaksi sosial nampak dari luar kelihatan

117
seolah-olah tenang dan rukun. Selsnjutnya F. von Magnis Suseno (1985) menilai, bahva
bagi masyarakat Jawa masalahnya bukan lagi menciptakan keselarasan sosial, melainkan
lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada.
Selanjutnya pengamatan F. von Magnis Suseno terhadap masyarakat Jawa
berhasil mengenali cara-cara orang Jawa mengusahakan pencegahan konflik, yang
menurutnya terdiri dari tiga tingkatan : (1) melalui tekanan sosial, (2) melalui
kondisionisasi psikis, dan (3) melalui nilai-nilai elit. Tekanan sosial yang dimaksud di
atas berisi seperangkat harapan-harapan sosial mengenai apa-apa yang selayaknya tidak
diperbuat dan apa-apa yang selayaknya diperbuat oleh warga masyarakat, terutama warga
baru masyarakat. Atas anggapan bahwa hal yang paling mengganggu keselarasan hidup
ialah faktor perasaan (emosi), maka yang paling diharapkan oleh masyarakat ialah
kemampuan warga masyarakat untuk mengendalikan diri, agar tidak terjadi konflik.
Norma itu terangkum dalam tuntutan untuk selalu ‘mawas diri’ dan menguasai emosi.
Penguasaan emosi itu antara lain terlihat pada kemampuan untuk tidak
memperlihatkan perassan sebenarnya, atau kemampuan untuk menyatakan perasaan
dengan cara lain. Sepintas lalu cara seperti ini tidak ada bedanya dengan ‘kepura-puraan
dalam hidup’. Namun ‘tatakrama’, ‘unggah-ungguh’, maupun ‘basa krarna’ tidak lain
merupakan manifestasi dari hasrat untuk menyatakan dengan cara lain sebagai
pencerminan kemampuan untuk menahan diri, agar supaya tidak terjadi konflik terbuka.
Dengan begitu maka suasana ketenteraman sosial tetap dapat selalu dipertahan. Cara ke
dua yang dilalui oleh masyarakat Jawa untuk mempertahankan keselarasan hidup, ialah
dengan kondisionalisasi psikis dalam bentuk internalisasi nilai-nilai. Cara ini dilalui di
dalam lingkungan keluarga seperti yang dimsksud dalam proses sosialisasi dalam
keluarga Java, seperti dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1984). Dengan
menggumakan cara-cara ancarnan dan ganjaran, anak-anak diajak untuk menghayati
nilai-nilai hidup, hingga tahu mana-mana yang salah dan mana-mana yang benar.
Yang ingin ditanamkan lewat proses ini ialsh ‘budaya malu’, yaitu perassan
‘sungkan’ atau ‘ngerti isin’ yang positif karena melakukan hal-hal yang tidak berkenan
dengan harapan-harapan sosial. Dengan cara ini ingin ditanamkan pula nilai, bahwa
menentang pendapat umum secara langsung atau menunjukkan permusuhan itu sangat
bertentangan dengan perasaan halus.Dan akhirnya cara yang biasa dilalui untuk

118
mencegah konflik ialah dengan menunjukkan sikap-sikap etis. Sikap paling mendasar
yang ingin ditanamkan dalam sosialisasi Java, ialah tidak mementingkan diri sendiri,
yang dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan sebutan ‘sepi ing parnrih, rame ing gawe’.
Sikap ‘sepi ing pamrih’ adalah sikap yang etis menurut ukuran nilai hidup Jawa, sebab
merupakan manifestasi dan gambaran watak luhur orang Java yang diukur dari
kemampuan untuk membebaskan diri dari ‘pamrih’. Pamrih sendiri berarti
mengharapkan sesuatu untuk kepentingan sndiri (individual), dengan tida menghiraukan
kepentingan orang lain. Mereka yang mampu membebaskan diri dari pamrih akan
mengembangkan sikap ‘nrimo’, sebab ‘nrimo’ berarti mau menerima kenyataan hidup
tanpa suatu protes atau pemberontakan.
Di sini ‘nrirno’ perlu mendapat penjelasan agar tidak mudah ditafsirkan menjadi
suatu gambaran putus asa atau apatis. Sebaliknya, menurut von Magnis Suseno, ’rirno’
harus ditanamkan sebagai sikap positif, karena merupakan mekanisme agar bisa tetap
survive, ketika harus menerima kenyataan yang buruk, namun tidak membiarkan diri
hancur karena mengalami frustrasi.
Sifat positif dan pengertian ‘nrimo’ tadi terletak pada ungkapan berikutnya, yang
selalu dikaitkan dengan ‘sepi mg pamrih', yaitu 'rame ing gawe’. Ungkapan terakair ini
mengandung arti, bahwa harus ada kesediaan pada setiap pribadi untuk dengan rela hati
melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan di atas pundaknya,
seeuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Dengan cara-cara itu maka orang Java
akan berusaha untuk menjaga keselarasan hidup sosial hidup spiritual, maupun hidup
dalam lingkungan fisik, karena telah berusaha sejauh mungkin untuk menghindarkan diri
dari konflik terbuka dengan siapapun.

@@@
D. PEMBERDAYAAN IPS

119
PENGANTAR

Setelah mengikuti berbagai uraian sejak dari konsep-konsep IPS yang


mendasarkan dari berbagai dasar teori ilmu-ilmu sosial, mencermati berbagai kegagalam
IPS dalam menjalankan fungsinya, merenungi berbagai potensi IPS yang biosa
dikembangkan, sampailah kita pada pembahasan mengenai bagaimana memberdayakan
pendidikan IPS, agar lebih bisa memainkan fungsinya sebagai ilmu terapan. Selama ini
baerangkali kita tidak menganggap begitu banyaknya potensi yang tersimpan dalam
berbagai fasilitas, seperti media massa, pariwisata, museum, perpustakaan dsb. sebagai
sumber belajar IPS di samping buku-buku ajar yang secara formal nyaris dijadikan satu-
satunya sumber belajar.
Dengan mengenali kembali sumber-sumber belajar baru dalam kehidupan kita
memiliki peluang untuk melakukan berbagai variasi metode mauapun pendekatan dalam
pengembangan pembelajaran IPS. Selaanjutnyaakita bisa menambah motivasi baru bagi
para siswa untuk lebih memahami IPS. Dengan demikian misalnya guru IPS tidak hanya
memiliki hanya pendekatan yang berpusat poada bahan ajar (subject matter centered)
melainkan bisa menggunakan pendekatan yang berpusat pada problem (problem
centered). Dan bahan ajar yang berpusat pada problem itu misalnya bisa kita lakukan
dengan memilih sebuah isu yang dikemukakan dalam media massa dijadikan bahan awal
pembahasan dalam kelas IPS.
Sebagai contoh dpada aklhir bab ini saya sampaikan saah satu model pendekatan
dalam KBM pendidikan IPS yang saya angkat sebagai pidato pengukuhan saya sebagai
guru besar pendidikan sejarah pada tahun 1993 dengan judul BILA ISU
KONTROVERSIAL MASUK KELAS SEJARAH.

1. MEDIA MASSA DAN IPS

120
Pendidikan IPS sangat berkepentingan dengan media massa, karena informasi
tentang kondisi warga masyarakat maupun gejala yang berkembang dalam kehidupan
mereka selalu ditayangkan atau diberitakan lewat media massa tersebut. Misalnya tentang
kerjasama mtaupun komflik yang terjadi di antara warga masyarakat itu dalam kerangka
interaksi sosial mereka. Interaksi itu bisa terjadi antar warga, antar kelompok, maupun
antara warga dengan kelompok maupun lembaga. Tayangan dan pembetritaannya hampir
selalu terdapat dalam media massa, baik cetak, elektronik, seperti koran harian, majalah
berkala maupun radio dan televisi. Masih termasuk ke dalam media massa pula adalah
selebaran, panflet, leeflet, spanduk, bilboord serta CD, VCD dan internet.
Hal-hal tersebut dapat digunakan oleh para pejabat dalam pengambilan kebijakan
untuk kepentingan umum. Hal-hal tersebut juga amat bernanfaat bagi para guru IPS
dalam mengembangkan bahan ajar dalam rangka kegiatan pembelajaran atau KBM.
Para pendidik IPS juga amat membutuhkan informasi-informasi lewat media massa
tersebut untuk menambah perbendaharaan pengetahuan untuk kepentingan peran sosial
dan profesi mereka.
Kesadaran semacam itu merupakan modal awal bagi para guru IPS untuk
menggunakan informasi dalam media sebagai bagian dari bahan ajar, sehingga misalnya
guru IPS bisa msnggunakan metode pembelajaran IPS yang bervariasi. Jadi misalnya
guru tidak hanya menggunakan subject matter centered yang berpusat pada bahan ajar,
sebaliknya bisa menggunakan penedekatan problem centered atau pendekatan yang
berpusat pada masalah sebagai alternatif. Keuntungan metode dan pendekatan yang
berpusat pada masalah adalah KBM bisa membuat IPS lebih akrab dan konkret dengan
kehidupan nyata dan lebih berhasil guna, meski membutuhkan keberanian guru
menghadapi kemungkinan proses pembelajaran menjadi meluas. Guru bisa memberi
tugas kepada para siswa untuk melakukan klipping atau pengumpulan guntingan dari
media cetak. Guru juga bisa menggunakan alat media elektronik di dalam kelas, atau
memindahkan KBM dalam ruang kelas khusus atau laboratorium IPS. Misalnya kalau
guru perlu menayangkan rekaman video atau CD maupun VCD yang dianggap relevan.
Kalau memungkinkan, terutama kalau ada dukungan dana yang amat memadai, kelas
sejarah bisa dilaksanakan dalam laboratorium komputer, untuk bersama-sama
bertselancar dalam internet.

121
Kemungkinan lain yang terjadi adalah guru harus lebih siap dengan informasi
yang tidak terdaat dalam bahan ajar berguna menghadapi setiap pertanyaan yang muncul
dalam kelas.
Sementara itu kemungkinan perebedaan pendapat terjadi dalam kelas. Namun
inilah hakekat pendidikan IPS, yaitu keberanian murid menyatakan pendapat, meski tidak
selamanya sama dengan pendapat umum atau pendapat guru sekalipun. Dengan demikian
toleransi memungkinan bisa dikembangkan dalam kelas.
Sebagai konsekuensi logis, bahan pelajaran yang termaktub dalam buku ajar
tidak selesai disampaikan di dalam kelas. Kalau kita menerima dilibatkannya media
massa sebagai bagian tak terpisahkan dari IPS sekolah maupun para guru harus berani
menyediakan media massa pada perpustakaan mapun di rumah masing-masing guru agar
siswa maupun guru memiliki ineformasi yang relatif sama. Di banding media massa
elektronik yang memiliki beerbagai keunggulan, maka keunggulan media massa cetak
terletak pada kemampuan bahan ajar itu bisa disimpan, sehingga bisa dibaca ulang
beberapa waktu kemudian dan diseba-rluaskan.
Kalau kita menolak dgunakannya pendekatan atau metode pengajaran yang
melibatkan media massa, guru IPS akan jauh lebih ringan dalam melaksanakan
profesinya, karena hanya menggunakan buku ajar sebagai acuan pokok. Dengan cara ini
guru mendapat jaminan bisa menyampaikan isi buku ajar secara lebih lengkap. Namun
sebaliknya pendidikan IPS menjadi mandul dan jauh dari berakrab-akrab dengan
lingkungan nyata.

2. MUSEUM DAN IPS

Tidak semua kota di Indonesia memiliki museum, agar bisa dikunjungi oleh
warga kota, terutama oleh anak sekolah. Namun sebaliknya tidak semua kota yang
memiliki museum mmiliki daya tarik untuk dikunjungi anak sekolah atau warga kota
yang lain sebagai tempat rekreasi maupun sumber belajar. Sekali dua kali kita
mengunjungi museum kota itu, setelah itu kita merasa jenuh, dan tidak bergairah lagi
untuk mengunjunginya. Mengapa bisa begitu?

122
Sebuah museum yang baik sebaiknya memiliki koleksi benda-benda peninggalan
masa lampau, baik benda-benda fasilitas hidup, dokumen, karya seni, maupun kerangka
binatang purba atau binatang langka, yang semuanya itu dipajangkan dalam wujud
sesungguhnya, tiruan ataupun sekadar potret. Semua prninggalan itu hsrus diberi
keterangan, sehingga bisa memberi informasi kepada pengunjung maupun pengguna
fasilitas museum, sesuai dengan fungsinya.
Dengan mengunjungi dan mengikuti apa yang terdapat dalam museum itu
pengunjung dapat berfantasi mengenai sebuah kehidupan, dan akhirnya mendapatkan
pengertian yang sebenarnya.
Di negeri-negeri maju museum-museum itu memiliki koleksi yang amat banyak
dan sesuai dengan masing-masing jenis museum. Kita bisa misalnya, mengunjungi
museum geologi, museum sejarah sosial, museum tentara, museum kerajinan, museum
teknologi, museum pers dsb.. Di samping itu semua koleksi itu ditata dengan cermat dan
menarik, sehingga seolah-olah kita menyaksikan kehidupan yang sesungguhnya.
Musem yang baik akan dilengkapi pula dengan ruang pertemuan tempat
diselenggarakan pertemuan ilmiah guna membahas berbagai gagasan di swkitar materi
yang berkaitan dengan bidang kajian tertentu. Di dalam museum itu pula biasanya
diselenggarakan pemutaran film yang berkaitan dengan peristiwa sejarah, peristiwa sosial
budaya, laporan penggalian temuan sejarah purbakala maupun dokumentasi peristiwa
sejarah kontemporer. Dalam kesempatan itulah guru IPS bisa mengajak para siswa
menyaksikannya.
Untuk itu semua tentunya dibutuhkan dana, teknologi, selera seni, dan tentu saja
pengorganisasian dan menejemen yang tinnggi. Dengan kondisi dan kualitas semacam itu
museum memiliki fungsi iedeal sebagai obyek rekreasi, sumber belajar, termasuk belajar
IPS dsb.
Guru IPS yang cerdas dan bijak akan memasukkan kunjungan ke museum sebagai
bagian dari program widya wisata, seperti halnya kunjungan ke kompleks percandian,
istana kuno, rumah adat, maupun rumah ibadah . Acara semacam itu sangat penting
dalam pengembangan pelajaran IPS, sesuai dengan fungsi dan metode-metode
pengembangan serta tujuan pendidikan IPS. Itu semua diharapkan dapat memberdayakan
pendidikan IPS untuk dapat kembali menarik minat untuk belajar dan mengajarkan IPS.

123
Kunjungan ke museum bagi siswa yang di kotanya tidak terdapat museum, bisa
melakukan kunjungan itu pada masa liburan.

3. PARIWISATA DAN IPS

Program pariwisata di hampir semua negara di dunia telah berkembang pesat.


Salah satu tujuan pariwisata adalah melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang belum
pernah dikunjungi maupun telah dikunjungi terutama untuk memenuhi tujuan rekreasi.
Oleh karenanya lokasi-lokasi yang menjadi tujuan wisata adalah tempat-tempat yang
memiliki pemandangan indah, seperti pesisir, pegunungan, danau maupun hutan yang
dinilai memiliki keunikan dan daya tarik para wisatawan. Kita mengenal hutan wisata,
misalnya. Kita juga mengenal wisata air dengan berbagai kendaraan air, Bahkan pada
lokasi tertentu para wisatawan laut akan menikmati pemandangan bawah laut yang penuh
dengan pemandangan biota bawah laut yang menakjubkan.
Tujuan lain dari kegiatan wiasata adalah untuk mendapatkan pengalaman baru
maupun pengalaman ruhani. Itu sebabnya tujuan wisata bukan hanya lokasi-lokasi yang
memiliki pemandangan yang dapat memenuhi selera keindahan atau melakukan rekreasi,
melainkan juga lokasi-lokasi sebagai sumber pengetahuan, seperti kompleks percandian,
lokasi gejala alam, seperti gua-gua di daerah pegunungan gamping, kawah kepindan
gunung berapi, jeram maupun air terjun dsb. Lokasi semacam itu bukan hanya yang
alami, melainkan juga lokasi yang merupakan buatan manusia, seperti pabrik pembuatan
pesawat terbang di Bandung, bendungan Kedung Ombo, pusat listrik tenaga alam
mapapun. Bisa PLTGas, PLTUap, bisa PLTAngin, dan bahkan PLTNuklir. Sedangkan
tujuan wisata yang berpotensi memenuhi kepuasan ruhani atau spiritual, misalnya mesjid,
gereja maupun makam-makam tokoh yang dianggap suci, seperti makam para wali dsb.
Termasuk juga kiranya lokasi-lokasi yang memiliki mata air yang dianggap keramat
maupun api alam yang juga dianggap keramat.
Kunjungan ke lokasi-lokasi seperti itu tak ayal memiliki potensi sebagai sumber
belajar, sehingga banyak dijadikan sebagai ttujuan wisata belajar atau widyawisata atau
study tour.

124
Jangan dilupakan pula obyek tujuan wisata yang amat terkenal, yaitu Pulau Bali,
yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata. Pulau itu merupakan anugerah Tuhan yang
memiliki daya tarik amat banyak untuk menjadi tujuan wisata, baik untuk tujuan rekreasi
maupun tujuan sumber belajar, serta tujuan spiritual. Dan tidak boleh pula dilupakan
tujuan yang amat erat hunungannya dengan salah satu tujuan pendidikan IPS, yatiu saling
pengertian di antara sesama warga bangsa. Masih tergolong obyek wisata yang termasuk
wisata spiritual adalah kunjungan ke tanah suci, seperti kota Mekah, Medinah maupun
Jerusalem. Kunjungan wisata spiritual itu dikemas ke dalam ibadah haji dan umroh.
Barangkali kegiatan pariwisata terakhir ini merupakan paket wisata yang paling
besar dilakukan umat manusia. Di sinipun tujuan untuk mengembangkan saling
pengertian di antara sesama manusia, amat pantas diharapkan menjadi bagian dari tujuan
wisata.
Di kota-kota besar makin banuyak bermunculan lokasi kegiatan bisnis, yang
memiliki potensi sebagai tujuan wisata, yaitu pasaraya maupun mall. Di samping untuk
memdapatkan barang keperluan hidup sehari-hari seperti halnya pasar maupun toko, para
pengunjung mendapatkan juga kesempatan untuk berekreasi maupun pengalaman baru.
Tidak pula disebut berlebihan kalau pasaraya maupun mall itu menjadi tempat interaksi
sosial yang efektif, karena dikunjungi oleh waerga kota dari berbagai kelas sosial dan
terjadi pula interaksi bisnis. Oleh karenanya tidaklah berlebihan kalau tempat itu bisa
dikembangkan sebagai sumber belajar IPS. Guru bisa memberikan tugas kepada para
siswanya untuk melakukan pemngamatan sosial yang efektif, sebagai bagian dari proses
pembelajaran IPS.
Hal terakhii nampaknya menambah perebendaharaan baru dalam jenis wisata.
Bukan lagi hanya jenis wisata rekreasi, wisata belajar, wisata ruhani, namun juga wisata
bisnis.
Dan tidak pula boleh diabaikan kemungkinan lokasi bekas bencana alam
dijadikan obyek wisata. Misalnya lokasi bekas tsunami di Aceh, sebagian Yogyakarta
yang pernah dilanda bencana alam itu disisakan seperlunya sebagai semacam monumen
peringatan, semacam lokasi bekas pemboman di Nagasaki dan Hirosima di Jepang yang
sekaligus menjadi tujuan wisata.

125
Tidaklah berlebihan kalau lokasi-lokasi bekas bencana itu dijadikan monumen
yang amat bermanfaat bagi pendidikan IPS. Termasuk lokasi luapan lumpur gas panas di
Porong Sidoarjo sebagai akibat “salah bor” oleh Lapindo Brantas bisa pula
dikembangkan menjadi daerah wisata alam. Inipun amat bermanfaat bagi pendidikan IPS.
Yah, mengapa tidak?

4. PERPUSTAKAAN DAN IPS

Perpustakaan merupakan tempat atau ruangan yang menyimpan berbagai sumber


belajar dari sumber tertulis. Di sana orang bisa membaca sumber belajar apapun yang
tersedia, sehingga disebut sebagai taman bacaan. Oleh karena tersedia bahan pustaka
itulah fasilitas itu kemudian disebut taman pustaka atau perpustakaan. Perpustakaan itu
nampaknya sudah menjadi bagian dari kehidupan para cendekiawan dan ilmuan manusia
sejak awal sejarah, yang artinya sejak manusia memasuki era baca tulis dan bukti sejarah
diambil dari peninggalan bertulis itu.
Mula-mula mereka menatahkan tanda-tanda baca ataupun figur-figur pada
dinding-dinding gua, pada batu-batu prasasti untuk sesuatu peristiwa. Nampaknya itu
merupakan perpustakaan pertama yang bisa dibaca oleh orang lain atas ekspresi mental
menusia.
Pada peradaban Mesir purba lempeng-lempeng batu bertulis itu ditulis dengan
rangkaian huruf berupa goresan bentuk gambar burung, mata, matahari maupun simbul-
simbuil geometris. Pada perkembangan berikutnya mereka menggunakan daun-daun
pohon papirus unatuk menuliskan ungkapan hati itu, Dari kata papirus itulah kita
sekarang mengenal kata papir yang berarti kertas. Sementara itu peradaban Cina kuno
sudah pula mencoretkan ekspresi perasaan mereka dengan coretan cat pada lembaran-
lembaran kain.
Peradaban India kuno juga telah mentorehkan ekspresi perasaan mereka pada
tonggak-tonggak batu maupun dinding gua. Pertulisan pertama yang kita jumpai dalam
peradaban Indonesia kuno kita dapati pada prasasti batu di daerah Kedu, Bogor, Sumatra

126
Selatan, maupun di Kutai. Itu bisa kita baca setelah sekian ratus tahun tertulis. Itulah
perpustakaan pertama di Indonesia.
Setelah budaya tulis menulis makin berkembang, dan sarana tulis menulis juga
makin berkembang, kita mendapatkan ungkapan tertulis itu pada daun-daun pohon
lontar. Kata lontar itu sebenarnya berasal dari dua kata, yaitu ron tal, yang berarti daun
pohon tal. Naskah-naskah kuno yang berupa ron tal itu merupakan bagian dari isi
perpustakaan modern, yang merupakan bahan pustaka yang ditulis tangan maupun
dicetak dengan alat cetak terkini. Biasanya bahan pustaka pada bahan-bahan bukan kertas
lebih lazim disimpan bukan di ruang perpustakaan, melainkan di museum.
Dalam perpustakaan itu tidak hanya tersedia naskah tertulis berupa karya sastra,
karya ilmiah maupun karya jusnalistik yang ditata sedemikian rupa, dan disusun
mengikuti sistem katalog yang teratur. Di sa,mping itu perpustakaan juga menyimpan
pula kumpulan dokumen maupun arsip berbagai catatan sejarah, perjanjian, pernyataan,
deklarasi maupun peoklamasi sesuatu peristiwa dalam sejarah. Selanjutnya di zaman
serba elektronik seperti sekarang ini berbagai arsip maupun dokumen tertulis itu telah
disimpan dalam bentuk microfile film, dan bisa dibaca kembali pada layar komputer
yang tentunya tersedia dalam ruang baca khusus di perpustakaan.
Di perpustakaan yang lengkap tentunya tersedia ruang-ruang untuk diskusi
maupun auditorium untuk pemutaran film, CD maupun VCD, seperti yang terdapat dalam
museum.
Dengan berbagai fasilitas yang tersedia itu dam kelengkapan isi perpustakaan itu,
guru IPS bisa memanfaatkannya untuk kepentingan pendidikan IPS. Nsamun guru IPS
yang kreatif tidak hanya pandai memanfaatkan perpustakaan yang canggih, melainkan
juga harus bisa memanfaatkan perpustakaan yang amat sederhana sekalipun yang tersedia
di sekolah.

4. ARSIP NEGARA

Jenis peninggalan sejarah dalam bentuk yang tertulis disrebut dopkumen.


Dokumen-dokumen itu disimpan dalam fasilitas penyimpanan khusus yang disebut

127
Badan Arsip Negara. Lembaga ini memang dimaksudkan sebagai fasilitas pelayanan
untuk mempermudah bagi semua pihak kalau membutuhkan. Untuk mendapatkan bahan
yang perlu disimpan salah satu cara yang dilakukan adalah meminta pada semua pihak
untuk menitipkan dokumen maupun arsip yang terkait pada Badan Arsip Negara yang
dikelola oleh pemerintah itu. Dokumen-dokuimen itu sekali waktu dbutuhkan oleh para
penelii yang terkait dalam melengkapi data yang dibutuhkan.
Jenis dokumen itu amat bervariasi, mulai dari lembaran berisi berbagai macam
peraturan perundangan, naskah perjanjian, surt-surat resmi penting, atau surat berupa
MoU antar sejumlah lembaga maupun surat pendirian dan susunan pengurus sesuatu
organisasi masyarakat oganissi, kantor dagang dsb. sampai surat-surat pribadi, termasuk
surat cinta yang mengandung kenangan tertentu, yang ditulis oleh tokoh tertentu, dan
masih banyak macam lainnya.
Dokumen atau arsip itu bisa masih berujud dokumen asli, bisa juga hanya
salinannya. Dan dokumen-dokumen atau arsip itupun biasa masih seperti bentuk aslinya,
bisa juga sudah dalam bentuk nicrofile, atau mocrofilm agar lebih efisien
menyimpannya, dan agar dapat lebih mudah memberi palayanan bagi yang
membuthkan.Tentu saja semuanya harus disimpan mengikuti sistem katalog yang efisien.
Sudah barang tentu guru IPS sangat berkepentingan terhadap keberadaan fasilitas
itu, yang semuanya dapat diakses untuk kepentingan pendidikan maupun untuk keperluan
penelitian. Dan oleh karena berbagai fasuilitas tersebut di atas, mulai dari museum,
perpustakaan maupun Badan arsip Ngara itu tidak terdapat pada sembarang kota, tentu
saja kunjungan ke sana bisa dilakukan lewat kunjungan pariwisata pendidikan atau
widyawisata.

5. LEMBAGA-LEMBAGA PUBLIK DAN IPS

Kelembagaan lain yang tidak kalah pentinya untuk dimanfaatkan dalam


pengembanagn ppendidikan IPS adalah lembaga-lembaga publik. Yang dimaksud adalah
jawatan atau dinas yang mengurusi berbagai urusan masyarakat, seperti Pengadilan
Negeri atau loembaga di atasnya, Perbankan, Pemerintah desa dan lembaga di atasnya,

128
DPRD/DPRRI, KPU/KPUD, Badan Pusat Statistik, pasar tradisional, pasaraya, pasar
modal/Valas dsb.
Ada beberapa keunggulan pada lembaga-lembaga ersebut di atas dibanding
dengan lembaga-lembaga tersebut sebelumnya sehubungan dengan mnfaatnya bagi
pendidikan IPS. Fugsi lembaga-lembaga pertama . seperti perpustakaan,museum, maupun
arsip negara justru ketika lembaga-lembaga itu dalam keadaan ”tidur”. Artinya keadaan
lembaga-lmbaga itu hanya sekadar sebagai obyek kunjungan. Sementara itu lembaga-
lembaga yang tersebut terakhir, seperti Pengadilan Negeri, Pasar Valas, maupun
DPRD/DPRRI
, merupakan lembaga-lembaga yang berfungsi memproses berbagai kegiatan yang
terkait. Seperti PN melakukan proses pengadilan terhadap sesuatu kasus, Pasar Valas
melakukan kegiatan pasar, dab. DPRD/DPRRI melakukan persidangan. Semua kegiatan
itu dalam batas tertentu bisa diikuti oleh masyarakat. Dalam peluang seperti itulah guru
IPS maupun kegiatan lenelitian untuk pendidikan IPS bisa mendapat manfaat. Dengan
demikian lembaga-lembaga publik tersebut merupakan obyek widyawisata yang amat
bermanfaat bagi pengembangan pendidikan IPS.

E. TANTANGAN DAN DUKUNGANPADA IPS

PENGANTAR

Pada bagian skhir dari buku ini akan disajikan dua buah tulisan tentang dua hal
yang berlawanan dalam kaitannya dengan pendidikan IPS. Yang pertama tentang hal-hal
atau kondisi-kondisi yamg menjadi tantangan bagi pendidikan IPS, dan yang kedua
mengenai hal-hal atau kondisi-kondisi yang mendukung tujuan pendidikan IPS.
Dua tulisan tersebut diharapkan bisa memantapkan kita tentang hakekat
pendidikan IPS, serta tujuan akhir apa yang hendak dicapai dengan pendidikan IPS, serta
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan IPS itu.
Lebih dulu perlu diingatkan kembali bahwa tujuan akhir dari pendidikan IPS
adalah tercapainya integrasi sosial di antara seluruh warga masyarakat.

129
Meski mereka terdiri dari berbagai keturunan berbeda, status sosial berbeda, ras berbeda,
pendidikan berbeda, maupun keyakinan agama serta aliran politik berbeda, mereka
adalah sesama warga masyarakat. Dalam konsep politik barangkali kondisi semacam itu
terjadi karena semua warga masyarakat telah menjadi warga negara yang baik. Masing-
masing warga negara merasa menjadi bagian dari masyrakat. Untuk itu semua setiap
warga baru atau calon warga baru harus melakukan proses penyesuaian diri dengan tata
nilai baru yang menjadi tata nilai yang diakui masyarakat. Itulah yang disebut sebagai
sosialisasi.
Dengan pengertian itu semua akan kita lihat hubungan antara pndidikan dengan
berbagai konsep yang dianggap menentang dan mendukung pendidikan IPS.

1. TANTANGAN PADA IPS

Absolutisme merupakan paham atau keyakinan tentang adanya kekuasaan mutlak


yang dimiliki oleh penguasa duniawi. Seingkali para penguasa itu menyebut diri
mendapat kekuasaan dari Tuhan. Bahkan ada di antara mereka yang justru menafikan
keberadaan Tuhan, dan mensetarakan diri sebagai Tuhan itu sendiri. Namanya bisa
Firaun, Kaesar, Maharajadiraja, Sultan, Shahensyah dsb. Bisa pula presiden. Kekuasaan
mereka tidak ada tandingannya, karena semua kekuasaan ada di tangannya. Ya sebagai
sumber kekuasaan, pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang, serta
pengadilan.
Kalau yang menjadi penguasa mutlak dalam sebuah negara atau masyarakat
hanya satu, yang terjadi adalah penindasan. Namun bila semua warga masyarakat
mengaku memiliki kekuasaan yang mutlak, maka yang terjadi adalah benturan
kekuasaan selamanya. Dengan demikian tidak bakal bisa terjadi integrasi sosial dalam
masyrakat tersebut, seperti diharapkan dengan pendidikan IPS.
Otoritarianisme merupakan watak atau semangat yang ada pada penguasa yang
melaksanakan kepemimpinannya secara otoriter. Artinya semua kekuasaan untuk
mengatur orang lain, atau negara, dilaksanakan sendiri secara mutlak. Atau sekehendak

130
dirinya sendiri. Kalau kekuasaan absolut menunjukkan status atau sistem kekeuasaan,
maka otoritarianisme adalah keadaan pelaksanaan kekuasaan yang dilaksanakan
sekehendak diri sendiri (otoiter).
Kita bisa membayangkan kalau ada sejumlah warga masyarakat yang bersifat
otoriter, tidak akan ada musyawarah atau tenggang rtasa di antara mreka. Ini sama artinya
watak otoritarian merupakan tantangan bagi pendidikan IPS.
In toleransi merupakan watak maupun sikap orang yang tidak menghargai
pendapat orang lain, bahkan kehadiran orang lainpun dianggap tidak ada. Dengan begitu
tidak mungkin dalam masyrakat terjadi integrasi sosial, kalau warganya memiliki watak
intoleran satu terhadap lainnya.
Masing-masing merasa dirinya yang paling penting, paling terhormat, paling
berkepentingan dsb. Lalu apa yang bisa kita harapkan dari mereka itu dalam interaksi
sosial? Tidak ada harmoni di sana.
Globalisme merupakan suatu kesadaran bahwa tidak ada lagi pertimbangan
situasi dan koindisi dalam memandang sesuatu bangsa dalam percaturan dunia. Semua
bangsa dipandang sama, karena tidak ada lagi sekat yang bernama waktu maupun lokasi
yang membatasi keberadaannya dalam pergaulan dunuia.
Kalau dulu mereka, bangsa-bangsa Barat yang merasa kuat lalu datang
menguasai bangsa yang lemah, disebut sebagai penjajah, yang harus dikutuki, sekarang
setiap bangsa harus berani beridiri sama tinggi dengan setiap bangsa dalam persaingan
terbuka. Itulah hakekat liberalisme yang paling nyata dalam konsep globalisme.
Masing-masing bangsa harus siap untuk bersaing, meski kualuitas maupun kondisi
masing-masing tidak sama. Lalu yang senantiasa siap memenangi perjuangan itu pastilah
yang paling kuat. Ibarat pertandingan tinju antar kelas dalam satu ring tuinju. Inilah yang
disebut penjajahan gaya baru. Inilah konsep “Freefight lioberalism”. Mungkinkah
terjadi integrasi sosial dalam masyarakat?
Di sana tidak bakal ada toleransi, karena masing-masing merasa memiliki hak
untuk berbuat sesuai dengan HAM merurut versi masing-masing.
Bagaimana pula dengan eksklusivisme? Kalau ada warga masyarakat yang lebih
menyenangi hidup menyendiri, dan tidak mau bergabung dengan warga masyarakat lain,
itu disebut eksklusif. Mereka tidak mengakui lagi perlunya melakukan interaksi dengan

131
sesama warga. Tidak terdapat rasa ketergantungan antar warga. Mereka nyaris hidup
dalam tata nilai sendiri, lepas dari tata nilai masyarakat yang diakui umum.
Dalam kenyataan eksklusivisme adalah absolutisme dalam pandangan atau
perilaku, karena mereka beranggapan bahwa secara absolut tak bisa ada interaksi.
Tahulah kita bahwa di dalam masyarakat mereka tidak bisa melakukan penyesuaian sosial
dan tidak akan terjadi integrasi sosial.
Di antara warga masyarakat ada yang menunjukkan sikap apatis, yaitu merasa
tidak berkepentingan dengan segala yang menjadi kepentingan maupun kegiatan warga
masyarakat. Mereka senantiasa merasa masabodoh terhadap segala yang tidak ada
kaitannya dengan kepentingan diri mereka. Semangat semacam itu disebut apatisme.
Sikap apatis jelas bukan merupakan sikap warga masyarakat yang baik, jadi
bukan merupakan sikap warga negara yang baik pula. Mereka tidak akan dapat dilibatkan
dalam krjasama untuk kepentingan bersama. Mereka juga jauh dari memiliki rasa
sosidaritas sosial.
Sementara itu kita mengenal sikap warga masyarakat tidak tunduk pada tata nilai
yang berlaku. Dengan tegas mereka menolak tata nilai tersebut, yang ditunjukkannya
dengan cara mundur dari pergaulan, Secara fisik barangkali mereka tiudak meninggalkan
pergaulan sosial yang ada, namun mereka tudak menunjukkan ketundukannya pada tata
nilai yang berlaku. Itulah semangat retretisme. Atau mngundurkan diri masyarakat yang
memiliki tata nilai yang tidak disukainya.
Agak sulit membedakan antara sikap yang secara tegas menolak bekerjasama
dengan sikap yang penuh apatisme sosial dan penuh kepura-puraan.
Ritualisme merupakan semangat yang mendasari sikap dan perilaku yang hanya
menunjukkan ketundukan pada tata nilai masyarakat secara lahiriah. Mereka
menunjukkan ketundukan pada tata nilai masyarakat, dan mengikuti simbul-simbul tata
nilai yang berlaku tanpa ada kesetiaan dan pengertian yang mendalam terhadap tata nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Mereka hidup dalam gemerlapnya ritual dan tradisi
masyarakat, sehingga secara lahiriah saja mereka menunjukkan konformitas sosial.
Dengan demikian kalau kmudian terlihat adanya integrasi sosial, hanyalah integrasi yang
semu dan selalu goyah (labil).

132
Kondisi lain yang tidak menguntungkan adalah bila masyarakat tengah dilanda
anarkisme dalam masyarakat. Pada saat itu nyaris tidak ada keteraturan, karena warga
masyarakat dapat melakukan segala sesuatu tanpa mengindahkan peraturan. Semuanya
serba chaos, serba tidak ada aturan. Hukum ada namun nyaris tuidak ada yang
kengindahkannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu memang tidak ada pemerintahan.
Bisa juga hal itu terjadi karena pemerintah yang ada atau penegak hukum yang ada tidak
memiliki kewibawaan. Hal itu terjadi dalam proses perubahan sosial dan masa
peraalihan (transisi) dalam banyak sektor kehidupan, terutama dalam aektor hukum.
Dalam masyrakat yang tengah dilanda anarki dengan sendirinya tidak ada tata
nilai yang akan dijadikan acuan maupun landasan. Dengan demikian proses sosialisasi
tidak bisa diandalkan bakal terjadi.
Fanatisme merupakan tantangan lain yang mnghadang proses sosialisasi seperti
dikehendaki pemdidikan IPS. Disebut sebagai tantangan karena fanatisme merupakan
semangat yang terlalu berpihak pada sesuatu pilihan secara emosional, Pilihan itu nyaris
secara apriori tidak mungkin bergeser. Obyek pilihan itu bisa berupa afiliasi politik, jenis
produk tertentu, rumah makan langganan dsb. Hal-hal semacam itu sebetulnya tidak ada
masalah, karena tidak mengganggu orang lain, Juga tidak mengganggu proses sosialisasi
menuju intergrasi sosial. Namun kalau kecenderungan itu bersikap apriori menolak
pendapat orang lain, atau apriori menerima inovasi yang akan dikembangkan masyarakat
menjadi berbahaya, karena tidak mungkin terjadi musyawarah dalam masyarakat.

2. DUKUNGAN PADA IPS

Kalau ada hal-hal atau kondisi tertentu yang dianggap sebagai tantangan bagi
pendidikan IPS, ada juga hal-hal atau kondisi yang ternyata mendukung pelaksanaan
pendidikan IPS. Hal-hal tersebut antara lain adalah demokrasi, transparansi, toleransi,
kekuasaan hukum, inovasi, serta rebeli.
Hal atau kondisi pertama yang memiliki dukungan kuat pada pendidikan IPS
adalah semangat demokrasi. Semangat itu bersumber pada paham, bahwa berbagai
masalah dalam tata pergaulan umat manusia harus dilandasai pada semangat demokrasi

133
itu. Yang dimaksud adalah semangat yang menekankan pada kekuasaan orang banyak,
dalam bahasa politik diformulasikan sebagai rakyat. Mengapa rakyat, karena suara rakyat
diyakini sebagai suara Tuhan. Vox populi, vox Dei, demikian dalam bahasa aslinya.
Dalam pelaksanaannya kekuasaan itu terjabar pada ungkapan “Dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”. Ini berarti harus ada forum di mana rakyat harus menjadi
sumber kekuasaan, rakyat harus menjadi pelaku klekuasaan dan ksejah teraan harus
dinikmati oleh rakyat. Dengan perkataan lain demokrasi sering diartikan sebagai adanya
musyawarah, adanya kesamaan derajat di hadapan hukum, maupun adanya kebebasan
untuk menyampaikan pendapat. Kondisi maupun semangat semacam itu sejalan dengan
tujuan ppendidikan IPS, yang menghendaki azas demokrasi sebagai salah aatu nilai
yang diakui dalam masyarakat.
Pada dasarnya semangat demokrasi diikuti semangat keterbukaan atau
transparansi dalam interaksi sosial. Keterbukaan berarti setiap warga masyarakat sama-
sama berhak dan berkewajiban untuk berpartisipasi sesuai dengan ketemntuan yang
dirumuskan beersama, lewat musyawarah. Dengan semangat seperti itu proses integrasi
sosial akan berlangsung sesuai dengan harapan-harapan sosial yang telah
dikomunikasikan.
Yang dimaksud dengan toleransi adalah semangat untuk menghormtai kehadiran
seseorang dalam komuniats baru, meskipun memiliki pendapat maupun pandangan yang
berbeda. Semangat semacam itu merupakan persyaratan utama untuk membangun
masyarakat demokratis yang penuh keterbukaan. Pada gilirannya dalam interaksi sosial
yang berkembang akan mudah terbangun integrasi sosial seperti dicita-citakan oleh
pendidikan IPS.
Selanjutnya masih dibutuhkan kepastian hukum dan kekuasaan hukum agar
semua warga ,maupun segala tindakan masyarakat tidak memiliki keraguan sesama
warga masyarakat. Para penguasa formal tidak dikhawarirkan akan melakukan kebijakan
yang bertentangan dengan harapan sosial. Semua pihak yang terlibat dalam interaksi
sosial juga tidak akan dikhawatirkan melakukan pelanggaran atas komitmen yang telah
disepakati bersama, karena adanya kepastian hukum itu. Hukum sendiri harus memiliki
kewibawaan untuk bisa mendisiplinkan setiap warga masyarakat untuk tetap menjadi

134
warga negara yang baik. Sekali lagi tujuan akhir dari kondisi yang kondusif itu adalah
tercapainya integrasi sosial.
Nampaknya proses integrasi sosial itu tidak boleh berlangsung statis, apalagi
mandeg atau stagnan karena warga masyarakatnya bersifat apatis terhadap yang tengah
terjadi dalam masyarakt. Dalam masyarakat dibutuhkan dinamika agar bisa berlangsung
proses perubahan sosial maupun perkembangan yang sehat. Untuk itu dibutuhkan
semangat pada warga masyarakat yang senantiasa berwatak kritis dan inovatif. Yang
dimaksud dengan kritis dan inoivatif dimaksudkan sebagai semangat untuk menerima
pembaharuan secara mentah tanpa pertimbangan kritis. Semangat inovatif artinya
menerima sebuah tata nilai baru secara kritis. Mereka hanya menerimanya sesuai
semangat tata nilai baru, namun tidak merasa perlu mangadopsi seluruh kelembagaan
maupun simbul-simbul tata nilai baru itu.
Pada akhirnya masih ada semangat atau kondisi lain yang merupakan dukungan
bagi terjadinya proses integrasi sosial. Yang dimaksud adalah rebeli, yang secara hatrfiah
diartikan sebagai memberontak. Pengertian memberontak disini diartikan sebagai
perlawanan terhadap nilai-nilai yang bertentangan harapan sosial sebenarnya atau
kemauan umum. Kemauan umum itu barangkali masih laten, tidak secara gamblang
dimyatakan secara rerbuka. Semangat rebeli itu barangkali tidak dimiliki oleh semua
warga masyarakat. Meskipun demikian orang pilihan itu dianggap mampu menangkap
kemauan umum yang masih tersembunyi, dan kemudian secara eksplisit dikemukakan
oleh orang pilihan itu. Lalu orang dengan semangat rebeli itu melaksanakan perlawanan
terhadap tata nilai lamna yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat
pembaharuan. Bung Karno merupakan salah satu contoh tokoh yang melakukan rebeli
terhadap tata nilai penjajahan. Demikian juga ara pahlawan maupun para nabi telah
melakukan rebeli terhadap tata nilai lama yang menentang kehendak Tuhan atau harapan
Tuhan.

@@@

135
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Su'ud, 1986, Kecenderungan Konfarmitas Pendapat Para Iswa


Tiga SMA (Kolese Loyola, Muhamadiyah, dan Taman Siswa) di
Semarang, Mengenai Berbagai Masalah Sosial, Dalam Rangka Proses
Integrasi Sosial, Disertasi, tidak diterbitkan, IKIP Bandung.

Abu Su'ud, 1990, “Pengajaran Sejarah”, dalam Seminar Sejarah Nasional V,


Jakarta : Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.

Ahmad Sanusi, 1972, Beberapa Pendekatan dan Alat dalam Studi Sosial , IKIP
Bandung.: Bagian Penerbitan FKIS IKIP Bandung.

Alisyahbana, Sutan Takdir, 1974 : Values As Integrating Forces IPersonality, Society


and Culture, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.

Bakker, J. W. M, 1984 : Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar,


Penerbit Yayasan Kanisius, BPK. Gunung Mulia, Yogyakarta.

Banks, James A., 1977 : Teaching Strategies for the Social Studies, Inquiry, Valueing
and Decision Making, Second edition, Addison - Wesley Publishing
Company, Massachusetts.

Boocock, Same Spencer, 1982 : Sociology of Education, AnIntroduction, Houghton


Miffin Coy., Boston.

Brouwer, MAW dkk., 1979 : Kepribadian dan Perubahanya, Penerbit PT. Gramedia,
Jakarta.

Charters, W.W. Jr. and N.L. Gage (ed), 1964 : The Social Psychology of
Education (Reading), The Allign and Bacon, Boston.

136
Clifton, James A. (ed), 1968 : Introduction to Cultural Anthropology, Houghton Hiffin
Coy., Boston.

Deighton. Lee C., : The Encyclopedia of Education, Vol. 8, Me. Millan,New York.

Dick Hartoko (ed), 1985 : Memanusiakan Manusia Muda, BP Kamsius,


Yogyakarta.

Elkind, David, 1974 : Children and Adolescents, Interpretive Essays


on Jean Piaget, Oxford University Press, New York.

German, Richard M., 1972 : Discovering Piaget: a guide for teachers, A


Bell and Hovell Company, Ohio.

Grinder, Robert E, 1973 : Adolescence, John Willey and Sons, Inc., New York.

Kincaid, D. L. and W. Schramm, 1977 : Azas-azas Komunikasi Antar Manusia, Suatu


Adaptasi, LP35ES -East West Communication Institut, Jakarta.

Kinget, G. Marian, 7975 ; On being Human, A Systematic View, Harcourt


Brace Jovanovich, New York Chacago.

Kinlock, Graham C., 1977 : Sociological Theory , Its Develoment and ajor
Paradigms, McGraw- Hill Company, London.

Kleden, Ignas, 1985 : "Pembaruan Kebudayaan : Mengatasi Transisi", RRISMA No. 5,


Jakarta.

Kleden , Ignas, 1985 : "Kebudayaan, Agenda buat Dayacipta",PRISMA 1, tahun


XLV, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1984 : Kebudayaan Jawa, PN. Balai Pustaka, Jakarta.

Krech, David, et al. , 1962 : Individual in Society, McGraw- Hill,Kogakhusa

137
Lindzey, Gardner and Phot Aronson (ed), 1975 : The Handbook of Socialychology, Vol.
I - V, Second Edition, Amerind Publishing Coy., T.,Limited, New Delhi.

Merton, Robert K. and Nisbet R.A,1961 Contemporary Social Problem,


Harcourt, Brace and World, Inc. New York.

Mangunwijaya, 1980 : "Paradigma Baru Pendidikan", PRISMA 7, 1980 ,


Jakarta.

Mochtar Buchori, 1981 : "Nilai-nilai Indonesia dalam Perbenturan" PRISMA no.


11, Nopember, Jakarta.

Moser, C.A. and G. Kalton, Survey Methods in Social Investigation,

Heinemann Educational Book, London.Mulder, Niels, 1985 : Pribadi Dan


Masyarakat Di Jawa, Penerbit Sinar Ilarapan, Jakarta.

Mussen, Paul and Mark. Rosenzweig, 1975 : Psychology , An Introduction, University


of California Werkeley, DC., Heath and Company, Massachusetts.

Newcomb, Theodore M. et al., 1978 : Social Psychology, The Study of Human


Interaction, Ny. Joesoef Noesjirwan dkk.,Penerbit CV. Diponegoro,
Bandung.

Nimpoeno, John S., 1982 : Kepribadian dan Sistem Sosial : Suatu Ulasan
Interaksional dalam Konteks Psikologi, Fakultas Psikologi UNPAD,
Bandung.

Ogburn, Willam F. and Meyer F. Nimhoff, 1964 : A Handbook of Sociology, Routledge

& Kegan Paul Ltd., London.

Preston, Ralph C., 1967 : Teaching Social Studies in the Elementary School,
Revised Edition, Holt Rinehart Winston, New York.

138
Rubington, Earl and M.S. Weinberg, 1971 : The Study of Social Problems, Five

Perspectives, University Press, New York.

Sarlito Wirawan Sarwono, 1985 ; "Pandangan Sosial Politik Remaja",PRISMA No. 9,


Th. XIV, Jakarta

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed), 1964 : Setangkai Bunga Sosiologi,
Jajasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Sri Mulyono, 1978 : Watak Satria, dan Sastrajendra, PT Gunung Agung, Jakarta.

Sudaryo, dkk., 1983 ; "Sosialisasi Pada Perkampungan Yang Miskin Di Kota Semarang"
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pusat
Penelitian Sejarah dan Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta dan Semarang.

Sudjana, 1975 : Metode Statistika, Penerbit Tarsito, Ban dung.

Suseno, Franz von Magnis, 1983 : Etika Jawa dalam Tantangan :Sebuab Bunga

Rampai, BP Kanisius, Yogyakarta.

Suseno, Frans von Magnis, 1985 : "Konflik dan Harmoni : Pengelolaannya dalam

Kawasan Indonesia". PRISMA no. 2 / 1985 th. XIV, Jakarta.

Taba, Hilda, 1962, Curriculum Development Theory and Practice1 Chicago, New
York : Harcourty, Braces World, Inc.

Wesley, Edgar B, 1950 : Teaching Social Studies in High Schools,Third Edition,


Heath, London.

Young, Kimball, 1955 : Social Psychology, Appleton Century, Crafts Inc.,


New York. Zadrozny, John, 1959 : Dictionary of Social Sciences, Public
AffairsPress, Washington, DC.

139
-——--, 1977 : Pergerakan Muhammadiyah, Badan Hukum
yangMenyelenggarakan Sekolah dan Perguruan Tinggi, PP
Muhammadiyah -Majlis Pendidikan,Pengajaran dan Kebudayaan, Jakarta.

——-, 1980 : Piagam Dan Peraturan Besar Persatuan Taman Siswa, Majelis Luhur
Taman Siswa, Yogyakarta.

-------- ,1983, UUD 1945, P4 DAN GBHN: BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,
Depdikbud, Jakarta.

-------- 1988, UUD 1945, P4 DAN GBHN BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,
Depdikbud, Jakarta.

140
LAMPIRAN 1

BILA ISU KONTROVERSIAL MASUK KELAS SEJARAH


Oleh
Prof. DR. Abu Su`ud

A. PENDAHULUAN

Pada suatu hari seorang mahasiswa mengemukakan sebuah pertanyaan kepada


dosen sejarah di dalam kelas sejarah, yang diambil dari tulisan-tulisan yang dimuat dalam
sebuah majalah berita. Tulisan semacam itu nampaknya juga dimuat dalam media massa
lain, seperti surat kabar, radio maupun televisi di Indonesia, karena termasuk ke dalam
'big news". Misalnya, tulisan tentang lama masa jabatan presiden, kriteria yang cocok
untuk jabatan wakil presiden, benar tidaknya tokoh pahlawan Peta Supriyadi masih
hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam kompleks Kraton Kasunanan Surakarta,
serta rencana memfungsikan Gedung Lawang Sewu di Semarang sebagai hotel.
Sedangkan tentang kejadian di mancanegara muncul pula tulisan-tulisan tentang sah
tidaknya klaim dan aneksasi Saddam Husein atas Kuweit, terlibat tidaknya Presiden Bush
dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah Yugoslavia pasca desintegrasi
dengan pemerintah lama, misi pelayaran Akatsuki Maru yang memuat plutonium
Perancis ke Jepang, maupun penghancuran Mesjid Babri oleh kaum militan Hindu, yang
berkeyakinan bahwa mesjid tersebut telah didirikan di atas reruntuhan Candi Rama, pada
masa Wangsa Moghul berkuasa di India. Tulisan-tulisan tersebut dianggap sebagai isu
kontroversial, karena mengandung kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di
kalangan masyarakat ramai maupun cendekiawan di Indonesia.
Manakala isu kontroversial semacam itu dikemukakan di dalam kelas sejarah,
maka amat bervariasi kemungkinan tanggapan yang muncul dan para dosen sejarah.
Seorang dosen barangkali akan dengan senang hati menanggapi isu tersebut, dengan
membuka kesempatan untuk diskusi kelas. Dan dari sana pembicaraan akan memasuki
pokok bahasan yang sudah terjadwal. Dosen lainnya barangkali mencoba untuk
menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan

141
mahasiswa yang sulit dilerai.
Perbedaan pendapat di kalangan dosen sejarah tersebut mencerminkan adanya
perbedaan prinsip mengenai dapat tidaknya isu-isu sosial dimasukkan sebagai bagian dari
proses belajar mengajar sejarah, sebagai bagian dari IPS, Iebih-lebih manakala isu
tersebut bersifat kontroversial.
Dalam kesempatan ini akan saya kedepankan hasil studi empirik mengenai
kemungkinan dimasukkannya isu kontroversial sebagai bagian dari proses belajar
mengajar.

B PARADIGMA ILMU SEJARAH

Sebelum sampai pada pokok bahasan utama, yaitu masuknya isu kontroversial
dalam kegiatan belajar mengajar sejarah, ada baiknya dikemukakan berbagai hal
mengenai sejarah itu sendiri, maupun tujuan pendidikan sejarah. Paling tidak ada dua
cara untuk mendefinisikan pengertian sejarah. Penama, sejarah dianggap sebagai
keseluruhan kejadian yang dialami oleh umat manusia di masa lampau. Kedua, sejarah
dianggap sebagai catatan atau rekaman kejadian-kejadian itu sendiri (Daniels, 1966 : 3).
Dengan adanya catatan maupun rekaman itu sejarah dapat dikomunikasikan dari generasi
ke generasi lain, yang kemudian dikenal sebagai bagian dari proses pendidikan. Dengan
batasan pertama, sejarah dianggap sebagai kumpulan fakta atau "history as a fact", dalam
artian kejadian obyektif tentang sesuatu yang betul-betul terjadi. Sedangkan dengan
batasan yang kedua, sejarah dianggap sebagai memori tentang masa lampau,
sebagaimana dialami atau didengar oleh seseorang secara subyektif, yang kemudian
disebut sebagai "history as written".
Oleh karena sejarah merupakan kenangan sesuatu bangsa terhadap pengalaman
bangsa itu sendiri, maka melupakan sejarah berarti bangsa itu seolah-olah menderita
amnesia. Oleh karenanya perilaku sosial berikutnya menjadi tidak utuh, karena tidak
didasarkan atas pengalaman masa Iampaunya. ltulah sebabnya Bung Karno pernah
menyampaikan pidatonya yang terkenal dengan judul Jasmerah, yang merupakan
singkatan dari nasihatnya “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.
Meskipun jalan sejarah itu unik dan hanya sekali saja terjadi, namun pengalaman

142
menunjukkan bahwa sejarah dapat mengajarkan sesuatu kepada umat manusia yang mau
belajar dari sejarah. Seorang filsof Yunani kuno, Heraklitos, pernah mangatakan, bahwa
“kalian tidak dapat menginjak untuk kedua kalinya aliran sungai yang sama, lantaran
aliran sungai yang baru akan selalu mengaliri kaki kalian” (Daniels, 1966: 4 dan 5).
Demikian pula sejarah itu sendiri terus berlalu, namun dia meninggalkan pelajaran bagi
bangsa-bangsa berikutnya.
Sementara itu tanggapan warga masyarakat terhadap fakta sejarah maupun cerita
sejarah tidak selamanya sama, sehingga menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang
komentar maupun pandangan orang-orang itu disampaikan dengan cara-cara yang
merangsang, bahkan menimbulkan pertentangan pendapat atau kontroversial, yang pada
gilirannya memancing pendapat yang berkepanjangan. Media massa telah menyajikan
isu-isu kontroversial itu, sehingga materi sejarah bukan lagi hanya menjadi urusan para
sejarawan, melainkan juga oleh masyarakat awam maupun para pengajar sejarah. Salah
satu kemungkinan yang terjadi adalah munculnya sikap yang bervariasi dari para
pengajar sejarah.
Dalam kesempatan ini akan saya kedepankan hasil studi empirik mengenai
kemungkinan dimasukkannya isu kontroversiai sebagai bagian dari proses belajar
mengajar sejarah, sebagai bagian dari pendidikan IPS.

1. Fungsi-fungsi Sejarah

a. Sejsrsh berfungsi sebagai genesis, oleh karenanya bersifat deskriptif, naratif,


dan informatif. Dalam hal mi sejarah berisi rangkaian fakta yang dianggap
menarik untuk dikisahkan dari generasi ke generasi. Sejarah hanya berisi hal-
hal mengenai faktor-faktor What; Who, When, Where dan How. Sejarah dengan
demikian lebih merupakan hasil karya sastra ataupun rumusan gagasan falsafi,
sehingga dikenal sebagai "history as art" ataupun humaniora. Itu sebabnya
Jurusan Sejarah dalam Universitas-Universitas dimasukkan ke dalam Fakultas
Sastra dan/atau Filsafat, misalnya.
b. Sejarah berfungsi didaktis, oleh karena itu dipilihlah fakta di sekitar
pengalaman masa lampau yang membanggakan, menyedihkan dan sebagainya,

143
yang dikomukasikan kepada generasi muda untuk tujuan mengobarkan
semangat. Berbagai nilai luhur (ideal) bangsa ingin disampaikan lewat
pendidikan sejarah, agar terjadi proses sosialisasi dalam generasi baru, untuk
menumbuhkan semangat kepahlawanan, patriotisme, nasionalisme dan
sebagainya.
c. Sementara itu aliran Sejarah Baru (New Historisism) amat menekankan
pada perlunya sajian fakta sejarah secara Iebih oblektif, lugas atau apa adanya.
Sejarah oleh karenanya harus tidak usah dikaitkan dengan usaha mendidik
(didsktis) untuk membangkitkan semangat kepahlawanan dan sebagainya, pada
generasi baru. Sejarah oleh karenanya harus disusun atas dasar fakta yang
sesungguhnya terjadi, sehingga diperiukan proses studi sejarah kritis. Hasilnya
disajikan dalam wujud sejarah sebagai karya llmu (history as science) dalam
bentuk buku sejarah (history as written). Dalam fungsi se macam inilah sejarah
dianggap sebagai bagian dari llmu Pengetahuan Sosial, yang dalam konteks
persekolahan disebut Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dengan alasan itu
pulaiah Jurusan Sejarah di IKIP dimasukkan ke dalam Fakultas Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosisl (FPIPS).

C. . IDENTIFIKASI TUJUAN PENDIDIKAN SEJARAH

1. Paradigfna Tujuan Pendidikan Nasional

Berbagai tujuan penidikan nasional pada berbagsi negara secara teoritik dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, sesusi dengan paradigma pendidikan yang
dikembangkan. Di negeri-negeri sedang berkembang pendidikan dipandang sebagai
"process of cultural transmission", di mana pendidikan dimaksudksn untuk
menyampaikan dan melestarikan kebudaysan yang telah dianggap mapan (Taba, 1962 :
19). Konsep tentang “pelestarian nilai-nilai perjuangan 1945”, misslnya, merupakan salah
satu bukti dipergunakannya sistem pendidikan yang demikian itu (Abu Su'ud, 1986 :
110 ). Orientasi pengajaran sejarah yang dianut oleh negeri-negeri yang baru mencapai

144
kemerdekaan, amat menekankan pada bentuk sejarah nasional (Ballard ,1970 : 37).
Sementara itu di negeri-negeri bersistem komunis atau sosialis
dikembangksn prinsip bahwa pendidikan merupakan "process of cultural transformation",
atsu proses untuk merubah warga masyarakat menjadi tenaga kerja yang amat diperlukan
oleh lapangan pekerjaan atau industri (Taba, 1962:19). Oleh karena itu pengajaran sejarah
harus disrahksn pada penanaman pengertian mengenai benarnya prinsip “perjuangan
kelss”, yang mendasarkan pada azas “historis materislisme” atau “dialektika sejarah”
yang dianut oleh mereka (Ballard, 1970 : 39).
Di negeri-negeri Eropa dan Amerika, yang menganut sistem sosial yang
liberalistik, berkembang sistem pendidikan yang menganggap pendidikan sebagsi
"process of individual development", karena setiap individu dipandang sebsgai individu
yang unik (Taba, 1962 :19). Oleh karena itu pengajaran sejarah di sekolah harus
dikembangkan untuk dua hal, yaitu “kebanggssn nasional” dan “pengembangan saling
pengertian antar bangss” (Ballard, 1970 : 40).
2. Kesesusian dengan Sistem Pendidikan Nasional

Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, balk menurut GBHN 1983 msupun


GBHN 1988, sama-sama beranggapan akan perlunya pengembangan pendidikan sejarah
perjuangan bangsa, dalam rangka untuk meneruskan dan mengembangksn jiwa,
semangat, dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Dan keduanya sama-sama tidak
menggunakan huruf besar dalam menyebut “pendidikan sejarah perjuangan bangsa”.
Amanat tersebut tetap sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional menurut GBHN 1983.
a.…bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsasn dan cinta tanah air,
agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas
Penibangunan Bangsa (GBHN, 1983).

Apabila kita simak, bunyi Undang-Undang No. 2 Tahun l989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab Il, PssaI 4 mengandung butir-butir penting, yang antara lain :

145
1) mencerdaskan kehidupan bsngsa, 2) mengembangkan konsep manusia Indonesia
seutuhnya, seperti religius, berbudi pekerti luhur, cakap, sehat, berpengetahuan, dan 3)
sadar akan tanggung jawab sebagai masysrakat dan bangsa.
Dari sana terlihat betapa Sistem Pendidikan Nasional kita tidak hanya
menekankan pengertian pendidikan pada fungsi “process of cultural transmission”,
melainkan sekaligus merupakan “process of cultural transformation” dan “process of
individual development”. Dengan demikian maka Model pengajaran sejarah di Indonesia
harus selalu mengacu pada seperangkat rujukan yang sesusi dengan (1) fslsafsh Pancasila
(bsndingkan dengan falsafah dialektika materislisme bagi pengajaran sejarah di Soviet
Rusia); (2) ketakwssn kepada Tuhan YME, budi pekerti, semangat kebangssan, cinta
tanah air, yang sesusi dengan fungsi “cultural transmission”; (3) dapat menumbuhkan
manusis-manusia pembangunan, yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsanya, sesusi dengan fungsi “cultural
transformation”; (4) meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan , sesuai dengan fungsi
“individual development”; serta (5) mengembangkan saling pengertian antar bangsa,
seperti bunyi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea terakhir “...dan ikut
malaksanskan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial ...” (GBHN 1983).

3. Tujuan pendidikan Sejarah di Sekolah

Dalam Kurikulum 1964 dan 1968 pengajaran sejarah lebih memberikan peluang
bagi mengembangan rasa kebangsaan. Dalam Kurikulum 1964, misalnya, tujuan yang
demikian itu terlihat jelas baik dalam jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal itu terjadi karena pelajaran
sejarah berstatus sebagai bagian dan Pendidikan Kewarganegarsan (Civics). Keadaam
semacam itu masih dirasakan dalam Kurikulum 1968, lebih-lebih ketika pemerintah Orde
Bsru mulai mengembangksn program Pendidikan Kewarganagaraan, menyusul terjadinya
pemberontakan G 30 S/PKI pada 1965. Rumusan tujuan seperti “Menghayatkan kepada
pelajar riwayst perjuangan Bangsa Indonesia dengan segala hambatannya (feodalisme,
kolonialisme) untuk mencapai perikehidupan yang bebas, bahagia, adil dan makmur"

146
menjadi ciri utama tujuan pendidikan sejarah pada awal Orde Baru itu (Hasan 1990 : 72)
Sementara itu tujuan pengajaran yang mengarah pada pengembangan kognitif
telah muncul pula pada Kurikulum 1968 itu. Misalnya, Kurikulum SMA menyebutkan
bshwa Pendidikan Sejarah bertujuan “untuk menanamkan historis inzich kepada anak
didik, agar mereka mengetahui segala peristiwa dalam hubungan sejsrah, yang
merupakan suatu proses sebab-akibat yang berkelanjutan”. Dalam Kurikulum 1975 misi
Pendidikan Sejarah sebagai sarana pengembangan kognitif, amat menonjol. Hal itu
dirasakan sekali ketika status Pendidikan Sejarah dianggap sebagai bagian dari llmu
Pengetahuan Sosial (IPS) (Hasan, 1990 : 73).
Dalam Kurikulum 1986 kedua tujuan tersebut, kognitif dan afektif, sudah
digabunghkan dalam Pendidikan Sejarah. Fungsi sebagai pendidikan nilai dari sejarah
lebih-lebih terasa dengan munculnya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa (PSPB), yang secara khusus dimaksudksn sebagai sarana untuk mengembangksn
jiwa dan semangat nilai-nilai 1945, yaitu patriotisme, kepahlawanan, rela berkorban
maupun nasionslisme (Abu Su'ud, 1990 : 93). Sejarah di sini dipelajari sebagai sejarah
normatif. Di samping itu tetap diajarkan mata pelajaran sejarah yang lebih menekankan
pada pengembangan kognisi dan intelektual siswa. Di sini sejarah dipelajari sebagai
sejarah empirik.
Sampai di sini muncullah kemudian sejumlah masalah dalam dunia pengajaran
sejarah, yang muncul karena para guru sejarah harus melakukan sejumlah penyesuaian
diri dengan tugas-tugas profesional mereka. Masalah itu bermula dari pengertian
konseptual mengenai peranan sejarah dalam kehidupan manusia, potensi sejarah dalam
dunia pendidikan dan pengajaran ataupun bagaimana sejarah diajarkan. Sudah barang
tentu masalahnya dapat berkembang ke arah perbincangan mengenai peranan PSPB,
karena meskipun GBHN masih menganggap perlu peranan PSPB dalam proses
pendidikan, pengalaman menunjukksn terjadinya kejenuhan dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah-sekolah.
Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, balk menurut GBHN 1983 maupun
GBHN 1988, sams-sama memandang perlu pengembangan pendidikan sejarah
perjuangan bsngsa, dalam rangka meneruskan dan mengembsngkan jiwa, semangat, dan
nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Kalau kita perhatikan maka dalam kedua konsep

147
tersebut tidak ditulis dengan huruf besar (=PSPB). Ini berarti bahwa misi itu tidak harus
dilaksanakan dalam satuan program yang eksplisit, seperti pelajaran PSPB dalam
kurikulum sekolah. Itu pula yang menjadi sikap para perumus kurikulum bsru yang akan
segera diberlakukan pada tahun 1994. Di sana tidak dipisahkan Iagi fungsi untuk
pengembengan watak bangsa lewat PSPB, dan fungsi pengembangan inteklektual lewat
pengajaran sejarah sebagai bidang studi.

D. MENINGKATKAN EFEKTIVITAS METODE MENGAJAR SEJARAH

1.Mencari Alternatif Baru

Lebih dari dua tahun yang lalu seorang warga negara Indonesia menyatakan
keprihatinannya mengenai pengajaran sejarah di sekolah. Orang tersebut adalah salah
seorang pengguna hasil pendidikan sejarah di sekolah, yang karena merasa tidak puas
dengan hasil pendidikan tersebut menyatakan keluhan serta mengajukan saran dalam
pengajaran sejarah di sekolah. Yang dimsksud adalah Bspak Haji Ismail, Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, yang nampak juga hadir dalam ruangan
ini. Keluhan tersebut dinyatakan dalam Pidato Sambutan dalam Pembukaan Seminar
Sejarah Nasional V di Semarang pada 27-30 Agustus 1990. Dalam kesempatan itu antara
lain dikatakan
“Memang kita akui bidang studi sejarah saat ini kurang diminati, baik di sekolah
maupun di perguruan tinggi. Hal ini terbukti adanya banyak keluhan para guru sejarah
kita. Sementara kita tahu, bahwa seiarah nasional mempunyal kriteria khusus dalam
pembinsan watak generasi muda kita, seperti menumbuh kembangkan jiwa patriotisme.
Di samping itu, melalui pelajaran sejarah nasional, anak-anak kita dapat memahami arti
pengorbanan para pahiawan kita dalam menegakkan kedaulatan negaranya. Melihat
kenyataan ini, terasa agak memprihatinkan manakala, bidang studi ini menjadi “samben”
bagi anak-anak kita. Untuk itulah pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan
harapan-harapan sebagai berikut Pertama, carilah alternatif terbaik untuk merangsang
minat belajar sejarah nasional bagi pelajar maupun mahasiswa. Hal ini penting artinya
bagi pembinaan semangat guru sejarah ...” (Ismail, 1990).

148
Paling tidak ada dua hal yang patut mendapat perhatian dari keluhan warga negara
yang mempunyai keprihatinan terhadap pengajaran sejarah itu. Pertama, ungkapan kata
“menumbuh kembsngkan jiwa patriotisme”. Ungkapan tersebut terasa lebih manusiawi
dan demokratis dibanding ungkapan yang lazim digunakan, seperti menanamkan jiwa
patriotisme maupun menanamkan nilai-nilai empatlima. Ungkapan tersebut timbul dari
kejelasan akan pandangan kita tentang hakekat manusia. Digunakannya ungkapam
menumbuh kembangkan menunjukksn betapa manusia tidak dianggap sebagai objek
mati, melainkan sebaliknya sebagal manusia yang mempunyai potensi fitrah. Fungsi guru
dengan demikian sangat tepat kalau dinyatakan sebegai membantu peserta didik dalam
mengembangkan din mencapai kedewassan.
Rumusan-rumusan dalam Undang-Undang No. 2 1989 lebih menegaskan lagi
akan perlunya kita menggunakan ungkapan yang lebih manusiawi dan demokrstis itu. Di
sana disebutkan
(1) Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikapan kemampuan
(Pasal 13 UU No.2 1989).
(2)Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang
diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
…” (Passl 16 UU No.2 1989).
Ungkapan menyiapkan peserta didik tersebut, jauh lebih tepat
dibanding ungkapan mencetak peserta didik, sebagaimana sering kita gunakan
selama ini.
Kedua, ungkspan "Carilah alternatif terbaik untuk merangsang minat
belajar sejarah nasional bagi pelajar maupun mahasiswa" di atas, membuat kita
tersentak dan serta merta menyadari akan perlunya kita mencari dan menemukan
alternatif alternatif terbaik untuk merangsang belajar sejarah bagi pelajar maupun
mahssiswa. Sudah barang tentu alternatif yang akan dikemukakan dalam pidato ini bukan
yang terbaik, namun musti alternatif yang dimaksudkan untuk lebih merangsang belajar
sejarah.

2. Landasan Pemikiran

149
a.Kepedulian Sosial

Salah satu tujuan pengajaran sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial adaiah
untuk menyiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik, serta berpikir kritis,
yang antara lain terlihat pada adanya kepedulian sosial. Dalam kaitan dengan kegiatan
belajar mengajar sejarah hal tersebut dapat tedihat pada kecenderungan tanggapan
mereka terhadap berbagai isu kontroversial dalam masyarakat; seperti tulisan tentang
lama masa jabatan presiden, tokoh yang cocok sebagai wakil presiden, benar tidaknya
tokoh pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam
kompleks Kraton Kasunanan Surakarta, serta rencana memfungsiksn Gedung Lawang
Sewu di Semarang sebagai hotel. Sedangkan tentang kejadian di mancanegara muncul
pula tulisan-tulisan tentang sah tidaknya klaim dan aneksasi Saddam Husein atas Kuweit,
terlibat tidaknya Presiden Bush dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah
Yugoslavia pasca desintegrasi dengan pemerintah lama, maupun misi pelayaran Akatsuki
Maru yang berisi plutonium Perancis ke Jepang.

b. Proses Pendemokrasian

Secara teoritik kerangka pemikiran itu didasarkan atas anggapan dasar, bshwa
demokrasi merupakan cara hidup yang menghargai alternatif, yang berarti warga
masyarakat mempunyai kebebasan untuk berbicara, berkumpul, mengajar dan
sebagainya. Tanpa adanya kebebasan itu rakyat tidak mempunyai kesempatan untuk
memerintah atau melsksanakan kedaulatan rakyat. Dalam lembaga sekolah para siswa
yang dididik untuk menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab,
mempunyai peluang untuk berlatih mengembangkan jiwa demokrasi itu dengan
menyatakan pendapat, meskipun berbeda dengan pendapat orang lain, misalnya terhadap
berbagai isu sosial yang bersifat kontroversial.
Sekolah ternyata mempunyai fasilitas untuk memberikan pengalaman kepada
para siswa/mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan kognitif, emosi, serta
ketrampilan yang berkaitan dengan hak masyarakat demokrstis (Hartshorn dan Nu'msn

150
Somantri, 1971:49).
Yang menjadi dasar konsep tersebut adalah kenyataan bahwa setiap bsngsa, setiap
warga masyarakat akan dihadapkan pada banyak isu dan masalah, yang menimbulkan
perbedaan pendapat adanya kepedulian sosial. Dalam kaitan dengan kegiatan belajar
mengajar sejarah hal tersebut dapat terlihat pada kecenderungan tanggapan mereka
terhadap berbagai isu kontroversial dalam masyarakat, seperti tulisan tentang lama masa
jabatan presiden, tokoh yang cocok sebagai wakil presiden, benar tidaknya tokoh
pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam
kompleks Kraton Kasunanan Surakarta serta rencana memfungsikan Gedung Lawang
Sewu di Semarang sebagai hotel. Sedangkan tentang kejadian di mancanegars muncul
puls tulisan-tulisan tentang sah tidaknya klaim dan aneksssi Saddam Husein atas Kuweit,
terlibat tidaknya Presiden Bush dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah
Yugoslavia pasca desintegrasi dengan pemerintah lama, maupun misi pelayaran Akstsuki
Maru yang berisi plutonium Perancis ke Jepang.

c. Relevansi Sosial Budaya

Secara konseptual dapat difahami, bahwa kecenderungan tanggapan maupun


sikap seseorang terhadap sesuatu isu atau objek, merupakan bagian dari pemeranan atau
penampilan seseorang dalam posisi sosial mereka. Sikap atau tanggapan itu tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan sosial mereka. Pola tingkah laku yang telah menyatu dalam
masyarakat itu dalam sosiologi dikenal sebagai “design for living” bagi warganya. Gejala
semacam itu membuktikan kebenaran dari konsep “cultural determinism”, menurut para
antropolog, Herskovits maupun Mslinowski, atau “social determinism” menurut para
sosiolog (Abu Su'ud, 1986,170-171)
Dalam masyarakat yang mengenal sistem demokrssi yang mengandalkan
“musyawarah untuk mufakat”, sebagaimana difahami masyarakat pada tahapan
pembangunan sekarang, pengajar maupun mahasiswa sejarah di Jawa Tengah, sebagsi
bagian dari masyarakat Jawa Tengah pada umumnya, yang menurut pendapat
Kuntjaraningrat (1984) bertingkah laku lebih mengutamakan keselarasan dengan
lingkungsn alam maupun sosial, dikhawatirkan mereka cenderung tidak tertarik untuk

151
mengajukan isu kontroversial dalam kelas sejarah. Terasa sekali, bahwa ungkapan
“musyawarah untuk mufakat” cenderung difahami sebagai keharusan untuk selalu
konform dengan pendapat umum. Sehingga ungkapan keterbukaan yang amat dianjurkan
oleh pemerintah, hanya dirasakan sebagai slogan melulu, yang menandakan masih
rendahnya kemandirian (otonomi) pada sebagian anggota masysrakat dalam menyatakan
pendapat.
Kesimpulan semacam itu tentu saja sangat hipotetis sifatnya. Namun
bagaimana kenyataan yang terjadi?
3. Pengalaman Empirik

a. Masalah dan Tujuan

Untuk menjajagi kemungkinan dilaksanakannya gagasan isu kontroversial dalam


kelas sejarah, diperlukan pengalaman empirik dari lapangan. Yang menjadi masalah
untuk dipecahkan dengan penelitian tersebut ialah bagaimana kecenderungan tanggapan
mahasiswa maupun pengajar sejarah dalam menanggapi isu kontroversial yang
berkembang dalam masyarakat, dalam ran gka kegiatan belajar mengajar sejarah di
perguruan tinggi.
Secara operasional penelitian dikembangksn dengan tujuan untuk mengetahui
lebih rinci : 1) kecenderungan tanggapan mahasiswa sejarah terhadap isu kontroversial
dalam kelas sejarah, 2) kecenderungan jenis isu kontroversial yang dihindari untuk
dibahas dalam kelas sejarah, dan 3) kecenderungan tanggapan pengajar sejarah terhadap
isu kontroversial yang diajukan mahasiswa dalam kelas sejarah.

b. Populas
i
Populasi penelitian ini adalah para pengajar maupun mshasiswa sejarah pada beberapa
perguruan tinggi di Jawa Tengah, karena mereka sama-sama terlibat dalam kegiatan
belajar mengajar dalam lembaga yang melaksanakan pendidikan sejarah pada Jurusan
Sejarah. Dalam kenyataan terbukti bahwa populasi tersebut terbagi menjadi tujuhan
penelitian, atas dasar perbedaan kondisi maupun kekhasan, sebagai berikut.

152
Atas dasar efisiensi kerja, maka dilakukan penelitian sampel dengan menentukan
semua pengajar bidang studi sejarah yang sudah mandiri dalam memberikan kuliah
(Golongan III d ke atas atau sederajat), dan semua mahasiswa smester Vii pada tahun
kuliah 199011991. Hasilnya adalah 34 orang pengajar sejarah dan 181 orang mahasiswa
sejarah sebagai responden untuk seluruh daerah penelitian. Kepada mereka dan kedua
kelompok responden tersebut, diberikan daftar pertanyaan (kuesioner) yang berbeda.

C. Temuan dari Lapangan

Hasil dari lapangan dapat disajikan sebagai berikut


1) Mahasiswa mempunyai kesiapan mental tinggi dalam menanggapi isu kontroversial,
karena kebanyakan (83%) di dalam keluarga mereka merasa mempunyai kebebasan
berpendapat (periksa Tabel 2) meskipun berbeda dengan pendapat umum, sementara
itu mereka termotivasi kerangsangan yang tinggi oleh media masa (77%) (periksa
Tabel 3), dan bagian terbesar (89%) tertarik untuk mendiskusikan isu kontroversial
dengan teman kuliah ( Tabel 4).

2). Dalam hal kecenderungan jenis isu kontroversial yang dihindari mahasiswa untuk
dibahas dalam kelas sejarah, berurutan sebagai benkut : ideologi (27%), agama
(22,6%), politik (14%), budaya (12%), sosial (1137%), ekonomi (?;5%), dan hankam
(5%). (Periksa Tabel 5).
3) Sebesar 18% para pengaajar sejarah cenderung sangat bergairah membahas isu
kontroversial yang diajukan mahasiswa dalam kelas sejarah, menurut pandangan
mahasiswa, sebanyak 65% cenderung hanya berkomentar sekilas, sebesar 11% lagi
mengaku tidak pernah membahasnya, dan sisanya (6%) seialu men ghindar untuk
membahasnya. (Periksa Tabel 6). Informasi itu datangnya dari fihak mahasiswa ketika
ditanya tentang pengajar sejarah mereka di kelas. Ada perbedaan menyolok antara
pendapat yang dikemukakan oleh mahasiswa dengan jawaban yang diberikan oleh para
pengajar itu sendiri. Kita ikuti informasi berikut ini Sebagian besar (73%) mengaku
bergairah membahas isu kontroversial itu dalam kelas. Sementara sebanyak 21 % hanya
menanggapi ala kadarnya. Sedangkan Iumlah yang mengelak karena khawatir

153
menimbulkan selisih pendapat ada 3%, dan yang beralasan tidak menguasai masalah ada
3% (Periksa Tabel 7).

4. iskusi

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa mahasiswa yang


kebanyakan merasa mempunyai kebebasan dalam keluarga untuk menyatakan pendapat
(sebanyak 83%), cenderung tidak berani (hanya 3%) menyatakan pendapat dalam kelas
sejarah untuk mengajukan isu kontroversial sebagai bagian dari kegiatan belajar mengajar
sejarah ? Mereka hanya berani berdiskusi dengan teman sendiri (sebesar 89%).
Demikian pula mengapa para pengajar sejarah cenderung untuk menghindar
dan kemungkinan membahas isu kontroversial yang diajukan oleh mahasiswa? Hanya
18% saja yang siap untuk melayani mahasiswa. Sementara sebagian besar (yaitu 65%)
hanya menanggapi selintas.
Dapat diduga bahwa kecenderungan itu terjadi karena faktor “relevansi sosial budaya”
yang terjadi dalam masyarakat, yang cenderung memberikan kepada warganya suatu
“design for living”, dan yang sekaligus merupakan akibat dari proses “social
determinism” atau “cultural determinism”. Artinya, bahwa dalam menentukan sikap atau
pendapat, para mahasiswa maupun pengajar sejarah, terikat oleh “tekanan” sosial budaya,
berupa nilai-nilai mapan yang diyakini. Misalnya, pengajar tidak begitu bergairah kalau
mahasiswa mengajukan isu sosial (apalagi yang kontroversial) dalam kelas sejarah,
sehingga mahasiswa menladi takut melakukannya. Ini menandakan gejala rendannya
kemandirian.
Para pengajar nampaknya juga terpengaruh oleh gambaran atau citra mengenai
kemapanan nilai sosial yang dianggapnya tidak mendukung keterbukaan seperti itu.
Dalam konflik internal yang terjadi antara kemandinan yang menjadi kualitas seorang
ilmuan, dengan kehendak untuk selalu konform atau harmonmis dengan lingkungan, yang
menjadi kualitas seorang birokrat, nampaknya dimenangkan oleh kualitas birokrat yang
ada pada diri mereka. Sebuah gambaran ekstrim dapat dikemukakan di sini menyangkut
seorang dosen calon respoden misalnya, menolak untuk mengisi kuesioner penelitian
karena dianggapnya akan melakukan dosa poIitik.

154
Melihat gambaran pada Tabel 6 saya tidak tahu mengapa di antara dosen yang
menurut mahasiswa sangat bergairah untuk menaggapi isu kontroversial, 47% berasal
dari IKIP Muhammadiyah Purwokerto, 24% terdapat di FKIP UNS dan 12% terdapat di
IKIP Semarang. Sedangkan iainnya berada di bawah itu. Dalam pada itu perguruan tinggi
yang diperkirakan memiliki kemandirian dalam bersikap, tidak menonjol dalam
menghasilkan dosen sejarah yang senang membahas isu kontroversial dalam kelas.
Misalnya, Fakultas Sastra Undip maupun FKIP UKSW Salatiga.

E POLA PENGEMBANGAN PROGRAM. ISU KONTROVERSIAL MASUK


KELAS

Berikut mi merupakan sebuah pola pengembangan program isu kontroversial dalam


kelas sejarah, yang disusun berdasarkan rambu-rambu yang diperoleh dari hasil
penelitian, baik dari fihak responden mahasiswa maupun responden pengajar

1. Tujuan Program

Program dengan nama “Bila Isu Kontroversial masuk kelas sejarah” bisa
dikembangkan untuk berbagai tujuan sbb.:
1) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan daya penalaran.
2) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan daya kritik sosial
3) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan
kepekaan sosial
4) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan
toleransi dalam perbedaan pendapat.
5) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan keberanian
mengemukakan pendapat secara demokratis.
6).Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan kemampuan menjadi
warga negara yang bertanggung jawab.

2. Sumber Dan Bahan Program

155
Program isu kontroversial masuk kelas sejarah seyogyanya mendasarkan pada
bahan yang bersumber dari media masa, karena sifatnya yang terbuka dan dapat diikuti
oleh siapapun. Bahan yang bersumber dari desas-desus bukan merupakan sumber yang
dianjurkan, meskipun bersifat menarik. Adapun bahan isu kontroversial yang cenderung
lebih disukai oleh mahasiswa ialah yang berkaitan dengan kejadian di Dalam Negeri,
dengan alasan “lebih bermanafaat” dan “mudah dihayati”. Sebaliknya pada itu para
pengajar sejarah lebih menyukai kejadian di Luar Negeri.

3. Peranan Pengajar Dan Metode Pengembangan

1) Pengajar sejarah yang melaksanakan program isu kontroversial masuk kelas


sejarah seyogyanya mempunyai seperangkat kualitas berikut ini, yang disusun
berurutan sesuai hasil penelitian (1) objektif, (2) menguasai masalah, (3) relevan
dengan bidang studi sejarah,(4) toleran,. (5) membantu proses penalaran, dan (6)
pendidikan ambahan. (Periksa Tabel 8).

2)Peranan pengajar dalam program ini amat menentukan, meskipun


urutan berikut tidak menunjukkan peringkat
(1) sebagai pengendali agar diskusi dapat terarah (2) harus menguasai masalah(3)
harus memberikan keleluasan kepada menyatakan pendapat

4. Meetode

Adapun metode yang dianggap baik oleh para pengajar untuk mengembangkan program
mi bervariasi. Penggunaan metode tertulis banyak didukung oleh para pengajar, dengan
alasan dapat melibatkan Iebih banyak peserta, menurut para pengajar namun sekaligus
dapat mengurangi spontanitas peserta. Sementara itu para mahasiswa lebih menyukai
cara lisan, karena dapat mengembangkan dialog Iangsung.

156
5. Sistem Evaluasi

Berikut ini merupakan seperangkat rambu-rambu yang berguna dalam


penyusunan perangkat evaluasi terhadap keberhasilan belajar dalam program isu
kontroversial dalam kelas sejarah, sebagai kesimpulan hasil penelitian.
(1) eberhasilan belajar dalam program tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan
tujuan pengajaran sejarah.
(2) Keberhasilan belajar dalam program tidak boleh merugikan mahasiswa yang tidak
dapat menyatakan pendapat secara lisan dalam diskusi.
(3) eberhasilan belajar dalam program agar dapat dilihat pada kemampuan
menganalisis masaiah-masaiah sosial
(4) Keberhasilan belajar dalam program tidak dapat diukur dari keserasian atau
ketidakserasian dengan pendapat pemerintah.
(5) Keberhasilan belajar dalam program agar dapat dilihat pada keberanian
mengemukakan pendapat secara objektif, disertai dengan argumentasi yang tepat

157
E .PENUTUP

Para hadirin yang amat terpelajar

Pada bagian akhir pidato ini hanya ingin ditekankan kembali perlunya pencarian
jalan terobosan, guna menemukan alternatif dalam cara pengajaran sejarah di sekolah.
Maksudnya sudah jelas, yaitu agar sejarah dapat disajikan lebih menarik dan merangsang
pelajar untuk mau belajar sejarah dalam arti yang sesungguhnya.
Berbagai cara sudah ditawarkan, termasuk model yang ditawarkan oleh para
mahasiswa Jurusan Sejarah IKIP Semarang, dalam kesempatan tampil sebagai finalis
dalam Lomba Karya llmiah Mahasiswa Bidang Pendidikan Wilayah B tahun 1993 mi.
Mereka, Hari Wulyanto bersama Suwarno, telah mengajukan alternatif dalam pengajaran
sejarah, yang disebut dalam makalah yang diajukan yang berjudul “Metode Belajar
Kreatif Dalam Proses Belajar Mengajar Sejarah”.
Berbagai mitos dalam cara pengajaran sejarah, seperti alasan memenuhi target
untuk menghabiskan bahan, menghindari konflik terbuka di kalangan mahasiswa,
hilangnya wibawa guru kalau tidak dapat menjawab masalah dan sebagainya, harus dapat
dihilangkan, kalau kita menginginkan kemajuan. lnilah refleksi proses inovatif dalam
proses pengajaran sejarah.
Resiko yang bakal dihadapi memang ada, seperti telah dikemukakan dalam isi
pidato di muka.
Gagasan isu kontroversial masuk kelas sejarah yang saya tawarkan ini hanya
merupakan langkah-langkah kecil dalam rangkaian metode belajar kreatif dalam proses
belajar mengajar sejarah, seperti ditawarkan oleh “anak-anak kernarin” dalam forum
besar seperti Kipnas Pendidikan tahun 1992 yang Ialu Pada tempatnya kalau kita bersama
dapat memberikan hormat kepada mereka.
Disarankan pula agar metode belajar mengajar semacam inipun dapat pula
dikembangkan pada bidang studi IPS lainnya, pada jurusan-jurusan selain Pendidikan
Sejarah, seperti yang juga dikembangkan dalam perkuliahan llmu Sosial Dasar (ISD)
maupun llmu Budaya Dasar (IBD).

158
Para hadirin yang amat terpelajar
.
Dengan demikian dapat saya akhiri pidato ini. Harapan saya semoga ada
manfaatnya. Dan banyak terima kasih saya sampaikan kepada para hadirin karena telah
sudi memberikan perhatian pada pidato saya ini.
Pada akhirnya, dimohon dengan hormat lagi sangat sudilah kiranya para rekan sejawat
serta hadirin sebagai warga masyarakat ilmiah senantiasa memberikan motivasi serta
dorongan kepada diri saya, agar sejak peristiwa pengukuhan ini senantiasa dapat
melaksanakn peran sosial saya dalam kapasitas yang baru mi, lebih baik lagi.
Trpujila Allah SWT yang telah memberikan kekuatan pada saya untuk
membacakan pidato ini. Semoga Dia senantiasa memberikan taufik serta hidayatNya
kepada kita..

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Su'ud, 1986, Kecenderungan Konformitas Pendapat Para siswaTiga SMA


(Kolese Loyola, Muhamadlyali, dan Taman Siswa) di Semarang, Mengenai
Berbagai Masalah Sosial, Dalam Rangka Proses Integrasi Sosial, Disertasi,
tidak diterbitkan, Bandung.

Abu Su'ud, 1989, Sejarah Dan Pendidikan, Makalah Dalam Temu Sejarah II, Semarang:
Kanwil Depdikbud Prop. Jateng bekerja sama dengan MSI Cabang Jateng.

Abu Su'ud, 1990, “Pengajaran Sejarah”, dalam Seminar Sejarah Nasional V,


Jakarta : Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.

Abu Su'ud, 1991, Model Pengajaran Sejarah Yang Sesuai Dengan Perkembangan
Sosial, dalam Seminar Pengajaran Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Rangka
Dies Natalis IKIP ke 26, IKIP Semarang.

Abu Su'ud, 1992, Penanaman Kesadaran Sejarah Dalam Menatap MadaDepan,


Makalah Untuk Pembinaan Dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa
Tengah, Semarang : Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Tengah.

Ahmad Sanusi, 1972, Beberapa Pendekatan dan Alat dalam Studi Sosial Bandung.:

159
Bagian Penerbitan FKIS IKIP Bandung.

Ballard, Martin (ed), 1970, New Movement in the Study and Teaching History, London :
Temple Smith.

Banks, James A., 1972, Teaching Strategies for the Social Studies Inquiry, Valueing
and Decision Making, 2nd Edition, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing
House Company.

Clifton, James A, (ed), 1968, Introduction to Cultural Anthropolog Boston:Houghton


Miffin Coy.

Daniels, Robert V, 1966, Studying History, New Jersey : Pranice Hall.

Gottschalk, Louis, 1975, Understanding History A Primer of Historical Method,


terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta : Yay. Penerbit UI.

Hari Wulyanto dan Suwarno, 1992, Metode Belajar Kreatif Dalam Proses
BelaiarMengajar Sejarah, Makalah disampaikan Dalam Kipnas
Pendidikan Wilayah B, IKIP Semarang.

Hartshorn Merril F dan Nu'man Somantri, 1971, Tantangan Daiam Pengajaran Ilmu
Sosial dan Pendidikan Kewargaan Negara, Bandung : Badan Penerbitan IKIP
Bandung.

Hasan, Said Hamid, 1990, “25 Tahun Pendidikan Sajarah”, dalam Seminar
Sejarah Nasional V Jakarta : Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek I nventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Ismail, M., 1990, “Pidato sambutan”; dalam Pembukaan Seminar Sejarah Nasional
V, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.

Sartono Kartodirdjo, 1990, “Fungsi Sajarah Dalam Pembangunan Bangsa


Kesadaran Sajarah, identitas dan kepribadian Nasional”, dalam Seminar
Sajarah Nasional V Jakarta: Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Serjarah Nasional

Taba, Hilda, 1962, Curriculum Development Theory and Practice1 Chicago, New
York : Harcourty, Braces World, Inc.

-------- ,1983, UUD 1945, P4 DAN GBHN: BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,
Depdikbud, Jakarta.

-------- 1988, UUD 1945, P4 DAN GBHN BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,

160
Depdikbud, Jakarta.

--------,1991, Himpunan UU No.2 Tahun 1989, PP No.30 Tahun 1990, dan Kep.
Mendikbud No.0457, IKIP Semarang.

------------------------------------------------------------------------------------------
CATATAN :
Tulisan di atas adalah Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Pendidikan
Sejarah pada IKIP Semarang pada tahun 1993.

161
PERANAN PIPS DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA PADA ERA
GLOBALISASI
Oleh
Abu Su`ud

REFORMASI KURIKULUM IPS

Paling tidak ada dua aspek dalam pendidikan yang harus mengalami berbagai
reformasi. Pertama, di bidang materi atau bahan pelajaran. Kedua, di bidang teknikalitas
pengajaran. Lingkup penyesuaian materi pelajaran itu mencakup peninjauan kembali atau
penyempurnaan bahan pelajaran yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar
(PBM). Gunanya untuk mencapai tujuan pengajaran pada khususnya maupun pendidikan
pada umumnya. Untuk itu harus diperhatikan relevansi dengan tujuan kelembagaan
sekolah (Institutional goal), tujuab kurikuler (currculer goal) maupun tujuan pengajaran
(instructional goal). Sementara itu penyesuaian dalam bidang teknikalitas pendidikan
mencakup berbagai cara dan pendekatan yang dipergunakan dalam PBM. Misalnya
frekuensi tatap muka, cara penyampaiaan bahan, bentuk komunikasi maupun cara
evaluasi pengajaran di kelas.
Kalau dalam bidang-nidang studi non IPS proses penyesuaian lebih banyak
berkaitan dengan perkembanagn teori-teori maupun temuan baru di bidang studi terkait,
tidak demikian halnya dengan bidang studi IPS. Di samping berbagai perkembangan
tersebut di atas, proses penyesuaian di bidang studi IPS masih harus memperhatikan
perkembangan aktual dalam bidang sosial politik. Berbagai perubahan stuktur sosial
politik dalam negeri maupun luar negeri perlu ditanggapi secara tepat oleh kurikulum
IPS. Lebih-lebih kalau telah terjadi pergantian rezim pemerintahan, seperti dari Orde
Lama ke Orde Baru maupun dari Orde Baru ke Era Reformasi.
Tak dapat disangkal bidang studi IPS merupakan bidang studi paling rawan dalam
proses perubahan sosial politik, karena mudah diintervensi oleh kepentingan penguasa.
Alasannya jelas karena bidang studi inilah yang selalu digunakan oleh setiap rezim yang
berkuasa untuk melakukan sosialisasi berbagai kebijakan maupuin pandangan
pemerintah. Sebagai bidang studi yang non eksak materi pelajaran IPS amat mudah
mendapat muatan pesan-pesan untuk kepentingan politik penguasa. Bahkan dalam
banyak hal bahan pelajaran penuh berisi pandangan dan sikap penguasa.
Objektifitas ilmu cenderung diabaikan. Berbagai teori dan konsep ilmu-ilmu
sosial yang dipergunakan praktis merupakan alat penguasa. Terutama hal itu terjadi dalam
pendidikan kewarganegaraan, seperti PPKN, PSPB, P4 maupun Kewiraan di masa
lampau.

ARAH REFORMASI

Kiranya posisi strategis bidang studi IPS sangat berpotensi untuk dijadikan alat
kekuasaan baru. Gampang sekali pemerintah atau rezim baru dalam era reformasi ini
mengintervensi bidang studi IPS sebagai alat penguasa baru. Bila penguasa baru pada
saatnya nanti dihinggapi penyakit sosial berupa vested interest, maka sejarah bakal
berulang kembali.. Kemungkinan itu nampaknya akan terjadi ketika kecenderungan

162
untuk kembali pada semangat Orde Lama mendapat angin segar akhir-akhir ini.
Kecenderungan itu bukan mustahil terjadi, karena pemegang kekuasaan mendatang
memiliki kedekatan aspiratif dan emosional dengan rezim Orde Lama.
Sudah dapat diterka bahwa semua sumber belajar yang dianggap tidak sesuai
dengan kebijakan pemerintahan baru akan diganti. Buku-buku baru segera diterbitkan
sebagai sumber belajar baru. Para guru mendapat penataran baru tentang semangat baru
dan teknikalitas pendidikan baru.
Kalau hal itu semua yang terjadi berarti tidak ada beda antara penguasa Orde Baru
dengan penguasa di era reformasi. Oleh karenanya perlu disiapkan bahan serta
teknikalitas pengajaran IPS di masa depan ini. Paling tidak kita harus memperhatikan
sejumlah semangat untuk menyiapkan kurikulum sekolah, khususnya dalam bidang studi
IPS mendatang. Yaitu semangat demokrasi, kritis, kreatif kewiraswastaan, kebersamaan,
santun dan keberagamaan.
Barangkali butir-butir semangat itu bukan baru, Bahkan sudah pula tercantum
dalam 45 butir dalam P4. Namun inilah lontaran awal dengan harapan mendapat
tanggapan positif dari masyarakat pendidik, dan pada gilirannya menjadi masukan bagi
penyempurnaan kurikulum bidang studi IPS mendatang.
Dengan semangat demokrasi generasi muda dipersiapkan menjadi warga bangsa
yang menghargai perbedaan pendapat dan berani menyatakan gagasan alternatif. Lebih
dari itu diharapkan tumbuh kesediaan untuk menerima kompromi sebagai upaya
pemecahan masalah-masalah sosial. Untuk itu harus diciptakan kondisi yang kondusif
dalam masyarakat.
Semangat kreatif yang dikondisikan lewat proses pendidikan genarasi muda dapat
memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan-gagasan inovatif.
Semangat kewiraswastaan dimaksud untuk menyiapkan generasi muda memiliki
kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah dengan semangat kemandirian.
Semangat kebersamaan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan agar
semangat kemandirian tidak menjurus pada liberalisme. Semangat kebersamaan ini
mewadahi prinsip-psinsip nasionalisme dan kemanusiaan.
Selanujutnya semangat santun dimaksudkan agar penampilan anak-anak bangsa
selalu santun, meski tetap kreatif dan kritis. Penampilan anak-anak bangsa akhir-akhir ini
penuh dengan semangat kepedulian, kriris dan kreativitas tinggi. Namun amat
disayangkan karena terkesan jauh dari semangat saling hormat. Dengan semangat santun
ini pula diharapkan dapat dihindari arogansi pada setiap lapisan sosial.
Akhirnya semangat keberagamaan dimaksudkan agar seluruh warga bangsa tidak
terlalu mengandalkan kemampuan manusia, karena hidupnya selalu dilandasi nilai-nilai
keberagamaan. Keberagamaan bukan sekadar ditandai dengan kesemarakan ritualistik
dan seremonial syariat agama.

AKTUALISASI DALAM PBM

Efektifitas kurikulum sekolah sangat tergantung pada faktor manusianya. Dalam


hal ini guru merupakan faktor penting bagi keberhasilan pendidikan, karena guru
merupakan pengembang kurikulum. Guru adalah aktor dalam sebuah pagelaran
pendidikan. Oleh karenanya dalam proses pengembangan pengajaran IPS di era
reformasi nanti para guru IPS amat besar peranannya.

163
Selama ini guru IPS telah demikian baik dalam memainkan peranan sebagai
kepanjangan tangan penguasa. Selama tiga dasawarsa telah tumbuh generasi yang serba
seragam, enggan menyatakan alternatif, dan alergi pada perbedaan pendapat. Selama
waktu itu generasi muda telah dibentuk dengan baik menjadi generasi yang serba “serasi,
selaras dan seimbang”. Lebih dari itu para guru IPS telah tampil sangat cemerlang sesuai
dengan kurikulum sebagai skenario perubahan sosial.
Tugas kita dalam menghadapi penyesuaian kurikulum mendatang adalah
menyiapkan guru secara cermat dan bijak. Tentu saja bukan dengan jalan memecat semua
guru IPS karena telah berkolaborasi dengan rezim lama. Yang diperlukan adalah
menyiapkan agar para guru memahami tugas berat guru IPS. Langkah pertama,
memberikan pengertian tentang generasi macam apa yang hendak dituju. Kedua,
menyiapkan kurikulum, lengkap dengan bahan pelajaran dan teknikalitas yang relevan.
Dan ketiga, menyiapkan kondisi masyarakat yang kondusif. Tak ada gunanya kalau guru
harus memainkan peranan dengan baik, sementara siswa dihadapkan pada kondisi
disonans. Hal itu terjadi kalau di luar gedung sekolah tergelar serba bentuk kemunafikan
yang dimainkan orang dewasa, sementara di dalam kelas para siswa masih tetap harus
menghafal berbagai tata nilai ideal itu.

@@@

164
TENTANG PENULIS

Abu Su'ud dilahirkan di Tegal, 27 Juli 1938 dari pasangan Abdulrasyid dengan
Siti Robiah. Menyelesaikan pendidikan SD (SR) sampai dengan SMP bagian A (Sastra)
di kota kelahirannya pada 1951 dan 1954. Lalu meneruskan ke SMAN bagian A (Sastra
Budaya) di Yogyakarta, tamat
tahun 1957. Sarjana Pendidikan Sejarah-Budaya di IKIP Bandung diraih pada 1964, dan
gelar Doktor dalam bidang pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau Studi Sosial
diraih pada tahun 1986 juga di IKIP Bandung. Paada 1993 dikukuhkan sebagai Guru
Besar Pendidikan di tempatnya mengajar, di IKIP Semarang. Menjadi Ketua Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen) periode 1990-1995, diteruskan menjadi Ketua PW Muhammadiyah Jateng
periode 1995 - 2000 dan menjadi Pengurus MUI Jawa Tengah sejak tahun 1990 -
sekarang. Di samping itu, menjadi anggota Pengurus Himpunan Pecinta Ilmu- Ilmu
Sosial (HIPIIS) Komisariat Jateng (1998 - sekarang); Ketua I Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI) cabang Jawa Tengah sejak 1990 –2006, diteruskan sebagai penasihat
sampai sekarang); Anggota Dewan Pcnasehat (Walikota) bidang Arsitektur dam
Pembangunan (DPAPP) Kotamadya (1990 - sekarang), yang berganti nama menjadi
Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K); Anggota Pengurus Masjid Raya
Baiturrahman (1999 - sekarang); Anggota Penyantun Dewan Riset Daerah dan
Pengembangan Jawa Tengah (1999 - sekarang); dan Anggota Local Legislative Watch
(LLW). Sejak 2003 Penulis diangkat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah
Semarang (UNIMUS) periuode (2003-2007; menjadi Ketua Program Studi Pendidikan
IPS Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang sejak 2000-2004. Sejak 1 Agustus
penulis memasuki masaa pensiun dan kemudian bestatus Guru Gesar Emiritus pada
Jurusan Sejarah FIS Unnes.

165
BUKU-BUKU YANG DITULIS

1. MEMAHAMI SEJARAH BANGSA-BANGSA DI ASIA SELATAN


(Buku Pertama)
 Diterbitkan oleh Depdikbud Ditjen Perti, Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Kependidikan (LPTK) Jakarta : 1988.

2. SEJARAH ASIA SELATAN ( SEBELUM ZAMAN ISLAM)


Penerbit : IKIP SEMARANG PRESS 1992 ISBN 979-8107-71-3 - Cetakan Pertama
1992

3. GAYENG SEMARANG (Kumpulan Tulisan di SUARA MERDEKA)


Oleh :
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo SH Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc Prof. Dr. Abu Su'ud
Penerbit : Harian SUARA MERDEKA 2000.

4. PROSEDUR PENULISAN HADITS


* Penerbit : Muhammadiyah University Press 2000 (Cetakan Pertama) ISBN:
979~636-0284

5. RITUS-RITUS KEBATINAN
* Penerbit Muhammadiyah University Press Cetakan Pertama 2001
ISBN: 979~364)37-3

6. ISLAMOLOGI (Sejarah, Ajaran, dan Peradaban Islam)


Cetakan Pertama Juni 2003 *Penerbit PT RINEKA CIPTA Jakarta, ISBN – 979-518-
874-7
7. HAJI, ANTARA SYARA` DAN MITOS
, Cetakan Pertama 2003, Penerbit ANEKA ILMU Semarang, ISBN 979-736-364- 5.
8. SEPANJANG HARI BERSAMA RASULULLAH SAW,
Cetakan Pertama 2003, Penerbit ANEKA ILMU Semarang, ISBN 979- 9029-98-8
9. ADA ANAK BERTANYA PADA BAPAKNYA,
Cetakan pertama Juni 2005, Cerakan kdua Februari 2006, Pustaka DNAN,
Penerbitan Pustaka Rizki Putra, Semarang , ISBN 079-9430-34-8.
10. ADA ANAK BERTANYA PADA IBUNYA,
Cetakan pertama Agustus 2005

11. ASIA SELATAN (1. Integrasi di bawah Hindu-Buda, 2. Ketika Qutb Minar dan
Taj Mahal dibangun, 3 Integrasi di bawah penjajahan Inggris, dan 4. Masa
Kemerdekaan)Seri Memahami Sejarah Bangsa-Bangsa di Asia Selatan : ISBN :

166
979-9579-89-9 Cetakan Pertama , UPT Percetakan dan Penerbitan, Unnes Press,
2006

..................................................................

......\\\\\

167

Anda mungkin juga menyukai