Anda di halaman 1dari 74

2

VOLUME

1-2-3
LANGKAH
MENEMPATKAN KEMBALI KESELAMATAN
MENUJU TRANSPORTASI YANG BERMARTABAT

REFERENSI RINGKAS BAGI PROSES ADVOKASI PEMBANGUNAN TRANSPORTASI


1 - 2 - 3 LANGKAH volume 2
Menempatkan kembali keselamatan
menuju transportasi yang bermartabat

Referensi ringkas bagi proses


advokasi pembangunan transportasi
Masyarakat Transportasi Indonesia

Tim Penulis:
Heru Sutomo
Agus Taufik Mulyono
Arif Wismadi
Bambang Susantono
Chaerul Djaelani
Danang Parikesit
Djoko Setijowarno
Darmaningtyas
Ellen Sophie Wulan Tangkudung
Harun Al-Rasyid S. Lubis
IGP. Suparsa
M. Y. Jinca
P. Alit Suthanaya
Suharto Abdul Majid
Saut Gurning

Editor
Cholis Aunurrohman

Diterbitkan oleh
© Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) bekerjasama dengan
Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM
Jl. Mendawai I No. 50, Kebayoran Baru
JAKARTA 12130
Tel/Fax: +62.21.7203481
E-mail: sekretariat@mti-its.or.id
Website: www.mti-its.or.id

ISBN 978-979-95237-1-6
ISBN 978-979-95237-3-0

1 - 2 - 3 LANGKAH
2
Sambutan Ketua Umum
Masyarakat Transportasi Indonesia
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Penerbitan Volume 2 dari seri buku 123 Langkah oleh Forum Keselamatan
Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) merupakan respons
dari MTI untuk memberikan kontribusi pada upaya peningkatan keselamatan
bagi pengguna infrastruktur dan layanan transportasi di Indonesia. Seperti
yang juga dimaksudkan dalam Volume 1, buku ini memberikan acuan
sederhana mengenai bagaimana kondisi transportasi di Indonesia dan apa
yang bisa dilakukan oleh masing-masing pemangku kepentingan bagi
perbaikan kondisi tersebut. Semangat yang ingin digulirkan oleh MTI adalah
bahwa semakin banyak dari komponen masyarakat yang mengetahui dan
belajar mengenai transportasi di Indonesia, maka akan semakin cepat kita
mampu mewujudkan tatanan transportasi yang kita idam-idamkan.
Keselamatan transportasi yang menjadi tema Volume 2 dari seri publikasi MTI
123 Langkah sengaja diterbitkan dengan mengambil momentum Kongres IV
MTI di Surabaya sehingga diharapkan mampu membawa semangat perbaikan
keselamatan transportasi bagi kepengurusan MTI periode 2007-2010. Saat
ini kita juga belum dapat melupakan berbagai peristiwa kecelakaan baik di
udara dengan hilangnya pesawat Adam Air penerbangan 574, tenggelamnya
KMP Senopati di Laut Jawa dan kecelakaan KA Bengawan di jalur Selatan
Jawa Tengah. Sementara itu, kecelakaan di angkutan jalan terus-menerus
terjadi dan merupakan salah satu penyebab hilangnya nyawa manusia di In-
donesia. Kecelakaan tidak saja menyebabkan kerugian finansial dan ekonomi
yang besar, melainkan juga meninggalkan duka dan derita yang mendalam
bagi korban dan keluarganya. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik maka
masyarakat dapat menjadi hilang kepercayaannya kepada pemerintah dan
operator di saat kita semua berharap banyak pada kembalinya angkutan umum
sebagai tulang punggung sistem angkutan penumpang di Indonesia.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) telah diundang oleh Komisi V DPR-
RI pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada tanggal 16 Januari 2007
untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan keselamatan
transportasi. Dalam pertemuan tersebut, MTI menyampaikan sepuluh hal yang
perlu diperhatikan dalam jangka pendek, diantaranya adalah:
1. Pertama, perlunya segera dilakukan pemeringkatan keselamatan (safety
rating) dari berbagai operator jasa angkutan yang ada di Indonesia, baik
untuk darat, laut dan udara. Bagi masyarakat, pemeringkatan ini akan
berguna untuk membuat keputusan dalam melakukan perjalanan dengan
berbagai alternatif yang tersedia. Bagi operator, karena diumumkan secara
terbuka akan mendorong mereka untuk melakukan upaya perbaikan secara
internal. Pemeringkatan terbuka juga akan menimbulkan kompetisi yang
sehat antar operator dalam memberikan layanan yang terbaik bagi
konsumen.
2. Kedua adalah perbaikan dari Keputusan Menteri mengenai metode
penetapan tarif angkutan untuk berbagai moda angkutan. Komponen yang
mensyaratkan keselamatan minimum yang dijamin (guaranteed safety
level) harus secara eksplisit masuk dalam komponen biaya. Disamping
itu, premi asuransi yang dibayarkan juga harus merefleksikan
penghargaan yang sesuai bagi hilangnya nyawa manusia.

1 - 2 - 3 LANGKAH
3
3. Ketiga adalah sistem pembaruan lisensi penyelenggaraan usaha
angkutan yang perlu memperhatikan catatan masa lalu dari operator.
Apabila catatan keselamatan masa lalu buruk, maka perusahaan tersebut
bisa saja ditolak untuk mengajukan perpanjangan lisensi.
4. Jumlah asesor laik terbang, layar atau jalan juga perlu segera ditambah
sehingga mereka tidak bekerja di bawah tekanan waktu, bersifat
mekanistis saja dan bisa menjalankan tugas dan kewajibannya dengan
baik dan profesional. Kegiatan tersebut menjadi hal keempat yang perlu
dilakukan.
5. Hal kelima yang harus dilakukan oleh perbaikan metode untuk
pemeriksaan laik terbang, layar atau jalan. Metode random check harus
lebih sering dilakukan. Apabila pemerintah merasa tidak mampu melakukan
kegiatan tersebut, maka pertimbangan batas usia kendaraan perlu
dipertimbangkan.
6. Tiga hal berikutnya berkaitan dengan upaya menjadikan kompetisi dalam
pelayanan angkutan sebagai kebijakan yang mengungtungkan masyarakat
pengguna. Pemeriksaan segera dari sistem keuangan, sumber
pendapatan dan pengeluaran dari maskapai, perusahaan pelayaran,
PT. Kereta Api, dan semua angkutan bis harus menjadi tugas Departemen
Perhubungan yang dijamin dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Hal ini membuat pemerintah paham atas trade-off yang dilakukan oleh
pengusaha angkutan antara komponen keselamatan dengan tarif atau
biaya.
7. Berikutnya pemerintah harus mampu menjamin hak bagi pilot, masinis,
nakhoda, sopir atau penilai (assessor) untuk menilai laik terbang, layar
maupun jalan secara obyektif. Jumlah pengemudi dan penilai yang terbatas
sementara beban kerja yang tinggi memungkinkan timbulnya ”moral
hazard” antara penilai dan yang dinilai.
8. Sementara itu, pemerintah juga harus menetapkan ketersediaan ar-
mada yang memungkinkan operator mampu memastikan kesehatan
perusahaannya.
9. Untuk penanganan setelah terjadinya kecelakaan terdapat dua hal yang
wajib dilaksanakan oleh pemerintah. Berkaca dari berbagai kecelakaan
udara dan penanganan kecelakaan laut, sebaiknya pemerintah memiliki
Prosedur Operasi Standar (SOP: Standard Operating Procedure) dalam
pemberitaan kepada media, kepada keluarga korban, dan bagaimana
informasi harus diverifikasi.
10. Komponen kesepuluh adalah terpenuhinya kewajiban pemerintah dalam
penyampaian informasi terbuka kepada masyarakat. Sudah bukan lagi
waktunya masyarakat diminta untuk maklum dan menerima saja kejadian
kecelakaan.
Untuk penerbitan Volume 2 Seri 123 Langkah ini saya atas nama pribadi dan
Pengurus MTI Pusat ingin mengucapkan terimakasih yang sangat besar kepada
Koordinator Forum Keselamatan Transportasi Dr. Heru Sutomo serta para
kontributor tulisan. Saya sangat yakin bahwa komitmen, kesungguhan dan
pemikiran mereka didasarkan pada optimisme bahwa kita semua mampu untuk
bekerjasama dalam menciptakan transportasi Indonesia yang lebih baik.
MTI mengharapkan bahwa karya ini dapat dibaca dan menjadi refleksi kita
semua atas kondisi keselamatan transportasi serta merupakan salah satu
pijakan bagi kita semua dalam melangkah menuju ke arah yang lebih baik.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Masyarakat Transportasi Indonesia
Ketua Umum,

Dr. Bambang Susantono

1 - 2 - 3 LANGKAH
4
Daftar Isi

Sambutan Ketua Umum Bab 4 Bab 6


Masyarakat Transportasi Indonesia 3
Kebijakan Tarif Murah dan Aspek Keselamatan Dalam
Keselamatan Penerbangan Penyelenggaraan Transportasi
Bab 1 4.1. Pendahuluan 35 Sungai, Danau, dan Ferry
Prinsip Keselamatan Transportasi 4.2. Kinerja Penerbangan Nasional 36 6.1. Pendahuluan 57
1.1. Transportasi dan Hak Azasi 7 4.2.1. Statistik Kecelakaan 6.2. Kinerja Keselamatan 57
1.2. Makna Keselamatan 8 Penerbangan 36 6.2.1. Kejadian Kecelakaan 58
1.3. Persepsi Masyarakat 10 4.2.2. Fenomena Tarif Murah 36 6.2.2. Jumlah Korban Kecelakaan 59
1.4. Peran Negara 11 4.2.3. Pengaturan Ekonomi dan 6.2.3. Faktor Penyebab Kecelakaan 59
1.5. Passive Safety 11 Sosial 39 6.3. Permasalahan dan Upaya
1.6. Active Safety 12 4.3. Permasalahan dan Upaya Pemecahan 59
1.7. Pengelolaan 13 Penanganan 41 6.3.1. Peningkatan Faktor
4.3.1. Aspek Teknis: Apa Masalahnya 41 Keselamatan Kapal 61
4.3.2. Aspek Infrastruktur dan Kejadian 6.3.2. Sistem Navigasi Kapal 61
Bab 2
Kecelakaan 42 6.3.3. Pengadaan Sistem Patroli
Wajah Perkeretaapian Nasional 4.3.3. Kawasan Keselamatan Operasi Sungai 61
2.1. Pendahuluan 15 Penerbangan 43 6.3.4. Ketersediaan Prasarana yang
2.2. Kinerja Perkeretaapian 16 4.3.4. Upaya Peningkatan Keselamatan Memadai 61
2.2.1. Statistik Kecelakaan Kereta Api 16 Penerbangan 43 6.4. Catatan Penutup 61
2.2.2. Kereta Anjlok atau Terguling 17 4.4. Catatan Penutup 46
2.2.3. Kecelakaan di Pintu Perlintasan 18
2.3. Permasalahan dan Upaya Bab 7
Penanganan 20 Bab 5
Manajemen Keselamatan
2.3.1. Pengelolaan Perkeretaapian 20 Potret Keselamatan Pelayaran di
Transportasi: Tantangan Multi
2.3.2. Peran Pemerintah 22 Negeri Bahari
2.3.3. Kebijakan dan Program Dimensi
5.1. Pendahuluan 49
Strategis 23 7.1. Kerangka Regulasi 63
5.2. Statistik Kecelakaan Kapal
2.4. Catatan Penutup 25 7.2. Tingginya Angka Kecelakaan 64
Laut 49
7.3. Langkah Tindak 65
5.3. Permasalahan dan Upaya
7.3.1. Penanganan ke Infrastruktur 66
Bab 3 Penanganan 50
dan Fasilitas
Pertumbuhan Ekonomi di Tengah 5.3.1. Sumber Daya Awak Kapal 50
7.3.2. Penanganan ke Manusia 68
5.3.2. Keselamatan dan Kelaikan
Lakalantas Tinggi 7.3.3. Peran pemerintah, masyarakat
Kapal 52
3.1. Pendahuluan 27 dan swasta 69
5.3.3. Sarana Penunjang Pelayaran 52
3.2. Statistik Kecelakaan di Jalan 27 7.3.4. Menuju Transportasi yang
5.3.4. Kebijakan dan Program
3.3. Permasalahan dan Upaya Bermartabat 70
Strategis 53
Penanganan 28
5.4. Catatan Penutup 54
3.3.1. Mutu Layanan Angkutan Daftar Pustaka 72
Umum 28
3.3.2. Sepeda Motor Penyumbang
Kecelakaan Tertinggi 29
3.3.3. Penegakan Hukum 30
3.3.4. Saatnya Membangun Transportasi
Yang Lebih Terintegrasi 31
3.4. Catatan Penutup 33

1 - 2 - 3 LANGKAH
5
1 - 2 - 3 LANGKAH
6
Bab 1 Prinsip Keselamatan Transportasi

1.1 Transportasi dan Hak Azasi 1.1. Transportasi dan Hak Azasi 7
Setiap orang berhak untuk berada dimanapun di dunia ini, bahkan di luar 1.2. Makna Keselamatan 8
angkasa sekalipun, karena ini merupakan hak azasi manusia. Kewajiban 1.3. Persepsi Masyarakat 10
negara adalah melindungi hak-hak azasi warganya, dengan memfasilitasi 1.4. Peran Negara 11
pergerakannya, agar semua insan dapat berpindah kemanapun yang diinginkan 1.5. Passive Safety 11
(termasuk barangnya), dalam rangka mendukung peri kehidupannya. 1.6. Active Safety 12
1.7. Pengelolaan 13
Sistem transportasi dirancang guna memfasilitasi pergerakan manusia dan
barang. Pelayanan transportasi sangat terkait erat dengan aspek keselamatan
(safety,) baik orang maupun barangnya. Seseorang yang melakukan perjalanan
wajib mendapatkan jaminan keselamatan, bahkan jika mungkin memperoleh Penyelenggaraan transportasi dengan
kenyamanan, sedangkan barang yang diangkut harus tetap dalam keadaan keselamatan tinggi merupakan tugas
utuh dan tidak berkurang kualitasnya ketika sampai ditujuan. pembinaan pemerintah dalam
melindungi hak asasi manusia dalam
Jaminan layanan transportasi yang dilengkapi dengan jaminan keselamatan melakukan mobilitas.
akan memberikan rasa kepastian dan ketenangan bagi pelaku perjalanan,
sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat dapat terlindungi ketika
melakukan perjalanan. Jika aspek keselamatan transportasi terjamin, dan
hak masyarakat pengguna terlindungi, niscaya tidak akan muncul biaya-
biaya tidak terduga yang merugikan masyarakat pengguna.
Di Indonesia, ketidakmampuan negara dalam memfasilitasi pergerakan
warganya merupakan kegagalan sistem transportasi yang dikembangkannya.
Kegagalan ini tampak dari tidak adanya jaminan keselamatan terhadap
semua kecelakaan yang menimpa pengguna transportasi di tanah air.
Kegagalan ini juga berarti tidak adanya harmonisasi antar unsur dalam
penyelenggaraan transportasi, penyelenggara dan pengguna. Kegagalan
juga direfleksikan dengan tidak adanya jaminan rasa aman, selalu merasa
was-was baik disebagian perjalanan, maupun perjalanan sambungannya,
ataupun seluruh proses perjalanannya. Jika seseorang naik bus kota cukup
aman, namun ketika berjalan kaki menuju halte keselamatannya terancam
akibat gangguan kendaaraan lain, maka gagal lah pelayanan bus kota itu.
Dampak kegagalan transportasi di Indonesia ini cenderung mendorong
munculnya distorsi-distorsi perkembangan suatu kota/daerah, ditandai
dengan inefisiensi ekonomi urban, kerugian ekonomi (diseconomy), isu-isu
ketidaksepadanan (inequality), yang selanjutnya berakibat pada masalah
sosial, seperti kemiskinan (urban/rural poverty), kecemburuan sosial yang
berujung pada kriminalitas dan gangguan keamanan di tengah kehidupan
bermasyarakat.

Contoh 1: Ketiadaan rasa aman dan keselamatan bagi anak-anak


bersepeda ke sekolah membuat mereka harus diantar-jemput oleh orang
tuanya dengan menggunakan kendaraan, yang pada akhirnya memacetkan
jalan-jalan di sekitar sekolah.

Contoh 2: Rasa terancam dan was-was saat naik bus kota atau angkutan
kota membuat penumpang meninggalkannya, kemudian masyarakat
berbondong-bondong beralih ke kendaraan pribadi, dan memadati jalan
yang berakhir dengan kemacetan.

1 - 2 - 3 LANGKAH
7
Contoh 3: Ketiadaan rasa aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang
Keselamatan adalah kepentingan berjalan kaki di atas trotoar, mengakibatkan pejalan kaki mulai enggan
bersama, jadi harus diupayakan oleh berjalan kaki, kemudian trotoar dimanfaatkan berjualan oleh pedagang
berbagai pihak: pemerintah, swasta, kaki lima.
pelaku dan pengguna jalan.
Contoh 4: Ketiadaan jaminan keselamatan bagi pengguna kendaraan tidak
bermotor seperti pengendara sepeda, pengemudi becak, dan andhong,
serta pejalan kaki, membuat mereka seperti “warga kelas dua” yang
kemudian mendorong mereka berperilaku sembarangan, yang pada
akhirnya merugikan semua pengguna jalan.

Contoh 5: Rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam berlalulintas telah


menciptakan kondisi transportasi kota yang membahayakan, semrawut,
dan citra buruk, sehingga pengunjung yang mendatangi kota itu akan
enggan untuk datang lagi, yang tentunya ini bertolak belakang dengan
program pemerintah untuk menggalakkan pariwisata.

Contoh-contoh di atas hanya sekedar gambaran untuk membuka mata kita,


betapa hal yang sangat mendasar seperti ketertiban, dan keselamatan adalah
unsur paling esensial yang harus melekat dalam setiap penyelenggaraan
transportasi. Apapun modanyanya, keselamatan haruslah selalu melekat
pada setiap penyelenggaraan transportasi kereta api, jalan, laut, udara, dan
air. Itu sebabnya kemudian muncul slogan “Utamakan Selamat” yang selalu
terpampang di dalam bus, kereta api, terminal, dan stasiun.
Pada prinsipnya, masalah ketertiban dan keselamatan adalah
tanggungjawab bersama antara pemerintah, pihak swasta, pelaku dan
pengguna jasa transportasi, serta seluruh masyarakat. Selain penciptaan
rasa aman dan nyaman bagi warga kota, ketertiban dan keselamatan juga
sangat erat kaitannya dengan daya tarik suatu kota. Ketertiban dan
keselamatan yang diwujudkan dalam bentuk rasa aman dan nyaman seperti
Bandara Sukarno-Hatta di Jakarta misalnya, akan memberikan kesan pertama
bagi turis asing, berarti keselamatan juga merupakan permasalahan uni-
versal yang harus ditangani oleh semua pihak.

1.2. Makna Keselamatan


Keselamatan dan kualitas layanan bukanlah tema sementara dalam dunia
penyelenggaraan transportasi, keduanya tidak pernah lekang, apalagi
ditinggalkan. Sayangnya, ketika resesi melanda tanah air 1997 sektor
transportasi sangat tertekan, seperti halnya sektor pembangunan lainnya.
Bentuk tekanan sektor transportasi ini berupa kelonggaran-kelonggaran yang
diberikan pada usia kendaraan umum, yaitu dengan diperkenankannya
Keselamatan berkendaraan
standar layanan yang lebih rendah, atau yang dikenal dengan Standar
diselenggarakan berdasarkan standar-
Pelayanan Minimum (SPM), kemudian dibukanya keran impor bus bekas,
standar dan aturan - BUKAN
truk bekas, kereta api bekas, kapal bekas, dan pesawat bekas. Semestinya
dipersepsikan masyarakat seperti
apapun bentuk kelonggaran-kelonggaran yang diberikan, aspek keselamatan
“asalkan selamat”.
tidak boleh diabaikan, namun fakta di lapangan makna keselamatan justeru
dikesampingkan, kontrol kualitas pun sering dilupakan.
Bolehlah mutu layanan ditekan karena alasan krisis ekonomi, namun tidak
untuk keselamatan!. Walaupun usia moda cukup tua, namun jika kondisi
mesinnya normal karena selalu dirawat, dan tingkat keselamatannya dinomor
satukan, kenapa tidak?. Namun sejauh ketuaan yang menuntut pemeliharaan
ekstra ini, di sisi lain para operator dihadapkan pada kondisi keuangan yang
tertekan, yang kemudian berimbas pada menurunnya kebugaran (fitness) mesin
kendaraan. Kondisi kendaraan yang tidak sehat ini (dibawah standar
keselamatan) cenderung menjadi pemicu terjadinya kecelakaan.
Kecelakaan didefinisikan berbagai negara dengan cara yang berbeda.
Perbedaan definisi ini cenderung melahirkan penafsiran yang bebeda-beda
pula di tiap-tiap negara. Di Indonesia, definisi kecelakaan sangat penting,

1 - 2 - 3 LANGKAH
8
guna penyamaan persepsi instansi terkait dalam penanganan keselamatan,
terutama yang terkait dengan jaminan atau santunan asuransi yang
menyangkut ganti rugi uang. Berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun
1992, yang dimaksud:
KECELAKAAN (Accident): suatu peristiwa di jalan yang tidak
disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan
dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban
manusia atau kerugian harta benda.
Definisi tersebut menggambarkan kecelakaan sejati (real accident) yaitu semua
unsur transportasi (kendaraan, jalan dan manusia) dalam kondisi normal pun
akan tetap terjadi kecelakaan. Kecelakaan jenis ini disebut “nasib”, karena
tidak ada unsur yang bisa dibuktikan bersalah, berarti kecelakaan ini terjadi
karena tidak bisa dihindari, dan kecelakaan jenis ini diperkirakan hanya terjadi
1% dari populasi kecelakaan di suatu negara, termasuk sistem transportasi
yang sangat baik di negara-negara maju sekalipun.
Meskipun dikatakan tidak sengaja, namun sebagian besar kecelakaan bisa
dijelaskan sebab-sebabnya, seperti tindakan kesengajaan yang menjurus
ke kecelakaan yakni membiarkan berkendaraan dengan ban gundul, rem
yang tidak bekerja sempurna, atau memaksakan mengemudi dalam kondisi
mengantuk
Untuk membedakan jenis kecelakaan yang “tidak sejati”, banyak negara
telah merubah definisi kecelakaan dengan “crash” atau tabrakan. Di sini
tidak disinggung ada atau tidaknya unsur kesengajaan, sehingga mendorong
semua pihak untuk mencari sebab musababnya. Definisi kecelakaan yang
saat ini banyak diacu negara lain yakni:
TABRAKAN (Crash): tubrukan/benturan kendaraan bergerak di
jalan yang menyebabkan manusia atau hewan terluka.
Definisi tabrakan tersebut lebih mendorong mencari penyebabnya, karena
kecelakaan jenis ini merupakan mayoritas kecelakaan yang terjadi di lapangan.
Secara intensif, investigasi dilakukan guna mengungkap sebab-sebab
tabrakan, yang mendorong akumulasi pengetahuan tentang anatomi penyebab
kecelakaan yang lebih utuh, dengan demikian penciptaan langkah-langkah
penanganan lebih terarah. Dengan definisi tabrakan inilah, banyak negara
maju saat ini telah mampu menekan jumlah korban kecelakaan maupun
jumlah tabrakan di negaranya.

Klasifikasi Kecelakaan Lalulintas


Di Indonesia, kecelakaan lalulintas (lakalantas) diklasifikasikan ke dalam Definisi-definisi yang mensyaratkan
empat kategori dampak yaitu kecelakaan fatal, luka berat, luka ringan, dan tenggang 30 hari sangat memberatkan
kerusakan kendaraan (disebut PDO: Property Damage Only). bagi pencatatan dan pendataan sehingga
kesahihan data di Indonesia sering
dianggap meragukan.
Kecelakaan fatal adalah kategori korban lakalantas yang
meninggal dunia, baik di tempat kejadian perkara, maupun akibat
luka parah sebelum 30 hari sejak terjadinya kecelakaan.
Kecelakaan dikatakan berakibat luka parah jika korban menderita
luka-luka serius dan dirawat di rumah sakit selama lebih dari 30
hari.
Kecelakaan menyebabkan luka ringan bilamana korban
memerlukan perawatan medis atau dirawat di rumah sakit kurang
dari 30 hari.
Sedangkan PDO adalah jenis kecelakaan yang hanya berakibat
pada kerusakan barang hak milik saja, dan kerusakan atau
kerugian ini biasanya dinyatakan dalam ukuran moneter.

1 - 2 - 3 LANGKAH
9
1.3 Persepsi Masyarakat
Perbedaan definisi serta tingkat pendidikan berlalulintas di berbagai negara
menyebabkan persepsi masyarakat tentang kecelakaan maupun
keselamatan juga berbeda pula. Definisi kecelakaan di Indonesia adalah
kejadian yang tidak disangka-sangka, dan mengesankan kecelakaan
sebagai suatu nasib yang tidak perlu lagi untuk diungkap. Umumnya pihak
keluarga korban cenderung melihat kecelakaan sebagai sesuatu yang harus
diterima, meskipun pihak polisi berusaha menyelidiki siapa yang
bermasalah. Kecelakaan juga sering dilihat sebagai suatu “kemalangan”
bahkan “aib” yang menyebabkan duka bagi keluarga yang ditinggalkan,
sehingga pihak keluarga korban cenderung menutup diri. Hal ini menjadi
kendala terkait dengan akumulasi pengetahuan yang dikumpulkan untuk
mengungkap penyebab kecelakaan tersebut. Keterbatasan pengetahuan
ini akan menjadi penghalang untuk membuat upaya-upaya yang lebih
sistematis dalam penanganan dan pencegahan kecelakaan.
Sampai saat ini, sebagian besar masyarakat masih menafsirkan kecelakaan
lalulintas sebagai sesuatu yang lazim terjadi “bak kejatuhan pohon” ataupun
“hamil di luar nikah”. Kecelakaan dianggap bukan masalah publik, akan
tetapi lebih pada urusan pribadi. Pengetahuan masyarakat tentang
Kata “Kecelakaan” terkandung unsur kelalulintasan ini merupakan bentuk kegagalan sistem transportasi yang
nasib sehingga sering menyulitkan dikembangkan di Indonesia, sehingga fenomena kecelakaan diidentikkan
dalam investigasinya; akibatnya data dengan masalah aib keluarga yang harus ditutupi.
dan informasi penyebab menjadi Sesungguhnya, sudah banyak regulasi yang mengatur tentang transportasi,
terbatas. karena transportasi ini adalah bentuk pelayanan publik, yang melibatkan
banyak pihak baik pemerintah, swasta, profesional dan masyarakat.
Kecelakaan adalah masalah bersama yang harus selalu dicatat dan direkam,
dan dirinci dalam bentuk data, sehingga dapat diteliti dengan seksama,
untuk dicarikan solusinya guna mengurangi atau mencegah agar tidak
tersandung pada batu yang sama.
Kecelakaan yang terjadi saat ini telah
mengakibatkan kerugian ekonomi
yang luar biasa. Mulai dari biaya
perawatan luka Si korban, rusaknya
kendaraan (kapal, pesawat, mobil,
kereta api), dan prasarananya
(pelabuhan, bandara, jalan, rel atau
stasiun/terminal), sampai rusaknya
properti (rumah, bangunan) milik or-
ang lain. Jelas semua ini tidak bisa
dijadikan argumen “urusan pribadi”
lagi, karena tidak seorang pun yang
akan sanggup menanggung seluruh
biaya akibat dari kecelakaan ini.
ADB (2001) menguraikan peran dari 14 sektor yang berpengaruh dalam
penanganan keselamatan jalan. Keterlibatan multi profesi sangat diperlukan
seperti: insinyur/ahli teknik, pendidik, ahli hukum, penegak hukum dan
pengadilan, akademisi, ahli kesehatan, ahli kampanye publik, serta peran
manajerial yang tinggi.
Kompleksitas ini tidak banyak dipahami masyarakat, dan kebanyakan
masyarakat saat ini masih mengasosiasikan masalah kecelakaan adalah
urusan polisi dan departemen/dinas perhubungan. Hal ini bisa dipahami
karena kedua lembaga ini bertanggung jawab terhadap penciptaan
keselamatan jalan, ketertiban berlalulintas, pelanggaran rambu, dan prilaku
sembarangan pengguna jalan. Bahkan peristiwa kecelakaan pesawat, kapal
laut dan kereta api pun diartikan masyarakat sebagai akibat buah korupsi di
tubuh pemerintah yang kemudian menyebabkan layanan menjadi
“amburadul”.

1 - 2 - 3 LANGKAH
10
Bagi masyarakat yang hidup di daerah terisolir, dan tidak mempunyai pilihan, Peran negara adalah melindungi dan
ketika disodorkan moda transportasi yang sederhana pun cenderung akan memfasilitasi pergerakan warganya
diterimanya. Disinilah tugas pemerintah sebagai regulator untuk menerapkan dengan selamat. Itu sebabnya negara
standar keselamatan yang tinggi sesuai dengan tuntutan dan harkat hidup berkewajiban menetapkan segala bentuk
masyarakat, dengan mensyaratkan mutu layanan transportasi, mulai dari penyelenggaraan transportasi, lengkap
penyediaan sarana, prasarana dan sistem operasi. disertai dengan persyaratan standar
keselamatannya.
Dalam kehidupan masyarakat juga berkembang persepsi bahwa layanan
angkutan umum tidak harus berstandar tinggi. Persepsi ini salah, dan
mestinya layanan angkutan umum harus harus mempunyai standar lebih
tinggi di atas kendaraan pribadi.
Beberapa fakta menunjukkan kecelakaan yang terjadi sangat mempengaruhi
masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pengendara sepeda motor,
sepeda, pengemudi becak, dan pejalan kaki. Penyelenggaraan transportasi
yang tidak mampu melindungi mereka ini sangat mengancam kesejahteraan
kaum marjinal, bahkan cenderung menciptakan kemiskinan baru.

1.4 Peran Negara


Sesuai amanat Undang-Undang lalu lintas jalan, udara, laut, dan kereta api,
maka transportasi apapun dikuasai oleh negara, yang pembinaannya
dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan ini juga lazim dilakukan di banyak
negara, karena peran negara adalah bagaimana melindungi dan
memfasilitasi pergerakan warganya dengan selamat. Itu sebabnya negara
berkewajiban menetapkan segala bentuk penyelenggaraan transportasi,
lengkap dengan persyaratan standar keselamatannya.
Pemerintah membina sektor transportasi melalui perencanaan umum,
peraturan dan pengaturan melalui berbagai regulasi hukum yang tegas,
menetapkan syarat-syarat penyelenggaraan, pembiayaan, pengaturan peran
masyarakat dan swasta, serta penegakan hukum.
Sebagai pengatur unsur-unsur penyelenggara transportasi pemerintah juga
menetapkan berbagai standarisasi, pengujian, sertifikasi, inspeksi,
pengoperasian dan pemeliharaan serta penegakan hukum, yakni meluputi
aturan alat angkut, infrastruktur, tata operasi, kompetensi petugas-petugas
termasuk pengemudi, pilot, juru mudi dan masinis.

1.5 Passive safety (kuratif)


Prinsip keselamatan pasif adalah “Kecelakaan boleh terjadi, akan tetapi
tingkat keparahan korban harus diminimalkan”. Tujuan keselamatan pasif
bukan untuk mengurangi kejadian kecelakaan (Active safety) melainkan
usaha untuk meminimalisir korban, dengan memfokuskan fisik kendaraan Langkah-langkah industri kendaraan
dan upaya penanganan korban. dalam melindungi penggunanya dengan
peralatan keselamatan merupakan bentuk
‘Passive Safety’. Secara umum tingkat
Rancangan Alat Angkut dan Perlengkapan Transportasi keselamatan kendaraan meningkat setiap
tahunnya.
Perencana kendaraan (mobil, kereta api, pesawat dan kapal) telah bekerja
keras merancang alat angkut yang memenuhi persyaratan keselamatan yang
ketat. Perancangan dan pengoperasian pesawat disesuaikan dengan
standar keselamatan ICAO (International Civil Aviation Organization),
sedangkan kapal mengacu pada IMO (International Maritime Organization).
Untuk kendaraan jalan (mobil, bus, truk) mengacu pada ketentuan PBB (UN-
ECE), sedangkan kereta api mengikuti sesuai ketentuan negara pembuatnya
(Jerman, Jepang, Perancis, Amerika). Pengaturan ini tidak saja pada aspek
teknis kendaraan saja, namun juga mencakup pengaturan perlengkapan
keselamatan yang harus selalu berfungsi dengan baik, seperti sabuk
keselamatan, pelampung, sekoci penyelemat, SRS-Airbag (kantung udara),
ABS (Anti-lock brake system), fly by wire, black-box dan lain sebagainya.

1 - 2 - 3 LANGKAH
11
Guna mengurangi besarnya momentum tubrukan, maka bahan-bahan yang
sifatnya menyerap hentakan saat ini sudah banyak dipakai, seperti penemuan
helm dan bemper metal (bumper) pada mobil. Helm telah menjalani
perjalanan riset yang panjang, dan helm ini sangat baik untuk melindungi
kepala manusia. Bemper lunak pada mobil seperti plastik dengan peredam
kejut menggantikan bemper metal yang diproduksi mulai tahun 90-an, dan
bemper lunak ini sangat baik untuk melindungi pengemudi. Sepeda motor
jenis bebek saat ini juga sudah dilengkapi pelindung kaki yang terbuat dari
plastik. Bangunan fisik di tepi jalan juga sudah dibuat dari bahan yang mampu
menyerap energi tabrakan, bahkan banyak bangunan beton saat ini sudah
digantikan dengan metal, sehingga tiang tersebut mampu melengkung saat
ditabrak. Pemasangan plastik di dinding-dinding tepi jalan juga merupakan
upaya untuk mengurangi energi tumbukan dalam rangka mengurangi tingkat
keparahan korban. Ini semua adalah hasil riset panjang, memakan waktu
bertahun-tahun, dan merupakan kerja keras para insinyur ahli teknik otomitif,
perencana jalan dan fasilitasnya, serta peralatan pelindungnya.

Penanganan Kedaruratan
Korban kecelakaan dapat ditolong jika Ia segera mendapatkan pertolongan
pertama (first golden hour). Pemberian pertolongan pertama ini akan sukses
jika dilakukan satu jam pertama pada saat peristiwa kecelakaan, berarti
perann sektor kesehatan di sini sangat dominan. Sebaliknya, tindakan
ceroboh dalam penanganan kedaruratan justeru dapat membuat korban yang
mestinya hanya luka berat menjadi mati, atau yang mestinya luka ringan bisa
menjadi lebih berat. Itu sebabnya tujuan utama penanganan darurat ini adalah
untuk menekan tingkat keparahan Si korban (level of severity).
Setidaknya, terdapat tiga mata rantai dalam penanganan kedaruratan, yaitu:
(1) cepatnya berita kecelakaan sampai ke fasilitas pertolongan pertama; (2)
cepat tanggapnya unit pertolongan pertama mencapai lokasi; (3) kualitas
penanganan korban. Meskipun ketiganya berurutan namun ketiganya
memerlukan sentuhan terpadu dari berbagai pihak. Pertama, memerlukan
peran telekomunikasi yakni bagaimana cara menghubungi tempat yang
mampu memberikan bantuan tercepat dan terdekat dengan lokasi
kecelakaan, dengan nomor yang mudah diingat, misalnya 118. Kedua,
memerlukan kombinasi armada bantuan pertolongan seperti ambulan, ini
berarti diperlukan peranan infrastruktur jalan yang sewaktu-waktu dapat
digunakan dalam kondisi darurat. Ketiga, memerlukan kompetensi penuh
Keterlambatan atau kesalahan dalam
dari unsur medis yang mampu langsung bekerja tanpa memperdebatkan
penanganan kedaruratan korban di
soal finansial dimuka, atas jasa yang Ia keluarkan.
lapangan sering merupakan penyebab
tingginya fatalitas dan tingkat Sampai saat ini penyelenggaraan ketiga unsur tersebut belumlah terintegrasi,
keparahan korban. dan masih jalan sendiri-sendiri. Masyarakat tidak memperoleh layanan
komunikasi tercepat karena nomor ambulans beragam (tergantung rumah
sakit). Bahkan, ketika ambulans menuju lokasi seringkali dihadapkan pada
kemacetan lalulintas, sedangkan pertolongan pertama selalu lambat
diberikan karena pihak rumah sakit selalu memerlukan penanggungan biaya
tindakan.

1.6 Active Safety (preventif)


Keselamatan aktif adalah upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan.
Langkah ini agak sulit dilakukan karena melibatkan peran banyak pihak.
Karena sifatnya pencegahan, maka pengetahuan tentang kecelakaan ini perlu
disamakan terlebih dulu, yakni meliputi sebab, anatomi kecelakaan, jenis-
jenis luka, keparahan, perilaku pengemudi dan sebagainya. Identifikasi ini
sangat diperlukan untuk penyusunan langkah tindak yang lebih sistematis
sebagai upaya pencegahan kecelakaan. Usaha inipun hasilnya tidak seketika
tampak, namun memerlukan implementasi program-program yang terus-
menerus dan diberlakukan secara konsisten. Active safety ini merupakan
program jangka panjang yang harus dilengkapi dengan pasif safety yang

1 - 2 - 3 LANGKAH
12
cenderung mengatasi masalah kecelakaan dalam jangka pendek. Active Active safety merupakan program jangka
safety cenderung memfokuskan pada edukasi manusia, mulai dari pendidikan panjang yang cenderung memfokuskan
berlalulintas bagi anak usia dini, pendidikan dan pengujian pengemudi, pada edukasi manusia, dan harus
pendidikan masyarakat melalui kampanye yang terarah, riset mendalam dilengkapi dengan pasif safety yang
tentang kecelakaan, pendataan dan perekaman kejadian kecelakaan, cenderung mengatasi masalah
perencanaan infrastruktur yang selamat, koordinasi antar unsur terkait, kecelakaan dalam jangka pendek.
perumusan regulasi dan peraturan yang cermat, penegakan hukum yang
tegas dan diberlakukan konsisten, semuanya ini harus dilakukan secara Pemerintah memegang peran sentral
terpadu, terarah dan berkelanjutan. dalam active safety ini, karena hanya
pemerintah lah yang memiliki kekuatan
Pemerintah seharusnya memegang peran sentral dalam active safety ini,
dan sumberdana dalam menggalang
karena hanya pemerintah lah yang memiliki kekuatan dan sumberdana dalam
unsur-unsur tersebut.
menggalang unsur-unsur tersebut. Peran serta masyarakat tidak bisa
dikecilkan karena kesadaran setiap merupakan kunci keberhasilan
peningkatan keselamatan.

1.7 Pengelolaan
Baik passive safety maupun active safety keduanya berperan utama dalam
penciptaan keselamatan transportasi, namun karena passive safety dan ac-
tive safety melibatkan banyak pihak, maka kesulitan utama yang akan muncul
adalah soal koordinasi dan pengorganisasian. Di sinilah perlunya suatu sistem
pengelolaan sumberdaya pembentuk keselamatan.
Di banyak negara peranan pejabat tinggi atau tertinggi negara sering diperlukan
terutama dalam awal-awal pengorganisasian. Di Malaysia peran Perdana
Menteri merupakan kunci keberhasilan penciptaan keselamatan yang semakin
membaik di sana saat ini.
Dalam rangka mengorganisasi atau mengkoordinasikan unsur-unsur
keselamatan biasanya dibentuk suatu komite atau dewan yang dikenal dengan
NRSC (National Road Safety Council). Dewan ini berperan mengkoordinasi
peran berbagai unsur, layaknya konduktor yang mengorkestrakan berbagai
alat musik. Jadi, sifat kendali penciptaan keselamatan ini adalah tersentralisir,
meskipun secara teknis dapat dijalankan oleh masing-masing pemerintah
daerah.

Manajemen keselamatan nasional


melibatkan banyak sekali pihak dan
instansi terkait. Demi efektifnya, badan
yang mengkoordinasikan berada
dibawah Presiden atau Perdana Menteri
langsung.

1 - 2 - 3 LANGKAH
13
1 - 2 - 3 LANGKAH
14
Bab 2 Wajah Perkeretaapian Nasional

2.1. Pendahuluan 2.1. Pendahuluan 15


Operasi Kereta Api (KA) merupakan salah satu tempat yang cukup berbahaya 2.2. Kinerja Perkeretaapian 16
bagi penumpang dan staf perkeretaapian (personal risk), karena kecelakaan 2.2.1. Statistik Kecelakaan Kereta Api 16
yang terjadi dapat dikategorikan tinggi, demikian juga resiko-resiko 2.2.2. Kereta Anjlok atau Terguling 17
kecelakaan masinis (key front line operator). Kecelakaan perekeretaapian 2.2.3. Kecelakaan di Pintu Perlintasan 18
juga beresiko tinggi pada pihak ketiga yang meliputi penumpang, ataupun 2.3. Permasalahan dan Upaya
orang-orang disekitar daerah operasi perekeretaapian seperti stasiun, rel, Penanganan 20
dan pintu pelintasan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk menurunkan resiko 2.3.1. Pengelolaan Perkeretaapian 20
kecelakaan perlu terus dilakukan. 2.3.2. Peran Pemerintah 22
2.3.3. Kebijakan dan Program
Berdasarkan catatan PT. KAI (2005), infrastruktur rel KA telah mengalami Strategis 23
peningkatan rata-rata sebesar 0,16% kurun waktu tahun 2000-2005. Hal ini 2.4. Catatan Penutup 25
terjadi karena jumlah infrastruktur rel non-utama (cabang) meningkat sebesar
10,57, namun demikian untuk infrastruktur rel utama (raya) terjadi penurunan
rata-rata sebesar -0,20%. Peningkatan infrastruktur rel KA selama lima tahun
ini dikarenakan proses peremajaan yang dilakukan oleh PT. Kereta Api seperti
tampak pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.Panjang Jalan Rel Kereta Api Menurut Lintas
Uraian Satuan 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Pertumbuhan
Raya Km 4.292.322 4.338.699 4.342.197 4.342.197 4.258.078 -0,20
Cabang Km 323.596 225.903 222.403 222.403 388.064 10,57
Total Km 4.615.918 4.563.602 4.564.600 4.564.600 4.644.142 0,16
Sumber: PT. Kereta Api Indonesia (Persero) 2005

Pada tahun 2000-2004 jumlah lokomotif yang siap dioperasikan mengalami


penurunan 38,7%, hal ini dikarenakan sebagian besar armada sudah
berumur tua, dan tersendatnya persediaan suku cadang, terutama yang
diproduksi di luar negeri. Selain itu PT Kereta Api (Persero) masih belum
memfokuskan danannya untuk membeli lokomotif baru, sedangkan untuk
jumlah gerbong juga mengalami penurunan jumlah sebesar 10,45% dalam
kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 20004, seperti tampak pada Tabel 2.2

Tabel 2.2.Jumlah Lokomotif Kereta Api Siap Operasi


Satuan 2000 2001 2002 2003 2004 Pertumbuhan Rerata
Lok Besar
Daop Jawa (ex Wilu Jawa) unit 224 219 218 207 191 -3,87
Divre I (ex ESU) unit 20 30 31 30 30 12,53
Divre II (ex ESB) unit 21 23 6 3 5 -11,93
Divre III (ex ESS) unit 79 74 74 82 77 -0,40
Lok Sedang
Daop Jawa (ex Wilu Jawa) unit 17 17 14 14 13 -6,20
Divre I (ex ESU) unit 8 0 0 0 0 0.00
Divre II (ex ESB) unit 3 4 0 0 0 0.00
Divre III (ex ESS) unit - - - - - -
Lok Kecil
Daop Jawa (ex Wilu Jawa) unit 43 41 37 39 38 -2,89
Divre I (ex ESU) unit - - - - - -
Divre II (ex ESB) unit - - - - - -
Divre III (ex ESS) unit - - - - - -
Total
Sumber: PT. Kereta Api Indonesia (Persero) 2005

1 - 2 - 3 LANGKAH
15
Infrastruktur rel KA telah mengalami Kompleksitas dalam operasi perkeretaapian menyebabkan bertambahnya
peningkatan rata-rata sebesar 0,16%, ragam penyebab kecelakaan. Salah satu variabelnya adalah kesehatan
hal ini terjadi karena jumlah infrastruktur organisasi perkeretaapian, dan kecelakaan yang ditimbulkan setelah adanya
rel non-utama (cabang) meningkat pemicu dan kegagalan aktif. Sebetulnya, pemicu dan kegagalan aktif ini tidak
10,57%, sedangkan infrastruktur rel harus mengakibatkan kecelakaan jika kesehatan organisasi tersebut cukup
utama (raya) menurun sebesar -0,20%. baik, dan untuk memperbaikinya tidak harus menunggu kecelakaan terjadi.
Peningkatan infrastruktur rel KA selama
lima tahun ini dikarenakan proses Resiko kecelakaan dengan penyebab kondisi laten dalam operasi
peremajaan yang dilakukan oleh PT. perkeretaapian juga cukup tinggi. Kondisi laten ini dapat berkembang dalam
Kereta Api organisasi perkeretaapian dan selanjutnya akan menimbulkan kecelakaan
setelah adanya pemicu dan kegagalan aktif. Kondisi laten ini, dapat berubah-
ubah dan cenderung menjadi lebih buruk bila tidak selalu dimonitor dan
diperbaiki. Pada organisasi dengan sistem informasi keselamatan yang
bekerja dengan baik, suatu kecelakaan atau near-miss (kondisi yang hampir
saja menimbulkan kecelakaan) akan meningkatkan resistansi terhadap
kecelakaan. Namun demikian untuk memperbaiki kondisi laten ini, tidak
harus menunggu suatu kecelakaan terjadi. Suatu organisasi harus dapat
mengetahui kondisi kesehatannya dan dapat memperbaikinya segera bila
kondisi tersebut berpotensi menimbulkan kecelakaan.

2.2. Kinerja Perkeretaapian


2.2.1. Statistik Kecelakaan Kereta Api
Di awal tahun 2007, moda KA turut mewarnai kecelakaan transportasi di
tanah air, dengan jatuhnya Gerbong KA Bengawan di Kali Jager, pada lintas
Purwokerto-Banyumas, 16 Januari 2007, hal ini mengingatkan kita kembali
pada beberapa peristiwa kecelakaan KA sebelumnya. Kecelakaan KA yang
menelan korban jiwa tersebut juga disusul oleh dua kecelakaan KA serupa
yang terjadi pada tanggal 24 Januari 2007, yaitu empat gerbong KA Penataran
anjlok saat melintas di emplasemen Stasiun Kesamben, Blitar, dan KRD
rute Stasiun Kota-Rangkasbitung anjlok di kilometer 10,8 jalan Palmerah,
Jakarta Pusat, namun kecelakaan KA ini tidak memakan korban jiwa.
Pada prinsipnya jenis kecelakaan di perkeretapian terbagi atas lima kategori,
yaitu tabrakan KA dengan KA, tabrakan KA dengan kendaraan di jalan raya,
anjlok atau terguling, banjir atau longsor, dan kejadian lain peristiwa, seperti
orang bunuh diri, menabrak hewan. Penyebab terjadinya kecelakaan KA itu,
antara lain diakibatkan kelalaian petugas penjaga pintu perlintasan,
keandalan prasarana dan sarana KA yang semakin menua, dan
kekuranghatian penyeberang di perlintasan KA.
Berdasarkan data kecelakaan KA selama 10 tahun terakhir, yang mendapat
porsi terbanyak adalah kategori tabrakan KA dengan kendaraan di jalan raya
dan KA anjlok atau terguling, namun volume terbanyak adalah kecelakaan
yang diakibatkan oleh KA anjlok/terguling seperti pada Tabel 2.3.
Dalam lima tahun terakhir, peristiwa KA anjlok/terguling cenderung menurun.
Di tahun 2006 hanya terdapat kecelakaan 52 kejadian, hal ini dapat dimaklumi
di saat kondisi prasarana dan sarana perekeretaapian yang semakin menua,
sementara upaya merehabilitasi prasarana dan sarana yang baru saat ini
masih terkendala besarnya dana yang dialokasikan untuk perkeretaapian.

Tabel 2.3. Data kecelakaan KA Peristiwa Luar biasa Hebat (PLH)


Jenis Kecelakaan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tabrakan KA dengan KA 3 7 6 7 6 12 8 6 1 6 10 5
Tabrakan KA dengan 115 88 74 33 53 26 26 55 57 28 15 22
kendaraan di jalan raya
Anjlok/Terguling 72 65 57 51 90 64 53 64 81 69 99 52
Banjir/Longsor 17 15 11 11 9 9 6 10 10 4
Lain-lain persitiwa 24 21 8 7 38 15 39 81 68 35
Total 231 196 156 109 196 126 132 216 217 142 166 117
Sumber: PT. Kereta Api dan Direktorat Jenderal Perkeretapian Departemen Perhubungan

1 - 2 - 3 LANGKAH
16
Minimnya dana yang disediakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana
KA tampak dari seringnya kecelakaan KA (penumpang maupun barang) anjlok
setiap tahun. Namun dari total keseluruhan kecelakaan yang terjadi beberapa
tahun terakhir ini cenderung menurun.

2.2.2. Kereta Anjlok/Terguling


Peristiwa kecelakaan KA penumpang atau KA barang anjlok/terguling yang
mendominasi setiap kecelakaan kereta api dalam 10 tahun terakhir ini sangat
erat kaitannya dengan faktor kondisi prasarana, sarana, dan keandalan
masinis.
Kualitas prasarana yang berupa jalan rel saat ini sangat memprihatinkan.
Hampir separuh rel kondisinya sudah uzur, dan sudah berusia di atas 50
tahun. Setidaknya terdapat sekitar 2.270 kilometer (49 persen) perlu segera
dilakukan perbaikan dengan kondisi sepanjang 791 kilometer masih dengan
bantalan kayu yang usianya sudah di atas 15 tahun. Kalau bantalan kayu
tersebut menggunakan kayu bangkirai, maka hanya memiliki umur ekonomis
maksimum 8 tahun, dan masih ada toleransi 1-2 tahun, setelah itu akan
mempengaruhi kecepatan perjalanaan KA.
Indonesia memiliki panjang rel 4.337,699 kilometer dengan berbagai type Indonesia memiliki panjang rel
dan usia, yaitu Type R.25 (berat 25 kilogram setiap meter) dan R.33/34 4.337,699 kilometer dengan berbagai
berusia antara 70-130 tahun, yang semuanya merupakan produk peninggalan type, namun hampir separuh rel
Pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan untuk type R.41/42 yang usianya 10- kondisinya saat ini sudah uzur, dan
70 tahun, sebagian sudah diganti selama Pemerintah RI, dengan produk sudah berusia di atas 50 tahun.
terakhir yaitu type R.50 dan R.54 yang berusia antara 5-10 tahun, seperti
pada Tabel 2.4 Selama 10 tahun terakhir volume
terbanyak adalah kecelakaan yang
diakibatkan oleh KA anjlok/terguling
Tabel 2.4. Tipe, Umur dan Panjang Rel di Indonesia
Anjlok atau tergulingnya kereta
Tipe Umur Panjang %
mengindikasikan 3 aspek: a) Kondisi rel
R.25 70-130 tahun 256,997 5,92
tidak terpelihara, b) Kondisi roda dan
R.33/34 705,867 16,27
suspensi tidak memadai, c) Sistem
R.41/42 10 – 70 tahun 1.959,98 45,19
Operasi dilanggar-biasanya kecepatan
R.50 5 – 10 tahun 204,803 4,72
berlebih.
R.54 1.176,053 27,11
Sumber: Ditjen KA, Dephub 2006

Dari keseluruhan rel (4.337,699 kilometer), kondisi rel operasi untuk type R.
25 sepanjang 256,997 kilometer (5,92 persen), type R.33/34 sepanjang
705,867 kilometer (16,27 persen), type R.41/42 sepanjang 1.959,984 kilo-
meter (45,19 persen), type R.50 sepanjang 204,803 kilometer (4,72 persen),
dan type R.54 sepanjang 1.176,053 kilometer (27,11 persen), seperti pada
Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Tipe, Panjang dan Prosentasi Rel di Pulau Jawa dan Sumatera
Pulau Tipe Panjang (km) %
Jawa R.25 20,21 0,66
R.33/34 445,00 14,57
R.41/42 1.638,53 53,66
R.50 204,803 6,70
R 54 744,729 24,39
Total 3.053,28
Sumatera R.25 236,787 18,4
R.33/34 260,861 20,3
R.41/42 355,488 27,7
R 54 431,324 33,6
Total 1.284,420
Sumber: Ditjen KA, Dephub 2006

1 - 2 - 3 LANGKAH
17
Usia rel dapat mencapai 25 tahun pada lintas lurus dan lengkung dengan
jari-jari 300 meter, sedangkan pada lengkung dengan jarin-jari kurang 300
meter, bisa kurang dari 8 tahun. Di Sumatera Selatan (angkutan batubara)
usia rel kurang dari lima tahun sudah dalam kondisi aus dan harus segera
diganti, karena beban angkut yang dibawa setiap hari cukup besar.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi rel adalah frekuensi perjalanan,
beban angkut, geometrik jalan rel, dan konstruksi (termasuk jenis, penambat,
bantalann dan balas). Type rel yang lebih tinggi yang tidak disertai dengan
bantalan yang handal akan mempengaruhi keamanan dan kecepatan
perjalanan. Faktanya, bantalan kayu masih digunakan di beberapa lintas
jalan rel, bahkan masih ada yang menggunakan bantalan baja peninggalan
Pemerintah Hindia Belanda yang usianya lebih dari 100 tahun seperti yang
terdapat di Sumatera Utara.
Di Wilayah Daerah Operasi 9 Jember, terdapat bantalan kayu sepanjang
137,253 kilometer, pada lintas Leces-Rambipuji (yang disela-selanya
disisipkan bantalan beton), dan lintas Jember-Temuguruh. Di wilayah Daerah
Operasi 4 Semarang masih digunakan bantalan kayu dan baja, yaitu bantalan
kayu yang berasal dari jenis bangkirai di lintas Karangjati-Bojonegoro (80,6
kilometer) yang usianya di atas 15 tahun, juga terdapat di lintas Brumbung-
Karangjati-Gundih selang seling antara bantalan baja dan kayu sepanjang
67 kilometer. Di wilayah Daerah Operasi 8 Surabaya, terdapat bantalan kayu
di lintas Bojonegoro-Surabaya sepanjang 56,250 kilometer dan lintas Bangil-
Blitar sepanjang 89,029 kilometer. Selanjutnya, bantalan kayu dengan
penambat tirepon juga masih digunakan di Sumatera Utara pada lintas
Medan-Belawan (21 kilometer) yang sudah diganti 10 kilometer, dan tahun
ini diperkirakan seluruhnya sudah selesai diganti. Bantalan kayu ini ada
juga di lintas Tebingtinggi-Pematangsiantar (32,5 kilometer) dan lintas
Kisaran-Tanjungbalai (21,5 kilometer), sedangkan di Daerah Operasi 2
Bandung, bantalan kayu masih dijumpai di lintas Banjar-Kroya sepanjang
91 kilometer.

2.2.3. Kecelakaan di Pintu Perlintasan


Kecelakaan jalan raya di pintu perlintasan kerete api tertgolong cukup tinggi.
Perilaku masyarakat yang kurang disiplin, dan kerap mengabaikan rambu
atau marka menyebabkan terjadinya kecelakaan. Walaupun di pintu
perlintasan ini sudah diberi penjaga, namun pelanggaran terhadap batas
masih dilakukan juga, bahkan penjaga perlintasan KA yang tugasnya
mengamankan perjalanan kereta api pun harus turut pula menyelamatkan
pengguna jalan raya yang tidak sabar menunggu KA lewat.
Menurut Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1998 tentang
Prasarana dan Sarana Kereta Api, menyatakan perlintasan antara jalur
kereta api dengan jalan dibuat
dengan prinsip tidak sebidang.
Pengecualian terhadap prinsip
tidak sebidang ini apabila letak
geografis tidak memungkinkan,
tidak membahayakan, tidak mem-
bebani dan tidak mengganggu
kelancaran operasi kereta api dan
lalu lintas jalan, serta untuk jalur
KA tunggal. Perlintasan sebidang
diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan teknis dan tata cara
berlalu lintas kereta api dan lalu
lintas jalan. Persambungan, pemo-
tongan atau penyinggungan
dengan jalur kereta api dapat
diberikan izin dengan memper-
hatikan, rencana umum jaringan

1 - 2 - 3 LANGKAH
18
jalur kereta api, konstruksi jalan rel, keselamatan dan kelancaran operasi Kecelakaan di perlintasan harus dilihat
kereta api, persyaratan teknis bangunan dan keselamatan serta keamanan sebagai masalah lalulintas jalan - bukan
di perlintasan. Hal yang sama juga ada pada KM No.53 tahun 2000 tentang kecelakaan kereta api. Jadi yang perlu
Perpotongan dan/atau Persing-gungan antara Jalur Kereta Api dengan ditangani pengguna jalannya.
Bangunan Lain, Pasal 2 menyebutkan perpotongan antara jalur kereta api
dengan bangunan lain dapat berupa perpotongan sebidang atau tidak
sebidang. Perpotongan sebidang keberadaan-nya dapat di atas maupun di
bawah jalur kereta api, sementara itu pada Pasal 6, untuk melindungi
keamanan dan kelancaran pengoperasian kereta api pada perlintasan
sebidang, kereta api mendapat prioritas berlalu lintas. Untuk keamanan
dan kelancaraan operasi kereta api perlintasan wajib dilengkapi rambu
peringatan, rambu larangan, marka berupa pita penggaduh, pintu
perlintasan, dan isyarat suara adanya kereta api yang melintas.
Menurut Pedoman Teknis Perlintasan antara Jalan dengan
Jalur Kereta Api (2005), pengecualian terhadap perlintasan
tidak sebidang dapat dibuat pada lokasi dengan ketentuan :
1) selang waktu antara kereta api satu dengan kereta api
berikutnya (headway) yang melintas pada lokasi tersebut
rata-rata sekurang-kurangnya 6 (enam) menit pada waktu
sibuk (peak);
2) jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu
jalur kereta api tidak kurang dari 800 meter;
3) tidak terletak pada lengkungan jalan kereta api atau
tikungan jalan;
4) terdapat kondisi lingkungan yang memungkinkan
pandangan bagi masinis kereta api dari as perlintasan dan bagi
Perlu terus dikembangkan sistem pintu
pengemudi kendaraan bermotor;
perlintasan otomatis yang mampu
5) jalan yang melintas adalah jalan kelas III.
mendeteksi kereta yang mendekat.
Mengandalkan manual sangat tidak
Sementara untuk membangun perlintasan sebidang harus memenuhi handal karena kelemahan manusia.
persyaratan:
1) permukaan jalan tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah dengan kepala
rel, dengan toleransi 0,5 cm;
2) terdapat permukaan datar sepanjang 60 cm diukur dari sisi terluar jalan
rel;
3) maksimum gradien untuk dilewati kendaraan dihitung dari titik tertinggi
di kepala rel adalah:
a) 2% diukur dari sisi terluar permukaan datar sebagaimana dimaksud
dalam butir untuk jarak 9,4 meter;
b) 10% untuk 10 meter berikutnya dihitung dari titik terluar sebagaimana
dimaksud dalam butir 1), sebagai gradien peralihan.
4) lebar perlintasan untuk satu jalur maksimum 7 meter;
5) sudut perpotongan antara jalan rel dengan jalan sekurang-kurangnya
90 derajat dan panjang jalan yang lurus minimal harus 150 meter dari
as jalan rel;
6) harus dilengkapi dengan rel lawan (dwang rel) atau konstruksi lain untuk
menjamin tetap adanya alur untuk flens roda;
Selain itu, menurut Pasal 64 Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1993
tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, menyebutkan pada persilangan
sebidang antara jalur kereta api dengan jalan, pengemudi harus
mendahulukan kereta api dan memberikan hak utama kepada kendaraan
yang lebih dahulu melintasi rel.
Mengenai kondisi perlintasan di Indonesia, Ramadhan (2006) menjabarkan
beberapa fakta yang menyangkut kejadian tabrakan KA dengan kendaraan
di jalan raya. Pertama, menunjukkan tingkat kecelakaan di pintu perlintasan
cukup tinggi, yaitu rata-rata per tahun mencapai 40 kali kejadian, dengan
penyebaran 86 orang meninggal, 103 luka berat, dan 86 luka ringan. Kedua,
total jumlah perlintasan terdapat 8.585 unit (dijaga atau tidak dijaga, resmi
maupun tidak), dan lebih dari 486 unit yang liar, setiap 430 meter terdapat 1
unit perlintasan (idealnya minimum setiap 800 meter), dijaga hanya 954

1 - 2 - 3 LANGKAH
19
Tabel 2.6. Kondisi Perlintasan di Beberapa Negara Asia unit (12,6 persen), dan kalau dijaga
Panjang Rute/Tipe perlintasan Bangladesh Philippines semua, butuh tambahan personil
Thailand
Rute kilometer 2.734 484 4.041 28.916 orang. Ketiga, bahaya selalu
Resmi dijaga 402 49 467 mengintai yang ditandai dengan
Resmi tidak dijaga 926 161 1.145 perilaku pengendara yang sering
Liar 821 98 625 menyerobot dan disiplin masih
Total 2.149 308 2.237 rendah. Keempat, banyak jalan
Kepadatan perlintasan 0,79 0,64 0,55 setapak yang lambat laun berubah
Jarak perlintasan, satu setiap km 1.3 1.6 1.8 menjadi jalan besar. Kelima,
Sumber: United Nations (2000) pandangan terhalang, karena
pandangan bebas tidak memenuhi
syarat baik dari arah KA maupun pengguna jalan raya. Keenam, adanya
fenomena ‘Pak Ogah’ yang kerap ditemui di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Sebagai pembanding, di India yang memiliki panjang jalan rel 62.495 kilo-
Tabel 2.7. Jarak Pengereman Moda meter, terdapat perlintasan sebidang 40.445 unit, ini yang resmi dijaga hanya
Kereta Api 16.132 perlintasan sebidang dan resmi terbuka (tidak dijaga) adalah 20.528
Kecepatan (km/jam) Jarak berhenti perlintasan, yang berbatasan dengan terusan atau kanal tanpa palang pintu
setelah pengereman sejumlah 948 perlintasan. Perlintasan terbuka dengan peringatan yang lain
(meter) dan bukan rambu peringatan yang tetap sebanyak 2.837 perlintasan dengan
45 132 rata-rata ada satu perlintasan setiap 1,5 kilometer (United Nations, 2000).
50 157 Sebagai gambaran kondisi perlintasan di beberapa negara dapat dilihat
55 190 Tabel 2.6.
60 221 Masinis atau penjaga pintu perlintasan sering disalahkan, apabila ada
70 336 kejadian kecelakaan di perlintasan KA. Sebetulnya, hal ini bukan kecelakaan
80 379 KA, sehingga secara hukum yang menjadi tergugat adalah pengendara, dan
90 480 bukan pegawai KA, karena penjaga pintu perlintasan KA bertugas hanya
100 505 menjaga agar perjalanan KA tidak mengalami gangguan. Bukan persoalan
110 750 KA yang arogan, akan tetapi moda KA ini memiliki karakteristik yang berbeda
120 860 dengan moda transportasi lainnya, yaitu jika moda transportasi lain dapat
Sumber: Peraturan Dinas No. 10 direm secara mendadak, maka moda KA ini tidak dapat dihentikan dengan
Perusahaan Jawatan
seketika, dan perlu jarak tertentu untuk menghentikan kereta api seperti terlihat
Kereta Api
pada Tabel 2.7.
Untuk mengurangi kecelakaan di pintu perlintasan, dan guna percepatan
pengenalan berlalu lintas yang berkualitas, tampaknya perlu dilakukan upaya
pendidikan usia dini di sekolah. Pembuatan taman lalu lintas yang dulu
pernah ada di beberapa kota seyogianya dihidupkan kembali, dengan cara
membangun kerja sama dengan pihak swasta, mengingat taman lalu lintas
ini dapat memberikan pendapatan bagi pemerintah daerah.

2.3. Permasalahan dan Upaya Penanganan


2.3.1. Pengelolaan Perkeretaapian
Kesalahan mendasar dalam pengelolaan perkeretapian di Indonesia adalah
mekanisme Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance Op-
eration (IMO) dan Track Acces Charge (TAC). Selama ini mekanisme itu sangat
tidak menguntungkan bagi PT. Kereta Api selaku operator KA yang mendapat
tugas mengangkut penumpang KA Ekonomi. Mekanisme ini melalui Surat
Keputusan Bersama Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional No. KM. 19 tahun 1999, No. 83/KMK.03/1999 dan
No. KEP.024/k/03/1999, tentang Pembiayaan atas Pelayanan Umum Angkutan
Kereta Api Penumpang Kelas Ekonomi, Pembiayaan atas Perawatan dan
Pengoperasian Prasarana Kereta Api, serta Biaya atas Penggunaan
Prasarana Kereta Api. Kemudian dtindaklanjuti dengan Surat Keputusan
Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Anggaran
dan Deputi Bappenas Bidang Prasarana No. SK.95/HK.101/DRJD/1999, No.
KEP-37/A/1999, No. 3998/D.VI/06/1999, tentang Kriteria, Tolak Ukur, Prosedur
dan Mekanisme Pembiayaan atas Pelayanan Umum Kereta Api Kelas

1 - 2 - 3 LANGKAH
20
Tabel 2.8. Besaran usulan dan penetapan PSO, IMO dan TAC dari tahun 2000-2005
Tahun PSO IMO TAC Net = PSO+IMO-TAC
2000 Usulan 434.497 399.245 592.147 241.595
Penetapan 239.169 316.216 496.201 59.184
Perhitungan BPK (Audit) - - - 403.212
Kekurangan Pembiayaan - - - 344.028
2001 Usulan 342.281 489.137 684.369 147.049
Penetapan 256.711 410.878 607.588 60.000
Perhitungan BPK (Audit) - - - 343.509
Kekurangan Pembiayaan - - - 283.509
2002 Usulan 326.870 528.407 693.365 161.912
Penetapan 224.958 528.407 693.365 60.000
Perhitungan BPK (Audit) - - - 257.797
Kekurangan Pembiayaan - - - 197.797
2003 Usulan 217.307 590.729 558.677 250.194
Penetapan 148.203 566.683 608.686 106.200
Perhitungan BPK (Audit) - - - 354.595
Kekurangan Pembiayaan - - - 248.395
2004 Usulan 189.935 755.111 656.191 285.855
Penetapan 93.068 569.551 522.619 140.000
Perhitungan BPK (Audit) - - - 403.717
Kekurangan Pembiayaan - - - 263.717
2005 Usulan 294.889 807.299 568.625 533.564
Penetapan 200.000 624.091 624.091 270.000
Perhitungan BPK (Audit) - - - 0.000
Kekurangan Pembiayaan - - - 270.000
2006 Usulan 372.000
Penetapan 450.000
Perhitungan BPK (Audit) - - -
Kekurangan Pembiayaan - - -
Sumber: Badan Perencananaan Pembangunan Nasional (2006)

Ekonomi, Biaya Perawatan dan Pengoperasian serta Biaya Penggunaan Keselamatan kereta api harus
Prasarana Kereta Api seperti pada Tabel 2.8. diselenggarakan dengan memadukan
kondisi rel berstandar, kereta dengan
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
roda dan suspensi terpelihara dan
(BPKP) pemerintah belum membayar Rp.1.607,35 milliar kepada PT. Kereta
beroperasi sesuai kecepatan.
Api selama kurun waktu tahun 2000-2005. Di satu sisi PT. Kereta Api sebagai
BUMN dituntut laba, tetapi di sisi lain PT. Kereta Api dibebani untuk
memberikan subsidi kepada penumpang KA kelas ekonomi, yang
pembayarannya tidak maksimum. Besaran dana yang diberikan jelas akan
berpengaruh terhadap anggaran tahunan PT. Kereta Api, yakni untuk
pemeliharaan sarana dan prasarana, sistem penggajian karyawan dan
belanja rutin (belanja barang dan jasa), sehingga keterbatasan anggaran
sangat mempengaruhi perawatan rutin sarana dan prasarana KA.
Mekanisme pembayaran PSO idealnya harus dilakukan di awal tahun
anggaran karena sesungguhnya jumlah penumpang yang akan diangkut
pada setiap lintas yang direncanakan mengangkut KA kelas ekonomi dapat
diprediksi. Selain itu, kondisi stasiun KA yang terbuka harus secara bertahap
dilakukan dengan sisem tertutup, sehingga dapat diketahui secara pasti
berapa jumlah penumpangnya. Pelayanan terhadap KA kelas ekonomi dapat
dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9. Jenis kereta api yang mendapat PSO


No. Jenis KA 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1. KA Ekonomi Jarak Jauh 26 28 23 11 11 11
2. KA Ekonomi Jarak Sedang - - - 9 9 9
3. KA Ekonomi Lokal 19 18 20 22 22 19
4. KA Ekonomi KRL Jabotabek - 9 20 20 20 18
5. KA Ekonomi KRD 3 15 22 21 21 17
Jumlah 48 70 85 83 83 74
Sumber: Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Departemen Perhubungan, diolah kembali (2006)

1 - 2 - 3 LANGKAH
21
Selama ini, perkeretaapian hanya sebatas Berdasarkan data tahun 2006, KA mampu mengangkut 154 juta penumpang,
direktorat, dan baru pada pertengahan tetapi dana PSO dari pemerintah yang diberikan kepada PT. Kereta Api hanya
tahun 2005 dipisah dari Direktorat Rp 2.600 per penumpang, sedangkan PT Pelni mendapat dana PSO hingga
Jenderal Perhubungan Darat menjadi Rp 400.000 per penumpang, dan PT. Merpati Nusantara Airline mendapatkan
Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Rp 240.000 per penumpang.

Untuk menuntaskan persoalan


kecelakaan di pintu perlintasan maka 2.3.2. Peran Pemerintah
terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Pada dasarnya peran pemerintah dalam pembinaan perkeretaapian adalah
antara Menteri Perhubungan dan Menteri sebagai berikut:
Dalam Negeri No. KM 87 tahun 2004/No.
a. regulator, yakni menetapkan Grafik Perjalanan Kereta Api (GAPEKA) dan
247 tahun 2004
menetapkan tarif KA Kelas Ekonomi;
b. pemilik prasarana (rel, sinyal, telkom, pintu perlintasan, stasiun);
c. mengoperasikan prasarana; dan
d. merawat prasarana

Sebagai salah pemilik prasarana, maka pemerintah perlu menerapkan pro-


gram keselamatan di pintu perlintasan sebidang, meliputi penegakan hukum,
penyidikan (Polisi dan PPNS), pemeriksaan teknis perlintasan sebidang,
peningkatan perlintasan sebidang menjadi tidak sebidang, pembangunan/
pengadaan pintu perlintasan, evaluasi perlintasan sebidang dan peningkatan
SDM pada perlintasan sebidang.
Dalam perkeretaapian ada sistem yang tidak boleh diabaikan, yakni kelaikan
lokomotif, gerbong dan kereta, serta sistem prasarana yang mendukung
beroperasinya kereta, seperti persinyalan, rel kereta, pendukung bantalan
rel dan sumber daya manusia. Kerapnya peristiwa kecelakaan KA yang
melanda tanah air, semua ini bermuara pada ketidakcukupan dana untuk
menjalankan perkeretaapian secara normal. Di satu sisi PT. Kereta Api
dihadapkan pada persoalan internal seperti halnya BUMN lain di Indonesia,
yakni masih adanya KKN, dan keterbatasan sumber daya manusia yang
handal, di sisi lain dalam struktur organisasi pemerintah dalam Departemen
Perhubungan selama ini, perkeretaapian hanya sebatas direktorat, dan baru
pada pertengahan tahun 2005 dipisah dari Direktorat Jenderal Perhubungan
Darat menjadi Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Melalui Ditjen
Perkeretaapian ini setidaknya pemerintah dapat melipatgandakan anggaran
untuk menyamai pembangunan perkereretapian
Keterlibatan pemerintah daerah untuk menuntaskan persoalan kecelakaan
di pintu perlintasan sangat diperlukan, oleh sebab lalu muncul Surat
Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam
Negeri No. KM 87 tahun 2004/No. 247 tahun 2004 tentang Perencanaan,
Pembangunan, Pengadaan, Pengoperasian, Pemeliharaan dan
Penghapusan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dengan Jalan.
Tindak lanjut SKB ini berupa SE Mendagri No.620/1561/III/Bangda tentang
Petunjuk umum perencanaan, pembangunan, pengadaan, pengoperasian,
pemeliharaan dan penghapusan perlintasan sebidang antara jalur kereta
api dengan jalan.
Di daerah, untuk menindaklanjuti SKB ini, sejak tahun 2005 Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah telah ikut serta dengan pengadaan warn-
ing system dan blockrail yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10. Alokasi Dana untuk Perkeretaapian di Jawa Tengah


Tahun Blockrail Warning system Dana
(unit) (unit) (Rp)
2005 15 15 1,8 miliar
2006 8 3 1,4 miliar
2007 5 - 760 juta
Total 28 18 3,96 miliar
Sumber: Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Provinsi Jawa Tengah

1 - 2 - 3 LANGKAH
22
Keikutsertaan Pemprov Jawa Tengah dalam pengadaan warning system
dan blockrail ini juga diikuti beberapa kabupaten dan kota di Jawa Tengah,
dengan melakukan upaya yang sama terhadap keberadaan pintu perlintasan
di daerahnya. Sebelumnya di tahun 2003, Pemprov. Jawa Tengah juga turut
serta memperbaiki prasarana KA lintas Ambarawa-Tuntang (6 kilometer)
dengan dana Rp 600 juta. Dan tahun 2006 memperbaki Stasiun Tuntang
dengan dana Rp 200 juta.

2.3.3. Kebijakan dan Program Strategis


Guna meningkatkan keselamatan perkeretaapian tampaknya diperlukan
kebijakan dan program strategis melalui usaha-usaha yang lebih sistematis
dan terukur. Dengan meningkatkan keselamatan secara sistematis ini maka
keselamatan perkeretaapian dapat benar-benar ditingkatkan, sehingga
kehilangan nyawa maupun kerugian material akibat kecelakaan dapat
diturunkan sampai mendekati nol.
Kebijakan strategis dalam penanganan keselamatan perkeretaapian yang
perlu diambil meliputi usaha-usaha untuk; (a) Mengurangi resiko
kecelakaan kereta api, baik yang berakibat fatal pada personal teknik dan
operasi perkeretaapian, maupun kerugian finansial operator
perkeretaapian; (b) Mengurangi resiko kecelakaan pada pihak ketiga.
Berdasarkan kebijakan strategis tersebut, maka program-program strategis
yang perlu dikembangkan pertama, perlunya meningkatkan kesadaran
tentang pentingnya keselamatan perkeretaapian (safety cognisance).
Direktorat Jenderal Perkeretaapian selaku regulator seyogianya: (a)
Mengadakan kampanye keselamatan perkeretaapian; (b) Mengembangkan
modul pelatihan keselamatan perkeretaapian dan menambah sesi
keselamatan perkeretaapian pada setiap pelatihan yang wajib diikuti oleh
karyawan; (c) Menerbitkan buletin tentang keselamatan perkeretaapian atau
menambah kolom khusus tentang keselamatan pada majalah resmi
perkeretaapian yang sudah ada. Sedangkan PT Kereta Api selaku operator
perlu didorong agar: (a) Mengembangkan modul pelatihan keselamatan
perkeretaapian dan menambah sesi keselamatan perkeretaapian untuk
setiap pelatihan wajib yang diikuti karyawan; (b) Menambah buletin tentang
keselamatan perkeretaapian atau kolom khusus tentang keselamatan pada
majalah resmi perusahaan.
Kedua, yang perlu dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kompetensi
organisasi operator dan regulator untuk mengelola keselamatan
perkeretaapian (safety competence). Direktorat Jenderal Perkeretaapian
seyogianya melakukan: (a) Pemutakhiran regulasi perkeretaapian; (b)
Pengembangan sistem audit keselamatan bagi operator kereta api, unit
pemeliharaan, dan lembaga pelatihan perkeretaapian; (c) Pengembangan
sistem sertifikasi kelaikan operasi bagi sarana dan prasarana
perkeretaapian; (d) Pengembangan sistem pelatihan bagi personil
perkeretaapian dan pemberian lisensi bagi staf teknik dan operasi. Pun
demikian PT Kereta Api juga harus melakukan: (a) Pengembangan dan
implementasi sistem manajemen keselamatan; (b) Pemutakhiran prosedur-
prosedur operasi kereta api; (c) Perbaikan sistem manajemen perawatan
sarana perkeretaapian; (d) Pengembangan program pelatihan bagi
karyawan teknik dan operasi; (e) Peningkatan kapasitas dan keandalan
sistem-sistem pendukung operasi dan perawatan kereta api.
Ketiga, hal yang terkait dengan peningkatan komitmen keselamatan (safety
commitment) pengelola prasarana dan sarana perkeretaapian.
Perhubungan Darat sebagai regulator perlu didorong agar: (a) Meningkatkan
kuantitas dan kualitas penelitian tentang keselamatan perkeretaapian; (b)
Meningkatkan kesadaran pemegang kebijakan transportasi dan
perkeretaapian tentang pentingnya keselamatan; (c) Pembuatan program
keselamatan operasi dan penerbitan laporan tahunan keselamatan
perkeretaapian. Perhubungan Darat sebagai operator prasarana juga perlu
didorong untuk menyelesaikan permasalahan backlog pemeliharaaan

1 - 2 - 3 LANGKAH
23
jalan-rel. Sementara itu, PT Kereta Api juga dirasa perlu segera: (a)
Menangani masalah backlog pemeliharaaan sarana; (b) Mendirikan Pusat
Keselamatan Perkeretaapian (c) Menambah direksi keselamatan pada
board of director; (d) Membuat program keselamatan operasi dan penerbitan
laporan tahunan keselamatan.
Keempat, soal penanganan masalah-masalah khusus keselamatan
perkeretaapian. Dirjen Perkeretaapian perlu segera mengambil langkah:
(a) Penyelesaian permasalahan pintu pelintasan rel-jalan raya melalui
penyusunan juknis perlintasan sebidang; (b) Standarisasi dan sertifikasi
produk-produk teknologi kereta api; (c) Sertifikasi lembaga pelatihan dan
perawatan sarana dan prasarana kereta api. Kemudian Dirjen
Perkeretaapian juga perlu mengambil langkah tindak terhadap: (a)
Penyelesaian permasalahan pintu pelintasan rel-jalan raya melalui solusi
sistematis masalah kecelakaan pada pelintasan; (b) Peningkatan kapasitas
dan keandalan sistem pengatur lalu lintas kereta api; (c) Penerapan daerah
steril operasi di stasium kereta api dan pelayangan rel kereta api di
perkotaan. Selain itu, PT Kereta Api juga perlu membuat panduan
keselamatan dan prosedur gawat darurat bagi penumpang kereta api.

2.4. Catatan Penutup


Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa:
Subsidi pemerintah melalui PSO lebih
mementingkan pada aspek operasi n Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkeretapian (Departemen
pengangkutan penumpang, namun Perhubungan) telah berupaya membangun prasarana kereta api baik
berpotensi menciptakan kondisi rel yang membangun rel ganda (double track) maupun menghidupkan lintas non
kurang terpelihara. Kecelakaan di operasional.
perlintasan harus dilihat sebagai n Mekanisme PSO, IMO dan TAC dirasa mengganggu sistem keuangan
masalah lalulintas jalan, dan bukan soal pihak operator kereta api dalam mengelola perusahaannya. Apalagi pihak
kecelakaan kereta api, sehingga yang PT. Kereta Api sebagai operator yang dibebani tugas pemerintah untuk
perlu ditangani adalah pengguna mengangkut penumpang kereta api kelas ekonomi ini tidak menerima
jalannya. dana sebesar yang telah dikeluarkannya, meskipun diakui terdapat
kebocoran pendapatan tiket yang besar di kereta api Jabotabek.
n Dana PSO yang ditetapkan pemerintah selama periode 2000-2005
selisihnya Rp.1.607,35 trilliun di bawah besaran PSO yang diusulkan
oleh PT. Kereta Api.
n Sosialisasi SKB antara Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri
No.KM 87 tahun 2004/No.247 tahun 2004 belum optimal terutama di
kalangan anggota DPRD yang akan menyetujui anggaran di daerahnya.

Oleh karenanya langkah tindak yang perlu didorong adalah:


n Untuk meningkatkan keselamatan penumpang, dan staf perkeretaapian,
maka pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkeretapian (Departemen
Perhubungan) seyogianya tidak hanya mengejar pembangunan
prasarana kereta api baik membangun rel ganda (double track) maupun
menghidupkan lintas non operasional, tetapi juga mengupayakan
perbaikan infrastruktur jalan jalan rel yang sudah tua serta pengadaan
sarana kereta api (lokomotif, kereta dan gerbong) yang usianya sudah
tua.
n Pembayaran PSO, IMO di awal tahun berjalan dan manajemen terpisah
di PT. Kereta Api perlu dilakukan, selain itu perlu dilakukan evaluasi yang
terencana dan terjadwal. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/
kota) dapat diikutsertakan untuk memberikan subsidi bagi penumpang
kereta api ekonomi untuk lintas-lintas kereta api regional maupun kereta
api lokal, sedangkan lintas kereta api ekonomi antar provinsi masih
menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.
n Dana PSO perlu dijadwal ulang dan perlu dipikirkan dalam bentuk apa
dana tersebut dapat dikembalikan. Dana pengembalian ini misalnya dapat
berbentuk pembelian lokomotif baru, atau kereta dan gerbong baru untuk
menggantikan yang sudah tua dan tidak laik operasi lagi.
n Perlu dilakukan sosialisasi secara intensif terkait Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri

1 - 2 - 3 LANGKAH
24
No. KM 87 tahun 2004/No. 247 tahun 2004 tentang Perencanaan,
Pembangunan, Pengadaan, Pengoperasian, Pemeliharaan dan
Penghapusan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dengan
Jalan, terutama di kalangan anggota DPRD yang akan menyetujui
anggaran di daerahnya.

1 - 2 - 3 LANGKAH
25
1 - 2 - 3 LANGKAH
26
Bab 3 Pertumbuhan Ekonomi
di Tengah Lakalantas Tinggi
3.1. Pendahuluan 3.1. Pendahuluan 27
Di dalam dunia jurnalistik ada sebuah analog yang selalu dipakai “Jika anjing 3.2. Statistik Kecelakaan di Jalan 27
menggigit manusia, maka itu bukan berita, akan tetapi kalau manusia yang 3.3. Permasalahan dan Upaya
menggigit anjing, itu baru berita”. Analog ini menggambarkan betapa realitas Penanganan 28
empiris di masyarakat kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa manusia 3.3.1. Mutu Layanan Angkutan
tidak dianggap sebagai masalah lagi, karena peristiwanya terjadi hampir setiap Umum 28
jam, sehingga nilai beritanya pun sudah berkurang. 3.3.2. Sepeda Motor Penyumbang
Kecelakaan Tertinggi 29
Dalam ilmu jurnalistik, sesuatu yang dianggap biasa (terjadi) bukan menjadi 3.3.3. Penegakan Hukum 31
berita yang menarik lagi. Meskipun orang yang meninggal di jalan korbannya 3.3.4. Saatnya Membangun Transportasi
cukup banyak, dan terjadi hampir setiap hari, namun beritanya lebih menjual Yang Lebih Terintegrasi 31
orang yang meninggal karena terkena HIV/AIDS atau flu burung, karena 3.4. Catatan Penutup 33
peristiwa ini masih sangat jarang, bahkan belum tentu terjadi sebulan sekali.
Karena jarang terjadi inilah maka berita HIV/AIDS atau flu burung lebih memiliki
nilai berita yang tinggi, tinimbang berita kecelakaan di jalan raya. Tingginya
nilai berita ini mampu menjaga sensitivitas masyarakat terhadap korban, bahkan
mampu menumbuhkan rasa empati dan solidaritas sosial yang tinggi terhadap
korban maupun keluarganya.
Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan fakta korban kecelakaan lalu lintas
di jalan, beserta permasalahan dan upaya penanganannya, hal ini diharapkan
dapat membuka mata kita betapa bangsa ini dihadapkan pada persoalan yang
serius terkait dengan tingginya angka kematian akibat kecelakaan di jalan.

3.2. Statistik Kecelakaan di Jalan


Di Indonesia korban kecelakaan jalan
Saat ini krisis nyawa akibat kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di dunia setiap
sangat tinggi sehingga banyak menyedot
tahun bertambah menajubkan, dengan menelan korban 1,2 juta orang
sumber-sumber daya di rumah sakit
meninggal dan 20 juta orang luka-luka, dan lebih dari 75% peristiwa ini terjadi
dibandingkan penyakit-penyakit lainnya.
di negara-negara berkembang. Di Asia Pasifik, lakalantas di jalan telah menelan
korban 235 ribu orang meninggal, dan 3 juta orang menderita luka-luka setiap
tahun. Krisis nyawa akibat kecelakaan ini diperkirakan akan terus berlanjut
dan semakin meningkat seiring dengan peningkatan kendaraan bermotor.
Menurut WHO dan Bank Dunia (2004) pada tahun 1990 lakalantas di jalan
menempati urutan kesembilan penyebab kematian, dan cacat seumur hidup.
Pada tahun 2020 mendatang, korban lakalantas diprediksi akan meningkat
keurutan ketiga setelah penyakit jantung dan depresi.
Berdasarkan laporan ADB bertajuk “Asean Regional Road Safety Strategy
and Action Plan (2005-2010), di antara negara-negara Asia Pasifik, Indone-
sia merupakan negara paling buruk dalam urusan keselamatan di jalan.
Faktor penyebab kecelakaan ini bersumber dari perilaku berkendara yang
tidak disiplin (80%-90%) faktor kendaraan (4%), faktor jalan (3%) dan faktor
lingkungan (1%), ini pertanda budaya keselamatan jalan di Indonesia masih
sangat rendah.
Data tahun 2003 menyebutkan Indonesia merupakan korban lakalantas
terbesar di Asean setelah Thailand dan Vietnam, dengan kerugian ekonomi
mencapai Rp.41 trilyun, atau sekitar 2,9% dari Gross Domestic Bruto (GDP),
ini berarti hampir dua kali lipat dari seluruh dana bantuan luar negeri yang
diterima Indonesia. Kerugian ini tentunya menghambat kemajuan ekonomi
bangsa. Dana yang semestinya bisa dialokasikan untuk pelayanan umum
ataupun untuk investasi kesehatan, terpaksa kandas hanya untuk pengadaan
fasilitas medis. 1 - 2 - 3 LANGKAH
27
Data tahun 2000 sampai tahun 2004 menunjukkan rata-rata pertumbuhan
angka kecelakaan sebesar 9,65%. Lakalantas ini telah mengakibatkan
korban meninggal, luka berat, ringan serta kerugian material, dan angka
tertinggi kecelakaan terjadi pada tahun 2004 yaitu sebanyak 18.732 kejadian,
ini berarti meningkat sebesar 32,34%. seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1
Menurut Kepolisian RI rata-rata korban meninggal di Indonesia yang
diakibatkan lakalantas mencapai 8.000-11.000 per tahun, namun pihak
kepilisan agak ragu terhadap akurasi data ini, karena fakta di lapangan
menunjukkan bahwa banyak lakalantas yang terjadi di luar yang mereka
catat.
Tabel 3.1.Jumlah Kecelakaan di Jalan
Uraian Unit 2000 2001 2002 2003 2004 Rata2 Pertumbuhan
Jumlah Kejadian Kejadian 12.649 12.791 12.267 13.399 18.732 9.65 %
Korban (orang) Orang 20.154 25.350 23.699 24.692 32.271 6.32 %
Meninggal dunia Orang 9.536 9.522 8.762 9.856 11.204 4.51 %
Luka Berat Orang 8.100 6.656 6.021 6.142 8.983 8.12 %
Luka Ringan Orang 9.518 9.181 8.925 8.694 12.084 7.52 %
Kerugian Material Juta Rupiah 36.280.980 38.616.839 41.029.930 45.778.177 53.045.595 10.05 %
Sumber : Ditjen Hubdat, 2005

Hingga kini perbedaaan data korban


Dalam catatan PT. Jasa Raharja, setidaknya rata-rata korban lakalantas
dari kepolisian, asuransi, PT. Jasa
berkisar antara 9.000-12.000 per tahun, bahkan tahun 2004 meningkat
Raharja dan data Rumah Sakit (Dep.
menjadi 27.000 orang meninggal dari 90.000 total korban, namun akurasi
Kesehatan) masih sangat tinggi. Hal ini
data ini pun juga masih diragukan, karena banyak korban jiwa yang tidak
sering membingungkan dalam
diasuransikan.
menetapkan strategi penanganan Berdasarkan studi Global Road Safety Partnership (GRSP) yang dilakukan
kecelakaan yang tepat di ASEAN, dengan dukungan dana dari Asia Development Bank (ADB),
menunjukkan angka yang cukup fantastis yaitu korban lakalantas rerata di
Indonesia mencapai 30.000 per tahun.
Sedangkan Depkes kesulitan menginput data karena tidak
semua rumah sakit memberitahukan kepadanya.
Gambaran di atas hanya sekedar ilustrasi bahwa tak
satupun departemen di Indonesia mempunyai data
lakalantas yang akurat.
Bandingkan dengan Afrika Selatan, mereka mempunyai data
lakalantas sangat detail, kapan, dimana, dan jam berapa
lakalantas terjadi, terdokumentasi dengan baik, sehingga
dengan data-data ini pula dapat ditemukenali permasala-
hannya. Upaya-upaya pencegahan pun (preventive) dapat
dilakukan berdasarkan kecenderungan lakalantas
sebelumnya. Dengan data ini pula kerja polisi menjadi lebih
efisien, karena mereka cukup dikosentrasikan di daerah
rawan lakalantas, dan tidak perlu disebar seperti polisi di
negeri ini.

3.3. Permasalahan dan Upaya Penanganan


3.3.1. Mutu Layanan Angkutan Umum
Sistem organisasi, operasi, dan finansial angkutan umum di beberapa kota
Indonesia selama ini menghasilkan mutu pelayanan yang rendah. Umumnya
masih menggunakan sistem perijinan trayek, yaitu para pemegang ijin
menanggung segala risiko finansial dan operasional yang kemudian
dibebankan kepada operator atau awak bus kota. Dalam prakteknya, sistem
perijinan trayek ini dilakukan dengan berbasis kendaraan, sehingga armada
yang dimiliki perusahaan memiliki ijin trayek pada rute-rute yang berbeda.
Akibatnya, dalam satu trayek dilayani oleh banyak operator dari perusahaan
yang berbeda pula. Kondisi ini berimplikasi pada persaingan yang tidak
sehat antar operator bus dalam meraih penumpang. Di negara-negara maju,
sistem seperti ini sudah banyak ditinggalkan karena tingkat pelayanan yang
dihasilkan sangat rendah.
1 - 2 - 3 LANGKAH
28
Di kota-kota Indonesia, tingginya resiko finansial dan operasional yang harus Di negara-negara maju, sistem perijinan
ditanggung oleh operator mendorong mereka berusaha mengangkut trayek berbasis kendaraan seperti ini
penumpang sebanyak mungkin, untuk mendapatkan keuntungan sebesar- sudah banyak ditinggalkan karena
besarnya, minimal untuk membayar setoran yang telah ditetapkan pihak tingkat pelayanan yang dihasilkan sangat
perusahaan. Ketidakefektifan rute bus ini juga melahirkan sejumlah rendah.
pelanggaran trayek, yaitu bus yang beroperasi pada rute yang tidak efektif
(jalur kurus) cenderung beralih pada rute potensial (jalur gemuk), ini Rendahnya mutu angkutan umum inilah,
mengakibatkan para operator kebut-kebutan dalam meraih penumpang, menyebabkan hampir semua kota-kota di
dengan mengabaikan faktor keamanan, kenyamanan dan keselamatan Indonesia saat ini dibanjiri kendaraan
penumpang. bermotor.

Studi yang dilakukan Pustral (2004) bertajuk “Reformasi Sistem Angkutan


Perkotaan DI. Yogyakarta” yang merupakan kerjasama dengan Dinas
Perhubungan Propinsi DIY, dan Universitas Karlstads, dengan dana dari Eu-
ropean Union diketahui bahwa gaji sopir angkutan umum di Yogyakarta saat
ini “melorot” tajam, yaitu rata-rata per hari hanya berkisar Rp.27.667–Rp.41.333,
sedangkan gaji kernet antara Rp.15.083–Rp.20.500 per hari. Menurunnya
pendapatan awak bus ini disebabkan karena konsumen mulai berpaling dari
angkutan umum ke sepeda motor. Akibatnya, pendapatan setiap bus per hari
hanya Rp.172.040–Rp.350.812, dengan biaya operasi kendaraan setiap bus
per hari antara Rp.182.860–Rp.220.452, sehingga total keuntungan yang
didapat setiap bus hanya Rp.6.030 – Rp.138.642, dengan operating ratio antara
1,03%–1,65% .
Uraian di atas menggambarkan betapa sistem setoran yang diterapkan selama
ini menjadi sumber ketidakteraturan awak angkutan di jalan, dan buruknya
mutu sistem angkutan umum di dalam negeri. Bahkan turunan dari persoalan
sistem organisasi, operasi, dan finansial angkutan umum ini telah melahirkan
indisiplin bagi sopir bus, seperti mabuk sambil mengemudi, menyetir dalam
kondisi mengantuk, berhenti disembarang tempat, kebut-kebutan di jalan,
berebut penumpang dengan mengabaikan rambu lalu lintas, menyiap
kendaraan lain tanpa mengindahkan rambu larangan, yang kesemuanya ini
merupakan muara kecelakaan angkutan umum baik kecelakaan tunggal
maupun lakalantas yang melibatkan angkutan umum dengan kendaraan lain.

3.3.2. Sepeda Motor Penyumbang Kecelakaan Tertinggi


Ketika tingkat pelayanan angkutan umum yang diberikan pada konsumen
rendah, saat ini masyarakat mulai berbondong-bondong beralih moda yaitu
dari angkutan umum ke sepeda motor, terlebih begitu mudah akses untuk
memiliki sepeda motor yang ditawarkan industri sepeda motor. Sementara
jika mempertahankan naik angkutan umum ini, betapa konsumen berada
pada posisi yang lemah, tidak memiliki jaminan keselamatan, kenyamanan,
dan keamanan, atas ongkos yang telah dibayarnya, sehingga bila terjadi
sesuatu selama di perjalanan, konsumen tidak dapat melakukan gugatan,
baik kepada operator maupun pemerintah. Tampaknya karena faktor
rendahnya mutu angkutan umum inilah, menyebabkan hampir semua kota-
kota di Indonesia saat ini dibanjiri kendaraan bermotor. Banjirnya kendaraan
bermotor di Indonesia saat ini sudah pada taraf sangat
mengkhawatirkan.
Mengutip catatan Polri (2004), jumlah kendaraan bermotor
nasional pada tahun 2003 sudah mencapai 32.774.929 unit,
dengan penyebaran mobil 5.133.746 unit, sepeda motor
23.312.945 unit, dan 432.838 unit bus dan truk. Hanya dalam
waktu 12 bulan, jumlahnya meningkat hingga 41.702.442
unit, terdiri dari mobil 6.748.762 unit, sepeda motor
28.963.987 unit, dan 5.989.693 unit bus dan truk, dengan
tingkat pertumbuhan 27%.
Uraian di atas menunjukkan betapa sepeda motor telah
mendominasi jalan raya. Dengan tubuhnya yang ramping, ia
dapat menyelip diantara himpitan kendaraan lain, bahkan

1 - 2 - 3 LANGKAH
29
Tidak hanya itu, peningkatan dibeberapa kota saat ini telah lahir club-club sepeda motor dengan
sepeda motor ternyata juga membanggakan merk sepeda motornya masing-masing.
telah menyebabkan semakin
menurunnya volume Bagi pemerintah, meningkatnya kepemilikan sepeda motor ini merupakan
pengendara sepeda onthel. salah satu indikator pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain tidak dapat
dipungkiri kalau volume sepeda motor menempati urutan pertama lakalantas
di Indonesia seperti pada Tabel 3.2.
Pada tahun 2005, kepemilikan sepeda motor di Indonesia meningkat
mendekati 90% jika dibandingkan dengan tahun 2001. Fenomena ini dipicu
oleh meningkatnya harga BBM, yang berakibat pada naiknya tarif angkutan
umum, serta berpindahnya masyarakat dari angkutan umum ke sepeda
motor akibat buruknya pelayanan angkutan umum, disamping kemudahan
yang ditawarkan oleh industri sepeda motor bagi masyarakat yang ingin
memilikinya.

Tabel 3.2.Jumlah Kecelakaan Kendaraan Bermotor Berdasarkan Jenis Kendaraan


Uraian Satuan 2001 2002 2003 2004 2005
Mobil Penumpang Unit 5.133 12.267 4.884 5.442 6.095
Mobil Beban (Truk) Unit 4.105 4.360 3.737 4.872 4872
Mobil Bus Unit 1.464 3.883 1.474 1.650 1607
Sepeda Motor Unit 8.170 9.386 9.386 14.223 15671
Jumlah unit 18.873 29.896 19.091 26.187 28.245
Sumber : Diolah dari bebagai sumber

Diduga kuat ada korelasi kuat antara tingginya angka lakalantas sepeda
motor dengan kemudahan masyarakat untuk memiliki SIM C. Banyak
pengendara sepeda motor di jalan raya yang tidak memiliki C. Pada kasus
tertentu, banyak orang tua membelikan sepeda motor sebagai hadiah untuk
anaknya yang lulus ujian SMP. Si anak kadang menganggap hadiah ini
sebagai toy yang dapat dikendarai sesuka hatinya di jalan raya.
Populasi sepeda motor terbanyak dan
menjadi penyumbang kecelakaan Talkshow interaktif di radio Rama FM Yogyakarta yang dikelola Pustral (2005),
terbesar. Penanganan berfokus sepeda diketahui seorang ibu sering menyuruh anakanya membeli kerupuk di warung
motor akan mampu menekan korban dengan naik sepeda motor, walaupun Si anak masih duduk dibangku SMP,
secara signifikan. dan belum mempunyai Sim C. Sementara ada pula seorang bapak yang
meminta anaknya membelikan rokok di seberang jalan dengan naik sepeda
motor pula. Ketika Sang anak tertabrak kendaraan lain, kedua orang tua ini
baru sadar kalau Sim C yang didapat tanpa melalui proses latihan dan ujian
yang sebenarnya justeru dapat mengancam keselamatan jiwa Sang anak
dan pengendara lain.
Tidak hanya itu, peningkatan sepeda motor di Yogyakarta ternyata juga telah
menyebabkan semakin menurunnya volume pengendara sepeda onthel.
Studi yang dilakukan Instran (2004) diketahui jika kurun waktu 2003-2004
pengendara sepeda motor meningkat (15,45%) dari 472.484 unit menjadi
545.371 unit, justeru volume pengendara sepeda onthel yang melintasi
Yogyakarta menurun (39%) dari 42.087 unit menjadi 29.000 unit. Sementara
itu, dari berbagai diskusi yang diselenggarakan club-club sepeda, tampaknya
masyarakat Yogyakarta sudah mulai enggan naik sepeda yang ramah
lingkungan ini, karena menurut pandangan sebagian masyarakat “Bersepeda
di jalan raya sama halnya mengantarkan nyawa”.

3.3.3. Penegakan Hukum


Sebetulnya, sudah banyak produk hukum yang mengatur agar masyarakat
terhindar dari bahaya lakalantas, baik di pusat maupun di daerah. Di tingkat
pusat, terdapat Undang-Undang No.4 Tahun 1992 yang mengatur tentang
lalu lintas dan angkutan jalan, dan Keputusan Menteri Perhubungan No.61
Tahun 1993 tentang rambu-rambu lalu lintas di jalan, seperti penggunaan
lajur sebelah kiri, dan menyiap dari sebelah kanan. Sebagai tindak lanjut,

1 - 2 - 3 LANGKAH
30
setiap Pemerintah Propinsi saat ini juga mempunyai Perda yang mengatur
lebih detail tentang penyelenggaraan lalu lintas di daerahnya.
Buruknya layanan angkutan umum di kota-kota Indonesia, sebetulnya tidak
terlepas dari lemahnya kemampuan pihak berwenang seperti Dinas
Perhubungan selaku pengendali operasional, dan pihak Kepolisian selaku
pengawal Perda. Meskipun ketentuan yang mengatur operasi dan cara
pelayanan sudah diatur, namun ketaatan operator di lapangan tidak bisa
terwujud. Kendatipun sanksi-sanksi administrasi dan hukum telah
ditetapkan, namun sampai saat ini tidak satupun Si pelanggar di seret ke
pengadilan. Hal ini membuktikan bahwa aturan hukum saja
tidak efektif, tanpa dukungan penegakan hukum.
Ada banyak kasus pelanggaran hukum terhadap Perda
lalu lintas yang dilakukan pengguna jalan di daerah, namun
Polisi sebagai pengawal Perda terkesan ogah
menindaklanjutinya. Sebut saja Perda Propinsi DIY No.5
Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan di
Wilayah Propinsi DIY. Pertama, hampir semua sopir
angkutan umum di Yogyakarta menaikkan dan / atau
menurunkan penumpang di sembarang tempat yang
sangat membahayakan pengemudi di belakangnya.
Kendatipun kejadian ini jaraknya hanya 5 meter dari pos
jaga Polisi, namun Sang Polisi yang bertugas cenderung
membiarkannya. Seharusnya Polisi sebagai aparat
penegak hukum dapat menyeretnya ke pengadilan dengan
ancaman pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp.3 juta, sesuai Perda Propinsi
DIY No.5 Tahun 2004 Kota perlu diasumsikan
Kedua, banyak pengendara sepeda motor di Yogyakarta ketika dirazia sebuah undangan, jika jalan
kedapatan tidak memakai helm. Kalau Polisi mau berpijak pada Perda di kota dilebarkan maka
Propinsi DIY No.5 Tahun 2004 seharusnya dapat menerapkan ancaman artinya kita mengundang
pidana kurungan selama-lamanya 1 bulan atau denda setinggi-tingginya kendaraan bermotor, dan jika
Rp.1 juta, namun yang terjadi cara damai yang tidak mendidik masyarakat kendaraan bermotor yang
justeru lebih banyak dilakukan Polisi. diundang maka lambat laun
terjadi lakalantas dan
kemacetan.
3.3.4. Saatnya Membangun Transportasi Yang Lebih Terintegrasi
Kecepatan kendaraan merupakan salah satu penyumbang terbesar
terjadinya lakalantas di jalan. Sustrans (1999) menyebutkan 67% pengendara
mobil di daerah urban kecepatannya melebihi batas kecepatan 30 mph.
Pejalan kaki yang ditabrak mobil dengan kecepatan 40 mph hanya memiliki
15% kesempatan untuk bertahan hidup. Hal ini disebabkan karena faktor
masih bercampurnya kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan
pejalan kaki (mix transport). Kenyataan ini tidak berbeda dengan studi yang
dihasilkan Uni Eropa. Komparasi korban lakalantas antara kendaraan
bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki masing-masing adalah
20:9:8 per kilometer. Pejalan kaki dua kali beresiko lebih tinggi jika lalu lintas
pergerakannya masih tercampur dengan kendaraan bermotor.
Menurut Prof. Jan Gehl, akademisi Royal Danish Academy of Fine Arts,
Compenhagen, Denmark, kota perlu diasumsikan sebuah undangan. Jika
jalan di kota dilebarkan maka artinya kita mengundang kendaraan bermotor,
dan jika kendaraan bermotor yang diundang maka lambat laun terjadi
lakalantas dan kemacetan. Sebaliknya jika kota diseting untuk pejalan kaki
(pedestrization), Non-Motorize (NMT), dan angkutan massal maka kota akan
didatangi orang berjalan kaki dan kendaraan tidak bermotor, dan angkutan
massal. Dengan kata lain kota perlu diformat menjadi sebuah tempat
bertemunya orang untuk melakukan transaksi, serta penghubung antar kota.
Dengan membangun fasilitas jalur pedestrian, NMT, dan angkutan massal
ini kemungkinan bisa untuk menekan tingginya kecepatan operasi kendaraan
bermotor. Berkurangnya kecepatan kendaraan tampaknya bisa mereduksi

1 - 2 - 3 LANGKAH
31
tingginya angka lakalantas di jalan raya. Idealnya kecepatan kendaraan di
perkotaan tidak lebih dari 20 mph, namun kondisi di lapangan saat ini banyak
pengendara yang kecepatannya lebih dari 40 mph. Tentu kecepatan sebesar
ini sangat membahayakan pengemudi lain. Dengan penyediaan lajur khusus
NMT dan pedestrian tampaknya mampu merubah sikologi pengemudi dari
kecapatan tinggi ke kecepatan rendah.
Studi di Denmark menunjukkan bahwa setiap pengurangan kecepatan 1 mph
dapat mengurangi lakalantas sebesar 6,2%. Bahkan Studi yang dilakukan
Transport Research Laboratory (TRL) diketahui bahwa penggunaan batas
kecepatan 20 mph mampu mengurangi lakalantas terhadap anak yang
berjalan kaki (70%) dan pengendara sepeda (48%), bahkan dengan
kecepatan 20 mph ini korban lakalantas yang akan terjadi diperkirakan hanya
sebesar 0,1%.
Begitu juga dengan penyediaan angkutan massal, dengan sistem busway
kemungkinan terjadinya lakalantas sangat kecil karena busway mempunyai 2
sistem keamanan. Pertama, sistem terpadu busway yang meliputi lajur terpisah,
pulau pemberhentian, dan memprioritaskan bus di lampu lalu lintas, sehingga
dapat mengurangi resiko tabrakan dengan kendaraan lain. Kedua, kecepatan
Angkutan umum yang beroperasi rata-ratanya tidak terlalu tinggi. Kecepatan busway di Curitiba rata-rata hanya
dengan tertib dan teratur seperti berkisar antara 21-22 km/jam, sedangkan TransMilenio di Bogota hanya 26,2
busway di Jakarta terbukti mampu km/jam. Dengan pembatasan kecepatan ini, maka kemungkinan kematian
menekan kecelakaan disamping akibat lakalantas hanya sebesar 0,1%.
memberi citra positif. Rekomendasi Pustral (2005) kepeda Pemprop DIY bertajuk “Reformasi Sistem
Angkutan Perkotaan DI. Yogyakarta” dengan dana dari European Union ini
menarik untuk dicermati. Tampaknya pemerintah perlu segera: Melindungi hak-
hak pengguna angkutan umum (konsumen); Menggalang kekuatan konsumen
agar bisa mengendalikan operator; Menjembatani konflik antara konsumen
dan operator agar dicapai rekonsiliasi dan kondisi yang mutual;
Mengintegrasikan tujuan-tujuan pemerintah dalam bidang angkutan umum.
Caranya, pemerintah daerah dapat; Menempatkan diri diantara konsumen
dan produsen yaitu terlibat dalam penggalangan pembayaran ongkos agar
tidak terjadi transaksi langsung antara konsumen dan produsen;
Mengendalikan penggunaan akumulasi ongkos sebagai kekuatan dalam
rangka penyelenggaraan angkutan yang lebih terkendali; Mengatur
penyelenggaraan angkutan umum dengan menggabungkan kekuatan
regulasi dan finansial. Cara ini kemudian disebut buy the service.
Konsep buy the service banyak diterapkan di negara maju dalam rangka
penyelenggaraan angkutan yang berkualitas, terkendali dan mampu
memberikan layanan yang responsif terhadap demand yang cukup beragam
di suatu kota. Idenya bisa dianalogikan dengan KUD petani. Jika petani secara
sendiri-sendiri mengkonsumsi sarana produksi pertanian (pupuk, bibit dan
sebagainya), maka ia memiliki daya tawar rendah dan seringkali dipermainkan
pedagang. Untuk mengatasinya petani-petani harus bersatu membentuk
koperasi, sehingga hak-haknya akan terlindungi, daya tawar saat membeli
saprodi pun meningkat tanpa merugikan pihak pemasok saprodi.
Aplikasi di angkutan umum, pemerintah atau badan yang ditunjuk
menempatkan diri diantara konsumen dan produsen. Ia akan mengumpulkan
ongkos-ongkos yang dibayar konsumen lalu menggunakan uang itu untuk
membeli secara “grosir” layanan angkutan yang dilaksanakan oleh operator.
Ia juga akan menanggung resiko jika uang yang diterima dari konsumen ini
tidak cukup untuk membayari layanan yang telah diselenggarakan oleh
produsen.
Sebagai perantara, ia harus profesional agar tidak terjadi kondisi defisit. Ia
juga mencerminkan peran pemerintah sebagai regulator, dan mensinkronkan
dengan tujuan-tujuan pemerintah yang harus dicapai dalam sektor
transportasi. Ia merupakan penanggung jawab sekaligus sebagai pembina
operasional dari sektor angkutan umum, dan harus memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang tinggi secara teknis, ekonomis, operasional dan
manajemen dari angkutan umum seperti skema pada Gambar 3.1.
1 - 2 - 3 LANGKAH
32
Di dalam sistem buy the service ini pemerintah akan mengambil resiko
penyelenggaraan angkutan umum dengan cara membeli layanan dari op-
erator. Pada sistem yang sedang berjalan, penetapan tarif angkutan ditetapkan
oleh pemerintah, namun resiko defisit sepenuhnya ditang-gung pengusaha
bus, yang kemu-dian dialihkan pada awak bus dengan sistem setoran.
Dengan sistem buy the service ini
peme-rintah akan membeli layanan Gambar 3.1. Sistem “Buy The Service” Manajemen Angkutan Umum
dari operator melalui sistem tender
guna mendapatkan layanan terbaik
dengan harga rasional yang meng-
untungkan negara dan masyarakat.
Dengan pembelian layanan ini maka
pemerintah mengambil alih resiko
penyelenggaraan, sehingga wajar
kalau pemerintahlah yang menetap-
kan tarifnya.
Dengan sistem ini maka pengen-
dalian layanan dapat dilakukan oleh
pemerintah, dan kinerja operator
dapat dikendalikan berdasarkan
kontrak layanan antara operator
dengan pemerintah. Dalam kontrak
layanan ini harus jelas hak dan
kewenangan masing-masing pihak.
Beberapa kewajiban operator
misalnya seperti ketepatan waktu,
ketersediaan jumlah aramada pada
jam sibuk, keselamatan dan
sebagainya, sedangkan pemerintah Sumber: Sutomo & Saumatmaji, Busway dan Pengembangan
wajib membayar harga layanan Koridor Blok M- Kota, 2003
kepada operator setiap bulan
berdasarkan kilometer perjalanan. Dalam hal ini pemerintah punya
wewenang untuk mengurangi pembayaran manakala standar pelayanan
yang diberikan operator tidak terpenuhi.
Dalam sistem buy the service ini, salah satu komponen penting yang
mengikat perjanjian layanan operator dengan pemerintah adalah soal
ketepatan waktu. Di negara-negara maju, pembatas fisik lajur bus sering
tidak diperlukan karena nilai-nilai budaya masyarakat setempat dapat
menempatkan kepentiangan umum di atas kepentingan pribadi. Berbeda Dengan sistem buy the service ini
dengan kota-kota di negara berkembang seperti di Bogota, Curitiba dan pengendalian layanan dapat dilakukan
Jakarta yaitu pemberian lajur khusus dengan devider ini menjadi jalan keluar oleh pemerintah, dan kinerja operator
untuk memberikan prioritas bagi bus yang akan lewat. dapat dikendalikan berdasarkan kontrak
layanan antara operator dengan
pemerintah.
3.4. Catatan Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa:
n Korban lakalantas di Indonesia merupakan terbesar di Asean setelah Dalam hal ini pemerintah punya
Thailand dan Vietnam, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp.41 trilyun wewenang untuk mengurangi
(2002) pembayaran manakala standar
n Data tahun 2000-2004 menunjukkan rata-rata pertumbuhan angka pelayanan yang diberikan oleh operator
kecelakaan di Indonesia mencapai 9,65%, dan angka tertinggi kecelakaan tidak terpenuhi.
terjadi pada tahun 2004 yaitu sebanyak 18.732 kejadian, atau meningkat
sebesar 32,34%.
n Sistem organisasi, operasi, dan finansial angkutan umum di beberapa
kota Indonesia saat ini menghasilkan mutu pelayanan dan keselamatan
yang rendah, dan di negara-negara maju sistem seperti ini sudah banyak
ditinggalkan karena tingkat pelayanan yang dihasilkan rendah.
n Tingkat pelayanan angkutan umum yang diberikan pada konsumen saat
ini sangat rendah, akibatnya masyarakat kini mulai berbondong-bondong
beralih ke sepeda motor, dan kenyataannya sepeda motor menduduki
peringkat paling atas lakalantas di Indonesia.
1 - 2 - 3 LANGKAH
33
n Sudah banyak produk hukum yang mengatur agar masyarakat terhindar
Menggunakan kendaraan tidak bermotor
dari bahaya lakalantas, baik di pusat maupun di daerah, baik Undang-
akan menekan kecepatan lalulintas
Undang No.4 Tahun 1992, Keputusan Menteri Perhubungan No.61 Tahun
sehingga jika tabrakan keparahannya
1993, dan Perda Provinsi, namun penegakan hukum di jalan masih dirasa
bisa ditekan.
sangat lemah.

Oleh karenanya langkah tindak yang perlu didorong adalah:


n Sebuah kota harus diasumsikan sebuah undangan. Jika kota diseting
untuk pejalan kaki (pedestrization), Non-Motorize (NMT), dan angkutan
massal maka kota akan didatangi orang berjalan kaki dan kendaraan
tidak bermotor, dan angkutan massal. Dengan kata lain kota perlu diformat
menjadi sebuah tempat bertemunya orang untuk melakukan transaksi,
serta penghubung antar kota.
n Untuk meningkatkan layanan angkutan yang berkualitas, terkendali dan
mampu memberikan layanan yang responsif terhadap demand yang
cukup beragam di suatu kota, maka konsep buy the service sudah
saatnya diterapkan.

1 - 2 - 3 LANGKAH
34
Bab 4 Kebijakan Tarif Murah dan
Keselamatan Penerbangan
4.1. Pendahuluan 4.1. Pendahuluan 35
Transportasi udara sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi 4.2. Kinerja Penerbangan Nasional 36
nasional maupun regional, dan salah satu kunci perkembangan suatu 4.2.1. Statistik Kecelakaan
bangsa. Sistem pengangkutan udara suatu bangsa harus lah handal, Penerbangan 36
berkelanjutan dan efisien dalam memenuhi permintaan masa depan dan 4.2.2. Fenomena Tarif Murah 37
harapan masyarakat, lingkungan hidup, dan tujuan-tujuan sosial. 4.2.3. Pengaturan Ekonomi dan
Keselamatan penerbangan haruslah tetap terjaga, dan terus ditingkatkan Sosial 40
mutunya. Untuk mencapai efisiensi berarti harus berani menyingkirkan 4.3. Permasalahan dan Upaya
pembatas-pembatas yang tidak perlu, peluang bersaing diperluas, dan Penanganan 42
memaksimalkan manfaat-manfaat persaingan untuk masyarakat konsumen, 4.3.1. Aspek Teknis: Apa Masalahnya 42
industri dan tenaga kerja. Pasar yang bersaing pada umumnya akan 4.3.2. Aspek Infrastruktur dan Kejadian
mengembangkan lalu-lintas penumpang yang bermanfaat bagi konsumen. Kecelakaan 43
Hal ini akan tercapai bila penyediaan jasa-jasa pengangkutan udara, bandar 4.3.3. Kawasan Keselamatan Operasi
udara, dan pemanduan lalu lintas udara menjamin keselamatan dan Penerbangan 43
keamanan penerbangan. 4.3.4. Upaya Peningkatan Keselamatan
Penerbangan 44
Keselamatan dan keamanan merupakan salah satu tolok ukur dari kualitas 4.4. Catatan Penutup 46
transportasi, dan menjadi perhatian utama dalam setiap kegiatan transportasi
penerbangan. Definisi keselamatan dan keamanan transportasi secara umum
dapat dirujuk pada PP No.3/2001 Tentang Keselamatan dan Kemanan
Penerbangan yaitu:
Keamanan transportasi adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan
transportasi yang bebas dari gangguan dan/atau tindakan yang melawan
Transportasi udara merupakan cara
hukum.
berpengalaman paling selamat. Namun
Keselamatan transportasi adalah keadaan yang terwujud dari begitu kecelakaan terjadi, kondisinya bisa
penyelenggaraan transportasi yang lancar sesuai dengan prosedur operasi sangat mengerikan.
dan persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan
beserta penunjangnya.
Tingkat keselamatan ditunjukkan oleh indikator output, sedangkan tingkat
jaminan keselamatan ditunjukkan oleh indikator input dan proses. Indikator
output, keselamatan ditunjukkan oleh statistik kecelakaan berupa jumlah
kecelakaan, korban jiwa, korban luka-luka, dan kerugian finansial per frekuensi
atau produktivitas kegiatan transportasi. Sedangkan indikator input dan proses
ini dapat berupa jumlah ketersediaan operator bersertifikat, ketersediaan
prasarana yang laik dan bersertifikat dengan kapasitas yang memadai,
ketersediaan sarana yang laik operasi, kelengkapan organisasi penyedia
operasi yang baik dan bersertifikat, dan keberadaan organisasi regulator
yang berdaya guna. Parameter input dan proses ini merupakan parameter
yang dapat dikendalikan, sedangkan output merupakan akibat dan tidak dapat
dikendalikan.
Keamanan dan keselamatan penerbangan merupakan upaya semua pihak
yang berperan dan berkepentingan dalam kegiatan transportasi udara.
Keamanan dan keselamatan penerbangan dapat diupayakan mulai dari
konsep, rancangan, proses (pre-ongoing-post), sampai perawatan korban
dan investigasi (bila terjadi kecelakaan). Kegiatan ini melingkupi kegiatan
pengaturan (regulatory), proses jaminan keselamatan operasi (safety as-
surance) maupun proses penyelidikan kecelakaan (investigation), serta
upaya-upaya menemukan pencegahan (prevention) agar kecelakaan serupa
tidak berulang.

1 - 2 - 3 LANGKAH
35
Usaha untuk menciptakan keselamatan ini merupakan proses dinamis dan
tidak pernah berhenti (safety is never ending war). Dinamika terjadi antara
lain karena dipicu oleh perkembangan teknologi dan tuntutan kebutuhan
transportasi. Adanya tuntutan akan kapasitas yang lebih besar mau tidak
mau menuntut penerapan produk teknologi baru. Implementasi produk
teknologi baru dalam proses transportasi menyaratkan penyesuaian dalam
prosedur operasi, tuntutan pelatihan bagi tenaga operator, dan bila perlu
mengharuskan perubahan dalam organisasi operator maupun regulator.

4.2. Kinerja Penerbangan Nasional


4.2.1. Statistik Kecelakaan Penerbangan
Dari tahun 1988 sampai tahun 2004 angka kecelakaan penerbangan
mengalami perubahan naik turun, namun persentase rata-rata kecelakaan
(incidents dan accidents) yang terjadi adalah 4,04%. Kejadian kecelakaan
yang mengakibatkan korban meninggal (accident) mengalami
kecenderungan peningkatan dari tahun 1988 sampai tahun 2004 yaitu rata-
rata sebesar 33,6% dengan korban jiwa tidak kurang dari 865 orang.
Sedangkan kecelakaan yang tidak mengakibatkan korban meninggal (inci-
dent) juga mengalami kecende-rungan peningkatan rata-rata sebesar 8,65%,
seperti tampak pada Tabel 4.1.
Pada tahun 2004 hingga tahun 2006 kecelakaan penerbangan menga-lami
peningkatan 62,18%, bahkan di tahun 2006 keselamatan pener-bangan di
Indonesia mendapat rekor terburuk di Asia, inipun harus mendapat tambahan
medali baru berupa kecelakaan Adam Air B737 Air di awal tahun 2007.
Menjalankan jasa penerbangan adalah Beberapa faktor penyebab kecelakaan penerbangan tersebut antara lain
menjual keselamatan sebagai disebabkan oleh kesalahan teknis pesawat, infrastruktur fasilitas sisi udara
konsekuensi tingginya kecepatan. Upaya yang kurang sesuai, opera-sional penerbangan, dan cuaca buruk seperti
menekan biaya-biaya untuk peralatan pada Gambar 4.1.
keselamatan merupakan membunuh Kesalahan teknis pesawat yang menyebabkan kecelakaan pener-bangan
usaha sendiri. antara lain karena gangguan mesin, ban pecah, gangguan pada roda
pesawat, dan tekanan udara dalam pesawat tidak normal. Sedangkan
kecelakaan penerbangan akibat
Tabel 4.1.Statistik Kecelakaan Transportasi Udara Komersial dan Non-Komersial kesalahan infrastruktur fasilitas sisi
Year Incident Percentage Accident Percentage Total Percentage udara karena disebabkan licinnya
1988 29 NA 6 NA 35 NA landasan yang kemudian
1989 22 -24.14% 11 83.33% 33 -5.71% menyebabkan pesawat tergelincir
1990 11 -50.00% 11 0.00% 22 -33.33% dan amblesnya landasan bagian
1991 25 128.27% 12 9.09% 37 68.18% stopway. Perbandingan penyebab
1992 27 8.00% 11 -8.33% 38 2.70% kecelakaan penerbangan pada
1993 20 -25.93% 11 0.00% 31 -18.42% Tahun 2004-2006 dapat dilihat pada
1994 18 -10.00% 21 90.91% 39 25.81% Gambar 4.2.
1995 25 38.89% 21 0.00% 46 18.95%
1996 16 -36.00% 18 -14.29% 34 -26.09%
1997 10 -38.50% 28 55.56% 38 11.76% 4.2.2. Fenomena Tarif Murah
1998 30 200.00% 5 -82.14% 35 -8.89% Tampaknya masih terlalu dini kalau
1999 20 -33.33% 11 120.00% 31 -11.43% kita menyimpulkan bahwa harga
2000 12 -40.00% 2 -81.82% 14 -54.84% tiket yang relatif murah merupakan
2001 29 141.67% 8 300.00% 37 164.29% faktor utama turunnya mutu
2002 10 -65.52% 13 62.50% 23 -38.84% keselamatan penerbangan
2003 12 20.00% 11 -15.38% 23 0.00% nasional. Perlu ada penelitian yang
2004 3 -75.00% 13 18.18% 16 -30.43% mendalam untuk membuktikan
Total Average 319 8.65% 213 33.60% 532 4.04% premis di atas. Namun tidak ada
Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, 2005 salahnya kalau kita coba melacak
kemungkinan terjadinya penurunan mutu keselamatan penerbangan ini
terkait dengan tarif murah.
Kemunculan para pendatang baru pasca deregulasi dan liberalisasi
penerbangan nasional tahun 2000-an telah melahirkan persaingan bisnis

1 - 2 - 3 LANGKAH
36
yang sangat tajam, terutama Gambar 4.1. Perbandingan Kecelakaan Pesawat pada Tahun 2004-2006
persaingan dibidang tarif/harga tiket.
Para pendatang baru umumnya
dengan bangga mengaku
menerapkan konsep Low Cost Car-
rier (LCC) atau Low Cost Airline
(LCA). Sangat sedikit diantara
mereka yang mengaku menerapkan
Low Fare Carrier (LFC), meski
kenyataannya tidak satupun airline di
Indonesia yang benar-benar
menerapkan LCC.
Merujuk definisi dan kriteria LCC
sebagaimana telah dilaksanakan
oleh beberapa airline di luar negeri,
maka perusahaan penerbangan di
Indonesia belum sepenuhnya
menerapkan LCC. Perhatikan
definisi LCC yang disampaikan oleh
Philip D. Roberts, Vice President
Managing Partner Unisys R2A & Edi-
tor in Chief Scorecard (Oktober 2003) adalah sebagai berikut:
“LCC or LCA is a low cost airline is one that is operated efficiently
so as to achieve the lowest cost, possible for the service product
offered - consistent with operational integrity and safety”.
Dari definisi tersebut sangat jelas, bahwa LCC adalah satu paket dengan
efisiensi di semua lini, dengan tetap mengutamakan keselamatan. Karena
kemampuan dan inovasinya untuk melakukan efisiensi di semua lini dengan

Gambar 4.2. Perbandingan Penyebab Kecelakaan Pesawat Tahun 2005-2006

Maskapai berbiaya rendah (LCC)


menekan biaya operasi saja TAPI bukan
yang berkenaan dengan keselamatan.
Memilih pesawat yang tahan banting
merupakan salah satu cara.

tepat, maka mereka (LCC) mampu menawarkan produknya dengan harga


yang kompetitif. Harga murah yang ditawarkan ke pasar adalah sebagai
buah dari efisiensi yang tepat selama ini, tanpa mengurangi aspek pelayanan
dan keselamatan penerbangan. Konsepnya akan berbeda dengan LFC
yang lebih menonjolkan pada aspek tiket murah tetapi tidak ditopang oleh
efisiensi yang tepat.
Perusahaan-perusahaan penerbangan di Indonesia, khususnya para
pendatang baru (non legacy air carrier) lebih tepat menerapkan Low Fare Carrier

1 - 2 - 3 LANGKAH
37
Point ke-17 ini mencerminkan dan “more efficient” airlines, karena pada saat ini karakteristik airlines baru
kesungguhan airline berbasis LCC adalah mempunyai struktur organisasi yang datar (flat). Selain itu, pendekatan
terhadap jaminan keamanan dan yang digunakannya pun adalah entrepreneur, dan manajemen perusahaan
keselamatan penerbangan yaitu biaya hanya memiliki sedikit pengalaman dibidang penerbangan sipil. Kemudian,
perawatan pesawat, biaya flight pesawat yang digunakan adalah sewa baik baru maupun bekas, ini pun
simulator, biaya training dimasukkan ke sering dihadapkan pada keterbatasan peralatan dan suku cadang, dan belum
dalam perhitungan “fixed cost”. lagi masalah sedikitnya pesawat cadangan dan sebagainya.
LCC yang sudah diidentifikasi oleh pemerintah: (1) Organisasi yang datar,
yaitu terjadi multifungsi pada staf sehingga setiap pegawai adalah manajer/
pimpinan dan sekaligus juga pekerja. Tidak ada pegawai yang tidak benar-
benar dibutuhkan, (2) Penggunaan pesawat baru atau bekas dengan sewa
dan tipe pesawat udara yang sama untuk seluruh armada, sehingga lebih
mudah dan murah dalam menyiapkan SDM, peralatan, fasilitas, administrasi,
manual dan lain-lain, (3) Hanya menyediakan satu kelas penumpang, (4)
Aturan penjualan tiket yang sederhana, artinya kalau jumlah penumpang
meningkat, maka harga tiket akan dinaikkan, memberikan potongan atau
diskon kepada penumpang yang melakukan reservasi lebih dulu, (5) Tempat
duduk tidak diberi nomor, sehingga mendorong penumpang untuk naik
pesawat lebih awal dan lebih cepat, (6) Bandara yang dipilih adalah second-
ary airport untuk menghindari kepadatan yang biasa terjadi di primary air-
port, sehingga biayanya lebih murah, bahkan kalau bisa bandara dapat
memberikan kemudahan atau kompensasi lainnya, (7) Penggunaan elec-
tronic ticketing dan electronic administration (paperless), (8) jumlah awak
kabin seminimum mungkin, (9) tidak ada pelayanan makan-minum di atas
pesawat (no frill), sehingga kondisi kabin tetap bersih atau minimum cabin
cleaning, tidak diperlukan galley, serving tray dan table, (10) Pengurangan
kenyamanan terhadap tempat duduk dengan tidak adanya backrest reclin-
ing dan tidak ada window blind/shade, (11) Pembatasan berat dan jumlah
bagasi yang boleh dibawa (maximum baggage allowance), (12) Penerbangan
single leg, sehingga pesawat tidak menginap di kota lain di luar home base,
tidak ada transfer baggage, less ground handling and less ground time, (13)
Jarak penerbangan terjauh/terlama maksimal 4 (empat) jam terbang, (14)
Tidak ada fasilitas antar jemput/transportasi bagi semua awak pesawat,
(15) Penjualan makanan, minuman dan cindera mata di atas pesawat (in
flight sales), (16) Pemasangan iklan di pesawat udara baik eksterior maupun
interior, sehingga ada pemasukan tambahan, dan terakhir (17) Biaya
perawatan pesawat, biaya flight simulator, biaya training dimasukkan ke dalam
perhitungan “fixed cost”.
Dari ke-17 kriteria LCC tersebut ada sekitar lima point yang belum dipenuhi
oleh maskapai penerbangan Indonesia yakni penggunaan pesawat yang
sama (satu tipe), tiket dan administrasi berbasis elektronik (e-ticketing atau
paperless), tempat duduk tanpa nomor, tidak ada makanan-minuman selama
penerbangan dan penggunaan secondary airport. Satu point yang terpenting
adalah pada LCC, biaya perawatan pesawat bersama-sama dengan biaya
flight simulator dan biaya training awak pesawat dimasukkan ke dalam fixed
cost. Point terakhir ini mencerminkan kesungguhan airline berbasis LCC
terhadap jaminan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Sejarah tarif murah di Indonesia diawali oleh AW Air yang dengan percaya
diri mengiklankan jadwal dan tarif murahnya di beberapa media cetak yaitu
pasca deregulasi atau pasca krisis moneter. Namun sayang, belum sampai
dua tahun AW Air mendadak berhenti beroperasi, dan belakangan muncul
lagi dengan nama Indonesia Air Asia pada 1 Desember 2005 dan
menyatakan perubahan orientasi pasarnya ke penerbangan biaya rendah
(LCC).
Pada saat yang hampir bersamaan, menjelang AW Air “almarhum” pada
2001, muncul Lion Air dengan strategi promosi yang luar biasa agresif,
sehingga seolah-olah Lion Airlah yang memelopori tarif murah di Indonesia.
Bedanya, jika Lion Air sangat gencar berpromosi tarif murah dengan iming-
iming hadiah mobil mewah bahkan uang tunai Rp 1 milyar, sedangkan AW
Air tidak melakukannya. Keberhasilan Lion Air berpromosi dengan sangat

1 - 2 - 3 LANGKAH
38
agresif, dikombinasi dengan iming-iming hadiah-hadiah yang menggiurkan Sesungguhnya, banyak airline di negara-
serta didukung modal yang kuat menjadikan Lion Air ini cepat dikenal luas negara lain dengan konsep LCC meraih
oleh pasar penerbangan domestik. untung seperti South West Airlines,
sebaliknya tidak sedikit airline yang
Lion Air saat ini dapat dikatakan sebagai pemimpin pasar untuk penerbangan
menerapkan LCA justru merugi.
domestik. Fenomena ini hanya bisa disamai dengan Sempati Air yang waktu
jayanya sangat kaya dengan inovasi dan produk-produk layanan berkelas
dunia. Sekarang, hampir semua pendatang baru memiliki pola dan gaya
berpromosi tipikal Lion Air, karena dianggap efektif dan berhasil. Lalu
muncullah nama-nama Batavia Air, Adam Air, Sriwijaya Air, Kartika Airline,
Star Air, Bali Air, Air Paradise, dan sebagainya. Apakah mereka berhasil
dengan beramai-ramai mengusung tarif murah?.
Tampaknya tidak, karena beberapa maskapai penerbangan ini kemudian
berguguran di tengah jalan, ketika usia belum genap 5 tahun, seperti Star Air
yang sempat mati dua kali, Air Paradise, Kartika Airline, Efata Papua Airlines,
Seulawah Air dan terakhir Bouraq Airlines yang justru pemain lama swasta.
Beberapa lainnya mulai memperlihatkan kelesuan usaha baik pemain lama
BUMN maupun para pemain baru seperti Garuda Indonesia, Merpati
Nusantara Airline, Jatayu Air, Air Mark Indonesia, Pelita Air, dan sebagainya.
Meski demikian patut dikaji apakah “kematian” ini disebabkan oleh
ketidakmampuan mereka dalam bersaing harga, beban biaya BBM (aftur)
yang terlalu tinggi akibat kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005, ataukah
karena kesalahan manajemen (missmanagement).
Sesungguhnya, banyak airline di negara-negara lain dengan konsep LCC
meraih untung, sebaliknya tidak sedikit airline yang menerapkan LCA justeru
merugi. South West Airlines adalah salah satu contoh perusahaan yang
cukup beruntung. Ia memulai usahanya pada 1971 dan terus-menerus
mengalami keuntungan, bahkan sejak 1973 menduduki peringkat teratas
soal perolehan profit. Meski harus diakui bahwa LCC pertama yang berhasil
dalam usahanya adalah Pacific South West Airlines di Amerika Serikat,
dengan melakukan penerbangan perdananya pada 6 Mei 1949, namun
predikat keberhasilan ini sering keliru diberikan kepada South West Airlines.

4.2.3. Pengaturan Ekonomi dan Sosial


Keamanan dan keselamatan penerbangan (flight safety) bersama-sama
dengan keteraturan, ketepatan waktu penerbangan (on time performance) dan
comfortability merupakan produk utama penerbangan. Pengaturan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengaturan ekonomi dan pengaturan sosial.
Pengaturan ekonomi menyangkut pengendalian harga, pengendalian produk/
jasa dan pengendalian kapasitas. Di dunia penerbangan yang digolongkan
pengaturan ekonomi adalah pengendalian harga jasa penerbangan,
pengendalian kapasitas (pengendalian frekuensi per penggal rute) dan
pengendalian produk. Artinya penyedia jasa tidak memiliki kebebasan

1 - 2 - 3 LANGKAH
39
Untuk mengukur kemajuan dan/atau menentukan rutenya maupun jenis pesawatnya. Di Indonesia pengaturan
kemunduran keselamatan penerbangan ekonomi penerbangan dilakukan dan dikendalikan oleh Direktorat Angkutan
ICAO menggunakan tiga tolok ukur Udara, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan.
yaitu: Jumlah kecelakaan per satu juta
Pengaturan sosial bertujuan untuk melindungi warganya dan yang
pendaratan; Jumlah kecelakaan per 100
digolongkan pengaturan sosial ini adalah PKPS (Peraturan Keselamatan
juta km penerbangan, dan; Tingkat
Penerbangan Sipil) atau CASR (Civil Aviation Safety Regulation) di Indone-
kematian per 100 juta penumpang-km.
sia. Di AS adalah FAR (Federal Aviation Regulation) dan di Eropa adalah JAR
(Joint Aviation Regulation). Di Indonesia, pengaturan sosial penerbangan
dilakukan dan dikendalikan oleh dua direktorat, yaitu Direktorat Sertifikasi
dan Kelaikan Udara (DSKU) dan Direktorat Keselamatan Penerbangan
(Ditkespen). Secara internasional Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional atau ICAO (International Civil Aviation Organization) memberikan
panduan dalam hal pengaturan segala aspek keselamatan penerbangan,
namun panduan ICAO ini tidak mengatur masalah ekonomi.
Pengaturan sosial ini cenderung menguat terbalik dengan pengaturan
ekonomi yang cenderung memberikan kebebasan kepada para penyedia
jasa penerbangan. Pengaturan sosial itu sendiri di dunia penerbangan
bersifat dinamis disesuaikan dengan perubahan-perubahan teknologi,
ekonomi dan sosial. Kemajuan-kemajuan di bidang Information Communi-
cation Technology (ICT) sangat mempengaruhi pengaturan sosial
penerbangan, misalnya masalah jarak terbang antar pesawat baik secara
vertikal maupun horizontal dan pengaturan kebisingan serta emisi gas buang.
Tingkat keselamatan adalah sesuatu yang abstrak, sehingga tidak mudah
untuk dibandingkan. Untuk dapat menilai apakah terjadi peningkatan ataupun
penurunan mutu keselamatan maka harus ada tolok ukur yang mengaitkan
dengan kepadatan lalu-lintas. Itulah sebabnya ICAO kemudian menggunakan
tiga tolok ukur untuk mengukur kemajuan atau kemunduran keselamatan
penerbangan:

(a) Jumlah kecelakaan per satu juta pendaratan;


(b) Jumlah kecelakaan per 100 juta km penerbangan;
(c) Tingkat kematian per 100 juta penumpang-km.

Tolok ukur ICAO ini memperhitungkan panjangnya rute, banyaknya


penerbangan serta banyaknya penumpang. Dengan menggunakan ketiga
tolok ukur ini ICAO mencoba mengukur tingkat keselamatan penerbangan
pra-deregulasi di AS, yaitu tingkat keselamatan penerbangan di dunia pada
tahun 1977 dan dibandingkan dengan tingkat keselamatan penerbangan
pasca deregulasi di Eropa pada tahun 1996. Hasilnya, ternyata selama
selama 20 tahun tersebut, tingkat keselamatan penerbangan di dunia
meningkat walaupun ada deregulasi di kawasan-kawasan yang padat lalu -
lintas udaranya seperti di AS dan Eropa Barat.
Hasil perbandingan tingkat keselamatan penerbangan di dunia pada pra
deregulasi dengan pasca deregulasi adalah sebagai berikut:
(a) Dengan tolok ukur jumlah kecelakaan per satu juta pendaratan, maka pada

1 - 2 - 3 LANGKAH
40
tahun 1977 terjadi 2,5 kecelakaan, tetapi pada tahun 1996 ternyata
menurun menjadi hanya 1,5 kecelakaan;
(b) Dengan tolok ukur jumlah kecelakaan per 100 juta kilometer penerbangan,
maka pada tahun 1977 terjadi 0,3 kecelakaan, sedangkan pada tahun 1996
ternyata jumlahnya menurun menjadi 0,12 kecelakaan;
(c) Dengan tolok ukur tingkat kematian per 100 juta penumpang-kilometer maka
pada tahun 1977 terjadi 0,1 kematian, dan pada tahun 1996 ternyata tingkat
kematian menurun menjadi hanya 0,03 kematian.

Sekitar 80% penerbangan di dunia yang melakukan deregulasi seperti di


Amerika Utara (AS dan Kanada), Eropa Barat, Jepang, Australia, dan Selandia
Baru, menunjukkan penurunan angka kecelakaan dan kematian. Dengan
kata lain peningkatan mutu keselamatan penerbangan tidak terkait dengan
deregulasi. Tingkat keselamatan penerbangan didorong (driven by) oleh
teknologi dan profesionalisme sumber daya manusia, dan bukan oleh
pengaturan ekonomi yang ketat ataupun harga tiket yang tinggi. Memang
sangat mungkin terjadi jika harga tiket dibuat mahal maka akan sedikit jumlah
penumpang dan lalu-lintas udaranya, sehingga kecelakaan pesawat akan
jarang terjadinya. Namun, alangkah absurd cara berpikir seperti ini kalau
kesejahteraan suatu bangsa diukur dengan banyaknya konsumsi.
Bila dilakukan pengukuran yang sama di negara-negara yang tidak melakukan
deregulasi, dengan pengaturan ekonomi yang sangat ketat sekalipun seperti
Indonesia dan negara-negara bekas Uni Soviet, maka tingkat keselamatannya
jauh lebih buruk. Pengukuran di Indonesia, dengan menggunakan data tahun
1991 hingga 1996 yaitu sebelum krisis melanda dan sebelum deregulasi
menghasilkan sebagai berikut:
(a) Dengan tolok ukur jumlah kecelakaan per satu juta pendaratan, maka
antara tahun 1991 hingga 1996 di Indonesia secara rata-rata terjadi 65
kecelakaan besar dan kecil. Padahal rata-rata dunia hanya 1,5 kecelakaan,
berarti Indonesia 43 kali lebih buruk, padahal waktu itu harga tiket
penerbangan termasuk tinggi di Indonesia;
(b) Dengan tolok ukur jumlah kecelakaan per 100 juta kilometer penerbangan,
maka antara tahun 1991 hingga 1996 di Indonesia secara rata-rata terjadi
7,6 kecelakaan besar dan kecil, padahal rata-rata dunia hanya 0,12
kecelakaan, berarti Indonesia 6,3 kali lebih buruk;
(c) Dengan tolok ukur tingkat kematian per 100 juta penumpang-kilometer,
maka antara tahun 1991 hingga 1996 di Indonesia secara rata-rata terjadi
0,275 kematian, padahal rata-rata dunia hanya 0,03 kematian, dapat
dikatakan bahwa Indonesia 9 kali lebih buruk.
Jumlah kecelakaan pesawat dan korban
Pada tahun 1997, di dunia terdapat 12.000 pesawat penumpang yang mungkin meningkat, namun jika
bermesin jet (di Indonesia hanya terdapat sekitar 1% dari jumlah ini) yang dibandingkan dengan jumlah
melakukan 15 juta penerbangan, serta membawa 1,5 milyar penumpang penumpang yang diangkut dan jarak
per tahun. yang ditempuh, hal itu tidak signifikan.

Pada tahun 2005, di dunia tercatat 25.000 pesawat penumpang bermesin


jet (di Indonesia kurang dari 1%), dengan jumlah penumpang 2 milyar atau
33% penduduk dunia, sedangkan penduduk Indonesia yang menikmati
pengangkutan udara hanya sekitar 30 juta orang per tahun atau 15%, berarti
perkembangan penerbangan Indonesia ini termasuk ketinggalan.

4.3. Permasalahan dan Upaya Penanganan


4.3.1. Faktor Teknis Pesawat
Jika dibuat ranking, maka kecelakaan akibat gangguan mesin pesawat
menempati urutan pertama penyebab kecelakaan penerbangan di Indone-
sia, dan salah satu kecelakaan besar yang pernah terjadi adalah kecelakaan
pesawat Mandala 5 September 2005, denan menewaskan 149 orang akibat
sulitnya mengudara dan terhempas.

1 - 2 - 3 LANGKAH
41
Guna mengantisipasi kecelakaan Pengoperasian pesawat udara di Indonesia saat ini masih didominasi oleh
penerbangan akibat faktor teknis pesawat yang sudah berumur tua. Pesawat yang sudah uzur ini masih
pesawat, maka semua pesawat harus diijinkan beroperasi sepanjang dinyatakan laik terbang oleh regulator, dan
melalui izin dan verifikasi dari Dirjen memenuhi semua persyaratan perintah kelaikan udara, serta dirawat sesuai
Perhubungan Udara untuk memperoleh prosedur manual yang dikeluarkan oleh pembuat pesawat.
Certificate of Airworthiness (CoA) bagi
Berdasarkan catatan Aero Transport Data Bank per Januari 2007, rata-rata
pesawat yang akan beroperasi.
umur armada pesawat terbang yang digunakan oleh beberapa maskapai
penerbangan di Indonesia cukup tua yaitu Garuda Indonesia (11,3 tahun),
Langkah lain yang diambil Menteri
Citilink (16,6 tahun), Lion Air (17,7 tahun), AdamAir (19,4 tahun), Awair/Indo-
Perhubungan adalah dengan
nesia AirAsia (19,5 tahun), Batavia Air (22,3 tahun, tidak termasuk Airbus A-
menerbitkan revisi Keputusan Menteri
319), Merpati Nusantara Airlines (22,8 tahun), Sriwijaya Air (24,5 tahun),
Nomor KM 35 Tahun 2005 tentang
Mandala Airlines (24,5 tahun).
pembatasan usia pesawat maksimum 20
tahun dengan 50 ribu jam terbang Pada tahun 1997, jumlah pesawat berjadwal yang terdaftar sebanyak 217 unit,
namun yang siap beroperasi hanya 176 unit. Pada tahun 1998, pesawat yang
terdaftar mengalami penurunan 25,35%, sedangkan pesawat yang siap
beroperasi juga turun 47,16%. Perbandingan jumlah pesawat yang beroperasi
deangan pesawat yang terdaftar pada tahun 1997 dan 1998 ini masing-
masing sebesar 81% dan 57%.
Pada tahun 1999-2004 jumlah pesawat yang beroperasi sekitar 70%-76%
dari pesawat yang terdaftar. Salah satu faktor rendahnya jumlah pesawat
yang beroperasi dibandingkan pesawat yang terdaftar adalah tingginya biaya
perawatan dan suku cadang.
Guna mengantisipasi kecelakaan penerbangan akibat faktor teknis pesawat,
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebagai regulator moda transportasi
udara, berkewajiban meneliti kondisi setiap pesawat sebelum mengeluarkan
Certificate of Airworthiness (CoA) bagi pesawat terbang yang akan beroperasi.
Dengan kata lain semua pesawat terbang yang masuk dan dioperasikan oleh
maskapai penerbangan Indonesia harus melalui izin dan verifikasi Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara untuk memperoleh CoA.
Langkah lain yang telah diambil Menteri Perhubungan adalah dengan
menerbitkan revisi Keputusan Menteri Nomor KM 35 Tahun 2005 yang
membatasi usia pesawat terbang maksimum 20 tahun dan 50.000 jam
terbang. Selain itu, juga akan menambah frekuensi random spot-checks
pesawat terbang dan pemeriksaan manifes penumpang.

4.3.2. Faktor Infrastruktur Fasilitas Sisi Udara Bandar Udara


Faktor infrastruktur fasilitas sisi udara pada bandar udara menempati posisi
kedua setelah faktor gangguan mesin pesawat. Kecelakaan penerbangan
yang sering terjadi yang diakibatkan fasilitas sisi udara ini adalah
tergelincirnya pesawat di landas pacu pada saat mendarat. Salah satu
kecelakaan besar akibat pesawat tergelincir adalah kecelakaan Lion Air di
Bandar Udara Adi Sumarmo 30 Nopember 2004 dengan menelan korban
25 orang meninggal dan 61 orang luka-luka.
Berdasarkan hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT), penyebab kecelakaan utama ini adalah karena landasan pacu yang
tergenang air (hydroplaning), sehingga pesawat tergelincir dan tidak dapat
dikendalikan. Selain itu, panel perusak gaya angkat di bagian sayap (spoiler)
tertutup, dan pintu pembalik arah gaya dorong mesin (reverser) telah
mengurangi perlambatan saat pesawat meluncur di landasan pacu. Pada
saat yang sama muncul angin buritan (tail wind) sebesar 13 knots yang
mengakibatkan bertambahnya jarak meluncur pesawat saat mendarat.
Secara garis besar landasan pacu bandar udara harus memenuhi
persyaratan yaitu syarat geometrik dan syarat perkerasan. Syarat geometrik,
sebuah landasan pacu harus mampu melayani pesawat dengan aman dan
nyaman, sedangkan syarat perkerasan yaitu landasan pacu harus mampu
melayani pesawat yang beroperasi dalam jangka waktu tertentu. Di dalam
syarat perkerasan, ada tiga faktor yang harus dipenuhi yaitu kekesatan (skid

1 - 2 - 3 LANGKAH
42
resistance), kekasaran (roughness), dan kerataan (evenness). Kekesatan
berarti permukaan landasan harus cukup kesat sehingga pesawat yang
sedang take off maupun landing tidak tergelincir. Faktor yang dapat
mempengaruhi kekesatan adalah akibat gesekan antara permukaan
landasan dan roda pesawat sehingga permukaan landasan pacu menjadi
licin/aus serta terjadi rubber deposit. Kekasaran, berarti permukaan landasan
menjadi kasar sehingga menimbulkan getaran pada pesawat yang
mengakibatkan ketidaknyamanan bagi penumpang. Kerataan berarti
landasan pacu harus cukup rata. Landasan pacu juga harus mem-punyai
kemiringan baik memanjang sekitar 1,25% dan kemiringan melintang sekitar
1,5% agar tidak terjadi genangan air hujan.
Pada tahun 2002, Pemerintah RI melalui Menteri Perhubungan telah
menerbitkan SK Menteri No.47 Tahun 2002 tentang sertifikasi Operasi
Bandara Udara (SOB). Setelah dilakukan sosialisasi dan evaluasi di 10
bandara dalam rangka penertiban SOB, ternyata sampai saat ini masih
banyak pilot yang mengeluhkan tentang kondisi bandara, mulai dari kondisi
landas pacu sampai dengan
informasi cuaca sekitar runway yang
kurang akurat. Fasilitas ATC seperti
komunikasi, navigasi, surveillance
juga dirasa kurang handal, bahkan
jauh tertinggal dengan negara
tetangga seperti Malaysia dan
Singapura.

4.3.3. Kawasan Keselamatan


Operasi Penerbangan
Aspek lain yang dapat menyebabkan
kecelakaan penerbangan adalah
persoalan obstacle operasional penerbangan, baik akibat geometri alam, Pada tahun 2002, Menteri Perhubungan
maupun bangunan di sekitar bandar udara. Kondisi saat ini, masih ada telah menerbitkan SK Menteri No.47
beberapa bandar udara yang operasional penerbangannya tidak sesuai Tahun 2002 tentang sertifikasi Operasi
persyaratan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), sehingga Bandara Udara (SOB).
muncul keterbatasan dalam operasional penerbangan yang dapat
menyebabkan kecelakaan pesawat.
Bandar Udara Adisutjipto misalnya, terdapat natural obstacle berupa Gunung
Merapi di sisi utara dan Pegunungan Sewu di sisi timur dan selatan. Selain
itu, tinggi ekor pesawat B737 yang parkir di apron dan bangunan terminal
juga sudah merupakan obstacle bagi operasional penerbangan.
Kondisi Bandar Udara Adisutjipto juga terjadi pada beberapa bandar udara
lain, seperti Bandar Udara Selaparang (Lombok) – akhirnya kini akan dipindah
ke wilayah Lombok Timur, Bandara Syamsudin Noor (Banjarmasin) –
sebelum dikembangkan pada tahun 2002, Bandara Wolter Mongisidi
(Kendari), dan sebagainya.
Sebenarnya, kondisi ini dapat diantisipasi dengan KKOP yang ditentukan
pada saat penyusunan rencana induk bandar udara. Guna memperbaiki
kondisi infrastruktur baik pada sisi udara maupun sisi darat yang terkait
dengan keamanan dan keselamatan operasional penerbangan, maka
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebagai regulator diharapkan
melaksanakan penyempurnaan infrastruktur bandara dan menyusun
rencana pengembangan bandara-bandara sesuai dengan yang
dipersyaratkan dalam ICAO.

4.3.4. Upaya Peningkatan Keselamatan Penerbangan


Pemerintah tampaknya perlu segera mengambil inisiatif untuk membuat
langka yang lebih sistematik dan komprehensif dalam mengelola
keselamatan penerbangan. Kebijakan perlu didasarkan pada pijakan yang

1 - 2 - 3 LANGKAH
43
“Booming-nya”Untuk mengukur benar berdasarkan tingkat resiko yang terukur dan dilaksanakan secara
kemajuan dan/atau kemunduran berkelanjutan, oleh karena itu pemerintah perlu didorong untuk:
keselamatan penerbangan ICAO n Mengaktifkan proses assessment dan peta resiko keselamaatan
menggunakan tiga tolok ukur yaitu: penerbangan di Indonesia.
Jumlah kecelakaan per satu juta n Meningkatkan kesadaran, komitmen dan kompetensi tentang keselamatan
pendaratan; Jumlah kecelakaan per 100 semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan penerbangan nasional.
juta km penerbangan, dan; Tingkat n Meningkatkan keandalan pesawat dengan menetapkan sistem dan
kematian per 100 juta penumpang-km. manajemen perawatan pesawat yang baik dan dipersyaratkan untuk semua
jumlah maskapai diduga tidak didukung airline.
oleh kecukupan SDM yang berkompeten. n Meningkatkan keandalan fasilitas bandara dan ATC dengan memanfaatkan
Ditambah dengan persaingan tarif akan pilot report dan menerapakan sistem dan manajemen perawatan fasilitas
merupakan ancaman akut keselamatan. yang baik.
n Meningkatkan kemampuan untuk melakukan prediksi cuaca yang
berpengaruh terhadap penerbangan.
n Meningkatkan kemampuan Search and Rescue (SAR).
n Meningkatkan kemampuan indepensi dan balance dalam penyelidikan
sebab-sebab kecelakaan.
n Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keselamatan penerbangan
dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan dalam
melaksanakan fungsi kontrol terhadap penyelenggara penerbangan.
n Menerapkan sanksi yang berat bagi perusahaan yang melanggar peraturan
keselematan dan meningkatkan peran masyarakat dalam menjamin
penegakan aturan tentang keselamatan.
Sesuai dengan strategi di atas maka urutan prioritas tindakan dapat
dikelompokkan dalam rencana aksi lima tahunan seperti ditampilkan dalam
Tabel 4.2.

1 - 2 - 3 LANGKAH
44
Tabel 4.2. Strategi dan Rencana Aksi Keselamatan Penerbangan
No. Strategi Aksi
I II III IV
1. Mengaktifkan proses assessmen n Melakukan studi n Rancang Bangun dan

dan peta resiko keselamatan pemodelan estimasi Pengoperasian Sistem


transportasi udara resiko kecelakaan Informasi Resiko yang
n Melakukan studi dapat diakses oleh
pengembangan masyarakat umum
metoda pemetaan
posisi setiap
pesawat udara dan
airline dalam
peta resiko.
2. Meningkatkan kesadaran, n Mengembangkan modul, n Memutakhirkan dan n Pemutakhiran dan n Pemutakhiran dan

komitmen dan kompetensi (3C) dan metoda pelatihan dan memperkaya modul pengayaan modul pengayaan modul
tentang keselamatan semua pihak melaksanakan pelatihan pelatihan pelatihan pelatihan
yang terkait dengan dan workshop untuk n Pelaksanaan n Pelaksanaan n Pelaksanaan

penyelenggaraan meningkatkan 3C. pelatihan pelatihan pelatihan


transportasi udara. n Menerapkan sertifikat dan workshop untuk dan workshop untuk dan workshop untuk
keselamatan bagi meningkatkan 3C. meningkatkan 3C. meningkatkan 3C.
manajemen airline
3. Meningkatkan keandalan pesawat n Mengembangkan metoda n Peningkatan kemampuan n Rancang bangun
udara dengan menetapkan sistem baku Continous Reliability dan kapasitas pesawat dan pengoperasian
dan manajemen perawatan Monitoring untuk pesawat udara dan profesionalisme sistem informasi
pesawat udara yang baik dan udara. teknisi dan engineer. terpadu keandalan
dipersyaratkan untuk semua n Menerapkan batas umur n Meningkatkan pesawat udara yang
airline dan fasilitas perawatan. yang benar bagi airframe profesionalisme awak dapat diakses oleh
dan sistem pesawat udara terbang pesawat udara. masyarakat umum.
niaga n Melibatkan masyarakat

n Meningkatkan jumlah tenaga konsumen dalam proses


pemeriksa kelaikan pesawat pemeriksaan kelaikan
udara. operasi pesawat udara.
4. Meningkatkan keandalan fasilitas n Pengembangan kemampuan n Peningkatan kemampuan n Pengembangan dan
bandara dan ATC dengan dalam negeri untuk rancang industri dalam negeri implementasi sistem
memanfaatkan pilot report dan bangun dan dan perawatan untuk memproduksi dan manajemen baku
menerapkan sistem dan sistem-sistem bandara peralatan dan sistem untuk perawatan fasilitas
manajemen perawatan fasilitas dan ATC. pendukung operasi bandara.
yang baik. n Peningkatan kualitas dan bandara dan ATC.
kapasitas fasilitas pelatihan n Melibatkan masyarakat
tenaga manusia untuk konsumen dalam proses
operator bandara dan ATC. pemeriksaan kelaikan
operasi bandar udara
5. Meningkatkan kemampuan untuk n Peningkatan kemampuan n Pengembangan dan n Peningkatan kualitas

melakukan prediksi cuaca yang tenaga peneliti di lingkungan Pengoperasian Sistem dankapasitas lembaga
berpengaruh terhadap Badan Meteorologi dan Peramalaan Cuaca penelitian meteorologi
penerbangan. Geofisika Dengan Akurasi dan dalam negeri.
n Peningkatan kualitas dan Keandalan Tingi untuk
kapasitas lembaga penelitian Badan Meteorologi dan
meteorlogi dalam negeri. Geofisika.
n Peningkatan kerjasama

internasional untuk peramalan


cuaca.
6. Meningkatkan kemampuan dan n Studi pengembangan n Pengoperasian sistem

kapasitas Basarnas. prosedur SAR yang cepat pemberi informasi


dan efisien. lokasi kecelakaan
n Studi pengembangan sistem pesawat udara dan
pemberi informasi lokasi lokasi black box.
kecelakaan pesawat udara
dan lokasi black box.

1 - 2 - 3 LANGKAH
45
No. Strategi Aksi
I II III IV
7. Meningkatkan kemampuan n Melakukan perbaikan n Mengembangkan

indepensi dan balance dalam kelembagaan dan kerjasama


penyelidikan sebab-sebab kewenangan untuk fungsi KNKT dengan lembaga-
kecelakaan. penyelidikan (investigasi) lembaga penelitian dan
kecelakaan transportasi perguruan tinggi untuk
udara. pengembangan metoda
n Meningkatkan kemampuan penyelidikan.
dan keahlian staff /SDM KNKT.
8. Meningkatkan kesadaran n Merancang materi n Implementasi

masyarakat tentang keselamatan kampanye keselamatan


penerbangan dan meningkatkan transportasi udara yang baik,
kemampuan masyarakat untuk untuk media cetak dan audio
berperan dalam melaksanakan visual. Dilanjutkan dengan
fungsi kontrol terhadap implementasinya.
penyelenggara transportasi n Merancang program dan

udara. materi pendidikan penyadaran


keselamatan untuk sekolah-
sekolah formal mulai
sekolah dasar sampai
sekolah menengah atas
9. Menerapkan sanksi hukum yang n Mempersiapkan perangkat n Implementasi
lebih berat atas pelanggaran hukum dan perundang- n Sosialisasi materi dalam

aturan keselamatan dan undangan untuk sangsi bentuk buku dan


melibatkan masyarakat dalam yang lebih berat bagi menyebarkannya
proses penegakan aturan. pelanggaran aturan melalui buku/cd pada
keselamatan. setiap penerbangan
n Mempersiapkan materi komersial.
untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat
pengguna jasa
transportasi udara.

4.4. Catatan Penutup


Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa:
n Keselamatan penerbangan merupakan salah satu tolok ukur kualitas
penyelenggaraan transportasi udara, dan dibentuk oleh perangkat keras,
lunak dan sumber daya manusia. Teknologi memotori pengembangan
perangkat keras dan perangkat lunak, sedangkan sumber daya manusia
sangat dipengaruhi oleh tingkat profesionalisme, yang semuanya tidak
ada kaitannya dengan pengaturan ekonomi ataupun biaya murah.
n Keselamatan penerbangan tidak ditentukan oleh airlines yang berbasis
Non LCC maupun LCC. Fenomena LCC adalah merupakan inovasi dan
strategi manajemen perusahaan penerbangan dalam rangka
menghadapi lingkungan bisnis yang sangat dinamis, cepat berubah dan
kompleks, sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensi
dengan tepat, dengan tetap mengedepankan unsur jasa pokok
penerbangan yaitu flight safety, on time performance dan comfortability.
n Kemajuan teknologi penerbangan terus menekan biaya tidak tetap dan
teknologi pengelolaan (managerial technology) dapat dimanfaatkan untuk
menekan biaya tetap, dan sangat absurd bila biaya rendah hanya mungkin
terjadi dengan mengurangi biaya perawatan, padahal menurut catatan
ICAO biaya perawatan hanyalah sekitar 13% dari total biaya. Biaya-biaya
tetap lainnya seperti gaji, operasi perkantoran, promosi dapat jauh lebih
besar dari biaya perawatan. Biaya total dapat ditekan melalui penekanan
biaya-biaya tetap, tetapi bukan biaya perawatan (maintenance cost).
n Kecelakaan penerbangan dipengaruhi oleh faktor teknis pesawat, faktor
infrastruktur fasilitas sisi udara bandar udara, dan faktor kawasan
keselamatan operasi penerbangan. Kesalahan teknis pesawat yang

1 - 2 - 3 LANGKAH
46
menyebabkan kecelakaan penerbangan antara lain karena gangguan
mesin, ban pecah, gangguan pada roda pesawat, dan tekanan udara
dalam pesawat tidak normal. Sedangkan kecelakaan penerbangan akibat
kesalahan infrastruktur fasilitas sisi udara karena licinnya landasan yang
menyebabkan pesawat tergelincir dan amblesnya landasan bagian
stopway.

Oleh karenanya langkah tindak yang perlu didorong adalah:


n Pemerintah tampaknya perlu didorong untuk segera mengambil inisiatif
untuk membuat langka yang lebih sistematik dan komprehensif dalam
mengelola keselamatan penerbangan. Kebijakan ini perlu didasarkan
pada pijakan yang benar berdasarkan tingkat resiko yang terukur dan
dilaksanakan secara berkelanjutan, oleh karena itu perlu strategi prioritas
tindakan rencana aksi lima tahunan.
n Penerapan sistem pemeringkatan kinerja maskapai termasuk di
dalamnya aspek keselamatan, merupakan cara efektif menyatakan
persaingan sehat antar maskapai. Dengan pemeringkatan ini diharapkan
akan memacu kinerja aspek keselamatan.

1 - 2 - 3 LANGKAH
47
1 - 2 - 3 LANGKAH
48
Bab 5 Potret Keselamatan Pelayaran
di Negeri Bahari
5.1. Pendahuluan 5.1. Pendahuluan 49
Masalah keselamatan pelayaran akhir-akhir ini melejit di permukaan dan 5.2. Statistik Kecelakaan Kapal
menjadi tema hangat pemberitaan, baik di media cetak maupun elektronik, Laut 49
seiring dengan kecelakaan kapal laut yang terjadi pada akhir tahun 2006 5.3. Permasalahan dan Upaya
dan awal tahun 2007. Peranan keselamatan pelayaran dalam sistem Penanganan 50
transportasi laut merupakan hal penting untuk direfleksikan karena jenis 5.3.1. Sumber Daya Awak Kapal 50
transportasi ini penuh diwarnai bahaya dan ancaman badai, kabut, dan 5.3.2. Keselamatan dan Kelaikan
gerakan-gerakan dari laut seperti ombak, arus, karang laut, pendangkalan Kapal 52
serta jalur pelayaran yang tetap dan berubah. Ini sebabnya pelayaran kita 5.3.3. Sarana Penunjang Pelayaran 53
sangat beresiko tinggi, dan oleh sebab itu aspek keselamatan harus benar- 5.3.4. Kebijakan dan Program
benar dijamin. Strategis 53
5.4. Catatan Penutup 54
Untuk menunjang pencapaian sasaran pembangunan nasional, maka
pelayaran merupakan unsur yang sangat menentukan dalam kelancaran
transportasi laut. Ketidakselarasan penanganan sistem dan masalah
transportasi laut, serta timpangnya perhatian terhadap persoalan
keselamatan pelayaran, dapat menghambat penyediaan layanan transportasi
di seluruh wilayah Benua Maritim Indonesia.
Kelancaran transportasi laut merupakan media interaksi antar pulau yang
berperan sebagai “jembatan penghubung”, yang efektif dan effisien dalam
perwujudan wawasan nusantara. Sistem palayaran yang demikian baru bisa
dicapai bila persyaratan keselamatan berlayar dan kepelabuhan yang
mempengaruhi keselamatan pelayaran dapat dipenuhi. Transportasi laut
dari sudut ekonomi merupakan suatu usaha yang luas cakupan unit Pelayaran sering diasosiasikan dengan
usahanya. Perusahaan pelayaran terkait dengan usaha unit terminal, ar- angkutan untuk masyarakat luas dan
mada dan lain-lain; perusahaan EMKL dan per-Veem-an, penyediaan fasilitas HARUS murah. Motif murah ini telah
pelabuhan, fasilitas galangan kapal sebagai penunjang dan lain sebagainya. menekan penyelenggaraan pelayaran
Unsur keselamatan pelayaran hanyalah merupakan salah satu mata rantai untuk menekan aspek-aspek keselamatan
saja, akan tetapi sangat menentukan terhadap manfaat ekonomi dari karena hanya disitu peluangnya.
keseluruhan rantai usaha transportasi laut.

5.2. Statistik Kecelakaan Kapal Laut


Jumlah kecelakaan kapal pelayaran di Indonesia cukup memprihatinkan,
terutama selama periode 1998-2000, dengan terjadinya 93 kasus
kecelakaan. Pada tahun 2001 tercatat 52 peristiwa kecelakaan, dan pada
tahun 2002 terjadi 46 kasus kecelakaan. Jenis kecelakaan yang terjadi adalah
tenggelam (31%), kandas (25%), tabrakan (18,27%), kebakaran (9,67%) dan
lainnya 25,05%. Sedangkan penyebab kecelakaan kapal adalah 78,45% hu-
man error, 9,67% kesalahan teknis, 1,07% karena kondisi cuaca, dan 10,75%
karena cuaca dan kesalahan teknis.
Menurut Perhubungan Laut (2005), puncak kecelakaan terjadi pada tahun
2000 dengan 102 peristiwa, yang mengakibatkan korban meninggal 40 or-
ang seperti tampak pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Data Kecelakaan Transportasi Laut


No Uraian 1999 2000 2001 2002 2003
1. Jumlah kecelakaan 93 102 68 48 66
2. Kematian 35 40 26 17 34
3. Human error 150 843 657 58 46
Sumber: Cetak Biru Pembangunan Perhubungan Laut, Ditjen Hubla, 2005
1 - 2 - 3 LANGKAH
49
Beberapa komponen kecelakaan pelayaran di Indonesia yang menyebabkan
tingginya tingkat kecelakaan di laut ini terkait dengan kurangnya tenaga
pengajar yang memenuhi persyaratan, terutama pada diklat kepelautan
swasta. Penyediaan alat peraga juga dirasa masih kurang, dan kapal-kapal
untuk praktek laut bagi kadet juga sangat terbatas, sehingga banyak kadet
yang terhambat praktek lautnya. Implementasi International Ship & Port Fa-
cility Security Code (ISPS Code) belum diintegrasikan secara menyeluruh,
sedangkan tingkat kecukupan dan keandalan fasilitas navigasi yang ada
masih relatif rendah. Kapal pandu dan kapal tunda di beberapa pelabuhan
belumlah memenuhi persyaratan, baik dalam jumlah maupun kondisi
teknisnya. Kapal patroli penjagaan dan penyelamatan (GAMAT/KPLP) yang
dimiliki saat ini juga masih kurang, baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya.
Tingkat kecukupan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) secara nasional
juga masih sangat kurang. Bila dirinci berdasarkan Distrik navigasi (Disnav),
hanya distrik navigasi Surabaya yang mempunyai SBNP Tetap, sementara
menara suar yang mencukupi hanya ditemui di Disnav Teluk Bayur dan
Cilacap. Volume SBNP Tetap milik pemerintah dapat dilihat seperti pada
Tabel 5.2.

5.3. Permasalahan dan Upaya Penanganan


Terbenturnya kepentingan memasuki
persyaratan keselamatan pelayaran
5.3.1. Sumber Daya Awak Kapal
internasional dan rendahnya tarif Sekalipun kondisi kapal prima, namun bila tidak dioperasikan oleh personil
merupakan persoalan struktural yang yang cakap dalam melayarkan kapal, dan memiliki pengetahuan yang
harus dicarikan solusinya, terutama oleh memadai tentang peraturan dan kode serta petunjuk yang terkait dengan
pemerintah. pelayaran maka kinerjanya pun tidak akan optimal. Bagaimanapun
modernnya suatu kapal yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan otomatis,
namun bila tidak didukung dengan sumber daya awak kapal pastilah akan
sia-sia.
Selain para awak kapal harus memiliki kemampuan untuk menyiapkan
kapalnya, mereka juga harus mampu melayarkan kapal secara aman sampai
di tempat tujuan.

Tabel 5.2 Jumlah, Kebutuhan dan Kecukupan SBNP Tetap Milik Pemerintah (2003)
No. Distrik Navigasi SBNP Tetap Pelampung Suar Penilaian Disnav
Jumlah Kebutuhan Kecukupan Jumlah Kebutuhan Kecukupan
1. Sabang 39.00 53.00 73.58% 3.00 5.00 60.00% Tidak cukup
2. Sibolga 50.00 130.00 38.46% 0.00 4.00 0.00% Tidak cukup
3. Dumai 40.00 105.00 38.10% 53.00 62.00 85.48% Tidak cukup
4. Tanjung Pinang 93.00 112.00 83.04% 25.00 38.00 65.79% Cukup
5. Teluk Bayur 54.00 90.00 60.00% 1.00 1.00 100.00% Tidak cukup
6. Palembang 68.00 144.00 47.22% 16.00 92.00 17.39% Tidak cukup
7. Tanjung Priok 116.00 180.00 64.44% 41.00 74.00 55.41% Tidak cukup
8. Semarang 37.00 57.00 64.91% 12.00 14.00 85.71% Tidak cukup
9. Cilacap 24.00 35.00 68.57% 5.00 5.00 100.00% Cukup
10. Surabaya 72.00 72.00 100.00% 29.00 56.00 51.79% Cukup
11. Benoa 67.00 98.00 68.37% 8.00 8.00 100.00% Cukup
12. Pontianak 46.00 61.00 75.41% 14.00 23.00 60.87% Cukup
13. Banjarmasin 46.00 92.00 50.00% 18.00 33.00 54.55% Tidak cukup
14. Samarinda 51.00 56.00 91.07% 17.00 30.00 56.67% Tidak cukup
15. Tarakan 32.00 69.00 46.38% 6.00 10.00 60.00% Tidak cukup
16. Manado/Bitung 100.00 152.00 65.79% 7.00 13.00 53.85% Tidak cukup
17. Makassar 69.00 98.00 70.41% 0.00 5.00 0.00% Tidak cukup
18. Kendari 69.00 159.00 43.40% 9.00 52.00 17.31% Tidak cukup
19. Kupang 78.00 197.00 39.59% 3.00 12.00 25.00% Tidak cukup
20. Sorong 58.00 125.00 46.40% 15.00 33.00 45.45% Tidak cukup
Sumber: Cetak Biru Pembangunan Perhubungan Laut, Ditjen Hubla, 2005

1 - 2 - 3 LANGKAH
50
Bila dikaji lebih dalam dapatlah diuraikan tugas-tugas para awak kapal Para awak kapal harus senantiasa
sebagai berikut: “memelihara kapalnya” dan membuat
“rencana pemuatan (stowage plan)
n Mereka harus senantiasa “memelihara kapalnya” agar tetap dalam
sedemikian rupa, serta memiliki
kondisi prima dan siap layar dalam arti laik laut. Semua peralatan mesin
kemampuan bernavigasi untuk
dan perlengkapan lainnya termasuk alat-alat penolong harus senantiasa
menyeberangkan kapalnya secara aman.
siap pakai baik ketika berada di pelabuhan maupun selama pelayaran.
n Mereka harus membuat “rencana pemuatan (stowage plan)” sedemikian
rupa sehingga muatan yang diangkut tidak membahayakan kapal selama
dalam pelayaran. Tidak jarang kapal tenggelam disebabkan kesalahan
dalam menyusun muatan, termasuk penanganan muatan roda/
kendaraan pada kapal-kapal ferry/ penyeberangan.
n Mereka harus memiliki kemampuan bernavigasi untuk menyeberangkan
kapalnya dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, dalam batas-batas
pelayaran tertentu secara aman. Mereka juga dituntut untuk melakukan
“pelayaran-ekonomi” yakni melakukan pelayaran melalui jarak terpendek
yang aman dari bahaya-bahaya navigasi sehingga tambahan biaya
exploitasi dapat dihindari.

Awak kapal, terutama Nakhoda dan para perwiranya harus memenuhi kriteria
untuk dapat diwenangkan memangku jabatan tertentu di atas kapal.
Karenanya, mereka harus mengikuti pendidikan formal lebih dahulu sebelum
diberi ijazah ke-pelautan yang memungkinkan mereka bertugas di kapal.
Awak kapal yang tahu dan sadar akan tugas-tugasnya akan sangat
menguntung-kan bagi perusahaan. Jika mesin kapal terawat, maka umur
kapal dapat lebih panjang, ini berarti nilai depresi-asi/susutan dapat diperkecil.
Teknis perawatan kapal ini juga berpeng-aruh pada bidang perasuransian,
karena kapal dengan kondisi prima akan diberikan nilai pertanggungan yang
lebih besar dengan premi yang rendah, sebaliknya jika kondisinya tidak prima,
maka preminya tinggi dan nilai pertanggungannya lebih rendah.
Penyusunan muatan kapal yang terampil dapat menghindarkan terjadinya
kerusakan muatan maupun kapal, berarti claim pun sesungguhnya dapat
dihindari, sebaliknya kesalahan
dalam menyusun muatan dapat
mengakibatkan kapal terbalik atau
tenggelam.
Widarbowo (2006) dalam pene-
litiannya tentang penelitian Analisa
Kompetensi Perwira Awak Kapal
Pelayaran Rakyat menunjukkan
bahwa 54,7% perwira awak kapal
memiliki kompetensi dengan pe-
nilaian kurang mampu, dan ada
hubungan yang kuat antara
kompetensi perwira bagian deck dan
mesin terhadap tingkat kecelakaan.
Hasil penelitian juga merekomen-
dasikan bahwa aspek-aspek dalam
kelompok kejuruan kompetensi ini
perlu ditingkatkan terutama perwira
bagian deck yaitu pengetahuan
pedoman, pengetahuan peta,
peraturan tubrukan di laut, pengetahuan arus dan pasang surut serta
kecakapan pelaut. Sedangkan untuk perwira mesin yang perlu ditingkatkan
adalah pengetahuan tentang sistem pendingin, sistem pelumasan, cara
(prosedur) menjalankan motor dan pemeliharaanya serta susunan instalasi
motor/penggerak kapal. Dari segi keamanan pelayaran maka awak kapal
yang terampil bisa menghindari bahaya-bahaya navigasi atau kandas ataupun
tubrukan dengan kapal lain, ini berarti keselamatan pelayaran sangat
tergantung pada awak kapal.

1 - 2 - 3 LANGKAH
51
Kapal yang kondisinya prima, dan sesuai 5.3.2. Keselamatan dan Kelaikan Kapal
dengan ketentuan perundang-undangan,
serta dinyatakan laik laut, akan lebih Indonesia merupakan Benua Maritim yang memiliki keunikan tersendiri
aman menyeberangkan orang dan
dalam sistem transportasi laut, namun demikian dari aspek teknik dan
barang.
ekonomi, perlu dikaji lebih mendalam, karena umur armada kapal saat ini
banyak yang sudah tua, sehingga dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan
Demi memurahkan tarif, kapal bekas
yang tidak terduga, dan dapat mempengaruhi keselamatan kapal.
sering dibeli dan digunakan. Kapal tua Kondisi kapal harus memenuhi persyaratan material, konstruksi bangunan,
memerlukan biaya tinggi sehingga aspek permesinan, dan pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan
keselamatan sering dikorbankan. radio/elektronika kapal dan dibuktikan dengan sertifikat, tentunya hal ini
setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
Pada tahun 2002, berdasarkan data 30 kapal perintis yang beroperasi di KTI
ditemukan bahwa 67% armada kapal perintis telah mencapai usia lebih dari
25 tahun. Untuk saat ini (tahun 2007) jika kapal tidak diremajakan, diperkirakan
prosentase armada perintis meningkat sekitar 90% berumur diatas 25 tahun,
sebagaimana pada Tabel 5.3.
Kapal yang kondisinya prima, dan
Tabel 5.3. Umur Kapal-kapal Perintis Tahun 1997 dan 2002 sesuai dengan ketentuan per-
Umur Kapal (Tahun) Tahun 1997 Tahun 2002 undang-undangan, serta dinyatakan
Jml. Kapal Prosentase Jml. Kapal Prosentase laik laut, akan lebih aman me-
< 10 1 3,85 - - nyeberangkan orang dan barang,
11 – 15 1 3,85 2 6,67 sebaliknya kapal yang diragukan
16 – 20 5 19,23 1 3,33 kondisinya cenderung menemui
21 – 25 2 7,69 7 23,33 hambatan saat dalam pelayaran.
26 – 30 9 34,62 4 13,33 Jika kapal mengalami kerusakan
> 31 8 30,76 16 53,33 saat di perjalanan akan memerlukan
Jumlah 26 100,00 30 100,00 biaya tambahan seperti biaya
Sumber : Studi Manfaat Pelayaran ALP di KTI, UPTL LPUH, 2003 eksploitasi yang disebabkan
terjadinya delay.
Tentu bukan hal yang mudah untuk mempertahankan kondisi kapal yang
memenuhi persyaratan dan keselamatan, pencegahan pencemaran laut,
pengawasan pemuatan, kesehatan, dan kesejahteraan ABK, karena ini
semua memerlukan modal yang cukup besar. Apalagi bisnis usaha pelayaran
saat ini dapat dibilang cukup sulit untuk mencapai BEP (Break Even Point).
Konon adalah hal yang mustahil untuk menyisihkan sebagian keuntu-ngan
untuk rehabilitasi maupun replacement armada, terkait dengan rencana
pengembangan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan transportasi laut. Disamping itu, usaha-usaha bisnis pelayaran
ini juga memerlukan kerjasama dan bantuan penuh dari pihak galangan
kapal, sedangkan kondisi galangan kapal saat ini juga dihadapkan pada
kelesuan.
Oleh karenaa itu, sentuhan tangan pemerintah beserta perangkat
kebijakannya sangat diharapkan, terutama aspek permodalan dan penciptaan
iklim usaha yang kondusif, sehingga para pengusaha pelayaran dan
perkapalan dapat melaksanakan rahabilitasi, replacement maupun
perluasan armada kapal.

5.3.3. Sarana Penunjang Pelayaran


Selain faktor teknis kapal dan sumber daya awak kapal, Sarana Bantu Navigasi
Pelayaran (SBNP) juga unsur yang sangat penting dalam keselamatan
pelayaran. Sarana ini terdiri dari rambu-rambu laut yang berfungsi sebagai
sarana penuntun bagi kapal-kapal yang sedang berlayar, agar terhindar dari
bahaya-bahaya navigasi.
Station Radio Pantai juga berguna sebagai sarana bantu navigasi pelayaran
untuk memungkinkan kapal-kapal melakukan pelayaran ekonomis, sebab
tanpa instrumen ini kapal harus melakukan pelayaran “memutar” guna
menghindari bahaya navigasi.

1 - 2 - 3 LANGKAH
52
Peranan SALVAGE juga sangat
penting untuk mempercepat usaha
penyelamatan kapal dan muatan
guna menghindari kerugian yang
lebih besar.
SAR (Search and Rescue) juga
merupakan usaha penyelamatan
pada tahap akhir yang sangat
dibutuhkan, oleh karenanya SAR ini
merupakan usaha yang sangat vital
bagi penyelamatan jiwa penumpang,
kapal maupun muatannya yang
sedang mengalami musibah di laut.
Tugas SAR semata-mata bersifat
kemanusiaan, dan sama sekali
bukan “profit making” oleh karenanya
satu-satunya sumber penyediaan dan
penanganannya adalah pemerintah.

5.3.4. Kebijakan dan Program Strategis


Untuk meningkatkan keandalan sarana dan prasarana transportasi laut,
dalam kerangka meningkatkan keselamatan pelayaran dan mengurangi
kerugian nasional akibat kecelakaan laut, maka diperlukan program strategis
baik jangka pendek maupun jangka menengah seperti pada Tabel 5.4.

5.4. Catatan Penutup


Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa:
n Transportasi laut sangat beresiko tinggi karena dihantui bahaya dan
ancaman badai, kabut, gerakan-gerakan dari laut seperti ombak, arus,
karang laut, pendangkalan serta jalur pelayaran yang tetap dan berubah,
dan menjadikan transportasi laut ini sangat berisiko tinggi.
n Awak kapal, terutama Nakhoda dan para perwira harus memenuhi kriteria
untuk menduduki jabatan tertentu di atas kapal. Jika awak kapal tahu dan
sadar akan tugas-tugasnya maka akan sangat menguntungkan

1 - 2 - 3 LANGKAH
53
Tabel 5.4. Tujuan, Program Strategis dan Strategi Implementasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi
Tujuan Program Strategis Strategi Implementasi
n Meningkatkan keandalan sarana dan n Mengurangi kemungkinan kecelakaan Jangka Pendek
prasarana transportasi. transportasi n Peningkatan pemahaman atau kesadaran
n Meningkatkan Keselamatan Transportasi n Meningkatkan kemampuan/kualifikasi tentang pentingnya keselamatan transportasi
Nasional. awak transportasi (safety cognisance)
n Mengurangi kerugian nasional akibat n Melakukan standarisasi/asesmen n Peningkatan komitmen keselamatan
kecelakaan transportasi. terhadap sarana dan prasarana (safety commitment) pengelola prasarana
n Meningkatkan keamanan transportasi transportasi transportasi
nasional untuk mendukung pemerataan n Mencegah terjadinya terorisme n Penanganan masalah-masalah khusus
nasional dan meningkatkan kepercayaan keselamatan transportasi
internasional. n Melakukan penilaian terhadap sarana
dan prasarana transportasi nasional
berdasarkan standar keamanan internasional.
n Melakukan penilaian terhadap prasarana
transportasi nasional berdasarkan standar
keamanan internasional.
n Memperbaharui rancangan undang-undang
anti terorisme sesuai perkembangan tingkat
terorisme internasional dan
mengesahkannya.
Jangka Menengah
n Peningkatan kemampuan (kompetensi)
organisasi operator dan regulator untuk
mengelola keselamatan transportasi (safety
competence)
n Pemberian fasilitas pendidikan pada awak
transportasi mengikuti perkembangan
kebutuhan transportasi
n Memperketat toleransi kualifikasi pengguna
dan awak transportasi.
n Membentuk suatu badan keselamatan
transportasi nasional
Sumber: Harun Al-Rasyid S. Lubis (2006)

perusahaan, karena jika kondisi teknis kapal terpelihara dengan baik


maka umur kapal dapat lebih panjang, dan penyusutan dapat diperkecil
n Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) sangat penting bagi nahkoda
untuk menghindarkan kapal dari bahaya. Dengan alat ini pula kapal tidak
perlu berlayar memutar untuk menghindari bahaya yang pada gilirannya
akan menambah biaya operasi. Demikian pula peranan Salvage sangat
membantu untuk mempercepat usaha penyelamatan kapal/muatan guna
menghindari kerugian yang lebih besar. Tim SAR juga merupakan usaha
yang sangat vital bagi penyelamatan jiwa penumpang dan awak kapal,
kapal maupun muatan kapal yang sedang mengalami musibah di laut.
n SBNP merupakan unsur penunjang penting dalam keselamatan
pelayaran, sedangkan Station Radio Pantai juga sangat berguna bagi
kapal-kapal yang dilengkapi dengan Radio Direction Finder (RDF). Sta-
tion Radio Pantai ini juga berguna sebagai sarana bantu navigasi untuk
memungkinkan kapal-kapal melakukan pelayaran ekonomis.
n Aspek permodalan masih menjadi kendala bagi sebagian para
pengusaha pelayaran terutama untuk merahabilitasi kapal, replacement
maupun perluasan armada kapal karena untuk mencapai BEP saja
mereka sudah sulit, apalagi mengalokasikan dana untuk rehabilitasi dan
replacement armada.

Oleh karenanya langkah tindak yang perlu didorong adalah:


n Para awak kapal harus memiliki kemampuan melayarkan kapal secara
aman sampai di tujuan. Setidaknya para awak kapal harus senantiasa
memelihara kapal agar kondisi kapal tetap prima dan siap layar. Semua

1 - 2 - 3 LANGKAH
54
peralatan mesin, termasuk alat-alat penolong harus senantiasa siap
pakai selama berlayar. Para awak kapal juga harus membuat rencana
pemuatan (stowage plan) sedemikian rupa, sehingga muatan yang
diangkut tidak membahayakan kapal selama berlayar. Para awak kapal
pun juga dituntut memiliki kemampuan navigasi yang andal.
n Awak kapal, terutama Nakhoda dan para perwira harus mengikuti
pendidikan formal lebih dahulu, dan oleh sebab itu dibutuhkan staf
pengajar yang mampu mentransfer knowledge ke siswanya sehingga
awak kapal tahu dan sadar akan tugas-tugasnya terutama bagaimana
teknis memelihara kapal dengan baik agar umur kapal dapat lebih
panjang, dan penyusutan dapat diperkecil.
n Penyediaan sarana bantu navigasi pelayaran sebagai alat penuntun di
laut juga mutlak diperlukan. Alat bantu ini sangat penting bagi nahkoda
untuk menghindarkan kapal dari bahaya. Dengan alat ini pula kapal tidak
perlu berlayar memutar untuk menghindari bahaya yang pada gilirannya
akan menambah biaya operasi. Penyediaan Salvage juga dirasa perlu
untuk mempercepat usaha penyelamatan kapal/muatan guna
menghindari kerugian yang lebih besar. Tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana menyiapkan Tim SAR karena ini merupakan usaha yang
sangat vital bagi penyelamatan jiwa penumpang dan awak kapal, kapal
maupun muatan kapal yang sedang mengalami musibah di laut.
n Pengadaan SBNP sebagai unsur penunjang keselamatan pelayaran
sangat diperlukan, sehingga kapal dapat terhindar dari bahaya-bahaya
navigasi terutama yang berada di bawah permukaan air. Pengadaan Sta-
tion Radio Pantai juga dirasa perlu karenea sangat berguna bagi kapal-
kapal yang dilengkapi dengan Radio Direction Finder (RDF). Station Ra-
dio Pantai ini juga sangat berguna sebagai sarana bantu navigasi untuk
memungkinkan kapal-kapal melakukan pelayaran ekonomis.
n Sentuhan tangan pemerintah beserta perangkat kebijakannya sangat
diharapkan, terutama aspek permodalan dan penciptaan iklim usaha
yang kondusif. Sehingga para pengusaha pelayaran dan perkapalan
dapat melaksanakan rahabilitasi, replacement maupun perluasan ar-
mada kapal-kapalnya.

1 - 2 - 3 LANGKAH
55
1 - 2 - 3 LANGKAH
56
Bab 6 Aspek Keselamatan Dalam Penyelenggaraan
Transportasi Sungai, Danau, dan Ferry
6.1. Pendahuluan 6.1. Pendahuluan 57
Apabila dilihat dari praktek operasi angkutan air baik di inland, coastal maupun 6.2. Kinerja Keselamatan 57
open sea, aspek pengaturan dan keselamatan seolah-olah merupakan faktor 6.2.1. Kejadian Kecelakaan 58
yang berbanding terbalik dengan profitabilitas usaha angkutan air. 6.2.2. Jumlah Korban Kecelakaan 59
6.2.3. Faktor Penyebab Kecelakaan 59
Disisi lain, permasalahan keselamatan sangat erat kaitannya dengan aspek 6.3. Permasalahan dan Upaya
persaingan usaha. Adanya persaingan usaha yang demikian ketat Pemecahan 59
menyebabkan tuntutan kualitas menjadi lebih longgar, dengan demikian faktor 6.3.1. Peningkatan Faktor
keselamatan pelayaran yang seharusnya menjadi syarat minimum akhirnya Keselamatan Kapal 60
dikorbankan. 6.3.2. Sistem Navigasi Kapal 61
6.3.3. Pengadaan Sistem Patroli
Sungai 61
6.2. Kinerja Keselamatan 6.3.4. Ketersediaan Prasarana yang
Beberapa kejadian kecelakaan transportasi perairan daratan tahun 2002 Memadai 61
hingga per Januari 2007 yang tercatat dari berbagai sumber dapat 6.4. Catatan Penutup 61
digambarkan pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1 Daftar Insiden Kecelakaan Transportasi Air Tahun 2002 hingga per 5 Januari 2007
No Insiden Waktu Penyebab
1. Kapal kandas muara sungai di Selat Bangka 2002 Alur pelayaran yang sempit
dan banyak tikungan
2. Tabrakan yang terjadi di Sungai Musi 9 Juli 2003 Rambu dan alat navigasi
(Kompas, 9/7), terjadi antara kapal An Giang tidak ada
yang sedang dipandu dengan tongkang
PLTU-I/PLN pengangkut bahan bakar
minyak (BBM).
3. Kecelakaan perahu di Sungai Mahakam Agustus-September 2003 Tabrakan yang disebabkan
menyebabkan 14 orang tewas karena tidak adanya lampu
kurangnya penerangan pada kapal pada malam hari
4. Kapal Motor Jasima Jasa yang mengangkut 20 Nopember 2003 Akibat cuaca buruk dan
sekitar 100 ton beras Depot Logistik untuk angin kencang sehingga
Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan jarak pandang nakhoda
Barat, tenggelam di perairan Sungai Kapuas, terbatas
persisnya di daerah Sukalanting, Kabupaten
Pontianak. Kapal ini bersenggolan dengan
tugboat (TB) Leo yang sedang menarik ponton
Kalbar II dan sama-sama bertujuan ke arah
hulu Sungai Kapuas di Kabupaten Sintang,
sekitar 240 kilometer dari Pontianak.
5. Speed boat yang membawa lima orang, 2003 Kapal tidak dilengkapi
bertabrakan dengan perahu bermesin lampu sorot sebagai
(ketinting) berpenumpang empat orang, penunjuk alur pelayaran
di perairan Sungai Mahakam di wilayah
Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai
6. KM Digoel yang merupakan kapal motor barang 8 Juli 2005 Kelebihan kapasitas
milik perusahaan negara angkutan sungai (muatan). Standar 50 orang
danau dan penyeberangan yang tenggelam digunakan oleh 200 orang
pada sekitar pukul 23.15 WIT di perairan Arafura.
Kapal tersebut sedang dalam perjalanan dari
Merauke ke Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel.

1 - 2 - 3 LANGKAH
57
No Insiden Waktu Penyebab
7. Perahu ketinting yang ditumpangi satu 9 Desember 2005 —
keluarga bertabrakan dengan tugboat (TB)
Megawati milik PT Total, di kawasan Sungai
Mahakam
8. Satu unit kapal pompong (kapal kayu Desember 2005 Kapal bocor sehingga tidak stabil, kemudian
tradisional bermesin motor) menabrak menabrak dan akhirnya karam
tugboat milik Pertamina di kawasan Sungai Apit,
Kecamatan Gasib, Kabupaten Siak
9. Kecelakaan perahu penumpang juga terjadi Akhir Tahun 2005 Melebihi kapasitas angkut sehingga kapal
di Sungai Mahakam sekitar wilayah Kutai terbalik akibat dihantam gelombang
Kartanegara dengan menelan belasan warga
dari jemaah Gereja Tanah Toraja
10. Dua kapal barang bertabrakan di Sungai 27 Desember 2006 Rambu dan perlengkapan tanda tidak ada
Mentaya, Sampit, Kalimantan Tengah.
Kecelakaan ini mengakibatkan tiga orang
tewas karena terperangkap di dalam kapal.
Akibat tabrakan tersebut, Kapal Kenangan
Indah yang membawa lebih dari 600 kubik
kayu olahan tenggelam
11. Kapal Feri Tri Star I tenggelam di 28 Desember 2006 —
ambang luar Sungai Musi
12. Kapal penumpang di pedalaman Mahakam Akhir Tahun Gelombang cukup besar menghantam
sekitar Sungai Muara Pahu, Kabupaten Kutai 2006 dan membalik
Barat, Kaltim terbalik dan menyebabkan satu
orang hilang dan 100 orang lainnya selamat.
13. Sebuah kapal puskesmas terapung milik 5 Januari 2007 Kapal tenggelam akibat kebocoran badan kapal
Dinas Kesehatan Kota Palembang,
Sumatra Selatan, tenggelam
karena diterjang ombak

6.2.1. Kejadian Kecelakaan


Menurut Mahkamah Pelayaran (2006), kurun waktu 2001-2005 telah terjadi
kecelakaan baik di sungai, danau maupun penyeberangan, dengan puncak
kejadian pada tahun 2005 dengan menelan korban lebih dari 140 orang.
Ditelisik lebih jauh, tampaknya kecelakaan ini lebih disebabkan oleh
tenggelamnya kapal (36%), tubrukan (26%), kandas (18%), dan terbakar
(14%) seperti pada Grafik 6.1.

Grafik 6.1. Kejadian Kecelakaan 2001-2005

Sumber: Diolah dari Mahkamah Pelayaran, 2006

1 - 2 - 3 LANGKAH
58
6.2.2. Jumlah Korban Kecelakaan
Untuk menemukan korban kecelakaan kapal yang terjadi di perairan Kecelakaan yang terjadi di sungai,
tampaknya jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan kecelakaan di darat. danau, dan penyeberangan ini lebih
Dari kejadian kecelakan selama ini umumnya korban kecelakaan yang hilang disebabkan oleh faktor kesalahan
menempati posisi teratas, setelah itu diikuti oleh korban meninggal dan manusia (88%), dan hanya sedikit
luka-luka, dengan jumlah korban kecelakaan seperti tampak pada Grafik kejadian kecelakaan di perairan yang
6.2. disebabkan oleh faktor alam.

Grafik 6.2. Jumlah Korban Kecelakaan 2001-2005

Sumber: Diolah dari Mahkamah Pelayaran, 2006

6.2.3. Faktor Penyebab Kecelakaan


Kecelakaan yang terjadi di sungai, danau, dan penyeberangan ini lebih
disebabkan oleh faktor kesalahan manusia (88%), dan hanya sedikit kejadian
kecelakaan di perairan yang disebabkan oleh faktor alam. Menilik alasan
tersebut di atas semestinya semua peristiwa kecelakaan bisa diminimalisir
manakala ada usaha preventif dari semua pihak agar tidak tersandung pada
batu yang sama. Sebagai gambaran perbandingan antara kecelakaan
diperairan yang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia dan faktor alam
dapat dilihat pada Grafik 6.3.
Gambar 6.3. Faktor Penyebab Kecelakaan 2001-2005

6.3. Permasalahan dan Upaya Pemecahan


Kecelakaan angkutan air sebagian besar terjadi karena overcrowding
dan sistem navigasi, yang ditandai dengan lebih tingginya jumlah
penumpang dan barang jika dibandingkan dengan daya muat kapal.
Hal ini terjadi karena tuntutan pengembalian modal maupun tingkat
“setoran” minimum yang harus dibayarkan oleh awak kapal kepada
pemilik kapal, ditambah lagi dengan faktor rendahnya pengawasan
keselamatan pelayaran dari pihak pemerintah. Dua hal tersebut di
atas dapat dijadikan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam
upaya pengembangan transportasi air menjadi moda transportasi yang
berkelanjutan di masa mendatang. Keberadaan penumpang yang
tidak memiliki keahlian dan keterampilan dalam kondisi kecelakaan,
juga menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat pengguna
transportasi air ini masuk dalam kategori kelompok rentan (vulner-
able).
Permasalahan keselamatan trasnportasi air, danau, dan ferry juga
sangat erat kaitannya dengan aspek persaingan usaha. Adanya Sumber: Diolah dari Mahkamah Pelayaran, 2006
persaingan usaha yang sedemikian rupa ketat menyebabkan tuntutan

1 - 2 - 3 LANGKAH
59
Menurut standar keselamatan, kualitas menjadi lebih longgar, sehingga keselamatan pelayaran yang
seharusnya jumlah penumpang tidak seharusnya menjadi syarat minimum, menjadi dikorbankan.
boleh lebih dari jumlah pelampung yang
disediakan, dan setiap kapal seharusnya
Upaya untuk menjamin keselamatan penumpang maupun awak kapal juga
memiliki fasilitas sekoci.
harus menjadi perhatian yang serius, terutama hal “sepele” yang terkait dengan
penyediaan alat keselamatan seperti pelampung. Kondisi saat ini, banyak kapal
yang tidak memiliki peralatan keselamatan pelampung yang sangat dibutuhkan
penumpang dan awak kapal manakala kapal ditimpa musibah kecelakaan. Di
masa mendatang, peraturan yang mengharuskan kapal penumpang dilengkapi
dengan pelampung tampaknya sudah harus mulai diberlakukan.
Beberapa kasus penyelenggaraan kapal yang mengindikasikan permasalahan
terkait dengan aspek keselamatan yaitu faktor rambu-rambu navigasi. Di
Palembang, rambu-rambu navigasi di sepanjang alur Sungai Musi di Sumatera
Selatan kondisinya sangat memprihatinkan. Sementara, alur yang masuk ke
Pelabuhan Boombaru, Palembang saat ini selalu dipadati segala jenis
kendaraan sungai, hal ini mengakibatkan rawan terjadinya kecelakaan di
sepanjang alur. Kondisi saat ini, keandalan rambu-rambu navigasi yang
berfungsi di sana hanya sekitar 50 persen, itupun rambu-rambu navigasi
angkutan sungai yang ada selalu menjadi sasaran pencurian. Minimnya
fungsi rambu di Sungai Musi mulai muara hingga Pelabuhan Boombaru
sepanjang 100 kilometer ini menyebabkan kerawanan alur.
Sebagian rambu yang hilang,
terkadang hanya diganti dengan
rambu darurat, namun rambu darurat
ini sering menyala “byar-pet”, itupun
juga tidak aman dari pencurian.
Sementara pelayaran kapal-kapal
besar sangat tergantung pada kapal
pandu, karena sudah tidak bisa lagi
mengandalkan fungsi rambu
terutama di malam hari. Pada malam
hari alur Sungai Musi sangat rawan
terjadinya kecelakaan, hal ini
disebabkan tidak adanya suar
navigasi untuk panduan kapal, sedangkan kapal yang melintasi juga tidak
dilengkapi lampu, sehingga potensi tabrakan antar kapal sangat tinggi.
Selain di Alur Sungai Musi Sematera Selatan, kecelakaan serupa juga sering
terjadi di Alur Sungai Mahakam di Kalimatan Timur. Di samping faktor air yang
cukup deras, dan rusaknya sebagian rambu, kecelakaan yang sering terjadi
lebih disebabkan karena perahu atau kapal tidak memenuhi standar
keselamatan pelayaran. Betapa banyak angkutan kapal di Sungai Mahakam
ini yang kurang peduli terhadap keselamatan pelayaran dengan mengangkut
penumpang melebihi batas kapasitas angkut.
Rawannya pelayaran di Sungai Mahakam juga
diperparah oleh banyaknya rambu yang hilang,
bahkan dua suar yang ada saat ini kondisinya sudah
rusak dan tidak berfungsi lagi.
Menurut standar keselamatan transportasi,
seharusnya jumlah penumpang tidak boleh lebih dari
jumlah pelampung yang disediakan, dan setiap kapal
seharusnya memiliki fasilitas sekoci. Namun saat
ini banyak kapal dibiarkan beroperasi kendatipun mengangkut penumpang
dan barang lebih besar dari pada daya angkutnya, dan banyak kapal
penumpang yang tidak memiliki sekoci.
Menilik permasalahan di atas, maka sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas layanan moda transportasi air ini dapat dilaksanakan dengan
meningkatkan faktor keselamatan kapal, sistem navigasi kapal, sistem patroli
sungai, dan ketersediaan prasarana yang memadai.

1 - 2 - 3 LANGKAH
60
6.3.1. Peningkatan Faktor Keselamatan Kapal Pembekalan pengetahuan pelayaran
pada pengemudi kapal dapat dilakukan
Keselamatan kapal dipengaruhi oleh perlengkapan kapal, fungsi kapal,
dengan pendekatan kelembagaan,
beban muatan dan kecakapan pengemudi kapal. Agar keselamatan
sehingga setiap langkah sosialisasi
penumpang dan awak kapal tetap terjaga, maka perlengkapan kapal harus
menuju pada arah yang tepat dan dapat
disesuaikan dengan standard keselamatan, penggunaan kapal sesuai fungsi
diterima semua pihak.
utamanya, beban muatan tidak melebihi batas muatan yang disyaratkan,
pengemudi kapal benar-benar cakap melayarkan kapal dan menguasai jalur
pelayaran yang dilaluinya.
Pengawasan standar keselamatan kapal seyogianya dilakukan dengan ketat
pada saat pengajuan surat ijin pelayaran atau rekomendasi trayek, selain itu
juga perlu dilakukan razia secara temporari atau pemeriksaan kelengkapan
kapal secara berkala, termasuk penanganan pelanggaran batas muatan
kapal, terutama untuk kapal speedboat yang selama ini mengangkut
penumpang hingga di atas kap atap kapal.
Pembekalan pengetahuan pelayaran pada pengemudi kapal sangat
diperlukan, terutama yang berkaitan dengan penguasaan kapal yang
dikemudikan, serta jalur trayek yang dilaluinya. Hal ini dapat dilakukan dengan
melalui pendekatan kelembagaan seperti pendirian asosiasi, baik pemilik,
maupun pengemudi dan awak kapal, yang berkaitan langsung dengan pola
dan cara hidup pelaku angkutan sungai, yang sebagian besar berbasis
tradisional. Sehingga setiap langkah sosialisasi yang dilakukan akan menuju
pada arah yang tepat dan dapat diterima semua pihak.

6.3.2. Sistem Navigasi Kapal


Bagi armada angkutan sungai direkomendasikan untuk diberi komponen
pendukung navigasi kapal seperti :
n Lampu putih di bagian depan (sebagai lampu arah)
n Lampu navigasi (pada bagian kanan kapal berwarna hijau dan bagian
kiri berwarna merah). Kedua lampu tersebut diletakkan pada bagian
samping atap kapal.
n Rekomendasi lampu hias tradisional untuk perahu / kapal wisata
n Bendera yang memberi simbol-simbol / informasi tertentu dari kapal.
n Rambu-rambu terutama pada lokasi-lokasi rawan kecelakaan

6.3.3. Sistem Patroli Sungai


Pengadaan sistem patroli sungai perlu dilakukan, hal ini berkaitan dengan
ketidakamanan jalur-jalur pelayaran saat ini, terutama untuk menjaga
keamanan penumpang dan barang ketika kapal melaju di atas sungai,
penertiban terhadap kapal yang mengangkut penumpang berlebih, serta
kapal-kapal yang tidak memiliki fasilitas keamanan yang memadai.

6.3.4. Ketersediaan Prasarana yang Memadai


Prasara transportasi air yang meliputi alur sungai seringkali mengalami
pendangkalan dan penyempitan alur, hal ini akan mengganggu aktifitas lalu
lintas kapal, dan berpotensi menyebabkan kapal kecelakaan seperti kapal
kandas maupun bersenggolan antar kapal, oleh karena itu perlu disediakan
fasilitas prasarana yang lebih representatif.

1 - 2 - 3 LANGKAH
61
6.4. Catatan Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa:
n Aspek keselamatan dalam penyelenggaran transportasi sungai, danau
dan penyeberangan, berkaitan erat dengan faktor kecakapan pengemudi
kapal, beban muatan kapal, fungsi kapal, dan perlengkapan kapal serta
kondisi alur pelayaran.
n Beberapa muatan kapal diketahui melebihi batas muatan yang
disyaratkan, sedangkan pelampung yang disediakan kapal juga tampak
lebih sedikit dari pada jumlah penumpangnya.
n Sistem navigasi kapal, sistem patroli sungai, dan penyediaan sarana
bantu juga merupakan aspek penting dalam penyelengaraan transportasi
sungai yang umumnya kondisi di lapangan masih jauh dari cukup.

Oleh karenanya langkah tindak yang perlu didorong adalah:


n Keselamatan penumpang dan awak kapal perlu diutamakan, sedangkan
perlengkapan kapal seyogianya disesuaikan dengan standar
keselamatan.
n Penggunaan kapal seyogianya juga disesuaikan dengan fungsi
utamanya, sehingga muatan kapal tidak melebihi batas muatan yang
disyaratkan, dan pengemudi kapal benar-benar cakap dalam melayarkan
kapal. Guna mendukung upaya itu maka diperlukan pengadaan sistem
navigasi kapal, pengadaan sistem patroli sungai, dan penyediaan sarana
yang memadai.
n Pemerintah perlu terus didorong untuk mengadakan penelitian dan
pengembangan dalam aspek keteknikan, manajemen, pemeliharaan
kapal, dan strategi pengusahaan agar kemampuan para operator dapat
ditingkatkan dan kondisi keuangannya pun dapat disehatkan.

1 - 2 - 3 LANGKAH
62
Bab 7 Manajemen Keselamatan Transportasi:
Tantangan Multi Dimensi
Di awal tahun 2007 ini Indonesia diwarnai beberapa peristiwa kecelakaan di 7.1. Kerangka Regulasi 63
hampir semua moda transportasi baik kereta api, jalan, udara, laut maupun 7.2. Tingginya Angka Kecelakaan 64
air. Potret di awal tahun 2007 ini seakan menafikan beberapa upaya perbaikan 7.3. Langkah Tindak 65
layanan transportasi yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2006. 7.3.1. Penanganan ke Infrastruktur 66
Selesainya peningkatan beberapa bandara, pembangunan rel ganda dan dan Fasilitas
bahkan 4 jalur KA (double-double tracking), serta rencana dan implementasi 7.3.2. Penanganan ke Manusia 68
jalur busway di beberapa kota besar sebenarnya memberikan secercah 7.3.3. Peran pemerintah, masyarakat
harapan bagi perbaikan layanan transportasi. Selesainya beberapa proyek dan swasta 69
sarana dan prasarana transportasi di tahun 2006 mengesankan perbaikan 7.3.4. Menuju Transportasi yang
aksesibilitas, atau sederhananya kemudahan dan keterjangkauan warga Bermartabat 70
atas layanan transportasi yang ada.
Disamping beberapa upaya perbaikan, tahun 2006 masih menyisakan
beberapa catatan masih buruknya akses transportasi yang secara esensial
sangat dibutuhkan bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Di
Kalimantan, angkutan sungai dan jalan masih belum mampu memberikan
layanan yang dapat diandalkan. Di Sumatera, kondisi jalur jalan lintas Timur
dan Tengah masih belum mencerminkan peranannya sebagai urat nadi
perekonomian wilayah. Akses jalan ke pelabuhan-pelabuhan utama di Indo-
nesia juga mencerminkan inefisiensi transportasi yang sangat berpengaruh
kepada daya saing perekonomian nasional. Bencana kelaparan di Yahu
Peraturan keselamatan transportasi
Kimo pada tahun sebelumnya juga memperlihatkan betapa aksesibilitas
sudah diatur dengan UU Kereta Api
warga atas kebutuhan pokok pangan masih sangat rentan.
No.13/1992, UU Lalulintas Angkutan
Penelitian dari beberapa universitas yang tergabung dalam The University Jalan Raya No.14/1992, UU
Network for Rural Infrastructure Development (2005) memperlihatkan bahwa Penerbangan No.15/1992, dan UU
kondisi angkutan keperintisan kita masih sangat menyedihkan. Begitu banyak Pelayaran No.21/1992, dan keempat UU
kapal perintis dengan jadwal satu atau dua minggu sekali, harus mengangkut tersebut saat ini tengah dibahas untuk di
muatan jauh lebih besar dari beban yang diijinkan, hanya karena tidak adanya revisi di DPR.
alternatif angkutan di daerah tersebut. Inilah potret jujur wajah transportasi
kita yang memang menuntut perhatian yang lebih dari sektor-sektor lainnya.

7.1. Kerangka Regulasi


Berbagai peraturan tentang keselamatan transportasi sebenarnya sudah
cukup diatur untuk menjaga keselamatan dan memperkecil kemungkinan
timbulnya korban jiwa dalam kecelakaan. UU Kereta Api No.13/1992, UU
Lalulintas Angkutan Jalan Raya No.14/1992, UU Penerbangan No.15/1992,
dan UU Pelayaran No.21/1992, yang dilengkapi dengan berbagai Peraturan
Pemerintah dan Keputusan dan Peraturan Menteri, serta Dirjen, telah
memberikan aturan main yang cukup jelas dalam keselamatan transportasi.
Keempat UU transportasi tersebut di atas saat ini tengah dibahas untuk di
revisi di DPR. Dalam berbagai diskusi revisi UU transportasi, masalah
keselamatan merupakan satu di antara banyak topik yang dibahas. Salah
satu fokus yang banyak disorot adalah penyusunan kerangka regulasi untuk
lebih memacu penyediaan sarana dan prasarana transportasi.
Keterbatasan kemampuan pendanaan pemerintah menyebabkan perlunya
keberadaan kerangka regulasi yang memungkinkan partisipasi swasta dan
masyarakat dalam membangun prasarana dan menyediakan layanan
transportasi. Di sini yang harus dibangun adalah sebuah kerangka regulasi
yang mampu menyeimbangkan tiga kepentingan, yaitu pertama, konsumen
yang harus mendapatkan haknya termasuk di dalamnya hak mendapat

1 - 2 - 3 LANGKAH
63
perlindungan keselamatan. Kedua, operator yang tentunya menginginkan
adanya tingkat keuntungan yang wajar. Ketiga, pemerintah yang berfungsi
sebagai regulator dan melindungi kepentingan publik secara luas, sehingga
pemanfaatan dana-dana publik misalnya dapat efisien dan tepat sasaran.
Di sini terlihat bahwa yang ingin dicari adalah kerangka regulasi, agar
kompetisi dapat berjalan dengan sehat, sesuai mekanisme pasar, dengan
tanpa mengorbankan pemenuhan standar keselamatan yang merupakan
bagian dari standar pelayanan minimum.

7.2. Tingginya Angka Kecelakaan


Sepanjang tahun 2006 tingkat kecelakaan transportasi masih cukup tinggi,
baik dalam jumlah (incidents) maupun dalam tingkat keparahannya (sever-
ity). Jumlah korban akibat kecelakaan di jalan misalnya, tidak pernah
diketahui dengan pasti, namun beberapa estimasi mencatat hingga 80 or-
ang korban per hari. Peristiwa kecelakaan sebenarnya merupakan fenomena
“puncak gunung es” yang diakibatkan oleh berbagai permasalahan
transportasi. Kecelakaan di transportasi darat memiliki permasalahan
mendasar diantaranya: (1) kemampuan mengemudi dan mudahnya
memperoleh SIM, (2) penegakan hukum, (3) standar disain prasarana, dan
(4) kelaikan kendaraan. Jumlah sepeda motor yang semakin meningkat
dengan pertumbuhan yang melebihi jumlah kendaraan roda empat sangat
berpotensi menjadi salah satu sumber utama penyebab terjadinya
kecelakaan. Sekitar 70 % kecelakaan di jalan yang melibatkan sepeda mo-
tor menunjukkan perlunya pengaturan lebih lanjut alat angkut jenis ini,
terutama pengaturan kecepatan (speed limit) dan kewajiban pemakaian helm.
Di transportasi laut, masalah keselamatan
sangat berkaitan dengan aksesibilitas
penduduk. Di daerah-daerah terpencil
seperti Maluku Tenggara dan Nusa Tenggara
Timur, angkutan perintis merupakan satu-
satunya alternatif akses bagi penduduk.
Penelitian yang dilakukan oleh para anggota
MTI memperlihatkan bahwa banyak
pelanggaran terjadi dan masih diberikan
toleransi karena ketidakcukupan supply
dibanding demand. Tidak memadainya
jumlah peralatan emergency seperti
pelampung, sekoci, pemadam kebakaran,
dan sebagainya tampak masih mewarnai
kondisi angkutan laut termasuk angkutan
sungai, danau dan ferry.
Ini baru dari segi kuantitas dan belum lagi soal kualitas karena seringkali
peralatan keselamatan tersebut tidak dapat berfungsi seperti halnya yang
diharapkan. Alasan klasik ketidaktersediaan dana sebenarnya kurang relevan
karena kita tidak dapat melonggarkan persyaratan keselamatan.
Di udara, persaingan tarip angkutan udara antar maskapai penerbangan telah
memberikan alternatif perjalanan yang lebih terjangkau bagi masyarakat.
Sayangnya, berbagai kecelakaan, baik yang memakan korban ataupun tidak,
telah memberikan kesan seolah-olah maskapai penerbangan bersaing
dengan mengorbankan standar keselamatan yang ada. Memang benar
fenomena low-cost airline telah terjadi di banyak negara belahan dunia yakni
maskapai penerbangan berupaya melakukan inovasi untuk menekan biaya-
biaya yang sifatnya luxury misalnya makanan dan minuman, kenyamanan
ruang tunggu, efisiensi tenaga kerja, dan lain sebagainya. Namun demikian,
low-cost airlines tidak dimaksudkan untuk adanya kompromi dengan standar-
standar keselamatan, dan walau bagaimanapun standar keselamatan tetap
harus dipegang teguh. Di Indonesia timbul anggapan bahwa yang berkembang
adalah low-fare airlines yaitu maskapai berlomba menurunkan tarif dengan
memanfaatkan celah-celah standar keselamatan yang ada.

1 - 2 - 3 LANGKAH
64
Jumlah pengguna angkutan udara sebenarnya hanya 0,3 – 0,5 % dari seluruh
perjalanan (trips) penumpang domestik. Jumlah korban jiwa juga relatif lebih
kecil dibandingkan dengan jumlah korban kecelakaan kapal, kereta api apalagi
angkutan darat. Namun demikian, angkutan udara merupakan industri yang
memiliki kandungan teknologi tinggi yang, sehingga soal kelalaian sudah
barang tentu tidak dapat ditoleransi. Di sisi lain, keselamatan tidak dapat
dikompromikan dengan angka statistik korban. MTI berpendapat bahwa
sekecil apapun korban kecelakaan, masalah keselamatan haruslah tetap
menjadi prioritas. Berita di media yang luar biasa pada saat terjadi kecelakaan
pesawat terjadi karena secara politis, penumpang pesawat udara adalah
kelompok masyarakat yang lebih kaya dan mampu memberi tekanan politik
kepada pemerintah dan penyedia jasa angkutan. Sedangkan kecelakaan
yang terjadi di sungai, kereta api dan bahkan di jalan raya tampaknya kurang
mendapat perhatian, dan seolah-olah dianggap sebagai berita rutin yang
dapat dibaca setiap hari melalui koran.

7.3. Langkah Tindak


Potret kecelakaan transportasi hingga tahun 2006 yang masih menyisakan MTI berpendapat bahwa sekecil apapun
permasalahan yang cukup besar ini, tampaknya di tahun mendatang publik korban kecelakaan, masalah keselamatan
masih harus berkutat dengan masalah-masalah aksesibilitas, layanan angkutan haruslah tetap menjadi prioritas.
umum dan keselamatan. Ada beberapa harapan di tahun 2007 ini untuk
transportasi kita. Pertama secara makro, pelaksanaan kebijakan yang sifatnya Standar penerbangan ICAO (Interna-
bertahap (incremental) yakni dengan memberdayakan dan memaksimalkan tional Civil Aviation Organization) dan
prasarana dan sarana yang telah ada. Selanjutnya secara bertahap menambah pelayaran IMO (International Maritime
kapasitas melalui pilihan teknologi yang relatif murah dan terjangkau. Di Organization) perlu dipertimbangkan
samping itu, secara terus menerus perlu dilakukan upaya peningkatan untuk dimasukkan dalam standar
kapasitas dan social marketing bagi pemberdayaan angkutan umum dalam keselamatan di Indonesia
jangka menengah. Upaya perbaikan yang sistematis bagi angkutan
keperintisan laut dan udara perlu dilakukan dengan penekanan yang lebih
kepada sistem perijinan quality licensing. Ini berarti Pemerintah harus secara
tegas menentukan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang harus dipenuhi
operator. Melalui transparansi dan akuntabilitas publik maka masyarakat luas
dan pengguna mengetahui hak-haknya sebagai pengguna layanan angkutan
umum. Termasuk dalam skala makro juga yaitu penyelesaian regulasi berupa
Undang-undang dan turunannya di bidang transportasi yaitu: UU Pelayaran,
UU Penerbangan, UU Kereta Api dan UU Lalulintas dan Angkutan Jalan.
Kedua, penegakan hukum dan peraturan secara konsisten. Perencanaan dan
regulasi di bidang transportasi tidak akan memberikan hasil seperti yang
diharapkan tanpa adanya upaya-upaya penegakan hukum yang konsisten.
Betapapun kecilnya, penegakan hukum harus dilakukan terhadap semua jenis
pelanggaran. Akan lebih baik bila masyarakat juga dilibatkan secara aktif dalam
memantau pelanggaran yang ada. Keberadaan nomor telpon untuk pengaduan
yang dapat diakses oleh masyarakat dapat memudahkan proses pengawasan
berjalan dengan baik. Pemberian penghargaan (award) dan sangsi (punish-
ment) secara terbuka akan dapat memacu berkembangnya inovasi yang
menguntungkan konsumen, sekaligus opsi bagi konsumen untuk memilih.
Dengan mewartakan tingkat kepatuhan dan kinerja dari operator angkutan
transportasi secara terbuka kepada publik maka sangsi pasar terhadap mereka
yang mencoba bermain dengan standar keselamatan akan dapat berjalan
seperti yang diharapkan.
Ketiga, standar nasional untuk pelayanan angkutan sudah saatnya ditelaah
ulang dan didefinisikan secara gamblang, serta secara konsisten diterapkan.
Aspek keselamatan harus menjadi bagian dari standar pelayanan minimum
transportasi. Standar pelayanan angkutan umum sudah selayaknya disertai
dengan kemudahan implementasi dalam pengawasan kepatuhan (compliance)
para penyelenggara layanan transportasi. Perkembangan berbagai hal baru
tentang standar keselamatan penerbangan dan pelayaran yang sifatnya harus
dilakukan (mandatory) dan tercantum dalam standar penerbangan ICAO (In-
ternational Civil Aviation Organization) dan pelayaran IMO (International Mari-
time Organization) perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam standar

1 - 2 - 3 LANGKAH
65
Program keselamatan jalan adalah keselamatan di Indonesia. Partisipasi aktif masyarakat dalam ikut mengawasi
program yang dapat mereduksi angka pelaksanaan standar akan sangat menentukan keberlangsungan kompetisi
kecelakaan, sehingga penyediaan antar operator secara sehat.
infrastruktur transportasi yang memadai
Keempat, penegakan kepatuhan juga perlu dibarengi dengan “Kampanye
mutlak diperlukan langkah cepat dan
Publik untuk Keselamatan Transportasi”. Secara umum yang perlu dilakukan
konsisten .
adalah peningkatan kesadaran atas berbagai hak dan kewajiban dari regu-
lator, operator dan penumpang. Disamping pengetahuan atas hak layanan
transportasi oleh konsumen, juga penting untuk memperingatkan kewajiban
penumpang antara lain memberikan data pribadi penumpang dengan benar,
tidak membawa muatan yang berbahaya (explosive materials) atau
berlebihan, tidak mengambil peralatan emergency, atau agar mematikan
handphone dalam pesawat. Pelaksanaan public awareness campaign ini
sebaiknya juga mencakup berbagai institusi pendidikan misalnya di sekolah-
sekolah dari SD-SMA. Melalui partisipasi aktif masyarakat maka mekanisme
transparansi dan akuntabilitas dapat berlangsung, dan manajemen
keselamatan transportasi dapat berjalan dengan baik.
Kelima, informasi bagi publik yaitu kebijakan untuk menginformasikan secara
terbuka mengenai analisis kecelakaan pesawat Adam Air yang diputuskan
Presiden SBY pada Rapat Koordinasi Terbatas tanggal 3 Januari 2007 patut
diapresiasi dan dapat menjadi keputusan historis bagi kepentingan
pengguna transportasi udara. Selama ini, masyarakat dan media hanya dapat
berspekulasi mengenai peristiwa kejadian kecelakaan. Laporan Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) seharusnya dapat menjadi
referensi pemerintah dalam memberikan informasi kepada masyarakat.
Apabila informasi ini disampaikan kepada publik, pastilah kepercayaan
masyarakat kepada regulator khususnya Departemen Perhubungan akan
meningkat. Masyarakat juga perlu mengetahui bahwa prinsip dasar dalam
analisis kejadian kecelakaan transportasi adalah untuk memastikan tidak
terjadinya peristiwa serupa di masa mendatang, khususnya untuk
mempersiapkan kebijakan dan investasi publik yang dibiayai para pembayar
pajak. Hak memperoleh informasi (right to information) dalam peristiwa
kejadian kecelakaan transportasi perlu kiranya juga menjadi bahan
penyempurnaan paket UU transportasi yang saat ini sedang dibahas di DPR.

7.3.1. Penanganan ke Infrastruktur dan Fasilitas


Potensi kecelakaan, selain disebabkan oleh faktor manusia
juga disebabkan kondisi infrastruktur yang tidak standar, itu
sebabnya interaksi antara infrastruktur, manusia dan lingkungan
sangat berpotensi menyebabkan kecelakaan. Betapa dermaga-
dermaga di wilayah pedalaman dibangun dengan tidak
menggunakan standar keamanan yang memadai, sementara
kapal-kapal klothok, speedboad juga tidak dilengkapi dengan
pelampung dan sistem navigasi yang baik. Semua ini
merefleksikan betapa penyedia jasa layanan transportasi laut
dan air tidak menghargai arti sebuah keselamatan. Tidak
sedikit kecelakaan di sungai disebabkan oleh sistem nafigasi
yang buruk, sehingga banyak kapal kandas pada alur-alur
sempit dan dangkal.
Fokus permasalahan keselamatan untuk semua sektor telah
bergeser sedemikian rupa. Program keselamatan jalan adalah
program yang dapat mereduksi angka kecelakaan, sehingga
ketersediaan infrastruktur transportasi yang memadai mutlak
diperlukan langkah cepat dan konsisten.
Saat ini, setelah sistem transportasi jalan raya terbukti telah menelan korban
begitu banyak dengan kerugian nasional mencapai 2% dari Produk Domestik
Brutto (PDB), maka pengarusutamaan aspek keselamatan semestinya
mendapatkan momentum yang tepat untuk segera dilaksanakan.
Kapasitas protektif kendaraan dapat dijadikan salah satu titik awal bagi
pendekatan sistem keselamatan yang bersifat pasif (passive safety). Salah
1 - 2 - 3 LANGKAH
66
satu pendekatan lain adalah melalui penyediaan lingkungan jalan
yang lebih memperhatikan aspek keselamatan penggunanya,
melalui dua prinsip filosofi yaitu self explaining road dan forgiv-
ing road environment.
Prinsip pertama menekankan pentingnya lingkungan jalan
dengan disain yang dilengkapi dengan berbagai perlengka-pan
jalan, yang mudah dipahami oleh penggunanya, sehingga pada
situasi berbahaya kecelakaan dapat dicegah. Sedangkan prinsip
kedua mengakui bahwa pada situasi dan kondisi berbahaya
tetap mungkin terjadi sebagai akibat dari kegagalan sistem
manusia. Dalam situasi ini, lingkungan jalan diharapkan masih
dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi pengguna
jalan yang terlibat lakalantas agar tidak cedera terlalu parah.
Kedua prinsip ini jelas menempatkan pengguna jalan sebagai
titik pusat dalam kebijakan pengembangan infrastruktur jalan
sebagai upaya untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada Untuk mengintegrasikan aspek
masyarakat. Untuk mengintegrasikan aspek keselamatan ini, perlu keselamatan ini, perlu dijalankan fungsi
dijalankan fungsi Manajemen Keselamatan Infrastruktur Jalan (Road In- Manajemen Keselamatan Infrastruktur
frastructure Safety Management). Komponen-komponennya meliputi Jalan yang meliputi Analisis Dampak
Analisis Dampak Keselamatan Lalulintas, Audit Keselamatan Jalan, Keselamatan Lalulintas, Audit
Manajemen Titik Rawan (black spots), Manajemen Keselamatan Jaringan Keselamatan Jalan, Manajemen Titik
Jalan, Inspeksi Keselamatan Jalan, Harmonisasi Kebutuhan Marka, Rawan, Manajemen Keselamatan
Sinyal dan Rambu, serta Kampanye, Pendidikan dan Pelatihan. Jaringan Jalan, Inspeksi Keselamatan
Jalan, Harmonisasi Kebutuhan Marka,
Walau bagaimanapun aspek keselamatan tidak dapat ditoleransi,
Sinyal dan Rambu, serta Kampanye,
sehingga upaya-upaya kongkrit untuk menjamin keselamatan pengguna
Pendidikan dan Pelatihan.
jasa layanan transportasi harus benar-benar dilakukan. Apalah artinya
jika jalan sudah dibangun sesuai pedoman baku yang ada, namun masih
terdapat indispiln di level pengguna jalan. Oleh karenanya diperlukan
sebuah sistem yang benar-benar dapat menempatkan aspek-aspek
keselamatan tersebut guna mendukung terciptanya keselamatan.
Kapal-kapal angkutan sungai saat ini banyak yang tidak dilengkapi
peralatan keselamatan yang memadai. Banyak kapal-kapal klothok, speed
boad yang tidak mempunyai pelampung sebanyak penumpangnya, dan
ada pula kapal yang muatannya melebihi batas yang diijinkan. Sementara,
kelengkapan navigasi kapal dan alur juga sangat minim, sehingga tidak
jarang kecelakaan terjadi pada malam hari akibat kapal karam dan
menabrak alur-alur dangkal. Selama ini kontrol dan pengawasan hanya
dilakukan pada tingkat kelaikan operasi saja, sedangkan kelengkapan
keselamatan belumlah menjadi syarat utama dalam prosedur
pemeriksaan moda.
Pemanduan lalulintas kapal-kapal sungai, saat ini hanya dilakukan
terbatas pada kapal-kapal besar, namun kapal-kapal pribadi yang setiap
saat berlalu lalang di alur sungai cenderung diabaikan. Ketersediaan
rambu-rambu ini sangat membantu untuk memberikan informasi,
peringatan dan petunjuk bagi pengemudi kapal.
Berbagai kondisi yang menyebabkan defisiensi infrastruktur transportasi
sesungguhnya dapat diupayakan dengan target mengurangi angka
kecelakaan dan tingkat keparahan korban. Ruang gerak transportasi tidak
terlepas dari interaksi moda dan penggunanya, sehingga diperlukan ruang
bebas yang memadai serta dapat memberikan keleluasaan dan jarak
pandang yang cukup.
Untuk dapat menjamin ketersediaan keselamatan jasa layanan
transportasi dan infrastruktur diperlukan upaya pengawasan yang ketat.
Audit keselamatan menjadi bagian yang perlu diterapkan pada semua
sektor moda transportasi. Audit keselamatan ini merupakan proses for-
mal untuk memastikan skema operasional lalu lintas dapat berjalan
dengan baik.

1 - 2 - 3 LANGKAH
67
Keselamatan transportasi jalan tersusun 7.3.2. Penanganan ke Manusia
dari hal-hal mendasar, seperti berjalan
Sesungguhnya, teknologi transportasi sampai saat ini masih menempatkan
kaki di trotoar, berkendaraan di sisi kiri,
manusia sebagai kunci kendali, dan keselamatan masih sangat bergantung
mengemudi dengan penuh kendali,
pada peran manusia. Pesawat mungkin bisa berjalan sendiri dengan auto
menyiap hanya dilakukan pada kondisi
pilot atau mendekati landasan dengan bantuan Instrument Landing System
memungkinkan, melakukan manuver
(ILS), namun saat mendaratkan pesawat keandalan pilot sangat dibutuhkan.
kendaraan tanpa mengejutkan pihak
Kendaraan boleh fit, jalan boleh mulus, namun ini semua tidak serta merta
lain, lampu kendaraan berfungsi
menjamin perjalanan selamat bilamana sopirnya mengantuk. Walau
terutama di malam hari, semua ini tidak
bagaimanapun peran manusia menempati urutan pertama sehingga
membutuhkan ilmu yang rumit,
pendidikan berlalulintas sangat diperlukan, karena ini merupakan investasi
semuanya sangat commoc sense.
jangka panjang yang tidak pernah merugi.
Kompetensi pengemudi (pilot, masinis, sopir, nahkoda) dibangun dari tiga
hal yaitu: (1) kognitif berhubungan dengan pengetahuan atau ilmu yang harus
dikuasai; (2) psiko-motorik yakni koordinasi yang akurat antara pikiran/psikis
dan gerakan motorik anggota badan yang diwujudkan dalam ketrampilan
mengendarai; dan (3) afektif yakni gabungan dari keduanya yang jika
dilakukan dengan penuh kesadaran akan melahirkan pembentukan perilaku
dan kebiasaan yang selalu sadar akan pentingnya keselamatan. Pendidikan
menuju kompetensi ini tidak terjadi dengan sendirinya, dan perlu waktu yang
panjang, apalagi sampai saat ini Indonesia belum mempunyai pendidikan
sistematis yang khusus membangun kompetensi pengemudi, setidaknya
ini bisa dimulai dari aspek kognitif.
Keselamatan dalam transportasi tersusun dari hal-hal yang mendasar, seperti
berjalan kaki di trotoar, berkendaraan di sisi kiri, mengemudikan kendaraan
dengan penuh kendali, menyiap hanya dilakukan pada saat kondisi
memungkinkan, melakukan manuver kendaraan tanpa mengejutkan pihak
lain, lampu kendaraan berfungsi terutama di malam hari, dan sebagainya.
Semua kebutuhan ini tidaklah rumit, dan juga tidak membutuhkan ilmu yang
rumit, semuanya sangat commoc sense, oleh karena itu pendidikan
berlalulintas perlu dimulai pada usia dini. Anak-anak usia pra-sekolah dan
taman kanak-kanak adalah usia ideal untuk memulai, misalnya dengan
pengetahuan menyeberang jalan. Perkumpulan Mitra Selamat di Jalan (MSJ)
Yogyakarta misalnya, memiliki program pendidikan berlalulintas sederhana
bagi guru TK dengan target akan mengajarkannya pada anak didiknya, dan
program ini mendapat respon positif dari masyarakat.
Pelatihan membentuk keterampilan psiko-motorik dalam mengemudi alat
angkut memerlukan cara yang cermat dan sungguh-sungguh. Bukti
kompetensi dalam bentuk sertifikat semestinya diperoleh dengan pengujian
yang ketat. Kemudahan memperoleh SIM dengan cara “membeli” jelas akan
merusak sistematika pendidikan pengemudi di Indonesia. Sertifikasi ujir kir
kendaraan “yang diperdagangkan”
juga perlu dikaji ulang, berarti
pendidikan bagi petugas atau aparat
pemerintah juga menjadi kebutuhan
mendesak, sebelum sistem pen-
didikan keselamatan yang ada saat
ini mengalami kehancuran.
Dalam membentuk pembiasaan
agar berperilaku selamat diperlukan
pemaksaan, hal ini dapat dilakukan
manakala penegakan hukum
dipertegas dan diberlakukan secara
konsisten. Fenomena prit jigo
merefleksikan betapa lemahnya
penegakan hukum di Indonesia.
Secara kelembagaan pihak yang
menerbitkan sertifikat seyogianya
bukan yang menegakkan hukum.

1 - 2 - 3 LANGKAH
68
Selama ini SIM dikeluarkan oleh polisi, sementara penegakan hukum juga Belajar dari pengalaman negara-negara
dilakukan polisi, standar ganda inilah yang kemudian mendorong untuk maju, penerapan sistem denda “uang”
terjadinya manipulasi. Belajar dari pengalaman negara-negara maju, maka ini terbuksi lebh efektif karena sistem
kedua fungsi ini dipisahkan, dan penerapan sistem denda “uang” terbuksi denda ini cenderung membuat Si
lebh efektif karena sistem denda ini cenderung membuat Si pelanggar jera. pelanggar jera.

7.3.3. Peran pemerintah, masyarakat dan swasta


Pengalaman negara-negara lain, kecelakaan lalulintas meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah kendaraan di negaranya. Pertumbu-han
kendaraan bermotor akan terus meningkat sampai negara tersebut
mencapai booming, kecuali bagi negara-negara yang melakukan tindakan-
tindakan efektif untuk menghadapi masalah serius ini.
Sebagaimana telah dipahami secara luas, kecelakaan lalulintas dapat
diakibatkan oleh faktor manusia, kendaraan, dan lingkungan jalan, serta
interaksi dan kombinasi antara ketiga faktor tersebut. Dalam berkendara,
manusia sebagai pengguna jalan berinteraksi dengan kendaraannya dan
lingkungan di sekitarnya (termasuk kendaraan lain, infrastruktur jalan, dan
situasi kondisi setempat). Interaksi ini terkadang sangat kompleks dan terkait
dengan berbagai aspek. Menyadari banyaknya aspek yang berkaitan dengan
ketiga faktor tersebut, mengupayakan keselamatan lalulintas jalan melalui
pengurangan angka kecelakaan dan resiko kematian dan luka serius akibat
kecelakaan sudah barang tentu tidak cukup diupayakan melalui pendekatan
mono-sektoral, melainkan membutuhkan upaya-upaya pendekatan
multisektoral.
Berkenaan dengan hal itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) telah
mengidentifikasi adanya 14 aspek yang dapat diintervensi untuk mengurangi
angka dan resiko kecelakaan seperti Gambar 7.1.

Gambar 7.1. Aspek-aspek yang dapat diintervensi

1 - 2 - 3 LANGKAH
69
Transportasi mampu mengangkat daya Secara operasional, sektor-sektor ini dikelompokkan ke dalam lima
tarik suatu kota, upaya untuk pendekatan yang dikenal sebagai Pendekatan 5-E, yaitu: pendekatan
meningkatkan keselamatan jalan dan rekayasa (engineering), pendidikan (education), penegakan hukum (enforce-
perbaikan sistem transportasi di Malaysia ment), penggalakan dan penggalangan (encouragement), serta kesiapan
misalnya, telah berhasil menyedot tanggap darurat (emergency preparedness). Hal-hal yang menghambat
wisatawan, sehingga negeri yang miskin proses peningkatan keselamatan jalan adalah sebagai berikut:
obyek wisata alam ini mampu
n Pembagian tanggung jawab penanganan keselamatan multi sektor
mengalahkan Indonesia dalam menyedot
n Ketiadaan informasi yang cukup dan akurat
turis asing.
n Tidak memadainya tindakan-tindakan untuk mengkoordinasi-kan dan
mengimplementasikan penanganan keselamatan di semua sektor yang
memerlukan perbaikan
n Tidak memadainya ketersediaan sumber daya manusia dan finansial
untuk mendukung tindakan/program preventif kecelakaan.
Program-program keselamatan lalulintas saat ini sudah mulai banyak
dilakukan, namun sulit diukur tingkat keberhasilannya karena program-pro-
gram tersebut masih dilakukan secara terpisah. Kalaupun ada koordinasi
masih sangat diragukan efektivitasnya. Pihak Kepolisian memiliki program
Kawasan Tertib Lalulintas (KTL). Pihak Departemen Perhubungan telah
melengkapi rambu-rambu dan marka, pengadaan pendidikan bagi
pengemudi serta membuat penilaian ketertiban lalulintas di kota-kota melalui
pemberian anugerah Wahana Tata Nugraha. Perusahaan asuransi Jasa
Raharja terus menyantuni korban-korban kecelakaan yang saat ini bernilai
Rp.10 juta untuk setiap korban mati atau cacat tetap.
Menilik ulasan di atas, tampaknya permasalahan koordinasi antar instansi
untuk program-program peningkatan keselamatan di jalan masih sangat
lemah. Masing-masing pihak masih menjalankan sendiri-sendiri programnya,
dan alhasil dampak konkret berupa penurunan angka kecelakaan masih
jauh dari harapan.
Di banyak negara aspek keselamatan lalulintas ditangani serius oleh
pemerintah pusat. Untuk mengkoordinasinya dibentuklah Dewan Nasional
Keselamatan Lalulintas (National Road Safety Council)
yang berada langsung di bawah presiden/perdana menteri,
dan bukan berada di bawah suatu departemen. Ia bisa
menjangkau ke departemen dan badan pemerintah lainnya
dengan leluasa, serta memiliki kekuatan politis.
Seluruh perencanaan, program-program, gerakan-gerakan
dipelopori dan dikoordinasi oleh dewan ini, sehingga ada
sinergi antara program instansi yang satu dengan instansi
lainnya. Dewan ini juga merupakan penanggung jawab
utama masalah keselamatan di suatu negara sehingga
memudahkan untuk melakukan hubungan dengan instansi
sejenis dari negara-negara lain atau lembaga-lembaga
internasional, khususnya dalam rangka kerjasama dan
penggalangan dana untuk program-program peningkatan
keselamatan.

7.3.4. Menuju Transportasi yang Bermartabat


Sifat keselamatan transportasi adalah berlaku universal. Kewajiban
menggunakan sabuk keselamatan di Indonesia misalnya, juga berlaku di
Asia, Amerika, Eropa, dan Afrika. Sebuah bangsa yang bermartabat sangat
menghargai nyawa dan keselamatan warganya, dan negara yang bermartabat
adalah negara yang mampu melindungi dan memfasilitasi pergerakan
warganya.
Jika ekonomi Indonesia kelak pulih, dan taraf hidup masyarakat membaik,
namun belum tentu kualitas hidup manusia Indonesia membaik pula
manakala masih banyak pengemis di jalan dengan lalulintas kendaraan
yang membahayakannya.

1 - 2 - 3 LANGKAH
70
Angkutan umum yang beroperasi saat ini mulai tampak tidak beradab, seolah Penyediaan sarana dan prasaran
tidak ada aturan lagi, layaknya di hutan rimba. Pemandangan menyedihkan transportasi dan upaya merias wajah
korban kecelakaan semakin sering terlihat di depan mata. Trotoar yang kota tidak saja mampu mendukung
semestinya rindang penuh pepohonan hijau, termasuk taman-taman kota, perekonomian, namun juga dapat
sudah tidak bisa dinikmati oleh warga kota. Betapa sulit untuk menemukan membuat bangsa ini lebih bermartabat
tempat rekreasi murah bagi kaum miskin kota saat ini. Trotoar, ruang jalan,
taman-taman, fasilitas pejalan kaki ini sudah dirampas oleh pedagang kaki
lima, dan ini semua menunjukkan betapa masyarakat semakin
meninggalkan kepedulian akan lingkungan fisik dan sosialnya.
Banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa transportasi mampu
mengangkat daya tarik suatu kota. Usaha untuk meningkatkan keselamatan
jalan dan perbaikan sistem transportasi di Malaysia misalnya, telah berhasil
menyedot wisatawan, sehingga negeri yang miskin obyek wisata alam ini
mampu mengalahkan Indonesia dalam menyedot turis asing.
Belum lagi icon-icon yang melekat pada suatu kota seperti London dengan
underground dan taxi hitamnya, New York dengan taxi kuningnya, Jepang
dengan Shinkanshen (kereta peluru), Bangkok dengan Tuk-tuk-nya, kota-
kota Eropa dengan taman dan pedestrianisasi-nya (pusat kota yang tertutup
bagi kendaraan bermotor kecuali pejalan kaki).
Fakta menunjukkan trotoar yang lebar, pedagang kaki lima yang terkendali,
kenyamanan berjalan kaki, yang didukung oleh sistem angkutan umum yang
bermutu, telah membuktikan bahwa investasi di sektor transportasi akan
mampu membayar kembali melalui derasnya pariwisata.
Indonesia yang memiliki ribuan obyek wisata, tidak akan mampu menarik
minat turis dunia untuk datang ke Indonesia lagi, karena pengalaman
melakukan perjalanan yang tidak aman dan selamat (secure and safe) dapat
membuat turis kapok. Keselamatan transportasi dan daya tarik kota serta
pariwisata sangat erat kaitannya, sedangkan penyediaan sarana dan
prasaran transportasi serta upaya merias wajah kota tidak saja mampu
mendukung perekonomian, namun juga dapat membuat bangsa ini lebih
bermartabat.

1 - 2 - 3 LANGKAH
71
Daftar Pustaka

Arif Budiman, 2006, makalah Penurunan Tarif Identik dengan Penurunan


Tingkat Keselamatan Penerbangan? STD Aviasi, Jakarta.
Asian Development Bank, Road Safety Guidlines for the Asian and Pacific
Region, 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006), Draft Working Paper
Prakarsa Strategis Percepatan Pembangunan Infrastruktur:
Aspek Kebijakan Subsidi dan PSO, Direktorat Transportasi,
Deputi Prasarana dan Sarana, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas)
Buku Peringatan Setengah Abad Organisasi Penerbangan Sipil Internasional,
ICAO Publishing, 1994.
Cucuk Suryosuprodjo, 2005, makalah LCC dan Dampaknya terhadap
Keselamatan dan Pelayanan Penerbangan, Universitas Sahid
Jakarta, 4 Juni 2005.
Cholis Aunurrohman, makalah Sepeda Makin Terpinggirkan, disampaikan
dalam acara diskusi “Jogja Kembali Ngonthel” di UPY, 9 April
2006.
————, makalah Saatnya Memprioritaskan Sepeda, disampaikan dalam
acara diskusi “Jogja Kembali Bersepeda” yang
diselenggarakan oleh Komunitas Sepeda Hijau, Universitas
Gadjah Mada, 21 April 2006.
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2005), Pedoman Teknis Perlintasan
antara Jalan dengan Jalur Kereta Api, SK 770/KA.401.DRJD/
2005
Dirjen Perla, 2000, Perencanaan dan Pelaksanaan Verifikasi Pemenuhan
ISM-Code,Dephub Jakarta.
Ditlantas POLRI dan Universitas Indonesia, Kajian Keselamatan Lalu-lintas
pada Pantura Pulau Jawa, 2006
Hardjono, 2005, Kondisi Tingkat Kepadatan Jalur Terhadap kecelakaan Kapal
Barang Domestik Antar Pulau, Warta Penelitian dan
Perhubungan, Jakarta.
Jinca, M.Y., 2002, Tinjauan Teknis dan Operasional Prototipe KLM Pinisi 300
GRT Dalam Rangka Keselamatan Jiwa dan Barang di Laut,
Pelra, Pertemuan Sub Komite Teknik K3I, September, Jakarta.
————, 2003, Keselamatan Pelayaran, Workshop Penyelenggara
Kepelabuhanan dan Angkutan Laut Dalam Perspektif
Kepentingan Daerah, 19 September, di Hotel Millenium, Dep.
Perhubungan, Jakarta.

1 - 2 - 3 LANGKAH
72
Makalah Saatnya Angkutan Publik Diprioritaskan, disampaikan pada diskusi
”Inisiatif Masyarakat Dalam Membangun Transportasi
Berkelanjutan di Semarang” yang diselenggarakan oleh Insti-
tute for Transportation Studies (INSTRAN) di kantor Lembaga
Pembinaan & Pemberdayaan Konsumen (LP2K), 25 Januari
2005
Nurwahidah, 2003, Penelitian Persepsi Pengambilan Keputusan Terhadap
Implementasi Standar Manajemen Kapal-kapal PELRA, PPs
Unhas Makassar.
Pemaparan Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada Diskusi Ilmiah, Maret
2006.
Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana
Kereta Api
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan KM No. 53 tahun 2000 tentang Perpotongan dan/atau
Persinggungan antara Jalur Kereta Api dengan Bangunan Lain
Ramadhan, Soedarmo (2006), Upaya Bersama PT. Kereta Api (Persero)
dengan Pemerintah Daerah dalam Penanganan Perlintasan
SebidangAntara Jalur Kereta Api dengan Jalan, Makalah Rapat
Koordinasi Dishub Provinsi Jateng, 27 Nopember 2006, Dinas
Perhubungan dan Telekomunikasi Provinsi Jawa Tengah
Sumandi, I Made, 2006. Implementasi ISM-Code Pada Perusahaan PT.
BOSOWA Llyod, PPs Unhas.
Suharto Abdul Majid, 2004, Menimbang Daya Saing Perusahaan Penerbangan
Berjadwal Nasional dalam majalah Transport Volume 22 Nomor
2 April 2004.
Source Book 2000, Aviation Week & Space Technology, 2000.
Sulistiono Adi dkk, Benang Kusut Lalu-lintas, 2006
United Nations (2000), Evaluation of Cost Effective System for Railway Level
Crossing Protection, Economic and Social Commsiion for Asia
and the Pacific
Widarbowo. Dodik, 2006, Analisa Kompetensi Perwira Awak Kapal Pelayaran
Rakyat, Tim S2 Transportasi PPs Unhas Makassar.
Wahyudie, 2005, makalah Flight Safety in Low Cost Carrier Operations, Uni-
versitas Sahid, Jakarta, 4 Juni 2005.

1 - 2 - 3 LANGKAH
73
1 - 2 - 3 LANGKAH
74

Anda mungkin juga menyukai