Anda di halaman 1dari 10

Telaah Etika Bisnis Islami Menurut Rafiq Issa Bewkun Muhammad Shiddiq Al Jawi www.e-Syariah.

ORG

Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan menguraikan 2 (dua) hal : pertama, deskripsi pemikiran Rafik Issa Beekun tentang sistem etika Islam (The Islamic Ethical System) dalam bisnis, seperti yang terdapat dalam buku Islamic Business Ethics karya Rafik Issa Beekun (1997).[1] Kedua, pandangan dan analisis penulis terhadap topik yang diuraikan oleh Beekun. Beekun (1997) memulai uraiannya dengan menjelaskan berbagai penyimpangan etika bisnis dalam masyarakat Barat, seperti diskriminasi rekrutmen dan promosi pegawai (1997:1). Kemudian, Beekun menjelaskan 4 (empat) pokok pemikirannya yang berkaitan dengan sistem etika Islam dalam dunia bisnis, yaitu : (1) definisi etika dan etika bisnis serta keterkaitannya dengan aspek normatif Islam, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku etika individu dalam Islam, (3) sistem etika Islam, yang berisi studi perbandingan berbagai sistem etika dan uraian aksioma-aksioma filsafat etika Islam, dan (4) tingkatan-tingkatan perilaku sah dan tidak sah dalam Islam. Adapun pandangan dan analisis penulis, akan menyentuh beberapa topik permasalahan, yaitu : (1) keterbatasan definisi etika bisnis Beekun, (2) hubungan istilah etika dengan aspek normatif Islam, (3) etika bisnis tentang format perusahaan Islami (syirkah Islamiyah), (4) kritik terhadap sistem etika sekuler dan sistem etika agama lain, (5) aksioma filsafat-filsafat etika Islam, (6) integrasi etika dan fiqih. Penyimpangan Etika Bisnis Beekun (1997) mengawali bukunya dengan suatu uraian deskriptif mengenai berbagai penyimpangan etika bisnis dalam masyarakat Barat. Misalnya : (1) penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, (2) pencurian oleh karyawan, (3) konflik kepentingan, (4) isu-isu pengawasan kualitas (quality control), (5) diskriminasi rekrutmen dan promosi karyawan, (6) penyalahgunaan informasi yang menjadi milik perusahaan, (7) penyalahgunaan anggaran perusahaan, dan sebagainya.[2] Dalam situasi yang demikian, Beekun (1997) menekankan bahwa justru sangat urgen bagi bisnisman muslim untuk tetap berpegang pada etika Islam, bukan malah larut dan terpengaruh oleh situasi kontemporer yang penuh dengan penyimpangan etika dalam berbisnis. Hal itu disebabkan Islam telah mengatur segala aspek kehidupan dan dalam segala situasi dan kondisi. Bahkan tanpa menjelaskan konteks situasionalnya, Allah SWT menjelaskan bahwa muslim yang sukses adalah muslim yang tetap komit dengan nilai kebaikan (khayr atau maruf) seperti yang dikehendaki Allah.[3] Definisi Etika Beekun (1997) secara ringkas menjelaskan bahwa etika adalah The set of moral principles that distinguish what is right from what is wrong. (Sekumpulan prinsip-prinsip moral yang digunakan untuk membedakan perilaku yang benar dengan perilaku yang salah).[4]
Etika Ir. Suprapto M.Si.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

12

Etika ini menurut Beekun (1997) adalah studi yang bersifat normatif sebab etika menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan seseorang dan apa yang seharusnya tidak dilakukan seseorang. Sedangkan etika bisnis, didefinisikan Beekun sebagai management ethics or organizational ethics, yaitu etika manajemen atau etika organisasional, yang cakupannya menurut Beekun secara sederhana terbatas pada organisasi-organisasi bisnis. Dalam konteks keterkaitan definisi etika dengan aspek normatif Islam, Beekun memandang bahwa terminologi yang paling dekat dengan istilah etika adalah istilah akhlaq.[5] Kaitan definisi etika dengan term-term Al-Qur`an juga ditunjukkan Beekun dengan menyebutkan beberapa term Al-Qur`an yang berkaitan dengan konsep kebaikan, seperti kata khayr (kebaikan), birr (kebajikan), qisth (kesamaan), adl (keadilan), haqq (kebenaran dan hak), maruf (kebaikan), taqwa (ketaqwaan). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Etika Individu dalam Islam Beekun memandang bahwa perilaku etika individu dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu : (1) interpretasi-interpretasi hukum, (2) faktor-faktor organisasional, dan (3) faktor-faktor individual.[6] Interpretasi hukum (legal interpretation) adalah tafsiran-tafsiran yang dilakukan oleh para ahli hukum terhadap teks-teks hukum. Dalam masyarakat Barat, interpretasi ini seringkali didasarkan pada nilai-nilai atau standar-standar yang temporal. Sementara dalam masyarakat Islam, interpretasi hukum didasarkan pada ijtihad untuk menghasilkan hukum yang baku. Implikasinya, dalam masyarakat Barat, pada satu saat sebuah perilaku bisa dianggap legal, sedangkan pada waktu lainnya dapat dianggap ilegal. Misalnya diskriminasi terhadap perempuan dan kaum minoritas. Dulu ini dianggap legal dalam masyarakat Barat, namun sekarang dianggap ilegal. Sebaliknya Islam memberikan hak-hak yang bersifat permanen kepada perempuan, dan juga Islam tak pernah mendiskriminasikan kaum minoritas. Faktor-faktor organisasional (organizational factors) adalah faktor berupa kumpulan peraturan suatu organisasi bisnis, yang biasa dikenal dengan istilah kode etik. Beekun mencontohkan perusahaan Xerox Corporation yag mempunyai kode etik setebal 15 halaman, yang antara lain berbunyi,Kita harus jujur kepada para pelanggan. Tak ada kongkalikong. Tak ada suap. Tak ada rahasia. Tak ada manipulasi harga[7] Namun demikian, apa yang dianggap etis dalam sebuah perusahaan, bisa jadi tetap tidak patut dilaksanakan. Misalnya, perusahaan yang berbisnis khamr (minuman keras), walaupun segala transaksinya dilakukan dengan penuh kejujuran, tetap saja keseluruhan organisasinya dianggap salah dan tidak etis. Maka dari itu, menurut Beekun, kode etik Islam dalam sebuah organisasi bisnis tak hanya mengatur perilaku antar individu dalam interaksi bisnis, tetapi juga harus mengatur halal haramnya objek bisnis yang dijalankan. Faktor-faktor individual (individual factors) adalah faktor-faktor yang terdapat pada pribadi seorang pebisnis, yang terwujud dalam berbagai nilai-nilai yang menjadi keyakinan individu tersebut. Nilai-nilai ini mencakup : tingkatan moral individu, nilai-nilai personal, pengaruh keluarga, pengaruh teman pergaulan, pengalaman hidup, dan faktor situasional.[8] Tingkatan moral individu tergantung sejauh mana individu dapat mengendalikan aspek jiwanya (nafs), apakah akan mempunyai tipe jiwa ammarah (QS 12:53) yang cenderung kepada kejahatan dan dosa, atau tipe lawwamah (QS 75:2), yang cenderung kepada kebaikan, dan tipe mutmainah (QS 89:27), sebuah tipe tertinggi, yang ditandai dengan ketenteraman jiwa yang penuh.

12

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

Sedangkan nilai-nilai personal, berkaitan dengan penekanan atau intensitas nilai tertentu yang mungkin berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Orang yang mementingkan nilai kejujuran, akan berbeda perilaku etikanya dengan orang yang tidak mementingkan nilai kejujuran. Pengaruh keluarga juga menjadi satu faktor dalam faktorfaktor individual. Sebab standar moral individu pada awalnya sangatlah dipengaruhi oleh keluarganya. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang menjunjung moral, akan mempunyai standar etika yang tinggi. Sebaliknya anak-anak yang hidup dalam keluarga yang bejat moral, cenderung mempunyai standar moral yang rendah pula. Pengaruh teman pergaulan juga merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku etika individu. Pergaulan dengan teman di sekolah, atau teman di lingkungan rumah, dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku etika seseorang. Adapun pengalaman hidup, yang dimaksud adalah suatu peristiwa yang sangat berkesan bagi seseorang sehingga mempengaruhi hidupnya di kemudian hari. Beekun mencontohkan pengalaman Malcolm X dalam melaksanakan ibadah haji, yang kemudian berpengaruh besar dalam perilaku keislamannya dalam kehidupannya. Sedangkan faktor situasional, adalah kondisi-kondisi tertentu yang membuat seseorang berperilaku tidak etis, sebagai jalan keluar dari problem yang dihadapinya. Misalnya, seorang manajer penjualan yang mencatatkan transaksi penjualan fiktif untuk menutupi kerugian yang dialami. Sistem Etika Islam Beekun menjelaskan bahwa sistem etika Islam (Islamic ethical system) berbeda dengan sistem etika sekuler dan sistem etika agama lain. Sistem etika sekuler, misalnya, berbeda dengan sistem etika Islam karena sistem etika sekuler memisahkan sistem etik dengan agama. Sedang sistem etika Kristen, berbeda dengan sistem etika Islam, karena sistem etika Kristen terlalu menekankan kehidupan kerahiban (monasticism) sehingga membuat orang menarik diri dari kancah kehidupan keseharian.[9] Selanjutnya, Beekun menerangkan dan mengkritik enam macam sistem etika dominan yang sekarang, sebagai langkah pendahuluan untuk menerangkan beberapa aksioma filsafat etika dalam Islam. a. Sistem-Sistem Etika Sistem etika yang dominan saat ini, menurut Beekun, ada 6 (enam) sistem etika, yaitu Relativisme, Utilitarianisme, Universalisme, Rights (Hak-Hak), Keadilan Distributif (Distributive Justice), dan Hukum Abadi (Eternal Law). Keenam sistem etika ini dibedakan atas dasar kriteria yang digunakan untuk memutuskan salah benarnya suatu perilaku.[10] Relativisme (self-interest) adalah paham bahwa baik buruknya perilaku manusia didasarkan pada kepentingan atau kebutuhan pribadi (self-interest and needs). Dengan demikian, setiap individu akan mempunyai kriteria moral yang berbeda dengan individu lainnya, atau akan terjadi perbedaan kriteria moral dari satu kultur ke kultur lainnya. Relativisme bertentangan dengan Islam, sebab Islam menegaskan bahwa perilaku etika individu wajib didasarkan pada kriteria Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan kriteria individu yang relatif. Di samping itu, relativisme akan menimbulkan kemalasan dalam pembuatan keputusan, karena semuanya toh dapat secara sederhana diputuskan menurut selera masing-masing. Islam mensyariatkan

12

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

syura dalam pengambilan keputusan bersama, yang dapat mencegah adanya penggunaan kriteria moral individual yang relatif. Utilitarianisme (calculation of costs anf benefits) adalah suatu paham bahwa baik buruknya perilaku tergantung pada hasil-hasil (manfaat) dari keputusan yang diambil. Suatu perilaku dianggap etis jika menghasilkan keuntungan terbesar bagi sebagian besar manusia. Beekun mengkritik paham ini dengan menunjukkan ketidakjelasan kriteria siapa yang menentukan sesuatu itu baik untuk sebagian besar masyarakat. Selain itu, jika mayoritas yang dijadikan kriteria, maka bagaimanakah nasib kelompok minoritas ? Jika mayoritas menghendaki free sex, siapakah yang akan melindungi kepentingan minoritas yang menolak free sex ? Begitu pula, untuk hal-hal yang tak dapat dikuantifikasi, utilitarianisme tak menyediakan perangkat memadai untuk perhitungan untung-ruginya. Hak-hak dan tanggung jawab individu juga terabaikan menurut utilitarianisme karena semuanya dianggap tercakup dalam hak dan tanggungjawab kolektif. Universalisme (duty) adalah paham bahwa baik buruknya perilaku tergantung pada niat (intention) dari keputusan atau perilaku. Paham ini adalah kebalikan (contrast) dari utilitarianisme. Berdasarkan prinsip Immanuel Kant (categorical imperative), paham ini mempunyai dua prinsip. Pertama, seseorang seharusnya memilih suatu perbuatan, hanya jika dia menerima atau membiarkan orang lain di muka bumi ini, dalam situasi yang serupa dengannya, untuk memilih melakukan perbuatan yang sama. Kedua, orang-orang lain harus diperlakukan sebagai akhir (tujuan), bukan sekedar alat untuk mencapai tujuan. Konsekuensinya, pendekatan ini memfokuskan diri pada suatu kewajiban (duty), yaitu bahwa individu harus mempedulikan individu lainnya atau mempedulikan aspek kemanusiaan. Jika seseorang berbuat dengan niat (intention) untuk melakukan duty ini, berarti perbuatannya dinilai etis. Jika tidak ada niatan ini, berarti perbuatannya tidaklah etis. Dalam Islam, niat semata tidak menjadikan suatu perbuatan etis atau tak-etis. Menurut Beekun, mengutip Yusuf Al-Qaradhawi, niat yang baik tak dapat menghalalkan perkara yang haram. Jika suatu perbuatan sudah halal, lalu diniatkan dengan niat baik, maka itu akan menjadi perilaku yang etis. Jika suatu perbuatan sudah haram, maka niat yang baik tak akan menjadikan perbuatan haram itu menjadi etis. Demikian pula suatu tujuan yang baik yang diniatkan dengan niat baik, tetap tak dibenarkan kalau ditempuh dengan jalan yang haram. Rights (individual entitlement) merupakan paham bahwa baik buruknya perilaku didasarkan pada satu nilai, yaitu kebebasan (liberty), dan didasarkan pada hak-hak individu untuk bebas memilih. Hak-hak ini rawan disalahgunakan. Individu-individu tertentu bisa saja mengedepankan hak-hak mereka sehingga mengesampingkan hak-hak individu lainnya. Islam mengakui hak individu untuk memilih, tapi pilihan itu harus disertai tanggung jawab dan tetap dalam koridor nilai Islam. Keadilan distributif, adalah paham bahwa baik buruknya perilaku didasarkan pada satu nilai : keadilan. Terdapat lima prinsip keadilan distributif : (1) setiap orang mendapatkan hasil bersama yang setara (equal share), (2) setiap orang mendapatkan sesuai kebutuhan individualnya, (3) setiap orang mendapatkan sesuai usaha individualnya, (4) setiap orang mendapatkan sesuai kontribusi sosialnya, dan (5) setiap orang mendapatkan sesuai prestasinya (merit system). Menurut Beekun, pada dasarnya, islam menyetujui prinsip-prinsip di atas. Hanya saja dalam Islam, harus ada kondisi seimbang (balance manner). Misalnya, Islam mengakui kepemilikan negara/umum untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan publik. Islam mengakui adanya infaq, walaupun orang penerima infaq tidak mempunyai kontribusi sosial. Eternal Law (scripture), adalah suatu paham bahwa baik buruknya perilaku didasarkan pada

12

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

hukum-hukum yang diwahyukan dalam sebuah kitab suci. Pembacaan yang ada bukanlah memilih salah satu, apakah kitab suci atau alam semesta, tetapi haruslah berupa pembacaan simultan antara keduanya, yaitu kitab suci (Al-Qur`an) dan alam semesta. Meski ada kemiripan, etika Kristen tidak sama dengan etika Islam. Dalam agama Kristen, penarikan diri dari kehidupan untuk beribadah, sangat berlebihan. Sementara Islam mengharuskan manusia untuk terjun ke dalam kehidupan sehari-hari. Kristen menganggap hukum hanya mengatur urusan ritual, sementara dalam Islam, hukum mengatur segala aspek kehidupan. Setelah menjelaskan dan mengkritik keenam sistem etika yang ada, Beekun lalu menjelaskan beberapa parameter kunci untuk sistem etika Islam[11], yaitu: 1. Perilaku dinilai etis bergantung pada niat baik masing-masing individu. 2. Niat yang baik harus diikuti oleh perbuatan yang baik. Niat baik tidak dapat mengubah perbuatan haram menjadi halal. 3. Islam memberikan kebebasan individu untuk mempercayai sesuatu atau berbuat sesuatu, selama tidak mengorbankan nilai tanggungjawab dan keadilan. 4. Harus ada kepercayaan bahwa Allah memberikan kepada individu pembebasan (freedom) yang komplit, dari sesuatu atau siapa pun selain Allah. 5. Keputusan mengenai keuntungan mayoritas atau minoritas tidak diperlukan. Sebab etika bukanlah permainan angka. 6. Islam menggunakan sistem pendekatan terbuka kepada etika, tidak tertutup, atau selforiented system. Tak ada egoisme dalam Islam. 7. Keputusan etis didasarkan pada pembacaan simultan antara Al-Qur`an dan alam semesta. 8. Islam mendorong tazkiyah (penyucian diri) di samping mendorong partisipasi aktif dalam kehidupan. b. Aksioma-Aksioma Filsafat Etika Islam Beekun, kemudian mengajukan lima kunci aksioma filsafat etika Islam, yaitu : (1) kesatuan (unity, tawhid), (2) keseimbangan (equalibrium, adl), (3) kehendak bebas (free will), (4) tanggungjawab (responsibility, mas`uliyah), (5) kebajikan (benevolence, ihsan).[12] Aksioma kesatuan, adalah dimensi vertikal dari Islam. Prinsip ini memandang bahwa aspek politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya, adalah satu kesatuan. Aplikasinya dalam bisnis, misalnya : tidak dibenarkan ada diskriminasi dalam mengatur karyawan, penjual, pembeli, dan seterusnya, baik atas dasar ras, jenis kelamin, atau agama. Aksioma keseimbangan, adalah dimensi horizontal dalam Islam. Prinsip ini menganggap bahwa berbagai aspek kehidupan manusia tersebut di atas, haruslah menghasilkan sistem sosial yang terbaik. Aplikasinya dalam bisnis, misalnya, tidak boleh melakukan penimbangan secara curang. Kehendak bebas (free will) maksudnya adalah manusia mempunyai kemampuan berbuat tanpa paksaan dari unsur eksternal, tetap dalam parameter penciptaan Allah dan adanya amanah Allah untuk mengelola bumi dengan baik. Aplikasinya dalam bisnis, misalnya, pelaku bisnis mempunyai kebebasan dalam menerima atau menolak suatu akad (kontrak). Tanggungjawab, adalah aksioma yang maknanya bahwa setiap manusia harus bertanggung

12

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

jawab terhadap segala perbuatannya.Aplikasinya dalam bisnis, misalnya, seorang pelaku bisnis tak dapat menyalahkan faktor tekanan bisnis yang membuatnya berbuat tidak etis, atau dengan dalih semua orang toh telah berbuat tidak etis. Kebajikan (ihsan) artinya suatu perilaku hendaknya mendatangkan kemaslahatan kepada pihak lain walaupun itu sebenarnya bukanlah suatu kewajiban yang harus dikerjakan. Aplikasinya dalam bisnis, misalnya, kalau seseorang meminjamkan uang kepada orang lain, dan orang lain itu tak mampu melunasinya, maka adalah suatu kebajikan kalau si pemberi pinjaman membebaskan hutangnya atas peminjam. Tingkatan Perilaku Sah dan Tak-Sah dalam Islam Beekun menjelaskan bahwa tingkatan (degrees) perilaku yang sah (lawful) dan tidak sah (unlawful) dalam Islam, mengikuti ketentuan hukum fiqh yang lima, yaitu : (1) Fardhu, adalah suatu perilaku yang harus dikerjakan setiap muslim. Misalnya zakat. (2) Mustahab, yang bukan merupakan keharusan tetapi dianjurkan untuk dikerjakan, misalnya sholat nawafil, (3) Mubah, yaitu kategori perilaku yang tidak dilarang juga tidak diperintahkan, misalnya memakan makanan tertentu yang halal, (4) Makruh, yaitu perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan walaupun masih ditolerir untuk dikerjakan, misalnya merokok., dan (5) Haram, yaitu perilaku yang tidak sah dan terlarang, seperti minum khamr, berzina, membunuh, dan sebagainya.[13] Pandangan dan Analisis Penulis Setelah menguraikan pemikiran Beekun di atas, penulis ingin memberikan beberapa komentar dan catatan sebagai berikut: 1. Keterbatasan Definisi Etika Bisnis Beekun Definisi etika bisnis yang disampaikan oleh Beekun, terkesan hanya membahas etika bisnis sebagai etika bisnis organisasi. Beekun menyatakan, bahwa simply limits its frame of reference to organizations. [14] (secara sederhana, [etika bisnis] membatasi kerangka pembahasannya pada organisasi-organisasi). Padahal, kegiatan bisnis itu pada faktanya dapat juga dijalankan oleh individu yang tidak tergabung dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Kenyataan di masyarakat sekitar kita, dengan mudah akan kita dapati satu individu yang melakukan aktivitas jual-beli, yaitu yang berperan sebagai penjual. Misalnya, seorang ibu yang sendirian berjualan gudeg. Apakah etika bisnis lalu tidak bisa diterapkan untuk penjual individual ini ? Namun demikian, pendapat Beekun yang membatasi etika bisnis hanya pada cakupan perusahaan itu dapat dipahami dan dimaklumi, karena Beekun tinggal dalam masyarakat kapitalis yang kegiatan bisnisnya didominasi oleh perusahaan-perusahaan (companies). Apalagi memang ada literatur yang menyebutkan definisi bisnis sebagai organisasi yang bergerak di bidang bisnis. Misalnya, Straub dan Attner (1994) yang mengatakan bisnis adalah organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.[15] Namun demikian, ada definisi lain dari bisnis, yang fokusnya bukan pada aspek organisasional, tapi lebih pada aspek kegiatan (operasional), misalnya Anoraga dan Soegiastuti (1996) yang mengatakan bahwa bisnis memiliki makna dasar sebagai the buying and selling of good and services. (seluruh aktivitas penjualan dan pembelian berbagai barang dan jasa).[16] Definisi lain menambahkan unsur uang, selain barang dan jasa sebagai objek bisnis. Skinner (1992) menyatakan, bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat.[17] Kedua definisi terakhir ini memfokuskan definisi bisnis pada aktivitasnya, bukan organisasinya sebagai entitas bisnis. Berdasarkan dua

12

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

definisi terakhir ini, maka bisnis sebenarnya bisa dilakukan baik oleh individu maupun oleh organisasi, selama aktivitasnya berkaitan dengan produksi barang dan jasa. 2. Hubungan Istilah Etika dengan Aspek Normatif Islam Beekun kurang mengelaborasi keterkaitan istilah etika dengan ajaran normatif Islam. Beekun hanya menyatakan bahwa within an Islamic context, the term most closely related to ethics in Qur`an is khuluq[18] (dalam konteks Islam, terminologi yang paling dekat hubungannya dengan etika, adalah akhlaq). Menurut penulis, elaborasi lebih jauh mengenai hubungan istilah etika dengan aspek normatif Islam, sangatlah penting. Sebab hal ini akan memudahkan kita untuk merumuskan definisi dan ruang lingkup etika bisnis Islami. Jika definisi dan ruang lingkup etika bisnis Islami sudah diketahui, maka kita akan mudah untuk mengeksplorasi dan menggali aspekaspek normatif Islam yang relevan dengan kandungan istilah etika bisnis Islami. Menurut penulis, ruang lingkup etika bisnis Islami jika dihubungkan dengan aspek normatif Islam, akan mencakup dua bidang. Pertama, akhlaq. Kedua, hukum-hukum muamalah yang objeknya adalah barang (as-silah) dan jasa (al-khidmah).[19] Akhlaq, pada dasarnya dapat dipahami dari dua segi, yaitu akhlaq sebagai suatu disiplin ilmu, dan akhlaq sebagai suatu keadaan jiwa (mental) yang merupakan induk bagi lahirnya segenap perbuatan manusia. Sebagai suatu disiplin ilmu, akhlaq menurut Ibrahim Anis et.al. (1972) akhlaq adalah suatu ilmu yang objeknya adalah hukum-hukum tentang nilai yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang diberi sifat (predikat) baik atau buruk.[20] Sebagai keadaan jiwa (mental), Ibrahim Anis et.al. (1972) mendefinisikan akhlaq sebagai suatu keadaan jiwa (mental) yang mendalam, yang darinya lahir perbuatan-perbuatan baik atau buruk tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan.[21] Berdasarkan pengertian akhlaq di atas, maka dapat kita masukkan aspek normatif akhlaq Islami ke dalam bisnis etika Islami. Yusuf Al-Qaradhawi (1997) misalnya memasukkan beberapa nilai akhlaq sebagai bagian dari etika bisnis Islami, seperti menepati amanah dan jujur.[22] Namun selain aspek normatif akhlaq, etika bisnis Islam juga mencakup hukum-hukum muamalah dalam syariah Islam. Mustaq Ahmad (2001), misalnya, dalam bukunya Etika Bisnis dalam Islam membahas bentuk-bentuk transaksi (seperti barter, tunai, kredit), syirkah, larangan riba, larangan penimbunan, larangan melambungkan harga, dan sebagainya.[23] 3. Etika Bisnis Tentang Format Perusahaan Islami (Syirkah Islamiyah) Ketika Beekun membatasi ruang lingkup etika bisnis hanya pada perilaku individu dalam sebuah perusahaan bisnis, menurut penulis seharusnya Beekun juga menyinggung bagaimana etika Islam mengenai perusahaan yang Islami (asy-syirkat al-islamiyyah). Namun nyatanya hal ini kurang mendapat perhatian Beekun. Beekun hanya menyoroti sektor-sektor yang menjadi bidang pekerjaan halal, seperti sektor pertanian, industri, profesional,[24] serta membahas perspektif Islam mengenai tanggung jawab sosial sebuah organisasi bisnis.[25] Padahal banyak intelektual dan ekonom muslim yang memberi perhatian khusus pada aspek bentuk perusahaan Islami ini. Misalnya saja Dr. Nejatullah Siddiqi dengan bukunya Partnership and Profit Sharing in Islamic Law (1996).[26] Ada juga karya Dr. Abdul Aziz AlKhayyath tentang hukum-hukum syirkah dalam dua bukunya yaitu Asy-Syirkat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Al-Qanun Al-Wadhi (1982)[27] dan Asy-Syirkat fi Dhau` Al-Islam (1989).[28] 4. Kritik Terhadap Sistem Etika Sekuler dan Sistem Etika Agama Lain

12

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

Penulis sepakat dengan Beekun yang melakukan kritik terlebih dahulu terhadap sistem etika lain, sebelum mengajukan sistem etika Islam. Hanya saja kritikan Beekun tersebut menurut penulis kurang fundamental dan kurang fokus. Kritik Beekun terhadap sistem etika dalam masyarakat Barat menurut penulis kurang fundamental, meskipun cukup memadai sebagai kritik awal. Menurut penulis, alangkah baiknya Beekun menguraikan lebih dahulu kerangka ideologi kapitalisme, yang kemudian digunakan sebagai acuan kritik untuk berbagai macam ide (seperti sistem etika) yang ada dalam ideologi kapitalisme.[29] Kita bisa mulai dengan mendefiniskan kapitalisme sebagai sistem ekonomi[30] atau sebagai sistem sosial menyeluruh[31], yang berpangkal pada paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan, fash al-din an al-hayah). Namun karena fenomena ekonomi ini sangat menonjol dalam peradaban Barat, maka, menurut Taqiyyudin An Nabhani (2001), kapitalisme kemudian digunakan juga untuk menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang menyeluruh. Lalu atas dasar kritik terhadap ide dasar kapitalisme, yaitu sekularisme, kita baru mengkritik berbagai sistem etika dalam masyarakat kapitalis yang sebenarnya hanyalah ide cabang dari sekularisme, dengan karakter utamanya pelepasan berbagai bidang kehidupan (termasuk bisnis) dari nilai-nilai agama.[32] Sedangkan kurang fokusnya kritik Beekun, nampak dari adanya kritik terhadap berbagai sistem etika yang ada, tanpa memfokuskan kritik pada salah satu sistem etika yang paling dominan dalam masyarakat Barat. Beekun telah mengkritik Relativisme, Utilitarianisme, Universalisme, Rights (Hak-Hak), Keadilan Distributif (Distributive Justice), dan Hukum Abadi (Eternal Law). Apakah semua sistem etika ini sama dominannya dalam masyarakat negaranegara Barat ? Padahal menurut M. Umer Chapra (1999), di antara sistem etika yang ada di Barat, utilitarianisme-lah yang paling kuat pengaruhnya pada masyarakat Barat selama dua abad terakhir, dan kemudian melalui Barat, utilitarianisme mempengaruhi bagian dunia lain.[33] Richard T. De George (1995) dalam bukunya Business Ethics juga hanya memfokuskan pada ide utilitarianisme ketika membicarakan etika bisnis Barat yang dominan.[34] Dalam bahasa An-Nabhani (2001), utilitarianisme ini disebutnya dengan istilah an-nafiyyah, yang telah menjadi standar perbuatan masyarakat kapitalis di negara-negara Barat.[35] Dengan demikian, menurut penulis, kritik terhadap sistem etika Barat lebih baik difokuskan pada utilitarianisme, sebab sistem etika inilah yang dominan dalam masyarakat Barat, dan juga masyarakat di Dunia Islam yang terpengaruh oleh Barat. 5. Aksioma Filsafat-Filsafat Etika Islam Beekun telah merumuskan lima aksioma dasar dalam filsafat etika Islam, yaitu (1) kesatuan (unity, tawhid), (2) keseimbangan (equalibrium, adl), (3) kehendak bebas (free will), (4) tanggungjawab (responsibility, mas`uliyah), (5) kebajikan (benevolence, ihsan). Meskipun Beekun juga menjelaskan bagaimana aplikasi konkretnya dalam dunia bisnis, tetapi bagi penulis, nampaknya agak sulit orang bisa memahami secara langsung aplikasi praktis dari term-term yang masih global dan filosofis tersebut. Apa yang tergambar dalam benak orang ketika kita katakan bahwa salah satu aksioma filsafat etika Islam, adalah kesatuan (unity, tawhid)? Dapatkah orang membayangkan secara langsung bahwa aplikasinya dalam bisnis adalah kita tidak dibenarkan melakukan diskriminasi dalam mengatur karyawan perusahaan, baik atas dasar ras, jenis kelamin, atau agama ?

12

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

Menurut penulis, lebih baik aksioma-aksioma tersebut dituangkan dan diformulasikan dalam bentuk kaidah-kaidah umum (al-qawaid al-kulliyah), berupa suatu kalimat (bukan satu kata) yang sebenarnya merupakan hukum syara hasil kajian dari berbagai dalil-dalil syari. Misalkan kaidah maa haruma akhdhuhu haruma itha`uhu (apa yang diharamkan mengambilnya, diharamkan memberikannya [kepada orang lain]). [36] Kaidah-kaidah umum ini menurut penulis di samping lebih mudah dipahami, juga lebih dekat kepada aspek operasionalnya dalam praktik-praktik bisnis sehari-hari. 6. Integrasi Etika dan Fiqih. Beekun terkesan memisahkan aspek etika dan fiqih, ketika Beekun meletakkan secara terpisah sub bab aksioma filsafat etika Islam dengan sub bab tingkatan perilaku yang sah dan sah dalam fiqih Islam. Menurut penulis, etika bisnis Islami basisnya adalah penilaian baik-buruknya suatu perbuatan manusia menurut perspektif Islam. Maka dari itu, menurut penulis, kita dapat langsung mengintegrasikan jadi tidak memisahkan-- masalah baikburuknya perilaku manusia dengan penilaian-penilaian fiqih, seperti terumuskan dalam kaidah : Al-hasanu maa hassanahu asy-syaru wa al-qabiihu maa qabbahahu asy-syaru Perbuatan terpuji (baik) adalah perbuatan yang terpuji menurut syariah, dan perbuatan tercela (buruk) adalah perbuatan yang tercela menurut syariah.[37] Dengan demikian, etika bisnis Islami tak dapat dilepaskan dari syariah. Sebab aktivitas bisnis adalah bagian dari keseluruhan perbuatan manusia, yang wajib berjalan sesuai syariah. Maka kriteria baik-buruk, benar-salah, dalam aktivitas bisnis seorang muslim, adalah syariah Islam semata, bukan yang lain. Dalam pengertian ini, maka perilaku bisnis yang baik adalah apa yang baik menurut syariah, yaitu yang tergolong pada hukum fardhu, mustahab, mubah, dan makruh, dengan berbagai gradasi kebaikannya. Sedang perilaku bisnis yang buruk, adalah yang masuk dalam kategori haram. Hal ini ditunjukkan dalam tabel berikut ini. No 1 2 3 4 5 Kategori Fiqh WAJIB MUSTAHAB MUBAH MAKRUH HARAM Kategori Etika Baik/Etis Sekali Baik/Etis Cukup Baik/Etis Kurang Baik/Etis Tidak Baik/Etis

Gambar 2. Hubungan Kategori Fiqh dengan Kategori Etis. Berdasarkan gambar di atas, kita dapat memahami bahwa etika dan fiqih sesungguhnya tak dapat dipisahkan satu sama lain. Penilaian etis dan tak-etisnya suatu perilaku, pada akhirnya akan berujung pada penilaian hukum syara terhadap perilaku tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Beirut : Darul Bayariq. Ahmad, Mustaq. 2001. Etika Bisnis dalam Islam (Business Ethics in Islam). Terjemahan oleh Samson Rahman. Cetakan I. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Etika Ir. Suprapto M.Si.

12

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

Al-Jurjani. Tanpa Tahun. At-Tarifaat. Jeddah : Al-Haramayn. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syirkat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Al-Qanun AlWadhi. Beirut : Mu`assah Ar-Risalah. ----------. 1989. Asy-Syirkat fi Dhau` Al-Islam. Amman : Darus Salam. Al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam (Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami). Terjemahan oleh Zainal Arifin & Dahlia Husin. Jakarta : Gema Insani Press. Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mujam Al-Wasith. Kairo : Tanpa Penerbit. An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Tanpa Penerbit. Audi, Robert. 2002. Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Yogyakarta : UII Press. Beekun, Rafik Issa. 1997. Islamic Business Ethics.. Herndorn : IIIT. Chapra, M. Umer. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Islam and The Economic Challenge). Terjemahan oleh Nur Hadi Ihsan & Rifqi Amar. Cetakan I. Surabaya : Risalah Gusti. De George, Richard T. 1995. Business Ethics. Fourth Edition. New Jersey : Prentice Hall. Ebenstein, W. 1990. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta : Erlangga. Hakim, Abdul Hamid. Tanpa Tahun. Mabadi` Awwaliyah. Jakarta : Saadiyah Putra. Siddiqi, Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Sonhadji & Soerojo. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa. Yusanto, Ismail & Karebet W. 2002. Menggagas Bisnis Islami. Cetakan I. Jakarta : Gema Insani Press. Winardi. 1990. Ilmu Ekonomi : Aspek-Aspek Sejarahnya. Bandung : Citra Aditya Bakti. Zallum, Abdul Qadim. 1985. Hizb Al-Tahrir. Tanpa Tempat Penerbit : Tanpa Penerbit.

12

10

Etika Ir. Suprapto M.Si.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana

Anda mungkin juga menyukai