Anda di halaman 1dari 83

LAPORAN TUTORIAL BLOK 10

Disusun Oleh: KELOMPOK VI Anggota Kelompok: Amelia Y.P. Azizha Ros Luthfa Carollius PP Desy Aryani Diva Zuniar Ritonga Kevin Putrawan Kiki Rizki Arinda Nyimas Inas Mellanisa Randa Deka Putra Randina Dwi Megasari Retno Anjasari Try Febriani Siregar Tutor: dr. Swanny PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2011 041110011 041110010 04111001120 041110010 04111001108 04111001105 041110010 041110010 04111001141 04111001120 04111001144 04111001086

KATA PENGANTAR
1

Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan tutorial skenario A blok 9 ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil yang didapat dari proses belajar tutorial, yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang terlibat dalam pembuatan laporan ini, mulai dari tutor pembimbing, anggota kelompok 11 tutorial, dan juga teman- teman lain yang sudah ikut membantu dalam menyelesaikan laporan ini. Tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................1
2

Kata Pengantar........................................................................................................2 Daftar Isi.................................................................................................................3 Hasil Tutorial dan Belajar Mandiri.........................................................................4 Klarifikasi Istilah....................................................................................................4 I. Skenario...................................................................................................4 II. Klarifikasi Istilah.....................................................................................5 III. Identifikasi Masalah............................................................................... 5 IV.Analisis Masalah.................................................................................... 6 V. Keterkaitan Antar Masalah................................................................... VI.Learning Issue....................................................................................... VII.Kerangka Konsep 30 31

............................................................................ 31

VIII.Sintesis................................................................................................ 32 IX.Kesimpulan.............................................................................................. 80 X.Daftar Pustaka............................................................................................ 81

I.

SKENARIO B BLOK 10 Nyonya A, 45 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan demam, sesak mafas dan

berat badan (BB) turun sejak 6 minggu yang lalu.Keluhan ini disertai mengigil,berkeringat dan anorexia yang terus memburuk. Ia juga merasa nyeri punggung yang menetap sejak 4 minggu yang sebelum masuk rumah sakit.Selama ini ia sudah sering mengeluh sesak nafas jika berjalan cukup jauh, tetapi sesak semakin lama semakin berat.Saat masuk rumah sakit BB telah turun 5 kg. Sewaktu kecil ia menderita rheumatic fever dengan gejala pembengkakan sendi dan demam dirawat di rumah selama 3 bulan Pemeriksaan fisik : Vital Sign : compos mentis, Nadi :90x/m, TD :130/80, suhu 39C Pemeriksaan spesifik : Kepala dan leher : normal Thorax perkusi : ukuran jantung normal Auskultasi : Murmur diastolik dengan nada rendah, pada dada kiri terdapat suara pembukaan katup mitral yang keras (loud opening snap) Pemeriksaan penunjang : Kultur darah : S.Viridans Echordiography : stenosis mitral (pada apex jantung)

II.

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Anorexia 2. Rheumatic fever

: Tidak ada/ hilangnya selera makan : penyakit demam yg terjadi sebagai lanjutan dari Infeksi keringat

3. Pembekakan Sendi

: Pembesaran sendi untuk sementara waktu Secara abnormal karena proliferasasi sel

4. Compos Mentis 5. Katup Mitral

: Sadar sepenuhnya : Katup yang memisahkan atrium kiri dan ventrikel kiri

6. Kultur darah

: Uji lab untuk memeriksa bakteri dalam sampel darah

7. S.Viridans

: Streptococcus golongan A hemolitik, merupakan flora normal di saluran nafas bagian atas dan traktus intestinalis

8. Loud opening snap

: Suara singkat dan tajam pada permukaan diastolik karena pembukaan katup ventrikuler

9. Edhocardiography

: perekaman posisi dan gerakan dinding jantung dari pancaran gelombang ultrasonik yang diarahkan lewat dinding thorax

10. Stenosis Mitral 11. Endokorditis

: Penyempitan pada katup mitral : Perubahan peradangan prolikeratik dan eksudatif pada endokardium
5

III. IDENTIFIKASI MASALAH 1. Nyonya A 45 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam,sesak nafas, berat badan turun disertai mengigil, berkeringat dan anorexia 2. Sejak 4 minggu sebelum masuk rumah sakit merasa nyeri punggung menetap 3. Ia sering sesak nafas jika berjalan cukup jauh 4. Saat masuk rumah sakit BB telah turun 5 Kg 5. Sewaktu kecil ia menderita Rheumatic fever dengan gejala pembekuan sendi dan demam sehingga harus dirawat dirumah selama 3 bulan 6. Nyonya A menderita Endokarditis 7. Pemeriksaan Fisik RR = 28x/menit T : 39 C 8. Pemeriksaan spesifik didapat Auskultasi murmur diastolik dengan nada rendah dan pada dada kiri terdapat Loud Opening Snab 9. Pemeriksaan penunjang Kultur darah didapat S.viridans, dan pada Echordiography Sterosis Mitral
6

IV.

ANALISIS MASALAH

1. Nyonya A 45 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam,sesak nafas, berat badan turun disertai mengigil, berkeringat dan anorexia ?
7

A. Bagaimana mekanisme anorexia? Anoreksia dapat dinyatakan sebagai penurunan asupan makanan yang terutama disebabkan oleh hilangnya nafsu makan. Terdapat dua jenis neuron di nukleus arkuatus yang sangat penting sebagai pengatur nafsu makan dan pengeluaran energi. 1 neuron proopiomelanokortin (POMC) yang memproduksi -melamocyte-stimulating hormon (-MSH) bersama dengan cocaine and amphetamine-related transcript (CART), dan 2. neuron yang memproduksi zat oreksigenik neuropeptida Y (NPY) dan agouti-related protein (AGRP) . Aktivasi neurin POMC akan mengurangi asupan makanan dan meningkatkan asupan makanan dan mengurangi pengeluaran energi; sedangkan aktivasi neuron NPY-AGRP akan meningkatkan asupan makan makanan dan pengeluaran energi. Neuron-neuron ini akan menjadi target utama bagi kerja hormon yang mengatur nafsu makan, meliputi leptin, insulin, kolesistokinin (CCK), dan ghrelin . Hormon dan neurotransmiter yang menurunkan nafsu makan di antaranya adalah -Melanocyte-stimulating hormon (-MSH), leptin, serotonin, norepinefrin, hormon pelepas-kortikotropim, insulin, Kolesistokinin (CCK), peptida miripglukagon(GLP), Cocaine-and amphetamine-regulated transcript (CART), Peptida YY (PYY) . Selain itu sitokin inflamasi juga dapat menyebabkan penurunan nafsu makan diantaranya adalah tumor necrosis factor-a, interleukin-6, interleukin-1B, dan suatu faktor pemicu proteolisis. Sebagian besar sitokin inflamasi ini diduga memerantarai anoreksia melalui aktivasi sistem melanokortin di hipotalamus. Neuron POMC melepaskan -MSH, yang kemudian bekerja pada reseptor melanokortin yang terutama ditemukan di neuron nukleus paraventrikular. Meskipun terdapat sedikitnya lima subtipe reseptor melanokortin (MCR), MCR-3 dan MCR-4 terutana penting dalam pengaturan asupan makanan dan keseimbangan energi. Aktivasi reseptor-reseptor tersebut akan mengurangi asupan makanan. Pengaruh aktivasi MCR untuk meningkatkan pengeluaran energi kelihatannya diperantarai, paling tidak sebagian, oleh aktivasi jaras saraf yang berjalan dari nukleus paraventrikel ke nukleus traktus solitarius dan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis. Beberpa penelitian menunjukkan bahwa aktivasi berlebihan pada sistem melanokortin dapat berperan pada timbulnya anoreksia yang terkait dengan infeksi berat dan tumor kanker.

B.Bagaimana mekanisme sesak nafas ? Chemoreceptor adalah reseptor yang terletak di badan carotid dan medulla. Reseptor ini distimulasi oleh hipoksemia, hipekapnea akut, dan acidemia. Mechanoreceptor terletak diparu-paru dan distimulasi oleh bronchospasm dan hiperinflasi. Metaboreceptors terletak diotot skelet. Reseptor ini teraktivasi oleh perubahan biokimia pada saat beraktivitas berat atau olahraga. Tiga reseptor ini menerima sinyal dari berbagai macam perubahan tubuh, lalu
8

teraktivasi dan menghantarkan sinyal tersebut ke sensory cortex. Proses ini dinamakan sebagai proses feedback. Dari sensory cortex sinyal akan dibawa ke pusat respirasi di medulla lalu ke dihantarkan ke otot ventilasi melalui motor neuron. Proses ini disebut feed forward.Error signal terjadi apabila reseptor terstimulasi tanpa adanya sinyal-sinyal yang sesungguhnya. Sehingga terjadi peningkatan atau penurunan ventilasi yang tidak seharusnya

C.Bagaimana Mekanisme Demam ? Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang masuk ke dalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali denganA

D.Bagaimana Mekanisme penurunan berat badan. Terdapat tiga mekanisme umum yang dapat menyebabkan penurunan berat badan, walaupun lebih dari satu mekanisme mungkin berperan pada pasien yang sama. Ketiga mekanisme tersebut adalah : 1. Asupan yang berkurang. Asupan yang berkurang sampai saat ini merupakan mekanisme yang paling umum dijumpai. Biasanya hal ini terjadi akibat hilangnya selera makan, namun dapat pula disebabkan obstruksi esofagus dan gaster akibat striktur, kompresi massa, atau keganasan yang berinfiltrasi. 2. * * Penggunaan energi yang meningkat. Gangguan endokrin. Penyebab tersering dari meningkatnya metabolisme (peningkatan Keganasan. Keganasan menyebabkan penurunan berat badan selain karena mengganggu

penggunaan energi) adalah hipertiroidisme dan feokromositoma. asupan makanan (dengan menurunkan nafsu makan), juga karena meningkatkan proses-proses metabolisme bahkan bila tidak disertai komplikasi anatomi, endokrin, ataupun metabolik. * Demam. Pada keadaan demam terjadi kenaikan tingkat metabolisme basal sebesar 7 persen tiap kenaikan satu derajat celcius. Selain itu, anoreksia, dehidarasi, dan peningkatan
9

katabolisme protein yang umumnya menyertai setiap penyakit dengan demam (misalnya infeksi, keganasan, stroke, dan gangguan metabolik) ikut berperan. 3. Kehilangan energi melalui feses atau urin.

Hilangnya energi yang dikonsumsi umumnya diakibatkan salah satu dari diabetes melitus (DM, melalui glukosuria) atau malabsorpsi intestinal (melalui steatore). Pankreatitis kronis merupakan penyebab utama dari steatore, namun malabsorpsi dapat pula terjadi pada limfoma intestinal, celiac sprue, tumor sel islet (seperti somatostatinoma atau gastrinoma), jejas radiasi, obstruksi traktus biliaris, inflammatory bowel disease, dan beberapa penyakit lain.

D.Bagaimana Mekanisme Mengigil Terletak pada bagian dorsomedial dari hipotalamus posterior dekat dengan dinding ventrikel ketiga adalah suatu area yang disebut pusat motorik primer untuk menggigil. Pusat ini teraktivasi saat suhu tubuh turun bahkan hanya beberapa derajat di bawah nilai suhu kritis. Pusat ini kemudian meneruskan sinyal yang menyebabkan menggigil melalui traktus billateral turun ke batang otak kemudian kedalam kolumna lateralis medulla spinalis dan akhirnya ke neuron-neuron motorik anterior. Sinyal ini tidak teratur dan menyebabkan gerakan otot yang sebenarnya. Sebaliknya sinyal tersebut meningkatkan tonus otot rangka diseluruh tubuh dengan meningkatkan akltivitas neuron-neuron motorik anterior. Ketika tonus ini meningkat diatas nilai kritis tertentu, proses menggigil dimulai. Menggigil merupakan kompensasi tubuh untuk meningkatkan suhu tubuh. Pada penderita malaria terjadi di fase awal demam yaitu stadium menggigil. Pada stadium itu hipothalamus menetapkan set point yang lebih tinggi dari suhu tubuh, untuk mencapai set point tersebut, tubuh melakukan proses yang dapat menghasilkan panas dan meningkatkan suhu tubuh yaitu menggigil.

E.Bagaimana Mekanisme Berkeringat ?

10

Berkeringat terjadi sebagai rangkaian respon tubuh terhadap pengaturan suhu. Pada skenario ny. A demam dan suhu tubuh meningkat pada pengaturan set-point demam sampai batas tertentu. Dalam hal ini terjadi refleks spinal setempat yang disebarkan dari reseptor kulit ke medula spinalis dan kembali ke area kulit yang sama dan kelenjar keringat. Hal ini akibat dari efek temperatur langsung setempat pada pembuluh darah. Sewaktu kecil ia menderita rheumatic fever dengan gejala pembengkakan sendi dan demam sehingga haris dirawat ( di rumah ) selama 3 bulan.

Bagaiman hubungan antara keluhan dan skenario?


Keluhan yang terjadi pada kasus merupakan manifestasi klinik yang terjadi akibat adanya reaksi autoimun terhadap infrksi streptokokus pyogenes sehingga menyebabkan demam reumatik. Auto imun salah melihat antara protein M yang dikeluarkan oleh Streptokus pyogenes dengan sel jantung sehingga auto imun juga ikut menyerang sel jantung sehingga sel jantung terjadi peradangan yang berakibat stenosis mitral. pada usia 45 tahun streptokukus viridans ikut menyerang sel jantung sehingga menyebabkan penyakit endokarditis

2. Sejak 4 minggu sebelum masuk rumah sakit merasa nyeri punggung menetap

a. Bagaimana mekanisme nyeri punggung menetap?

3. Ia sering sesak nafas jika berjalan cukup jauh

a. Mengapa Sesak Nafas sering terjadi di saat berjalan jauh ?

11

Apabila gangguan sudah mengenai katup jantung biasanya klien terlihat sesak, frekuensi nafas melebihi normal. Sesak nafas ini terjadi akibat pengeluaran tenaga yang berlebihan dan disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolic dan ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis.Hal ini terjadi karena kegagalan peningkatan curah darah ventrikel kiri pada waktu melakukan kegiatan fisik

4. Saat masuk rumah sakit BB telah turun 5 Kg

a. Bagaimana Inteptrasi penurunan BB 5 kg dalam 6 minggu pada nyonya A ? Idealnya penurunan berat badan per minggu 1-2 pon. Untuk jangka waktu 6 bulan, penurunan normalnya 10% dari berat badannya. Atau 2-4 kg per bulan.

5. Sewaktu kecil ia menderita Rheumatic fever dengan gejala pembekuan sendi dan demam sehingga harus dirawat dirumah selama 3 bulan a. Jelaskan Pathogenesis dari rheumatic fever ?
Dalam buku Harrison's Principle of Internal Medicine ed 17th terdapat 3 pathogenesis rheumatic fever, yaitu faktor organisme, faktor host, dan respons imun. Faktor organisme Berdasarkan bukti baru yang tersedia, rheumatic fever akut secara khusus disebabkan oleh infeksi traktus repiratori atas oleh streptokokus grup A. Saat ini, diduga bahwa strain apapun dari streptokokus grup 4 memiliki potensi menyebabkan Acute Rheumatic Fever. Potensi peran infeksi infeksi kulit dan infeksi dari streptokokus grup C dan G saat ini sedang diteliti. Saat ini terdapat postulat bahwa dibutuhkan beberapa infeksi streptokokus yang mendahului Acute Rheumatic Fever dibutuhkan untuk "mempersiapkan" sistem imun sebelum infekdi akhir yang secara langsung menyebabkan penyakit.

12

Faktor host Rata-rata 3-6 % dari populasi manapun mememiliki kemungkinan menderita Acute Rheumatic Fever, dan proporsi ini tidak memiliki perbedaan berarti antar populasi. Penemuan pada pengelompokan keluarga (familial clustering) kasus dan angka kejadian pada kembar monozigot-terutama untuk chorea-memastikan bahwa kerentanan terhadap Acute Rheumatic Fever adalah karakteristik yang diturunkan. Alele HLA kelas II khusus sepertinya memiliki hubungan yang kuat dengan kerentanan terhadap Acute Rheumatic Fever. Terdapat pula hubungan dengan tingginya level mannose-binding lecting dalam sirkulasi dan polimorfisme dari ppengubahan gen B1 faktor pertumbuhan dan gen imunoglobulin. Ekspresi tingkat tinggi dari alloantigen khusus terjadi pada sel B, D8-17, telah ditemukan pada pasien dengan sejarah Acute Rheumatic Fever pada banyak populasi, dengan level ekspresi menegah pada anggota keluarga tingkat pertama, menunjukkan bahwa ini mungkin merupakan tandan dari kerentanan yang diturunkan. Respon imun Saat host yang rentan bertemu dengan streptolokus grup A, sebuah reaksi autoimun terjadi, yang mengakibatkan kerusakan jaringan manusia sebagai hasil dari reaktivitas silang antara epitope pada organisme dan host. Epitope yang terdapat di dinding sel, membran sel, dan daerah pengulangan A,B, dan C dari protein M streptokokus secara imunologis serupa dengan molekul pada miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-acetylglucosamine. Tiruan molekuler ini merupakan dasar untuk respons autoimun yang menimbulkan Acute Rheumatic Fever. Telah ada hipotesis bahwa molekul manusiaterutama epitope pada miosin jantung-mengakibatkan sensitisasi T sel. T sel ini selanjutnya akan dipanggil kembali mengikuti paparan selanjutnya terhadap strepotokokus grup a dengan epitope yang serupa secara imunologis. Akan tetapi, reaktivitas silany miosin dengan protein M tidak menjelaskan kerusakan katup jantung yang merupakan ciri khas dari rheumatic carditis, karena miosin tidak terdapat pada jaringan katup jantung. Kemungkinan berhubungan dengan laminin, -helical coiled-coil protein like myosin dan M protein lainnya, yang ditemukan pada endothelium jantung, dan dikenali oleh anti-myosin, T sel antiM protein. Terlebih lagi, antibodi untuk jaringan katup jantung bereaksi silang dengan Nacetylglucosamine dari karbohidrat Streoptokokus grup , dan ada beberapat bukti bahwa antibodiantibodi ini kemungkinan bertanggung jawab akan kerusakan katup jantung.

b. Jelaskan morfology, sifat, klasifikasi, dari organisme penyebab rheumatic fever?


13

Morfologi dan identifikasi Kuman berbentuk bulat atau bulat telur, kadang menyerupai batang, tersusun berderet seperti rantai. Panjang rantai bervariasi dan sebagian besar ditentukan oleh faktor lingkungan. Rantai akan lebih panjang pada media cair dibanding pada media padat. Pada pertumbuhan tua atau kuman yang mati sifat gram positifnya akan hilang dan menjadi gram negatif Streptokokus terdiri dari kokus yang berdiameter 0,5-1 m. Dalam bentuk rantai yang khas, kokus agak memanjang pada arah sumbu rantai. Streptokokus patogen jika ditanam dalam perbenihan cair atau padat yang cocok sering membentuk rantai panjang yang terdiri dari 8 buah kokus atau lebih. Streptokokus yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah positif gram, tetapi varietas tertentu yang diasingkan dari tinja manusia dan jaringan binatang ada yang negatif gram. Pada perbenihan yang baru kuman ini positif gram, bila perbenihan telah berumur beberapa hari dapat berubah menjadi negatif gram. Tidak membentuk spora, kecuali beberapa strain yang hidupnya saprofitik. Geraknya negatif. Strain yang virulen membuat selubung yang mengandung hyaluronic acid dan M type specific protein. Sifat pertumbuhan Umumnya streptokokus bersifat anaerob fakultatif, hanya beberapa jenis yang bersifat anaerob obligat. Pada umumnya tekanan O2 harus dikurangi, kecuali untuk enterokokus. Pada perbenihan biasa, pertumbuhannya kurang subur jika ke dalamnya tidak ditambahkan darah atau serum. Kuman ini tumbuh baik pada pH 7,4-7,6, suhu optimum untuk pertumbuhan 37oC, pertumbuhannya cepat berkurang pada 40oC. Bacterial structure Fimbrae: attachment &adherence M protein: major virulence factor Hyaluronic acid capsule: prevents phagocytosis Lipotechoic acid:bind epitel cell Streptococcus hemolyticus meragi glukosa dengan membentuk asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhannya. Tumbuhnya akan subur bila diberi glukosa berlebih dan diberikan bahan yang dapat menetralkan asam laktat yang terbentuk. Streptococcus pyogenes mudah tumbuh dalam semua enriched media. Untuk isolasi primer harus dipakai media yang mengandung darah lengkap, serum atau transudat misalnya cairan asites atau pleura. Penambahan glukosa dalam konsentrasi 0,5% meningkatkan pertumbuhannya tetapi menyebabkan penurunan daya lisisnya terhadap sel darah merah. Dalam lempeng agar darah yang dieram pada 370C setelah 1824 jam akan membentuk koloni kecil ke abu-abuan dan agak opalesen, bentuknya bulat, pinggir rata, pada permukaan media, koloni tampak sebagai setitik cairan Streptokokus membentuk 2 macam koloni, mucoid dan glossy. Yang dahulu disebut matt, sebenarnya bentuk mucoid yang telah mengalami dehidrasi. Koloni berbentuk mucoid dibentuk oleh kuman yang berselubung asam hialuronat. Tes katalasa negatif untuk streptokokus, ini dapat membedakan dengan stafilokokus di mana tes katalase positif. Juga streptococcus hemolyticus grup A sensitif pada cakram basitrasin 0,2 g, sifat ini digunakan untuk membedakan dengan grup lainnya yang resisten terhadap basitrasin. Hanya jenis dari lancefield grup B dan D yang koloninya membentuk pigmen berwarna merah bata atau kuning. Berdasarkan sifat hemolitiknya pada lempeng agar darah, kuman ini dibagi dalam: a. hemolisis tipe alfa, membentuk warna kehijau-hijauan dan hemolisis sebagian di
14

sekeliling koloninya, bila disimpan dalam peti es zona yang paling luar akan berubah menjadi tidak berwarna. Alpha (a):hemolysis showing a greenish discoloration around the area surrounding the colony due to incomplete hemolysis of the red blood cells in the agar b. Hemolisis tipe beta, membentuk zona bening di sekeliling koloninya, tak ada sel darah merah yang masih utuh, zona tidak bertambah lebar setelah disimpan dalam peti es. Beta () a clear, colorless zone around the colony caused by complete hemolysis of the red blood cells in the agar c. Hemolisis tipe gamma, tidak menyebabkan hemolisis. Untuk membedakan hemolisis yang jelas sehingga mudah dibeda-bedakan maka dipergunakan darah kuda atau kelinci dan media tidak boleh mengandung glukosa. Streptokokus yang memberikan hemolisis tipe alfa juga disebut streptoccocus viridans. Yang memberikan hemolisis tipe beta disebut streptococcus hemolyticus dan tipe gamma sering disebut sebagai streptoccocus anhemolyticus. No hemolysis (gamma): colonies show no hemolysis or discoloration Patogenesis dan gambaran klinik Infeksi streptokokus timbulnya dapat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, antara lain sifat biologik kuman, cara host memberikan respons, dan port dentre kuman. Penyakit yang ditimbulkan oleh kuman streptokokus dapat dibagi dalam beberapa kategori, sbb : A. Pemyakit yang terjadi karena invasi Streptoccocus beta hemolyticus grup A Port dentree sangat mempengaruhi gambaran klinik. Pada setiap kasus dapat terjadi selulitis yang cepat meluas secara difus ke jaringan sekitarnya dan saluran getah bening, tetapi peradangan setempatnya sendiri hanya terjadi secara ringan. Dari saluran getah bening infeksinya cepat meluas ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteremia. Erisipelas Jika port dentree-nya kulit atau selaput lendir dapat terjadi erisipelas, suatu selulitis superfisialis dengan batas lesi yang tegas, endamatous, berwarna merah terang dan sangat nyeri. Penderita nampak sakit berat dengan demam tinggi. Pada pemeriksaan ditemukan lekositosis, lebih dari 15.000 lekosit. Titer ASO meningkat setelah 7-10 hari. Kuman tidak ditemukan dalam pembuluh darah, tetapi di dalam cairan getah bening dari pinggir lesi yang sedang meluas, terutama dalam jaringan subkutan. Pada penyakit ini dapat terjadi bakteremia yamg menyebabkan infeksi metastatik di lain organ. Dengan pemakaian antibiotika mortalitasnya dapat ditekan, tetapi pada bayi, orang tua yang debil dan pada penderita yang mendapat pengobatan dengan kortikosteroid, penyakit ini dapat berkembang demikian cepat sehingga berakibat fatal. Penyakit ini cenderung untuk kambuh di tempat yang sama, sehingga terjadi sumbatan pada saluran getah bening yang bersifat menahun. Kulit setempat tumbuh secara tidak teratur, sehingga terjadi elephantiasis nostras verrucosa. Jika lokalisasinya di bibir dapat terjadi macrocheilia, suatu pembengkakan bibir yang bersifat persiten. Erysipelas due to Streptococcus pyogenes Sepsis puerpuralis
15

Kuman streptokokus masuk ke dalam uterus sehabis persalinan. Septikimia terjadi karena luka yang terkena infeksi, yaitu berupa endometritis. Sepsis Sepsis terjadi karena luka bekas operasi atau karena trauma, terkena infeksi pleh kuman streptokokus. Ada yang menyebut penyakit ini sebagai surgical scarlet fever. B. Penyakit yang terjadi karena infeksi lokal Streptococcus beta hemolitikus grup A Radang tenggorok Suatu penyakit yang hampir semua orang pernah merasakannya. Disebabkan oleh streptococcus beta hemolyticus.pada bayi dan anak kecil timbul sebagai nasofaringitis subakut dengan sekret serosa dan sedikit demam; dan infeksinya cenderung meluas ke telinga tengah, prosesus mastoideus dan selaput otak. Kelenjar getah bening cervical biasanya membesar. Penyakitnya dapat berlangsung berminggu-minggu. Pada anak-anak yang lebih besar daripada orang dewasa, penyakitnya berlangsung lebih akut dengan nasofaringitis dan tonsilitis yang hebat, selaput lendir hiperemis dan membengkak dengan eksudat yang purulen. Kelenjar getah bening cervical membesar dan nyeri, biasanya disertai demam tinggi. Duapuluh persen dari infeksi ini tidak menimbulkan gejala (asimptomatik). Jika kuman dapat membuat dapat membuat toksin eritrogenik, dapat timbul scarlet fever rash. Pada scarlet fever rash kuman terdapat dalam faring, tetapi toksin eritrogenik yang dihasilkannya menyebabkan terjadinya kemerah-merahan yang difus. Eritema mulai timbul di leher, meluas ke tubuh, kemudian menyebar ke ekstremitas. Secara histopatologik terlihat adanya ekstravasasi lekosit polymorphonuclear dan sel sel darah merah dari pembuluh darah kecil ke dalam kulit. Zat anti eritrogenik dapat mencegah rash, tetapi tidak berpengaruh terhadap infeksi kuman streptokokus. Jika peradangannya hebat, dapat timbul abses peritonsiler atau Ludwigs angina, dengan pembengkakan masif di dasar mulut dapat menyumbat pernafasan. Dengan reaksi Schult-Charlton dapat dibuktikan apakah suatu rash terjadi karena toksin eritrogenik atau bukan. Infeksi kuman streptokokus pada traktus respiratorius bagian atas biasanya tidak mengenai paru-paru. Pneumonia karena streptococcus beta hemolyticus biasanya terjadi setelah infeksi virus, misalnya influenza atau morbili. Sandpaper-like in Scarlet fever Setrawberry tongue in scarlet fever Impetigo Pada impetigo lokalisasi infeksi sangat superfisial, dengan pembentukan vesicopustulae di bawah stratum korneum. Terutama terdapat pada anak kecil, penyebaran terjadi per continuitatum. Bagian kulit yang mengelupas diliputi oleh crusta yang berwarna kuning madu. Penyakit ini sangat menular pada anak-anak dan biasanya disebabkan oleh streptokokus dan bermacam-macam stefilokokus. Infeksi kuman streptokokus tipe 49 dan 57 pada kulit sering menyebabkan timbulnya nephritis post streptococcalis.

c. Bagaimana Tatalaksana Rheumatic fever ?


16

Pasien dengan kemungkinan ARF harus selalu diawasi dengan ketat untuk memastikan diagnosis, tangani kegagalan jantung dan gejala lain, dan lakukan tindakan pencegahan. Echocardiography sebaiknya dilakukan pada setiap kasus yang memungkinkan untuk membantu menegakan diagnosis dan untuk menentukan tingkat keparahan dari carditis. Beberapa tes lain perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis. Belum ada tindakan untuk Acute Rheumatic Fever yang telah terbukti dapat mengubah

perkembangan ataupun peningkatan keparahan dari Rheumatic Heart Disease. Selain penanganan untuk kegagalan jantung, tindakan untuk Acute Rheumatic Fever adalah symtomatic. Beberapa perawatan yang dapat diberikan antara lain: ANTIBIOTIK Semua pasien Acute Rheumatic Fever harus menerima antibiotik yang cukup untuk menangani penyebab infeksi strptokokus grup A. Penisilin merupakan obat pilihan (drug of choice) dan bisa diberikan secara oral (sebagai contoh, penisilin, 500 mg PO dua kali sehari selama 10 hari) atau sebagai dosis single dari 1.2 juta unit IM benzathiene penisilin G. Erythromycin, 250 mg bid, dapat digunakan untuk pasien dengan alergi penisilin. Karena profilaksis sekunder jangka panjang akan dibutuhkan-dan penisilin adalah obat pilihan untuk ini-alergi penisilin harus dikonfirmasi, dam akan lebih baik bila dikonfirmasi dengan allergist.

SALISILATE DAN NSAIDS Ini dapat digunakan untuk penanganan arthritis, arthralgia, dan demam, ketika diagnosis telah pasti. Obat ini tidak memiliki fungsi untuk carditis maupun chorea. Aspirin merupakan obat pilihan. Dosis awal 80-100 mg/kg per hari pada anak-anak (4-8 g/hari untuk dewasa) dalam 4-5 dosis terbagi dibutuhkan untuk beberapa hari pertama hingga 2 minggu. Dosis yang lebih rendah dapat digunakan bila muncul gejala toksisitas salisilate. Ketika gejala akut mereda, dosis dapat dikurangi hingga 60-70 mg/kg per hari untuk 2-4 minggu selanjutnya. Demam, gejala pada sendi, dan peningkatan reaktan fase akut bisa terjadi hingga 3 minggu setelah obat dihentikan. Ini bukan berarti terjadi recurrence dan dapat di tangani dengan pemberian salisilate untuk periode yang singkat. Walaupun kurang diteliti, naproxen dengan dosis 10-20 mg/kg per hari telah dilaporkan memberikan respons symptomatic yang baik.

GAGAL JANTUNG CONGESTIVE 17

Banyak dokter menangani kasus carditis parah (yang menyebabkan gagal jantung) dengan glukokortikoid dengan harapan bahwa mereka dapat mengurangi peradangan akut dan penyelesaian yang cepat. Akan tetapi, potensi ini disertai dengan resiko terjadinya perdarahan gastrointestinal dan retensi cairan. Jika didigunakan, prednisone atau prednisolone direkomendasikan pada dosis 1-2 mg/kg per hari (maksimum 80 mg). Methylprednisolone intravena dapat digunakan pada carditis yang sangat parag. Glukokortikoid seringkali hanya dibutuhkan untuk beberapa hari atau hingga maksimum 3 minggu.

BED REST Bed rest dianjurkan untuk dilakukan pada saat muncul arthritis dan arthralgia, dan pada pasien dengan gagal jantung. Ketika gejala telah terkontrol dengan baik, mobilisasi gradual dapat dilakukan secukupnya.

6. Nyonya A menderita Endokarditis

A. Jelaskan Etiology, Morfology penyakit endokorditis? Etiologi Endokarditis a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. Streptococcus dan staphyloccus merupakan penyebab lebih dari 80% kasus. Pada pasien pecandu obat-obatan yang menyuntik melalui intravena dan pasen dengan katup buatan/katup yang telah cacat, insidennya lebih tinggi. Streptococcus viridans alpha hemolytic merupakan organisme yang paling sering dan disusul dengan staphylococcus coagulase positiv. Golongan jamur yang tersering ialah candida dan aspergillus. Streptococcus viridan merupakan normal flora pada oropharynx dan ini peka terhadap penicilin. Enterococcus dan group A beta streptococcus hemolitikus, staphilococcus sering menyerang katup jantung yang normal dan menyebabkan kerusakan yang cepat. Pada staphylococcus sring diikuti dengan infeksi pada organ yang lain. Masuknya kuman tersebut dapat melalui oropharynx, kulit, saluran kencing, penyalahgunaan obat melalui parental nasokomial. Morfology : S.Viridans meliputi S.mitis,S.Mutans, S.salivarus, dan S.sanguinis. Kokus ini berbentuk tunggal, bulat telur dan tersusun dalam bentuk rantai. Anggota-anggota yang sering tampak sebagai diplococcus. Panjang rantai sangat bervariasi dan sebagian besar ditentukan oleh faktor lingkungan. Streptococcus bersifat gram positif. Ciri khas organisme ini adalah sifat alfa Hemolitik.pertumbuhanya tidak dihambat oleh optoin, dan
18

koloninya tidak larut dalam empedu.Streptococcus viridans merupakan anggota flora normal yang paling banyakditemukan di saluran nafas atas dan penting untuk menjaga kesehatan membran mukosanya. Organisme ini dapat masuk ke peredaran darah karena trauma dan menjadi penyebab utama penyakit endokarditis pada katup jantung yang abnormal.

B. Apa saja faktor resiko penyakit endokarditis? (hubungan dengan umur, kelamin, aktivitas) Usia lansia memiliki kemungkinan besar terkena endokarditis berkenaan dengan kalsifikasi dan sklerosis pada jaringan katup jantung pada usia tua.

C.Apa hubungan penyakit sekarang dengan riwayat penyakit sebelumnya? Demam rematik dapat menyebabkan endokarditis pada pasien yang mempunyai riwayat demam rematik. Hal ini disebabkan karena katup jantung menjadi fibrosis dan dapat menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan berat. Demam rematik dapat mengakibatkan gejala sisa jika terjadi pada jantung sebagai akibat berat ringannya karditis selama serangan akut demam rematik

D .Bagaimana mengidentifikasi endokarditis? (tanda-tanda gejala, pemeriksaan fisik)

Pada anamnesis sangat diperhatikan: a. Keluhan utama : sesak napas, demam dan berat badan turun. b. Keluhan lain : napsu makan menurun (anorexia), menggigil dan berkeringat, sakit dada, nyeri sendi dan punggung, mudah lelah. c. Mempunyai riwayat demam rematik, keturunan penyakit jantung, pernah operasi jantung, by-pass. d. Kesadaran pasien compos mentis

19

e. Aktivitas gejala: kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga tidak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/aktivitas. Higiene: kesulitan melakukan tugas perwatan diri. Pemeriksaan fisik : a. Demam (T 37,5C) b. Frekuensi pernapasan melebihi normal c. Denyut nadi perifer melemah d. Terdapat murmur e. Adanya pembesaran jantung pada sebagian kasus f. Pada batas jantung terjadi pergeseran untuk kasus lanjut pembesaran jantung g. Pada sebagian penderita ditemukan pembesaran hati dan limpa Pemeriksaan penunjang : 1. 2. 3. 4. 5. 6. EKG menunjukkan adanya iskemia, hipertropi, blok konduksi, disritmia (elevasi ST), PR depresi Echocardiografi: adanya efusi perikardial, hipertropi perikardial, disfungsi katub, dilatasi atrium Enzim jantung: peningkatan CPK, tapi MB inzuenzim tidak ada Rontgen: terlihat pembesaran jantung, infiltrat pulmonal Kultur darah : untuk mengisolasi penyebab bakteri , virus dan jamur BUN: mengevaluasi uremia (kemungkinan faktor pencetus)

E. Bagaimana Prognosis Endokarditis? Endokarditis mempunyai prognosis yang buruk bila: Bakteri penyebab non streptokokkus Berkembang menjadi payah jantung Berkenanya katup aorta
20

Infeksi pada katup tiruan Usia tua Terjadi abscess pada miocard Dengan angka kematian berkisar 20-40%. Komplikasi endokarditis bakterialis ke system saraf akan lebih memperburuk prognosisnya, dengan angka kematiannya (41-86%). Perdarahan otak, infark otak sering sebagai penyebab kematian. F. Bagaimana penatalaksanaan penyakit endokarditis? Penatalaksanaan Penatalaksanaan Endokarditis biasanya berdasarkan terapi empiris dilakukan selagi menunggu hasil kultur. Pemilihan antibiotika pada terapi empiris ini dengan melihat kondisi pasien dalam keadaan akut atau subakut. Sebaiknya, antibiotika yang diberikan berdasarkan pola kuman dan resistensi obat pada daerah tertentu yang evidence based. Faktor yang juga perlu dipertimbangkan adalah:

Riwayat penggunaan antibiotika sebelumnya Resistensi obat Infeksi di organ lain Terapi ini biasanya hanya diperlukan beberapa hari sambil menunggu tes sensitivitas yang akan menentukan modifikasi terapi. Pada Nyonya A yang didiagnosis mengalami endokarditis subakut karena bakteri Streptococcus viridian regimen terapi yang harus dipilih harus dapat membasmi streptococcus termasuk E. faecalis. Pedoman untuk memudahkan dalam penatalaksanaan Endokarditis adalah American Heart Association (AHA) dan Europan Society of Cardiology (ESC). Pada dasarnya prinsip yang digunakan hamper sama, yaitu terapi kombinasi penisilin ditambah aminoglikosida membasmi kuan lebih cepat daripada penisilin saja. Terapi antibiotika diberikan secara maksimal dan tidak boleh dengan regimen terapi jangka pendek. Terapi Endokarditis yang Disebabkan Streptococci Viridans dan Streptococcus Bovis
21

Regimen

Dosis dan Cara

Lama Minggu

Kekuatan Rekomendasi

High Penicillin Susceptible Aqueous crystalline Penicillin G sodium Atau Ceftriaxone sodium Aqueous crystalline Penicillin G sodium Atau Ceftriaxone sodium Ditambah Gentamisin sulfat 3 mg/kg per 24 jam IV/IM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama Vankomisin 30 mg/kg 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 gr/24 jam Relatively Resistant to Penicillin Aqueous crystalline Penicillin G sodium Atau Ceftriaxone sodium Ditambah Gentamisin Sulfat 3 mg/kg per 24 jam IV/IM daam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama Vankomisin 30 mg/kg per 24 jam IV dalam 2 dosisb terbagi tidak lebih dari 2 gr/24 jam 4 IB 2 2 gr/24 jam IV/IM dalam 1 dosis 4 IB 24 juta U/24 jam IV secara kontinyus Atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama 4 IB 4 IB 2 2 gr/24 jam IV/IM dalam 1 dosis 2 IB 2 gr/24 jam IV/IM dalam satu dosis 12-18 juta U/24 jam IV secara kontinyus Atau dalam 6 dosis terbagi sama 4 2 IA IB 12-18 juta U/24 jam IV secara kontinyus Atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama 4 IA

G. Bagaimana pencegahan Endokarditis?

22

Beberapa kondisi jantung dikaitkan dengan resiko endokarditis lebih besar dari populasi normal. Kondisi ini dikelompokkan pada 3 kategori: resiko tinggi, resiko sedang, resiko rendah/tanpa resiko. Target primer pencegahan pada prosedur yang melibatkan rongga mulut, saluran pernafasan atau esophagus adalah streptococcus viridians, yang merupakan penyebab sering katup asli dan katup jantung prostetik onset akhir. Prosedur yang melibatkan traktus genitourinaria dan gastrointestinal sering mendahului berkembangnya endokarditis enterokokkal sehingga target kumannya adalah enterokokkus. Jika dilakukan insisi dan drainage kulit dan jaringan lunak yang terinfeksi, profilaksis difokuska pada S. aureus. Prosedur dianjurkan pada semua pasien dengan resiko yang menjalani prosedur gigi yang menyebabkan pendarahan, namun ekstraksi merupakan resiko yang paling kuat terjadinya Endokarditis. Profilaksis tidak rutin direkomendasikan pada prosedur endoskopi dengan atau tanpa biopsy, karena kejadian Endokarditis jarang dilaporkan. Profilaksis tidak direkomendasikan secara rutin pada katerisasi jantung atau TEE. Regimen Profilaksis Terhadap Endokarditis; Digunakan pada prosedur gigi, Oral, dan Traktus Respiratorius Atas Setting Regimen Standar Regimen Amoksisilin 3 gr per oral 1 jam sebelum prosedur, kemudian 1,5 gr 6 jam setelah dosis inisial Pasien Alergi penisilin / amoksisilin Eritromisin etilsuksinat 800 mg atau eritromisin stearat 1 gr, peroral 2 jam sebelum prosedur, kemudian setengah dosis 6 jam setelah dosis inisial Pasien tidak bisa mendapat terapi oral Ampisilin 2 gr IM/IV 30 menit sebelum prosedur kemudian ampisilin 1 gr IM/IV atau amoksisilin 1,5 gr peroral 6 jam setelah dosis inisial Pasien alergi Penisilin / amoksisilin/ Ampisilin tak bisa mendapat terapi oral Pasien dianggap sebagai resiko sangat tinggi dan bukan kandidat untuk regimen standar Pasien dianggap resiko sangat tinggi alergi penisilin / amoksisilin / ampisilin Klindamisin 300 mg IV 30 menit sebelum prosedur kemudian 150 mg 6 jam setelah dosis inisial Gunakan regimen standar untuk perosedur genitourinary dan gastrointestinal Gunakan regimen untuk pasien alergi yang menjalani prosedur genitourinary dan gastrointestinal

23

Regimen Profilaksis Terhadap Endokarditis; Digunakan pada Prosedur Gastrointestinal dan Genitourinari (Kecuali Esofagus) Setting Pasien resiko tinggi Antibiotik Ampisillin plus Gentamisin Regimen Ampisilin 2 gr IV/IM plus gentamisin 1,5 mg/kg dalam 30 menit prosedur, ulangi ampisilin 1 gr IV/IM atau dberikan amoksisilin 1 gr peroral 6 jam kemudian Pasien resiko tinggi, alergi penicillin Vankomisin plus Gentamisin Vankomisin 1 gr IV diinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 menit prosedur plus gentamisin 1,5 mg/kg IM/IV. Tidak direkomendasikan dosis kedua Pasien resiko sedang Amoksisilin atau Ampisilin Amoksisilin 2 gr peroral 1 jam sebelum prosedur atau ampisilin 2 gr IM/IV 30 menit sebelum prosedur Pasien alergi penicillin, resiko sedang Vankomisin Vankomisin 1 gr IV diinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 menit prosedur

7. Pemeriksaan Fisik RR = 28x/menit T : 39 C a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik ? Murmur (bising) diastolik adalah bunyi jantung abnormal yang terjadi pada fase diastolik yaitu antara bunyi jantung kedua dan pertama (lub-dup-murmur, lub-dupmurmur). Suara murmur dibagi menjadi murmur stenotik (bersiul) dan murmur insufisiensi (berdesis) Posisi murmur diastolik:

LUSB (Left Upper Sternal Border) Insufficiency pulmoner LLSB (Left Lower Sternal Border) Stenosis tricuspis
24

Apex Stenosis mitral Spasium Intercostal 3 / LSB (Lower Sternal Border) Insufficiency aorta

Pada kasus ini, Ny.A menderita murmur diastolik dengan stenosis mitral yang menandakan bahwa katup yang seharusnya terbuka sewaktu diastol (katup AV/mitral) tidak membuka secara sempurna. Karena katup mitral mengalami stenosis (menyempit dan tidak membuka sempurna) maka darah harus dipaksa melewati lubang yg menyempit dengan kecepatan sangat tinggi sehingga terjadi turbulensi yang menimbulkan suara siulan abnormal. Loud opening snap merupakan bunyi yang terdengar keras akibat pembukaan katup mitral yang kaku. 8. Pemeriksaan spesifik didapat Auskultasi murmur diastolik dengan nada rendah dan pada dada kiri terdapat Loud Opening Snab a. Bagaimana pemeriksaan spesifik ? Pemeriksaan spesifik Kepala : untuk mendeteksi ada atau tidak tanda dan gejala yang menyertai dari penyakit yang dicurigai. Misalnya anemia atau tidak, ada kelumpuhan nervus VII atau tidak Leher : untuk mendeteksi keadaaan aktifitas vena jugularis , kelenjar tiroid , dan kelenjar limfe Perkusi : untuk mendeteksi ukuran jantung, apakah ada pembesaran jantung atau tidak Auskultasi : untuk mendeteksi adanya murmur jantung atau tidak dan untuk mendetksi kelainan lokalisasi kelainan katup pada jantung.

B. Bagaimana mekanisme murmur diastolik? Bakteri memiliki kesamaan struktur polysakarida dinding selnya dengan glikoprotein katup jantung. Hal ini memicu terjadinya reaksi autoimun ditandai peningkatan serum antibodi anti otot jantung pada penderita. Lalu invasi bakteri menimbulkan lesi yang bersifat progresif dan terjadi peradangan yang aktif. Timbul
25

suatu vegetasi yang terdiri dari fibrin, trombosit dan bakteri yang melekat di daun katup jantung. Katup jantung menebal disebabkan edema dan infiltrasi pembuluh darah. Kemudian proses buka tutup katup jantung terganggu yang mengakibatkan tidak membukanya katup mitral secara sempurna pada saat diastolik. Sehingga saat auskultasi jantung dapat terdengar suara bising jantung (mur-mur).

8. Pemeriksaan penunjang Kultur darah didapat S.viridans, dan pada Echordiography Sterosis Mitral

a. Bagaimana Mekanisme Stenosis Mitral ? b. Apa penyebab Stenosis Mitral pada kasus ini ? Penyebab stenosis mitral adalah demam reumatik yang terinfeksi streptokokus yg menyebabkan peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup.Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi kmisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apartus mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan atau lubang kancing.

Demam reumatic menyababkan daun katup menebal secara difusi oleh jaringan fibrosa.Komisura mitral bergabung, korda tendinea menyatu dan menjadi pendek, mangkok katup menjadi kaku, dan perubahan ini selanjutnya, mengakibatkan penyempitan pada apeks katup yang berbentuk
26

corong. Katup mitral yang mengalami stenosis menyebabkan daun katup tidak bergerak dan selanjutnya berakibat penyempitan orifisium c.Mengapa stenosis terjadi di katup mitral? Disebabkan reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, klasifikasi, fusi komisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal. Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.

d.Jelaskan morfologi, sifat, patogenesis dan klasifikasi dari bakteri S. viridans? Morfologi Kokkus berbentuk tunggal bulat telur dan tersusun dalam bentuk rantai khas. Selain itu, juga S. Viridans tidak memiliki antigen lancefield. Sifat Sifat hemolitiknya tergolong -hemolytic yaitu membentuk pigmen kehijauan dan hemolisis sebagian dari sel darah merah. Streptokokkus juga bersifat fakultatif anaerob. Sebenarnya S. Viridans merupakan flora normal traktus respiratorius atas namun dalam kondisi tertentu dapat menginvasi ke pembuluh darah dan menyebabkan subakut endokarditis. Patogenesis S. viridans mampu menghasilkan enzim maupun toksin yang menjadi faktor patogenitasnya, yaitu: Streptolisin O dan S o adalah toksin yang merupakan dasar sifat beta-hemolisis organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang berpotensi memengaruhi banyak tipe sel termasuk neutrofil, platelet, dan organella subsel. Menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya; antistreptolisin O (ASO) bisa digunakan secara

27

klinis untuk menegaskan infeksi yang baru saja. Streptolisin O bersifat meracuni jantung (kardiotoksik).
Eksotoksin Streptococcus pyogenes A dan C

o Keduanya adalah

superantigen

yang disekresi oleh sejumlah strain

Streptococcus pyogenes. Eksotoksin pyogenes itu bertanggung jawab untuk ruam penyakit jengkering dan sejumlah gejala sindrom syok toksik streptococcus.
Streptokinase

o Secara enzimatis mengaktifkan plasminogen, enzim proteolitik, menjadi plasmin yang akhirnya mencerna fibrin dan protein lain.
Hialuronidase

o Banyak dianggap memfasilitasi penyebaran bakteri melalui jaringan dengan memecah asam hialuronat, komponen penting jaringan konektif. Namun, sedikit isolasi Streptococcus pyogenes yang bisa mensekresi hialuronidase aktif akibat mutasi pada gen yang mengkodekan enzim. Apalagi, isolasi yang sedikit yang bisa mensekresi hialuronidase tak nampak memerlukannya untuk menyebar melalui jaringan atau menyebabkan lesi kulit. Sehingga, jika ada, peran hialuronidase yang sesungguhnya dalam patogenesis tetap tak diketahui. Streptodornase o Kebanyakan strain Streptococcus pyogenes mensekresikan lebih dari 4 DNase yang berbeda, yang kadang-kadang disebut streptodornase. DNase melindungi bakteri dari terjaring di perangkap ekstraseluler neutrofil (NET) dengan mencerna jala NET di DNA, yang diikat pula serin protease neutrofil yang bisa membunuh bakteri.
C5a peptidase

o C5a peptidase membelah kemotaksin neutrofil kuat yang disebut C5a, yang diproduksi oleh sistem komplemen. C5a peptidase diperlukan untuk meminimalisasi aliran neutrofil di awal infeksi karena bakteri berusaha mengkolonisasi jaringan inang. Organisme ini yang paling melimpah di mulut, dan salah satu anggota kelompok adalah etiologi agen karies gigi. Hal ini dikarenakan bakteri ini mengubah semua makanan menjadi asam. Bakteri, asam, sisa makanan, dan ludah bergabung membentuk bahan
28

lengket yang disebut plak, yang menempel pada gigi. Plak paling banyak ditemukan di gigi geraham belakang. Jika bakteri ini juga masuk ke dalam pulpa maka pulpa akan mati. Pada saat ini tidak akan terasa nyeri. Tetapi beberapa lama kemudian jika dipakai untuk menggigit atau jika lidah maupun jari tangan menekan gigi yang terkena, maka gigi ini akan menjadi peka karena peradangan dan infeksi telah menyebar keluar dari ujung akar dan menyebabkan abses. Memiliki potensi menyebabkan endokarditis , terutama pada individu dengan kerusakan katup jantung. Mereka adalah penyebab paling umum dari bakteri endokarditis subakut. Orang dengan murmur jantung (menunjukkan turbulensi di istirahat curah jantung), kelainan jantung diketahui, atau riwayat demam rematik atau demam berdarah telah diselenggarakan untuk menjadi lebih rentan untuk mengembangkan endokarditis infektif , dan telah diperlakukan terhadap kemungkinan ini dengan dosis bolus dari antibiotik (misalnya amoksisilin 3 gram) sesaat sebelum gigi. Klasifikasi Kingdom Phylum Kelas Order Family Genus Species : : : : : : : bakteri Firmicutes Basil Lactobacillales Streptococcacea Streptokokus Viridans

V.

HIPOTESIS Ny. A, 45 tahun, menderita endokarditis karena infeksi bakteri S. viridans. VI. Keterkaitan Antar Masalah

Rheumatic Fever waktu kecil (tidak diobati)

29

6 Minggu lalu sesak nafas, BB turun, Mengigil, Berkeringat dan Anorexia

4 Minggu yang lalu nyeri menetap punggung

Masuk Rumah Sakit dengan utama demam keluhan

(+) S.viridans

30

Endokarditis

31

VII. KERANGKA KONSEP


Infeksi S pyogenes

Reaksi autoimun

Reaksi silang

Demam rematik

Trauma oral atau T.respiratorius atas

Stenosis mitral

Infeksi S viridans

Sesak napas

endokarditis

bakteriemi

Demam, menggigil, berkeringat

Nyeri punggung, nyeri sendi

Anoreksia, BB turun

32

VIII. LEARNING OBJECTIVE Pokok Bahasan Endokarditis What I Know Definisi What I don`t Know Patologi, manifestasi klinik, diagnosis Patologi, manifestasi klinik, diagnosis Morfologi, sifat patogenesis, klasifikasi How I will learn IPD UI, Patofisiologi Price& Wilson, pdf, dll IPD UI, Patofisiologi Price& Wilson, pdf, dll IPD UI, Patofisiologi Price& Wilson, pdf, dll

Rheumatic fever

Definisi

Streptococcus viridans

Definisi

IX.SINTESIS
1. Streptokokus: imunitas, pengobatan, epidemiologi, pencegahan, pengendalian 33

Imunitas Resistesi terhadap penyakit streptokokus bersifat spesifik untuk setiap tipe ( Type-Spesific). Karena itu, penjamu yang telah sembuh dari infeksi akibat salah satu streptokokus grup A tipe M relatif tidak rentan terhadap infeksi olehtipe yang sama tetapu sangat rentan terhadap infeksi denagn tipe M lainnya. Antibodi yang spesifik untuk tipe anti-M daoat ditemukan dengan tes yang memanfaatkanfakta bahwa streptokokus segera mati dengan proses fagositosis, tetapi dengan adanya antibodi spesifik-tipe terhadap protein M, streptokokus dibunuh oleh leukosit manusia. Antibodi untuk streptolisin O (antistreptolisisn O, ASO) terbentuk setelah infeksi; antibodi ini menghambat hemolisis oleh streptolisin O tetapi tidak menunjukkan imunitas. Titer yang tinggi (>250 unit) menandakan infeksi yang baru saja terjadi atau infeksi ulang dan lebih sering ditemukan pada penderita rematik daripada penderita infeksi streptokokus tanpa komplikasi.

Pengobatan Semua strptokokus -hemolitik grup A sensitif terhadap penisilin-G, dan paling sensitif terhadap eritromisin. Beberapa diantaranya resistan terhadap tetrasiklin. Sensitifitas streptokokus -hemolitik dan enterokokus terhadap obat antimikroba bervariasi. Khususnya pada endokarditis bakterial, tes sensitivitas antibiotik berguna untuk menentukan obat obat yang dapat digunakan agar pengobatan optimal. Aminoglikakosida sering meningkatkan daya bakterisidal penisilin terhadap streptokokus, terutama enterokokus. Obat antimikroba tidak memberikan efek pada glumerulonefritis dan demam rematik yang telah terjadi. Namun, pada infeksi streptokokus akut, setiap upaya harus dilakukan untuk segera memberantas stretokokus dari pasien, menghilangkan rangsangan antigenik (sebelum hari ke-8) sehingga dapat mencegah penyakit pascastreptokokus. Dosis penisilin dan eritromisin yang menghasilkan kadar efektif di jaringan selama 10 hari biasanya dapat memberantas streptokokus. Obat antimikrobakteria juga sangat bermanfaat mencegah infeksi ulang oleh streptokokus -hemolitik grup A pada penderita demam rematik.

Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian

34

Berbagai streptokokus merupakan flora normal pada tubuh manusia. Bakteri-bakteri ini menyebabkan penyakit hanya bila berada di bagian tubuh yang tidak didiami bakteri-bakteri ini. Untuk mencegah kadaan tersebut, obat antimikroba sering diberikan untuk profilaksis. Sumber utama streptokokus grup A adalah orang yang memiliki banyak organisme ini. Individu dapat mengalami infeksi klinis atau subklinis atau dapat menjadi carrier yang menularkan streptokokus secara langsung kepada orang lain melalui droplets. Sekret hidung dari orang yang membawa streptokokus -hemolitik adalah sumber penyebaran organisme yang paling berbahaya. Hewan perahan yang terinfeksi dapat menyebabkan penyebaran streptokokus -hemolitik secara epidemik. Pengelompokan dan penentuan tipe streptokokus secara imunologik merupakan alat yang bermanfaat untuk melacak jejak transmisi epidemioligi. Pengendalian terutama ditujukan pada sumber manusia: 1. Deteksi dan terapi antimikroba dini pada infeksi saluran napas dan infeksi kulit oleh streptokokus grup A. Pemberantasan streptokokus secara cepat pada infeksi awal dapat secara cepat pada awal dapat secara efektif mencegah terjadinya penyakit pascastreptokokus. Diperlukan kadar penisilin yang adekuat di jaringan selama 10 hari (misalnya, benzatin penisilin G yang diberikan sekali melalui intramuskular). Eritromisin merupakan alternatif obat pilihan. 2. Kemofilaksis antistreptokokus pada orang yang menderita serangan demam rematik. Ini meliputi pemberian satu injeksi benzatin penisilin G secara intramuskular selama 3-4 minggu, atau penisilin oral atau sulfonamid oral setiap hari. 3. Pemberantasan streptokokus grup A dari carrier. 4. Pengendalian debu, ventilasi, penyaringan udara, sinar ultraviolet, dan semprotan aerosol, walaupun efektivitasnya masih diragukan. Susu harus selalu dipasteurisasi. 5. Streptokokus grup B paling banyak menyebabkan sepsis neonatus pada saat ini. Penyakit akibat streptokokus grup B pada neonatus dapat dicegah dengan memberikan obat profilaksis pada ibu yang biakannya positif dan pada ibu yang mengalami persalinan prematus atau ketuban pecah lama.

2. R. Fever: patogenesis Dalam buku Harrison's Principle of Internal Medicine ed 17th terdapat 3 pathogenesis rheumatic fever, yaitu faktor organisme, faktor host, dan respons imun. Faktor organisme

35

Berdasarkan bukti baru yang tersedia, rheumatic fever akut secara khusus disebabkan oleh infeksi traktus repiratori atas oleh streptokokus grup A. Saat ini, diduga bahwa strain apapun dari streptokokus grup 4 memiliki potensi menyebabkan Acute Rheumatic Fever. Potensi peran infeksi infeksi kulit dan infeksi dari streptokokus grup C dan G saat ini sedang diteliti. Saat ini terdapat postulat bahwa dibutuhkan beberapa infeksi streptokokus yang mendahului Acute Rheumatic Fever dibutuhkan untuk "mempersiapkan" sistem imun sebelum infekdi akhir yang secara langsung menyebabkan penyakit.

Faktor host Rata-rata 3-6 % dari populasi manapun mememiliki kemungkinan menderita Acute Rheumatic Fever, dan proporsi ini tidak memiliki perbedaan berarti antar populasi. Penemuan pada pengelompokan keluarga (familial clustering) kasus dan angka kejadian pada kembar monozigot-terutama untuk chorea-memastikan bahwa kerentanan terhadap Acute Rheumatic Fever adalah karakteristik yang diturunkan. Alele HLA kelas II khusus sepertinya memiliki hubungan yang kuat dengan kerentanan terhadap Acute Rheumatic Fever. Terdapat pula hubungan dengan tingginya level mannose-binding lecting dalam sirkulasi dan polimorfisme dari ppengubahan gen B1 faktor pertumbuhan dan gen imunoglobulin. Ekspresi tingkat tinggi dari alloantigen khusus terjadi pada sel B, D8-17, telah ditemukan pada pasien dengan sejarah Acute Rheumatic Fever pada banyak populasi, dengan level ekspresi menegah pada anggota keluarga tingkat pertama, menunjukkan bahwa ini mungkin merupakan tandan dari kerentanan yang diturunkan.

Respon imun Saat host yang rentan bertemu dengan streptolokus grup A, sebuah reaksi autoimun terjadi, yang mengakibatkan kerusakan jaringan manusia sebagai hasil dari reaktivitas silang antara epitope pada organisme dan host. Epitope yang terdapat di dinding sel, membran sel, dan daerah pengulangan A,B, dan C dari protein M streptokokus secara imunologis serupa dengan molekul pada miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-acetylglucosamine. Tiruan molekuler ini merupakan dasar untuk respons autoimun yang menimbulkan Acute Rheumatic Fever. Telah ada hipotesis bahwa molekul manusiaterutama epitope pada miosin jantung-mengakibatkan sensitisasi T sel. T sel ini selanjutnya akan dipanggil kembali mengikuti paparan selanjutnya terhadap strepotokokus grup a dengan epitope yang serupa secara imunologis. 36

Akan tetapi, reaktivitas silany miosin dengan protein M tidak menjelaskan kerusakan katup jantung yang merupakan ciri khas dari rheumatic carditis, karena miosin tidak terdapat pada jaringan katup jantung. Kemungkinan berhubungan dengan laminin, a-helical coiled-coil protein like myosin dan M protein lainnya, yang ditemukan pada endothelium jantung, dan dikenali oleh anti-myosin, T sel antiM protein. Terlebih lagi, antibodi untuk jaringan katup jantung bereaksi silang dengan Nacetylglucosamine dari karbohidrat Streoptokokus grup , dan ada beberapat bukti bahwa antibodiantibodi ini kemungkinan bertanggung jawab akan kerusakan katup jantung.

3.mitral stenosis: patofisio Pathogenesis stenosis mitral Penyebab utama dan tersering dari mitral stenosis adalah Acute Rheumatic Fever. Acute Rheumatic Fever merupakan sekuele faringitis akibat streptokokus B-hemolitikus grup A. Acute Rheumatic Fever timbul hanya jika terjadi respons antibodi atau imunologis yang bermakna terhadap infeksi streptokokus sebelumnya. Pathogenesis pasti Acute Rheumatic Fever masih belum diketahui. Dua mekanisme dugaan yang telah diajukan adalah (1) respons hiperimun yang bersifak autoimun maupun alergi, dan (2) efek langsung organisme streptokokus atau toksinnya. Penjelasan dari sudut pandang immunologi dianggap sebagai penjelasan yang paling dapat diterima, meskipun demikian mekanisme yang ke dua tidak dapat diabaikan. Reaksi autoimun terhadap infeksi streptokokus secara teori akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi rematik, dengan cara: 1. Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi faring 2. Antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada penjamu yang hiperimun 3. Antibodi akan bereaksi dengan antigen streptokokus, dan dengan jaringan penjamu yang secara antigenik sama seperti streptokokus (dengan kata lain:antibodi tidak dapat membedakan antara antigen streptokokus dengan antigen jaringan jantung), 4. Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan pejamu sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Apapun pathogenesisnya, manifestasi demam rematik akut berupa peradangan difus yang menterang remati akut berupa peradangan difus yang menyerang jaringan ikat berbagai organ, terutama jantung, sendi, dan kulit. Gejala dan tandanya tidak khas, dapat berupa demam, artritis yang berpindah-pindah, artralgia, ruam kulit, chorea, dan takikardia. Terserangnya jantung merupakan keadaan yang sangat penting, karena dua alasan berikut: (1) kematian sel akut, walaupun sangat rendah, tetapi hampir 37

seluruhnya disebabkan oleh gagal jantung; dan (2) kecacatan residual yang terutama disebabkan oleh deformitas katup. Demam rematik akut akan mengakibatkan peradangan pada semua lapisan jantung yang disebut pankarditis. Peradangan endokardium biasanya mengenai endotel katup, mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Vegetasi seperti manik-manik akan timbul di sepanjang pinggir daun katup. Perubahan akut ini dapat mengganggu penutupan katup yang efektif, mengakibatkan regurgitasi katup; stenosis tidak terdeteksi sebagai lesi akut. Gangguan katup akut sering bermanifestasi klinis sebagai bising jantung. Pada perjalanan penyakit katup rematik kronis, gejala biasanya tidak muncul sampai bertahun-tahun setelah serangan awal; periode laten ini dapat berlangsung hingga dekade ketiga, keempat, atau kelima. Deformitas akhir yang menyebabkan stenosis katup disepanjang komisura (tempat persambungan antara dua katup). Perubahan ini mengakibatkan penyempitan lubang katup dan mengurangi pergerakan daun katup sehingga menghambat majunya aliran darah. Korda tendinae katup atrioventrikularis (AV) dapat juga menebal dan menyatu sehingga membentuk terowongan fibrosa di bawah daun katup dan semakin menghambat aliran darah. Endokarditis menimbulkan vegetasi di sepanjang pinggir daun katup; vegetasi-vegetasi ini dapat meluas dan menyerang seluruh katup, bahkan miokardium. Akibatnya, daun katup dapat mengalami fibrosis, erosi, dan perforasi sehingga menimbulkan suati disfungsi katup regurgitan yang khas.

Patofisiologi Stesnosis mitralis menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama fase diastolik ventrikel. Untuk mengisi ventrikel dengan adekuat dan mepertahankan curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melampaui katup yang mrnyempit. Oleh karena itu, terjadi peningkatan perbedaan tekanan antara kedua ruang tersebut. Dalam keadaan normal, tekanan tersebut minimal. Otot atrium kiri mengalami hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pempmpaan darah. Makn lama kontraksi atrium makin berperan aktif sebagai faktor pembantu pengisisan ventrikel. Atriu, kiri kini tidak lagi berfungsi primer sebagai penampung pasif tetapi berfungsi mengalirkan darah ke ventrikel. Dilatasi atrium terjadi karena volume atrium untuk mengosongkan diri secara normal. Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh darah parutekanan dalam vena pulmonalis dan kapiler meningkat. Akibatnya terjadi kongesti paru-paru, mulai

38

dari kongesti vena yang ringan sampai edema interstisial yang kadang-kadanf dsertai transudasi cairan ke dalam alveoli. Pada akhirnya, tekanan arteria pulmonalis harus meningkat akibat peningkatan kronis resistensi vena pulmonalis. Respons ini memastikan perbedaan tekanan yang memadai untuk mendorong darah melalu pembuluh paru-paru. Namun demikian, hipertensi pulmonalis meningkatkan resistensi ejeksi ventrilel kanan menuju arteria pulmonalis. Ventrikel kanan berespons terhadap peningkatan beban telanan ini dengan hipertrofi otot. Pembuluh darah paru mengalami perubahan anatomis yang tampaknya bertujuan melindungi kapiler paru-pari terhadap tekanan ventrikel kanan dan aliran darah paru yang meninggi. Terjadi perubahan struktur -hipertrofi lapisan media dan penebalan lapisan intima - pada dinding arteri kecil dan arteriola. Mekanisme yang menimbulkan respons anatomis ini masih belum diketahui dengan pasti. Perubahan-perubahan ini menyempitkan lumen pembuluh dan meningkatkan resistensi pembuluh paru. Konstriksi arteriolar ini ( atau hipertensi pulmonal reaktif) jelas meningkatkan tekanan arteri pulmonalis. Tekanan pulmonalis dapat meningkat progresif sampai setinggo tekanan sistemik. Ventrikel kanan tidak dapat memenuhi tugas sebagai pompa bertekanan tinggi untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, ventrikel kanan akhirnya tidak dapat berfungsi lagi sebagai pompa. Kegagalan ventrikel kanan dipantulkan ke belakang ke dalam sirkulasi sistemik, menimbulkan kongesi pada vena sistemil dan edema perifer. Gagal jantung kanan dapat disertai oleh regurgitasi fungsional katup trikuspidalis akibat pembesaran ventrikel kanan. Sesudah beberpa tahun, lesi stenosis mitralis akan memperkecil lubang katup. Gejala-gejala secara khas belum muncul sebelum lubang katup ini mengecil sampai sekitar 50%, yaitu dari ukuran normal 4-5 cm2 menjadi kurang dari 2,5 cm2. Saat lubang katup sudah menyempit, maka tekanan atrium kiri akan anik untuk mempertahankan pengisisan ventrikel dan curah jantung; akibatnya, tekanan vena pulmonalis akan meningkat sehingga meninbulkan dispnea. Pada tahap awal biasanya dapat terdengar bising jantung diastolik yang merupakan petunjuk adanya aliran abnormal melalui lubang katup yang menyempit, lebar katup yang kurang dari 1 cm2 menunjukkan stenosis mitralis yang gawat. Gambaran klinis dapat bervariasi bergantung pada gangguan hemodinamik yang terjadi; tetapi biasanya gejala yang paling dini adalah sesak napas sewaktu bekerja. Dua perubahan hemodinamik yang disebabkan oleh kerja kurang dapat ditoleransi pada stenosis mitralis, yaitu: (1) Takikardi (denyut jantung yang cepat dan (2) Peningkatan tekanan atrium kiri. Takikardi akan mengurangi lama diastolik, yaitu waktu pengisian atrium dan ventrikel. Lama diastolik ini sangat penting pada stenosis mitralis karena lesi tersebut mengganggu pengosongan atrium. Takokardimenyebabkan lama pengisian ventrikel menurun, curah jantung berkurang, dan kongesti paru-paru meningkat. Peningkatan tekanan atrium kiri sewaktu melakukan kegiatan fisik semakin memperbesar kongesti 39

paru-paru; aliran darah mengalami hambatan sehingga peningkatan tekanan diteruskan ke belakang ke paru-paru. Jadi dispnea yang timbul saat melakukan kegiatan fisik terjadi akibat kongesti paru-paru. Rasa lemah dan leleah juga merupakan gejala awal yang sering ditemukan akibat curah jantung yang menetap jumlanya dan akhirnya berkurang. Temuan berikut ini sering dijumapi pada stenosis mitralis; 1. Auskultasi; bising diastolik berfrekuensi rendah dan bunyi jantung pertama (sewaktu katup AV menutup) mengeras, dan timbul suara saat pembukaan daun katup (opening snap) akibat hilangnya kelenturan daun katup. 2, ekokardiografi: alat diagnostik nonivasi utama yang digunakan untuk menilai keparahan stenosis mitralis, EKG biasanya memberikan perhitungan daerah katup yang akurat. 3. Eelektrokardiogram: pembesaran atrium kiri (gelombang P melebar dan bertakik (paling jelas pada sadapan II)dikenal sebagai P mitral), bila irama sinus normal; hipertrofi ventrikel kanan; fibrilasi atrium lazim terjadi tetapi tidak spesifik untuk stenosis mitralis. 4. Radiografi dada: pembesaran atrium kiri san ventrikel kanan; kongesti vena pulmonalis; edema paru interstisial; redistribusi pembuluh darah paru ke lobus bagian atas; kalsifikasi katup mitralis. 5. Temuan hemodinamik: peningkatan selisih tekanan pada kedua sisi katup mitralis; peningkatan tekanan atrium kiri dan tekanan baji kapiler pulmonalus dengan gelombang a yang menonjol; peningkatan tekanan arteria pulmonalis; curah jantung rendah; peningkatan tekanan jantung sebelah kanan dan tekanan vena jugularis, dengan gelombang v yang bermakna di bagian atrium kanan atau vena jugularis jika terdapat insufusuensi trikuspidalis.

4. Endokarditis: diagnosis, diagnosis testing, causative mikroorganisme, Diagnosis endokarditis infektif ditegakkan dengan pasti hanya billa jaringa patologis/vegetasi didapatkan dari tindakan bedah jantung, autopsi, atau dari arteri (embolus) diperiksa secara histologi dan mikrobiologi. Selain itu, telah dikembangkan schema diagnosis dengan sensitifitas dan spesifisitas diagosis yang tinggi, yang dikenal sebagai Duke criteria, berdasarkan hasil penemuan klinis, laboratorium, dan echochardiografik. 40

The Duke Criteria for the Clinical Diagnosis of Infective Endocarditis

Major Criteria 1. Positive blood culture Typical microorganism for infective endocarditis from two separate blood cultures Viridans streptococci, Streptococcus bovis, HACEK group, Staphylococcus aureus, or Community-acquired enterococci in the absence of a primary focus, or Persistently positive blood culture, defined as recovery of a microorganism consistent with infective endocarditis from: Blood cultures drawn >12 h apart; or All of three or a majority of four or more separate blood cultures, with first and last drawn at least 1 h apart Single positive blood culture for Coxiella burnetii or phase I IgG antibody titer of >1:800 2. Evidence of endocardial involvement Positive echocardiograma

Oscillating intracardiac mass on valve or supporting structures or in the path of regurgitant jets or in implanted material, in the absence of an alternative anatomic explanation, or Abscess, or New partial dehiscence of prosthetic valve, or New valvular regurgitation (increase or change in preexisting murmur not sufficient) Minor Criteria 1. Predisposition: predisposing heart condition or injection drug use

2. Fever

38.0C (

100.4F)

3. Vascular phenomena: major arterial emboli, septic pulmonary infarcts, mycotic aneurysm, intracranial hemorrhage, conjunctival hemorrhages, Janeway lesions 4. Immunologic phenomena: glomerulonephritis, Osler's nodes, Roth's spots, rheumatoid factor

41

5. Microbiologic evidence: positive blood culture but not meeting major criterion as noted previously b or serologic evidence of active infection with organism consistent with infective endocarditis

Kultur darah Isolasi organisme causative dari darah penting untuk diagnosis dan penentuan sensitivitas antimikrobial dan perencanaan tindakan. Tanpa adanya terapi antibiotik sebelumnya, dilakukan 3 set kultur darah (dengan dua botol per set), pisahkan satu tes dengan yang lain dalam jangka waktu 1 jam, dan sebaiknya diambil dari tempat pengeambilan (venipuncture) yang berbeda dalam 24 jam. Jika kultur tetap negatif setelah 48-72 jam, dua atau tiga set kultur darah tambahan sebaiknya dilakukan dengan teknik yang optimal. Terapi antimikrobia empiris sebaiknya tidak digunakan sebelumnya untuk menstabilkan hemodinamik pasien dengan endokarditis subakut, terutama mereka yang menerima antibiotik dalam dua minggu sebelumnya.

Test non-Kultur darah Tes serologis dapat digunakan untuk menemukan beberapa organisme yang sulit didapatkan melalui kultur darah. Patogen juga dapat diidentifikasi dari vegetasi atau emboli yang didapatkan dari prosedur bedah, dapat diproses melalui pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan tertentu, dan dengan menggunaan polymerase chain reaction (PCR) untuk menemukan DNA mikroba yang unik atau 16S rRNA yang, ketika di sequence, dapat mengidentifikasi organisme.

Echocardiografi Pengganbaran dengan echocardiografo dapat mengkonfirmasi anatomik dari endokarditis infektif, mengukur vegetasi, deteksi komplikasi intracardiac, dan penilaian fungsi jantung. Transthorachic Echocardiography (TEE) tidak invasif dan sangat spesifik dengan spesifisitas seperti 65%, akan tetapi tidak dapat mendeteksi vegetasi dengan diameter <2 mm.

Peneriksaan lain Banyak pemeriksaan laboratorium yang tidak diagnostik namun cukup penting dalam perawatan pasien dengan endocarditis, diantaranya hitung darah lengkap, penilaian cratininr, tes fungsi hati, radiografi dada, dan electrocardiografi. 42

Organisme Causative Organisme pathogen penyebab Edocarditis infektif diantaranya adalah; yang berasal dari Saluran pernafasan: Streptococcus viridans, Staphyloccocci, dan organisme HACEK (Haemophillus, Actinobacillus, Cardiobacterium, Eiknella, dan Kingella). Salain itu terdapat pula Streptococcus bovis yang berasal dari saluran pencernaan, serta Staphylococcus aureus.

!) Endokarditis Endokarditis merupakan peradangan pada katup dan permukaan endotel jantung. Endokarditis bisa bersifat endokarditis rematik dan endokarditis infeksi. Terjadinya endokarditis rematik disebabkan langsung oleh demam rematik yang merupakan penyakit sistemikkarena infeksi streptokokus. Endokarditis infeksi (endokarditis bakterial) adalah infeksi yang disebabkan oleh invasi langsung oleh bakteri atau organisme lain, sehingga menyebabkan deformitas bilah katup. Mikroorganisme penyebabnya mencakup: streptokokus, enterokokus, pneumokokus, stapilokokus, fungi/jamur, riketsia, dan streptokokus viridans. Endokarditis infeksi yang sering terjadi pada manula mungkin terjadi akibat menurunnya respons imunologi terhadap infeksi, perubahan metabilisme akibat penuaan, dan meningkatnya prosedur diagnostik invasif, khususnya pada penyakit genitourinaria. Terjadi insiden yang tinggi pada endokarditis stapilokokus diantara pemakai obat intravena, penyakit yang terjadi paling sering pada orang-orang yang secara umum sehat. Endokarditis yang didapat di rumah sakit terjadi paling sering pada klien dengan penyakit yang melemahkan, yang menggunakan kateter indweler, dan yang menggunakan terapi intravena atau antibiotik jangka panjang. Klien yang diberi pengobatan imunosupresif atau steroid dapat mengalami endokarditis fungi.

B.

PATOFISIOLOGI Endokarditis paling banyak disebabkan oleh streptokokus viridans yaitu mikroorganisme yang hidup dalam saluran napas bagian atas. Sebelum ditemuklan antibiotik, maka 90 - 95 %
43

endokarditis infeksi disebabkan oleh strptokokus viridans, tetapi sejak adanya antibiotik streptokokus viridans 50 % penyebab infeksi endokarditis yang merupakan 1/3 dari sumber infeksi. Penyebab lain dari infeksi endokarditis yang lebih patogen yaitu stapilokokus aureus yang menyebabkan infeksi endokarditis subakut. Penyebab lainnya adalah streptokokus fekalis, stapilokokus, bakteri gram negatif aerob/anaerob, jamur, virus, ragi, dan kandida. Faktor-faktor prediposisi dan faktor pencetus: Faktor predisposisi diawali dengan penyakit-penyakit kelainan jantung dapat berupa penyakit jantung rematik, penyakit jantung bawaan, katub jantung prostetik, penyakit jantung sklerotik, prolaps katub mitral, post operasi jantung, miokardiopati hipertrof obstruksi. Endokarditi infeksi sering timbul pada penyakit jantung rematik dengan fibrilasi dan gagal jantung. Infeksi sering pada katub mitral dan katub aorta. Penyakit jantung bawaan yang terkena endokarditis adalah penyakit jantung bawaan tanpa ciyanosis, dengan deformitas katub dan tetralogi fallop. Bila ada kelainan organik pada jantung, maka sebagai faktor predisposisi endokarditis infeksi adalah akibat pemakaian obat imunosupresif atau sitostatik, hemodialisis atau peritonial dialisis, serosis hepatis, diabetis militus, penyakit paru obstruktif menahun, penyakit ginjal, lupus eritematosus, penyakit gout, dan penyalahan narkotik intravena. Faktor pencetus endokarditis infeksi adalah ekstrasi gigi atau tindakan lain pada gigi dan mulut, kateterisasi saluran kemih, tindakan obstretrik ginekologik dan radang saluran pernapasan. Kuman paling sering masuk melalui saluran napas bagian atas selain itu juga melalui alat genital dan saluran pencernaan, serta pembuluh darah dan kulit. Endokard yang rusak dengan permukaannya tidak rata mudah sekali terinfeksi dan menimbulakan vegetasi yang terdiri atas trombosis dan fibrin. Vaskularisasi jaringan tersebut biasanya tidak baik, sehingga memudahkan mikroorganisme berkembang biak dan akibatnya akan menambah kerusakan katub dan endokard, kuman yang sangat patogen dapat menyebabkan robeknya katub hingga terjadi kebocoran. Infeksi dengan mudah meluas ke jaringan sekitarnya, menimbulkan abses miokard atau aneurisme nekrotik. Bila infeksi mengenai korda tendinae maka dapat terjadi ruptur yang mengakibatkan terjadinya kebocoran katub. WOC

44

C.

TANDA DAN GEJALA Sering penderita tidak mengetahui dengan jelas. Sejak kapan penyakitnya mulai timbul , misalnya sesudah cabut gigi, mulai kapan demam, letih-lesu, keringat malam banyak, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, sakit sendi, sakit dada, sakit perut, hematuria, buta mendadak, sakit pada ekstremitas (jari tangan dan kaki), dan sakit pada kulit.

Gejala umum Demam dapat berlangsung terus-menerus retermiten / intermiten atau tidak teratur sama sekali. Suhu 38 - 40 C terjadi pada sore dan malam hari, kadang disertai menggigil dan keringat banyak. Anemia ditemukan bila infeksi telah berlangsung lama. pada sebagian penderita ditemukan pembesaran hati dan limpha.

Gejala Emboli dan Vaskuler Ptekia timbul pada mukosa tenggorok, muka dan kulit (bagian dada). umumya sukar dibedakan dengan angioma. Ptekia di kulit akan berubah menjadi kecoklatan dan kemudian hilang, ada juga yang berlanjut sampai pada masa penyembuhan. Emboli yang timbul di bawah kuku jari tangan (splinter hemorrhagic).

Gejala Jantung Tanda-tanda kelainan jantung penting sekali untuk menentukan adanya kelainan katub atau kelainan bawaan seperti stenosis mitral, insufficiency aorta, patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VCD), sub-aortic stenosis, prolap katub mitral. Sebagian besar endocarditis didahului oleh penyakit jantung, tanda-tanda yang ditemukan ialah sesak napas, takikardi, palpasi, sianosis, atau jari tabuh (clubbing of the finger). Perubahan murmur menolong sekali untuk menegakkan diagnosis, penyakit yang sudah berjalan menahun, perubahan murmur dapat disebabkan karena anemia . Gagal jantung terjadi pada stadium akhir endokarditis infeksi, dan lebih sering terjadi pada insufisiensi aorta dan insufisiensi mitral, jarang pada kelainan katub pulmonal dan trikuspid serta penyakit jantung bawaan non valvular .

Endokarditis infeksi akut Infeksi akut lebih sering timbul pada jantung yang normal, berbeda dengan infeksi sub akut, penyakitnya timbul mendadak, tanda-tanda infeksi lebih menonjol, panas tinggi dan
45

menggigil, jarang ditemukan pembesaran limfa, jari tabuh, anemia dan ptekia . Emboli biasanya sering terjadi pada arteri yang besar sehingga menimbulkan infark atau abses pada organ bersangkutan. Timbulnya murmur menunjukkan kerusakan katub yang sering terkena adalah katub trikuspid berupa kebocoran, tampak jelas pada saat inspirasi yang menunjukkan gagal jantung kanan, vena jugularis meningkat, hati membesar, nyeri tekan, dan berpulsasi serta udema. Bila infeksi mengenai aorta akan terdengar murmur diastolik yang panjang dan lemah. Infeksi pada aorta dapat menjalar ke septum inter ventricular dan menimbulkan abses. Abses pada septum dapat pecah dan menimbulkan blok AV . Oleh karena itu bila terjadi blok AV penderita panas tinggi, kemungkinan ruptur katub aorta merupakan komplikasi yang serius yang menyebabkan gagal jantung progresif. Infeksi katub mitral dapat menjalar ke otot papilaris dan menyebabkan ruptur hingga terjadi flail katub mitral. D. PENATALAKSANAAN MEDIS Pemberian obat yang sesuai dengan uji resistensi dipakai obat yang diperkirakan sensitif terhadap mikroorganisme yang diduga. Bila penyebabnya streptokokus viridan yang sensitif terhadpa penicillin G , diberikan dosis 2,4 - 6 juta unit per hari selama 4 minggu, parenteral untuk dua minggu, kemudian dapat diberikan parenteral / peroral penicillin V karena efek sirnegis dengan streptomicin, dapat ditambah 0,5 gram tiap 12 jam untuk dua minggu . Kuman streptokokous fecalis (post operasi obs-gin) relatif resisten terhadap penisilin sering kambuh dan resiko emboli lebih besar oleh karena itu digunakan penisilin bersama dengan gentamisin yang merupakan obat pilihan. Dengan dosis penisilin G 12 - 24 juta unit/hari,dan gentamisin 3 - 5 mg/kgBB dibagi dalam 2 - 3 dosis. Ampisilin dapat dipakai untuk pengganti penisilin G dengan dosis 6 - 12 gr/hari . Lama pengobatan 4 minggu dan dianjurkan sampai 6 minggu. Bila kuman resisten dapat dipakai sefalotin 1,5 gr tiap jam (IV) atau nafcilin 1,5 gr tiap 4 jam atau oksasilin 12 gr/hari atau vankomisin 0,5 gram/6 jam, eritromisin 0,5 gr/8 jam lama pemberian obat adalah 4 minggu. Untuk kuman gram negatif diberikan obat golongan aminoglikosid : gentamisin 5 - 7 mg/kgBB per hari, gentamisin sering dikombinsaikan dengan sefalotin, sefazolia 2 - 4 gr/hari , ampisilin dan karbenisilin. Untuk penyebab jamur dipakai amfoterisin B 0,5 - 1,2 mg/kgB per hari (IV) dan flucitosin 150 mg/Kg BB per hari peroral dapat dipakai sendiri atua kombinasi. Infeksi yang terjadi katub prostetik tidak dapat diatasi oleh obat biasa, biasanya memerlukan tindakan bedah. Selain pengobatan dengan antibiotik penting sekali mengobati penyakit lain yang menyertai seperti : gagal Jantung . Juga keseimbangan elektrolit, dan intake yang cukup.
46

1) Rheumatic fever

Definisi Demam reumatik merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A1. Etiologi Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan3. Infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulangan1,3,5,6. Untuk menyebabkan serangan demam reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit3. Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui dari data sebagai berikut: 1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A, atau keduanya3. 2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh betaStreptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang tidak diobati1,3. 3. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika. Faktor Predisposisi Faktor Individu 1. Faktor Genetik Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu keluarga maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik merupakan alasan penting
47

mengapa hanya sebagian pasien yang terkena infeksi Streptococcus menderita demam reumatik, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan1,3. 2. Jenis Kelamin Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan wanita1,3. Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering ditemukan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki3. 3. Golongan Etnik dan Ras Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah terjadinya stenosis mitral. Di negara-negara barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan-3 tahun setelah serangan pertama3. 4. Umur Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum umur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi Streptococcus pada anak usia sekolah3. 5. Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi. Hanya sudah diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang menderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik3. Faktor-faktor Lingkungan 1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik1,3. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan

48

sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang sakit sangat kurang, pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain3. 2. Iklim dan Geografi Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi daripada yang diduga semula1,3. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidens lebih tinggi daripada di dataran rendah3. 3. Cuaca Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat3. Patogenesis Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk dalam penyakit autoimun3,4,5. Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, disfosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin. Produkproduk tersebut merangsang timbulnya antibodi3. Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibodi terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun1,3. ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80% penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka pada 95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap Streptococcus3. Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktivitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma streptokokus dan jaringan saraf subtalamus serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilago
49

artikular. Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan organ multiple pada demam reumatik1. Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima. Adanya antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik mendorong penelitian mediator imun lain. Data muthakir menunjukkan pada sitotoksitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan karditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini memberi kesan bahwa antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh protektif dalam pejamu tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak dipercaya adalah bahwa mekanisme imunologik, humoral atau selular, menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik1. Patologi Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan proliferatif jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung; organ lain seperti sendi, kulit, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu reversibel3. Proses patologis pada demam reumatik melibatkan jaringan ikat atau jaringan kolagen. Meskipun proses penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan jantung, sendi, dan otak.1. Jantung Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat. Beberapa dengan pada penyakit kolagen lain seperti lupus eritematosus sistematik atau artristis reumatoid juvenil (pada kedua penyakit ini serositas biasanya ditunjukkan oleh perikarditis), pada demam reumatik jarang ditemukan perikaditis tanpa endokarditis atau miokarditis. Perikaditis pada pasien reumatik bisanya menyatakan adanya pankarditis atau perluasan proses radang1. Penemuan histologis pada karditis reumatik akut tidak selalu spesifik. Tingkat perubahan histologis tidak perlu berkolerasi dengan derajat klinis. Pada stadium awal, bila ada dilatasi
50

jantung, perubahan histologis dapat minimal, walaupun gangguan fungsi jantung mungkin mencolok1. Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas. Stadium ini ditandai dengan perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular yang terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan granular eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini meliputi serabut kolagen ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang sedang berdegenerasi dalam campuran fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain. Jaringan lain yang terkena oleh proses penyakit, seperti jaringan sendi, dapat menunjukkan fibrinoid; hal ini dapat juga terjadi dalam jaringan yang sembuh pada pasien penyakit kolagen lain1. Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun 1940, menyertai stadium di atas. Lesi patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular sel besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat fibrinoid yang avaskular. Beberapa sel mempunyai inti banyak, atau mempunyai inti mata burung hantu dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke membran inti, atau mempunyai susunan kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan nukleus kisi-kisi atau lingkaran yang melilit. Sel-sel yang khas ini disebut monosit Anitschkow1. Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi paling sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff ditemukan paling sering dalam jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis reumatik subakut atau kronik. Sel Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini menderita karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam jaringan jantung pasien tanpa riwayat demam reumatik1. Reaksi radang juga mengenai lapisan endokardium yang mengakibatkan endokarditis. Proses endokarditis tersebut mengenai jaringan katup serta dinding endokardium. Radang jaringan katup menyebabkan manifestasi klinis yang mirip karditis reumatik. Yang paling sering terlibat adalah katup mitral, disusul katup aorta. Katup trikuspid jarang terlibat, dan katup pulmonal jarang sekali terlibat1. Tinjauan etiologi penyakit katup oleh Roberts menunjukkan bahwa etiologi reumatik 70% dari kasus dapat berasal dari penyakit katup mitral murni (isolated) dan hanya 13% dari kasus yang berasal dari penyakit katup aorta murni. Pada pasien yang kedua katupnya (mitral dan aorta) terlibat, kemungkinan etiologi reumatik adalah 97%1.

51

Radang awal pada endokarditis dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi katup. Penemuan histologis dalam endokarditis terdiri dari edema dan linfiltrasi selular jaringan katup dan korda tendine. Lesi yang khas endokarditis reumatik adalah tambalan ( patch) MacCallum, daerah jaringan menebal yang ditemukan dalam atrium kiri, yakni di atas dasar daun katup mitral posterior. Degenerasi hialin pada katup yang terkena akan menyebabkan pembentukan veruka pada tepinya, yang akan menghalangi pendekatan daun-daun katup secara total dan menghalangi penutupan ostium katup. Dengan radang yang menetap, terjadilah fibrosis dan klasifikasi katup. Klasifikasi mikroskopik dapat terjadi pada pasien muda dengan penyakit katup reumatik. Jikalau tidak ada pembalikan proses dan penyembuhan, proses ini akhirnya akan menyebabkan stenosis dan perubahan pengapuran yang kasar, yang terjadi beberapa tahun pascaserangan1. Pasien dengan pankarditis, di samping menderita miokarditis juga menderita perikarditis. Eksudat fibrin menutupi permukaan viseral maupun sisi permukaan serosa (serositis), dan cairan serohemoragis yang bervariasi volumenya berada dalam rongga perikardium1. Organ-organ lain Ruam kulit mencerminkan terdapatnya vaskulitis yang mendasari, yang mungkin ada pada setiap bagian tubuh dan yang paling sering mengenai pembuluh darah yang lebih kecil. Pembuluh darah ini menunjukkan proliferasi sel endotel. Nodul subkutan jarang ditemukan pada pasien demam reumatik akut; kalaupun ada, nodul ini cenderung ditemukan pada pasien dengan penyakit katup kronik, terutama stenosis mitral. Histologi nodul subkutan terdiri dari nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epitel dan mononuklear. Lesi histologis tersebut serupa dengan lesi pada benda Ascoff, suatu tanda patologis karditis reumatik1. Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama, yaitu serositis. Pada artritis reumatik jaringan tulang rawan (kartilago) tidak terlibat, akan tetapi lapisan sinovia menunjukkan terjadinya degenerasi fibrinoid. Patologi nodulus subkutan, yang membentuk penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo ekstensor, telah diuraikan di atas1. Vaskulitis, yang merupakan dasar proses patologis eritema marginatum, juga menyebabkan lesi ekstrakardial lain seperti keterlibatan paru dan ginjal yang kadang ditemukan pada demam reumatik akut. Demikian pula, vaskulitis dapat merupakan proses patologis yang berhubungan dengan korea Sydenham (St. Vitus dance). Ganglia basalis dan serebellum adalah tempat perubahan patologis yang sering ditemukan pada pasien dengan gejala korea
52

Sydenham. Perubahan ini terdiri dari perubahan selular dengan infiltrasi perivaskular oleh sel limfosit1. Pada literatur lain menyebutkan kelainan-kelainan pada susunan saraf pusat ini (korteks, ganglia basalis, serebellum) tidak dapat menerangkan terjadinya korea, kelainan tersebut dapat ditemukan pada penderita demam reumatik yang meninggal dan diautopsi tetapi sebelumnya tidak pernah menunjukkan gejala korea3. Manifestasi Klinis Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium: Stadium I Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3. Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik3. Stadium II Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian3. Stadium III Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik3. Manifestasi Klinis Mayor 1. Karditis Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir 1,2. Dua laporan yang paling baru, dari
53

Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien menunjukkan keterlibatan jantung 1. Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-80% dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis5,7. Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis bakteri1. Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang paling khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan infeksi virus, riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab utama insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun laporan dari negara berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik yang tinggi pada anak muda, demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan pada anak umur di bawah 5 tahun. Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam ringan dan mengeluh bernapas pendek, nyeri dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan keterlibatan jantung, dan pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung. Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan satu atau lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini. Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi. Karditis dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi mitral dapat sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada auskultasi. Karditis yang secara klinis mulainya lambat mungkin sebenarnya mengambarkan progresivitas karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus selalu dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan keterlibatan jantung harus terus dipantau dengan ketat

54

untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai 3 minggu pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul. Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran frekuensi jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal jantung menaikkan frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia. Apabila tidak terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien tidur merupakan tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan karditis. Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok atrioventrikular total biasanya tidak ditemukan pada karditis reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk dicatat secara klinis, terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang berarti. Pada umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising patologis, terutama insufisiensi mitral, adanya kardiomegali secara radiologis yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung dan tanda perikarditis. Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi, muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting, semuanya dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap anak dengan penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti menderita karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada jantung karena keterlibatan katup reumatik. Pada anak dengan demam reumatik, gagal jantung kanan, terutama yang disertai dengan edema muka, mungkin terjadi sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang ditemukan. Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral, merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup pulmonal dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada karditis reumatik, yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus, dengan nada tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri. Pungtum maksimum bising adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila terdapat insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising stenosis mitral relatif yaitu bising mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada rendah. Bising ini disebut bising Carey-Coombs,terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising aliran (flow murmur).

55

Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik. Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama dengan infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini dekresendo yang mulai dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada sangat tinggi, sehinggga paling baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma) pada sela iga ketiga kiri dengan pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan dan menahan napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin lemah, dan karenanya sering gagal dikenali oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat, bising terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar digambarkan sebagai nadi perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse). Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung reumatik yang kronik dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid dan pasien demam reumatik pulmonoal ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya. Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam reumatik akut, terutama pada anak yang lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan gagal jantung jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah sakit terdiri atas pasien demam reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik akut serangan ulang. Lagipula pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul gejala dan tanda gagal jantung. Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali dengan hepar yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi. Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan perikardium parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang menimbulkan suara gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling baik di midprekordium pada pasien dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat didengar pada sistole atau diastole tergantung pada apakah pergeseran timbul oleh kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan cairan yang banyak menyebabkan terjadinya pergeseran perikardium, sehingga dapat mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising gesek pada
56

pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya pankarditis. Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis dan miokarditis biasanya bukan disebabkan demam reumatik. Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik, akibat aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat pengerasan suara jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap kombinasi, yaitu kombinasi dari dua derap (summation gallop). 2. Artritis Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan demam reumatik akhirakhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata Lasegue, demam reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung1. Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis1. Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian aspirin1. Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan
57

skrining kolagen yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang cermat1. Korea Sydenham Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15% pasien demam reumatik1,2. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf pusat, terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral, yang semula datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten antara infeksi streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten untuk artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis korea dapat mencapai 3 bulan atau lebih1. Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan cepat dan menyerupai kantong cacing. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek1. Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan di atas kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi otot tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa (pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka jari-jari berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan). Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap 1,5. Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju, pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai1,2,5. Orangtua sering cemas oleh kecanggungan pasien yang reaksi yang mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien kehilangan perhatian, gelisah, dan tidak koperatif. Sebagai pasien mungkin disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku. Meskipun tanpa pengobatan sebagian besar korea minor akan menghilang dalam waktu 1-2

58

minggu. Pada kasus yang berat, meskipun dengan pengobatan, korea minor dapat menetap selama 3-4 bulan, bahkan dapat sampai 2 tahun1. Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea tidak biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada wanita hamil (korea gravidarum). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah1. Eritema Marginatum Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien 1. Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus2. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah1,2,5. Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal penyakit, kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis, seperti halnya nodul subkutan1. Menurut literatur lain, eritema ini sering ditemukan pada wanita dengan karditis kronis5. Nodulus Subkutan Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang nodulus ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan pada pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul
59

sesudah beberapa minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis1. MANIFESTASI MINOR Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya1. Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga termasuk kriteria minor5. Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi1. Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak dianggap sebagai kriteria diagnosis1. Stadium IV Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa3. Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya3.
60

Lama Serangan Demam Reumatik Lama serangan demam reumatik secara keseluruhan (bukan lama masing-masing manifestasi) berbeda tergantung pada kriteria yang digunakan, dan pada manifestasi klinis. Serangan yang terpendek merupakan ciri artritis, yang lebih panjang terjadi pada korea dan serangan terpanjang adalah karditis1. Pada serangan lebih pendek jikalau yang dianggap sebagai titik akhir adalah hilangnya manifestasi klinis akut, dan lebih panjang jika titik akhir adalah kembalinya laju endap darah manjadi normal. Walaupun demikian dalam beberapa kasus manifestasi klinis mayor tertentu (misalnya korea, dan kadang eritema marginatum dan nodulus) dapat menetap atau bahkan muncul pertama kalinya setelah fase akut telah kembali normal1. Lama serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3 minggu (pada sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien karditis berat, proses reumatik aktif ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih. Pasien ini menderita demam reumatik kronik. Di negara Barat keadaan ini terjadi pada sebagian kecil kasus (3% atau kurang). Sebagian besar pasien dengan demam reumatik yang berkepanjangan menderita beberapa kali serangan. Di negara tempat karditis berat dan kumat sering terjadi, frekuensi demam reumatik kronik mungkin sekali lebih tinggi1. Proses demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari tanda berikut: artritis, bising organik baru, kardiomegali, nadi selama tidur melebihi 100/menit, korea, eritema marginatum, atau nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup yang berat juga merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat berlangsung berlarut-larut dan menyebabkan kematian sesudah beberapa bulan atau tahun. Laju endap darah (LED) yang terus tinggi lebih dari 6 bulan bukan aktivitas reumatik jika tidak disertai tanda lain1. Diagnosis Demam reumatik tidak mempunyai organ sasaran tertentu. Demam reumatik dapat mengenai sejumlah organ dan jaringan, secara tersendiri atau bersama. Tidak adanya manifestasi (kecuali korea Sydenham murni) maupun uji laboratorium yang cukup khas untuk diagnosis, karenanya diagnosis didasarkan pada kombinasi beberapa penemuan. Makin banyak manifestasi, makin kuat pula diagnosis. Karena prognosis bergantung pada manifestasi klinis, maka pada diagnosis harus disebut manifestasi klinisnya, misalnya demam reumatik dengan poliartritis saja.
61

Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria diagnosis yang didasarkan kepada kombinasi manifestasi klinis dan penemuan laboratorium. Tanda klinis yang paling berguna disebut sebagai manifestasi mayor, yakni karditis, poliartritis, korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Istilah mayor berkaitan dengan diagnosis dan bukan dengan frekuensi atau derajat kelainan. Tanda dan gejala lain, meski kurang khas, masih dapat bermanfaat, disebut kriteria minor yang meliputi demam, artralgia, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya, pemanjangan interval P-R dan reaktan fase akut (LED, PCR). Dua manifestasi mayor, atau satu manifestasi mayor dan dua minor, menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik1.2.5. Pada kriteria Jones yang direvisi tahun 1965 diperlukan bukti adanya infeksi sterptokokus yang baru untuk mandukung diagnosis. Terdapat dua pengecualian pada perlunya dukungan ini; pertama pada beberapa pasien dengan korea Sydenham, dan kedua pada pasien dengan karditis yang diam-diam (silent carditis). Antibodi streptokokus mungkin telah kembali normal pada saat kedua golongan pasien tersebut pertama diperiksa. Kriteria Jones ditinjau kembali pada tahun 1984 tanpa perubahan yang berarti (Tabel 1). Tujuan semula Jones ini untuk mencegah kesalahan diagnosis demam reumatik akut, yang sampai sekarang belum tercapai. Overdiagnosis masih sering terjadi, paling sering pada pasien dengan poliartritis sebagai manifestasi tunggal. Manifestasi minor sangat tidak spesifik dan infeksi sterptokokus terdapat dimana-mana, sehingga kebutuhan pelengkap untuk diagnosis dengan mudah dapat dipenuhi sehingga menyebabkan overdiagnosis1. Yang sering dirancukan dengan demam reumatik adalah golongan penyakit kolagen vaskular, khususnya artritis reumatoid juvenil. Umumnya bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya dapat membedakan penyakit ini. Penemuan klinis tertentu pada artritis reumatoid juvenil yang khas meliputi keterlibatan sendi kecil perifer, keterlibatan sendi besar yang simetris tanpa artritis migrans, sendi yang terkena pucat, perjalanan penyakitnya lebih lamban dan responsif terhadap salisilat. Meski sebagian artritis reumatoid berespons cepat terhadap salisilat, sebagian besar pasien sembuh lebih lambat, walaupun dengan dosis salisilat yang besar. Jika pasien gagal berespons sesudah 24-48 jam setelah dimulainya terapi salisilat, ia lebih mungkin menderita artritis reumatoid daripada demam reumatik akut1. Beberapa penyakit harus dimasukkan dalam diagnosis banding, termasuk lupus eritematosus sistematik, penyakit jaringan ikat campuran, artritis reaktif yang mencakup artritis pascasterptokokus, penyakit serum, dan artritis infeksi, terutama artritis akibat gonokokus yang melibatkan beberapa sendi. Pemeriksaan serologis, termasuk panel antibodi
62

anti-nuklear (ANA), dan biakan biasanya dapat membantu membedakan keadaan-keadaan tersebut. Pasien penyakit sel sikel atau hemoglobinopati lain, dan kadang pasien leukemia, mungkin datang dengan keluhan poliartritis. Pemeriksaan darah dan biopsi sumsum tulang biasanya memastikan diagnosis1. Karditis atau perikarditis reumatik harus dibedakan dengan karditis akibat penyebab lain, termasuk infeksi bakteri, virus, atau mikoplasma, serta penyakit kolagen vaskular. Endokarditis harus dibedakan dari endokarditis pada kelainan katup bawaan atau prolaps katup mitral. Ekokardiografi berperan penting untuk identifikasi kelainan bawaan dan prolaps katup mitral. Penyakit Libman Sacks, endokarditis yang bersamaan dengan lupus eritematosus sistematik, jarang sekali terlihat pada anak. Pasien dengan hipertiroidisme, terutama yang disertai dengan blok A-V derajat I dapat dirancukan dengan insufisiensi mitral reumatik1. Berbagai penyakit neurologis degeneratif, koreoatetosis kongenital, spasme habitualis, beberapa tumor otak, dan kelainan tingkah laku dapat dirancukan dengan korea Sydenham. Penyembuhan spontan membantu diagnosis korea Sydenham, karena biasanya pada kelainan lain apabila tidak diobati korea akan cendrung menetap atau progresif. Teknik diagnosis yang lebih baru, antara lain computerized axial tomography (CAT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI) berguna dalam memastikan kelainan-kelainan tersebut1. Seperti dinyatakan di atas, masalah utama dalam diagnosis adalah bila pasien yang hanya menunjukan satu kriteria mayor, khususnya pasien poliartritis. Masalah jarang timbul apabila ditemukan dua kriteria mayor. Pengamatan cermat terhadap pasien sementara pemberian profilaksis antibiotik dapat menyelesaikan dilema, terutama bila terdapat artritis kumat tanpa bukti faringitis streptokokus sebelumnya1. Peninjauan Kembali Kriteria Diagnosis Kesulitan untuk menegakkan diagnosis dengan tepat menyebabkan Kelompok Studi WHO secara berhati-hati meninjau kembali kriteria Jones dan memandang perlu untuk mengadakan beberapa perubahan. Kelompok ini menyimpulkan bahwa bukti adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya adalah menyimpulkan penting, mengingat fasilitas laboratorium telah banyak tersedia di banyak negara selama dua puluh tahun terakhir ini. Uji laboratorium untuk biakan dan antibodi sterptokokus saat ini sudah dapat diperoleh di banyak negara. Juga disimpulkan bahwa artralgia harus dipertahankan sebagai manifestasi minor, bila tidak maka akan terjadi overdiagnosis1.
63

Di negara sedang berkembang tidak jarang pasien didiagosis untuk pertama kalinya sebagai karditis reumatik aktif tanpa dukungan anamnesis, pemeriksaan fisis, ataupun pemeriksaan laboratorium untuk memenuhi kriteria Jones yang direvisis. Untuk membuat kriteria benar-benar lebih sesuai dengan pengalaman klinikus, disetujui bahwa pada pasien dengan karditis yang datang diam-diam atau datang terlambat, diagnosis demam reumatik dimungkinkan pada pasien yang manifestasi satu-satunya adalah karditis aktif, sebagaimana halnya pada diagnosis korea Sydenham. Namun harus ditekankan bahwa dasar diagnosis tersebut haruslah secara hati-hati ditentukan untuk membedakan dari penyakit jantung valvular kronik yang diduga reumatik, dari mioperikarditis, dan dari kerdiomiopati1. Akhirnya kelompok studi menyimpulkan bahwa diagnosis demam reumatik akut kumat pada pasien yang telah diketahui pernah menderita demam reumatik harus ditentukan secara tersendiri. Pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik yang dapat dipercaya, diagnosis haruslah didasarkan atas manifestasi minor ditambah bukti adanya infeksi sterptokokus yang baru. Diagnosis demam reumatik kumat mungkin baru dapat ditegakkan sesudah waktu yang cukup lama untuk menyingkirkan diagnosis lain. Dalam mengevaluasi pasien seperti ini harus diingat kemungkinkan endokarditis infektif yang mungkin secara klinis menyerupai demam reumatik kumat. Kelambatan diagnosis endokarditis infektif dapat berakibat amat serius1. Kriteria yang Dianjurkan Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang direvisi tahun 1982 (Tabel 1) dengan tambahan catatan di bawah, diambil sebagai pegangan umum. Pada tiga golongan pasien yang diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik diterima tanpa adanya dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua manifestasi minor. Hanya pada dua yang pertama persyaratan untuk infeksi streptokokus sebelumnya dapat dikesampingkan1,2,5.

Korea dalam praktek diagnosis korea reumatik ditegakan apabila korea merupakan manifestasi klinis tunggal, sesudah sindrom grenyet (tic) dan penyebab gerakan koreiform lain (misalnya lupus) disingkirkan. Kelompok WHO secara tegas menyatakan bahwa korea murni dapat dikecualikan dari pemakaian kriteria Jones.

Karditis datang diam-diam atau datangnya terlambat. Pasien kelompok ini biasanya mempunyai riwayat demam reumatik yang samar-samar atau tidak ada sama sekali, tetapi selama periode beberapa bulan timbul gejala dan tanda umum seperti rasa tidak enak badan, lesu, anoreksia, dengan penampakan sakit kronik. Mereka sering datang dengan gagal jantung, dan pemeriksaan fisis dan laboratorium menunjukkan adanya penyakit jantung
64

valvular. Jenis miokarditis akibat kelainan lain harus disingkirkan. Tanda radang aktif (biasanya reaksi fase akut seperti LED dan PCR) diperlukan untuk membedakannya dari penyakit katup reumatik inaktif. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk memperkuat atau menyingkirkan adanya penyakit katup kronik. Endokarditis infektif mudah dirancukan dengan keadaan ini.

Demam reumatik kumat. Pada pasien penyakit reumatik yang telah menetap (establihed) yang telah tidak minum obat antiradang (salisilat atau kortikosteroid) selama paling sedikit dua bulan, terdapatnya satu kriteria mayor atau demam, artralgia, atau naiknya reaktan fase akut memberikan kesan dugaan diagnosis demam reumatik kumat, asalkan terdapat bukti adanya infeksi sterptokokus sebelumnya (misalnya peninggian titer ASTO). Namun untuk diagnosis yang tepat diperlukan pengamatan yang cukup lama untuk menyingkirkan penyakit lain dan komplikasi penyakit jantung reumatik seperti endokarditis infektif. Seringkali sukar membuktikan adanya karditis akut selama serang kumat. Munculnya bising baru, bertambahnya kardiomegali, atau adanya bising gesek perikadial biasanya membuktikan diagnosis karditis. Adanya nodul subkutan atau eritema marginatum juga merupakan bukti terpercaya untuk terdapatnya karditis aktif. TABEL 1. KRITERIA JONES (REVISI) UNTUK PEDOMAN DALAM DIAGNOSIS DEMAM REUMATIK

Manifestasi Mayor Karditis Poliartritis Korea Eritema marginatum Nodulus subkutan

Manifestasi Minor Klinik - Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik - Artralgia - Demam Laboratorium Reaktans fase akut Laju endap darah (LED) Protein C reaktif Leukositosis
65

Pemanjangan interval P-R

ditambah Bukti adanya infeksi streptokokus A Demam skarlatina yang baru Kenaikan titer antibodi antisterptokokus: ASTO/lain Biakan farings positif untuk streptokokus grup

Adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik akut, jika didukung oleh adanya infeksi streptokokus grup A sebelumnya. * Committee on Rheumatic Fever and Bacterial Endocarditis, 1982 Diagnosa Banding Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala yang sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Yang perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai demam serta reaksi fase akut. Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi Streptococcus sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan3. Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala yang mirip dengan demam reumatik (Tabel 2). Diagnosis banding lainnya ialah purpura HenochSchoenlein, reaksi serum, hemoglobinopati, anemia sel sabit, artritis pasca infeksi, artritis septik, leukimia dan endokarditis bakterialis sub akut3. TABEL 3. DIAGNOSIS BANDING DEMAM REUMATIK3 Demam reumatik Artritis reumatoid
66

Lupus eritomatosus sistemik

Umur Rasio kelamin Kelainan sendi Sakit Bengkak Kelainan Ro Kelainan kulit Karditis Laboratorium Lateks Aglutinasi domba Sediaa sel LE Respon salisilat terhadap sel

5-15 tahun Sama Hebat Non spesifik Tidak ada Ya

5 tahun Wanita 1,5:1 sedang Non spesifik Sering (lanjut) Jarang

10 tahun Wanita 5:1 Biasanya ringan Non spesifik Kadang-kadang Lesi kupu-kupu Lanjut

Eritema marginatum Makular

10% Cepat 10% 5% Biasanya lambat

Kadang-kadang

Lambat / -

Pengobatan 1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptococcus dari tonsil dan faring sama dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni pemberian penisilin benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600 000-900 000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000 unit (250 mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang sama dengan maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama lebih disukai dokter karena reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi streptokokus1,3. 2. Obat analgesik dan anti-inflamasi

67

Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap salisitas dapat membantu diagnosis1. Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total 100 mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/ hari selama 2-6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan hiperpne1,2,3. Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid; prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus dimulai dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 23 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insidens rebound klinis pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi dihentikan, atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik, demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada dengan salisilat1,2. Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan selama berbulan-bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak berat, tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan tidak perlu mengubah tata laksana medik. Sebaliknya kadar PCR yang tetap tinggi menandakan perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut harus diamati dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap tenang lebih dari dua bulan setelah penghentian antiradang, maka demam reumatik tidak akan timbul lagi kecuali apabila terjadi infeksi streptokokus baru. TABEL 3. OBAT ANTIRADANG YANG DIANJURKAN PADA DEMAM REUMATIK2,3

MANIFESTASI KLINIS

PENGOBATAN
68

Artralgia

Hanya analgesik (misal asetaminofen). Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,

Artritis

dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,

Artritis

karditis

tanpa dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan diturunkan sedikit demi sedikit (tapering

kardiomegali

Artritis + karditis + kardiomegali off) 2 minggu; salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai awal minggu ke 3 selama 6 minggu

3.

Diet

Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi3,9. 4. Tirah Baring dan mobilisasi

Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 4 merupakan pedoman umum; tidak ada penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal penting adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari1.

69

Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap3. Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis serta keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita karditis tanpa gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa kardiomegali, setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam kardiomegali menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang bersifat kompetisi fisis3. TABEL 4. PEDOMAN ISTIRAHAT DAN MOBILISASI PENDERITA DEMAM REUMATIK/PENYAKIT JANTUNG REUMATIK AKUT (Markowitz dan Gordis, 1972)3 Artritis Tirah baring Mobilisasi bertahap ruangan Mobilisasi bertahap di luar 3 minggu ruangan Semua kegiatan Sesudah minggu 6-8Sesudah minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau di 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan 2 minggu Karditis minimal 3 minggu Karditis tanpaKarditis kardiomegali 6 minggu kardiomegali 3-6 bulan +

lebih

10 Sesudah 6 bulan bervariasi

5.

Pengobatan lain

5.1 Pengobatan Karditis Pengobatan karditis reumatik ini tetap paling kontroversial, terutama dalam hal pemilihan pasien untuk diobati dengan aspirin atau harus dengan steroid. Meski banyak dokter secara rutin menggunakan steroid untuk semua pasien dengan kelainan jantung, penelitian tidak menunjukkan bahwa steroid lebih bermanfaat daripada salisilat pada pasien karditis ringan atau sedang. Rekomendasi untuk menggunakan steroid pada pasien pankarditis berasal dari kesan klinis bahwa terapi ini dapat menyelamatkan pasien3.
70

Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan dengan gagal jantung; digoksin lebih disukai dipakai pada anak. Dosis digitalisasi total adalah 0,04 sampai 0,06 mg/kg, dengan dosis maximum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga samapai seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali sehari. Karena beberapa pasien miokarditis sensitif terhadap digitalis, maka dianjurkan pemberian diitalisasi lambat. Penggunaan obat jantung alternatif atau tambahan dipertimbangkan bila pasien tidak berespons terhadap digitalis3. Tirah baring dianjurkan selama masa kariditis akut, seperti tertera pada tabel 11-9. pasien kemudian harus diizinkan untuk melanjutkan kembali aktivitasnya yang normal secara bertahap. Hindarkan pemulihan aktivitas yang cepat pada pasien yang sedang menyembuh dari karditis berat. Sebaliknya, kita harus mencegah praktek kuno yang mengharuskan tirah baring untuk waktu yang lama sesudah karditis stabil dan gagal jantung mereda, karena takut memburuk atau kumatnya karditis. Meskipun telah ada pedoman tirah baring, namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan kasus demi kasus3. 5.2 Pengobatan Korea Sydenham Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat ini sangat bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2 mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberi steroid3. Pencegahan Sekunder Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan WHO tertera pada tabel 5. Pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan adalah cara yang paling dapat dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien dengan resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat berlangsung lama, pasien yang lebih tua lebih suka cara ini karena dapat dengan mudah teratur melakukanya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin oral yang harus setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer (terapi faringitis), terbukti lebih efektif daripada penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Sulfadiazin juga jauh lebih murah daripada eritromisin.

71

Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada pelbagai faktor, termasuk waktu serangan atau serangan ulang, umur pasien, dan keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan makin besar kemungkinan kumat; setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah serangan terakhir. Pasien dengan karditis lebih mungkin kumat daripada pasien tanpa karditis. Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan sekunder disesuaikan secara individual; beberapa prinsip umum dapat dikemukakan. Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya diberikan profilaksis minimum 5 tahun sesudah serangan terakhir, sekurangnya sampai umur 18 tahun. Pasien dengan keterlibatan jantung dilakukan pencegahan setidaknya sampai umur 25 tahun, dan dapat lebih lama jika lingkungan atau faktor risiko lain mendukungnya1,3. Evaluasi pengobatan setiap 5 tahun. Risiko terjadi kekambuhan paling tinggi dalam 5 tahun pertama2. Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil; akan tetapi sebaiknya tidak dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya mempunyai masalah khusus terutama dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu upaya khusus mengingat resiko terjadinya kumat cukup besar. Untuk pasien penyakit jantung reumatik kronik, pencegahan sekunder untuk masa yang lama, bahkan seumur hidup kadang diperlukan, terutama pada kasus yang berat. TABEL 5. JADWAL YANG DIANJURKAN UNTUK PENGOBATAN DAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI STREPTOKOKUS

PENGOBATAN 1. a. b. Penisilin benzatin G IM

FARINGITIS PENCEGAHAN INFEKSI (PENCEGAHAN SEKUNDER) 1. Penisilin benzatin G IM 600 000-900 000 unit untuk pasien < 30 1 200 00 unit pasien > 30 kg setiap 3-4

(PENCEGAHAN PRIMER)

600 000-900 000 unit untuk pasien < a. 1 200 00 unit pasien > 30 kg b.

30 kg

kg setiap 3-4 minggu minggu

2. hari

Penisilin V oral: 250 mg, 3 atau 4 kali sehari selama 10

2.

Penisilin V oral: 250 mg, dua kali sehari

72

3.

Eritromisin: 40 mg/kg/hari dibagi dalam 2-4 kali dosis

3.

Eritromisin: 250 mg, dua kali sehari

sehari (dosis maximum 1 g/hari) selama 10 hari 4. Sulfadiazin: 0,5 g untuk pasien < 30 kg sekali sehari 1 g untuk pasien > 30 kg sekali sehari Prognosis Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju (hampir 0%) namun masih sering ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga mempengaruhi kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah serangan demam reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi penyakit valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya sebesar 9-39%1,9. Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut hingga mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka penyembuhan yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur. Informasi ini harus disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan prognosis yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat1.

1) Streptococcus viridans
Streptococcus Viridans

Streptococcus viridans adalah istilah nonLinnaenan sekelompok pseudotaxonomic besar komensal untuk streptokokus

bakteri yang baik -hemolitik , menghasilkan warna hijau pada darah agar-agar pelat (maka
73

nama viridans, dari bahasa Latin viridis, hijau), atau nonhemolytic. Tidak memiliki antigen dan secara umum patogenisitas rendah. Morfologi kokkus berbentuk tunggal bulat telur dan tersusun dalam bentuk rantai khas. Selain itu, juga S. Pyogens dalam klas ifikasi lancefield tergolong kelompok A karena mengandung antigen A. Streptokokkus juga bersifat fakultatif anaerob. Patologi Semua hewan yang terinfeksi dengan agen biotik. Mereka agen yang tidak menyebabkan penyakit yang disebut nonpathogenic, atau komensal. Mereka yang menyerang dan menyebabkan penyakit disebut patogen. Streptococcus viridans bakteri, misalnya, ditemukan di tenggorokan lebih dari 90 persen orang sehat. Di daerah ini mereka tidak dianggap patogen. Agen infeksius sering viridans Streptococcus, biasanya tidak berbahaya penghuni mulut. Bakteri di dalam hati menjadi tertutup dengan lapisan fibrin, yang melindungi mereka dari kehancuran oleh granulosit Organisme yang paling melimpah di mulut, dan salah satu anggota kelompok adalah etiologi agen karies gigi. Hal ini dikarenakan bakteri ini mengubah semua makanan menjadi asam. Bakteri, asam, sisa makanan, dan ludah bergabung membentuk bahan lengket yang disebut plak, yang menempel pada gigi. Plak paling banyak ditemukan di gigi geraham belakang. Jika bakteri ini juga masuk ke dalam pulpa maka pulpa akan mati. Pada saat ini tidak akan terasa nyeri. Tetapi beberapa lama kemudian jika dipakai untuk menggigit atau jika lidah maupun jari tangan menekan gigi yang terkena, maka gigi ini akan menjadi peka karena peradangan dan infeksi telah menyebar keluar dari ujung akar dan menyebabkan abses. Memiliki potensi menyebabkan endokarditis , terutama pada individu dengan kerusakan katup jantung. Mereka adalah penyebab paling umum dari bakteri endokarditis subakut. Orang dengan murmur jantung (menunjukkan turbulensi di istirahat curah jantung), kelainan jantung diketahui, atau riwayat demam rematik atau demam berdarah telah diselenggarakan untuk menjadi lebih rentan untuk mengembangkan endokarditis infektif , dan telah diperlakukan terhadap kemungkinan ini dengan dosis bolus dari antibiotik (misalnya amoksisilin 3 gram) sesaat sebelum gigi.

74

Streptococcus viridans memiliki kemampuan unik untuk mensintesis dekstran dari glukosa, yang memungkinkan mereka untuk mematuhi agregat fibrin-platelet di katup jantung yang rusak. Mekanisme ini mendasari kemampuan mereka untuk menyebabkan penyakit jantung subakut valvular berikut ini diperkenalkan ke dalam aliran darah (misalnya, mengikuti ekstraksi gigi). Mereka juga dapat menimbulkan necrotizing fasciitis . Necrotizing fasciitis (NF), umum dikenal sebagai penyakit pemakan daging atau daging-makan sindrom bakteri, adalah jarang infeksi dari lapisan lebih dalam dari kulit dan jaringan subkutan , mudah menyebar di fasia pesawat dalam jaringan subkutan. Tipe I menggambarkan infeksi polymicrobial, sedangkan Tipe II menjelaskan infeksi monomicrobial. Diagnosis Mikrobiologi untuk streptococcus viridans Diagnosis mikrobiologi untuk non hemolitic streptokokus hampir sama dengan isolasi dan identifikasi streptokokus lainnya. Patogenitas ditunjukkan oleh adanya koloni kecil ( diameter sekitar 0,5 mm) yang dikelilingi oleh suatu zona hemolysis. Selanjutnya perbedaan difokuskan biasanya oleh kurangnya kemampuan untuk tumbuh pada media liquid yang mengandung 6,5% Na C l, dan esculin terhidrolisis dengan adanya garam empedu(yang positive terkandung dalam 10% isolasi), dan pembedaan ciri adalah kekurangan sensitifitas terhadap optohin (yagn tidak menghambat pertumbuhan bacteria). Ciri tambahannya adalah tingginya sensitifitas dari kebanyakan isolat terhadap penisilin.

UJI LABORATORIUM STREPTOCOCCUS Spesimen Spesimen diambil sesuai asal infeksi streptokokus. Usapan tenggorokan, pus, atau darah diambil untuk biakan. Serum diambil untuk penentuan antibodi. Pada pemeriksaan Streptococcus pyogenes, spesimen dapat diambil dari darah, cairan pleura, cairan sendi, cairan otak, urin, usapan tenggorokan, dll. Pada uji laboratorium untuk bakteri Streptokokus, diperlukan pembuatan preparat untuk pengecatan gram. Pada hasil pembacaan menggunakan
75

mikroskop untuk bakteri Streptokokus akan terlihat bentuk bulat, pengecatan gram tercat gram positif (berwarna merah), susunan biasanya khas berderet-deret membentuk rantai panjang atau pendek. (Gambar di samping menunjukkan hasil pembacaan mikroskop untuk Streptococcus pyogenes). Terdapat 3 macam Streptokokus berdasarkan hemolisis nya yaitu hemolisis tipebeta, hemolisis tipe-alpha, dan hemolisis tipe-gamma. Streptococcus pyogenes termasuk dalam hemolisis tipe-beta. Sedangkan Streptococcus viridans termasuk dalam hemolisis tipealpha. Penanaman/biakan spesimen yang dicurigai adanya streptokokus dilakukan pada lempeng agar darah. Pada biakan, ketiga jenis streptokokus ini dapat dibedakan. Hemolisis tipe- : Streptococcus pyogenes Biakan darah akan menumbuhkan streptokokus jenis ini dalam beberapa jam atau hari. Terjadi hemolisis total dari sel darah merah, dan hemoglobin digunakan secara total oleh kuman, sehingga terbentuk zona jernih di sekitar kuman yang terlihat jelas pada medium agar darah. Hemolisis tipe-alpha : Streptococcus viridans atau Streptococcus pneumoniae Biakan darah akan menumbuhkan streptokokus secara lambat, sehingga biakan darah pada kasus yang dicurigai endokarditis kadang tidak menunjukkan hasil positif dalam beberapa hari. Terjadi hemolisis sebagian dari sel darah merah dan reduksi dari hemoglobin menjadi methemoglobin sehingga muncul zona hijau di sekitar kuman. Terlihat jelas pada medium agar coklat dan juga pada agar darah. Uji Deteksi Antigen Beberapa alat komersial tersedia untuk menguji antigen streptokokus grup A dari usapan tenggorokan secara cepat. Peralatan ini menggunakan metode enzimatik atau kimiawi untuk mengekstraksi antigen dari usapan, lalu menggunakan EIA atau tes aglutinasi untuk menunjukkan adanya antigen. Tes ini dapat selesai dalam beberapa menit atau jam setelah spesimen diambil. Sesitivitas tes ini adalah 60-90% dan spesifitasnya 98-99% bila dibandingkan dengan metode biakan dan lebih cepat dari metode biakan. Pemeriksaan Serologi
76

Peningkatan titer antibodi terhadap berbagai antigen streptokokus grup A dapat dihitung: Antibodi tersebut antara lain adalah antistreptolisin O (ASO), khususnya pada penyakit pernapasan; anti-Dnase dan antihialuronidase, khususnya pada infeksi kulit; antistreptokinase; antibodi spesifik tipe anti-M; dan lain-lain. Di antara semua ini, yang paling sering digunakan adalah titer anti-ASO. Sumber: Laporan Praktikum Mikrobiologi: Staphylococcus dan Streptococcus. http://id.scribd.com/doc/94698005/tugas-mikro1 Mikrobiologi Jawetz

IMUNITAS Resistensi terhadap penyakit streptokokus bersifat spesifik untuk setiap tipe ( typespecific). Karena itu, pejamu yang telah sembuh dari infeksi akibat salah satu streptokokus grup A tipe M relatif tidak rentan terhadap infeksi dengan tipe M lainnya. Antibodi yang spesifik untuk tipe anti-M dapat ditemukan dengan tes yang memanfaatkan fakta bahwa streptokokus segera mati dengan proses fagositosis. Protein M mengganggu fagositosis, tetapi dengan adanya antibodi spesifik-tipe terhadap protein M, streptokokus dibunuh oelh leukosit manusia.
77

Antibodi untuk streptolisin O (antistreptolisin O, ASO) terbentuk setelah infeksi; antibodi ini menghambat hemolisis oleh streptolisin O tetapi tidak menunjukkan imunitas. Titer yang tinggi (>250 unit) menandakan infeksi yang baru saja terjadi atau infeksi ulang dan lebih sering ditemukan pada penderita rematik daripada penderita infeksi streptokokus tanpa komplikasi. Sumber: Mikrobiologi Jawetz

ENDOKARDITIS PENDAHULUAN Endokarditis infektif (EI) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme pada permukaan endotel jantung. Infeksi biasanya paling banyak mengenai katup jantung, namun dapat juga terjadi pada lokasi defek septal, ataukorda tendinea atau endokardium mural. Lesi yang khas berupa vegetasi yaitu massa yang terdiri dari platelet, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel inflamasi,dengan ukuran yang bervariasi. Dahulu Infeksi
78

pada endokardium banyak disebabkan oleh bakteri sehingga disebut endokariditis bakterial. Sekarang infeksi bukan disebabkan oleh bakteri saja, tetapi bisa disebabkan olehmikroorganisme lain, seperti jamur, virus, dan lain-lain. Banyak jenis bakteri dan jamur, Mycobacteria, Rickettsiae, Chlamydiae, dan mikoplasma menjadi penyebab endokarditis, namun Streptococci, Staphylococci, Enterococci, dan Cocobacilli gram negatif yang berkembang lambat merupakan penyebab tersering. Endokarditis infektif dapat terjadi secara tiba-tiba dan dalam beberapa hari bisa berakibat fatal (endokarditis infektif akut); atau bisa terjadi secara bertahap dan tersamar dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan (endokarditis infektif subakut). Bakteri penyebab endokarditis bakterialis akutkadang-kadang cukup kuat untuk menginfeksi katup jantung yang normal ataukatup yang sehat; sedangkan bakteri penyebab endokarditis bakterialis subakuthampir selalu menginfeksi katup abnormal (katup yang pada dasarnya sudahmengalami kelainan struktur) maupun katup yang rusak. Endokarditis tidak hanya terjadi pada endokardium dan katup yang telah mengalami kerusakan, tetapi juga pada endokardium dan katup yang sehat, misalnya pada penyalahgunaan narkotika perintravena atau pada penyakit kronik. Perjalanan penyakit endokarditis bisa akut, sub akut, ataupun kronik, tergantung pada virulensi mikroorganisme dan daya tahan penderita. Infeksi subakut hampir selalu berakibat fatal yang berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan penyebab biasanya Streptococcus viridans, Enterococci, Staphylococci sedangkan hiperakut/akut koagulase negatif atau Cocobacilli gram negatif, toksisitas yang nyata dan berkembang menunjukkan

dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, mengakibatkan destruksi katup jantungdan infeksi metastatik, dan penyebab khasnya yaitu Staphylococcus aureus. Endokarditis kronik hampir tidak dapat dibuat diagnosanya, karena gejalanya tidak khas. SUMBER: http://id.scribd.com/doc/57007769/Endokarditis-Yang-Baru ENDOKARDITIS DIAGNOSTIK Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang tambahan lainnya. Pada pemeriksaan penunjang ekokardiografi bisa ditemukan adanya vegetasi dan kerusakan katup jantung. Penegakan diagnosis endokarditis yang biasa dipakai dengan menggunakan kriteria duke, yaitu:
79

Diagnosis kriteria duke: 1. Kriteria Patologisa. a. Mikroorganisme, yang ditemukan dalam kultur atau pemeriksaan histologi di dalam vegetasi, emboli yang berasal dari vegetasi, atau abses intrakardiak b. Dari pemeriksaan histologi didapatkan adanya endokarditis aktif didalam vegetasi atau abses intrakardiak 2. Kriteria Klinisa. a. 2 kriteria mayor b. 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor c. 5 kriteria minor Kriteria Mayor: a. Kultur darah positif: Mikroorganisme khas untuk endokarditis infektif Streptococcus viridans Streptococcus bovis Grup HACEK, Staphylococcus aureus atau Enterococcus Bakteremia yang persisten 2 kultur darah (+) dalam waktu 12 jam terpisah 3 kultur darah (+) dalam waktu > 1 jam terpisah b.

b. Keterlibatan Endokardial Ekokardiografi yang positif dengan adanya vegetasi, abses, perforasi katup atau gangguan katup protesac. c. Regurgitasi katup baru Kriteria Minor: a. Adanya faktor predisposisi: predisposis dari kondisi jantung itu sendiridan pada penyalahguna narkoba intravena b. Demam dengan suhu > 38derajat Celcius
80

c. Fenomena vaskular: arterial peteki, major arterial emboli, septic pulmonary infarcts mycotic aneurysm, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, janeway lesion d. Fenomena imunologis: glomerulonefritis, osler nodes, roth spots, faktor reumatoide. e. Mikrobiologi/serologi: kultur darah (+) tapi tidak ditemukan tanda-tanda pada kriteria mayor atau secara serologik terbukti adanya infeksi aktif dari kuman-kuman penyebab endokarditis infektif. TES DIAGNOSTIK Diagnosis Endokarditis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium antara lain: kultur darah dan pemeriksaan penunjang ekokardiografi. Investigasi diagnosis harus dilakukan jika pasien demam disertai satu atau lebih gejala kardinal; ada predisposisi lesi jantung atau pola lingkungan bakteremia, fenomena emboli dan bukti proses endokard aktif, serta pasien dengan katup prostetik. Pada anamnesis keluhan yang paling sering ditemukan adalah demam. Keluhan lain dapat berupa menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual, muntah, penurunan berat badan, dan nyeri otot atau sendi. Pemeriksaan fisis yang cukup penting adalah ditemukannya murmur yang merupakan petunjuk lokasi keterlibatan katup. Pada endokarditis dengan keterlibatan katup trikuspid murmur ditemukan pada 30-50% kasus pada presentasi awal. Murmur yang khas adalah holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengan lebih jelas saat inspirasi ( RivelloCarvallo maneuver). Sedang endokarditis pada katup jantung kiri, murmur ditemukan lebih dari 90%. Tanda Endokarditis pada pemeriksaan fisis yang lain adalah kelainan kulit antara lain fenomena emboli, splenomegali, clubbing, petekie, Olsers node dan lesi Janeway, lesi retina/Roth spot. Tanda- tanda karena kelainan vaskuler seperti : 1. ptechiae, bercak pada kulit atau mukosa yang kelihatan pucat. 2. splinter hemoraghes bercak kemerahan dibawah kulit. 3. osler node, nodus berwarna gelap yang menonjol dan sakit, terdapat pada kulit, tangan atau kaki, terutama pada ujung jari kaki.

81

4. janeway lesion, bercak kemerahan pada telapak tangan atau kaki, tandatanda pada mata berupa ptekie konjungtiva, perdaarahan, kebutaan, tanda endoflamitis. Semua tanda-tanda yang disebutkan diatas tidak selalu ada pada penderita endokarditis. Pemeriksaan laboratorium: Kultur Darah yang positif merupakan kriteria diagnostik utama dan memberikan petunjuk sensitivitas antimikroba. Beberapa peneliti merekomendasikan kultur darah diambil pada saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan pengambilan darah kultur 3 kali, sekurang-kurangnya dengan interval 1 jam, dan tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan kultur darah terdiri atas satu botol untuk kuman anaerob dan satu botol untuk kuman anaerob dan diencerkan sekurangkurangnya 1:5 dalam broth media. Minimal jumlah darah yang diambil 5 ml, lebih baik 10 ml pada orang dewasa. Jika kondisi pasien tidak akut, terapi antibiotika dapat ditunda 2-4 hari. Ekokardiografi bermanfaat untuk mengetahui kerusakan anatomi/morfologiyang ditimbulkan oleh infeksi. Ekokardiografi tidak perlu dilakukan pada pasiendengan kultur darah positif atau pasien demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of unknown origin/FUO) jika dugaan kemungkinan EI rendah. Akan tetapi ekokardiografi sebaiknya dilakukan pada setiap pasien yang klinisnya mengarah keEI, khususnya pasien yang kultur darahnya negative. Pada pasien endokarditis katupdigunakan TEE biplane (dua bidang) ata multiplane (banyak bidang) yangmempunyai color dan pulsed Doppler karena lebih baik daripada TTE. Dengan TEEdapat terlihat vegetasi kecil dan resolusinya lebih baik daripada TTE. Jadi TEE bukan hanya sangat bermanfaat untuk pasien yang disuspect EI tetapi juga merupakan pilihan pemeriksaan untuk mengevaluasi katup pulmonal, pasien endokarditis katup prostetik, dan pasien yang beresiko tinggi mengalami komplikasi dalam jantung atau pasien yang tetap mengalami infeksi atau invasi infeksi padahal sudah diberikan antibiotik. Kesimpulan :

82

Daftar pustaka Brook, Geo F, et al. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelbergs ed. 23. Jakarta: EGC

Fauci, Anthony S, et al. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.

Guyton, Arthur C dan John E Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:EGC

83

Anda mungkin juga menyukai