Anda di halaman 1dari 126

STEM CELL DALAM TERAPI PENYAKIT KARDIOVASKULAR Djanggan Sargowo Dosen Fakul as Ke!

ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a


A's rak Penyakit jantung, termasuk didalamnya Infark miokard dan Iskemik miokard merupakan penyakit yang berhubungan dengan kehilangan yang permanen dari kardiomiosit dan vaskuler, baik dengan cara apoptosis ataupun nekrosis. Bagaimanapun, kemampuan alami tubuh untuk memperbaki dan memperbarui jaringan miokard tidak efektif seperti yang terjadi pada terapi yang saat ini dipergunakan untuk mencegah remodeling dari ventrikel kiri. Transplantasi sel telah muncul sebagai terapi yang berpotensial untuk mempopulasikan dan memperbaiki miokard yang rusak secara langsung. Suatu analisa yang detail dan melihat ke depan sedang di kembangkan pada aplikasi stem cell, keduanya dalam bidang penelitian dan kardilogi klinis disajikan pada tulisan ini, menyorot mengenai penggunaan stem cell/ progenitor sel pada spektrum luas termasuk di dalamnya mengenai stem sel embrionik dan fetal, mieloblast, dan stem sel sumsum tulang pada orang de asa. Sebuah diskusi mengenai perbandingan yang terbaru dari penggunaan tipe sel donor, dan evaluasi dari gangguan miokard yang mungkin paling dapat diterima sebagai terapi stem cell. !usi sel dan transdiferensiasi dari sel miokard memiliki peranan penting pada transplantasi stem cell, kekurangan khususnya dalam bidang teknologi, dan rekomendasi cara"cara praktis untuk mengatasi masalah ini juga disajikan dalam tulisan ini. Ka a Kun(" ) Stem cell, diferensiasi, kardiomiosit, penyakit jantung, infark miokard, iskemia miokard.

STEM CELL T*ERAPY IN CARDIOVASCULAR DISEASE Djanggan Sargowo Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A's ra( #eart disease including myocardial infarction and ischemia is associated ith the irreversible loss of cardiomyocytes and vasculature, both via apoptosis or necrosis. #o ever, the native capacity for the rene al and repair of myocardial tissue is inade$uate as have been current therapeutic measures to prevent left ventricular remodeling. %ell transplantation has emerged as a potentially viable therapeutic approach to directly repopulate and repair the damaged myocardium. & detailed analysis and a vision for future progress in stem cell application, both in research and clinical cardiology are presented in this revie , highlighting the use of ide spectrum of stem/progenitor cell types including embryonic or fetal stem cell, myoblast, and adult bone marro stem cells. &n up"to"date comparison of donor cell"types used, and evaluation of the myocardial disordersthat migh be most amenable to stem cell therapy are discussed. The roles that myocardial cell fusion and transdifferentiation play in stem celkl transplantation, the specific shortcomings of available technologies, and recommenadations for practical ays that these concerns might be overcome, are also presented. Ke%wor!s ) stem cells, differentiation, cardiomyocytes, heart disease, myocardial infarct, myocardial ischemia.

'

-. La ar /elakang (emajuan mutakhir dalam bidang penelitian stem cell telah dikonfirmasi berpotensial untuk digunakan untuk regenerasi jaringan. Penyakit jantung, termasuk infark miokard dan iskemi merupakan penyakit yang berhubungan dengan kehilangan yang permanen dari kardiomiosit dan vaskuler, baik dengan cara apoptosis ataupun nekrosis. (emampuan alami tubuh untuk memperbaki dan memperbarui jaringan miokard tidak efektif seperti yang terjadi pada terapi yang saat ini dipergunakan untuk mencegah remodeling dari ventrikel kiri. Transplantasi sel, yang secara langsung bertujuan untuk mrmpopulasikan jaringan memberikan metode terapi yang dapat digunakan untuk memperbaiki jaringan miokard yang rusak. Bagaimanaupun, disamping kemajuan yang mengagumkan pada bidang ini, terdapat masalah yang cukup signifikan pula, terutama masalah etik, tumorigenic, potensial arrythmogenic yang pada tehnik ini menyajikan diferensiasi pada sel somatic. Terlebih, ketidakpastian mengenai apakah sel membentuk jaringan baru atau apakah sel akan mengeluarkan materi yang justru akan merugikan sel yang sudah ada. 0.Pen!a1uluan Penyakit jantung merupakan masa kesehatan endemic terbesar di dunia. Terlepas dari pertimbangan klinis dan usaha yang besar pada dekade terakhir ini dan perkembangan obat"obatan baru dan terapi bedah, mortalitas dan morbiditas tetap sangat tinggi. (arena keterbatasan potensial sel miokard untuk memperbaiki dan memperbarui dirinya sendiri, maka sejumlah proporsi otot jantung secara signifikan kehilangan kemampuannya untuk bekerja, dan kehilangan ini mungkin menjadi factor terpenting pada kejadian gagal jantung yang timbul pada apasien dengan penyakit coronary artery dan dilatasi kardiomiopati. Sampai akhir"akhir ini, metode reperfusi untuk iskemik miokard merupakan satu" satunya intervensi yang tersedia untuk mengganti beragam fungsi selular yang terimbas oleh iskemi miokard, termasuk

mencegah kematian sel karena proses nekrosis atau apoptosis. Sayangnya, metode reperfusi menghasilkan kerusakan miokard yang luas, termasuk miokard stunning, dan pemulihan jantung dapat muncul hanya setelah periode disfungsi kontraktile yang dapat memakan aktu berjam"jam sampai beberapa hari. #al ini merupakan bukti bah a keterbatasan kapasitas regenerasi dan proliferasi dari kardiomiosit manusia tidak dapat mencegah pembentukan formasi scar yang mengikuti infark miokard maupun kehilangan dari fungsi jantung yang muncul pada pasien dengan gagal jantung dan kardiomiopati. !ungsi penggantian dan regenarasi otot jantung merupakan tujuan akhir yang sangat penting, yang dapat didapatkan baik dengan menstimulus autologous kardiomiosit resident atau dengan trasplantasi sel allogenic ) contoh * stem sel embrionik, sel mesenchym sumsum tulang, atai myoblast tulang+. Bagaimanapun, berbagai masalah untuk mencapai keberhasilan implantasi sel ini tetap ada, dan akan dibahas pada tulisan ini. 2. S e& Cell E&'r"on"k 3ES4

Stem sel yang paling primitive dari semua stem sel adalah stem sel ambrionik ),S+ yang berkembang sebagai massa pada inner cell pada blastosit manusia pada hari - setelah fertilisasi. Pada tahap a al ini, sel ,S mempunyai potensial masa perkembangan yang tercepat dikarenakan sel ini dapat berkembang menjadi . lapis bakal embrio. /ika diisolasi dan dikembangkan pada media kultur yang tepat, pluripotenst tikus dan sel ,S manusia dapat melakukan proliferasi sel dan membentuk bentukan agregasi embrio )embryoid bodies+ in vitro, beberapa dapat berkontraksi spontan )gambar '+. Badan embrio berisi populasi campuran dari berbagai diferensiasi tipe sel termasuk didalamnya kardiomiosit, berdasar pada tanda gen spesifik kardiak seperti cardiac myosin heavy chain, troponin I dan T kardiak, factor natriuretik atrial, dan factor transkripsi kardiak 0&T&"1, 2k34.-, dan 5,!"4. 6ltrastruktur selular, dan aktivitas elektrik ekstraselular 7'".8. (ardiomiosit ini dapat

dari atrium pacemaker dan tipe seperti

ventrikel dan keduanya dapat dibedakan berdasarkan pola spesifik aksi potensial.

0ambar. )'+. Pluripoten sel induk embrionik secara spontan berdiferensiasi menjadi sel"sel progenitor endotel ),P%+, hemangioblasts, sel"sel batang mesenchymal dan badan embryoid )agregat embrio"suka+. #emangioblasts menghasilkan lebih membedakan kedua sel induk hematopoietik )#S%+ dan ,P% yang menimbulkan baik darah pembuluh darah dan komponen myocyte. 9i ba ah kondisi yang sesuai )sebagian besar yang tetap akan ditentukan+, kardiomiosit dapat membentuk dari tubuh embryoid maupun dari ,P% dan stem sel mesenchymal )0racia /5. %S%:T. 4;;<+.

Sementara itu peristis a selular dan molekular yang tepat yang berisi jalur sel ,S pada diferensiasi spesifik kardiomiosit sebagian besar masih tetap belum ditentukan, proses yang signifikan telah dibuat untuk mengidentifikasi faktor yang meregulasi dimana factor tersebut dapat menigkatkan atau menghambat proses )gambar 4+. 9iferensiasi sampai ke tipe sel partikular tergantung pada faktor ini. 5isalnya , penghambatan sinyal bone morphogenetic protein )B5P+ oleh antagonisnya 2oggin menginduksi diferensiasi kardiomiosit dari sel ,S tikus 7=8, sementara asam retinoic secara spesifik menginduksi pembentukan formasi dari kardiomiosit ventricular yang spesifik. 2itrit o3ide )2>+, dihasilkan pula oleh aktivitas 2> sintetase atau eksposur 2> eksogen yang juga telah terlibat pada kemajuan diferensiasi spesifik kardiomiosit dari sel ,S tikus. 9iferensiasi kardiomiosit pada sel ,S

manusia dapat ditingkatkan menggunakan treatmen -"a?a"4@deo3ycytidine 7';8. /uga I0!"' dapat meningkatkan diferensiasi fenotip dan ekspresi dari fenotip kardiomiosit pada sel ,S secara in vivo 7'8. 5enariknya, peningkatan level dari stress oksidatif muncul untuk mengurangi perkembangan kardiotipik dari badan embrio. Penelitian a al dengan menggunakan kardiomiosit fetus dan transplantasi sel ,S dilaporkan sukses membentuk formasi grafts yang stabil dan discus intercalates nascent diantara graft dan host sel miokardial. 7'."'18. Sebagai tambahan, kedaua"duanya, baik fetal maupun stem sel embrionik menghasilkan kardiomiosit mempertahankan properti elektromechanical miokard. Sel ,S manusia berasal. 9emikian pula, transplantasi turunan sel ,S kordiomiosit manusia mampu berintegrasi dengan cepat

secara in vivo pada jantung babi yang mengalami blok atroventrikular lengkap, seperti yang telah ditunjukkan secara rinci dengan menggunakan pemetaan elektrofisiologi yang detail dan penelitian histopatologi. (esamaan fenotipe sel ,S terdiferensiasi yang telah ditransplantasikam sulit untuk dibedakan dengan cardiomiosit fetalt )terutama pada manusia+ menunjukkan bah a sel ,S dapat menjadi pengganti kardiomiosit janin pada manusia pada dalam melakukan prosedur engraftment jantung 7'18. (etika kardiomiosit janin tikus ditransplantasikan ke jantung yang telah mengalami iskemik, sebagian besar kardiomiosit mati setelah ditransplantasikan 7'-8. Penemuan bah a tidak terdapat peningkatan ukuran graft yang muncul ketika jumlah kardiomiosit yang disuntikkan ditingkatkan mendorong untuk dilakukan pertimbangan ulang mengenai penggunaan klinis tranplantasi kardiomiosit sebagai pengobatan pada penyakit jantung iskemik. #al ini memperjelas bah a dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk mengembangkan strategi yang sukses yang dapat memaksimalkan kemampuan bertahan hidup dan proses diferensiasi dari sel kardiomiosit yang dicangkokkan.

menunujukkan pertumbuhan fenotipe yang sangat baik, baik secara in vivo maupun in vitro. Pengembangan dan penerapan jalur sel ,S )P'A misalnya+, yang sangat informatif dalam hal indentifikasi dan karakterisasi faktor regulasi., activator transkripsi dan transduksi terlibat dalam diferensiasi kardiomiosit, juga mungkin berguna pada terapi transplantasi sel 7'="'A8. 9ata a al menunjukkan bah a sel ,S dapat menjadi suatu nilai tertentu sebagai target dan memodifikasi fenotipe cacat jantung ba aan 74;"4'8. Setelah keamanan dikonfirmasi, studi klinis lebih lanjut harus membahas penggunaan sel ,S yang ditargetkan sebagai terapi pada bayi / anak"anak dengan penyakit jantung berat termasuk cardiomiopati, cacat jantung ba aan dan aritmia. Sel"sel ,S juga mungkin lebih dapat menerima rekayasa ex vivo melalui modifikasi 92& )misalnya terapi gen, transfeksi virus, knockouts dan gen over" e3pressed+. !aktanya, transformasi dari kardiomiosit normal pada sel pacemaker telah berhasil dicapai pada he an model dengan cara menginjeksi vector plasmid atau virus yang memba a gen pengkode terapi berupa protein yang spesifik 744" 418. 9alam cara ini, sel ,S ditransfeksi dengan reseptor adrenergic B"4 yang ter" over"ekspresi, atau protein pada channel ion dapat ditransplantasikan untuk mengembalikan fungsi sel"sel miokard yang rusak. 2amun, keamanan dan kemanjuran metodologi ini harus benar" benar terbukti sebelum digunakan pada manusia yang mengalami aritmia jantung.

3.1 ES

Keun ungan Trans5lan as" Sel

Sel"sel ,S yang diperoleh dari lapisan bagian dalam blastocyst dapat dengan mudah dan reproduktif, dan

0ambar. )4+. Signaling jalur berpotensi terlibat dalam diferensiasi kardiomiosit. B5P, protein morphogenetic tulangC Dnt, campuran dari bersayap )Dg+ dan int )lokus integrasi+C !0!, faktor pertumbuhan fibroblast, >5, membran luarC transisi permeabilitas )PT+ membuka pori"pori, PE%, fosfolipase %. 2.0. Ke er'a asan !an Kek1awa "ran Mengena" Trans5lan as" ESC Pertimbangan mengenai kekha atiran masalah etika dan hukum tentang penggunaan sel"sel ,S tetap ada, dan masalah ini telah merintangi penelitian upaya lebih lanjut, dimana upaya tersebut diperlukan karena dapt memberikan jalur sel sehingga dapat menja ab banyak pertanyaan mengenai efikasi, stabilitas jangka panjang, fungsi dan bahkan tingkat efek negatif dari transplantasi sel ,S pada penyakit kardiovaskuler )dan juga di penyakit manusia lainnya+. Sebuah keprihatinan sering diajukan tentang penggunaan sel"sel ,S berhubungan dengan sumbernya )yakni apakah sel"sel tersebut berasal dari jalur sel atau langsung dari embrio+, terutama heterolog versus autologous, muncul problem potensial jika menghasilkan reaksi alogenik atau rejeksi imun pada saat transplantasi. Sebagai tambahan, sel ,S pluripoten yang berpotensial mempunyai pertumbuhan yang tak terbatas dapt menghasilkan efek tumorigenic, sehingga merupakan saran yang baik untuk dilakukan screening pembentukan teratoma. Terlebih lagi, terdapat bukti bah a diferensiasi dari populasi sel ,S yang heterogen tidak terlalu efisien, meskipun beberapa agen )misalnya asam retinoat+ tampaknya efektif dalam mengaktifkan perluasan yang lebih bagus pada mediated"sel ,S yang terdiferensiasi sel kardiomiosit spesifik. Stablitas jangka panjang pada fenotipe sel ,S yang terdiferensiasi juga mendapat perhatian yang beragam karena beberapa penelitian telah menunjukkan hilangnya diferensiasi sel ,S kardiomiosit dari aktu ke aktu. Transplantasi sel ,S progeny mungkin tidak selalu memiliki fungsi normal karena sel"sel ,S dapat memicu aritmia pada jantung yang ditransplantasi. 9i sisi lain, penerapan sel"sel ,S dalam memperbaiki jantung yang rusak akibat penuaan juga terbatasC bagaimanapun juga keterbatasan ini telah diusulkan, saat ini tidak ada pendukung data yang solid. 2amun demikian, tranplantasi sel )baik ,S atau stem sel de asa+ pada jantung manula telah terbukti kurang efektif. (etidakmampuan miokardium yang rusak

untuk menyediakan molekul sinyal yang tepat untuk engraftment stem sel tampaknya membatasi kapasitas sel"sel tersebut untuk rekrutment dan berintegrasi ke dalam miokardium yang telah mengalami penuaan 7'<8. 2.2. Reko&en!as" '. Penggunaan terapi tranplantasi sel ,S pada penyakit jantung terutama membutuhkan demonstrasi yang ketat yang dapat bekerja secara stabil dan dengan efek samping yang terbatas. 4. 5eskipun dikenakan dana yang terbatas dari pemerintah federal, sumber baru sel"sel ,S dan cell"lines untuk penelitian transplantasi sel ,S perlu untuk ditingkatkan dan tampaknya akan ditingkatkan, memberikan kekuatan yang luas pada dunia, korporasi dan dana dari 2egara yang berminat pada teknologi dan manfaat dari peneltiian ini. Invenstigasi menjadi cara baru untuk mengisolasi dan mengkultur autolog sel ,S juga harus terbukti menjadi sesuatu yang penting. .. Pemahaman secara menyeluruh tentang faktor"faktor yang mungkin dapat menghambat penempatan sel"sel ,S ke jantung dan menstimulasi atau mengarahkan diferensiasi sel"sel ,S untuk menjadi kardiomiosit yang berfungsional saat ini tampaknya belum sempurna. )kritik juga berlaku untuk stem sel de asa+. Identifikasi factor"faktor ini seperti juga mekanisme kerjanya sepertinya akan mengoptimalkan penempatan dan proses diferensiasi serta berkontribusi untuk mendefinisikan scenario kasus terbaik dimana transplantasi sel ,S akan bermanfaat. 6. Sel Rangka M%o'las Dewasa Transplantasi satelit sel stem )myoblast+ dari otot rangka dapat dengan sukses ditempatkan dan ditanamkan pada mikoard yang rusak, mencegah progresifitas dilatasi ventrikel dan meningkatkan fungsi jantung. 5yoblast ini dapat disalurkan ke miokardium dengan cara impalantasi intra mural atau melalui arteri, dan akhir"akhir ini penyebaran yang efektif dari metode kateter yang kurang invasif telah dilaporkan 7.;8. Sel otot rangka satelit pada kultur dapat berproliferasi secara

berlimpah, dan dapat dengan mudah tumbuh dari pasien sendiri )diturunkan sendiri atau autolog+ dengan demikian menghindari respon imun yang potensial. 5yoblast relatif resisten terhadap iskemi )dibandingkan dengan kardiomiosit yang menjadi rusak dalam aktu 4; menit+ karena myoblasts dapat bertahan beberapa jam dari proses iskemia berat tanpa terjadi cedera yang ireversibel. 5anfaat fungsional dari transplantasi intramiokardial myoblast skeletal dalam meningkatkan miokardium yang rusak sekunder terhadap iskemia telah didokumentasikan 7.48. Percobaan klinis menunjukkan efikasi dari transplantasi myoblast rangka autolog pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri 74=,..8. Penggunaan myoblast rangka, disalurkan via injeksi intramiokard multiple, efektif dalam memulihkan fungsi ventrikel kiri pada model he an hamster Syrian yang mengalami dilatasi kardiomiopati, menunujukkan bah a manfaat fungsional dari transplantasi myoblast rangka dapat diperpanjang untuk kardiomiopati noniskemik 7.18. 6.Keun ungan M%o'las Trans5lan as"

Sejak myoblast dapat berasal dari autolog dan menyebar secara baik dalam sediaan kultur, sejumlah besar sel dapat diperoleh hanya sejumlah kecil sampel biopsi otot skeletal )seperti yang didapatkan dari pasien+ dalam periode yang relatif singkat. &pabila dibandingkan dengan transplantasi sel otot jantung, sel mioblas tampak lebih tahan terhadap kerusakan apoptosis yang sedang berlangsung, yang seringkali berlangsung pada lokasi iskemik. 6.0 /a asan !an Per"1al Mengena" Trans5lan as" M"o'las Sementara beberapa laporan menunjukkan bah a subpopulasi dari mioblas skeletal tertransplantasi telah mampu bertransdifrensiasi menjadi sebuah fenotip"sel otot jantung dengan peningkatan ekspresi dari genetic jantung ).-".<+,sedangkan yang lainnya tidak mampu berreplikasi dari donor mioblas transdifrensiasi menjadi sel otot jantung

<

).=+. (onsensus yang ada dari sebagian besar ahli pada bidang ini menyatakan bah a cangkokan sel mioblas a alnya tetap bukanlah sel otot jantung. Sedangkan, sejumlah bukti menyatakan bah a ketika mioblast dimplantasikan ke dalam jantung, proses perkembangannya dipengaruhi sebagaimana cara lingkungan jantung sehingga hal tersebut mampu memperbaiki kinerja jantung. 5ioblast skeletal ditanamkan ke dalam sebuah miokard yang cedera berdifrensiasi menjadi bersifat tahan"kelelahan, fenotipe kejangan lambat diadaptasi untuk menjadi beban kerja jantung. Terlebih, graft myoblast mungkin menunjukkan koneksi antar sel yang tidak kompetibel dengan kardiomiosit residen dan tidak berespon dengan cara yang sama terhadap sinyal elektrik dan stimulus. Sementrara studi preklinis a al tidak tidak mendeteksi adanya bukti aritmia, studi klinis baru" baru ini telah mengungkapkan bah a subset dari pasien yang menerima transplantasi myoblast rangka dapat mengalami aritmia yang parah dan membahayakan nya a. Penyebab yang tepat terhadap terjadinya aritmia ini masih belum jelas namun mungkin terkait dengan sifat listrik heterogen dan interaksi anatra sel donor dengan sel penerima. 9i lain pihak, aritmia mungkin dipicu oleh medium yang digunakan untuk memperkenalkan sel, bukan oleh sel"sel sendiri 71'8. Sebagai sisipan, manfaat fungsional dari tranplantasi myoblast mungkin berhubungan dengan dengan keterbatasan remodeling pos infark dan / atau efek parakrine dari myoblast yang ditransplantasikan pada jaringan resipien, bukan kontribusi pencagkokan myoblast untuk meningkatkan fungsi sistolik ventrikel. 6.2 Reko&en!as" Le'"1 Lanju Sementara studi preklinis dengan transplantasi sel stem dan myoblast telah menunjukkan efikasi yang sama 714"1.8, ada kebutuhan untuk evaluasi rinci mengenai menfaat relatif, efek samping dan efisiensi myoblast rangka dan tranplantasi stem sel dalam setting klinis )misalnya kegagalan jatung+ vis a vis perbaikan infark miokard. 5etode baru

untuk menilai dan mengoptimalkan perekrutan dan kelangsungan hidup pasca tranplantasi secara lebih baik, khususnya dalam jangka panjang, perlu untuk dkembangkan dan repertoar yang efektif, penyaluran sel yang kurang invasif perlu diperluas. 7. S e& Sel Turunan Sel Su&su& Dewasa 3/MCS4 Perhatian dalam stem sel turunan sumsum tulang telah termotivasi oleh property neovaskularisasi dan angiogenesis dan efek ini meningkat dengan kehadiran hormone pertumbuhan spesifik dan sitokin )misalnya 0%S!+. ,fek manfaat sel ini pada pada sistem vaskuler yang mengalami kerusakan telah dikonfirmasi dan dan kemudian diperluas untuk penelitian pada infark miokard tikus 7118 yang mana sel sumsum tulang diimplantasikan dapat berdiferensiasi menjadi miosit dan pembuluh darah koroner dan dengan demikian memperbaiki fungsi jantung yang rusak. (arena implantasi B5%s memerlukan intervensi pembedahan dan prosedurnya sering disertai angka kematian yang tinggi, dengan hanya 1;-- pencangkokan yang berhasil, pengembangan metode invasif menjadi sangat penting. Salah satu pendekatan adalah yang seperti digunakan pada pengobatan sitokin, faktor stem sel )S%!+ dan faktor perangsangan koloni granulosit )0"%S!+, untuk mobilisasi endogen )B5%s+ dan langsung berintegrasi atau menempatkan pada jantung yang infark sehingga menimbulkan perbaikan. Tikus disuntik dengan S%! A4;;mcg/kg/hari+ dan 0"%S! )-;mcg/kg/ghari+ menunjukkan peningkatan yang substansial dalam jumlah stem sell yang bersirkulasi dari 4A kontrol yang tidak diobati menjadi =.4;; sitokin tikus yang diobati. B5%s endogen ditunjukkan untuk meningkatkan miosit kardiak yang baru dan pembuluh darah koroner, dan turunan B5%s meregenarasi miokard menghasilkan peningkatan fungsi dan ketahanan hidup jantung. Temuan serupa mengenai perbaikan yang dimediasi sel pada infark miokard tikus telah diperoleh dengan menggunakan transplantasi B5%s dimana telah

menimbulakan proliferasi pada miosit dan struktur vaskuler 71-8. 5erupakan sesuatu yang penting untuk menunjukkan bah a sumsum tulang berisi beberapa populasi stem sel dengan fenotip yang saling tumpang tundih, termasuk stem sel hemapoeitic )#S%s+, stem sel precursor endhotel ),P%s+, stem sel mesenchy )5S%s+, sel progenitor multipotent de asa )5&P%s+. (etika sel progenitor endhotel ),P%s+ berasal dari prekursor sel hemangioblast di sumsum tulang ditransfer pada target area impalantasi miokard , akan beridiferensiasi secara in situ dan mendorong pertumbuhan pembuluh darah baru, sebuah metode yang telah diaplikasikan mada beberapa model he an yang mengalami iskemi miokard 71<8. Turunan prekursor / stem sel sumsum tulang ini dapat juga mencegah progresi dari apoptosis kardiomiosit dan remodeling stem kardiak. Terlebih, terdapat bukti bah a ,P%s de asa dapat bertrans"diferensiasi menjadi kardiomiosit aktif 71F8, alaupun sejauh mana hal ini terjadi masih belum diketahui. Pada lain pihak stem sel turunan sumsum tulang menghamabat plastisitas tingkat tinggi sehingga memungkinkan mereka untuk digunakan sebagai sumber autolog dari sel progenitor )dari de asa+. 9engan kemampuan yang potensial untuk berdiferensiasi menjadi kardiomiosit dan dapat digunakan pada kardiomioplasti selular. Setelah pengobatan dengan agen khusus )misalnya -"a?acytidine+, 5S%s dapat berferensiaasi menjadi hentakan kardiomiosit yang sinkron 71A8. Penyuntukan 5S%s setelah berekspansi pada kultur dapat juga digunakan untuk menyelamatkan fenotipe kardiak tikus yang abnormal 7-;8 dan dapat meningkatkan efektifitas dalam memperbaiki kerisakan kardiak yang lebih luas termasuk infark miokard. Selain itu, #S%S sumsum tulang yang berasal dan subpopulasi sel #S% disebut SP sel telah dilaporkan pada transplantasi untuk memperbaiki infark miokardium, mendorong pertumbuhan kardiomiosit baru, sel"sel otot endotel dan halus 7-'8. Sementara ini perbaikan sel miokard termediasi dikarakteristikkan sebagai hasil kemampuan #S%s untuk berdiferensiasi

menjadi kardiomiosit, plastisitas #S% telah sulit untuk mereproduksi dan baik maknanya dan dasar tetapnya belum ditentukan. 7.-. Keun ungan Trans5lan as" Sel /M Dewasa &da bukti bah a pengobatan dengan B5%s dapat memperbaiki kerusakan miokard dan pembuluh darah dengan meningkatkan angiogenesis. Pengaruh transplantasi B5%s )yang dapat mencakup prekursor sel endotel+ vaskular pada pertumbuhan secara signifikan dapat mempengaruhi pemulihan jantung yang rusak, yaitu dengan meningkatkan ketersediaan oksigen, meskipun hal ini tergantung pada setting miokard apakah infark miokard akut atau gagal jantung 71=8. Selain itu, autologously yang diturunkan untuk transplantasi adalah alternatif yang menarik, karena sumsum tulang sel mesenchymal dapat segera diisolasi dalam kebanyakan kasus. Selain itu, perluasan jumlah B5% oleh pertumbuhan in vitro dapat dengan mudah dicapai dengan pertumbuhan kuat sel mesenchymal dalam budaya. #al ini penting bah a metode ini mele ati banyak pusaran etika dan hukum yang terkait dengan penggunaan ,S%s. 7.0. Ke er'a asan 8 Masala1 !engan Trans5lan as" /MC Dewasa 5ekanisme augmentasi B5%"dimediasi jumlah kardiomiosit dan fungsinya masih kontroversial. Beberapa studi telah menyarankan bah a efek dari transplantasi sel induk de asa pada jantung resipien bukan merupakan akibat dari transdifferensiasi 7-48, tetapi mungkin timbul sebagai akibat dari fusi sel dengan kardiomiosit yang sudah ada atau terjadi sebagai fungsi efek parakrin dari transfected sel 7-.8 sementara yang lain mempertahankan bah a ada bukti untuk transdiferensiasi 71<,-1"-=8. !usi sel telah ditunjukkan antara kardiomiosit dan nonkardiomiosit secara in vivo dan in vitro 7-F"-A8 dan data dalam mendukung transdifferentiation )terutama dengan #S%S+ tidak selalu dapat ditiru. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi isu"isu ini dan

mendamaikan klaim yang bertentangan serta memberikan informasi tambahan tentang tingkat fusi sel dan aktu ketika itu terjadi. 9emikian pula diperlukan penggambaran secara hati"hati mengenai transdifderensiasi dari orang de asa yang terdefinisi dengan baik pada jenis sel induk. Sayangnya, masalah penting dalam replikasi percobaan ini dan dalam menentukan efek dari B5%s terletak pada heterogenitas besar dari populasi B5%s yang digunakan. (eterbatasan dari sebagian besar studi klinis dengan transplantasi stem sel de asa non"sel jantung berkaitan dengan stabilitas potensi diferensiasi fenotipe, karena penelitian ini terutama memeriksa keuntungan jangka pendek. 2amun, penting untuk menggarisba ahi tidak adanya efek samping di lebih dari ';; pasien diteliti. #al ini berbeda dengan aritmia pada pencangkokan myoblast 71;8. (arena kurangnya teknik yang berhasil secara efektif mengobati gagal jantung, ada tekanan )terutama dari dokter+ untuk mempercepat aplikasi klinis sel transplantasi bahkan sebelum mekanisme )dan juga efek jangka panjang+ sepenuhnya dipahami. 7.2 /aga"&ana In+or&as" Ter!a1ulu D" erje&a1kan 5a!a S u!" Kl"n"s Manus"a (arena sebagian besar penelitian B5% saat ini dilakukan pada tikus, pertanyaan kritis adalah apakah model ini benar"benar berlaku untuk manusia. Studi a al pada manusia menunjukkan bah a transplantasi B5% dan sitokin rumah dapat ke daerah cedera dan mempromosikan neovaskularisasi di daerah"daerah dimana mereka dibutuhkan. &pakah B5%s cukup bisa dicangkokkan untuk memperbaiki daerah yang rusak dalam hati manusia yang cenderung lebih besar dalam ukuran daripada di jantung tikus masih harus dilihat. Selain itu, dipertanyakan jika terapi sel sumsum tulang manusia de asa bekerja terhadap salah satu dari berikut* kematian sel apoptosis, cedera iskemik, kardiomiopati, yang cardiomyopathy penuaan, konduksi jantung cacat aritmia / dan cacat jantung pada bayi / anak"anak.

#asil a al dari uji klinis pada manusia telah menunjukkan perbaikan moderat dalam fungsi jantung pasien dengan iskemia miokard akut dan infark 7<;"<48. (etika transplantasi diterapkan pada pasien dengan penyakit jantung kronis atau kerusakan sekunder infark miokard hasil kurang definitif. 9. S e& Sel :an ung Dewasa 3ACS4 Informasi yang saat ini tersedia pada berbagai populasi stem sel di jantung de asa telah muncul dari penelitian di beberapa laboratorium. 2amun, masih banyak pertanyaan tentang asal"usul, struktur, fungsi lokasi, tepat dan peraturan sel"sel ini. (eberadaan Ein"kit c"G sel dalam miokardium de asa tikus dengan sifat"sifat sel"sel induk telah dilaporkan 7<.8. Sel"sel ini memperbaharui diri dan dapat diperbanyak selama beberapa bulan, dapat dikembangkan dalam kultur, dan multipoten, dan dapat menimbulkan kardiomiosit, otot polos, dan sel endotel. (etika disuntikkan ke jantung iskemik, Ein"c"kit G sel berkontribusi pada pembentukan endotelium dan otot polos pembuluh darah dan regenerasi miokardium di ka asan nekrosis, meningkatkan fungsi pompa dan geometri ruang ventrikel 7<18. Isolasi dan karakterisasi populasi kecil pada sel"sel jantung de asa yang diturunkan dari sel progenitor jantung )dari miokardium tikus postnatal+ mengekspresikan penanda permukaan sel induk"antigen ' )S%&"' G+ dan aktivitas telomerase reverse transcriptase, terkait dengan potensi pembaharuan diri, baru" baru ini juga telah dilaporkan 7<-"<<8. Sel" sel &%S ini secara selektif diisolasi oleh sistem pemilahan sel magnetik dan tidak menyatakan gen struktural jantung atau 2k34.-. Sel"sel dapat berdiferensiasi secara in vitro membentuk kardiomiosit berdenyut, sebagai tanggapan terhadap 92& demethylating -Hagen"a?acytidine. Peningkatan ekspresi lain faktor transkripsi kardiogenik )gata"1, 5,!"4%+ ditunjukkan oleh microarray profil membedakan sel &%S seperti yang ditemukan dalam sel"sel sumsum tulang stroma dengan potensi kardiogenik.

9emikian pula, ketika diobati dengan oksitosin, stem sel jantung S%&"' G mengekspresikan gen faktor transkripsi jantung dan protein kontraktil dan struktur sarcomeric ditunjukkan dan berdenyut spontan. 7<=8. Setelah produksi intravena, stem sel "S%& ' G jantung dapat ditempatkan di miokardium yang terluka oleh iskemia / reperfusi dan fungsional dapat berdiferensiasi in situ. Eaug it? dan asosiasi 7<F8 baru"baru ini melaporkan adanya populasi cardioblasts baik pada jantung embrio maupun postnatal )dari tikus, tikus dan manusia+ berjumlah hanya beberapa ratus per jantung diidentifikasi berdasarkan ekspresi mereka dari faktor transkripsi EI5"homeodomain , Isl'. (elompok ini stem sel jantung terutama lokal di atrium, ventrikel kanan, dan daerah saluran keluar )di mana Isl' paling la?im disajikan selama organogenesis jantung+. Stem sel turunan miokard dapat diisolasi, ditransplantasikan, bertahan dan bereplikasi dalam jantung yang rusak dengan bukti perbaikan fungsional 7<A8. 9.-. Keun ungan Sel ACS Sementara implantasi myoblasts rangka dan transplantasi B5% de asa muncul dan tampak menjanjikan, transplantasi sel &%S mungkin lebih efektif daripada transplantasi B5% de asa, karena sel"sel induk jantung mungkin lebih baik diprogram. Identifikasi lebih jauh, pemurnian dan karakterisasi lebih lanjut dan sel &%S serta pengetahuan yang terperinci dari interaksi mereka dengan lingkungan jantung atau niche sangat penting dilakukan jika kita ingin mencapai tujuan utama dari regenerasi / transplantasi jaringan untuk mengobati infark miokard. 9.0. Ke er'a asan Sel ACS Sampai saat ini, data tentang keberadaan sel &%S langka. Subset stem sel ini tampaknya sangat terbatas jumlahnya, sulit untuk mengidentifikasi dan berkembang dalam kultur sehingga membatasi karakterisasi dan pemanfaatan, cenderung memberikan kontribusi berupa

kesulitan dalam reproduksi eksperimen mengenai proses isolasi dan transplantasi. Selain itu, saat ini tidak ada konsensus mengenai definisi penanda selektif spesifik untuk jenis"sel )lihat Tabel '+. 9.2. Reko&en!as" Perlu usaha yang besar untuk secara penuh mengambarkan populasi sel progenitor jantung yang relavan dan mengoptimalkan konsidi untuk transplantasi yang efisien, penempatan, diferensiasi dan integrasi ke dalam miokardium. 5emahami faktor"faktor yang bertanggung ja ab untuk pertumbuhan, penempatan, dan diferensiasi memungkinkan cara"cara khusus untuk meningkatkan produksi dan manfaat fungsional atas transplantasi. Selain itu, informasi ini juga dapat menjelaskan pengaktifan endogen sel induk jantung yang berkontribusi untuk memperbaiki jantung. /uga, untuk mendefinisikan jenis"jenis cacat jantung serta jenis gangguan yang paling baik diobati dengan sel ini, termasuk pengetahuan yang jelas tentang tempat terbaik di jantung untuk menempatkan langsung sel"sel ini. 5isalnya, penanaman sel dalam suatu daerah nekrosis dan / atau ketersediaan oksigen rendah mungkin tidak berhasil sedangkan sel"sel di daerah hibernating myocardium mungkin bisa berhasil. Stabilitas jangka panjang dan fungsi sel &%S yang dicangkokkan menunggu untuk didefinisikan. &pakah sel &%S dapat digunakan sebagai platform untuk modifikasi gen e3 vivo, termasuk pengenalan gen terapi, apakah suatu ekspresi yang kuat dari gen tertentu dapat diarahkan dalam sel tersebut, dan jika respon proliferasi meningkat pada sel"sel progenitor jantung dapat dipengaruhi oleh pengenalan gen perkembangan sel"siklus tetap terlihat. ;. Pengga&'aran !ar" I!en " as Sel 9ari pembahasan sebelumnya, harus jelas bah a elemen kritis dalam mengidentifikasi sel yang dicangkokkan dalam jantung dan dalam sejumlah kasus bahkan sebelum transplantasi, adalah tugas penting untuk mengetahui identitas

';

tipe sel. Pada Tabel ', kami menyediakan daftar penanda molekuler endogen yang telah digunakan untuk membentuk suatu fenotipe jantung yang berbeda yang dihasilkan dari transplantasi sel induk yang berbeda, termasuk sel"sel sumsum tulang, sel induk embrionik dan sel stem jantung yang diturunkan. Selain penanda endogen yang tersedia untuk menetapkan identitas sel, 0!P telah banyak digunakan sebagai reporter untuk menentukan sel donor. 5enandai sel"sel dengan kromosom 9&PI noda telah berhasil, karena 9&PI noda dari sel"sel mati dapat dengan mudah dimasukkan oleh sel non" ditandai 7=-8. Penanda genotipe juga telah ditunjukkan untuk menjadi alat yang ampuh dalam menilai identitas sel. 9alam beberapa studi perbaikan kardiovaskular diri di mana hati perempuan allografted ke penerima laki"laki manusia, keberadaan kromosom I dinilai dalam pembuluh darah koroner dan di kardiomiosit 7=<"=A8 karena kromosom I dapat mudah dilihat oleh pe arnaan cyto"chemical atau dengan hibridisasi in situ fluoresensi. 2amun, penilaian tingkat chimerism jantung yang dilaporkan dalam studi ini mengungkapkan variasi yang sangat mencolok mulai dari tingkat rendah dari I"kromosom mengandung kardiomiosit );,;4";'J+ 7=="=F8 untuk tingkat tinggi ).;J+ 7=A8, menekankan kebutuhan kritis untuk menetapkan kriteria ketat oleh yang

chimerism diidentifikasi. Identifikasi inti dengan kromosom"I sendiri tidak cukup, tetapi harus tegas terkait dengan baik kapal miokard atau struktur kardiomiosit )yaitu dengan mikroskop confocal+. /ika tidak, itu adalah mungkin untuk atribut inti kromosom I"positif menjadi tuan rumah sel"sel yang terlibat dalam respon imun dan infiltrasi inflamasi, dan tidak untuk regenerasi jantung. &da juga beberapa indikasi bah a penggunaan analisis kromosom dapat menyebabkan meremehkan sel transfected karena adanya inti yang mungkin tidak dihitung ketika di bagian histologi 71<8. 9eteksi penanda fenotipe sel dengan analisa real"time, mikroskop confocal dan metodologi deteksi non"invasif menggunakan 5agnetic :esonance Imaging )5:I+ baru saja mulai diterapkan dalam penilaian dari transplantasi sel. :eal"time visualisasi dapat memberikan identifikasi daerah infark miokard dan pengiriman tepat dipandu 5:I"agen terapeutik, dengan situs injeksi diidentifikasi oleh agen kontras. &gen kontras 5:I 2ovel i?in visualisasi ekspresi gen pada resolusi selular, dan (Gracia JM. CSCRT. 2006). dapat digunakan juga untuk mendeteksi sel apoptosis 7F;"F'8. Eabel yang sesuai dan deteksi sel induk oleh 5:I harus dapat melacak mereka dalam distribusi in vivo, dan memungkinkan sekilas nasib mereka dari aktu ke aktu 7F4"F.8.
(Gracia JM. CSCRT. 2006).

''

<. T"5e S e& Sel Manaka1 %ang D"gunakan un uk Pen%ak" :an ung = Sebuah perbandingan singkat dari keuntungan dan keterbatasan tipe sel yang baru"baru ini digunakan dalam cardiac transplantation seperti yang tertera pada tabel 4. Saat cara yang jelas/cepat belum ada, dimana tipe sel paling baik untuk ditransplantasikan dalam perbaikan myocardial, ada beberapa sebab untuk percaya bah a perkembangan keserberagaman pendekatan dalam aplikasi rekayasa sel akan diperlukan untuk mengembangkan terapi baru pada gangguan cardiac yang berbeda.

Pendekatan ini untuk mengobati gagal jantung mungkin memerlukan transplantasi sel"jenis )misalnya, tulang myoblasts+ yang berbeda dari yang digunakan dalam target pengobatan aritmia jantung, gangguan konduksi dan cacat ba aan. #al ini juga kemungkinan bah a jangka panjang perbaikan dari miokardium berfungsi penuh, mungkin memerlukan lebih banyak dari satu sel tunggal tipe"misalnya, kardiomiosit, fibroblast, dan sel endotel"dalam generasi dan integrasi cangkok jantung stabil dan responsif.

>. Perke&'angan La"n Teknolog" Reka%asa Sel

Dala&

Penyempurnaan dari nuklir, cybrid transfer dan fusi sel memungkinkan rekayasa teknik lebih lanjut dari stem sel memberikan proteksi jantung, atau

merangsang antioksidan atau tanggapan antiapoptotic dalam miokardium. Teknik in juga mungkin mengi?inkan penargetan spesifik cytopathies berbasis mitokondria 7F18.

'4

6ntuk mengidentifikasi aspek lingkungan jantung yang mungkin berkontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan transplantasi myoblasts in vivo, matriks ."dimensi telah dirancang sebagai sebuah novel dalam sistem in vitro yang meniru beberapa aspek dari lingkungan listrik dan biokimia dari miokardium asli. Struktur ini memungkinkan resolusi yang lebih baik sinyal listrik dan biokimia yang mungkin terlibat dalam proliferasi myoblast dan plastisitas. 5yoblasts telah ditumbuhkan pada asam mesh ."9 polyglycolic perancah dalam kondisi kontrol di hadapan arus listrik fluks seperti jantung, dan di hadapan media kultur yang telah dikondisikan oleh kardiomiosit matur 7F-8. Seperti perancah yang mengandung baik janin atau agregat neonatal dari sel jantung yang berdenyut telah digunakan untuk menghasilkan cangkok jantung buatan ditransplantasikan ke miokardium yang terluka dengan penyembuhan fungsi ventrikel ,dan pembentukan dari gap" junction fungsional antara sel yang dicangkokkan dan miokardium 7F<"F=8. (ombinasi terapi gen dan rekayasa sel induk adalah sebuah pendekatan menarik untuk mengobati gangguan jantung. ,kspresi )dan dalam beberapa kasus penghambatan ekspresi+ protein tertentu dapat mengakibatkan perubahan mencolok dalam kardiomiosit dan fenotipe jantung. (ardiomiosit fungsi spesifik, termasuk saluran ion, konduksi jantung, kontraktilitas dan proliferasi myocyte telah terbukti dipengaruhi oleh transfer gen dan ekspresi protein spesifik 7FF"A;8. Terapi %ell"based untuk hati terluka atau disfungsional dapat ditingkatkan dengan menggunakan e3 vivo rekayasa genetika sel punca untuk memberikan gen dan protein. Sebagai contoh, transplantasi sel batang mesenchymal telah terbukti menjadi perangkat efektif untuk menyampaikan protein saluran yang terlibat dalam aktivitas pacemaker aktivitas )misalnya, saluran #%24 protein+ mengakibatkan modifikasi irama jantung in vivo 7A'8. Pada he an model kardiomiopati iskemik, pengenalan faktor pertumbuhan endotel vaskular )K,0!+ dan pengaruhnya pada kedua angiogenesis

dan fungsi ventrikel kiri nyata ditingkatkan dalam hati dengan myoblasts rangka K,0!"transfected dibandingkan dengan hati langsung disuntik dengan adenoviral"K,0! membangun 7A48.

-?. Ko&en ar Penu u5 Penemuan cardiogenesis pada he an de asa dan manusia merupakan salah satu kemajuan yang sangat signifikan di bidang kardiologi dalam 4tahun terakhir. Sebelumnya, ahli jantung yang paling percaya bah a kelahiran kardiomiosit baru hanya terbatas pada jantung janin dan bayi. 9ogma ini baru" baru ini runtuh ketika para peneliti menemukan bah a jantung tikus de asa, tikus dan manusia mengalami perubahan jantung yang signifikan sebagai fungsi dari usia. (ardiomiosit baru lahir / homing ke daerah miokard relevan dengan jalur jantung, dan kemudian dapat mengintegrasikan secara struktural sehingga fungsi miokard dapat dipulihkan dan jaringan baru dapat diproduksi. Temuan ini telah memicu sejumlah besar penemuan paralel pada tikus, tikus, dan manusia, dengan implikasi dramatis bagi bagaimana kita berpikir plastisitas tentang jantung dan peran potensial dalam merehabilitasi individu dengan iskemia miokard / infark, gagal jantung dan berbagai jenis kardiomiopati, termasuk kardiomiopati penuaan. Secara ringkas, meningkatkan kemampuan kita untuk memahami fungsi yang berbeda kardiomiosit / jalur diferensiasi jantung secara detail akhirnya akan memungkinkan penggantian jaringan, transplantasi orang lain, dan ketidakseimbangan pergeseran pada molekul dan biokimia jantung. 9engan a al dan kemajuan pesat dalam rekayasa sel, kita mengharapkan untuk melihat akhir kelainan jantung yang melemahkan kehidupan manusia dan membangkrutkan sistem pera atan kesehatan.

--. Da+ ar Pus aka

'.

'. #unt S&. %urrent status of cardiac transplantation. / &m 5ed &ssoc 'AAFC4F;*'<A4 L '<AF. 4. :isau D. 5echanisms of angiogenesis. 2ature 'AA=C.F<*<='L<=1. .. Braun ald ,, Pfeffer 5&. Kentricular enlargement and remodeling follo ing acute myocardial infarction* mechanisms and management. &m / %ardiol 'AA'C<F*'9L<9. 1. Scorsin 5, 5arotte !, Sabri & et al. %an grafted cardiomyocytes coloni?e peri"infarct myocardial areasM %irculation 'AA<CA1*II..=L II.1;. -. Soonpaa 5#, (oh 0I, (lug 50, !ield E/. !ormation of nascent intercalated disks bet een grafted fetal cardiomyocytes and host myocardium. Science 'AA1C4<1*AFL';'. <. 5enasche P, #agege &&, Scorsin 5 et al. 5yoblast transplantation for heart failure. Eancet 4;;'C.-=*4=AL4F;. =. 5arelli 9, 9esrosiers %, el"&lfy 5, (ao :E, %hiu :%. %ell transplantation for myocardial repair* an e3perimental approach. %ell Transplant 'AA4C'*.F.L.A;. F. Taylor 9&, &tkins BN, #ungspreugs P et al. :egenerating functional myocardium* improved performance after skeletal myoblast transplantation. 2at 5ed 'AAFC1*A4ALA... A. Tomita S, Ei :(, Deisel :9 et al. &utologous transplantation of bone marro cells improves damaged heart function. %irculation 'AAAC';;*II41=L II4-<. ';. >rlic 9, (ajstura /, %himenti S et al. Bone marro cells regenerate infarcted myocardium. 2ature 4;;'C1';*=;'L=;-. ''. /ackson (&, 5ajka S5, Dang # et al. :egeneration of ischemic cardiac muscle and vascular

'4.

'..

'1.

'-.

'<.

'=.

'F.

endothelium by adult stem cells. / %lin Invest 4;;'C';=*'.A-L'1;4. &sahara T, 5urohara T, Sullivan & et al. Isolation of putative progenitor endothelial cells for angiogenesis. Science 'AA=C4=-*A<1LA<=. Toma %, Pittenger 5!, %ahill (S, Byrne B/, (essler P9. #uman mesenchymal stem cells differentiate to a cardiomyocyte phenotype in the adult murine heart. %irculation 4;;4C';-*A.L AF. Shi O, :aPi S, Du 5# et al. ,vidence for circulating bone marro "derived endothelial cells. Blood 'AAFCA4*.<4L.<=. (lug 50, Soonpaa 5#, (oh 0I, !ield E/. 0enetically selected cardiomyocytes from differentiating embryonic stem cells form stable intracardiac grafts. / %lin Invest 'AA<CAF*4'<L 441. Iamashita /, Itoh #, #irashima 5 et al. !lk'"positive cells derived from embryonic stem cells serve as vascular progenitors. 2ature 4;;;C1;F*A4LA<. Tabibia?ar :, :ockson S0. &ngiogenesis and the ischaemic heart. ,ur #eart / 4;;'C44*A;.L A'F. Dare /&, Simons 5. &ngiogenesis in ischemic heart disease. 2at 5ed 'AA=C.*'-FL '<1.

'1

'-

METODE KONTRASEPSI PRIA F. Y. $"!o!o Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&bstrak* 5etode kontrasepsi yang dipakai oleh para pria selama ini adalah kondom, sanggama terputus dan vasektomi. %ara"cara itu tidak disukai karena ketidaknyamanan dan adanya keterbatasan ireversibilitas. 9engan demikian, dibutuhkan pilihan kontrasepsi yang lebih menarik, aman, efektif dan reversibel. &da dua area utama dalam riset kontrasepsi pria, kontrasepsi hormonal dimana hormon sintetik dipakai untuk sementara menghentikan perkembangan sperma sehatC dan metode non" hormonal, dimana teknik lain digunakan untuk menghentikan sperma sehat untuk memasuki vagina. Dalaupun demikian, hal ini harus dicapai tanpa memicu efek samping, seperti misalnya hilangnya gairah dan kemampuan seksual. (ata (unci* kontrasepsi hormonal, kontrasepsi non"hormonal, sperma.

CONTRACEPTION MET*OD FOR MAN F. Y. $"!o!o Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&bstract* 5ethods of contraception for use by men include condoms, ithdra al and vasectomy is not preferred because of discomfort and limited irreversible. 9evelopment of a safe, effective, reversible and affordable contraceptive method for men ould meet a critical need. There are t o main areas of research into male contraception, hormonal contraception here synthetic hormones are used to temporarily stop the development of healthy sperm, and non"hormonal methods, here other techni$ues are used to stop healthy sperm from entering a oman@s vagina. #o ever, this needs to be achieved ithout triggers side effects, such as a loss of libido and se3ual performance. (ey ords* hormonal contraceptives, non"hormonal contraception, sperm.

PENDA*ULUAN Tujuan penggunaan kontrasepsi adalah untuk menghambat atau menunda kehamilan karena berbagaia alasan, antara lain adalah perencanaan kehamilan, pembatasan jumlah anak, menghindari risiko medis dari kehamilan )misalnya adanya penyakit jantung, diabetes melitus, tuberkulosis+, serta sebagai program pemerintah untuk mengendalikan jumlah populasi )'+. Sejak kontrasepsi itu pertama kali ada hingga masa sekarang ini, terutama yang berperan untuk menggunakan kontrasepsi hanyalah kaum anita saja. Beberapa metode keluarga berencana untuk pria seperti kondom, vasektomi, coitus interuptus, konsepnya telah ada sejak beberapa ratus tahun yang lalu, namun hal tersebut sangat sulit

dilaksanakan dan sama sekali tidak efektif dan tidak efisien )4+ 9ata yang disampaikan oleh Badan (ependudukan dan (eluarga Berencana 2asional )B((B2+ pada bulan 5aret 4;'', menyatakan bah a Peserta (B Baru secara nasional pada bulan 5aret 4;'' sebanyak =.A.-;; peserta, dan apabila dilihat partisipasi pria sebagai peserta (B adalah * 1=.F41 peserta (ondom )<,1=J+, dan 4.-;F adalah peserta Kasektomi )5odus >perasi Pria+ );,.1J+. Sedangkan partisipasi kaum anita adalah* 1F.FA' peserta I69 )<,<'J+, A.<.1 peserta 5odus >perasi Danita )5>D+ )',.;J+, -;.=F' peserta Implant )<,F=J+, .=..'-1 peserta Suntikan )-;,1<J+, dan 4;<.=;F peserta Pil )4=,A1J+. 9ari data ini dapat dilihat, bah a peran pria untuk berpartisipasi dalam (eluarga Berencana sangat rendah

'<

sekali, total hanya <.F'J dari keseluruhan peserta (B ).+. 9i /a a Timur, peran serta pria untuk ikut (B tidak jauh berbeda dengan angka nasional. Peserta pemakai kondom adalah sebesar 1.;1J, dan peserta 5>P sebesar ;.1;J. Total hanya 1.11J. Sedangkan peserta metode (B untuk anita* Pil 4..-.J, Suntikan <;.'.J. I69 -.F1J, 5>D '.=. J, dan Implant 1..4J ).+ 9i &merika Serikat, data yang ada menunjukkan bah a kaum pria lebih memiliki antusias untuk berperan serta dalam keluarga berencana, dimana peserta yang menggunakan kondom sebesar '.J dan lebih dari '- J memilih melakukan 5>P. 6ntuk peserta (B dikalangan kaum anita, masih tetap mendominasi, dimana peserta 5>D mencapai 4;J, I69 <J, Suntikan '. J dan yang memakai Pil .;J ) ', 1+. 9ari data yang ada dapat disimpulkan, bah a peserta (B pria tidak suka memakai kondom karena adanya Qperasaan kurang nyamanR. (ondom kebanyakan hanya dipakai untuk menghindari penularan Penyakit 5enular Seksual. Sedangkan 5>P )vasektomi+ adalah suatu cara (B yang termasuk Qkontrasepsi mantapR, dimana ada keterbatasan untuk menghasilkan keturunan kembali )ireversibel+, sehingga juga tidak disukai )-, <+. >leh sebab itu, untuk meningkatkan peran serta kaum pria dalam keluarga berencana, perlu dikembangkan suatu cara kontrasepsi yang efektif, tidak berbahaya untuk kesehatan, reversibel, dan nyaman untuk digunakan )4+. Salah satu cara yang dita arkan adalah penggunaan kontrasepsi hormonal, dimana pemakaiannya mudah, dan lebih bisa diterima oleh kaum pria )<, =+. 5ekanisme kerja dari kontrasepsi hormonal ini ialah dengan cara menghalangi efek dari hormon testosteron sedemikian rupa, sehingga produksi sel" sel sperma yang sehat dari testis akan terhambat, tanpa menurunkan kadar

hormon testosteron tersebut. Penurunan kadar testosteron akan mengakibatkan efek samping berupa gangguan fungsi seksual dari pemakainya. )F, A, ';+ !ormulasi dari kontrasepsi hormonal, biasanya terdiri dari berbagai jenis testosteron, baik dosis tunggal maupun yang dikombinasikan dengan hormon lain. 9alam uji klinis, telah menunjukkan hasil yang menggembira"kan. 2amun, efek jangka panjang dari penggunaan hormon reproduksi laki"laki ini untuk kontrasepsi, sampai saat ini masih belum diketahui, dan mungkin butuh aktu puluhan tahun untuk mengetahuinya. (arena itu, banyak peneliti yang memperkenalkan kontrasepsi pria non" hormonal, yang memiliki mekanisme berbeda dengan hormonal, yaitu tanpa mempengaruhi jalur hipotalamus" hipofisis"testis untuk menghambat spermatogenesis atau menghambat motilitas sperma )=, ''+ SISTEM REPRODUKSI PRIA !ungsi utama dari sistem reproduksi pria adalah )'4, '., '1+* '. Produksi sperma )spermatogenesis+ 4. Produksi hormon"hormon steroid )steroidogenesis+, yaitu berupa hormon androgen )testosteron+ .. Transportasi sperma dalam sistem reproduksi anita !ungsi dari sistem reproduksi pria adalah menyalurkan sperma kesaluran reproduksi anita dalam suatu vehikulum cair yang kondusif untuk viabilitas sperma. %airan pemba a sperma tersebut disebut semen, yang diproduksi dan disekresi oleh kelenjar seks tambahan )glandula asesoria+ yang terdiri dari vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar bulbouretralis / kelenjar %o per )'4, '1+ >rgan kopulasi pada manusia ialah penis. (opulasi harus didahului oleh proses ereksi penis, yaitu proses dimana terjadi pengerasan penis sehingga dapat melakukan penetrasi ke dalam vagina.

'=

,reksi terjadi karena adanya pembesaran jaringan erektil penis akibat vasodilatasi arteriol penis, yang diinduksi saraf parasimpatis serta penekanan vena secara mekanis )'1+ Sperma yang dikeluarkan dari penis pada saat ejakulasi mula"mula berasal dari testis, kemudian menuju ke vas deferens, duktus ejakulatorius dan keluar melalui uretra )'4, '1+ Alur *"5o ala&us @ P" u" ar" A Bona! 3*PB4 &lur #ipotalamus"Pituitari"0onad )#P0+ memegang peranan penting dalam proses berikut )'.+* '. Pengembangan fenotipe jenis kelamin saat embriogenesis 4. 5aturasi seksual saat pubertas .. !ungsi endokrin testosteron dan sperma pada sintesis

Sebagai pusat dari alur #P0, hipotalamus menerima masukan rangsang dari pusat"pusat yang ada di otak, yang akan mensekresi hormon yang merangsang atau menghambat pengeluaran hormon"hormon lain. Secara anatomi, hipotalamus terhubung dengan kelenjar pituitari, sehingga secara langsung hormon"hormon dari hipotalamus bisa masuk ke kelenjar pituitari anterior. #ormon yang berperan pada sistem reproduksi adalah gonadotropin releasing hormone )0n:#+ dan luteinizing hormone releasing hormone )E#:#+. !ungsi 0n:# adalah untuk menstimulasi sekresi hormon E# dan !S# dari kelenjar pituitari anterior )'.+ /. P" u" ar" An er"or 0n:# merangsang produksi dan pengeluaran hormon !S# dan E# dari kelenjar pituitari anterior. !S# dan E# berperan dalam proses regulasi fungsi dari testis. (edua hormon tersebut masing" masing mengandung 4 subunit rantai polipeptida, yang disebut subunit alfa dan beta. Subunit alfa untuk semua hormon pituitari anterior adalah identik. &ktifitas biologi maupun imunologi ditentukan oleh subunit beta. Perbedaan pada transduksi sinyal ditentukan oleh kandungan oligosakarida dan residu asam sialat dalam masing"masing hormon. :egulasi sekresi E# dilakukan oleh androgen dan estrogen melalui umpan balik negatif. )'., '<+. 9idalam testis, E# merangsang steroidogenesis dalam sel Eeydig dengan cara menginduksi konversi kholesterol menjadi pregnenolon dan testosteron. !S# terikat pada sel"sel Sertoli dan membran sprematogonial dalam testis dan ini merupakan stimulator utama dari pertumbuhan tubulus seminiferous saat perkembangan. !S# sangat diperlukan pada proses inisiasi spermatogenesis pada saat pubertas. pada pria de asa, fungsi !S# yang utama adalah merangsang spermatogenesis untuk menghasilkan jumlah sel sperma yang normal )'., '<+

Pada alur reproduksi, terdapat 4 )dua+ golongan hormon yang berperan, yaitu hormon peptida dan hormon steroid. 5asing"masing golongan tersebut memiliki cara kerja yang berbeda untuk memberikan respon biologi. Iang termasuk hormon peptida adalah Euteini?ing #ormone )E#+ dan !ollicle" Stimulating #ormone)!S#+, sedangkan yang termasuk hormon steroid adalah testosteron dan estradiol )'.,'-+. :eproduksi yang normal, tergantung pada kerjasama dari beberapa hormon, yang regulasinya harus dikendalikan dengan baik. 5ekanisme pengendalian yang utama adalah dengan cara pengendalian umpan balik )feedback control+, dimana sintesis dan aktifitas hormon tersebut dapat dikendalikan oleh hormon itu sendiri, bahkan juga dapat mengendalikan hormon lain )'., '-+ Ko&5onen Alur *PB A. *"5o ala&us

'F

#ormon prolaktin juga memiliki efek pada alur #P0, yaitu dapat meningkatkan konsentrasi reseptor E# pada sel"sel Eeydig, dan mempertahankan kadar testosteron dalam testis agar selalu normal. Selain itu juga dapat memperkuat efek androgen pada pertumbuhan dan sekresi kelenjar"kelenjar seks aksesori pada pria. (adar prolaktin yang normal diperlukan untuk mempertahankan tingkat libido. #iperprolaktinemia dapat menekan gonadotropin dengan mengganggu pengeluaran 0n:# )'.+ C. Tes "s (esuburan dan kemampuan seksual seorang pria memerlukan hormon"hormon eksokrin maupun endokrin dari testis. Semuanya berada dalam kontrol alur #P0. Bagian intersisial testis mengandung sel"sel Eeydig yang berfungsi pada proses steroidogenesis. Tubulus seminiferous memiliki fungsi eksokrin untuk memproduksi spermato?oa )'., '1+ Testosteron diproduksi sekitar g/hari, sekitar 4J dalam keadaan bebas tidak terikat, sehingga siap untuk menjalankan fungsinya secara biologik. Sisanya terikat dengan albumin atau sex hormone-binding globulin )S#B0+ dalam sistem peredaran darah )'., '<+. Beberapa penyakit dapat meningkatkan kadar S#B0, sehingga kadar testosteron bebas menurun. Selain itu, peningkatan S#B0 dapat juga dipicu oleh adanya peningkatan hormon androgen, growth hormone dan obesitas. (adar S#B0 dapat menurun akibat peningkatan hormon estrogen dan hormon tiroid. Produksi testosteron dikontrol secara umpan balik negatif pada alur #P0, dan testosteron tersebut dimetabolisir menjadi 4 macam metabolit aktif yaitu* '. 9ihidrotestosteron )9#T+ akibat katalisis dari -"alfa"reduktase. 4. ,strogen estradiol, sebagai hasil reaksi dengan aromatase. 9#T merupakan androgen yang jauh lebih kuat daripada testosteron )'., '<+

!ungsi lain dari testis adalah fungsi eksokrin, dimana testis akan menghasilkan produk"produk yang diperlukan pada pertumbuhan sel"sel germinal. Produk tersebut antara lain berupa androgen"binding protein, transferin, laktat, ceruloplasmin, clusterin, aktifator plasminogen, prostaglandin, dan beberapa faktor pertumbuhan. Produk" produk tersebut dihasilkan oleh sel"sel Sertoli yang ada didalam tubulus seminiferus, yang dipicu oleh adanya !S#. Pada masa pubertas, pertumbuhan tubulus seminiferus ini mulai distimulasi, sehingga saat itu baru mulai menghasilkan sperma. Pada saat de asa, !S# diperlukan pada proses spermatogenesis )'., '=+. Pengeluaran !S# dari kelenjar hipofisa anterior dapat dihambat oleh inhibin, yaitu suatu protein yang dihasilkan oleh sel Sertoli. 9idalam testis, produksi inhibin dipicu oleh !S#, dan regulasinya secara umpan balik negatif . Sekresi !S# dapat ditingkatkan oleh suatu protein yang disebut aktivin, yang juga diproduksi didalam testis. &ktivin memiliki 4 subunit beta yang mirip dengan inhibin )'., '=+

0ambar '* &lur #P0 )diambil dari kepustakaan '4+ SPERMATOBENESIS Spermatogenesis )proses pembentukan dan pemasakan spermato?oa+ adalah suatu proses yang kompleks dimana stem"sel multipoten yang primitif membelah membentuk sel anak yang akhirnya menjadi spermato?oa.

'A

Proses ini terjadi dalam tubulus seminiferus yang ada didalam testis. A;J dari volume testis terdiri dari tubulus seminiferus dan sel germinal pada berbagai tahapan perkembangan )'.,'-+ Proses pembentukan gamet atau sel kelamin disebut gametogenesis. &da dua jenis proses pembelahan sel yaitu mitosis dan meiosis. Bila ada sel tubuh kita yang rusak maka akan terjadi proses penggantian dengan sel baru melalui proses pembelahan mitosis, sedangkan sel kelamin atau gamet sebagai agen utama dalam proses reproduksi manusia menggunakan proses pembelahan meiosis. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bah a mitosis menghasilkan sel baru yang jumlah kromosomnya sama persis dengan sel induk yang bersifat diploid )4n+ yaitu 4. pasang atau 1< buah kromosom, sedangkan pada meiosis jumlah kromosom pada sel baru hanya bersifat haploid )n+ yaitu 4. kromosom )'-, '=+. Sel sperma yang bersifat haploid )n+ dibentuk di dalam testis mele ati sebuah proses kompleks. Pada tubulus seminiferus testis terdapat )'., '-, '=+* '. Sel"sel induk spermato?oa atau spermatogonium, 4. Sel Sertoli yang berfungsi memberi makan spermato?oa, .. Sel Eeydig yang terdapat di antara tubulus seminiferus yang berfungsi menghasilkan testosteron. Proses pembentukan spermato?oa dipengaruhi oleh kerja beberapa hormon. (elenjar hipofisis menghasilkan hormon perangsang folikel )!olicle Stimulating #ormone/!S#+ dan hormon lutein )Euteini?ing #ormone/E#+. E# merangsang sel Eeydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Pada masa pubertas, androgen/testosteron memacu tumbuhnya sifat kelamin sekunder. !S# merangsang sel Sertoli untuk menghasilkan &BP )Androgen Binding Protein+ yang akan memacu spermatogonium untuk memulai proses

spermatogenesis. Proses pemasakan spermatosit menjadi spermato?oa disebut spermiogenesis. Spermiogenesis terjadi di dalam epididimis dan butuh aktu selama 4 hari )'., '-, '=+. Proses produksi sperma yang matang di dalam tubulus seminiferus melalui langkah"langkah berikut ini )'., '-, '=+* '. Sel kelamin jantan primitif yang belum terspesialisasi dan disebut dengan spermatogonium akan diaktifkan oleh sekresi hormon testosteron. 4. 5asing"masing spermatogonium membelah secara mitosis untuk menghasilkan dua sel anak yang masing" masing berisi 1< kromosom lengkap. .. 9ua sel anak yang dihasilkan tersebut masing"masing disebut spermatogonium yang kembali melakukan pembelahan mitosis untuk menghasilkan sel anak, dan satunya lagi disebut spermatosit primer yang berukuran lebih besar dan bergerak ke dalam lumen tubulus seminiferus. 1. Spermatosit primer melakukan meiosis untuk menghasilkan dua spermatosit sekunder yang berukuran lebih kecil dari spermatosit primer. Spermatosit sekunder ini masing"masing memiliki 4. kromosom yang terdiri atas 44 kromosom tubuh dan satu kromosom kelamin )S atau I+. -. (edua spermatosit sekunder tersebut melakukan mitosis untuk menghasilkan empat sel lagi yang disebut spermatid yang tetap memiliki 4. kromosom. <. Spermatid kemudian berubah menjadi spermato?oa matang tanpa mengalami pembelahan dan bersifat haploid )n+ 4. kromosom. Proses pematangan spermatid menjadi spermato?oa dapat memakan aktu beberapa minggu, dan terdiri dari tahap"tahap* a. Pembentukan akrosom dari aparatus 0olgi b. Pembentukan flagelum dari sentriol

4;

c. :eorganisasi tengah tubuh.

mitokondria

dibagian

" T

; " /uta/ml ,kstrimoligo?oospermia

disebut

d. Pemampatan nukleus sebanyak ';J e. ,liminasi sisa sitoplasma. Spermato?oa yang berada didalam testis ini selanjutnya masih harus dimatangkan untuk bisa bergerak membuahi sel telur. Proses pematangan ini berlangsung didalam epididimis. Proses perjalanan didalam epididimis memicu beberapa perubahan, termasuk peningkatan muatan listrik pada jaringan permukaan, perubahan komposisi protein membran, imunoreaktifitas, penambahan fosfolipid dan asam lemak, serta aktifitas adenilat siklase. Perubahan ini meningkatkan integritas struktur membran dan meningkatkan kemampuan fertilisasi. Transit sperma melalui epididimis ini memerlukan aktu selama '; L '- hari. (eseluruhan proses spermatogenesis pada manusia ini memerlukan aktu sekitar <; hari )'., '=, 'F+ :egulasi spermatogenesis secara genetik dilaksanakan oleh 4<< gen berbeda, yang melakukan ekspresi pada testis pria de asa. Pada riset yang dilakukan akhir"akhir ini, pada pria dengan tingkat kesuburan normal, terdapat '1A gen yang berfungsi. 0en"gen tersebut berperan pada fungsi"fungsi testis yang normal, antara lain pada perkembangan sel sperma pada tingkat spermatosit, spermatid, motilitas sperma, reparasi dan eliminasi sel cacat, serta fungsi"fungsi lain )'-, 'A, 4;+ &gar dapat berfungsi dengan baik untuk membuahi sel telur, sperma harus memenuhi beberapa kriteria diba ah ini )'.+* a. Kolume ejakulat harus mencapai '.- L -.- ml. b. (onsentasi sel sperma )sperm count+ harus mencapai 4;; juta per ml. &bnormalitas*

" 4; juta disebut oligo?oospermia " 4-; /uta/ml disebut Poli?oospermia


c. 5otilitas lebih dari -;J d. 5orfologi normal lebih dari .;J e. Tidak boleh ada penggumpalan, darah putih dan peningkatan viskositas. KONTRASEPSI *ORMONAL Sama halnya dengan cara (B pada anita, pemberian hormon seks steroid yang dapat memblokir ovulasi secara umpan balik negatif (negative feedback+, juga terjadi secara analogi pada pria. Pemberian hormon androgen akan menekan produksi E# oleh pituitari anterior, yang pada akhirnya menekan spermatogenesis. 2amun, hal ini akan menimbulkan efek samping berupa penurunan libido dan berpotensi pula untuk menurunkan kemampuan seksual. Prinsip ini pertama kali ditunjukkan pada tahun 'A=1, dengan menggunakan kombinasi estrogen oral dengan metil testosteron. Selanjutnya, para ahli melakukan beberapa langkah percobaan klinik dengan menggunakan testosteron tunggal, atau dikombinasikan dengan progestin. Eangkah ini menunjukkan lebih dari A;J efektif dalam mencegah konsepsi/kehamilan, dan tidak menunjukkan efek samping yang serius )F, '', 4'+. Selama beberapa tahun, para peneliti telah mempelajari efek suntikan testosteron tanpa kombinasi sebagai kontrasepsi pria, dan ternyata dapat menekan produksi sperma sampai tingkat yang sangat rendah. 2amun, ternyata terbukti bah a efek testosteron tanpa kombinasi ini terdapat perbedaan secara etnis. Para pria &sia normal, khususnya &sia Timur, hampir selalu dapat menjadi oligospermia dan bahkan sampai a?ospermia ketika diberi testosteron undecanoate sebanyak -;; sampai ';;;

" ; /uta/ml disebut &?oospermia

4'

mg setiap bulan. Sedangkan hanya F<J dari pria kulit putih )kaukasian+ yang dapat mencapai oligospermia atau a?ospermia dengan pemberian testosteron yang serupa )F, A, ';+ %ara yang lebih efektif adalah dengan menggabungkan testosteron dengan progestin. %ara ini juga dirasakan lebih aman karena dosis hormon testosteron dapat diturunkan, tetapi khasiatnya tidak berkurang. Suatu suntikan kombinasi testosteron undecanoate dengan norethindrone enanthate yang diberikan pada interval <" minggu, dapat menyebabkan a?ospermia pada A;J dari subyek penelitian )A, ';, 4'+. Progestin yang dikombinasikan dengan testosteron terdiri dari berbagai jenis, antara lain adalah norethisterone, desogestrel, levonorgestrel, etonogestrel, depot"medro3yprogesterone acetate )95P&+ atau nestorone. 9ari beberapa macam progestin tersebut, yang terlihat paling efektif adalah etonogestrel dan levonorgestrel. ,fek penurunan E# ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh hormon androgen daripada oleh progestin )A, 44, 4.+. Selain dikombinasikan dengan progestin, testosteron juga dapat digabung dengan antagonis gonadotropin"releasing hormone )0n:#+, yang ternyata juga menunjukkan efektifitas yang tinggi )';+ 6ntuk pria yang kurang menyukai metode suntikan, saat ini telah dilakukan riset dengan menggunakan testosteron bentuk tempel/trandermal )QkoyoR+ yang dikombinasikan dengan pil estrogen. Pil estrogen yang digunakan adalah desogestrel atau 95P&. 9engan cara ini, keberhasilan untuk menurunkan spermatogenesis pada pria bisa mencapai F;J )41, 4-+ ,fek samping penggunaan kontrasepsi hormonal pria yang telah diketahui sejauh ini antara lain adalah timbulnya perubahan mood, jera at, depresi, penurunan libido dan disfungsi ereksi. (arena semua studi yang

dilakukan selama ini hanya dalam durasi yang relatif singkat, maka tidak mungkin untuk melakukan evaluasi efek samping jangka panjang pada tulang, prostat serta penyakit kardiovaskuler. Beberapa efek samping ini mungkin disebabkan oleh progestin )'', 4<+.

KONTRASEPSI NON@*ORMONAL 9engan adanya efek samping kontrasepsi hormonal, serta perlunya dilakukan suatu upaya untuk menyediakan metode (B pria yang aman, efektif, reversibel, murah serta mudah digunakan, saat ini telah banyak dilakukan studi tentang beberapa macam kontrasepsi non"hormonal, yang sebagian besar dapat dikonsumsi per oral. %ara ini diyakini lebih aman, karena obat"obatan ini memiliki potensi untuk menghambat fertilitas pria tanpa melibatkan alur hipotalamus"pituitari"gonad )''+ Beberapa kontrasepsi pria non" hormonal yang telah diteliti oleh para ahli adalah* a. Cal("u& C1annel /lo(kers >bat yang sebenarnya dipakai sebagai obat hipertensi seperti misalnya nifedipin dan amlodipin, ternyata dapat menyebabkan infertilitas dengan cara meningkatkan metabolisme lipid pada sperma yang berpengaruh pada akrosom dan proses kapasitasi sperma, sehingga tidak bisa membuahi sel telur )4=+

'. O'a Peng1a&'a Me a'ol"s&e V" a&"n A Spermatogenesis bergantung pada metabolit aktif vitamin &, yaitu asam retinoat, yang berfungsi untuk memacu diferensiasi spermatogonium serta menjamin produksi sperma dalam jumlah normal. Bukti baru menjelaskan bagaimana en?im yang mengontrol metabolisme vitamin & dalam testis dapat menjadi target untuk menghasilkan kontrasepsi pria yang efektif, namun,

44

mekanisme rinci tentang bagaimana vitamin & mengatur spermatogenesis normal masih belum diketahui. Percobaan dengan mengunakan tikus, membuktikan bah a suatu senya a yang menggangu jalur metabolisme vitamin &, ternyata dapat membuat tikus jantan menjadi steril tanpa mempengaruhi libido. Setelah senya a tersebut diambil dari tubuh tikus, produksi sperma kembali berlanjut. 5ekanisme kerja dari senya a tersebut dengan cara menghalangi konversi vitamin & menjadi bentuk aktif asam retinoat yang mengikat reseptor retinoic yang diperlukan untuk memulai produksi sperma )4F, 4A, .;+ (. A!ju!"n &djudin, '")4,1"dichloroben?yl+" '#"inda?ole"."carbohydra?ide ialah suatu analog non"toksik dari lonidamine, yang pada a alnya diteliti sebagai obat anti kanker. Selanjutnya, lonidamine telah terbukti sebagai senya a anti" spermatogenik yang efektif, dapat menyebabkan infertilitas reversibel pada he an coba. 5ekanisme kerjanya dengan cara mengganggu hubungan / ikatan sel" sel Sertoli dengan sel germinal di testis yang akan membentuk spermatid. Sel germinal akan terlepas dari epitel tubulus seminiferous, dan sel sperma yang belum matang tersebut dilepaskan secara prematur dan tidak pernah menjadi gamet fungsional. Pemulihan setelah penghentian pemberian adjudin ternyata cukup baik, setelah dihentikan 1 minggu, akan terjadi peningkatan spermatogenesis sebanyak -;J ).', .4, ..+

infertilitas, dan pada manusia dapat menyebabkan terhentinya spermatogenesis pada dosis yang relatif rendah. Penelitian yang dilakukan di %hina, &frika dan Bra?ilia, menunjukkan bah a gossypol dapat ditoleransi dengan baik serta tidak menimbulkan efek samping. #anya saja, dari 4;J pemakainya, ternyata menunjukkan ireversibilitas. Sebaiknya gossypol hanya diberikan pada pria yang menghendaki pemakaian kontrasepsi mantap saja, karena akan terjadi infertilitas permanen setelah pemakaian beberapa tahun ).1+

e. O'a %ang /ere+ek 5a!a E5"!"!"&"s ,pididimis merupakan target yang baik untuk studi perkembangan kontrasepsi pria. #al itu karena proses pematangan sperma terjadi didalam organ ini, dimana terjadi peningkatan motilitas spermato?oa, serta dapat mengenali dan membuahi sebuah sel telur begitu sperma keluar dari saluran epididimis. Berbagai macam cara pendekatan telah dilakukan, yaitu* " menimbulkan kontraksi pada saluran peritubular epididimis, yang akan mengurangi aktu transit sperma sehingga interaksi dengan sekret"sekret epitel menjadi berkurang sampai tingkat yang tidak optimal. " memodifikasi sekret"sekret epitel epididimis sehingga faktor"faktor yang berpengaruh pada proses pematangan sperma akan menurun. " inhibitor"inhibitor yang langsung menghambat motilitas, metabolisme, fungsi membran dan vitalitas sperma Salah satu contoh obat yang memiliki aktifitas pada epididimis adalah ,PPI2 )"pididymal Protease #nhibitor+ yang dapat menimbulkan infertilitas dengan cara menurunkan motilitas dari sperma. %ara"cara diatas belum sepenuhnya berhasil untuk diterapkan, sehingga perlu studi lebih lanjut ).-, .<+ +. Ta&sulos"n !an S"lo!os"n

!. Boss%5ol 0ossypol adalah suatu polifenol yang diisolasi dari biji, akar dan batang tumbuhan kapas ) ossypium sp!+. Substansinya memiliki pigmen kekuningan yang mirip dengan flavonoid yang terdapat pada minyak biji kapas. Pada tumbuhan, gossypol berfungsi sebagai pertahanan alamiah terhadap predator, dengan mempengaruhi infertilitas pada serangga. Pada beberapa he an, gossypol juga menimbulkan

4.

Tamsulosin dan Silodosin adalah suatu obat penghambat alfa )'&+ selektif, yang digunakan untuk mengobati penderita Benign Prostate $yperplasia )BP#+. Beberapa penelitian menunjukkan bah a tamsulosin dan Silodosin dapat menimbulkan disfungsi ejakulasi yang ditandai dengan penurunan volume ejakulat, baik pada pasien tua maupun yang masih muda. Subtipe &lfa )'&+" adrenoseptor menunjukkan peranan yang dominan untuk memicu kontraksi organ seks asesori yang melaksanakan fungsi ejakulasi, sehingga hambatan pada alfa )'&+"adrenoseptor akan menurunkan motilitas organ"organ ini, yang akibatnya akan menghambat transport sperma ).=, .F, .A+

menggangu proses spermatogenesis )1;, 1'+.

1. /"j" Car"(a 5a5a%a. Biji &arica papaya telah diketahui mengandung komponen" komponen yang diduga dapat mempengaruhi fertilitas. Beberapa eksperimen menunjukkan bah a biji &! papaya nampaknya mengganggu proses spermatogenik, menyebabkan a?oospermia atau hambatan total motilitas sperma pada he an percobaan. 5ekanisme kontrasepsi ditunjukkan dengan mengecilnya volume nukleus dan siptoplasma dari sel"sel Sertoli, yang mengakibatkan degenerasi nukleus pada spermatosit dan spermatid sehingga spermatogenesis terganggu . Sedangkan sel Eeydig tetap normal. Secara fisik akan terlihat penurunan jumlah sel sperma yang diproduksi, inhibisi total motilitas sperma dan peningkatan jumlah sel sperma abnormal. Biji %. papaya dinyatakan aman untuk pemakaian jangka panjang. )14, 1.+.

g. Ban!arusa 0andarusa )%usticia gendarussa Burm. f+ merupakan salah satu contoh tanaman yang banyak terdapat di Indonesia dan memiliki efek anti fertilitas. 9aun Justicia gendarussa Burm. f. Telah digunakan oleh sebagian masyarakat di Irian /aya sebagai obat kontrasepsi pria. 9ari hasil penelitian diketahui bah a dalam gandarusa terdapat '4 komponen flavonoid dengan berat molekul sama, komponen major flavonoid adalah <,F"di" a Earabinopiranosil"1,-,= trihidroksiflavon atau <,F" diarabinosilapigenin dengan aktivitas pencegahan penetrasi spermato?oa in vitro dan salah satu komponen minor adalah <"a"E arab inopiranosil" 1,-,= " trihidroksi" F " B L 9silopiranosilflavon atau <"arabinosil"F silosilapigenin. (edua senya a menghambat aktivitas en?im hyaluronidase. ,n?im #yaluronidase berfungsi untuk penetrasi spermato?oa pada cumulus oophorus ovum! Bila aktivitas en?im ini dihambat maka penetrasi spermato?oa tidak terjadi dan begitu pula dengan proses fertilisasinya. Pemberian gandarusa menyebabkan akumulasi metabolit dalam aliran darah )blood vessel+ di daerah testis. &kumulasi metabolit ini akan mengganggu sekresi E# dan !S# di testis. #al ini akan dapat

". /"j" Cu&"nu& (%&"nu& Biji &! cyminum )jeera, jintan putih+ telah dibuktikan memiliki efek kontrasepsi pada he an percobaan. ,kstrak methanol dari &! cyminum yang diberikan pada tikus jantan selama <; hari menunjukkan bah a terjadi penurunan berat testes, epididimis, vesikula seminalis dan prostat. 9isamping itu, juga terjadi penurunan densitas sperma, penurunan jumlah sel"sel sperma dalam cauda epididimis dan testes, serta penurunan motilitas sperma. 9isini tidak dijumpai penurunan jumlah sel"sel Sertoli. :eduksi dari fertilitas mencapai <A.;J dan =<J pada dosis ';; dan 4;; mg/hari. Penelitian ini juga tidak menunjukkan adanya efek samping yang berarti )11+. PENUTUP 9engan adanya kemajuan" kemajuan penelitian tentang metode

41

kontrasepsi pria, perlu dilakukan suatu promosi untuk meningkatkan keikutsertaan para suami dalam program keluarga berencana. Perlu disampaikan bah a kontrasepsi yang tersedia saat ini sudah cukup efektif, reversible, aman dan tidak menimbulkan efek samping yang berarti )1-, 1<+. Penyediaan kontrasepsi pria di negara berkembang memerlukan komitmen dari pihak pemerintah maupun pihak non"pemerintah dan memerlukan suatu pemikiran yang bijaksana. (erjasama yang baik dengan pihak industri akan mempercepat distribusinya )-+. !aktor"faktor yang mempengaruhi sikap suami antara lain adalah )1=+* " faktor internal* kepuasan bersenggama, umur, dan penggunaan cara kontrasepsi yang tidak praktis " faktor eksternal* pengaruh dari media, interaksi dengan orang lain, ri ayat keluarga, dan ri ayat kesehatan. 9ari pihak istri, nampaknya kepercayaan kepada metode kontrasepsi pria ini sangat baik, alaupun mereka hanya sedikit sekali memiliki pengetahuan tentang metode ini. )<, 1<+ KEPUSTAKAAN) '. Pernoll, 5. E.C 4;;'C Benson U Pernooll #andbook of >bstetrics and 0ynecologyC ';th ed.C 5c0ra "#ill 5edical Publishing 9ivision, 2e Iork, p. =4= L 1'. 2. %ostantino, &C et alC 4;;=C %urrent Status and !uture Perspectives in 5ale %ontraceptionC 5inerva 0inecol, -A).+*4AA".';C on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/'==<1;< .. Badan (ependudukan dan (eluarga Berencana 2asional )B((B2+C 4;''C Eaporan 6mpan Balik #asil Pelaksanaan Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan (ontrasepsi 5aret 4;''C 9irektorat Pelaporan dan Statistik B((B2C /akartaC hal. A L '', dan -'.

1. 5osher D9, 5artine? 05, %handra &, &bma /%, Dillson S/C 4;;1C V6se of contraception and use of family planning services in the 6nited States* 'AF4L 4;;4V . &dv 9ata ).-;+* 'L.<, 6.S. 9epartment of #ealth and #uman Services, %enters for 9isease %ontrol and Prevention 2ational %enter for #ealth Statistics. -. Dang, %.C S erdloff., :. S.C 4;';C #ormonal &pproaches to 5ale %ontraceptionC %urr >pin 6rol, Kol. 4; )<+, pp. -4;"1. on http*// eb.ebscohost.com/ <. 0lasier, &.C 4;';C &cceptability of %ontraception for 5en* & :evie C %ontraception.C F4)-+*1-."<C on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/4;A ..''A =. /ensen, /. T.C 4;;4C 5ale %ontraception.C %urr Domens #ealth :ep. C 4)-+*..F"1-C on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/'44 '-.;< F. Stubblefield, P. 0.C %arr",llis, S.C (app, 2.C 4;;= C !amily Planning, on Berek U 2ovak@s 0ynecologyC '1th ed.C Eippincott Dilliams U DilkinsC p. 41= " .'4. A. 2ieschlag, ,.C 4;';C %linical Trials in 5ale #ormonal %ontraceptionC %ontraceptionC Kol. F4 )-+, pp. 1-="=; C on http*// eb.ebscohost.com/ ehost/ ';. 5eriggiola, 5. %. C Pelusi, 0.C 4;;<C &dvances in 5ale #ormonal %ontraceptionC ,3pert >pin Investig 9rugC'-)1+*.FA"A=C on http*// . ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/'<-1F=FF ''. %heng, %. I.C 5ruk, 9. 9.C 4;';C 2e !rontiers in 2onhormonal 5ale

4-

%ontraceptionC %ontraceptionC Kol. F4 )-+, pp. 1=<"F4C on http*// eb.ebscohost.com/ehost/ '4. Tanagho, ,. &.C 4;;FC &natomy of the 0enitourinary TractC on Smith@s 0eneral 6rologyC '=th ed.C The 5c0ra " #ill %o. Inc.C p. ' " '< '.. Turek, P. /.C 4;;FC 5ale InfertilityC on Smith@s 0eneral 6rologyC '=th ed.C The 5c0ra "#ill %o. Inc.C p. <F1 L ='< '1. Bella, &. /.C Eue, T. !.C 4;;FC 5ale Se3ual 9ysfunctionC on Smith@s 0eneral 6rologyC '=th ed.C The 5c0ra "#ill %o. Inc.C p.-FA " <'; '-. SutovskyC P.C 5anandhar, 0.C 4;;<C 5ammalian Spermatogenesis and Sperm Structure* &natomical and %ompartmental &nalysisC on The Sperm %ell Production, 5aturation, !ertili?ation, :egenerationC %ambridge 6niversity PressC p. ' L .; '<. Deil, P. &.C 4;;AC #ormone &ction U Signal TransductionC on #arper@s Illustrated BiochemistryC 4Fth ed.C 5c0ra "#illC p. 111 L -F '=. Scanlon, K. %., U Sanders, T.C 4;;=C ,ssentials of &natomy and PhysiologyC -th ed.C !. &. 9avis %ompanyC p. 44' L 41AC 1-1 L =. 'F. %ooper, T. 0C Ieung, %. #.C 4;;<C Sperm 5aturation in The #uman ,pididymisC on The Sperm %ell Production, 5aturation, !ertili?ation, :egenerationC %ambridge 6niversity PressC p. =4 L ';=

'A. Dang, #.C et alC 4;;1C & spermato" genesis"related 0ene ,3pression Profile in #uman Spermato?oa and its Potential %linical &pplicationsC /"5ol"5ed )Berl+C F4)-+*.'="41C on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/'1A F-F--. 4;. Oiu, O.C et alC 4;;AC 0lycerol"." phosphate &cyltransferase 1 0ene is Involved in 5ouse SpermatogenesisC &cta Biochim Biophys SinC 1' )F+* <<F"<=<C on http*//abbs. o3fordjournals.org/content/1'/F/<<F. 4'. :oth 5IC &mory /(C 4;''C Pharmacologic 9evelopment of 5ale #ormonal %ontraceptive &gentsC %lin Pharmacol TherC Kol. FA )'+, pp. '.."<C on http*// eb.ebscohost.com/ehost/ 44. 2ieschlag, ,.C 4;';C 5ale #ormonal %ontraceptionC on #andbook of ,3perimental Pharmacology* !ertility %ontrol )'AF+*'A="44.C SpringerC on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/4;F .A;A. 4.. &ttardi B/C (oduri SC #ild S&C 4;';C :elative progestational and androgenic activity of four progestins used for male hormonal contraception assessed in vitro in relation to their ability to suppress E# secretion in the castrate male ratC 5ol %ell ,ndocrinolC Kol. .4F )'"4+, pp. '<"4'. on http*// eb.ebscohost .com/ehost/ 41. Soufir /.%.C 5eduri 0.C Niyyat &.C 4;''C Spermatogenetic inhibition in men taking a combination of oral medro3yprogesterone acetate and percutaneous testosterone as a male contraceptive methodC #um :eprodC Kol. 4< )=+, pp. '=;F"'1C on http*// eb.ebscohost.com/ehost/ 4-. #air D5C et al C 4;;'C & novel male contraceptive pill"patch combination* oral desogestrel and transdermal testosterone in the suppression of spermatogenesis in

4<

normal menC / %lin ,ndocrinol 5etabC Kol. F< )''+, pp. -4;'"AC on http*// eb.ebscohost .com/ehost/ 4<. Perheentupa, &.C #uhtaniemi, I.C 4;;1C 5ale %ontraception L Ouo KadisMC &cta >bstet 0ynecol ScandC F.* '.'L'.=. 4=. 5eacham, :. B.C 4;;<C The ,ffect of %alcium %hannel Blockers on 5ale :eproductive PotentialC /. of &ndrol., Kol. 4=, 2o. 4, 9>I* ';.4'<1/jandrol.;-'AF 4F. %hung S.S.C Dang. SC Dolgemuth 9./.C 4;;-C 5ale sterility in mice lacking retinoic acid receptor alpha involves specific abnormalities in spermiogenesisC 9ifferentiationC =.)1+*'FF"AF. http*// .ncbi.nlm. nih.gov/pubmed/'-A;'4F-M doptW&bstractPlus 4A. #ogarth, %.&C &mory, /.(.C 0ris old, 5.9.C 4;''C Inhibiting vitamin & metabolism as an approach to male contraceptionC Trends ,ndocrinol 5etabC Kol. 44 )1+, pp. '.<"11C on http*// eb. ebscohost.com/ehost/ .;. %hung, S.S.C et alC 4;''C >ral &dministration of a :etinoic &cid :eceptor &ntagonist :eversibly Inhibits Spermatogenesis in 5iceC ,ndocrinologyC'-4)<+*41A4"-;4.on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/4';-;-. .'. 5ruk, 9. 9.C et alC 4;;< C & 5ale %ontraceptive Targeting 0erm %ell &dhesionC 2at 5edC '4)''+*'.4."F. on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/'=;=4.'4 .4. 5ok. (. D.C et alC 4;''C &djudin, a Potential 5ale %ontraceptive, ,3erts its ,ffects Eocally in the Seminiferous ,pithelium of 5ammalian TestesC :eproduction )4;''+ '1' -='L-F;C on .reproduction"online.org

... #u, 0. S.C et alC 4;;A* &djudin Targeting :abbit 0erm %ell &dhesion as a 5ale %ontraceptive* & Pharmacokinetics StudyC / &ndrol 4;;AC.;*F=LA.. .1. %outinho, ,. 5.C 4;;4C 0ossypol* a %ontraceptive for 5enC %ontraception, Kol. <-, Issue 1, Pages 4-A"4<.C on http*// eb.ebscohost.com/ehost/ .-. #inton, B. T.C %ooper, T. 0.C 4;';C The ,pididymis as a Target for 5ale %ontraseptive 9evelopmentC on #andbook of ,3perimental Pharmacology, Kol. 'AFC p. ''=".FC SpringerC on .springer.com. .<. >@:and, 5. 0.C et alC 4;''C ,pididymal Protein Targets* & Brief #istory of the 9evelopment of ,PPI2 as a %ontraceptiveC / &ndrol. 7,pub ahead of print8 on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/ P5I9*4'11'14F .=. %hen IC Ei #C 9ong OC Dang (/C 4;;AC Blockade of alpha '&" adrenoceptor* a novel possible strategy for male contraceptionC 5ed #ypothesesC Kol. =. )4+C pp. '1;"'C on http*// eb.ebscohost.com/ehost .F. Shimi?u, !C et alC 4;';C Impact of dry ejaculation caused by highly selective alpha'&"blocker* randomi?ed, double" blind, placebo"controlled crossover pilot study in healthy volunteer menC / Se3 5ed..C =).+*'4=="F.C on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/4;' ;411= .A. Iono, 5.C 4;;AC Short" and Eong" term ,ffects of Silodosin, a Selective &lpha '&"adrenoceptor &ntagonist, on ,jaculatory !unction in :atsC B/6 IntC ';.)'4+*'<F;"-. on http*// .ncbi.nlm.nih.gov/pubmep/'A4 4;4-A

4=

1;. Bambang Prajogo ,.D C et alC 4;;=C Isolation of male antifertility compound in n"butanol fraction of /usticia gandarussa Burm.f leavesC I>%9 International Symposium. Surabaya, Indonesia A"'' &pril 4;;=. 1'. Bambang Prajogo ,.D C et alC 4;;=C Pengaruh 9aun /usticia gandarussa Burm. f. terhadap Sperma"togenesis 5encitC /urnal Ilmiah (eluarga Berencana dan (esehatan :eproduksi, Tahun 4;;=, 2o.', hal. '"F 14. 5anivannan, B.C et alC 4;;AC Sperm characteristics and ultrastructure of testes of rats after long"term treatment ith the methanol subfraction of &arica papaya seedsC &. /. &ndrol.C ''* -F.L-AAC on http*// .nature.com/aja/journal/v''/n/pdf/aja4;;A4-a.pdf 1.. 0oyal, S.C et alC 4;';C Safety evaluation of long term oral treatment of methanol sub"fraction of the seeds of %arica papaya as a male contraceptive in albino ratsC / ,thnopharmacolC Kol. '4= )4+, pp. 4F<"AC on http*// eb.ebscohost.com/ehost/ 11. 0upta ,:. S.C 4;''C ,valuation of reversible contraceptive activities of %uminum cyminum in male albino ratsC %ontraceptionC Kol. F1 )'+, pp. AF"';=C on http*// eb.ebscohost. com/ehost/

1-. Eiu PIC S erdloff :SC Dang %C 4;';C :ecent 5ethodological &dvances in 5ale #ormonal %ontraceptionC %ontraceptionC Kol. F4 )-+, pp. 1='"-. C on http*// eb.ebscohost.com/ehost/ 1<. 2te &:C >du 2C ,nyindah %,C 4;;AC 5ale Involvement in !amily Planning* DomenHs PerceptionC 2iger / %lin PractC Kol. '4 ).+, pp. .;<"';. on http*// eb.ebscohost.com/ehost/ 47. &stuti, &. P.C 4;';C Sikap Suami Terhadap (ontrasepsi PriaC SkripsiC !akultas Psikologi 6nmuhC Surakarta.

4F

VAKSIN *UMAN PAPILOMA VIRUS 3*PV4 UNTUK PENCEBA*AN KANKER SERVIKS UTERI *arr% kurn"awan Bon!o Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&BST:&( (anker serviks merupakan penyakit keganasan fatal yang dapat dicegah. Penyebab kanker serviks adalah human papillomavirus )#PK+ onkogenik risiko tinggi, terutama #PK"'< dan 'F. Secara struktural, #PK dibagi atas 6::, ,:,dan E%: dimana ,: mengkode protein ,', ,4, ,., ,1, ,-, ,<, dan ,= yang bersifat onkogenik dan E%: mengkode E' dan E4 yang bersifat imunogenik. Infeksi #PK mengakibatkan displasia yang dapat berkembang menjadi kanker serviks in situ dan invasif. Kaksin dapat mencegah <-J infeksi, A-J infeksi persisten, ';;J keadaan abnormalitas epitel. Kaksin #PK rekombinan lebih baik diberikan pada mereka yang belum melakukan hubungan seksual aktif dan dapat pula pada umur A"-- tahun. :egimennya sebanyak . kali suntikan ;,- ml pada otot deltoideus mediolateral pada bulan pertama, kedua, ke enam. (emampuan proteksi adalah - tahun dan tidak ditemukan reaksi serius sebagai komplikasi vaksinasi. Ka a kun("* vaksin #PK, kanker serviks.

VACCINES *UMAN PAPILLOMA VIRUS 3*PV4 CERVICAL CANCER PREVENTION FOR UTERI *arr% kurn"awan Bon!o Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&BST:&%T %ervi3 cancer represent disease of fatal ferocity able to be prevented. %ause of cervi3 cancer is papillomavirus human )high >nkogenik risk #PK+, especially #PK"'< and 'F. Structurally, #PK divided of 6::, ,:,9&2 E%: here ,: protein code of ,', ,4, ,., ,1, ,-, ,<, and ,= having the character and oncogenic of E%: code of E' and E4 having the character of imunogenik. Infection of #PK result displasia able to round into cervi3 cancer in situ and of invasif. Kaccine can prevent <-J infection, A-J infection of persisten, ';;J situation of epitel abnormalitas. Kaccine of #PK passed to better rekombinan of them hich not yet conducted active se3ual relation and earn also at age A"-year. Its counted . times injection ;,- ml at muscle of deltoideus mediolateral first, second, to si3 month. &bility of proteksi - year and not be found by serious reaction as vaccination complication. Ke%wor!* Kaccine of #PK, cervi3 cancer.

I. La ar /elakang Masala1 Sampai saat ini, kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan perempuan Indonesia sehubungan dengan insiden dan mortalitas yang tinggi. Dorld #ealth >rgani?ation )D#>+ memperkirakan pada tahun 4;;;, di seluruh dunia terdapat <,4- juta kanker baru pertahun dan dalam aktu '; tahun mendatang diperkirakan akan terjadi A juta kematian akibat kanker, sebagian besar =-"F;J terdapat di negara berkembang. Padan negara maju, kanker serviks menempati urutan kedua setelah

kanker mamma, sedangkan di Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama dan prevalensinya relative stabil dalam tiga dasa arsa. #ingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Pajanan $uman Pappiloma 'irus )#PK+ dianggap sebagai promoter dan mungkin inisiator, sedangkan faktor resiko lainnya sebagai inisiator. 5anifestasi klinis dari proses molukuler dan seluler adalah metaplasia dan displasia di mana hal ini

4A

dapat dideteksi baik dengan dengan pemeriksaan sitologis dari bahan pap smear maupun dengan pemeriksaan histopatologis dari bahan biopsi serviks. Penemuan vaksin ini merupakan salah satu terobosan yang sangat besar dalam bidang ilmu kedokteran khususnya bidang onkologi ginekologi. 9iharapkan pada tahun"tahun mendatang dengan semakin disebarluaskannya informasi dan penggunaan vaksin $uman Papilloma 'irus, angka kejadian kanker mulut rahim dapat ditekan dan mungkin dieradikasi terutama pada negara berkembang seperti negara kita ini.

suatu virus yang bersifat Qnon envelopedR yang mengandung Qdouble stranded ()A*. Kirus ini juga bersifat epiteliotropik yang dominan menginfeksi kulit dan selaput lendir dengan karakteristik proliferasi epitel pada tempat infeksi. Infeksi virus #PK telah dibuktikan menjadi penyebab lesi prekanker, kondiloma akuminata, dan kanker. 5eskipun #PK menyerang anita, virus ini juga mempunyai peran dalam timbulnya kanker anus, vulva, vagina, penis, dan beberapa kanker orofaring. Kirus ini menginfeksi membrana basalis pada daerah metaplasia dan ?ona transformasi serviks. Setelah menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya untuk berkembang biak, virus ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang. 0enom #PK berupa episomal )bentuk lingkaran dan tidak terintegrasi dengan 92& inang+ dijumpai pada &arcinoma #nsitu )%I2+ dan berintegrasi dengan 92& inang pada kanker invasif. Pada percobaan invitro #PK terbukti mampu mengubah sel menjadi immortal.

II. ETIOLOBI KANKER SERVIKS II.- Human Papilloma Virus 3*PV4 #PK termasuk golongan pavovavirus yang merupakan virus 92& yang dapat bersifat memicu terjadinya perubahan genetik. #PK berbentuk ikosahedral dengan ukuran -;"-- nm, =4 kapsomer, dan 4 protein kapsid. #PK merupakan

0ambar '. #uman Papilloma Kirus

#asil pemeriksaan sekuensi 92& yang berbeda hingga saat ini dikenal lebih dari 4;; tipe #PK.(ebanyakan infeksi #PK bersifat jinak. Tigapuluh diantaranya ditularkan melalui hubungan seksual dengan masing"masing kemampuan mengubah sel epital serviks. Tipe risiko tinggi seperti tipe '<, 'F, .', .., .-, .A, 1-, -', -4, -<, -F, -A, <F, <A dan mungkin

tipe yang lain berhubungan dengan displasia sedang sampai karsinoma in situ. Tipe virus resiko tinggi biasanya menimbulkan lesi rata dan tak terlihat jika dibandingkan dengan tipe tipe resiko rendah yang menimbulkan pertumbuhan seperti jengger ayam pada tipe < dan '' atau dikenal sebagai kondiloma akuminata. Beberapa penelitian

.;

mengemukakan bah a lebih dari A; J kanker serviks disebabkan oleh #PK dan =; J diantaranya disebabkan oleh tipe '< dan 'F, 9ari kedua tipe ini #PK '< menyebabkan lebih dari -; J kanker serviks. &pabila seseorang yang sudah

terkena infeksi #PK '< memiliki kemungkinan terkena kanker serviks sebesar - J. (anker serviks yang di sebabkan #PK umumnya berjenis keganasan sel gepeng.

0ambar 4 0enom #PK , Invasi dan :eplikasi Kirus

Siklus hidup #PK belum diketahui secara sempurna, tetapi proses timbulnya lesi sudah banyak diketahui. Tempat infeksi pertama adalah pada sel basal atau sel basal dari epitel gepeng yang belum matur. Infeksi #PK yang terjadi pada sel basal tersebut dibagi menjadi 4 jenis yaitu* '. Infeksi Kirus laten, yakni infeksi virus yang tidak menghasilkan virus yang infeksius. Pada saat ini yang terjadi adalah virus tidak berhasil melekat pada permukaan sel tetapi gagal melakukan

perkembangbiakan dan tidak terjadi pematangan dari partikel L partikel virus. Pada fase ini kelainan struktur sel tidak ditemukan dan #PK hanya bias dideteksi dengan metode biomolekuler. 4. !ase produktif, yakni terjadinya pembentukan 92& virus dan membentuk 92& yang infeksiosus yang disebut virion. Pembentukan 92& virus ini terjadi di sel intermediet dan permukaan epitel sel gepeng. Kirion kemudian menjadi banyak jumlahnya dan membentuk efek merusak sel yang bias dideteksi dengan cara sitologi dan histopatologi.

0ambar . Patogenesis #PK

.'

Terjadinya keganasan akibat infeksi dari #PK harus memahami terlebih dahulu tentang genom dari #PK. Bangun #PK terdiri atas . subbagian yaitu* 6:: )+pstein ,egulatory ,egion+, ,: ) "arly ,egion+, dan E: )-ate ,egion.! 6:: adalah bagian nonkode yang berperan penting pada pengaturan pembentukan dan transkrip pada rangkaian ,: ) "arly region+. ,: dan E: mengandung cetakan bacaan yang terbuka ) /pen ,eading 0rame W >:!s+ yaitu bagian genom yang punya kemampuan untuk membaca jenis protein. ,: terbentuk pertama kali pada siklus hidup virus dan mengkode protein yang sangat berperan pada pembentukan virus, sedangkan E: dibentuk kemudian untuk mengkode struktur protein virus.

6:: juga adalah bagian regulator yang sangat kompleks di mana peranan dan fungsi yang pasti dalam siklus hidup virus belum diketahui dengan jelas. Bagian ini mengandung tempat ikatan berbagai faktor transkrip seperti protein activator, faktor transkrip keratinositik spesifik, dan faktor transkrip lainnya. Ikatan"ikatan ini diatur oleh "arly ,egion >:!s. "arly ,egion >:!s mengkode protein yang diperlukan pada proses kerja dari protein ,', ,4, ,1, ,-, ,<, dan ,=. ,' dan ,4 mengkode protein 92& dan mengatur proses transkripsi. ,1 mengkode rangkaian protein yang penting pada proses pematangan dan pembentukan virus. ,- mengkode protein dan punya daya transformasi pada #PK.

Tabel ' * !ungsi , dan E Protein pada transformasi gen E Pro e"n ,' ,4 ,1 ,,< ,= L Pro e"n E' E4 Peranan%a 5engontrol pembentukan 92& virus dan mempertahankan efisomal 5engontrol pembentukan / transkripsi / transformasi 5engikat sitokeratin Transformasi melalui reseptor permukaan ) epidermal growt factor1 platelet derivat growth factor, p'4.+ Immortalisasi / berikatan dengan p -., trans activated / kontrol transkripsi Immortalitas / berikatan dengan :b',p';=,p'.; Peranann%a Protein sruktur / mayor 'iral &oat Protein Protein sruktur / minor 'iral &oat Protein

Peranan ,< dan ,= >:!s sangat penting dalam proses transformasi gen. #al ini dapat dibuktikan dengan penemuan ,< dan ,= #PK tipe onkogenik tinggi seperti '< dan 'F pada kultur jaringan sel yang telah mengalami proses transformasi invitro. ,< dan ,= selalu ditemukan pada kenker serviks. #al ini menunjukan peranan ,< dan ,= diperlukan untuk

proses pembentukan kanker. Bila kontrol ,< dan ,= hilang, maka akan terjadi ekspresi yang berlebihan dari ,< dan ,= yang sangat berperan dalam proses pembentukan kanker. Infeksi primer dari #PK terjadi pada sel lapisan basal dan parabasal. Setelah terjadi penetrasi dari virus maka partikel virus yang terdiri atas E' dan E4

.4

berinteraksi dengan molekul di permukaan sel target sehingga mempermudah masuknya 92& virus ke sel target. ,' dan ,4 masing"masing mengkode 92& binding protein yang berfungsi untuk menjaga stabilitas virus. Protein ,' berperan dalam proses inisiasi dan elongasi dari pembentukan 92&, sedangkan ,4 berperan dalam regulasi positif dan negatif dari ekspresi gen melalui interaksi dengan early promoter. Protein ,< dan ,= berperan dalam proliferasi melalui mekanisme yang mengganggu sistem kontrol siklus sel target dan aktivasi sintesis 92&.

Nona peralihan pada kanker serviks merupakan tempat utama dari infeksi #PK. Setelah terjadi infeksi #PK virus akan menuju ke sel basal dari epitel serviks dan mengadakan pembentukan di sitoplasma sel basal serta mengekspresikan protein virus ,', ,4, ,1, ,-, ,<, ,=. Sel basal yang terinfeksi ini berdiferensiasi dan melakukan migrasi ke permukaan dan mulai mengekspresikan protein E' dan E4. Pada sel"sel epitel yang terinfeksi #PK tersebut, virus akan terintegrasi pada kromosom penjamu dan mengekspresikan protein ,< dan ,= yang akan mengikat protein p-. dan :b.

0ambar 1. !ilogenetik #PK

Pada #PK yang menyebabkan keganasan, protein yang berperan banyak adalah ,< dan ,=. mekanisme utama protein ,< dan ,= dari #PK dalam proses perkembangan kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein p-. dan retinoblastoma ):b+. Protein ,< mengikat p -. yang merupakan suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis. Sementara itu, ,= berikatan dengan :b yang juga merupakan suatu gen supresor tumor

sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri. Protein ,< dan ,= pada #PK jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang lebih besar terhadap p-. dan protein :b, jika dibandingkan dengan #PK yang tergolong resiko rendah.

II.0 /e'era5a Pen%ak" !" "&'ulkan ole1 "n+eks" *PV

%ang

..

a. (anker servik #PK berperan dalam menyebabkan terjadinya kanker serviks tetapi bukan satu"satunya penyebab terjadinya kanker serviks. #PK tipe '< dan 'F menyebabkan <FJ keganasan tipe skuamosa dan F.J tipe adenokarsinoma. 5eskipun infeksi #PK biasanya tanpa gejala infeksi pada serviks bisa menghasilkan perubahan secara histologi yang digolongkan dalam &ervikal intraepitelial )eoplasma )%I2+ derajat ', 4, . didasarkan pada derajat kerusakan dari sel epitel pada serviks atau adenokarsinoma insitu. %I2 ' biasanya sembuh spontan ) <;J dari seluruh kasus+ dan beberapa berkembang ke arah keganasan ) 'J +. %I2 4 dan . memiliki persentase sedikit untuk sembuh spontan dan memiliki persentase yang tinggi untuk berkembang ke arah keganasan. b. (anker Kulva dan Kagina Tidak semua keganasan pada vulva dan vagina disebabkan infeksi #PK. #PK tipe '< adalah yang terbanyak ditemukan pada keganasan vulva dan vagina. #PK dihubungkan dengan sekitar setengah dari penyebab keganasan dari vulva dan vagina. Beberapa penelitian , #PK tipe '< dan 'F terdeteksi pada =<J dari keganasan intraepitelial vagina dann 14J dari kanker vulva. c. (anker &nal #PK dihubungkan pula dengan sekitar A;J dari keganasan anal jenis sel skuamosa . d. (ondiloma &kuminata Semua kondiloma akuminata disebabkan oleh infeksi #PK, dan A;J dihubungkan dengan infeksi #PK tipe < dan tipe ''. (ondiloma biasanya terjadi setelah 4 L . bulan terjadinya infeksi #PK pada daerah anogenital, tetapi tidak semua anita yang terinfeksi #PK menimbulkan kondiloma pada daerah anogenital. (ondiloma bisa diobati meskipun pada beberapa kasus bisa hilang dengan sendirinya. &ngka kekambuhan pada kondiloma cukup tinggi yaitu .;J

e. :espiratori Papillomatosis Berulang Infeksi #PK yang resiko rendah, yaitu tipe < dan '' bisa menyebabkan papillomatosis respiratori yang berulang. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya papiloma pada daerah laring. Biasanya timbul pada usia muda. Papillomatosis ini dipercaya sebagai akibat transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi ke bayinya saat melahirkan.

III. VAKSIN HUMAN PAPPILOMA VIRUS 3*PV4 Kaksin kanker pada a al perkembangannya dimulai dari lisan tumor sendiri, kemudian berkembang dengan sasaran tumor associated antigen, yaitu molekul yang diekspresikan oleh tumor dan tidak oleh sel normal. Selanjutnya digunakan peptida atau 92& sebagai antigen. &ntigen 92& biasanya lemah dan untuk memperkuat potensi imunogeniknya dilakukan dengan berbagai rekayasa. Kaksin dibuat dengan teknologi rekombinan, vaksin berisi KEP )virus like protein+ yang merupakan hasil cloning dari E' )viral capsid gene+ yang mempunyai sifat imunogenik kuat. 9engan diketahuinya infeksi #PK sebagai penyebab kanker serviks , maka terbuka peluang untuk menciptakan vaksin dalam upaya pencegahan kanker serviks. 9alam hal ini dikembangkan 4 jenis vaksin* '. Kaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat terlindung dari infeksi #PK. 4. Kaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel yang terinfeksi #PK dapat dimusnahkan. :espon imun yang benar pada infeksi #PK memiliki karakteristik yang kuat, bersifat lokal dan selalu dihubungkan dengan pengurangan lesi dan bersifat melindungi terhadap infeksi #PK genotif yang sama . 9alam hal ini, antibodi humoral sangat berperan besar dan antibodi ini adalah suatu virus neutralising antibodi yang bisa mencegah infeksi #PK dalam percobaan invitro

.1

maupun invivo. (adar serum neutralising hanya setelah fase seroconversion dan kemudian menurun. (adar yang rendah ini berhubungan dengan infeksi dari virus. #PK yang bersifat intraepitelial dan tidak adanya fase keberadaan virus di darah pada infeksi ini. Selanjutnya protein E' diekspresikan selama infeksi produktif dari virus #PK dan partikel virus tersebut akan terkumpul pada permukaan sel epitel tanpa ada proses kerusakan sel dan proses radang dan tidak terdeteksi oleh antigen presenting cell dan makropag. >leh karena itu partikel virus dan kapsidnya terdapat dalam kadar yang rendah pada kelenjar limfe dan limpa, di mana kedua organ tersebut adalah organ yang sangat berperan dalam proses kekebalan tubuh. 5eskipun dalam kadar yang rendah, antibodi tersebut bersifat protektif terhadap infeksi virus #PK, sehingga dikembangkan suatu vaksin yang didasarkan pada mekanisme kerja virus neuralising antibodi terhadap protein kapsid yang bersifat mencegah terhadap infeksi #PK. #munodominant neutralising epitopes terlokalisasi pada protein kapsid E', yang kemudian bergabung menjadi suatu kapsid yang kosong atau virus like particle yang secara bentuk dan antigenik sangat identik dengan virion aslinya. (emudian dengan bantuan teknologi yang canggih, dikembangkan suatu #PK E' KEP subunit vaksin.

menjadi sel plasma yang membentuk antibodi )imunoglobulin+, proses aktivasi ini dibantu oleh sel T helper. Sementara itu, pada sistem kekebalan seluler ) cell mediated imunity+ antigen terlebih dahulu diproses oleh Antigen Presenting &ell )&P%+ dan tergantung dari 2a3or $istocompatibility &omplex )5#%+. Kirus sebagai partikel obligat intraseluler dengan menginfeksi sel dan berperan sebagai imunogen yang memberikan efek sitopatik dan nonsitopatik pada sel. :eaksi tubuh mela an imunogen virus adalah dari tanpa pembentukan antibodi sampai dengan respon imun seumur hidup. (etika virus memasuki suatu sel , hal ini berarti pengambil alihan terhadap pembentukan dari aparatus sel penjamu. Protein virus diproduksi secara endogen oleh sel yang terinfeksi dan dirusak secara intraseluler menjadi peptida"peptida sekitar sembilan asam amino. Peptida" peptida ini kemudian dihadirkan pada permukaan sel penjamu yang terinfeksi oleh molekul L molekul dari 5ajor $istocompatibility &omplex )5#%+ yang juga dikenal sebagai $uman -eukocyte Antigen )#E&+. (ompleks gen 5#% ini adalah suatu polimorphic dan merupakan #E& kelas I yang terdapat sekitar -; alel pada lokus & dan % dan ';; alel B yang berbeda. 5olekul #E& kelas ' terdiri atas 4 rantai protein, yaitu 5#% yang menyandi rantai alfa dan yang sangat berhubungan dengan rantai beta 4 mikroglobulin. Pada bagian atas dari molekul #E& kelas ' adalah suatu alur tempat protein virus terikat. Terdapat . gambaran penting pada sistem ini, yaitu*

III.- Res5on In+eks" *PV

I&unolog"

Ter1a!a5

Sistem kekebalan tubuh terdiri atas dua bagian besar, yaitu sistem kekebalan humoral dan sistem kekebalan seluler yang keduanya berperan pada respon imunologis terhadap infeksi #PK. Sistem kekebalan humoral banyak diperankan oleh sel B dengan pembentukan imunoglobulin, sedangkan sistem kekebalan seluler benyak diperankan oleh sel T, baik sel T sitotoksis maupun sel T helper. Pada sistem kekebalan humoral antigen yang masuk akan berinteraksi dengan antibodi dan selanjutnya akan mengaktivasi sel B

'. 5olekul #E& menghadirkan / memberikan peptida asing ke limpisit T yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel"sel yang terinfeksi virus 4. 9ikenalnyan #E& yang mengikat peptida oleh reseptor sel T adalah #E& yang tertentu saja. Peptida asing hanya dapat dikenali jika sel target memiliki molekul #E& yang sama dengan sel T itu sendiri.

.-

.. Peptida yang tepat dihadirkan oleh molekul #E& kelas I adalah spesifik alel saja. Pada respon kekebalan tubuh seluler yang diperantarai oleh sel T, terdapat 4 kelas utama sel T yaitu %9 F yang mengekspresikan &ytotoxic 4 -ymphocytes )%TE+ dan %9 1 menghasilkan antibodi dan tidak dapat mengenali antigen yang dapat larut )soluble antigen+. ,eseptor sel 4 )T%:+ dari kedua kelas tersebut berhubungan secara langsung dengan antigen peptida yang dihadirkan oleh molekul #E& pada permukaan sel yang lain. %TE ini berinteraksi dengan #E& kelas I, sedangkan 4 helper cell mengenali antigen yang dihadirkan oleh molekul kelas II. 5olekul kelas II 5#% diekspresikan pada antigen penting cell )&P%+ dari sistem imunologi seperti makropag dan sel dendrit. Sel T tertentu hanya akan mengenali suatu peptida asing tertentu. Ikatan spesifik pada peptida ini menyebabkan sel T mengalami pengembangan klonal yang cepat, mengalami proliferasi dan membentuk suatu klon dari sel T yang identik dengan spesifitas yang sama untuk masing" masing target antigen. %TEs yang sudah diaktifkan dapat menempel pada sel target selularnya dan menyebabkan lisis dengan cara melepaskan cytoto3in. T sel helper yang aktif mensekresi sitokin yang merupakan molekul protein dengan efek perangsangan terhadap sel"sel lain dari sistem kekebalan tubuh. Antigen presenting cell )&P%+ sangat penting untuk sistem kekebalan yang efektif. &P% mengambil alih protein eksogen atau produknya lalu diproses menjadi peptida L peptida dan dipindahkan ke nodus limfa regional yang nantinya akan berinteraksi dengan T helper cell. &ntigen yang dihadirkan oleh &P% dapat mencapai seribu kali lebih merangsang sistem imun dibandingkan antigen yang asli. Imunogen yang masuk dalam tubuh akan dila an oleh tubuh melalui sel 2(, T helper cell"%91, T sitotoksik selL%9 F.

Sel T sitotoksik )Ts+ sebagai sub bagian limfosit memberikan respons kekebalan tubuh seluler dan humoral. :espon kekebalan tubuh seluler melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat ) delayed type hypersensitivity+ dan sitolitik yaitu aktivasi antigen yang terikat pada 5#% kelas II yang akan merangsang perpindahan %9. dan 1 dari thymus, selanjutnya terikat pada reseptornya dan %9. dan 1 tersebut menjadi Th"; dan Th" ' yang menghasilkan IE"4, I!"X, T2!"B dan juga diproduksi oleh sel 2(. Th"' memperluas pengaruh reaksi delayep type hypersensitivity dengan mengatur peredaran makrofag,limfosit dan neutrofil ke area infeksi. Selain itu, I!2" X akan menstimulasi sel 2( untuk berproliferasi dan selanjutnya melepaskan I!2" X yang akan merangsang sel makropag untuk melepaskan IE"4 lebih banyak lagi. IE"4 akan menstimulasi sel 2( untuk memproduksi I!2" X sehingga akan terjadi mekanisme umpan balik antara IE" 4 yang dihasilkan oleh makropag dengan I!2" X dari sel 2( yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan dan kematian sel terinfeksi virus. Sel Ts mengontrol keseimbangan respon kekebalan tubuh melalui penekanan fungsi sel Th dan reaksi langsung ke sel B. Sel Ts mengekspresi %9F dan spesifik untuk epitop antigen spesifik atau untuk petanda idiotipe pada reseptor antigen"antibodi sel B atau Ts di mana sel Ts dan regulasi idiotipenya bekerja sama satu dengan yang lain.

III.0 Res5on keke'alan u'u1 5a!a kanker ser#"ks er1a!a5 5ajanan *PV Secara umum respons cell mediated immunity memainkan peran yang penting dalam mengatasi infeksi virus. Tidak terdapat penurunan kejadian lesi yang dihubungkan dengan #PK pada pasien dengan humoral imunodifeciency. #al ini mengidentifikasi bah a alaupun respons antibodi mungkin memainkan peran, mekanisme cell mediated immunity )%5I+ penting dalam mela an #PK. Selain itu mekanisme %5I yang penting adalah terdapat infiltrasi seluler

.<

menyerupai reaksi hipersensitifitas tipe 1 pada pasien dengan warts. Saat respons kekebalan tubuh yang efektif menurun terjadi peningkatan resiko persisten virus dan perkembangan neoplasma . !aktor lain yang ikut berperan adalah infeksi tidak menyebabkan hal yang berbahaya bagi penjamu sehingga sering diabaikan . #anya pada stadium akhir dari lesi saat lesi yang lebih besar berkembang, antigen mungkin terlepas dalam mela an infeksi secara aktif. 9engan demikian, kegagalan respons kekebalan tubuh telah diduga sebagai faktor utama dalam perkembangan neoplasia serviks. Sel Eangerhans, suatu antigen presenting cell )&P%+ terdapat pada epitel serviks yang berperan untuk mengambil, memproses dan mentransportasi antigen ke kelenjar getah bening pelvis kemudian menuju ke serviks. 9i sini terjadi induksi sel T dan respons %TE mela an #PK secara umum. Peptida antigen protein virus dipresentasikan oleh &P% dalam kaitannya dengan #E& kelas II terhadap sel Th dan dengan #E& kelas I terhadap %TE. 9engan demikian, ekspresi #E& kelas I pada sel target penting bagi %TE untuk mengatur dan sekaligus menghancurkannya. Sel Th tipe ' )Th"'+ mensekresi I!2" X, T2! B, IE"4, yang berperan dalam respons %TE dalam delayed type hypersensitivity sel Th tpe 4 mensekresi IE"1, IE"- dan IE '; yang penting untuk induksi respons antibodi Ig 0 dan Ig ,. Sel T yang berasal dari sitokin anti viral I!2" X bersama dengan antibodi penetral akan mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan menghambat penbentukan virus yang menginfeksi sel penjamu sebelum infeksi virion baru dapat diproduksi adalah mekanisme yang paling efektif untuk mengontrol virus yang tidak menyebabkan pecahnya sel. 2amun antibody penetral mungkin juga penting untuk mencegah infeksi dengan melepas virion setelah sel terinfeksi pecah. Pada prinsipnya #PK adalah virus yang tidak menyebabkan pecahnya sel, sehingga selama tidak terjadi

pecahnya sel penjamu, infeksi ini tidak menyebar. 9engan demikian, %TE akan menjadi mekanisme yang lebih efektif pada pertahanan a al mela an #PK dibandingkan dengan antibody penetral yang berperan dalam mencegah infeksi ulang. Protein target virus untuk kedua mekanisme tersebut dinyatakan dalam level yang berbeda pada lapisan epitel selama siklus sel normal. %TE akan menargetkan sel yang utuh dari lapisan sel yang intermediate di mana terjadi transkripsi dan pembentukan protein virus ,', ,4, ,-, ,<, dan ,= yang ditemukan pada lapisan sel tersebut. Protein kapsid E' dan E4 adalah target relevan untuk antibodi penetral. Kirion #PK adalah suatu partikel ikosahedral yang terdiri dari kapsid protein yang bersifat tidak beramplop dan double stranded ()A. 0enomnya kira" kira sepanjang F;;; pasang basa dan mengandung < >:!s )open reading frame+ a al dan 4 >:!s akhir yang mengkode protein #PK ),',,4, ,1, ,-Y ,<, ,=, E' dan E4+ #PK secara khusus merupakan patogen pada lapisan epitel dengan cara menginfeksi sel"sel parabasal pada permukaan epitel serviks yang secara normal tumbuh ke permukaan dan berdiferensisi menjadi sel gepeng yang matur. (etika terjadi infeksi #PK, protein virus a alnya diekspresikan pada lapisan yang lebih ba ah dan kemudian terjadilah pembentukan virus. /ika sel"sel yang terinfeksi mencapai lapisan permukaan, maka E' dan E4 >:!s akan diekspresikan. Protein"protein ini membentuk kapsid virus dan melepaskan virion matur melalui sel"sel yang terkelupas. Infeksi #PK pada serviks biasanya merupakan suatu proses yang bervariasi mulai dari yang jinak sampai ganas. #PK bersifat patogen murni intraepitelial, di mana tidak menyebabkan suatu penyebaran virus di darah atau manifestasi ke seluruh tubuh, tidak bersifat merusak sel, infeksi virus dan pembentukannya tidak disertai radang . Tipe dari infeksi kronik ini tidak terjadi

.=

kerusakan jaringan dan pengaktipan respons radang. (emampuan lesi #PK untuk bertahan selama bertahun"tahun adalah sesuai dengan keberadaan #PK sebagai suatu agen infeksi yang secara ilmiah imunogenitasnya rendah. &kan tetapi seperti yang telah dibahas sebelumnya, selalu terdapat sistem kekebalan tubuh dalam membatasi dan memberantas infeksi #PK. Kirus yang patogen lebih rentan dalm netralisasi oleh antibodi yang spesifik yang juga memainkan peran dalam terjadinya infeksi oleh virus melalui antibodi yang tergantung pada sitotoksis seluler. &ntibodi #PK dapat berfungsi secara bermakna dan pada kadar tertentu, antibodi tersebut bisa dijadikan marker dari status infeksi dan hal ini sebaiknya selalu dipantau untuk mengetahui perjalanan penyakit. Beberapa penelitian telah menyelidiki hubungan antara serum antibodi mela an protein #PK tipe '< pada kanker serviks dan didapatkan seropositif yang lebih besar secara bermakna pada pasien dibandingkan dengan kontrol. Telah dilaporkan bah a seropositif terhadap ,= #PK tipe '< kemungkinan berhubungan dengan stadium penyakit dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk . Terbentuknya kekebalan humoral terhadap #PK dalam hubungannya dalam perjalanan penyakit mengandung pengertian bah a antibodi yang terbentuk akibat dari pemaparan yang berkepanjangan terhadap antigen dan peningkatan muatan virus. 9alam hal ini sistem kekebalan memainkan peran yang penting dalam menghancurkan sel L sel yang terinfeksi virus alaupun masih tetap ada kemungkinan bah a antibodi akan mela an langsung capsid protein #PK )terutama E'+ yang dapat menetralisir partikel virus dalam pencegahan dan pengendalian infeksi primer. Sementara itu didapatkan beberapa penelitian yang melaporkan hubungan dari antibodi mela an capsid #PK tipe '<. 'irus )eutralising antibodies dapat mencegah infeksi. Pada kadar tertentu, serum spesifik Ig0 memberikan

perlindungan dengan cara mengeksudasi ke permukaan dan mengaktifasi patogen. Pada kasus infeksi #PK, vaksinasi pencegahan yang efektif dibutuhkan untuk membangkitkan antibodi yang spesifik pada epitel serviks yang secara langsung mela an kapsid protein E' dari #PK ) yang memainkan peran dalam masuknya virus ke sel host+. &kan tetapi, jika sel keratin serviks telah mengalami perubahan menjadi keganasan, proses diferensiasi tidak akan terjadi sehingga tidak akan terjadi pengikatan antibodi spesifik pada epitel serviks yang secara langsung mela an capsid antigen. ,kspresi ,< dan ,= secara terus menerus sangat dibutuhkan oleh sel dalam perubahan ke arah keganasan, maka pembangkitan %TEs spesifik secara langsung mela an peptida ,< dan ,= akan menyebabkan penghancuran sel"sel tumor yang terinfeksi virus.

III.2 E+ek "+" as Vaks"n Pada penelitian didapatkan bah a vaksin bivalen #PK '</'F KEP sangat efektif menurunkan angka kejadian infeksi #PK dan infeksi menetap #PK '</'F pada individu yang sudah mendapat vaksinasi lengkap #PK ada anita muda. ,fektifitas vaksin juga sangat tinggi pada anita yang tidak mendapatkan protokol vaksin secara lengkap. ,fektifetas vaksin dihubungkan dengan infeksi menetap #PK '< dan 'F, abnoramalitas dari pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan infeksi #PK '< dan 'F., dan angka kejadian %I2 yang dihubungkan dengan infeksi #PK '< dan 'F. Kaksin #PK '</'F KEP ini akan merangsang produksi antibodi yang kadarnya masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respons alami dari infeksi virus #PK, respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan memiliki daya perlindungan yang lebih lama jika dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh infeksi alami #PK.

.F

Kaksin bivalen #PK '< dan 'F sangat aman dan ditoleransi oleh anita yang mendapatkan vaksin tersebut. Kaksin #PK ini sangat baik untuk memberikan perlindungan terhadapa infeksi #PK pada populasi yang rutin dilakukan pemeriksaan rutin serviks maupun yang tidak rutin melakukan pemeriksaan. Pada negara yang sudah menjalankan program pemeriksaan rutin serviks secara berkala dengan benar, vaksin ini juga memiliki efektifitas yang sangat tinggi terhadap upaya pencegahan abnormalitas dari hasil pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan infeksi #PK tipe '< dan 'F. 9i &merika serikat telah dihitung preventable unit cost dari vaksin ini berkisar jutaan dolar tiap tahunnya. Proteksi 2IS 4/. karena #PK '< dan 'F pada yang di vaksinasi mencapai ';;J, dan proteksi ';;J dijumpai sampai 4"1 tahun pengamatan. Pemberian vaksinasi pada populasi, menurunkan kejadian infeksi #PK '</'F )infeksi #PK persisten berkisar F-"';;J. Kaksin bivalen )#PK tipe '< dan 'F+ mempunyai proteksi silang terhadap #PK tipe 1)dengan efektifitas A1J+ dan #PK tipe .' ) dengan efektifitas --J+.

infeksi alami dari virus #PK biasanya stabil pada beberapa tahun dan bila diikuti, sebesar -;J dari anita akan menghasilkan seropositif pada '; tahun setelah ditemukannya infeksi virus #PK pada daerah cervico genital.

III.7 Sasaran !an $ak u 5e&'er"an Vaks"n Kaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum individu terpapar infeksi #PK. Kaksin mulai dapat diberikan pada anita usia '; tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapt diberikan pada anita usia ';"4< tahun )rekomendasi !9&"6S+, penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai usia -- tahun. Infeksi #PK yang menyerang organ genetalia biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, dan imunisasi diberikan untuk melakukan perlindungan terhadap sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus tersebut. Selain itu vaksin diberikan pada usia tersebut maka respon kekebalan tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan setelah pubertas, baik pada anita maupun pada pria. Kaksinasi pada pria belum menghasilkan efektifitas yang memuaskan.

III.6 Masa Perl"n!ungan 9ata tentang percobaan tentang #PK vaksin ditunjukkan bah a kadar antibodi menurun setelah mencapai puncaknya setelah imunisasi dan kemudian menetap )plateau+, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi alami dari virus #PK dan kadar tersebut menetap pada 1F bulan setelah vaksinasi. infeksi #PK bisa terjadi berulang setelah beberapa tahun dan resiko mendapat infeksi baru sangat bergantung pada perilaku seksual dari individu tersebut. >leh karena itu, natural booster pada individu yang telah mendapat vaksin dan kemudian mendapat paparan terhadap infeksi virus #PK setelah masa perlindungan vaksin belum bisa dibuktikan. (adar antibodi kapsid pada III.9 Se!"aan !an Ko&5os"s" Terdapat dua jenis vaksin #PK E' KEP yang sudah dipasarkan melalui uji klinis, yakni %ervarik dan 0ardasil * a. %ervari3 &dalah jenis vaksin bivalen #PK '</'F E' KEP vaksin yang diproduksi oleh 0la3o Smith (line Biological, :i3ensart, Belgium. Pada preparat ini, Protein E' dari #PK diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector dan KEP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun . Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke ;, kemudian

.A

diteruskan bulan ke ' dan ke < masing" masing ;,- ml b. 0ardasil &dalah vaksin $uadrivalent 1; Zg protein #PK '' E' #PK ) 0&:9&SIE yang diproduksi oleh 5erck+ Protein E' dari KEP #PK tipe </''/'</'F diekspresikan le at suatu rekombinant vektor Saccharomyces cerevisiae )yeast+. Tiap ;,- cc mengandung 4;Zg protein #PK < E', 1; Zgprotein #PK '' E', 4; Zg protein #PK'F E'. Tiap ;,- ml mengandung 44- amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. !ormula tersebut juga mengandung sodium borat. Kaksin ini tidak mengandung timerasol dan antibiotika. Kaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 4; L F; %.

bisa dimulai saat anita tersebut berumur A tahun. Selain itu vaksin juga direkomendasikan untuk diberikan pada umur '. L 4< tahun yang tidak mendapat pengulangan vaksin atau tidak mendapatkan vaksin secara lengkap. Idealnya vaksin diberikan sebelum usia yang rentan kontak dengan #PK yaitu anita yang akan memasuki usia seksual aktif sehingga anita yang mendapat vaksinasi tersebut bisa merasakan keuntungan dari pemberian vaksin. Selain itu apabila vaksin siberikan pada usia tersebut, respons kekebalan tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan setelah pubertas. Kaksin dikocok lebih dahulu sebelum dipakai dan diberikan secara muskuler sebanyak ;,dan sebaiknya disuntikkan pada lengan )otot deltoid+

III.; Dos"s !an Cara Pe&'er"an Kaksin ini diberikan intramuskuler ;,- cc diulang tiga kali, produk %ervari3 diberikan bulan ke ;,' dan < sedangkan 0ardasil bulan ke ;, 4 dan < )9ianjurkan pemberian tidak melebihi aktu ' tahun+. Pemberian booster )vaksin ulangan+, respon antibodi pada pemberian vaksin sampai 14 bulan, untuk menilai efektifitas vaksin diperlukan deteksi respon antibodi. Bila respon antibodi rendah dan tidak mempunyai efek penangkalan maka diperlukan pemberian Booster. Kaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum individu terpapar infeksi #PK. Infeksi #PK yang menyerang organ genitalis biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan, dan imunisasi siberikan untuk melakukan perlindungan terhadap sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus tersebut. Sebagai target populasi dari imunisasi ini adalah anita sebelum puber dan usia remaja. #al ini disebabkan pada usia L usia tersebut dimulainya aktivitas seksual seseorang. Sebaiknya vaksiniasi secara rutin diberikan untuk anita umur '' L '4 dengan dosis pemberian. Serial vaksin DAFTAR PUSTAKA '. &ndrijono,4;;= . kanker Serviks, /akarta. subbagian onkologi bagian obstetric dan ginekologi !( 6I/:S %ipto 5angunkusumo. 4. &nonymous. 4;;= #uman Papillomavirus. 9iakses dari httpC// . ikipedia.com .. &?i? 5!. 4;;- Kaksin #uman papillomavirus C suatu alternatif dalam pengendalian kanker serviks di masa depan disampaikan dalam Pidato Pengukuhan sebagai 0uru Besar Tetap dalam Ilmu >bstetri dan 0inekologi. !(6I. 1. !amily %omprehensive %entre. 6niversity >f %allifornia. Irvine >renge %alifornia. 6S&.0E>B>%&2 4;;4 httpC/ "dep.iarc.fr, East accessed 41 th &ugust 4;;<. -. 0eahart PT. 4;;< #uman papilloma virus. 9epartement >f >bstetric and 0ynecology, Pennyslvannia #ospital. <. 0ianni S E, #anon ,, 5orris P et al. 4;;< ,nhanced and memory B cellular imunity using #PK '< and 'F E' vlp vaccine formulated ith the5PE / aluminium salt combination ) &S> 1 + compared to alluminium salt only. 0la3o Smith (line Biological. Belgium.

1;

=. #arper 95, !ranco ,E, Dheeler % et al. 4;;1 ,fficacy of bivalent E[ Kirus like particle vaccine in prevention of infection ith #uman papilloma virus type '< and type 'F in young omen * a randomised controlled trial . 9epartement of >bstertic and 0ynecology &nd %ommunity >f !amily 5edicine. 2orris %otton %ancer %entre, 9armouth 5edical School, #anover, 6S&. F. Inglis S, Sha &, (oenig S. 4;;< #PK vaccine * commercial research and development. 2ational Institute for Biological Standards &nd %ontrol 5ims Potter Bar. #ert !ordshire. 6S&. A. Imam :,#enry S,4;;=. Kaksin #uman Papilloma Kirus dan ,radikasi (anker 5ulut :ahim.subbagian onkologi bagian obstetri dan ginekologi !( Bra ijaya/:S Saiful &n ar. 5alang ';. /orma Paavonen, 9avid jenkins et all, 4;;=. ,fficacy of a prophylactic adjuvanted bivalent E' virus"like"particle vaccine against infection ith human papillomavirus types '< and 'F in young omenC an interim analysis of a phase III double" blind, randomised controlled trial. .thalancet.com. ''. ( ane &. 4;;- %arcinoma >f The %ervi3 * The role of #uman papillomavirus and prospect for primary prevention. 6niversity >f 0nana 5edical School. '4. (outtsky E&, &ult (&, Dheeler % 5 et al, 4;;4 & controlled trial of a #uman papillomavirus Type '< vaccine. The 2e Iork /ournal >f 5edicine Kol .1=* '<1-"'<-; '.. (alpana devaraj. 4;;. 9evelopment of #PK vaccine for #PK. &ssociated head and neck s$uamous cell carcinoma. 9epartement of Pathology, >ncology, >bstetric &nd 0ynecology. The /ohn #opkins 5edical Instittion. Baltimore.6S&. '1. (outsky E& and #arper 95. 4;;< %urrent finding from prophylactic #PK vaccine trials. 9epartement of ,pidemiology, School of Public #ealth. 6niversity of Dashington. Seattle.6S& '-. (ane 5&, Sherris /, %oursaget P et al. 4;;< #PK vaccine use in developing orld. 9epartement >f Immuni?ation, Kaccine &nd Biologicals.

Dorld #ealth >rgani?ation . 0eneva. S it?erland '<. Eynette denny, #e3tan I.S 2gan. 4;;< Prevention and Treatment of #PK &ssociated 9isease in the #PK Kaccine ,ra. International /ournal >f 0ynecology U >bstetrics vol A1. '=. EE Killa, :E: %osta et all. 4;;< #ight susteined efficacy of a prophylactic $uadrivalent human papilomavirus type </''/'</'F E' virus"like particle vaccine through - years of follo L up.British /ournal of %ancer . '1-A"<< 'F. Eacey %/2, Eo ndes %5, Shah (K. 4;;< Burden and management of non"cancerous #PK"related condition* #PK </'' disease. 'A. Eo y :9 and Schiller /T. 4;;< Prophylactic #uman papilloma virus vaccines. Eaboratory of cellular >ncology %enter for %ancer :esearch, 2ational %ancer Institute, 2I#, Bethesda, 5aryland. 6S&. 4;. Eo y 9: and Schiller /T. 'AAF Papillomavirus and cervical cancer * pathogenesis and vaccine development. /ournal >f The 2ational %ancer Institute 5onograph 2o 4.C 4=".; 4'. 5oscicki &b, Schiffman 5, (jaer S, Killa EE. 4;;< 6pdating the natural history of #PK and anogenital cancer. 44. 5uno? 2, %astellsague S 0on?ales &B, 0issmann E. 4;;< #PK in the ,tiology of human cancer. Institute %atala d@>ncologia. Ouai !ulchiron. Eyon. !rance. 4.. 5arko it? E,, 9unne !,, Saraiya 5, et all. 4;;= Ouadrivalent #uman Papilloma Kirus Kaccine * :ecommendation of the &dvisory %ommittee on Immunoni?ation Practices ) &%IP +. 9epartement >f #ealt and #uman Service %entre for 9isease %ontrol and Prevention. &tlanta 6S&. 41. 5ahdavi &li and 5onk B/. 4;;Kaccine against #uman Papillomavirus and cervical cancer* promise and challenges. 9ivision >f 0ynecology >ncology %hao !amily %omprehensive %entre. 6niversity >f %allifornia. Irvine >renge %alifornia. 6S&. 4-. Putra 9, 5oegni ,5. 4;;< Eesi prakanker serviks. Buku &cuan 2asional >nkologi. Iayasan Bina Pustaka Sar ono Pra irohardjo. /akarta C.AA"1''

1'

4<. Smith P0. 4;;< Studies to assess the long"term efficacy and effectiveness of #PK vaccination in develop and developing countries. Kaccine. C 41S.CS.4.."1' 4=. Sch ar? T!, 9ubin 0>, 4;;< #PK Kaccine Study Investigation for &dulth Domen 0la3o Smith (line Biologicals. &n &S;1"containing human papillomavirus )#PK+ '</'F vaccine for prevention of cervical cancer is immunogenic and ell tolerated in omen '-"-- years old. /ournal of clin >ncol. &S%> &nnual 5eeting Proceeding Part IC41. 4F. Sjamsudin S,4;;;. Inspeksi Kisual dengan aplikasi asam asetat )IK&+, Suatu metode alternative skrining kanker serviks. /akarta* subbagian onkologi bagian obstetric dan ginekologi !( 6I/:S %ipto 5angunkusumo.

4A. Surya 2egara (, Su iyoga (, Surya I0P, 4;;4. #uman Papillomavirus pada kanker serviks dan Penyakit 5enular Seksual, thesis. Eab >bstetri dan 0inekologi !( 6nud 9enpasar. .;. Schiller /T and Eo y 9:. 4;;; Papillomavirus like particle vaccine. /ournal of The 2ational %ancer Institute 5onograph, 2oC4FC -; L -1 .'. Taira &, 2eukermans %P, Sanders 09. 4;;1 ,valuating #uman Papillomavirus vaccination programs. Stanford School >f 5edicine, Stanford 6niversity. Stanford. %alifornia. 6S& .4. Drigth T%, Bosch !S, !ranco ,E, %u?ick /, Schiller /T, 0arnett 0P, 5eheus &. 4;;< #PK vaccines and screening in the prevention of cervical cancerC conclusions from a 4;;< orkshop of international e3perts. KaccineC41S.CS.4-'"<'.

14

SEKILAS TENTANB /IOTERORISME Ak1&a! Su!"'%a Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&bstrak * Bioterorisme adalah penggunaan bakteri jahat, virus, atau racun terhadap manusia, he an, atau tanaman dalam upaya untuk menyebabkan kerusakan dan menciptakan rasa takut. Bioterorisme menggunakan produk mikroba atau mikroba. &da empat mikroba populer biasanya dimanfaatkan oleh para teroris, yaitu Bacillus anthracis, %lostridium botulinum, Iersinia pestis dan virus cacar. 5ikroba yang digunakan dalam bioterorisme diklasifikasikan menjadi tiga kategori. (ategori & adalah yang paling berbahaya di antara tiga kategori. (ey ords* bioterorisme, petunjuk, agen biologis, senjata biologi, klasifikasi agen biologis, perang kuman, mikroba populer.

OVERVIE$ OF '"o error"s& Ak1&a! Su!"'%a Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&bstract * Bioterrorism is the malevolent use of bacteria, viruses, or to3ins against humans, animals, or plants in an attempt to cause harm and to create fear. Bioterrorism utili?es microbe or microbial product. There are four popular microbes usually utili?ed by the terrorists, i.e. Bacillus anthracis, %lostridium botulinum, Iersinia pestis and smallpo3 virus. 5icrobes used in bioterrorism are classified into three categories. %ategory & is the most dangerous one among the three categories. (ey ords * bioterrorism, clues, biological agents, biological agents, germ arfare, popular microbes. eapons, classification of biological

Pen!a1uluan /"o eror"s&e belum banyak diuraikan pada buku"buku mikrobiologi kedokteran. #anya sedikit buku yang membahas bioterorisme. &palagi buku"buku mikrobiologi kedokteran berbahasa Indonesia. &rtikel di media massa yang membicarakan bioterorisme juga sangat sedikit. #ampir tidak ada yang menyinggung L meskipun hanya sekilas L bioterorisme. Topik yang banyak ditulis adalah tentang terorisme bukan tentang bioterorisme. >leh karena itu, penulis akan memulai tulisan ini dengan menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan bioterorisme.

Penger "an /"o eror"s&e /"o eror"s&e berarti pemakaian mikroba sebagai sarana dalam terorisme. 5ikroba

yang digunakan pada bioterorisme lebih populer di media massa dengan sebutan senja a '"olog"s )biological weapons atau bioweapons+. Perang yang melibatkan senjata biologis/mikroba disebut 5erang ku&an )germ war are+ atau biological war are )2ester dkk., 4;;= C Tortora dkk., 4;;=+. 9alam tulisan ini, istilah \&"kro'a@ dan \senja a '"olog"s@ dipergunakan secara bergantian. Sarana lain yang dapat dipergunakan dalam terorisme misalnya senjata kimia, bom mobil, senjata api, senjata nuklir, dan lain" lain. 5enurut %inti dan #anna )4;;=+, bioterorisme adalah t!e male"olent use o bacteria# "iruses# or to$ins against !umans# animals# or plants in an attempt to cause !arm and to create ear . /adi, %ang dapat diman aat&an tida& !an%a mi&roba namun bisa 'uga produ& mi&roba. Sebagai sasaran, tidak hanya manusia, namun bisa juga he an dan tumbuhan. Sementara itu, Eederberg

1.

)4;;;+ mendefinisikan biological war are sebagai t!e use o microbial ( agents ( or !ostile purposes or in armed con lict )Sic )+.

Sejara1 /"o eror"s&e /"o eror"s&e sebenarnya telah berusia ratusan tahun. Pasukan Tartar merupakan kelompok pertama yang memanfaatkan bioterorisme pada tahun '.1<.. Pasukan Tartar melemparkan pasien pes ke belakang garis pertahanan la an. (elompok berikutnya adalah pasukan Inggris di &merika pada tahun '=.<, pasukan /erman pada Perang 9unia I, :ajneeshees )suatu sekte keagamaan di &merika Serikat+ tahun 'AF1, dan &um Shinrikyo )suatu sekte keagamaan di /epang+ tahun 'AA-. Tentara 9ai 2ippon

menjatuhkan tabung yang berisi pinjal dan *ersinia pestis di atas daratan %ina saat Perang %ina"/epang )'A.=L'A1-+. :ajneeshees mengontaminasi makanan di restoran dan supermarket dengan Salmonella enterica )%inti dan #anna, 4;;= C Tortora dkk., 4;;=+. Istilah \'"o eror"s&e@ ikut menjadi topik pembicaraan sejak serangan terhadap 5enara (embar +orld ,rade -enter.

/er'aga" Tan!a Awal Ke erl"'a an Senja a /"olog"s A!a berbagai tanda a al yang harus di aspadai karena sangat mungkin melibatkan mikroba yang dapat dimanfaatkan untuk bioterorisme.. Berbagai tanda a al dapat dilihat pada tabel di ba ah ini.

Tabel '. Tanda & al "ersus Penyebab/Penyakit Paling 5ungkin/%ontoh )%inti dan #anna, 4;;=+ No. ' 4 . Tan!a Awal Paralisis flaksid )jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak+ 9emam disertai perdarahan )jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak+ :uam vesikular dan pustular disertai kematian massal )jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak+ Penyakit mirip"flu disertai dengan mediastinum yang melebar pada foto dada dan atau meningitis )jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak+ Pneumonia disertai limfadenopati yang terasa sakit )jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak+ Penyakit yang terjadi serentak pada manusia dan he an (ematian massal yang tidak diketahui penyebabnya, terutama pada orang de asa muda dan sehat Pen%e'a'8Pen%ak" Mungk"n8Con o1 Toksin botulinum Kirus ,bola, 9emam Eassa %acar Pal"ng

&ntraks

< =

Pes &ntraks, ensefalitis Berbagai mikroba

(asus tunggal dengan penyebab mikroba tak la?im

%acar, antraks pulmoner, virus

11

,bola A '; '' '4 '. '1 Satu pasien menderita banyak penyakit Penyakit dengan gejala klinis aneh Penyakit yang tidak la?im ditinjau dari distribusi geografis Penyakit yang tidak la?im ditinjau dari pola musim Penyakit yang tidak memberi respons terhadap antibiotika ataupun vaksin yang biasa digunakan (umpulan penyakit mirip/serupa pada tidak mempunyai perbatasan bersama ilayah yang Berbagai mikroba Pes Kirus ,bola Serikat di &merika

Influen?a pada musim panas di &merika Serikat &ntraks yang dibuat resisten terhadap antbiotika dan vaksin Berbagai mikroba

Karak er"s "k M"kro'a D"gunakan 5a!a /"o eror"s&e

%ang

Klas"+"kas" M"kro'a Menuru Bauman dkk. )4;;=+, %inti U #anna )4;;=+, dan 0oering dkk. )4;;F+ mikroba yang dipergunakan pada bioterorisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas. Tiga kelas tersebut yaitu *

M"kro'a ideal untuk bioterorisme mempunyai karakteristik sangat handal, dapat dibidikkan tepat ke sasaran, murah, a et, tidak begitu tampak, manjur, mudah diperoleh, dan mudah diangkut )Eederberg, 4;;; C Ee , 4;;;+. Sangat handal dan manjur berarti mempunyai efek seperti yang diharapkan para teroris. 5urah dan mudah diperoleh bermakna harganya terjangkau dan bisa didapatkan tidak harus dengan jalur legal. Tidak begitu tampak mengandung makna sulit diendus oleh aparat intelijen.

Kelas A 3R"s"ko T"ngg"4 %ontoh mikroba yang masuk kelas ini adalah .acillus ant!racis dan virus cacar. %iri"ciri penyakit yang ditimbulkan oleh mikroba kelas ini adalah mudah menular, mortalitas tinggi, dan dapat menimbulkan keresahan sosial yang hebat.

M"kro'a %ang LaC"& D"gunakan 5a!a /"o eror"s&e A!a empat mikroba yang la?im digunakan pada bioterorisme. ,mpat mikroba tersebut adalah .acillus ant!racis, -lostridium botulinum, *ersinia pestis, dan virus cacar )2ester dkk., 4;;=+. 5asih banyak mikroba lain yang dapat dimanfaatkan sebagai senjata biologis meskipun frekuensi pemakaiannya lebih jarang. 5ikroba tersebut adalah virus ,bola, virus influen?a, Kirus Penyebab 9emam Eassa, Salmonella, M%cobacterium tuberculosis dan Kirus Penyebab ,nsefalitis. Kelas / 3R"s"ko Se!ang4 %ontoh mikroba yang tergolong kelas ini adalah Salmonella dan virus penyebab ensefalitis. Penyakit yang ditimbulkan dan dampak yang diakibatkan kelas ini sedikit di ba ah (elas &. Kelas C 3R"s"ko Ren!a14 %ontoh mikroba yang tergolong kelas ini adalah M%cobacterium tuberculosis yang resisten terhadap berbagai antibiotika )multidrug/resistant+ dan virus influen?a. Penyakit yang ditimbulkan dan dampak

1-

yang ditimbulkan kelas ini (elas B.

di ba ah

Police )Polisi &ustralia+ L kedua lembaga ini aktif melatih 9ensus FF ] pasti siap berbagi ilmu dengan 9ensus FF dalam bidang kontrabioterorisme.

Alasan Teror"s Me&"l"1 /"o eror"s&e Sala1 sa u alasan penting pemakaian mikroba oleh teroris adalah alasan finansial. Bioterorisme relatif efisien dibandingkan metoda lain. ,fisien dalam arti biaya murah dan menimbulkan dampak yang sangat hebat. 9ampak yang sangat hebat dapat berupa jumlah korban yang banyak ataupun kepanikan yang luar biasa dari sasaran bioterorisme. Salah satu keunggulan pemakaian mikroba adalah dampak yang terjadi sulit dikendalikan dan sangat susah untuk diprediksi )Tortora dkk., 4;;=+. Ten ang Serangan Senja a /"olog"s .acillus ant!racis A!a . bentuk klinis antraks berdasarkan rute masuk spora ke dalam tubuh. Tiga bentuk tersebut adalah antraks kutaneus, antraks gastrointestinal, dan antraks inhalasi )%inti U #anna, 4;;=+. An raks ku aneus mencakup A;J kasus antraks pada manusia. Setelah masa inkubasi '"= hari akan timbul lesi berbentuk papula kecil sedikit gatal pada tempat spora masuk )biasanya di lengan, tangan, leher, dan muka+ yang dalam beberapa hari berubah menjadi bentuk vesikel yang tidak sakit berisi cairan serosanguinus serta tidak purulen dan kemudian menjadi ulkus nekrotik yang dikelilingi vesikel"vesikel kecil. 6kuran lesi sekitar '". cm. %iri khas lain adalah dalam 4"< hari akan timbul eschar ber arna hitam seperti batubara )blac& carbuncle+ yang berkembang dalam beberapa minggu menjadi ukuran beberapa sentimeter yang kemudian menjadi parut setelah '"4 minggu )Iusuf, 4;;=+. 9asar kulit dari lesi terlihat indurasi, panas, arna merah, dan non/pitting edema yang bisa meluas sampai demikian luasnya )malignant edema+ sehingga terjadi hipotensi oleh karena perpindahan cairan intravaskuler ke subkutan. Eesi tidak terasa sakit )Iusuf, 4;;=+. 0ambaran sistemik berupa demam, mialgia, sakit kepala, lemah badan, dan limfadenopati lokal. Bila tidak digunakan antibiotik maka 4;J fatal, dimana terjadi penyulit bakteremia yang berlanjut ke meningitis, pneumonia, ataupun sepsis. Pemberian antibiotik tidak mengubah perjalanan alamiah klinis di kulit, tetapi mencegah penyulit di atas dan menurunkan angka kematian di ba ah 'J )Iusuf, 4;;=+.

Kes"a5an Ten ara Nas"onal In!ones"a 3TNI4 !an Ke5ol"s"an Re5u'l"k In!ones"a 3Polr"4 Meng1a!a5" /"o eror"s&e Sa&5a" saat ini, dari informasi yang dipublikasikan di media massa, T2I mempunyai sebuah satuan khusus untuk menghadapi serangan senjata biologis. Satuan tersebut bernama (ompi 2ubika )(ompi 2uklir, Biologi, dan (imia+. &pabila dilihat dari namanya, satuan ini tidak hanya dipersiapkan untuk menghadapi serangan senjata biologis. Satuan ini juga dipersiapkan untuk mengadapi serangan nuklir dan senjata kimia. 5asih belum jelas apakah 9etasemen Penanggulangan Teror (omando Pasukan (husus ))9engultor (opassus+ T2I &ngkatan 9arat, 9etasemen Bravo Pasukan (has T2I &ngkatan 6dara )9enbravo Paskhasau+, dan 9etasemen /ala 5engkara )9enjaka+ (orps 5arinir T2I &ngkatan Eaut mempunyai kemampuan menghadapi bioterorisme. /uga masih belum jelas apakah 9etasemen (husus FF &ntiteror )9ensus FF &ntiteror+ Polri mempunyai unit khusus ataupun kemampuan untuk menghadapi bioterorisme. 5eskipun demikian, banyak pihak yakin bah a 0ederal .ureau o In"estigation )!BI+ &merika Serikat dan Australian 0ederal

1<

Pada an raks gas ro"n es "nal ditemukan demam, nyeri perut difus, muntah, dan diare kira"kira 4"- hari setelah penderita memakan daging yang mengandung spora. Bisa timbul muntah darah dan berak darah, berisi darah segar atau melena. Bisa pula terjadi perforasi usus. Selain itu terjadi limfadenitis mesenterial dan asites )Iusuf, 4;;=+. Selain bentuk antraks intestinal ada bentuk lain antraks gastrointestinal yaitu bentuk an raks oro+ar"ngeal yang berupa limfadenopati local dan edema pada leher, susah menelan, dan obstruksi saluran napas atas. Terdapat lesi serupa pada kulit pada mukosa mulut seperti eschar )Iusuf, 4;;=+. Perkembangan selanjutnya dari antraks antraks gastrointestinal dan antraks orofaringeal adalah sepsis, meningitis, dan kematian. &ngka kematian berkisar 4- sampai <;J )Iusuf, 4;;=+. An raks "n1alas" mencakup kurang dari -J kasus. 5asa inkubasi '"- hari tetapi dapat mencapai <; hari tergantung jumlah spora yang masuk. Setelah inkubasi '; hari timbul gambaran klinik akut yang terdiri dari 4 fase )bifasik+, yaitu fase inisial yang ringan dimana didapatkan demam, lemah, lemah, mialgia, batuk kering dan rasa tertekan di dada dan di perut ) lu li&e+ yang pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan ronki, kemudian tiba"tiba disusul fase kedua yang berat dan sering fatal setelah terlihat seperti ada perbaikan fase pertama. !ase kedua ini cepat sekali memburuk berupa panas tinggi, sesak napas, hipoksia, sianosis, stridor dan akhirnya syok dengan kematian dalam beberapa hari. Pemeriksaan fisik memberikan gambaran infeksi paru, dengan kemungkinan sepsis dan meningitis. &ntraks inhalasi tidak memberikan gambaran klasik pneumonia, sehingga tidak didapatkan sputum yang purulen, sehingga lebih cocok disebut antraks inhalasi bukan antraks pneumonia. ,dema leher dan dada bisa ditemukan, dan pada paru juga ditemukan ronki basah dan kemungkinan tanda efusi )Iusuf, 4;;=+

Pada foto toraks selain infiltrat di paru akan diadapat gambaran khas berupa efusi pleura dan pelebaran mediastinal oleh karena limfadenopati dan mediastinitis. %airan pleura bersifat hemoragik )Iusuf, 4;;=+. (ematian dapat terjadi setelah 41 jam setelah onset akut tersebut, dengan angka kematian bisa mencapai A;J, tergantung fasilitas. &ntraks inhalasi tidak ditularkan antar manusia )Iusuf, 4;;=+.

Ten ang Serangan Senja a /"olog"s *ersinia pestis Berdasarkan aspek klinis pes dapat dibedakan atas beberapa tipe yaitu tipe bubonik, septikemik, pneumonik, meningeal, dan kutaneal )Tri ibo o, 4;;=+. T"5e 'u'on"k merupakan kasus terbanyak )sekitar =-J+ pasien pes. 9itandai adanya bubo, yaitu limfadenitis yang tampak besar dengan diameter 4"cm disertai adanya edema dan eritema di sekitarnya. Bubo ini =;J terdapat di daerah inguinal atau femoral, karena gigitan pinjal lebih banyak terjadi di kaki. Pada anak"anak bubo dapat ditemukan di daerah aksila atau servikal. Bila terjadi supurasi, eksudat yang mengandung *ersinia pestis dapat mengalir keluar secara spontan setelah '"4 minggu dan diikuti oleh proses resorbsi )Tri ibo o, 4;;=+. !ebris merupakan gejala a al dan suhu dapat mencapai lebih dari 1'o%, disertai takikardia, gejala"gejala neurologis seperti konvulsi sampai koma, gejala gastrointestinal berupa vomitus, konstipasi ataupun diare )Tri ibo o, 4;;=+. Bakteri *ersinia pestis mempunyai kemampuan membentuk endotoksin. #al ini dapat menimbulkan keadaan toksemia yang bila berat akan mengakibatkan koagulasi intravaskuler )(I9+ dengan ditemukan gejala"gejala perdarahan di saluran napas, saluran makan, saluran kencing serta rongga"rongga badan.

1=

Dalaupun tipe bubonik pada umumnya menunjukkan gejala"gejala berat tetapi ada juga kasus"kasus yang ringan disebut pestis minor. (omplikasi yang dapat menjadi sebab kematian adalah septikemia dengan gejala"gejala berat, pneumonia sekunder dengan sputum berdarah dan yang jarang diketemukan antara lain adalah kegagalan faal jantung )Tri ibo o, 4;;=+. Pada "5e se5 "ke&"k tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe dan gejala yang timbul akibat septikemia biasanya terjadi dalam aktu yang singkat berupa pucat, lemah, delirium atau stupor sampai koma. Penderita dapat meninggal dunia pada hari pertama sampai ketiga stelah timbulnya gejala febris. (enaikan suhu badan hanya terjadi secara ringan )Tri ibo o, 4;;=+. T"5e 5neu&on"k umumnya dia ali dengan gejala"gejala kelemahan badan, sakit kepala, vomitus, febris, dan frustasi )Sic )+. Batuk, sesak napas, disertai sputum yang produktif dan cair, berbeda dengan pneumonia lobaris yang mengeluarkan sputum kental dengan arna seperti karat. 0angguan kesadaran dapat timbul sejak a al dan penderita dapat meninggal dunia pada hari ke"1 dan ke"- )Tri ibo o, 4;;=+. T"5e &en"ngeal merupakan komplikasi tipe bubonik yang terjadi pada hari ke"= sampai ke"A. 0ejala"gejala seperti meningitis berupa keluhan sakit kepala, nec& sti ness, dan tanda (ernig positif. 9apat berlanjut dengan konvulsi dan koma. 9alam cairan lumbal dapat ditemukan *ersinia pestis )Tri ibo o, 4;;=+. Pada "5e ku aneal terdapat papula, pustula, karbunkel, ataupun purpura yang dapat meluas menjadi bersifat nekrotik. (eadaan ini dapat berlanjut menjadi gangren terutama di daerah tungkai dan menimbulkan arna kehitam"hitaman )blac& deat!+ )Tri ibo o, 4;;=+. /"o eror"s&e Perlu D"ajarkan 5a!a Ma1as"swa Ke!ok eran

/"o eror"s&e sangat perlu diajarkan kepada mahasis a kedokteran. 5ahasis a kedokteran harus memahami berbagai mikroba yang dapat disalahgunakan untuk bioterorisme dan dapat mengenali berbagai tanda a al serangan mikroba. 5ateri kuliah dan praktikum mikrobiologi yang selama ini ada harus selalu ditinjau ulang setiap kurun aktu tertentu. &da materi yang harus ditambahkan dan ada pula materi yang harus dikurangi ataupun dihilangkan. %ontoh materi yang harus diperkenalkan adalah bioterorisme.

Penu u5 Kaj"an tentang bioterorisme sangat dibutuhkan supaya negeri kita dapat lebih mampu menangkal dan lebih berani menghadapi ancaman bioterorisme. Selain itu, negeri kita ] yang berkali"kali menjadi korban terorisme ] harus mempunyai pakar di bidang kontrabioterorisme. Pakar di bidang tersebut dapat dihasilkan melalui kerjasama yang bagus.antara T2I, Polri, EIPI, dan bagian mikrobiologi berbagai universitas.

DAFTAR PUSTAKA Bauman :D, 5achunis"5asuoka ,, Ti?ard. Microbiolog% +it! 1iseases b% ,a$onom%. ,disi ke"4. San !rancisco * Pearson Benjamin %ummings, 4;;=. h. ==' L ==1. %inti S(, #anna P%. .iological Agents o +ar are and ,errorism. 9alam * ,ngleberg 2%, 9i:ita K, 9ermody TS, penyunting. Schaechter@s 5echanisms of 5icrobial 9isease. ,disi ke"1. Philadelphia * Eippincott Dilliams U Dilkins, 4;;=. h. -1' L --4.

1F

0oering :K, 9ockrell #5, Dakelin 9, Nuckerman 5, %hiodini PE, :oitt I5, 5ims %. Mims2 Medical Microbiolog%. ,disi ke"1. Philadelphia * 5osby ,lsevier, 4;;F. h. 1, .F4, 1'4 L 1'., -1'.

9olin :, penyunting. 5andell, 9ouglas, and Bennett@s Principles and Practice of Infectious 9iseases. Kolume 4. ,disi ke"-. Philadelphia * %hurchill Eivingstone C 4;;;. h. 44'- L 444;. 2ester ,D, &nderson 90, :oberts /r. %,, 2ester 5T. Microbiolog% A Human Perspecti"e. ,disi ke"-. Boston * 5c0ra #ill #igher ,ducation, 4;;=. h. 1A; L 1A'. Tortora 0/, !unke B:, %ase %E. Microbiolog% An Introduction. ,disi ke"A. San !rancisco * Pearson Benjamin %ummings, 4;;=. h. <F; L <F'. Tri ibo o. Pen%a&it Sampar. 9alam * Sudoyo &D, Setiyohadi B, &l i I, Simadibrata 5, Setiati S, penyunting. Buku &jar Ilmu Penyakit 9alam. /ilid ke".. ,disi ke"1. /akarta * Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit 9alam !akultas (edokteran 6niversitas Indonesia. 4;;=. h.'F;;"'F;4.

#adi I. Antra&s. 9alam * Sudoyo &D, Setiyohadi B, &l i I, Simadibrata 5, Setiati S, penyunting. Buku &jar Ilmu Penyakit 9alam. /ilid ke".. ,disi ke"1. /akarta * Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit 9alam !akultas (edokteran 6niversitas Indonesia. 4;;=. h.'F.'" 'F... Eederberg /. .iological +ar are and .ioterrorism. 9alam * 5andell 0E, Bennett /,, 9olin :, penynting. 5andell, 9ouglas, and Bennett@s Principles and Practice of Infectious 9iseases. Kolume 4. ,disi ke"-. Philadelphia * %hurchill Eivingstone C 4;;;. h. .4.- L .4.F. Ee 9P. .acillus ant!racis 3Ant!ra$4. 9alam * 5andell 0E, Bennett /,,

PENBARU* PEM/ERIAN RO*AL J5LL* PERORAL TER*ADAP :UMLA* SEL@SEL SPERMATOSIT PRIMER, DAN SEL@SEL SPERMATID PADA TESTIS TIKUS PUTI* 3Rattus nor"egicus strain +istar4 :ANTAN A%l% Soekan o Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&BST:&( :oyal jelly dapat dianggap meningkatkan vitalitas dan kesuburan pria. Penelitian terhadap he an telah membuktikan bah a royal jelly makan di ayam, burung puyuh dan kelinci dapat meningkatkan kesuburan. 2urmiati studi )4;;4+ membuktikan bah a royal jelly dapat meningkatkan kesuburan tikus betina. #ardiyono studi )4;;<+ juga membuktikan bah a kerajaan jelly dapat meningkatkan ketebalan epitel tubulus seminiferus pada tikus putih jantan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh makan jelly kerajaan untuk spermatogenesis dengan menghitung jumlah sel spermatocide primer dan sel spermatid pada tikus putih jantan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium menggunakan 6ji Posting 0rup 9esain (ontrol #anya data"data dan dianalisis secara statistik menggunakan &nova dengan tingkat signifikansi kurang dari ;,;-. Sampel penelitian adalah .4 orang de asa tikus putih jantan yang dibagi menjadi 1 kelompok secara acak, dan kelompok masing"masing menerima pengobatan selama -4 hari. ('* kelompok kontrol mendapatkan makan a$uadest . lisan ml / hari, P'* kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan '- mg / kgBB / hari, P4* kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan .; mg / kgBB / hari dan P.* kelompok perlakuan dengan royal jelly makan lisan 1- mg / kgBB / hari. Semua data"data dianalisis menggunakan &nova untuk menunjukkan perbedaan yang signifikan antara semua perlakuan dan kelompok kontrol. 6ntuk mengidentifikasi

1A

kelompok memiliki perbedaan yang signifikan dalam setiap variabel, analisis dilanjutkan dengan uji ES9. Sebagai kesimpulan, royal jelly makan oral dapat meningkatkan jumlah sel spermatocide primer dan sel spermatid pada tikus putih jantan. (ata kunci* royal jelly, sel spermatocide, sel spermatid.

BIVINB EFFECT TO T*E NUM/ER OF ROYAL :ELLY PERORAL SPERMATOCYTES PRIMARY CELLS AND SPERMATIDS CELLS IN T*E $*ITE RATSDS TESTIS 3Ra us Nor#eg"(us S ra"n $"s ar4 MALE A%l% Soekan o Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A/STRACT :oyal jelly as considered can improve men@s vitality and fertility. &nimal studies have proved that royal 3elly feeding at chickens, $uails and rabbits can improve the fertility. 2urmiati study ) 4;;4+ proved that royal 3elly can improve the fertility of female rats . #ardiyono study )4;;<+ also proved that the royal jelly can improve the thickness of seminiferous tubules epithelial in male hite rats. The purpose of this study is to prove the influence of royal 3elly feeding to spermatogenesis ith counting the amount of primary spermatocide cells and spermatid cells at the male hite rats This research as a laboratory e3perimental study using the Post Test >nly %ontrol 0roups 9esign and the datas ere analy?ed statistically using &nova ith significance level of less than ;,;-. The sampel research ere .4 adult male hite rats that divided into 1 groups in random, and each group received the treatment for -4 days. (' * control group getting a$uadest oral feeding . ml / day, P' * treatment group ith royal 3elly oral feeding '- mg/kgBD/day, P4 * treatment group ith royal 3elly oral feeding .; mg/kgBD/day and P. * treatment group ith royal 3elly oral feeding 1mg/kgBD/day. &ll datas ere analy?ed using &nova to indicate significant differences bet een all treatment and control groups. To identify hich group had significant difference in each variable, the analysis as continued ith ES9 test. In conclusion, royal 3elly oral feeding can improve the amount of primary spermatocide cells and spermatid cells in male hite rats. (ey ords * royal jelly, spermatocide cells, spermatid cells.

PENDA*ULUAN ,oyal 3elly adalah salah satu produk suplemen yang saat ini sangat banyak dipakai untuk minuman suplemen energi maupun produk"produk kecantikan. Suplemen"suplemen penunjang vitalitas pria juga banyak yang mengandung royal 3elly! !ungsi reproduksi merupakan salah satu fungsi yang paling sering menimbulkan problem dalam kehidupan rumah tangga. Infertilitas sebagai penyebab terjadinya ketidakmampuan untuk mempunyai keturunan merupakan salah satu penyebab terjadinya keretakan dalam rumah tangga. Stres, gi?i tidak seimbang, polusi dan radiasi sebagai dampak kehidupan

modern dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. (arena itu perlu diteliti faktor" faktor yang dapat mencegah terjadinya infertilitas tersebut. Salah satunya adalah dengan pemberian suplemen vitamin untuk meningkatkan fungsi organ"organ reproduksi tersebut. Penulis meneliti proses spermatogenesis sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi reproduksi pada pria. 6ntuk membuktikan adanya peningkatan proses spermatogenesis setelah pemberian royal 3elly dalam dosis yang berbeda, maka dilakukan penelitian terhadap jumlah sel"sel spermatosit primer dan sel"sel spermatid pada testis

-;

tikus ),attus norvegicus strain 5istar+ jantan.

TIN:AUAN PUSTAKA ,oyal 3elly adalah cairan putih seperti susu yang dihasilkan kelenjar hypopharyngeal lebah madu pekerja untuk makanan larva lebah sampai berumur tiga hari dan kemudian secara bertahap diganti dengan Bee Pollen yang dicampur madu. :atu lebah sejak masa larva sampai menjadi lebah de asa mendapatkan royal 3elly untuk makanannya sepanjang hidupnya. ,oyal 3elly yang dikonsumsi ratu lebah sepanjang hidupnya terbukti mampu menyebabkan ratu lebah mencapai kede asaan seksual lebih cepat dan kemampuan reproduksi yang luar biasa, yaitu kemampuan bertelur sepanjang hidupnya dengan jumlah telur mencapai 4;;; butir perharinya. Selain itu ratu lebah juga mempunyai usia yang jauh lebih lama daripada lebah betina lainnya. (enyataan ini juga ditunjang dengan kenyataan bah a lalat buah dan ayam yang secara eksperimental diberikan r oyal 3elly, ternyata juga menjadi lebih besar, hidup lebih lama dan lebih produktif. 9ari percobaan tersebut, didapatkan bah a pemberian royal 3elly pada ayam yang telah tua dan telah menurun produksi telurnya, dapat mendorong meningkatnya kembali produksi telurnya )Sihombing, 'AA=+. 9emikian juga pemberian royal 3elly pada ayam dapat menghasilkan telur dua kali lipat lebih banyak dibandingkan kelompok ayam yang tidak diberi royal jelly )Dalji,4;;'+. Studi penelitian yang dilakukan oleh 2urmiati )4;;4+ membuktikan bah a pemberian royal 3elly dapat meningkatkan fertilitas mencit betina yang ditandai dengan meningkatnya jumlah folikel sekunder, folikel tersier, folikel de 0raaf serta peningkatan jumlah fetus. 5enurut Deitgosser royal 3elly telah digunakan untuk pengobatan impotensi dan dapat meningkatkan kemampuan libido )2urmiati,4;;4+. Pemberian royal 3elly 4;

mg/kgBB/hr dapat meningkatkan dan menormalkan aktifitas seksual terhadap pria dan anita. ,oyal 3elly dapat meningkatkan hormon androgen pada pria dan estrogen pada anita melalui aktifitas gonadotropin maupun panthotenic acid yang berperan dalam produksi dan pelepasan hormon"hormon adrenal. #asil penelitian para ahli, menyatakan bah a royal 3elly mengandung senya a" senya a alami yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. 5enurut Bro n, royal 3elly mengandung <<,;- J substansi pelembab seperti gelatin, '4,.1 J protein, -,1< J lemak, 4,1A J substansi tereduksi, ;,F4 J mineral dan 4,F1 J senya a yang belum diketahui )Bro n,'AA.+. 9ari hasil analisis kimia di atas kemudian ditemukan lagi senya a"senya a gi?i seperti hormon"hormon alami, berbagai vitamin seperti vitamin B kompleks )Thiamin, Piridoksin, :iboflafin, 2iasin, &sam Pantotenat, Biotin, Inositol dan &sam !olat+, vitamin &, vitamin % dan vitamin , )sebagai antioksidan+, 4; macam &sam &mino )'1 di antaranya adalah asam amino essensial+, &sam 2ukleat, Protein dalam bentuk 0elatin"(olagen, &sam lemak esensial serta berbagai jenis mineral penting bagi tubuh dan &cetyl %holin yang berperan untuk menghantarkan rangsangan saraf atau transmisi impuls saraf dan mengatur sekresi kelenjar"kelenjar tubuh, 0amma globulin serta &sam 9ecanoat yang merupakan senya a penting untuk meningkatkan sistem imunitas dan menghalau serangan infeksi kuman dan jamur. Selain itu royal 3elly juga mengandung en?im pencernaan dan hormon gonadotropin yang sangat membantu fungsi reproduksi baik pada he an betina maupun he an jantan )Dalji,4;;'+. Substansi 2itrogen yaitu protein berkisar =.,AJ dan asam amino bebas berkisar 4,.J dan peptide ;,'<)Takenaka, 'AF= cit (rell, 'AA<+. Semua asam amino sebanyak 4A macam dan derivat L derivatnya dapat diidentifikasi, di antaranya adalah aspartic acid dan

-'

glutamic acid )#o e et al., 'AF- cit (rell, 'AA<+. &sam amino bebas yang terkandung di dalamnya antara lain adalah proline, arginine, cysteine dan lysine )Takenaka, 'AF1 dan 'AF= cit (rell, 'AA<+. ,oyal 3elly juga mengandung intrinsik faktor, suatu co protein yang penting untuk absorbsi vitamin B'4 yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah dan sistesa 92& dan :2&. Penelitian yang dilakukan Schmidt dan Burchmann )'AA4+ menunjukkan angka yang hampir sama. 9ari tabel tersebut dilihat bah a kandungan Pantothenic acid dalam royal 3elly sangat tinggi, bahkan mencapai enam kali kandungan yang

terdapat pada ragi dan liver. Panthothenic acid adalah suatu antio3idant yang dapat mencegah kerusakan sel akibat adanya radikal bebas. &danya Panthothenic acid ini juga diperlukan untuk konversi %holine menjadi &cethlcholine suatu nerurotransmitter yang berperanan dalam fungsi memori, perkembangan mental dan reproduksi. Pantotheic acid juga merupakan katalisator yang mengatur produksi dan perlepasan hormon"hormon adrenal. 9apat dikatakan bah a royal 3elly adalah sumber vitamin B komplek yang sangat lengkap, dimana vitamin B komplek sangat penting untuk kesehatan syaraf.

Thiamine

:iboflavin

Pantothenic &cid

Pyrido3ine

2iacin

!olic acid

Inositol

Biotin

M"n"&u&

'.11

'-A

'.;

1F

;.'.;

F;

'.'

MaE"&u&

<.=;

4-

4<-

1F.;

FF

;.-.;

.-;

'A.F

Tabel '. (andungan vitamin dalam royal 3elly ) mg/gram berat kering+ )Kecchi et al., 'AFF cit (rell, 'AA<+ Beberapa jenis hormon juga ditemukan dalam royal 3elly. 9engan metode radioimunologik yang sensitif, Kittek dan Slomiany pada tahun 'AF1 dapat mengidentifikasi adanya testosteron dalam kadar yang sangat rendah. Selain itu juga ditemukan adanya 0ro th #ormon )&u3in+ dan Plant #ormones )Phytosterol+ yang berperanan penting dalam spermatogenesis )(rell, 'AA<+. METODE PENELITIAN /enis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan menggunakan rancangan penelitian Posttest >nly %ontrol 0roup 9esign )Nainuddin, 4;;;+. :ancangan Penelitian ini disusun sebagai langkah untuk menghitung jumlah sel"sel spermatosit primer dan sel"sel spermatid pada kelompok perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah mendapatkan perlakuan selama -4 hari. Banyaknya sampel penelitian adalah .4 ekor tikus putih jantan yang berumur = L F minggu )se3ually mature+ dibagi menjadi 1 kelompok. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara random. (arena populasi pada penelitian ini dianggap homogen maka cara random yang digunakan adalah Simple :andom Sampling yang dilakukan dengan random numbers )Nainuddin, 4;;;+.

Secara sistematis, rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut *

-4

(' Populasi :andomisasi P' P4 P.

>' >4 >. >1

(' * (elompok kontrol dengan pemberian a$uadest . ml / hr peroral P' * (elompok perlakuan dengan pemberian :oyal /elly '- mg/kgBB/hr peroral P4 * (elompok perlakuan dengan pemberian :oyal /elly .; mg/kgBB/hr peroral P. * (elompok perlakuan dengan pemberian :oyal /elly 1- mg/kgBB/hr peroral >' * 9ata kelompok kontrol setelah -4 hari perlakuan >4 * 9ata kelompok P' setelah -4 hari perlakuan >. * 9ata kelompok P4 setelah -4 hari perlakuan >1 * 9ata kelompok P. setelah -4 hari perlakuan DATA DAN PENELITIAN ANALISIS DATA :u&la1 sel@sel S5er&a os" Pr"&er &dapun rata"rata dan simpangan baku data hasil penghitungan jumlah sel"sel spermatosit primer setelah -4 hari perlakuan diperlihatkan pada tabel di ba ah ini /umlah Pengamatan :ata"rata )mean+ dan Simpangan Baku )S9+ /umlah spermatosit primer <;,1- G .,1A =',1= G .,<= <=,4< G 1,'1 1-,.- G 4,-<

9ata dari hasil penelitian ini berupa data jumlah sel"sel spermatosit primer dan data jumlah sel"sel spermatid testis tikus putih (,attus norvegicus strain 5istar. jantan. (elompok

(elompok I * ,oyal %elly '- mg/kgBB/hr peroral (elompok II * ,oyal %elly .; mg/kgBB/hr peroral

F F

(elompok III * ,oyal %elly 1- mg/kgBB/hr F peroral (elompok IK * (ontrol F

Tabel 4. :ata"rata dan simpang baku jumlah sel"sel spermatosit primer tikus putih (,attus norvegicus strain 5istar. setelah -4 hari perlakuan. 9ari data tersebut dilakukan uji normalitas data dan didapatkan distribusi data adalah normal. Selanjutnya dilakukan test homogeneity of variance dan didapatkan significant level nya T ;,;yaitu sebesar ;,'<; sehingga dapat dilakukan analisis varian )&nova+ satu arah. 9ari hasil analisis varian )&nova+ *as"l Uj" nor&al" as !a a NPar Tes s didapatkan significant level nya Y ;,;yaitu sebesar ;,;;; maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna. :angkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian )&nova+ berat testis diperlihatkan pada tabel .

-.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er 15 #+ R"1a$ Je$$1 45+6643r 40 60.45 3.49 .101 .101 -.099 .641 .806 J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+6643r 40 71.4750 3.6654 .106 .106 -.086 .672 .757 J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+6643r 40 67.2500 4.1371 .176 .128 -.176 1.113 .168

N a'( N"r#a$ %ara#eter& M"&t ,-tre#e i..erence& /"$#"+"r"!-S#irn"! 0 )&1#2. Si+. (2-tai$ed)

Mean Std. e!iati"n )(&"$*te %"&iti!e Ne+ati!e

J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er /"ntr"$ 40 45.3500 2.5575 .151 .151 -.149 .956 .320

a. Te&t di&tri(*ti"n i& N"r#a$. (. Ca$c*$ated .r"# data.

*as"l anal"s"s #ar"an Onewa%


Descriptives J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er 95; C"n.idence <nter!a$ ."r Mean 8"9er :22er 6"*nd 6"*nd 59.34 61.56 70.30 72.65 65.93 68.57 44.53 46.17 59.48 62.78

15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) T"ta$

N 40 40 40 40 160

Mean 60.45 71.47 67.25 45.35 61.13

Std. e!iati"n 3.49 3.67 4.14 2.56 10.54

Std. ,rr"r .55 .58 .65 .40 .83

Mini#*# 52 64 56 40 40

Ma-i#*# 67 79 77 52 79

Test of Homogeneity of Variances J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er 8e!ene Stati&tic 1.744 d.1 3 d.2 156 Si+. .160

ANOVA J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er S*# ". S7*are& 6et9een Gr"*2& 15757.769 =it3in Gr"*2& 1920.475 T"ta$ 17678.244 d. 3 156 159 Mean S7*are 5252.590 12.311 > 426.667 Si+. .000

Tabel .. :angkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian )&nova+ jumlah sel"sel spermatosit primer

Setelah diketahui bah a perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji -east 6ignificant (ifference (-6(. atau 6ji

Beda 2yata Terkecil )B2T+ antar kelompok perlakuan. Berikut ini adalah :angkuman hasil ES9 sel"sel sprematosit primer )Tabel 1+

-1

--

Pos *o( Tes s


Multiple Comparisons e2endent ?aria($e@ J*#$a3 S2er#at"&it %ri#er 8S Mean i..erence (<-J) -11.02A -6.80A 15.10A 11.02A 4.22A 26.12A 6.80A -4.22A 21.90A -15.10A -26.12A -21.90A

(<) /e$"#2"5 (J) /e$"#2"5 15 #+ R"1a$ 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) 30 #+ R"1a$ 15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) 45 #+ R"1a$ 15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r Je$$1 45+ 66 4 3r 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) /"ntr"$ ()7*a) 15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r

Std. ,rr"r .78 .78 .78 .78 .78 .78 .78 .78 .78 .78 .78 .78

Si+. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000

95; C"n.idence <nter!a$ 8"9er 6"*nd :22er 6"*nd -12.57 -8.35 13.55 9.48 2.68 24.58 5.25 -5.77 20.35 -16.65 -27.67 -23.45 -9.48 -5.25 16.65 12.57 5.77 27.67 8.35 -2.68 23.45 -13.55 -24.58 -20.35

A. T3e #ean di..erence i& &i+ni.icant at t3e .05 $e!e$.

Tabel 1. :angkuman hasil -east 6ignificant (ifference (-6(. jumlah sel"sel spermatosit primer :u&la1 sel@sel S5er&a "! &dapun rata"rata dan simpangan baku+ data hasil penghitungan jumlah sel"sel spermatid diperlihatkan pada tabel di ba ah ini (elompok /umlah :ata"rata )mean+ dan Pengamatan Simpangan Baku )S9+ /umlah Spermatid

-<

(elompok I * ,oyal %elly 78 mg/kgBB/hr F peroral (elompok II * ,oyal %elly .; mg/kgBB/hr F peroral (elompok III * ,oyal %elly 1- mg/kgBB/hr F peroral (elompok IK* (ontrol F

41;,=. G ';,;F 4F-,.; G ';,F1 4<F,.. G A,11 'F;,F. G <,<A

Tabel -. :ata"rata dan simpangan baku jumlah sel"sel Spermatid tikus putih (,attus norvegicus strain 5istar. setelah -4 hari perlakuan. 9ari data jumlah sel"sel Spermatid tersebut dilakukan uji normalitas data dan didapatkan distribusi data adalah normal. Selanjutnya dilakukan test homogeneity of variance dan didapatkan significant level nya T ;,;- yaitu sebesar ;,;F' sehingga dapat dilakukan analisis varian )&nova+ satu arah. 9ari hasil analisis varian NPar Tes s
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test J*#$a3 J*#$a3 J*#$a3 S2er#atid 15 S2er#atid 30 S2er#atid 45 #+ R"1a$ Je$$1 #+ R"1a$ Je$$1 #+ R"1a$ Je$$1 45+6643r 45+6643r 45+6643r 40 40 40 240.73 285.3000 268.3250 10.08 10.8373 9.4418 .143 .076 .136 .135 .076 .104 -.143 -.054 -.136 .907 .383 .484 .974 .862 .448 J*#$a3 S2er#atid /"ntr"$ 40 180.8250 6.6906 .141 .141 -.108 .893 .402

)&nova+ didapatkan significant level nya Y ;,;- yaitu sebesar ;,;;; maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna. :angkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian )&nova+ jumlah sel"sel spermatid diperlihatkan pada tabel <

N a'( N"r#a$ %ara#eter& M"&t ,-tre#e i..erence& /"$#"+"r"!-S#irn"! 0 )&1#2. Si+. (2-tai$ed)

Mean Std. e!iati"n )(&"$*te %"&iti!e Ne+ati!e

a. Te&t di&tri(*ti"n i& N"r#a$. (. Ca$c*$ated .r"# data.

Onewa%

-=

Descriptives J*#$a3 S2er#atid 95; C"n.idence <nter!a$ ."r Mean 8"9er :22er 6"*nd 6"*nd 237.50 243.95 281.83 288.77 265.31 271.34 178.69 182.96 237.41 250.18

15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) T"ta$

N 40 40 40 40 160

Mean 240.73 285.30 268.33 180.83 243.79

Std. e!iati"n 10.08 10.84 9.44 6.69 40.88

Std. ,rr"r 1.59 1.71 1.49 1.06 3.23

Mini#*# 209 265 252 162 162

Ma-i#*# 260 308 288 194 308

Test of Homogeneity of Variances J*#$a3 S2er#atid 8e!ene Stati&tic 2.286 d.1 3 d.2 156 Si+. .081

ANOVA J*#$a3 S2er#atid S*# ". S7*are& 6et9een Gr"*2& 251961.3 =it3in Gr"*2& 13762.925 T"ta$ 265724.2 d. 3 156 159 Mean S7*are 83987.090 88.224 > 951.977 Si+. .000

Tabel <. :angkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian )&nova+ jumlah sel"sel spermatid tikus

Setelah diketahui perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna , maka dilanjutkan dengan uji -east 6ignificant (ifference (-6(. atau 6ji Beda 2yata Terkecil )B2T+ antar kelompok perlakuan. :angkuman hasil 6ji Beda 2yata Terkecil )B2T+ jumlah sel"sel spermatid setelah -4 hari perlakuan diperlihatkan pada tabel =

-F

Pos *o( Tes s


Multiple Comparisons e2endent ?aria($e@ J*#$a3 S2er#atid 8S Mean i..erence (<-J) -44.58A -27.60A 59.90A 44.58A 16.98A 104.48A 27.60A -16.98A 87.50A -59.90A -104.48A -87.50A

(<) /e$"#2"5 (J) /e$"#2"5 15 #+ R"1a$ 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) 30 #+ R"1a$ 15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) 45 #+ R"1a$ 15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r Je$$1 45+ 66 4 3r 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r /"ntr"$ ()7*a) /"ntr"$ ()7*a) 15 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 30 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r 45 #+ R"1a$ Je$$1 45+ 66 4 3r

Std. ,rr"r 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10 2.10

Si+. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000

95; C"n.idence <nter!a$ 8"9er 6"*nd :22er 6"*nd -48.72 -31.75 55.75 40.43 12.83 100.33 23.45 -21.12 83.35 -64.05 -108.62 -91.65 -40.43 -23.45 64.05 48.72 21.12 108.62 31.75 -12.83 91.65 -55.75 -100.33 -83.35

A. T3e #ean di..erence i& &i+ni.icant at t3e .05 $e!e$.

Tabel =. :angkuman hasil -east 6ignificant (ifference (-6(. jumlah sel"sel spermatid

PEM/A*ASAN #asil penelitian ini menunjukkan bah a pemberian royal 3elly peroral dapat meningkatkan jumlah sel"sel Spermatosit Primer dan sel"sel Spermatid dan pemberian dosis yang lebih tinggi akan memberikan peningkatan yang lebih tinggi pula. 9ari penelitian yang terdahulu didapatkan kandungan Pantothenic acid

dalam royal 3elly sangat tinggi, bahkan mencapai enam kali kandungan yang terdapat pada ragi dan liver. Panthothenic acid adalah suatu antio3idant yang dapat mencegah kerusakan sel akibat adanya radikal bebas. &danya Panthothenic acid ini juga diperlukan untuk konversi %holine menjadi &cethlcholine suatu nerurotransmitter yang berperanan dalam fungsi memori, perkembangan mental dan reproduksi. Pantotheic acid juga merupakan katalisator yang mengatur

-A

produksi dan perlepasan hormon"hormon adrenal. Beberapa jenis hormon juga ditemukan dalam royal 3elly. 9engan metode radioimunologik yang sensitif, Kittek dan Slomiany pada tahun 'AF1 dapat mengidentifikasi adanya testosteron dalam kadar yang sangat rendah. Selain itu juga ditemukan adanya 0ro th #ormon )&u3in+ dan Plant #ormones )Phytosterol+ yang berperanan penting dalam spermatogenesis )(rell, 'AA<+. Pada penelitian ini didapatkan peningkatan jumlah sel"sel Spermatosit Primer dan sel"sel Spermatid pada kelompok yang diberi royal 3elly mungkin disebabkan karena kandungan dari royal 3elly yang dapat memperbaiki spermatogenesis. Pemberian obat atau ?at tertentu yang dapat mempengaruhi spermatogenesis akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada saat pembelahan atau perkembangan dari sel epitel germinal sampai menjadi spermato?oa. Perubahan proses spermatogenesis secara mikroskopik dapat dilihat dari ukuran dan jumlah sel" sel penyusun tubulus seminiferus. Perubahan ini akan mempengaruhi jumlah sel"sel spermatogenik. 9alam hal ini, jumlah sel"sel spermatosit primer dan jumlah sel"sel spermatid juga meningkat.

Saran ) 6ntuk memberikan informasi tentang pengaruh royal jelly terhadap spermatogenesis yang lebih akurat , maka penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian lebih lanjut untuk * '. 5enghitung jumlah sel"sel Sertoli dalam tubulus seminiferus dan sel"sel Eeydig pada jaringan interstitial testis tikus putih ):attus 2orvegicus strain Distar+ jantan. 4. 5elihat bentuk dan motilitas spermato?oa. DAFTAR PUSTAKA &pplegate ,/, 4;;<. The &natomy and Physiology Eearning System * Te3tbook 'st ,d. Philadelphia * DB Saunders %ompany, pp .='".==. &dimoeljo &, 4;;;. Phytochemical and the Breakthrugh of Tradisional #erbs in the management of Se3sual 9ysfuncion. Int / &drol, 4. Suppl 4 * F4 "F1. Bro n, : , 'AA.. Bee #ive Product Bible. 0arden %ity Park, 2e Iork, &very Publishing 0roup Inc, pp ';."'44. %att (/ and 9ufau 5E, 'AA'. 0onadotropic #ormones * Biosynthesis, Secretion, :eseptors and &ctions. In )Ien SS%, /affe :B, eds+. :eperoductive ,ndocrinology .rd ,d. 6S& * DB Saunders %ompany, pp ''4"''<. 0anong, D!, 4;;- :evie of 5edical Physiology. 44 th ,d , 6nited States of &merica, 5c0ra "#ill %ompanies, Inc, pp 141 L 1... 0ridley, 5!, 'A<;. 5anual of #istologic and Special Staining Technics. 4 nd ed. 6S&, 5c 0ra "#ill %ompanies, Inc, pp '.4"'... #alim, &. 2, dan Sukarno, 4;;'. Teknik 5encangkok :oyal /elly, Penerbit (anisius. Iogjakarta. #ardiyono, 4;;<. Pengaruh Pemberian :oyal /elly Peroral Terhadap Berat

KESIMPULAN DAN SARAN Kes"&5ulan ) 9ari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan * '. Pemberian royal 3elly peroral dapat meningkatkan jumlah sel"sel Spermatosit primer dan jumlah sel"sel Spermatid pada tikus putih ):attus norvegicus strain Distar+ jantan. 4. Pada dosis pemberian yang meningkat yaitu dosis '-mg/kgBB/hr dibandingkan dengan .; mg/kgBB/hr dan dosis 'mg/kgBB/hr dibandingkan dengan 1mg/kgBB/hr terjadi kenaikan jumlah sel" sel Spermatosit primer dan jumlah sel"sel Spermatid yang lebih tinggi juga, tetapi peningkatan yang paling tinggi terjadi pada dosis .; mg/kg BB/hr.

<;

Testis, Proporsi Berat Testis Terhadap Berat Badan Tikus, 9iameter Tubulus Seminiferus, Tebal ,pitel Tubulus Seminiferus 9an Proporsi Tebal ,pitel Terhadap 9iameter Tubulus Seminiferus Testis Tikus Putih ),attus norvergicus strain 5istar. /antan.Tesis !akultas Pasca Sarjana 6nair Surabaya. /ohnson, /, 4;;4. 2utritional and ,nviromental &pproaches to Infertility. Positive #ealth Publication Etd. (rell, :, 'AA<. Kallue"added products !rom beekeeping, !&> &gricultural Services Bulletin 2o. '41, !ood &nd &griculture >rgani?ation of the 6nited 2ations :ome. %hapter < C '" .4. (usuma ati, 9, 4;;1. Bahan &jar Tentang #e an %oba, 6niversitas &irlangga Surabaya. 5ardihusodo, S/, 4;;.. Produk"produk Eebah 5adu * (hasiat dan 5anfaatnya 6ntuk (esehatan. Seminar Terapi Eebah !akultas (edokteran 6niversitas &irlangga Surabaya * '"<. 2urmiati, S, 4;;4. Pengaruh Pemberian ,oyal %elly terhadap !ertilitas 5encit )2us musculus+ Betina. Tesis !akultas Pasca Sarjana 6niversitas &irlangga Surabaya. Sadler TD. 4;;<.0ametogenesis. Eangmans 5edical ,mbryology '; th ,d.6S&* Eippincott Dilliams U Dilkins, pp ''"4F

Sar ono, B, 4;;'. (iat 5engatasi Permasalahan Praktis Eebah 5adu. Penerbit &gro 5edia Pustaka. Tangerang. Sihombing, 9. T. #, 'AA=. Ilmu Ternak Eebah 5adu, Iogjakarta. 0ajah 5ada 6niversity Press. Sloane ,, 4;;4. Sistim ,ndokrin. &natomi dan !isiologi 6ntuk Pemula.,disi '. /akarta* ,0%, hal 4;; L 4'-. Smith /B dan 5angkoe idjojo, 'AFF. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan #e an Percobaan di 9aerah Tropis. /akarta * 6I Press, hal .= L-=. Kander &/, Sherman /#. Euciano 9S, 'AA1. :eproduction in #uman Physiology, The 5echanism of Body !unction <th ,d. 2e Iork * 5c0ra " #ill Inc, pp <1F"<<'. Dalji, #, 4;;', Terapi Eebah, /akarta, Prestasi Pustaka, hlm --"<'. Darsino, 'AA<. Budidaya Eebah 5adu, Penerbit (anisius. Iogjakarta. Duryantari dan 5oeloek 2, 4;;;. Perkembangan 5utakhir !isiologi !ungsi Testis * 9ari >rgan Sampai 0en. 5(I -; )F+ * .==".F1. Nainuddin &, 4;;;. 5etode Penelitian. Program Pasca Sarjana 6nair, Surabaya.

<'

PER/ANDINBAN FOTO PANORAMIK DAN /ITE $INB PADA DIABNOSIS RESO/SI TULANB INTERALVEOLARIS REBIO POSTERIOR Enn% $"ll"an " Dosen 'ag"an Il&u 5en%ak" g"g" !an &ulu Fakul as ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a E&a"l ) enn%w"ll"an "F%a1oo.(o&
&BST:&( Pengamatan alveolaris resorpsi tulang dapat dilakukan secara klinis, tetapi akan lebih tepat dan akurat jika dilakukan radiografi. Para rontgen foto yang dapat digunakan untuk mengamati resorpsi tulang alveolaris antara mereka* foto panorama dan foto sayap menggigit. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan foto panorama dan sayap foto gigitan untuk mengetahui resorpsi tulang interalveolaris :egio posterior. Setiap sampel dira at oleh sayap foto panorama dan menggigit. #asil radiografi dianalisis oleh dua pengamat. Pengukuran tinggi tulang marginal proksimal diukur oleh penguasa khusus untuk foto menggigit sayap. 9alam rangka mengukur tinggi tulang marginal proksimal dari foto panorama serta digunakan penguasa yang sama. Penyerapan tulang marjinal dinyatakan oleh nilai )skor+. Statistik uji Dilco3on dua tes sampel digunakan untuk membandingkan foto panorama dan menggigit sayap untuk mengetahui resorpsi tulang interalveolaris :egio posterior. #asil penelitian ini menunjukkan bah a tidak ada perbedaan yang signifikan antara foto panorama sayap dan menggigit dalam pengukuran resorpsi tulang interalveolaris pada gigi posterior :egio. (ey ords* foto panorama, menggigit foto sayap, alveolaris resorpsi tulang.

COMPARE T*E PANORAMIC P*OTO AND T*E /ITE $INB P*OTO ON RESORPTION OF POSTERIOR REBIO INTERALVEOLARIS /ONE DIABNOSIS Enn% $"ll"an " Le( urer Fa(ul % o+ &e!"("ne Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a E&a"l) enn%w"ll"an "F%a1oo.(o&
&BST:&%T The observation of alveolaris bone resorption can be performed clinically, but it ill be more appropriate and accurate if performed radiographically. The roentgen photo that can be used to observe this alveolaris bone resorption among of them * a panoramic photo and a bite ing photo. The aim of this research is comparing the panoramic photo and the bite ing photo to kno the resorption of posterior regio interalveolaris bone. ,ach samples ere treated by the panoramic and bite ing photo. The radiographic result as analysed by t o observers. The measurement of height of pro3imal marginal bone as measured by a special ruler for bite ing photo. In order measure the height of pro3imal marginal bone from the panoramic photo as ell as used the same ruler. The absorption marginal bone as stated by value )score+. Statistic test of Dilco3on t o sample test as used in order to compare the panoramic and bite ing photo to kno the resorption of regio posterior interalveolaris bone. The result of this research sho ed that no significant difference bet een the panoramic and bite ing photo in the measurement of resorption of interalveolaris bone on posterior regio teeth. (ey ords* panoramic photo, bite ing photo, alveolaris bone resorption.

PENDA*ULUAN La ar 'elakang

6ntuk menentukan diagnosa dan rencana pera atan yang tepat terhadap suatu penyakit atau kelainan gigi dan mulut, diperlukan pemeriksanaan yang

<4

lengkap dan teliti terhadap penderita mulai dari anamnesa, gejala penyakit, dan gejala obyektif sehingga dapat menentukan diagnosa yang tepat. 6ntuk mendapatkan diagnosa yang tepat, banyak sarana penunjang yang diperlukan. 9alam bidang kedokteran gigi, salah satu sarana penunjang adalah pemeriksaan dengan foto rontgen. Peranan foto rontgen sangat besar, diantaranya dalam membantu menentukan macam dan rencana pera atan yang akan dilakukan )5c. %all, 'A-= C >@Brein, 'A=4+. Banyak macam cara pemeriksaan foto rontgen di bidang kedokteran gigi, antara lain * Intra >ral )periapikal, bite ing, oklusal+ dan ,kstra >ral )panoramik, aters, T5/, Postero &nterior+. (etinggian tulang alveolaris secara normal dipelihara oleh adanya keseimbangan yang konsisten antara pembentukan )aposisi+ dan resobsi tulang. :esobsi atulang alveolaris ini dapat terjadi secara patologis karena penyakit periodontal, penyakit sistematik tertentu dan lain"lain, ataupun secara fisiologis karena proses penuaan. Terjadinya resolusi tulang alveolaris dapat diakibatkan oleh perubahan"perubahan sebagai berikut )0lickman, 'A=4+ * " Peningkatan resobsi dengan aposisi tilang yang normal. " &posisi tulang yang menurun dengan resobsi yang normal. " :esobsi yang meningkat disertai dengan penurunan aposisi tulang. Pengamatan resobsi tulang alveolaris dapat dilakukan secara klinis yaitu jika resobsi yang terjadi cukup banyak, namun lebih tepat dan teliti jika dilakukan secara radiografis. !oto"foto rontgen yang dapat dipakai untuk mengamati resobsi tulang alveolaris ini antara lain adalah )&kesson et.al, 'AFA+ * " " " " !oto Bite Ding. !oto Panoramik. !oto ,isler. !oto Periapikal.

Penyakit periodontal yang paling banyak adalah keradangan )#urt, 'A=<+. (eradangan ini dimulai dari gingiva )gingivitis+ dan dapat melanjut ke jaringan periodontal yang lebih dalam )periodontitis+, yaitu terjadi resobsi tulang interalveolaris. !oto rontgen merupakan salah satu sarana penunjang di antara sekian banyak pemeriksaan yang dipakai untuk menegakkan diagnose dan rencana pera atan gigi. >leh karena itu keefektifan penelitian radiografik dalam menyelidiki tanda"tanda dasar sangat diperlukan. (arena tiap"tiap foto rontgen mempunyai kelebihan dan kekurangan masing"masing, maka pemakaian/pemilihan foto diusahakan dengan menentukan foto rontgen yang mempunyai kekurangan yang paling minimal. 9engan cara menggabungkan dengan foto rontgen lain yang dapat menutupi kekurangan tersebut. 9engan cara foto lebih dari satu macam proyeksi, dapat menghindari keragu"raguan yang dapat timbul dalam mendiagnosa kelainan yang terdapat pada penderita, sehingga dokter gigi segera melakukan rencana pera atan yang tepat. Secara umum, dikatakan bah a hasil atau nilai diagnostic dari radiografik panoramik lebih rendah daripada radiografik intra oral )Stenstrom et al, 'AF4+. Tetapi dari 5uhammed dan 5anson #inh )'AF4+, 0alal et al )'AF-+, dan 9ouglass et al )'AF<+, mengungkapkan kesamaan yang tinggi antara hasil pada radiografik panoramik dengan intra oral. Pemeriksaan radiografik yang paling sering digunakan dalam melengkapi pemeriksaan klinis maupun penelitian epidemiologis pada kelainan yang ada di daerah periodontal adalah radiografik posterior bite ing, yang dibuktikan sangat bermanfaat dalam penayangan penyakit tulang periodontal oleh #ansen et al )'AF1+. Per&asala1an

<.

'. &pakah dengan foto panoramik, resobsi tulang interalveolaris regio posterior dapat terlihatM 4. &pakah dengan foto bite ing, resobsi tulang interalveolaris regio posterior dapat terlihatM .. 9i antara foto panoramik dan bite ing, manakah yang lebih tepat digunakan untuk melihat resobsi tulang interalveolaris regio posteriorM Tujuan 5enel" "an 6ntuk membandingkan foto panoramik dan bite ing dalam melihat resobsi tulang interalveolaris regio posterior. /A*AN DAN METODE Ala @ala %ang !"gunakan ) " (aca mulut " 9ental 3"ray unit foto merk Belmont, 93";<< & )<; (Kp F m&+ " Panoramik 3"ray unit foto )&S&#I &S"1+ " Penggaris khusus " 6nit pencuci film " Bite ing holder. /a1an@'a1an ) " !ilm panoramik " !ilm Bite ing " Earutan developer " Earutan fiksasi. Me o!e 4; sampel diambil dari penderita laki"laki atau perempuan umur 4;"-; tahun dengan diagnosis periodontitis yang bergeligi posterior lengkap dengan kontak proksimal mencapai permukaan distal molar pertama permanen.

Pada tiap sampel dilakukan dua kali pemotretan, yaitu dengan foto bite ing )kiri dan kanan+ dan foto panoramik. Pe&'ua an ra!"ogra+"k ) Pembuatan yang terdiri dari dua radiografik bite ing regio posterior dilakukan dengan menggunakan unit sinar 3. :adiografik bite ing diambil dengan angulasi horisontal G '; dengan menggunakan film ,"speed ),ktaspeed, ,astman (odak, :ochester, 6S&+, dan rata"rata aktu penyinaran ;,1 detik. :adiografik panoramik dibuat dengan menggunakan orthopantomograf )panoramik 3"ray unit+ merk &S&#I Type &S"1 )modifikasi+. Penga&a an ) #asil radiografik dinilai oleh dua pengamat. 5asing"masing pengamat melakukan pembacaan terpisah dengan panduan yang sudah ditentukan. Pe&er"ksaan ra!"ogra+"k ) Setelah pemotretan, kemudian dilakukan pencucian film, dengan syarat hasil foto sebagai berikut * " %emento ,namel /unction harus terlihat. " (ontak proksimal mencapai permukaan distal gigi molar pertama permanen. " Tidak didapatkan distorasi pada hasil foto. Pengukuran tinggi tulang marginal bagian proksimal diukur dengan menggunakan penggaris yang dirancang khusus untuk bite ing foto )lihat gambar 1+. Penggaris ini sedikit dimodifikasi dari yang telah digambarkan oleh #akansson dkk. )'AF'+. 5odifikasi berupa penyamaan jarak skor dan penambahan skor, yaitu dari '; menjadi '-, dengan maksud untuk menambah ketelitian pengukuran. Penggaris tersebut digunakan dengan ketentuan sebagai berikut * " 0aris vertikal dari penggaris ditempatkan sejajar dengan sumbu

<1

panjang gigi. /ika gigi berakar ganda maka garis dari puncak cusp mesial/ distal ke apeks me akili sumbu panjang gigi. " 0aris pertama dari penggaris ditempatkan berhimpit dengan puncak mahkota sisi yang diperiksa. " 0aris kedua dari penggaris ditempatkan berhimpit dengan %,/ sisi yang diperiksa. :esobsi tulang marginal dinyatakan dengan nilai )skor+. 6ntuk bisa mendapatkan pembandingan langsung antara kedua metode yang digunakan, maka digunakan penggaris yang sama untuk radiograf bite ing maupun radiograf panoramik. Kr" er"a skor * 1 * normal.

Uj" s a "s "k ) 6ntuk membandingkan foto panoramik dan bite ing dalam melihat resobsi tulang interalveolaris regio posterior, maka menggunakan uji statistik Dilco3on t o sample test.

- " F * kerusakan tulang alveolaris sampai '/. akar gigi. F " '' * kerusakan tulang alveolaris sampai 4/. akat gigi. '' " 'alveolaris. * kerusakan total tulang

*ASIL 9ata yang dihasilkan dari penelitian ini adalah data ordinal, karena penilaian atau pengukuran yang dilakukan berupa skor. 9alam penelitian ini dilihat terlebih dahulu nilai kesepakatan antar pengamat. 2ilai dihitung dengan membandingkan hasil pengukuran oleh kedua pengamat dari masing"masing gigi, yaitu premolar kedua, molar pertama, molar kedua pada sisi kanan dan kiri. #asil penelitian ini diolah secara statistik, yaitu dengan Dilco3on t o sample test untuk 4 grup. 0rup ' adalah hasil ranking dari pengamat '. sedangkan grup 4 adalah hasil ranking kemaknaan ) W ;,;-+ pT;,;4 #i ditolak. #asil yang diperoleh adalah sebagai berikut *

T&B,E '. :esobsi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Dilco3on t o sample test pada foto panoramik antara pengamat ' dan pengamat 4. :ahang ba ah Sisi 0/4/ PA)/,A2#9 2ama 0igi P4 5' 54 P4 5' 54 5ean :ank 5ean :ank 4 L tailed P 0rup ' 0rup 4 4',.44,F4',;44,F4.,.; 4',='A,<'F,''A,A'F,''=,=; 'A,4;,-<11 ;,'-A1 ;,=.AF ;,'-A1 ;,;A<4 ;,1-A-

(anan

(iri

<-

(eterangan * P4 W Premolar kedua 5' W 5olar pertama 54 W 5olar kedua

9ari hasil perhitungan masing"masing gigi tersebut, terlihat bah a hasilnya lebih besar dari ;,;4-. berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengamat ' dan pengamat 4 dalam

pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi"gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang ba ah sisi kanan dan kiri pada foto panoramik.

T&B,E 4. :esolusi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Dilco3on t o sample test pada foto bite ing antara pengamat ' dan pengamat 4.

:ahang ba ah Sisi

!>T> BIT, DI20 2ama 0igi P4 5' 54 P4 5' 54 5ean 0rup ' 'A,-4..14;,-; 4',.44,1; 4',;; rank 5ean 0rup 4 4',1'=,-4;,-; 'A,<'F,<; 4;,;; rank 4 L tailed P ;,-<;. ;,;=A< ',;;;; ;,-FF. ;,4<=. ;,=1='

(anan

(iri

<<

9ari hasil perhitungan masing"masing gigi tersebut, terlihat bah a hasilnya lebih besar dari ;,;4-. berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengamat ' dan pengamat 4 dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang ba ah sisi kanan dan kiri pada foto bite ing.

Setelah diketahui nilai kesepakatan antara pengamat, maka kini membandingkan hasil pengukuran resobsi tulang interalveolaris antara foto panoramik dan foto bite ing, dengan uji statistik Dilco3on t o sample test untuk 4 grup pada taraf kemaknaan ) W ;,;-+. 0rup ' adalah hasil rangking dari foto panoramik. Sedangkan grup 4 adalah hasil rangking dari foto bite ing.

T&B,E .. :esolusi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Dilco3on t o sample test antara foto panoramik dan foto bite ing.

:ahang ba ah Sisi

5,&2 :&2( 2ama 0igi P4 5' 54 P4 5' 54 5ean 0rup ' .-,A< 1','1 .F,1; 1','1 1',-11,.' rank 5ean 0rup 4 1-,;1 .A,F< 14,<; .A,F< .A,1.<,<A rank 4 L tailed P ;,;1;< ;,=F=; ;,.='4 ;,=F=; ;,<<'A ;,;A<.

(anan

(iri

9ari hasil perhitungan masing"masing gigi tersebut, terlihat bah a hasilnya lebih besar dari ;,;4-. berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara foto panoramik dan foto bite ing dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang ba ah sisi kanan dan kiri. DISKUSI 9ari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bah a terdapat adanya variasi didalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris antara foto panoramik dengan foto bite ing. Sedangkan dari analisa data dapat

disimpulkan bah a tidak ada perbedaan yang bermakna antara foto panoramik dan foto bite ing dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang ba ah sisi kanan dan kiri. Ini menunjukkan adanya kesamaan dalam radiograf panoramik dan bite ing untuk mendiagnosis resobsi tulang interalveolaris regio posterior. :esobsi tulang interalveolaris dinyatakan dalam skor/nilai. 6ntuk bisa mendapatkan pembandingan langsung antara kedua metode yang digunakan, maka digunakan penggaris yang sama untuk radiograf panoramik maupun radiograf bite ing. 9engan

menggunakan penggaris tersebut, akan memungkinkan untuk menilai resobsi tulang interalveolaris, meskipun apeks gigi tidak terlihat dalam radiograf, sebagaimana terjadi pada bite ing )#akansson et. &l, 'AF'+. 9alam penelitian ini, pengukuran hanya dapat dilakukan pada gigi"gigi posterior rahang ba ah yang dimulai dari premolar kedua sampai dengan molar kedua sisi kanan maupun kiri. #asil radiograf panoramik dari gigi"gigi posterior rahang atas sisi kanan tidak jelas atau kabur sehingga cemento enamel junction pada regio tersebut sulit terlihat pada premolar pertama rahang atas sisi kanan sering kali tidak memungkinkan untuk dinilai karena adanya penumpukan, sedangkan pada sisi kiri gigi"gigi posterior rahang atas dapat terlihat cukup jelas. Ini kemungkinan disebabkan karena alat yang digunakan di laboratorium :ontgenologi 5ulut !(0 62&I: yaitu panoramik 3"ray unit foto kurang ideal. Bagian tube dari panoramik 3"ray unit foto pernah mengalami kerusakan, sehingga tube yang digunakan pada panoramik 3"ray unit foto diganti dengan tube type lain. &kibstnya. #asil radiograf panoramik menjadi kurang ideal. Tidak dilakukannya penelitian untuk gigi"gigi regio anterior rahang atas dan rahang ba ah karena terjadinya Qsuper imposedR dari struktur anatomis yang menutupinya, yang mana situasi hasil radiografi yang demikian ini sangat menyulitkan pengamat didalam memberikan gambaran"gambaran anatomis secara rinci. Sedangkan pada foto bite ing, hasil radiograf dapat terlihat jelas, karena pada teknik bite ing digunakan film holder yang merupakan metode yang praktis dan sederhana sebagai penjepit film sehingga film tidak bergerak dan kedudukannya sesuai dengan posisi yang dikehendaki.

Pada keadaan dimana nilai yang didapat dari kedua metode radiograf berbeda, survey panoramik cenderung menunjukkan resobsi tulang yang lebih parah dari pada yang terlihat pada bite ing. #asil ini sesuai dengan hasil yang diberikan oleh 9ouglass et.al )'AF<+, yang mendapatkan bah a kemampuan detail radiografi panoramik jauh lebih rendah dari pada bite ing. 9alam penelitian ini, tidak ada metode yang dianggap lebih baik dari metode lainnya. &danya kesamaan dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris regio posterior pada foto panoramik maupun bite ing menunjukan bah a kedua metode tersebut dapat saling menunjang dalam mendiagnosis resobsi tulang interalveolaris regio posterior. #anya kelebihan dari foto panoramik yaitu dapat menampakkan gambaran radiograf seluruh gigi"gigi rahang atas dan rahang ba ah dalam satu lembar film. Sedangkan pada foto bite ing hanya dapat menampakkan beberapa gigi saja dalam setiap regio, sehingga memerlukan foto lebih banyak. 9engan ketepatan dalam melihat resobsi tulang interalveolaris melalui foto panoramik dan bite ing ini, maka diharapkan dapat menunjang diagnosa yang tepat di bidang kedokteran gigi, khususnya mengenai penyakit periodontal. KESIMPULAN 9ari hasil penelitian radiografik tentang perbandingan foto panoramik dan bite ing pada diagnosis resobsi tulang intertalveolaris ragio posterior, dapat disimpulkan bah a tidak ada perbedaan yang bermakna antara foto panoramik dan bite ing didalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris, dimana nilai kesamaan tersebut ditunjang dengan nilai kesepakatan antar pengamat. 2amun demikian, kesamaan ini bervariasi dengan derajat resobsi tulang dan jenis gigi.

&kibatnya, apabiCa radiograf panoramik ini digunakan pada pemeriksaan klinis, maka pemeriksaan tersebut harus dilengkapi radiograf bite ing, pada daerah dimana kualitas bayangan gigi tidak jelas )&kessom et.al, 'AFA+ dan pada daerah perhatian utama. #asil radiograf dapat dipengaruhi oleh penggunaan alat pada masing"masing metode, diantaranya adalah pengaturan posisi penderita. &pabila hal ini kurang diperhatikan, maka dapat memungkinkan terjadi pemendekan atau pemanjangan bayangan dari gigi, ataupun pembesaran dan pengecilan ukuran. #al ini akan menimbulkan variasi dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada foto panoramik dan bite ing. 5eskipun kedua metode tersebut mempunyai keunggulan masing"masing, tidak berarti kita akan meninggalkan radiografik yang konvensional. Suatu kombinasi dari penggunaan foto panoramik dengan bite ing akan memberikan kesempurnaan yang tinggi untuk membantu pemeriksaan klinis dalam menegakkan diagnose. DAFTAR PUSTAKA &kesson, E., et.al., )'AFA+ * %omparison Bet een Panoramik and Posterior Bite Ding :adiography in The 9iagnosis of Periodontal Bone Eoss, /. 9ent., '= C p. 4<< L 4='. &llen. 9.E. 5c. !all, DT. &nd #uter, 0.%. )'AF=+ * Periodontics !or The 9ental #ygienist, 1 th ed., Eed amd !ebiger, Philadelphia, p. 41 L 4F, ''F L '41. Bernerd :osner )'AFF+ * !undamentals of Biostatistics, 4nd ed., PDS Publishers, p. 4FF L 4A.. Boedihardjo dan :ahman, T.S )'AF;/'AF'+ * 9istribusi (erusakan Tulang &lveolaris pada Penderita 5uda dengan Penyakit Periodontal,

Eembaga Penelitian 6niversitas &irlangga, Surabaya, h * '"4. %arran?a, P.&. )'AF1+ * 0lickman@s %linical Periodontology, <th ed., D.B Saunders %ompany, Philadelphia, Eondon, Toronto, 5e3ico %ity, :io de /aneiro, Tokyo, p. -' L <', 4.1 L 41A, -'. L -'=. 9ouglass 5.%.D. Kalachovic :.D., Dijesinha &. et al )'AFF+ * %linical ,fficacy of 9ental :adiography in The 9etection of 9ental %aries and Periodontal 9oseases, >ral Surg. >ral 5ed. >ral Pathol. C <4 * ..; L ..A.

,nnis, E.5. Berry, #. and Philips, /.,, )'A<=+ * 9ental :otegenology, <th ed., Philadelphia, Eea and !ebriger. !ourel, /. )'A=4+ * & !eriodontal Syndrome, /ournal of Periodontology, vol. 1., p. 41;"4-;. 0alal &., 5anson L #ing E. amd /amison #.& )'AF-+ * & %omparison of %ombinations of %linical and :adiographic D3aminations in ,valuation of a 9ental %linis Population, >ral Surg, >ral 5ed, >ral Pathol C <; * --. L -<'. 0lickman, I., )'A=4+ * Prevention , 9iagnosis ant Treatment of Periodontal 9isease in The Practice of 0eneral 9entistry, %linical Periodontology, 1 th ed., D.B. Saunders %ompany, Philadelphia, Eondon, Toronto, p. -= L =., 4'F L 4.4, 1AA L -;4. 0oldman #.2, )'A1A+ * Periodontia, & Study of the #istology, Physiology and Pathology of the Periodontium and the Treatment of Its 9isease, 4md ed, The %K. 2osby %ompany, Saint Eouis, P. 4. L 4-, F; L FA.

0old,am #.5. and %ohen, D.D. )'A-A+ * Periodontia, The &rt and Science of ,3amination and 9iagnosis of Periodontal 9isease, 1 th end, The %K. 5osby %ompany, Saint Eouis, P. 1; L 1-, -=. 0randt, 9.&. C Stren C I.B and ,verest, !.K. )'A=A+ * >rbans periodontics, - th ed., Eea and !ebriger, Philadelphia l 41-, 4F; L 4F4. #kansson /., Bjorn &.E. and (onsson B.0. )'AF'+ * &ssesment of the Pro3imal Periodontal Bone heigh !rom :adiographs Dith Partial :eproduction of the Teeth. S ad, 9ent. /. -, '1= L '-.. #ansen B.!., 0jermo P. and Berg it?" Earsen (.:. )'AF1+ * Periodontal Bone Eoss on '-"years >ld 2or egians, /. %lin Periodontol. * '' * '4- L '.'. #urt, D.% )'A=F+ * Periodonties in 0eneral Pra3tice, %harles %. Thomas Publisse, Illionis, P. F4. 5anson /.B )'AF;+ * Periodontics, 1th ed. #enry (impron Publisher, Eondon, p. 4'" 4-. 5ason, :ita &. )'AF4+ * & 0uide to 9ental :adiography, 4nd ed., Dright, PS0, Bristol Eondon Boston. 5c. %all /.%. and Dalt S. S. )'A-=+ * %linical 9ental :onthenology, Thnic and Interpretation Including, :onthen Studies of the %hild and the &dolescent, 1th ed., Philadelphia and Eondon, D.B, Saunders %o. 5uhammad &.#. and 5anson #ing E.:, )'AF4+ * & %omparison Panoramic and Intra >ral :adiographic Surveys in ,valuatng & 9ental %linic Population, >ral Surg. >ral 5ed. >ral Pathol. C -1 * ';F L ''=.

>@

Brein, :,%, )'A=4+ * 9ental :adiography, D.B. Saunders and %o, Philadephia, Eondon, Toronto.

Stafne, et.al )'A=-+ * >ral :ontegenographic 9iagnosis, 1 th., D.B saiders %ompanym Philadelphia, Eondon, Toronto, p. ''1 L ''<, .A; L .A'. Stanstrom B., /ulin P. and Eavstedt S. )'AF4+ * %omparison Bet een Panoramic :adiographic Techni$ues. Part II * 5arginal Bpne Eevel Interpretabilitu Dith Status and orthopantomograph, 5odel >P';, 9entoma3illofac, :adiol, C '< * ''"'-. 6pdegrave, D./. )'AFA+ * The :ule of Panoranic :adiofraphy in 9iagnosis, >somop, 44 )a+. Dorth, #.5 )'A<A+ * Principles and Practise of >ral :adiologc Interpretation, 'st ed., Iear book 5edical Publisher Inc, %hicago, p. 'F4.. Duehrmann, &.#. and 5anson"#ing, E.:. )'A==+ * 9ental :adiology, 1 th ed., Saint Eouis, The %.K. 5osby %ompany. Nappra, 6. Simona, % C 0raf, #. and van &ken, /. )'AA'+ * Invivo 9etermination of :adiographic Protection ,rrors Produaced by & 2ovel !ilmn #older and & S"ray Beam 5anipulator, /. L Periodontal, 2ovember.

APOPTOSIS PADA OVARIUM SE/ABAI MEKANISME KEMATIAN SEL FISIOLOBIS Paul S. Pol" De5ar e&en F"s"olog" Fakul as Ke!ok eran $"ja%a Kusu&a Sura'a%a Un"#ers" as
&bstrak 9alam rangka untuk mengontrol perkembangan embrio dan juga untuk mempertahankan proses apoptosis jaringan de asa diperlukan. 6ntuk memenuhi peran ini, apoptosis terjadi berdasarkan program genetik yang diaktifkan oleh rangsangan dari sinyal eksternal dan internal. 9alam ovarium sebagai organ yang menghasilkan folikel telur, hanya folikel dominan yang dibutuhkan untuk menjadi sel telur. !olikel tetap akan mengalami atresia. 9alam hal ini proses apoptosis pada anita reproduksi merupakan strategi untuk memilih folikel dominan. 2amun, itu adalah mekanisme rumit untuk mengontrol proses apoptosis yang melibatkan berbagai protein seperti Bcl"4, p-., Ba3, dan Buruk telah dinyatakan dalam penelitian baru"baru ini. 5ereka protein adalah bagian dari keluarga pro dan antiapoptotic. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas peran apoptosis sebagai mekanisme fisiologis untuk memilih folikel dominan di ovarium pada anita reproduksi. (ata kunci* apoptosis, ovarium, telur, folikel, atresia.

APOPTOSIS IN OVARY AS A P*YSIOLOBICAL CELL DEAT* MEC*ANISM Paul S. Pol" De5ar &en o+ P1%s"olog% o+ Fa(ul % o+ Me!"("ne o+ $"ja%a Kusu&a Un"#ers" % Sura'a%a
&bstract In order to control the embryonic development and also to maintain the adult tissues apoptosis process is needed. To fulfill this roles, apoptosis occurred based on genetic program hich activated by the stimulation of e3ternal and internal signals. In ovary as an organ hich produced follicle for eggs, only dominant follicle is needed to be ovum. The remain follicle ill undergo atresia. In this regard the apoptosis process in reproductive oman is a strategy to select the dominant follicle. #o ever, it is a complicated mechanisms to control the apoptosis process hich involved of the various protein such as Bcl"4, p-., Ba3, and Bad has been revealed in recently research. Those proteins are part of the family of pro and antiapoptotic. The further information is needed to clarify the roles of apoptosis as a physiological mechanism to select the dominant follicle in ovary in reproductive oman.

(ey ords* apoptosis, ovary, egg, follicle, atresia.

Introduction

&poptosis or program cell death has a key role both ini the maintain of adult tissues and embryonic development. In

this roles, apoptosis is differ from accidental death of cells resulting from injury, i.e. apoptosis is an active process in hich genes are responsible for both the regulation or e3ecution. It as first recogni?ed by pathologist in 'A=4, named after 0reek ord for Qfalling off,R or Qdropping of leaves.R In other ord, apoptosis is the removal of cells by cell death.

opposite role of mitosis in regulation of animal cell populations.

It is hypothesi?ed that apoptosis occurred as result of a genetic program activated by developmental and environmental stimuli. Basically, apoptosis is trigerred by internal and e3ternal signals. !urthermore, the survival of organism is dependent on its cells replication. !or this reason the control of replication is essential and though there is a number of protein that act as a cell cycle brake.

2umerous protein involved in apoptosis mechanisms. :ecent evidence has sho n that Bcl"4 family and p-. takes a role. Bcl"4 family consist of anti"apoptosis e.g Bcl"SE and proapoptosis Ba3, Bad. P-. is a transcription factor, involved in apoptosis follo ing 92& damage. The mutation of p-. ill increase the carcinogenesis.

In the development of the fetal nervous system, over one half of neurons that e3ist in the early fetus are lost by apoptosis during development to form the mature brain. In the production of immune competent T cells a selec3tion process occurs that eliminates cells recogni?e and react against self.

The objective of this riting is to sho the role of apoptosis in follicular atresia. In this regard in a female@s ovaries contain an estimated 4"1 million eggs in utero. >nly 4;; ;;; L 1;; ;;; afollicles remain in the beginning of active reproduction. >f these, all but about 1;; are destined for atresia during oman@s reproductive life. So, AA.AAJ of the ovarian follicle present at birth ill undergo atresia.

In ovary, by eliminating the cell death gene Ba3 in mice, researchers have e3tended the life span of the animal@s ovary into old age. !or every cell, there is a time to live and a time to die. #o ever, in hat ays the cells shall dieM It as apparently through* a. (illed by injurious, and b. Induced to commit suicide. They are also responsible for a cell commit suicide.

&poptosis phenomenon &poptosisis is a normal feature of the differentiation anf maturation of an organism, and the number of division of all types of cells is precisely controlled. Therefoyre, e dcan think that the rate of gro th is the result of cell proliferation minus cell death. This is the strategy of organism to select certain cells for survival and also is a complementary but

There are t o different mechanisms by hich a cell commits suicide by apoptosis* a. Signals arising ithin the cell, b. Triggered by death activators such as* " tumor necrosis factor alpha )T2!"^+ " Eymphoto3in " !as ligand

The signals arising internal signals are*

ithin the cell or by

'. _cl"4 )B"cell leukemia/lymphoma+ is a protein hich e3press on the membrane of mitochondria. Bcl"4 is bound to a molecule of the protein &paf"' )apoptotic protease activation factor+. 4. %ytochrome % )an en?yme of cellular respiraton is released into cytosol from mitochondria+ G &paf"' bind to molecule %aspase A.

delayed. #o the calcium might act is via the IP., the second messenger hich promotes the release of %aGG from internal stores. &n insider look to apoptosis in ovary. :ecent studies indicate that apoptosis occurs in the ovary during follicular atresia in several animal species, including the rat, pig, chicken, baboon, and rabbit. In line to the objectives of this riting, let us look into the oogenesis in brief* The germ cedlls or oogonia hich undergo mitotic division during development in utero. Three months after conception, the oogonia develop into primaty oocytes, hich begin a first meiotic division by replicating their 92&. The division is not complete until puberty )meiotic arrest+. >nly primary oocyt hich destined for ovulation ill ever complete the first meiotic division to be secondary oocyte is fertili?ed. The other parts of division hich lack of cytoplasma is called polar body. The net result of oogenesis is that each primary oocyte can produce only one ovum. The ovum e3ist in structures kno n as follicle. !ollicle begins as primary follicles, hich surrounded by granulose cells, theca cells and ?ona pellucid. >nly one dominant follicle continous to develop, and other follicle has begun to undergo degenerative called atresia.

The signals or triggered by activators such as T2!, !as ligand. &nd also the initiators of apoptosis include anticancer drugs such as IE"', gro th factors, glucocorticoid, some virals protein, and various other cytokines. In this regard, the characteristics of a normal physiological response to specific suicide signals, or lack of survival signals* &. %hromatin condenses and migrates to nuclear membrane B. Internucleosomal cleavage %. %ytoplasm shrinks rupture 9. Blebbing membrane of ithout membrane and nuclear

plasma

,. %ell contents are package to be engulfed by neighbours !. ,pitopes appears on plasma membrane marking cell as a phagocytic target. Signals for apoptosis, on the other hand promote the action of specific calcium and magnesium dependent endonuclease that cleavages the double stranded 92& at linker regions bet een nucleosomes. Sustained increases in intracellular free calcium precedes apoptosis, in other ord if the amount of free calcium can be reduced, the onset of apoptosis can be

Thus, it appears that follicle atresia is one e3ample of apoptosis or program cell death in oogenesis and follicle gro th.

In case of ovary, the apoptosis occurred in*

a.!emale germ cells, oogonia and oocyte during fetal development b.granulosa cells, follicular atresia during reproduction period

follicles e3press less cytochrome P1-; '=^"hydro3ylase )P1-; c'=+, P1-; scc, P1-; arom, m:2& than healthy follicles. &nd E# increased may decrease apoptosis and e3pression of !as gene.

The only one follicle hich has been selected for ovulation, hile others undergoes atresia. The initiation of apoptosis is in granulose cells,, hich has been documented by both morphological and biochemical criteria. In this relation, the !S# and E# are endocrine factors responsible for inhibiting apoptosis in granulose cells of developing follicles. &nd for the sake or paracrine factors hich are responsible for apoptosis is progesterone for activating apoptosis, hile estrogen, gro th hormone )0#+ via insulin like gro th factor"I )IE0!"I+ for inhibiting apoptosis. The other hormone hich prevent the apoptosis is gonadotropin and induction by androgen and 0n:#.

&t last, the ovary has proven to be an e3cellent model to study the role of cell death genes in a physiological setting of endocrine"reguulated apoptosis.

So, the meaning of apoptosis* The inhibition of apoptosis may contribute to disease, and a high rate of apoptosis probably contributes to degenerative disease such as osteoporosis. In other meaning, that is mutation in the p-. gene, producing a defective protein, for e3ample in cancer cells.

Path ays of apoptosis in normal ovary is regulated in all p-. and Bcl"4 family of genes. These genes play a role, activating either as inhibitor or promotes of apoptosis. &long ith apoptosis mechanism, the follicular atresia is kno n to occur by apoptosis, but the molecular triggers for these process are not understand. %urrently, it has been hypothesi?ed that the !as antigen is a potential role as a transmembrane receptors hich triggers apoptosis. The !as antigen share homology ith a family receptors including T2! receptor, 20! receptor.

&poptosis is an attribute as needed for proper development as mitosis and also is needed to destroy cells that represent a threat to integrity of organism.

%onclusions* '. &poptosis is the strategy of organism to select certain cells to survival 4. It is hypothesi?ed occurred as result of a genetic program activated by developmental and environmental stimuli. .. %ontrol of apoptosis through signals path ay and the genes. 1. 9eath signals are integrated by specific intracellular, modulated and targeted activate a cascade of cycteine protease called %aspase.

&tretic follicles have increased 92& fragmentation and e3pression of !as gene resulting in apoptosis in rats and humans, and these may be used to detect apoptosis in atretic Bovine follicles. &lso atretic

-. The stages of apoptosis may be considered as initiation, genetic regulation, and effector mechanism. <. Eess than 'J of the follicles present in the ovary are destined to ovulate, hile the majority become atretic. =. The non"selected follicle is terminated by the process of atresia. F. 0ranulosa cells are lost by apoptosis at the onset of follicular atresia.

reproductive tract. >bstet. 0ynecol Surv. 5ay, -')-+*.41"4.. S?alai 0, (rishnamurthy :, #ajnoc?ky )'AAA+. &poptosis driven by IP.` linmked mithochondrial calcium signals. ,5B> /ournal, 'FF*<.1A".'. Tilly /E, Tilly (E, Pere? 0I )'AA=+. The genes of 3cell death and cellular susceptibility to apoptosis in the ovary* a hypothesis. Biol :eprod. 'AA=C 1* 'F;" 'F=. Kander & Sherman /,, Euciano 9 )4;;'+. #omeostatic mechanisms anad cellular communication. In* #uman physiology. The mechanisms of body function. 5c0ra "#ill Inc, 2e Iork, 2I.

:eferences &dams 0P )'AA4+. :ole of E# pulse fre$uency and P1 in the gro th and function of Bovine ovarian follicles. / :eprod !ert, A1*'==. %ooper 05 )'AA=+. The %ell. & molecular approach. &S5 Press, Dashington 9%. !uller 05, Shields 9 )'AAF+. 5olecular basis of medical cell biology. !irst ed. & Eange medical book. Prentice #all, Intl, Stanford, %onnectitut. Eodis # et al )'AA-+. 5ollecular cell biology, .rd ed. Scientific &merican Book, 2e Iork, 2I. 5c%all (, Steller # )'AA=+. !acing death in the fly* genetic analysis of apoptosis in drosophila. Trends in 0eneticsC '.*444` 44<. Palumbo &, Ieh / )'AA1+. In situ locali?ation of apoptosis in the rat ovary during follicular atresia. Biol :eprod. 'AA1C -'* F"A-. Peter 5,, #eufelder &,, #engartner 5> )'AA=+. &dvances in apoptosis research. Proc 2atl &cad Sci 6S&, A1* '4=."=. Spencer S/, %ataldo 2&, /affe :B )'AA<+. &poptosis in the human female

POLA PERDARA*AN PERVABINAM /ERDASARKAN *ASIL D G C TA*UN 0??; DI RSU PROF. Dr. RD. KANDOU MANADO $"!jaja In!ra(1an, MaE Rarung, :oel La"1a! Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A's rak Tujuan ) 5engetahui pola perdarahan pervaginam di :S6 Prof. 9r. :9. (andou 5anado tahun 4;;= yang dilakukan 9 U %. Te&5a ) Penelitian dilakukan di Bagian (ebidanan dan (andungan 6niversitas Sam :atulangi / :S6 Prof. 9r. :d. (andou Ran(angan ) 9eskriptif retrospektif. /a1an ) #asil 9 U % pasien perdarahan pervaginam tahun 4;;= yang diperiksa di laboratorium Patologi &natomi !akultas (edokteran 6nsrat. *as"l ) 5ayoritas penderita perdarahan pervaginam yang bukan disebabkan kehamilan dan keganasan serviks uteriC berasal dari kelompok usia T 1; tahun sebesar <=- kasus )=A,<A J+, dengan usia termuda '' tahun dan usia tertua =4 tahun. #asil 9 U % sebagian besar adalah endometrium normal )-.,.. J+, hanya 41,F4 J saja dari seluruh subyek yang memerlukan tindakan kuretase yaitu pada kasus"kasus hiperplasia ) 44,< J +, endometrium fase desidua ) ','' J + dan karsinoma ) ','' J +. Kes"&5ulan ) (asus perdarahan pervaginam di :S6 Prof. 9r. :9. (andou selama periode ' /anuari 4;;= sampai .' 9esember 4;;= berdasarkan hasil pemeriksaan 9 U % terbanyak disebabkan oleh 96B sebanyak -.,.. J , sedangkan keganasan endometrium ditemukan sebanyak ','' J Ka a kun(" ) Perdarahan pervaginam, 9 U %.

RESULTS /ASED ON PATTERN #ag"nal 'lee!"ng D G C PROF OF 0??; IN RSU. Dr. RD. Kan!ou MANADO In!ra(1an $"!jaja, MaE Rarung, :oel La"1a! Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
abstract Purpose* (no ing the pattern of vaginal bleeding in the :S6 Prof. 9r. :9. (andou 5anado in 4;;= that made 9 U %. Place* The study as conducted in the 9epartment >bstetrics and 0ynecology 6niversity of Sam :atulangi / :S6 Prof. 9r. :d. (andou 9raft* 9escriptive retrospective. 5aterials* The 9 U % vaginal bleeding in 4;;= patients e3amined at the laboratory 62S:&T &natomical Pathology !aculty of 5edicine. :esults* The majority of patients ith vaginal bleeding is not due to pregnancy and uterine cervical malignancyC derived from the age groupT 1; years for <=- cases )=A.<AJ+, ith the youngest aged '' years and the oldest =4 years of age. The results of 9 U % is largely normal endometrium )-....J+,

only 41.F4J of all subjects re$uiring curettage in cases of hyperplasia )44.<J+, endometrial decidual phase )'.''J + and carcinoma )'.''J+. %onclusion* The case of vaginal bleeding in the :S6 Prof. 9r. :9. (andou during the period /anuary ', 4;;= until 9ecember .', 4;;= based on the results of 9 U % is caused by 96B ever as much as -....J, hile the malignancy of the endometrium is found as much as '.''J Ke% wor!s) vaginal bleeding, 9 U %.

Pen!a1uluan Perdarahan pervaginam yang sifatnya tidak normal sering dijumpai. Perdarahan tersebut dapat berhubungan dengan siklus haid ataupun tidak. Perdarahan yang didahului oleh haid yang terlambat biasanya disebabkan oleh abortus, kehamilan mola, atau kehamilan ektopik. Dalaupun demikian, kemungkinan perdarahan karena polipus servisis uteri, erosio porsio uteri, dan karsinoma servisis uteri tidak dapat disingkirkan begitu saja tanpa pemeriksaan yang teliti. Perdarahan dalam menopause perlu mendapat perhatian khusus karena gejala ini mempunyai arti klinik yang penting.'"5etroragia merupakan gejala penting karsinoma servisis dan karsinoma korporis uteri. /uga sarkoma uteri yang bertukak dapat menyebabkan perdarahan. Tumor ganas ovarium jarang disertai perdarahan, kecuali kadang"kadang pada tumor sel granulose dan tumor sel teka. Selain oleh tumor ganas, pardarahan pada menopause dapat pula disebabkan oleh kelainan lain, seperti karunkula urethralis, vaginitis/endometrisis senilis, perlukaan vagina karena pemakaian pessarium terlampau lama, polipus servisis uteri, atau erosio porsio uteri. Pemberian estrogen dalam klimakterium dan menopause dapat pula menyebabkan perdarahan abnormal.' 5etroragia dapat terjadi pada usia perimenars, usia reproduksi dan usia perimenopause. Perdarahan terjadi pada pertengahan siklus, tak teratur, sedikit atau sangat banyak. Penyebab perdarahan uterus abnormal dapat dikelompokkan

sebagai organik dan anorganik. Paling sering disebabkan oleh kelainan organik. Sangat jarang ditemukan kelainan endokrinologik.'"Penyebab organik antara lain penyakit traktus reproduksi, penyakit sistemik, akibat pemakaian obat. Penyebab non organik ) perdarahan uterus disfungsional + sulit diukur dan dihubungkan dengan perdarahan uterus abnormal seperti stress fisik dan emosi, perubahan berat badan, diet dan lain"lain.< Perdarahan uterus disfungsional dapat disebabkan karena siklus yang berovulasi maupun yang tidak berovulasi.=,F Pemeriksaan ginekologi yang berhubungan dengan perdarahan abnormal pervaginam terutama memfokuskan pada pemeriksaan endometrium. 5etode standard untuk pemeriksaan endometrium adalah dilatasi dan kuretase ) 9 U % +A,'; 5aksud dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai pola perdarahan pervaginam di :S6 Prof. 9r. :9. (andou berdasarkan hasil 9U% tahun 4;;=.

/A*AN DAN CARA Penelitian ini dilakukan pada anita yang berobat ke I:9> )Instalasi :a at 9arurat >bsgyn+ dan poli ginekologi :S6 Prof. 9r. :9. (andou yang mengalami perdarahan pervaginam dari ' /anuari 4;;= L .' 9esember 4;;=. 9ata diperoleh dari registrasi :S6 Prof. 9r. :9. (andou U hasil 9 U % pasien perdarahan pervaginam tahun 4;;= yang diperiksa di

laboratorium Patologi &natomi !akultas (edokteran 6nsrat.

*ASIL PENELITIAN

Selama periode ' /anuari 4;;= L .' 9esember 4;;=, tercatat F1= kasus perdarahan pervaginam yang bukan disebabkan oleh kehamilan dan keganasan serviks uteri, yang datang di :S6 Prof. 9r. (andou. Terdapat '=< kasus datang ke I:9> dan <=' kasus datang ke poli kandungan.

Tabel '. /umlah pasien perdarahan pervaginam di :S6 Prof. 9r. (andou tahun 4;;= Periksa ke I:9> Poli kandungan /umlah /umlah '=< <=' F1= Prosentase 4;.=FJ =A.44J ';;.;;J sebesar <=- kasus ) =A,<A J +, dengan usia termuda '' tahun dan usia tertua =4 tahun.

5ayoritas penderita perdarahan pervaginam yang bukan disebabkan kehamilan dan keganasan serviks uteri berasal dari kelompok usia T 1; tahun

Tabel 4.9istribusi umur terjadinya perdarahan pervaginam di :S6 Prof. 9r. :d. (andou tahun 4;;= 6mur ';"'A th 4;"4A th .;".A th T 1; th /umlah 4; -' ';' <=F1= Prosentase 4..<J <.;4J ''.A4J =A.<AJ ';;.;;J );,=1 J+ adalah hyperplasia endometrium atipik dan hanya . kasus keganasan )','' J+.

#asil 9 U % yang terbanyak adalah endometrium fase proliferasi sebanyak F< kasus ).',F- J+, -F kasus )4',-F J+ adalah endometrium fase sekresi, 4 kasus

Tabel .. #asil 9 U % di :S6 Prof. 9r. :d. (andou tahun 4;;= 2o #asil /umlah Prosentase

' 4 . 1 < = F A

&deno %a ,ndometrium fase proliferasi ,ndometrium fase sekresi ,ndometrium atrofi #iperplasi glandular kistik ,ndometrium fase desidua ,ndoservisitis #ormonal imbalance #iperplasia endometrium atipikal Total

. F< -F 4. -A . < .; 4 4=;

'.''J .'.F-J 4'.1FJ F.-4J 4'.F-J '.''J 4.44J ''.''J ;.=1J ';;.;;J transvaginal. #asil histopatologi endometrium normal tampak tinggi pada beberapa kelompok usia, sebetulnya tindakan kuretase harus betul"betul dilakukan secara selektif mengingat prosentase hasil abnormal kecil pada kelompok usia muda. Perdarahan pervaginam pada gambaran 9 U % normal terdapat pada penyebab anorganik ) 96B +. 96B dapat terjadi pada siklus yang ovulatoar maupun anovulatoar. Perdarahan pervaginam dapat pula diakibatkan oleh gangguan keseimbangan hormonal, yang pada penelitian ini didapatkan sebanyak '','' J. Tanriverdi dkk di Turki melakukan penelitian terhadap '4= anita dengan perdarahan pervaginam yang dilakukan dilatasi dan kuretase mendapatkan F< kasus normal )<=,=' J+, - kasus hiperplasia ) .,A1 J +, '. kasus endometrium atrofi ) ';,41 J +,'; kasus endometritis ) =,F= J + dan '. kasus tidak dapat didiagnosis akibat sediaan yang tidak adekuat ) ';,41 J +.A 5u?affar dkk di Pakistan melakukan penelitian terhadap 4<; anita dengan perdarahan pervaginam yang dilakukan dilatasi dan kuretase mendapatkan 41,= J

D"skus" 9iagnosis histopatologi terbanyak dari kuretase endometrium adalah hyperplasia glandular kistik ) 4',F- J +. 2amun bagian terbesar dari hasil dilatasi dan kuretase menunjukkan endometrium tanpa kelainan nyata ) normal + sebanyak -.,.. J. ,ndometrium normal dapat merupakan endometrium fase proliferasi ) .',F- J + dan endometrium fase sekresi ) 4',1F J +. Terdapat < sediaan ) 4,44 J + dengan hasil histopatologik bukan kelainan endometrium misalnya endoservisitis. 9ari tabel . dapat dilihat bah a sebagian besar hasil kuretase adalah endometrium normal, sisanya sebetulnya hanya 41,F4 J saja dari seluruh subyek yang memerlukan tindakan kuretase yaitu pada kasus"kasus hiperplasia ) 44,< J +, endometrium fase desidua ) ','' J + dan karsinoma ) ','' J +. 9ata tersebut menunjukkan perlunya suatu upaya diagnostik lain untuk dapat menentukan kasus yang betul"betul memerlukan tindakan kuretase. Beberapa upaya diagnostik yang diperlukan disamping anamnesis dan pemeriksaan klinis yang cermat adalah pemeriksaan B h%0 urine dan pemeriksaan ultrasonografi

kasus hiperplasia, '. J kasus chronic non spesifik endometritis, ',4 J kasus polip endometrium, ;,F J kasus endometrium atrofi dan keganasan endometrium sebanyak ;,1 J kasus.'; 9ari studi ini disimpulkan perlunya evaluasi medis yang seksama sebelum dilakukan tindakan yang invasive. Pada pasien yang muda, penyebab perdarahan pervaginam terutama adalah siklus anovulasi. Sedangkan pada usia pertengahan, perdarahan pervaginam terutama diakibatkan oleh kadar estrogen tinggi akibat pemakaian #ormon :eplacement Therapy )#:T+ dan akibat suntikan kontrasepsi hormonal. !aktor stress psikologi juga berpengaruh. Selain akibat 96B, beberapa sebab organik menyebabkan kelainan haid.';

Principles for Practice. 'st ed. 2e Iork * 5c 0ra "#ill 5edical Publishing 9ivision. 4;;'* A=-"A'. 1. 5emar?adeh S, Broder 5S, De3ler &S, et al. Benign disorders of the uterine corpus. In * 9e%herney &#, 2athan E. %urrent >bstetric U 0ynecologic 9iagnosis U Treatment. Ath ed. India * 5c 0ra "#ill %ompanies. 4;;.* <A."AA. -. Ba?iad &. 0angguan #aid. 9alam * ,ndokrinologi ginekologi. ,disi ke"4. /akarta * 5edia &esculapius !( 6I * 4;;. * 4<"... <. Nipper :, Dallach ,,. &bnormal 6terine Bleeding. In * Eambrou 2%, 5orse &2, Dallach ,,. The /ohns #opkins 5anual of 0ynecology and >bstetrics. 'st ed. Philadelphia * Eippincott Dilliams U Dillkins. 'AAA* .;A"'<. =. Dilliams &/, Po ell DE, %ollins T, 5orton %%. #50I)I+ e3pression in human uterine leiomyoma. Involvement of another high"mobility group architectural factor in a benign neoplasm. &m / Pathol 'AA=C '-; * A''"'F. F. Speroff E, !rit? 5&. The uterus. In * %linical 0ynecologic endocrinology and infertility. =th ed. Philadelphia * Eippincott Dilliams U ilkins. 4;;-* '.<"1;. A. Tanriverdi #&, Barut &, 0an B9, et al. Pipelle biopsy really ade$uate for diagnosing endometrial disease. &t http*// .medscimonit.com.htm. :etrieved from the eb in 5ay 4;;F ';. 5u?affar 5, &khtar (&(, Iasmin S et.al. 5enstrual irregularities ith e3cessive blood loss * a clinico L pathological correlates. /P5& 4;;-C -- * 1F<.

KESIMPULAN (asus perdarahan pervaginam di :S6 Prof. 9r. :9. (andou selama periode ' /anuari 4;;= sampai .' 9esember 4;;= berdasarkan hasil pemeriksaan 9 U % tahun 4;;=, terbanyak disebabkan oleh 96B sebanyak -.,.. J , sedangkan keganasan endometrium ditemukan sebanyak ','' J DAFTAR PUSTAKA '. #udono ST, #andaya, #adisaputra D . Pemeriksaan ginekologik. 9alam * Diknjosastro #, Saifuddin &B, :achimhadhi T. Ilmu kandungan ,disi ke"4. /akarta * Iayasan BP SP * 'AAA * '.1. 4. #illard P/&. Benign diseases of female reproductive tract. In * Berek /S, &dashi ,I, editors. 2ovak@s 0ynecology. '4th ed. Baltimore* Eippincott Dilliams U Dilkins. 4;;4* .=;"=.. .. Stanford ,/. &bnormal and 9ysfunctional 6terine Bleeding. In * Eing !D, 9uff P. >bstetric U 0ynecology *

POLYMERASE C*AIN REACTION T" "ek Sunar%a " Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A's rak :eal"time P%:, disingkat :T P%:, adalah alat yang umum untuk mendeteksi dan menghitung ekspresi profil dari gen"gen tertentu. P%: biasanya digunakan untuk menggandakan lokasi spesifik dari suatu rantai 92& )92& tujuan+. Terdapat tiga teknik blotting yang berbeda seperti* Southern lot! northern lot! "an #estern
lot$ Southern lot untu% men"ete%si DNA! northern lot untu% men"ete%si

&RNA (#e&&en+er ri("n*c$eic acid) dan 9e&tern ($"t *nt*5 #endete5&i 2r"tein.

POLYMERASE C*AIN REACTION T" "ek Sunar%a " Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A's ra( :eal"time P%:, hereafter abbreviated :T P%:, is becoming a common tool for detecting and $uantifying e3pression profiles of selected genes. P%: is used to amplify a specific region of a 92& strand )the 92& target+. There are three "ifferent
lotting techni&ues' Southern lot! northern lot an" #estern lot$ The Southern lot "etects DNA! the northern lot "etects &RNA (#e&&en+er ri("n*c$eic acid) and t3e 9e&tern ($"t detect& 2r"tein&.

In ro!u( "on The invention of polymerase chain reaction )P%:+ by (ary 5ullis in 'AF1 as considered as a revolution in science. :eal"time P%:, hereafter abbreviated :T P%:, is becoming a common tool for detecting and $uantifying e3pression profiles of selected genes. The technology

to detect P%: products in real"time, i.e., during the reaction, has been available for the past '; years, but has seen a dramatic increase in use over the past 4 years. & search using the key ord real"time and P%: yielded = publications in 'AA-, .-= in 4;;;, and 44A' and 1.AF publications in 4;;. and 4;;-, respectively. &t the time of this riting, there ere ..'<

publications in 4;;<. The over helming majority of the current publications in the field of the genomics have been dealing ith the various aspects of the application of methods in medicine, ith the search for ne techni$ues providing higher preciosity rates and ith the elucidation of the principal biochemical and biophysical processes underlying the phenotypic e3pression of cell regulation. Series of :T P%: machines have also been developed for routine analysis )9eepak, 4;;=+. P%: is used to amplify a specific region of a 92& strand )the 92& target+. 5ost P%: methods typically amplify 92& fragments of up to b'; kilo base pairs )kb+, although some techni$ues allo for amplification of fragments up to 1; kb in si?e )%heng, 'AA1+. & basic P%: set up re$uires several components and reagents. These components include*
92& template that contains the 92&

but 5n4G can be utili?ed for P%:" mediated 92& mutagenesis, as higher 5n4G concentration increases the error rate during 92& synthesis.
5onovalent

cation potassium ions

)/oseph, 4;;'+. Pro(e!ure The P%: usually consists of a series of 4; to 1; repeated temperature changes called cyclesC each cycle typically consists of 4". discrete temperature steps. 5ost commonly P%: is carried out ith cycles that have three temperature steps. The cycling is often preceded by a single temperature step )called hold+ at a high temperature )TA;c%+, and follo ed by one hold at the end for final product e3tension or brief storage. The temperatures used and the length of time they are applied in each cycle depend on a variety of parameters. These include the en?yme used for 92& synthesis, the concentration of divalent ions and d2TPs in the reaction, and the melting temperature )Tm+ of the primers. Initiali?ation step* This step consists of heating the reaction to a temperature of A1"A<c% )or AFc% if e3tremely thermostable polymerases are used+, hich is held for '"A minutes. It is only re$uired for 92& polymerases that re$uire heat activation by hot"start P%:.
9enaturation step* This step is the first

region )target+ to be amplified. T o primers that are complementary to the .H )three prime+ ends of each of the sense and anti"sense strand of the 92& target.
Ta$ polymerase

or another 92& polymerase ith a temperature optimum at around =; c%.


9eo3ynucleoside

triphosphates )d2TPsC also very commonly and erroneously called deo3ynucleotide triphosphates+, the building blocks from hich the 92& polymerases synthesi?es a ne 92& strand.
Buffer solution, providing a suitable

chemical environment for optimum activity and stability of the 92& polymerase.
9ivalent

regular cycling event and consists of heating the reaction to A1"AFc% for 4;".; seconds. It causes melting of 92& template and primers by disrupting the hydrogen bonds bet een complementary bases of the 92& strands, yielding single strands of 92&.
&nnealing

cations, magnesium or manganese ionsC generally 5g4G is used,

step* The reaction temperature is lo ered to -;"<-c% for 4;" 1; seconds allo ing annealing of the primers to the single"stranded 92&

template. Typically the annealing temperature is about ."- degrees %elsius belo the Tm of the primers used. Stable 92&"92& hydrogen bonds are only formed hen the primer se$uence very closely matches the template se$uence. The polymerase binds to the primer" template hybrid and begins 92& synthesis.
,3tension/elongation

T1e wa% o !e e( PCR resul s


There are three "ifferent lotting techni&ues' Southern lot! northern lot an" #estern lot$ The Southern lot "etects DNA! the northern lot "etects &RNA (#e&&en+er ri("n*c$eic acid) and t3e 9e&tern ($"t detect& 2r"tein&.

step* The temperature at this step depends on the 92& polymerase usedC Ta$ polymerase has its optimum activity temperature at =-"F;c%, and commonly a temperature of =4c% is used ith this en?yme. &t this step the 92& polymerase synthesi?es a ne 92& strand complementary to the 92& template strand by adding d2TPs that are complementary to the template in -H to .H direction, condensing the -H" phosphate group of the d2TPs ith the .H" hydro3yl group at the end of the nascent )e3tending+ 92& strand. The e3tension time depends both on the 92& polymerase used and on the length of the 92& fragment to be amplified. &s a rule" of"thumb, at its optimum temperature, the 92& polymerase ill polymeri?e a thousand bases per minute. 6nder optimum conditions, i.e., if there are no limitations due to limiting substrates or reagents, at each e3tension step, the amount of 92& target is doubled, leading to e3ponential )geometric+ amplification of the specific 92& fragment.
!inal elongation* This single step is

The blotting techni$ues are often used to detect genetic abnormalities ) hen
blotted for 92&+, as ell as certain infectious diseases ) hen blotted for protein+.

a.T1e Sou 1ern /lo The Southern blot is used to detect and identify certain 92& se$uences in a sample of bodily fluid. It uses single" stranded 92&s to search out their complementary strands.
Dhen a Southern blot is performed on 92&, the first step is to incubate the 92& ith restriction en?ymes. :estriction en?ymes cut 92& at kno n se$uences, and produces 92& fragments of a certain length. >nce the 92& is cut into pieces, scientists conduct electrophoresis to separate them by si?e.

Then, since the 92& in the gel is double"stranded, it is separated into single strands. The single"stranded 92&s are then transferred to a special piece of paper since a labelled probe cannot reach them
inside the gel )too thick+. The transfer is e3act and does not disturb the location and grouping of the 92&s from gel to paper. This is called Vblotting.V

occasionally performed at a temperature of =;"=1c% for -"'- minutes after the last P%: cycle to ensure that any remaining single"stranded 92& is fully e3tended )%hien, 'A=<+.

The location is important because scientists kno hat a certain 92& se$uence profile should look like. Since there are usually many fragments on a blot, labelled probes are used to flag the different pieces of 92&. If the specific labelled probe meets a complementary

pair on the paper blot, it ill bond to it. Eater, a method called autoradiography is
used to read the location of the attachment. Since the identity of the labelled probe is already kno n, the identity of the 92& from the sample ill also be kno n.

'.T1e Nor 1ern /lo


The only difference bet een a Southern blot and a northern blot is that the northern blot uses m:2& from samples instead of 92&. So instead of applying gel electrophoresis to 92&, northern blot applies it to m:2&, and since m:2& is naturally single"stranded, there is no need to separate the strands as in a Southern blot.

(.T1e $es ern /lo The estern blot is used to detect different proteins. 0el electrophoresis is applied to the specific proteins. This separates them by si?e and just like in the other blots, the result is blotted onto a special paper. The rest of the steps follo the method for an ,EIS& )Bro n, 4;;'+. PCR sa&5le "n 5a 1olog% There are three P%: sample in pathology* '.!resh tissue :earrangement of the B%E"4 gene is the molecular conse$uence of the t)'1C'F+ chromosomal translocation, hich is found in appro3imately <;"A;J of follicular lymphomas. To investigate the ability of the polymerase chain reaction )P%:+ to detect this rearrangement in fi3ed"tissue samples, e studied 1F cases of follicular lymphoma using 92& e3tracted from paired samples of fresh" fro?en tissue and formalin"fi3ed, paraffin" embedded tissue. & standard phenol" chloroform 92& e3traction method as used for both types of tissue. :earrangements of the major breakpoint region )5B:+ and minor cluster se$uence

)5%S+ ere e3amined. Three segments of the human beta"globin gene ere also amplified to estimate the degree of 92& degradation in the fi3ed"tissue samples. P%: of fresh"tissue )intact+ 92& revealed amplifiable products in 4A of the 1F follicular lymphomas )<;J+, hereas the fi3ed"tissue )degraded+ 92& studies ere positive in 41 )-;J+. 5B: products ere detected in 41 fresh"tissue samples, and varied from F; bp to T '.- kb. T enty of these cases yielded 5B: products in the corresponding fi3ed"tissue 92&, ranging from F; to 4=< bp. !ive fresh"tissue and four fi3ed"tissue samples produced 5%S segments that ranged from .1; bp to '.4 kb. !our of the five samples ith no detectable 5B: or 5%S translocations using degraded 92& had products greater than '.; kb in the fresh"tissue studies. & '=-"bp segment of the beta"globin gene as amplified in all 4A fi3ed"tissue samplesC a .41 bp fragment as produced in 4; samples )<AJ+, and a <=< bp segment as detected in '. )1-J+ )Eiu, 'AA.+. 4. Paraffin block >ne of the most active research areas in molecular pathology is retrospective studies on archival tissue samples. #o ever, isolating high"$uality genomic 92& from formalin"fi3ed, paraffin" embedded tissue can be difficult because only minimal amounts of intact 92& may be present in the sample.' Because of this, analysis of the recovered 92& is generally limited to P%:, and amplification of small target se$uences ).;; bp or less+ is most successful. The 5asterPured %omplete 92& and :2& Purification (it as designed to isolate 92& and :2& from a variety of sources, including samples containing small amounts of nucleic acid. #ere, e provide a protocol for isolating P%:" ready 92& from paraffin"embedded tissue using the 5asterPure %omplete (it.

De isolate genomic 92& from a biopsy specimen and sho that the 92& is suitable as a template for P%: by amplifying a region of the !actor K gene. 5ethods and :esults 92& isolation from breast cancer tissue paraffin sections The protocol for treatment of formalin" fi3ed, paraffin"embedded tissue samples prior to purification using the 5asterPure %omplete 92& and :2& Purification (it is summari?ed in Table '. The isolation of genomic 92& from a breast cancer tissue section as performed follo ing these guidelines. Specifically, 92& as isolated from ;.;4 g of .- em thick paraffin"embedded samples. )Thin paraffin sections allo the best recovery and $uickest e3traction times+. !ive milliliters of 3ylene ere added to the tissue and the sample as incubated for

'; minutes to e3tract the paraffin. The 3ylene as poured off and the e3traction as repeated. !ive milliliters of ';;J ethanol ere then added and the sample as incubated for '; minutes. The ethanol as decanted and the ethanol e3traction as repeated. The last traces of ethanol ere removed by aspiration and the tissue as resuspended in .;; el of Tissue and %ell Eysis Buffer ' containing ' el of -; mg/ml Proteinase (. The sample as incubated at .=c% for .; minutes. The sample as then treated ith '-; el of Protein Precipitation :eagent, mi3ed by vorte3ing, and centrifuged for '; minutes in a microcentrifuge. The 92&" containing supernatant as transferred to a clean microcentrifuge tube and -;; el of isopropanol ere added. The tube as inverted .; times and then centrifuged for '; minutes at 1c% in a microcentrifuge. The nucleic acid pellet as then ashed t ice ith =;J ethanol and resuspended in -; el of T, buffer.

Table '. Protocol for the ,3traction of 92& from Paraffin",mbedded Tissue. '. Deigh out ;.;'";.;- g of a .- em thick paraffin section. 4. &dd '"- ml of 3ylene or #emo"9 )!isher Scientific+ to the paraffin section and incubate for '; minutes at room temperature to e3tract the paraffin. Pour off the 3ylene or #emo"9. .. 1. -. <. :epeat step 4. &dd '"- ml of ';;J ethanol and incubate for '; minutes. Pour off the ethanol. :epeat step 1. :emove the last traces of ethanol by aspiration.

=. %ontinue ith the 5asterPure %omplete protocol 4 for nucleic acid recovery. )2ote* the standard protocol re$uires only a '-"minute incubation of the sample ith Tissue and %ell Eysis Buffer, hereas a .;"minute to 'F"hour incubation is re$uired for paraffin" embedded tissue samples )5asterpure+. !actor K amplification using the isolated 92& >ne microliter of the human genomic 92& sample )4J of the total isolated+ as used to amplify a 4<= bp region of

the !actor K gene. The se$uences of the primers used ere* -H" T0TT&T%&%T00T0%T&&".H and -H" T0%%%&&0T0%TT&&%&&0&%%&".H. The -; el reaction contained 'S 5aster&mpd P%: >ptimi?ation (it Pre5i3 B )'S P%: buffer, 4.- m5 5g%l4, 4;; e5 each d2TP+ ),picentre+, -; pmoles of each !actor K primer, '.4units of 5aster&mp &mpliThermd 92& Polymerase ),picentre+, and ' el of the genomic 92& template. !orty cycles of amplification ere performed ith the follo ing profile* A1c% for .; seconds, --c% for .; seconds, and =4c% for 1seconds. !ive microliters of the sample ere separated on a 4J agarose gel and the gel as stained ith ethidium bromide. !igure ' sho s that the 4<= bp fragment as easily amplified )Shimi?u, 'AA-+. ..5icrodissected tissue section

Tissue sections need to be revie ed and annotated prior to microdissection to histologically identify the desired cells for microdissection. Therefore, an evaluation of the tissue samples by a pathologist or a scientist trained in histologic cell identification of fro?en tissues is needed before, during and after microdissection. &lso of importance is the orientation of the specimen in the tissue block. This is particularly important so that the cells of interest are ade$uately represented on the slide. Pathology slide revie includes the evaluation of the tissue integrity, histopathology, determination of the ade$uacy of the sample for microdissection based on the amount of the target cell population, and annotation of the target cells on the slide. The pathologist also can give advice on the staining procedure that ill help to better identify the cells of interest under the microscope during dissection.

The goals of histopathology consideration before proceeding ith tissue microdissection are* '+ to evaluate the total amount of tissue and the amount of the target cells in the tissue section present in the block, 4+ to study the histopathology of the tissue specimen and identify the target cells, and .+ to plan the microdissection for each specimen, taking in account the heterogeneity of tissue samples. &l ays make a regular #U, slide for histopathologic analysis before proceeding ith tissue microdissection. Traditional #U, staining )using longer times in each solution than #U, for E%5+ and cover slipping of sections ', -, and '; for histopathologic analysis are recommended prior to beginning the study. These sections ill serve as a permanent record of tissue specimen status and sho histologic changes that occur in the deeper sections. &l ays label the slides ith the tissue block identification label, the number of the recut )e.g. ', 4, ., etc.+, and the date the section as cut from the tissue block. If you are unsure of the tissue histology represented in the traditional #U,s, consult ith a pathologist to revie the slides to accomplish the general goals listed above.

(eep the traditional #U,s used for histopathologic assessment ith you hen performing the tissue microdissection. These slides ill help in identifying the cells of interest in the tissue section being used for microdissection. Both slides can be compared side by side. >nly dissect cells that can be clearly identified. If there is any doubt, do not dissect it ithout consulting ith a pathologist )#eidi, 4;;A+.

PCR@"n s" u +or *"s o5a olog% The use of in situ :T"P%: to e3amine gene e3pression in disease tissues has certain advantages over more established hybridisation, P%: amplification or antibody"based techni$ues. &s ith immunohistochemistry, detection of gene e3pression is at the level of individual cells, but hereas polyclonal antibody production by immunisation may take 1 months or longer, and re$uire e3tensive optimisation, it is relatively easy to characterise and optimise oligonucleotide primers hich have considerably less chemical comple3ity and therefore, inherently more predictable properties. 5oreover, hile cross"reactivity is a fre$uent problem hen selecting antibodies for protein detection, it is a simple matter to select P%: primers that are specific to a single member of a gene family, or even a particular splice variant of that gene )#eid, 'AA<+. De have successfully applied in situ :T"P%: to ' mm paraffin"embedded tissue section arrays in order to determine hich cells ithin a cancer are responsible for gene over"e3pression observed in :2& e3tracts. & number of technical manipulations ere incorporated into the in situ protocol to ensure specificity and fidelity, and these transferred readily to the micro"array format. To our kno ledge, this is the first time this procedure has been applied simultaneously to multiple samples in a microarray format. & 92&se digestion step is commonly used in :T"P%: amplification in order to reduce the risk of spurious amplification of genomic 92&. This can also be carried out on tissue sections but the e3tensive incubation time re$uired )up to '< hr+ means that considerable tissue autolysis

occurs, damaging tissue structure and making post"P%: identification of cells difficult. In our protocol, the 92&se digestion step as omitted so as to better preserve tissue structure. 5odifications to e3perimental design ere employed to prevent amplification of genomic 92&. &lthough other approaches have been taken to obviate nuclease pre"treatment, e employed more conventional means. !irstly, primers ere designed to amplify across t o different e3ons, so that the amplified fragment from reverse transcribed, fully spliced m:2& ould be small ).;; bp+, hilst the distance bet een the same primer sites in genomic 92& as over .-;; bp. Secondly, the number of P%: cycles and the duration of the polymerisation step ere minimised so that any priming from genomic 92& ould fail to achieve chain"reaction amplification. These strategies had a number of other beneficial effects* the P%: cycle number as kept ith the linear range of amplification established by real"time $uantitative :T"P%:, giving a more $uantitative representation of the m:2& remaining in each cell, and avoiding significant synthesis of non" specific artifacts. 9iffusion of reaction products a ay from the site of synthesis, another problem associated ith in situ P%:, as reduced by this rapid procedure and e3posure of the tissue sections to destructive conditions as also minimised, ith the result that post" amplification staining revealed a high degree of preservation of tissue architecture and cellular features. & conse$uence of using lo P%: cycle numbers is that the degree of amplification ill be limited, ith implications for detection of the P%: product. Standard pero3idase"linked antibody detection is insufficiently sensitive. %hemiluminescent or

fluorescent detection reagents could be used instead to amplify the signal, but these ould re$uire specialised image detection systems and ould rapidly diffuse a ay from the point of detection. Immunogold labelling follo ed by silver nucleation produced solid particles visible by light microscopy at magnifications suitable for visualising tissue and cellular features. This enabled simultaneous imaging of P%: products and hemato3ylin"stained tissue details. The silver particles ere bound to P%: products via anti"digo3ygenin antibodies, and proved resistant to diffusion, remaining in the same cellular localisation as the original m:2&. & persistent problem ith the in situ P%: procedure has been inconsistency of results. 9edicated instrumentation has been designed ith the aim of controlling conditions on a microscope slide, and some machines accommodate four or more slides to increase throughput and lo er e3perimental variability. #o ever, variation in the $uality of paraffin" embedded tissue sections, and the number of steps involved in in situ P%: and the time taken to ac$uire data on significant numbers of samples affect the reproducibility of the techni$ue. De found that a single, standard in situ P%: coverslip covered up to seventy ' mm sections on a %linomics tissue microarray, enabling simultaneous amplification of reverse transcribed :2& in each section under selected conditions. &lthough small tissue sections are more likely to become dislodged during the process of de" a3ing and amplification, the use of poly"E" lysine coated slides decreased these losses and the cancer tissues e3amined ere intrinsically more adherent due to their high cellularity. Thus a significant number of tissue samples could be analysed per single e3periment. This approach substantially addresses the problem of slide"to"slide variability by subjecting large numbers of samples to

identical e3perimental conditions. In addition, our technical modifications minimised tissue damage during preparation and amplification, preserving useful information on cellular morphology )Staecker, 'AA1+. REVERSE TRANSCRIPTASE 3RT4@ PCR :everse transcription polymerase chain reaction ):T"P%:+ is a variant of polymerase chain reaction )P%:+, a laboratory techni$ue commonly used in molecular biology to generate many copies of a 92& se$uence, a process termed VamplificationV. In :T"P%:, ho ever, an :2& strand is first reverse transcribed into its 92& complement )complementary ()A, or c()A+ using the en?yme reverse transcriptase, and the resulting c92& is amplified using traditional or real"time P%:. :everse transcription P%: is not to be confused ith real"time polymerase chain reaction )O"P%:/$:T"P%:+, hich is also sometimes )incorrectly+ abbreviated as :T"P%:. :T"P%: utili?es a pair of primers, hich are complementary to a defined se$uence on each of the t o strands of the c92&. These primers are then e3tended by a 92& polymerase and a copy of the strand is made after each cycle, leading to logarithmic amplification. :T"P%: includes three major steps. The first step is the reverse transcription ):T+ here :2& is reverse transcribed to c92& using a reverse transcriptase and primers. This step is very important in order to allo the performance of P%: since 92& polymerase can act only on 92& templates. The :T step can be performed either in the same tube ith P%: )one"step P%:+ or in a separate one )t o"step P%:+ using a temperature bet een 1;c% and -;c%, depending on the properties of the reverse transcriptase used )Bustin, 4;;;+.

The ne3t step involves the denaturation of the ds92& at A-c%, so that the t o strands separate and the primers can bind again at lo er temperatures and begin a ne chain reaction. Then, the temperature is decreased until it reaches the annealing temperature hich can vary depending on the set of primers used, their concentration, the probe and its concentration )if used+, and the cations concentration. The main consideration, of course, hen choosing the optimal annealing temperature is the melting temperature )Tm+ of the primers and probes )if used+. The annealing temperature chosen for a P%: depends directly on length and composition of the primers. This is the result of the difference of hydrogen bonds bet een &" T )4 bonds+ and 0"% ). bonds+. &n annealing temperature about - degrees belo the lo est Tm of the pair of primers is usually used. The final step of P%: amplification is the 92& e3tension from the primers hich is done by the thermostable Ta$ 92& polymerase usually at =4c%, hich is the optimal temperature for the polymerase to ork. The length of the incubation at each temperature, the temperature alterations and the number of cycles are controlled by a programmable thermal cycler. The analysis of the P%: products depends on the type of P%: applied. If a conventional P%: is used, the P%: product is detected using agarose gel electrophoresis and ethidium bromide )or other nucleic acid staining+. %onventional :T"P%: is a time" consuming techni$ue ith important limitations hen compared to real time P%: techni$ues. This, combined ith the fact that ethidium bromide has lo sensitivity, yields results that are not al ays reliable. 5oreover, there is an increased cross"contamination risk of the samples since detection of the P%: product re$uires the post"amplification

processing of the samples. !urthermore, the specificity of the assay is mainly determined by the primers, hich can give false"positive results. #o ever, the most important issue concerning conventional :T"P%: is the fact that it is a semi or even a lo $uantitative techni$ue, here the amplicon can be visualised only after the amplification ends. :eal time :T"P%: provides a method here the amplicons can be visualised as the amplification progresses using a fluorescent reporter molecule. There are three major kinds of fluorescent reporters used in real time :T"P%:, general non specific 92& Binding 9yes such as SIB: 0reen I, Ta$5an Probes and 5olecular Beacons )including Scorpions+. The real time P%: thermal cycler has a fluorescence detection threshold, belo hich it cannot discriminate the difference bet een amplification generated signal and background noise. >n the other hand, the fluorescence increases as the amplification progresses and the instrument performs data ac$uisition during the annealing step of each cycle. The number of amplicons ill reach the detection baseline after a specific cycle, hich depends on the initial concentration of the target 92& se$uence. The cycle at hich the instrument can discriminate the amplification generated fluorescence from the background noise is called the threshold cycle )%t+. The higher the initial 92& concentration, the lo er its %t ill be )Innis, 'AA;+. HUANTITATIVE 3HT4@PCR O"P%: used to measure the $uantity of a P%: product )commonly in real"time+. It $uantitatively measures starting amounts of 92&, c92& or :2&. O"P%: is commonly used to determine hether a 92& se$uence is present in a sample and

the number of its copies in the sample. Ouantitative real"time P%: has a very high degree of precision. O:T"P%: methods use fluorescent dyes, such as Sybr 0reen, ,va0reen or fluorophore" containing 92& probes, such as Ta$5an, to measure the amount of amplified product in real time. It is also sometimes abbreviated to :T"P%: ):eal Time P%:+ or :O"P%:. O:T"P%: or :TO"P%: are more appropriate contractions, since :T" P%: commonly refers to reverse transcription P%: )see belo +, often used in conjunction ith O"P%: )#eid, 'AA<+. Con(lus"on :T P%: is becoming a common tool for detecting and $uantifying e3pression profiles of desired genes. The revie itself indicates that the technology to detect P%: products in real"time, i.e., during the reaction, has seen a dramatic leap in use and application over the past couple of years. The :T P%: allo s $uantitative genotyping and detection of single nucleotide polymorphisms and allelic discrimination as ell as genetic variation. &pplication of :T P%: combined ith other molecular techni$ues made possible the monitoring of both therapeutic intervention and individual responses to drugs. :T P%: is a valuable methodic tool in clarifying such problems. The needs in clinical application of molecular methods initiated important developments in diagnostics stimulating progress in other branches of science. The introduction of these ne methods in other fields of human practices induced rapid e3pansion of molecular approaches. REFERENCES Bro n T.&. 4;;'. 0ene %loning and 92& analisis &n introduction. Black ell Publishing #ong(ong Bustin S&, 4;;;. /ournal of 5olecular ,ndocrinology. &bsolute $uantification of

m:2& using real"time reverse transcription polymerase chain reaction assays, '<AL'A.. %heng S, !ockler %, Barnes D5, #iguchi :, 'AA1. ,ffective amplification of long targets from cloned inserts and human genomic 92&, Proc 2atl &cad Sci. A'* -<A-L-<AA.

%hien &, ,dgar 9B, Trela /5, 'A=<. 9eo3yribonucleic acid polymerase from the e3treme thermophile Thermus a$uaticus. /. Bacteriol '=1* '--;L'--=.

9eepak S&, (ottapalli (:, :ak al :, 4;;=. :eal"Time P%:* :evolutioni?ing 9etection and ,3pression &nalysis of 0enes, %urrent 0enomics F)1+*4.1"4-'. #eidi S, 4;;A. Ouantitative :T"P%: gene e3pression analysis of laser microdissected tissue samples. 2at. Protoc 1*A;4"A44. #eid %&, Stevens /, Eivak (/, Dilliams P5,'AA<. :eal time $uantitative P%:. enome ,es! 9*AF<LAA1. Innis 5&, 'AA;. &cademic Press. P%: Protocols* & 0uide to 5ethods and &pplications. /oseph S, 9avid D:, 4;;'. 5olecular %loning* & Eaboratory 5anual. .rd ed. %old Spring #arbor, 2.I.* %old Spring #arbor Eaboratory Press, F=A<A"-=<"-. Eiu /, /ohnson :5, 'AA.. :earrangement of the B%l"4 gene infollicular lymphoma. 9iagn 5ol Pathol 4*41'"=. Shimi?u #, and Burns /.%, 'AA-. in* P%: Strategies, Innis, 5.&. et al. )eds.+, &cademic Press, San 9iego, %&, 4.

Staecker #, %ammer 5, :ubinstein :, Kan de Dater T:, 'AA1. & procedure for :T"P%: amplification of m:2&s on histological specimens! Biotechni:ues1 67;<=>?!

BAM/ARAN DOPPLER ULTRASOUND DENBAN DIURESIS DI/ANDINBKAN DENBAN *ASIL RENOBRAM UNTUK MEM/EDAKAN UROPATI O/STRUKTIF DAN NON O/STRUKTIF S"ann% Sur%awa "I, M. Ya&"n Sunar%oII IDok er, Peser a Pen!"!"kan Dok er S5es"al"s I Ra!"olog", FK Una"r8RSUD !r.Soe o&o Sura'a%a IDosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a IIDok er S5es"al"s Ra!"olog", Ke5ala Ins alas" Ra!"o!"agnos "k RSUD !r.Soe o&o Sura'a%a
A/STRAK PENDA*ULUAN. 6ltrasonografi merupakan modalitas pemeriksaan a al dalam diagnosis obstruksi ginjal. Penggunaan 6S0 9oppler dalam menilai obstruksi ginjal berdasarkan pengukuran vaskuler ginjal pada beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya peningkatan resistensi pada arteri renalis pada kasus"kasus obstruksi. Pemberian furosemid intravena dianggap dapat meningkatkan sensitivitas ultrasonografi 9oppler karena akan meningkatkan tekanan intrarenal pada kasus"kasus obstruksi. TU:UAN. Tujuan penelitian ini adalah menentukan akurasi diagnostik 6S0 9oppler dengan diuresis dibandingkan dengan renografi dalam membedakan hidronefrosis obstruktif dan non"obstruktif. MATERI DAN METODE. 1F ginjal dari 4F pasien dengan dugaan obstruksi ginjal kronis telah diteliti selama /anuari"&pril 4;''. Semua pasien diperiksa dengan renografi dan 6S0 9oppler sebelum dan sesudah pemberian furosemid. Berdasarkan temuan renografi, ginjal dikelompokkan menjadi obstruksi total )nW'A+, obstruksi parsial )nW'F+, dilatasi non"obstruktif )nW.+, atau normal )nWF+. (emudian dihitung indeks resistif dan pulsatil dari setiap ginjal dan perbedaannya sebelum dan sesudah pemberian furosemid ' mg/kgBB. *ASIL. Indeks pulsatil tidak berbeda secara statistik pada keempat kelompok ginjal yang diteliti. 2amun terdapat perbedaan signifikan pada indeks resistif sebelum dan sesudah pemberian diuresis pada kelompok obstruksi total, diikuti oleh kelompok obstruksi parsial. &nalisa statistik dengan pW;,;- dan nilai cut"off ;,;.- menunjukkan adanya perbedaan indeks resistif sebelum dan sesudah pemberian diuresis dengan sensitivitas FF.-J dan specificitas =4,.J yang menghasilkan tingkat akurasi sebesar =.J dalam mendiagnosa obstruksi ginjal. KESIMPULAN. 6S0 9oppler dengan diuresis cukup akurat dalam membedakan ginjal obstruktif dan non"obstruktif serta dapat membantu membedakan hidronefrosis obstruktif dari non"obstruktif. KATA KUNCI. 6S0 9oppler, indeks resistif, indeks pulsatil, obstruksi renal, hidronefrosis.

DESCRIPTION OF DOPPLER ULTRASOUND COMPARED $IT* T*E RESULTS RENOBRAM !"ures"s FOR DISTINBUIS*INB AND NON o's ru( "#e uro5a 1% O's ru( "#e S"ann% Sur%awa " I, M. Ya&"n Sunar%o II Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A/STRACT /ACKBROUND. 6ltrasonography remains a commonly used modality in initial diagnosis of renal obstruction. :enal vascular measurements by 9oppler 6S have been advocated for the diagnosis of obstruction based on studies sho ed definite rise in vascular resistence in renal arteries, and administration of intravenous furosemide can increased 6S sensitivity in diagnosing such cases. O/:ECTIVE. The purpose of this study as to determine the diagnostic accuracy of diuresis 9oppler sonography compared ith renography in distinguishing obstructive and non"obstructive hydronephrosis. MATERIALS AND MET*ODS. De prospectively studied 1F kidneys in 4F patients suspected chronic renal obstruction bet een /anuari"&pril 4;''. &ll patients under ent renography and 9oppler sonography before and after administration of furosemide. &ccording to the findings at renography, kidneys ere classified as total obstruction )nW'A+, partial obstruction )nW'F+, non"obstructive dilatation )nW.+, or normal )nWF+. The resistive and pulsatile inde3es of each kidney and the difference before and after administration of ' mg furosemide per kilogram of body eight ere calculated. RESULTS. Pulsatile inde3es ere not statistically different among four groups included in this study. There as significant differences in resistive inde3es before and after diuresis bet een kidneys ith total obstructive dilatation, follo ed ith partial obstruction. Statistical analysis revealed difference in resistive inde3es ith cut"off ;.;.- )pW;.;-+, ith overall sensitivity FF.-J, specificity =4,.J and accuracy rate =.J in diagnosing renal obstruction. CONCLUSION. 9iuresis 9oppler sonography is fairly accurate in differentiating obstructed from nonobstructed kidneys and may facilitate the distinction bet een obstructive and nonobstructive hydronephrosis. KEY$ORDS. 9oppler sonography, resistive inde3es, pulsatile inde3es, renal obstruction, hydronephrosis.

PENDA*ULUAN >bstruksi saluran kemih merupakan kasus yang banyak memba a pasien datang kepada dokter. (eadaan ini bisa menyebabkan kerusakan ginjal permanen )Pais K5, 4;;=+. Pemeriksaan radiologis mempunyai peran penting dalam penatalaksanaan kasus"kasus ini. 6ltrasonografi dapat mendeteksi adanya dilatasi sistem urinari di proksimal dari titik obstruksi, yang merupakan bukti tidak langsung adanya obstruksi. 2amun, dilatasi sistem urinari yang tampak pada

6S0 dikatakan sensitif )A;J+ tetapi tidak spesifik )<-"F1J+ untuk diagnosa uropati obstruktif )Saboo SS, 4;;=+. Penelitian terhadap patofisiologi obstruksi menunjukkan bah a obstruksi akan menyebabkan penurunan aliran darah renal akibat peningkatan resistensi vaskuler. Platt dkk )'AA'+ menyarankan resistive index ;,= sebagai batas atas dari ginjal normal, sehingga nilai resistive index lebih dari ;,= menunjukkan peningkatan resistensi aliran darah yang mengindikasikan adanya uropati

obstruktif )Platt /!, 'AA'+. Pada tahun 'AA., %hen dkk mengevaluasi 4= pasien dengan kecurigaan obstruksi menggunakan 6S0 9oppler dan #ntraveous Pyelography )IKP+, dengan hasil resistive index bisa membedakan ginjal dengan obstruksi ringan dan obstruksi berat. Pada obstruksi ringan, rerata resistive index hanya ;,<1, sedangkan pada obstruksi berat rerata resistive index adalah ;,=1. )%hen /#, 'AA.+. Pemberian furosemid intravena dianggap dapat meningkatkan sensitivitas ultrasonografi 9oppler karena akan meningkatkan tekanan intrarenal pada kasus"kasus obstruksi )5allek :, 'AA<+. Iokohama # dan Tsuji I dalam penelitiannya mendapatkan bah a furosemid meningkatkan perbedaan antara resistive index intrarenal pada ginjal obstruksi unilateral dan ginjal normal sehingga bisa meningkatkan deteksi obstruksi saluran kemih unilateral pada manusia )Iokohama #, 4;;4+. :a ashdeh I! dkk dalam artikel tinjauannya terhadap penelitian tentang 6S0 9oppler yang dikaitkan dengan uropati obstruktif menyimpulkan bah a penelitian mengenai resistif indeks masih dalam fase perkembangan, sehingga perlu penelitian lanjutan sebelum tehnik ini dapat digunakan untuk diagnosis uropati obstruktif ):a ashdeh I!, 4;;'+. >leh sebab itulah perlu dilakukan penelitian mengenai akurasi diagnostik 6S0 9oppler dengan diuretik dalam membedakan uropati obstruktif dan dilatasi non obstruktif dibandingkan dengan renogram sebagai metode referensi. MATERIAL DAN METODE Pasien Pada penelitian ini diperiksa 1F ginjal dari 4F pasien dengan dugaan obstruksi ginjal kronis selama /anuari"&pril 4;''. Pasien dengan gagal ginjal kronis, hamil, kolik

dalam satu bulan terakhir serta dengan kelainan anatomis ginjal tidak disertakan sebagai subyek penelitian. Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa dengan renografi dan 6S0 9oppler sebelum dan sesudah pemberian furosemid. Berdasarkan temuan renografi, ginjal dikelompokkan menjadi obstruksi total )nW'A+, obstruksi parsial )nW'F+, dilatasi non"obstruktif )nW.+, atau normal )nWF+. Semua pasien telah menandatangani lembar persetujuan sebelum berpartisipasi dalam penelitian ini. 2etode Penelitian Pasien dengan hidronefrosis lebih dari satu bulan baik unilateral maupun bilateral yang telah dibuktikan dengan pemeriksaan klinis maupun radiologis )6S0 urologi+ dan memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi sejumlah 4F orang dimintakan pemeriksaan renogram di 9ivisi (edokteran 2uklir Bagian :adiologi 9iagnostik :S6 9r. Soetomo Surabaya menggunakan TcAAm"hippuran. Berdasarkan hasil pemeriksaan renogram tersebut, terdapat 1F ginjal yang memenuhi kriteria inklusi yang kemudian menjalani pemeriksaan 6S0 9oppler ginjal sebelum dan sesudah pemberian diuretik berupa furosemid ' mg/kgBB di 9ivisi 6ltrasonografi Bagian :adiologi 9iagnostik :S6 9r. Soetomo Surabaya dengan satu operator pemeriksa, yang dilaksanakan pada bulan /anuari"&pril 4;''. Analisa 6tatistik 9ata akan dianalisis secara deskriptif maupun analitik. Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji terhadap normalitas dan homogenitas data. 9ata hasil evaluasi selisih ,esistive #ndex )f :I+ dan Pulsatile index )f PI+ 6S0 9oppler sebelum dan sesudah pemberian furosemid pada ginjal obstruksi, obstruksi parsial, dilatasi non obstruksi, dan normal dievaluasi menggunakan uji Anova. 6ntuk

perbandingan hasil f :I ginjal antara ginjal obstruksi, obstruksi parsial, dilatasi non obstruksi dan ginjal normal dipakai uji 4urkey@$6( bila datanya homogen, dan menggunakan uji 9ruskal 5allis bila datanya tidak homogen! 9ata dianalisa dengan software komersial. *ASIL Terdapat 4F orang pasien yang menjadi sampel penelitian dan dari jumlah tersebut didapatkan 1F ginjal yang masuk dalam kriteria inklusi, sedangkan delapan ginjal tidak dimasukkan sebagai variabel yang diteliti karena termasuk kategori failure berdasarkan hasil renogram. 9i antara 4F pasien tersebut, delapan pasien dengan gangguan ginjal unilateral dan 4; diantaranya dengan gangguan ginjal bilateral. 9ari 4F pasien yang ada, '= adalah anita dan '' sisanya adalah pria. (e"1F ginjal yang diperiksa dikategorikan menjadi empat kelompok berdasarkan hasil renogram yaitu * obstruksi total

sebanyak 'A ginjal ).A,<J+, obstruksi parsial 'F ginjal ).=,-J+, normal sebanyak F ginjal )'<,=J+, dan dilatasi non obstruksi sebanyak . ginjal )<,.J+. Pada seluruh pasien tersebut dilakukan pemeriksaan 6S0 9oppler sebelum dan sesudah injeksi diuretik )!urosemid ' mg/kgBB iv+ dengan hasil yang terlihat pada Tabel '. Perhitungan normalitas data pada masing" masing kelompok dilakukan sebelum uji parametrik karena data yang terkumpul merupakan data berskala rasio, menggunakan Shapiro Dilk. >leh karena data berdistribusi normal maka dilakukan pengujian statistik parametrik menggunakan uji >ne &nova dengan hasil menunjukkan selisih resistif indeks yang paling besar pada kelompok obstruksi total kemudian diikuti obstruksi parsial dan kemudian normal )Tabel4+. 6ntuk dilatasi non obstruktif diperoleh hasil negatif yang berarti data sesudah lebih rendah dibandingkan sebelum pemberian furosemide.

Tabel '. 9eskripsi data :I dan PI pada seluruh sampel, :S6 9r. Soetomo, 4;'' Kelo&5o k O's. o al 5ean 2 S9 5edian 5inimum 5a3imum :ange O's.5ars" 5ean al 2 S9 RI Pre ;.<<'' 'A RI Pos ;.=''' 'A Del a RI ;.;-14 'A PI Pre '.411= 'A PI Pos '.1F4' 'A Del a PI .'.4' 'A

;.;='<1 ;.;=.'; ;.;1-=1 ;.4-1=; ;..14'F ;..;4.A ;.<F;; ;.-1 ;.=A ;.4;.<F4F 'F ;.<A;; ;.<. ;.FF ;.4;.=4-< 'F ;.;<;; ";.;1 ;.'' ;.';.;14F 'F .;1.A; '.44;; ;.=< '.=. ;.A= '..;-; 'F .4F'=1 '..1;; '.;4 4.1. '.1' '.1-<= 'F .4=-F;.'F;; ";.<;.F4 '.1= .'-'= 'F .';.;.

;.;F-=1 .;<''A

5edian 5inimum 5a3imum :ange Nor&al 5ean 2 S9 5edian 5inimum 5a3imum :ange D"la as" Non O's 5ean 2 S9 5edian 5inimum 5a3imum :ange

;.<<-; ;.-4 ;.F1 ;..4 ;.<4-; F .;='-' .<.;; .-; .=.4.<4<= . .;<F;= .<-;; .-.<F .'.

.=.;; .<. .F1 .4' .<-4F .;A1.F .<--; .-; .=A .4A .-A<= . .';''< .<-;; .1F .<< .'F

.;1-; ".;. .'4 .'.;4=F .;.A'A .;'-; ".;' .'' .'4 ".;.;; . .;.<;< ".;4;; ".;= .;; .;=

'.'A;; '.;4 '.F.F. '.'1.F F .'-'1< '.'.-; .A< '.1. .1= '.'-.. . .'F;;A '.'<;; .A= '... ..<

'.1'-; '.'4 4.;= .A'.'=FF F .4-;4F '.'-;; .F< '.<.=A '.';.. . .41=;'.'1;; .F1 '... .1A

.'=;; ".;4 .4F ..; .;.-; F .'4<;1 .;4-; ".'4 .44 ..1 ".;-;; . .;=;;; ".;4;; ".'. .;; .'.

Tabel 4. 9eskripsi data resistif indeks berdasarkan kelompok, :S6 9r. Soetomo, 4;''. Kelo&5ok >bstruksi total >bstruksi parsial 2ormal 9ilatasi 2on >bstruksi Ra a A ra a ;.;-14 ;.;14F ;.;4=";.;.;; SD ;.;1-=1 ;.;1.A; ;.;.A'A ;.;.<;< Lower ;.;.44 ;.;4;A ";.;;-. ";.''A< U55er ;.;=<. ;.;<1< ;.;<;. ;.;-A<

0ambaran selengkapnya nilai rataLrata delta :I antar kelompok serta nilai standar error dari mean dapat dilihat pada gambar berikut *

,rr"r 6ar& &3"9 95.0; C$ ". Mean 6ar& &3"9 Mean&

0.10

Delta ()

-$-. n*+,
0.00

-$-0 n*+/

-$-1 n*/ n*1

--$-1

-0.10

Ba&'ar -. Perbandingan 5ean 9elta :I pada masing L masing kelompok


1 2 3 4

Perhitungan dengan menggunakan uji Kelompo% >ne Day &nova diperoleh selisih resistif indeks sebelum dan sesudah antar kelompok perlakuan berbeda secara signifikan )p Y ;,;-+. Sedangkan hasil perhitungan PI menunjukkan bah a pada empat

kelompok data berdistribusi normal sehingga pengujian statistik parametrik dilakukan menggunakan uji >ne Day &nova. 9eskripsi nilai delta PI selengkapnya dapat dilihat pada tabel di ba ah ini *

Tabel .. 9eskripsi data delta PI berdasarkan kelompok, :S6 9r. Soetomo, 4;'' Kelo&5ok >bstruksi total >bstruksi parsial 2ormal 9ilatasi 2on >bstruksi Ra a A ra a ;.'.4' ;.'-'= ;.;.-; ";.;-;; S !. De#"a "on ;..;4.A ;.';.;. ;.'4<;1 ;.;=;;; Lower /oun! ";.;'.< ;.';;1 ";.;=;1 ";.44.A U55er /oun! ;.4==A ;.4;4A ;.'1;1 ;.'4.A

0ambaran selengkapnya nilai rata L rata delta PI antar kelompok serta nilai standar error dari mean dapat dilihat pada gambar berikut *
,rr"r 6ar& &3"9 95.0; C $ ". Mean 6ar& & 3"9 Mean&
0 .20

Delta 2)

-$+1 n*+,
0 .00

-$+. n*+/

-$-0 n*/ n*1 --$-.

Ba&'ar 0. Perbandingan 5ean 9elta PI pada masing L masing kelompok

-0 .2 0

Kelompo%

#asil penelitian menunjukkan selisih PI yang paling besar pada kelompok obstruksi parsial kemudian diikuti obstruksi total dan kemudian normal. 6ntuk dilatasi non obstruktif diperoleh hasil negatif yang berarti data sesudah lebih rendah dibandingkan sebelum. #asil perhitungan menunjukkan bah a data antar kelompok tidak homogen sehingga pengujian dilakukan menggunakan uji (ruskal Dallis dengan hasil selisih PI sebelum dan sesudah antar kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan )p Y ;,;-+. >leh karena tidak ada

perbedaan maka tidak dilakukan uji lanjut. (emudian dilakukan pengujian sensitifitas dan spesifisitas dari delta resistive index 6S0 9oppler. 6ntuk klasifikasi obstruksi total dan parsial dimasukkan ke dalam kelompok obstruksi )nW.=+ dan ginjal normal dan dilatasi non obstruksi dimasukkan ke dalam kelompok non obstruksi )nW''+. 2ilai uji diagnostik delta resistif indeks 6S0 9oppler terhadap hidronefrosis dengan obstruksi berdasarkan hasil renogram dapat dilihat pada tabel di ba ah ini *

Tabel 1. 9elta resistif indeks terhadap renogram berdasarkan nilai cut off #asil renogram >bstruksi 9elta resistif T ;.;.indeks Y ;,;.4. )FF.- J+ '1 )<..< J+ .= )==.' J+ 2on >bstruksi . )''.- J+ F ).<.1 J+ '' )44.A J+ 4< )-1.4 J+ 44 )1-.F J+ 1F )';; J+

9ari tabel di atas, dapat dihitung sensitivitas yaitu sebesar FF.- J, spesifisitas =4.. J, nilai duga positif )PPK+ <4.4 J, nilai duga negatif )2PK+

.<.1 J, rasio kemungkinan positif ..4, dan rasio kemungkinan negatif ;,'<. Berikut adalah grafik :>% untuk delta resistif indeks *

RBC C*r!e
1.00

.75

.50

Sen&iti!it1

.25

Ba&'ar 2. (urva :>% pada delta :I


0.00 0.00 .25 .50 .75 1.00

1 - S2eci.icit1
ia+"na$ &e+#ent& are 2r"d*ced (1 tie&.

%ut off

&rea diba ah kurva ;.=.'

Std. ,rror)a+

&symptotic Sig.)b+

&symptotic A-J %onfidence Interval Eo er Bound ;.-<' 6pper Bound ;.A;'

;.;.-

;.;F=

;.;4'

&rea diba ah kurva pada kurva :>% diatas didapatkan angka ;,=.' )=.,'J+ dengan hasil akurasi nilai diagnostik sedang )fair W ;.< L ;.=+. PEM/A*ASAN 9ilatasi sistem kolekting renal merupakan temuan yang umum pada imejing, dan penting untuk membedakan obstruksi renal yang sesungguhnya dengan dilatasi non obstruktif.).+ Pyelocaliectasis yang tampak pada sonografi gray-scale telah terbukti sensitif )g A;J+ tetapi tidak spesifik )<-" F1J+ dalam mendiagnosis uropati obstruktif )Saboo SS, 4;;=+. Baik Platt dkk melaporkan bah a pada sekitar sepertiga pasien, diagnosis uropati obstruktif terle atkan oleh sonografi konvensional karena tidak timbul pyelocaliectasis atau timbul lambat pada fase obstruktif )Platt /!, 'AA'+. IKP dan retrograde pyelography memberikan informasi tentang uropati obstruktif secara anatomis. 6ji Dhitaker dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosa uropati obstrukti, namun uji ini dapat gagal pada berbagai keadaan tertentu. Sensitivitas dan spesifisitas uji Dhitaker untuk mendiagnosis uropati obstruktif masing" masing adalah A.J dan A'J. :enogram diuretik ginjal yang dalam banyak kasus telah menggantikan uji Dhitaker yang invasif dapat menghasilkan positif palsu jika diuretik ini diberikan sebelum pengisian maksimal sistem kolekting, jika ginjal tidak merespon diuretik secara adekuat, jika drainase kandung kemih tidak memadai selama penelitian, atau jika fungsi ginjal telah menurun. Sensitivitas dan spesifisitas dari renogram diuretik adalah A=J dan =-J bila dibandingkan dengan uji Dhitaker atau pembedahan dan F.J dan A1J jika dibandingkan dengan IKP pembedahan )Kade &, 'AAA+ atau

6ltrosonografi 9oppler dengan diuretik merupakan suatu modifikasi 6S0 9oppler konvensional yang memanfaatkan respon fisiologis ginjal yang mengalami obstruksi dan non obstruksi oleh stimulasi diuretik )0illen ater I/, 4;;4+. &liran darah arteri renalis menunjukkan respon hemodinamik bifasik sebagai respon terhadap obstruksi. Segera setelah timbulnya obstruksi, peningkatan tekanan pelvis ginjal yang menyebabkan vasodilatasi luas dari vascular bed ginjal karena pelepasan prostaglandin lokal. 9engan obstruksi lengkap yang berkepanjangan, suatu kompleks sistem peraturan hormonal membalikkan respon vasodilatasi a al dan menyebabkan vasokonstriksi difus pada vascular bed ginjal yang akan berlangsung selama masih terjadi obstruksi. Transisi antara kedua tahap ini terjadi < sampai F jam setelah mulainya obstruksi. Peningkatan resistensi vaskuler ginjal dapat diukur secara sonografi menggunakan :I. Beberapa penelitian menunjukkan bah a pemberian diuretik mempunyai efek yang dapat diukur terhadap resistensi vaskuler renal yang dapat terlihat pada 6S0 9oppler )Tamm ,P, 4;;.C Saboo SS, 4;;=C Platt /!, 'AA'+ Penelitian kami memeriksa 1F ginjal yang terbagi ginjal ke dalam 1 )empat+ kelompok berdasarkan hasil renogram. Pada penelitian ini rataLrata usia adalah

1F tahun dengan rentang usia antara 4. sampai =F tahun. 2ilai :I sebelum diberikan diuretik yang didapatkan pada kelompok obstruksi total adalah ;.<< h ;.;=, kelompok obstruksi parsial adalah ;.<F h ;.;F, kelompok ginjal normal adalah ;.<4 h ;.;=, dan kelompok dilatasi non obstruksi adalah ;.<. h ;.;=. :ataL rata resistif indeks sebelum diberikan furosemid pada ginjal obstruksi total dan parsial lebih tinggi daripada rataLrata ginjal yang normal dan dilatasi non obstruksi, yang mana hasil ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Platt dkk serta %hen dkk )Platt /!, 'AFA, %hen, 'AA.+. Pada kelompok obstruksi total, yang terdiri atas 'A ginjal, didapatkan rata"rata peningkatan :I sebelum dan sesudah pemberian furosemid dengan :I sebesar ;.;- )pY;.;-+. Sedangkan pada kelompok obstruksi parsial )'F ginjal+ didapatkan rata"rata selisih PI yang lebih rendah ) :I W ;.;1, pY;.;-+. Pada kelompok normal )F ginjal+ dan dilatasi non"obstruksi ). ginjal+ tidak didapatkan peningkatan nilai :I sebelum dan sesudah pemberian furosemid ) :I W ";.;., pY;.;-+. #asil ini sesuai dengan penelitian oleh :eno den dkk dan 5allek dkk ):eno den, 'AA4, 5allek :, 'AA<+. 5enggunakan nilai ambang pembeda ;.;-, maka hasil uji statistik menunjukkan nilai sensitifitas :I sebesar FF.- J dan spesifisitas :I sebesar =4..J dengan 2PK sebesar .<.1 J dan PPK sebesar <4.4 J. Sedangkan perhitungan dengan menggunakan uji (ruskal Dallis diperoleh selisih PI sebelum dan sesudah antar kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan )p Y ;,;-. Eiteratur menunjukkan sensitivitas ).="A;J+ dan spesifisitas )F4"A;J+ :I ginjal yang bervariasi dalam diagnosis obstruksi. 5enggunakan nilai ambang pembeda :I T ;.;=, Saboo dkk menyatakan bah a sensitivitas dan spesifisitas 6S0 9oppler dalam mendiagnosa uropati obstruktif adalah sebesar F=.-J dan A;J. 2amun

dengan memakai nilai ambang pembeda :I T ;.;<, maka sensitivitasnya naik menjadi A-J dan spesifisitas ';;J )Tamm ,P, 4;;.+. Sedangkan 5allek dkk mendapatkan sensitifitas =-J dan spesifisitas A;J untuk hasil resistif indeks setelah pemberian diuretik )5allek :, 'AA<+. Pada penelitian lain 0ome? dkk dari penelitiannya yang hanya memfokuskan pada anak L anak, mereka mendapatkan sensitifitas hanya 1<J dan spesifisitas ';;J dan nilai duga prediktif =AJ )0ome? !&, 'AAA+. Beberapa keterbatasan penelitian ini antara lain mengenai jumlah pasien, keterbatasan renogram, dan keterbatasan 6S0 9oppler itu sendiri. 5eskipun dalam penelitian ini terdapat .; pasien dengan 1F ginjal yang memenuhi kriteria inklusi, namun pembagian ke dalam empat kelompok berdasarkan hasil renogram menurunkan jumlah ginjal yang diteliti dalam setiap kelompok. &kibatnya jumlah ginjal dalam keempat kelompok bervariasi dari tiga sampai 'A ginjal. >leh karena itu, kami menganjurkan dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar. :enogram sebagai metode referensi memiliki sejumlah keterbatasan, terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat atau pada pasien dengan dilatasi hebat sistem kolekting. 2amun, meskipun memiliki keterbatasan, metode ini dipilih karena merupakan metode noninvasif pilihan dalam konteks diagnostik klinis pada obstruksi saluran kemih )Platt, 'AFA+. (eterbatasan ketiga pada penelitian ini adalah mengenai 6S0 9oppler itu sendiri, karena pemeriksaan ini mempunyai spesifisitas yang terbatas dalam analisa kemungkinan obstruksi karena :I dapat pula meningkat pada pasien dengan penyakit ginjal )Platt, 'AFAC :eno den S&, 'AA4+. Sifat aliran darah ginjal yang menurun sebagai respon terhadap obstruksi parsial kronis ureter, akan menyebabkan penurunan filtrasi

urine dan diikuti kembalinya tekanan intrapelvis dalam rentang normal. !aktor lain yang menyebabkan normalisasi tekanan intrapelvis meliputi peningkatan reabsorpsi urin oleh sistem vena dan limfatik dan dilatasi saluran kemih proksimal dari obstruksi. Beberapa penulis melaporkan bah a :I mungkin tidak meningkat pada pasien dengan obstruksi parsial saluran kemih )0ome? !&, 'AAA+. 2ilai :I yang diperoleh dalam < jam dari obstruksi akut, ekstravasasi urine pelvicaliceal, dan obstruksi saluran kemih parsial atau kronis kemih dapat menghasilkan pembacaan negatif"palsu. Semua kasus hidronefrosis obstruktif dalam penelitian kami bersifat kronis. :I dalam penelitian ini tidak berbeda nyata dari ginjal dilatasi non obstruksi atau dari ginjal normal. Tinjauan literatur juga menunjukkan bah a kepekaan dan akurasi 9oppler sonografi untuk mendiagnosa uropati obstruktif tidak hanya tergantung pada apakah :I ginjal dengan obstruksi dibandingkan dengan ginjal normal atau ginjal dengan dengan dilatasi non obstruksi tetapi juga pada apakah IKP, renography Easi3, uji Dhitaker, atau operasi yang digunakan sebagai baku emas untuk diagnosis uropati obstrukstif. Setelah pielokaliektasis diidentifikasi pada sonografi konvensional gray-scale, studi lebih lanjut diperlukan untuk menegakkan diagnosis obstruksi saluran kemih. KESIMPULAN DAN SARAN 9esimpulan '. &da perbedaan ) :I+ bermakna antara pre"diuretik dengan post"diuretik pada kelompok ginjal dengan obstruksi, dengan selisih terbesar didapatkan pada kelompok obstruksi total. 4. Perbedaan signifikan hanya pada kelompok obstruksi total dengan dilatasi non obstruktif dan pada kelompok obstruksi parsial dengan dilatasi non obstruktif.

.. Pada kelompok obstruksi total dan parsial, tidak didapatkan perbedaan hasil 6S0 9oppler. 6aran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan alat 6S0 yang lebih canggih sehingga hasil yang didapatkan lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA Bro n S%D )4;;'+. 2uclear 5edicine Techni$ues. In* Deiss :5, 0eorge 2/:, >@:eilly P# )eds+. %omprehensive 6rology, '.A L 1', 5osby. ,dinburgh. %hen et al., 'AA.. %hen /#, Pu IS, Eiu SP, %hiu TI )'AA.+. :enal hemodynamics in patients ith obstructive uropathy evaluated by duple3 9oppler sonography. / 6rolC '-;*'F"4'. !ung E%T, Steckler :,, (houry &,, et al )'AA1+. Intrarenal resistive inde3 correlates ith renal pelvis pressure. / 6rolC '-4*<;="<''. 0illen ater I/ )4;;4+. #ydronephrosis. In * &dult and Pediatric 6rology. pp '1.F L 11. Eippincot Dilliam Dilkins. Philadhelphia. 0ome? !& et al )'AAA+. 9iagnostic comparison of diuretic isotopic renogram and diuretic 9oppler ultrasonography in pediatric hydronephrosis. %ir PediatrC '4)4+ pp -'"-. 0ottlieb :#, Euhmann (, >ates :P )'AFA+. 9uple3 ultrasound evaluation of normal native kidneys and kidneys ith urinary tract obstruction. / 6ltrasound 5edCF*<;A"<'' /ackson ,( )4;;<+. 9iuretics. In * Brunton EE, Ea?o /S, Parker (E )eds+. 0oodman i 0ilmanHs The Pharmacological Basis >f Therapeutics. ''th ed. 5c0ra " #ill. 2e Iork.

Ein ,P, Bhatt S, 9ogra KS, :ubens 9/ )4;;=+. Sonography of 6rolithiasis and #ydronephrosis. 6ltrasound %lin 4C'"'<. 5allek :, Bankier &&, et.al )'AA<+. 9istinction bet een >bstructive and 2on >bstructive #ydronephrosis * Kalue of 9iuresis 9uple3 9oppler Sonography. &/:C '<<*''."''=. 5urphy 5,, Tublin 5, )4;;;+. 6nderstanding the 9oppler :I* impact of renal arterial distensibility on the :I in a hydronephrotic e3 vivo rabbit kidney model. / 6ltrasound 5edC'A*.;.L.'1 Pais K5, Strandhoy /D, &ssimos 90 )4;;=+. U55er ur"nar% ra( o's ru( "on an! rau&a. In) $e"n A: e al 3e!s4 Ca&'ell@$als1 Urolog%. > 1 e!. Saun!ers Else#"er. P1"la!1el51"a. Platt /! )'AA'+. 9uple3 9oppler ,valuation of 2ative (idney 9ysfunction* >bstructive and 2onobstructive 9isease. &/:C'-F*';.-"';14 Platt /!, :ubin /, ,llis / )'AFA+. 9istinction bet een obstructive and nonobstructive pyelocaliectasis duple3 9oppler sonography. &/:C'-.*AA=L';;;. Platt /!, :ubin /5, ,llis /#, et.al )'AFA+. 9uple3 9oppler 6S of the kidney*differentiation of obstructive from non obstructive dilatation. :adiologyC'='*-'-"-'=. Platt /!, ,llis /#, :ubin /5 )'AA'+. ,3amination of native kidneys ith duple3 9oppler ultrasound. Semin 6ltrasound %T 5:C '4*.;F".'F. Platt /!, :ubin /5, ,llis /# )'AA.+. &cute renal obstruction* ,valuation ith intrarenal duple3 9oppler and conventional 6S. :adiologyC 'F<*<F-" <FF. :a ashdeh I!, 9jurhuus /%, 5ortensen /, #orlyck &, !rokiaer /. )4;;'+, The intrarenal resistive inde3 as a pathophysiological marker of obstructive uropathy. / 6rol, '<-*, pp '.A=L1;1

:eno den S&, %ochlin 9E )'AA4+. The effect intravenous furosemide on the 9oppler aveform in normal kidney. / 6ltrasound 5edC '').+* <- L F. Saboo SS, Soni SS, Saboo S#, et.al )4;;=+. 9oppler sonography in acute renal obstruction. Indian / :adiol Imaging, vol. '=, issue . * 'FF"'A4. Tamm ,P, Silverman P5, Shuman DP )4;;.+. ,valuation of the patient ith flank pain dan possible ureteral calculus. :adiologyC44F*.'A".4A. Taylor &T )4;;=+. (idney. In * Biersack #/ et al )eds+. %linical 2uclear 5edicine. Springer L Kerlag. Berlin pp '=F L F;. Tublin 5,, Bude :>, Platt /! )4;;.+. The :esistive Inde3 in :enal 9oppler Sonography* Dhere do De Stand M &/:C 'F;* FF- L FA4. Tublin 5,, 9odd 09, Kerdile KP )'AA1+. &cute renal colic* 9iagnosis ith duple3 9oppler 6S. :adiologyC 'A.*<A="=;'. Kade &, 9udiak %, 5c%arthy P, et al )'AAA+. :esistive Indices in the ,valuation of Infants ith >bstructive and 2onobstructive Pyelocaliectasis. / 6ltrasound 5ed 'F*.-=L.<'. Iokoyama #, Tsuji I )4;;4+. 9iuretic 9oppler ultrasonography in chronic unilateral partial ureteric obstruction in dogs. B/6 International, A; pp ';;L';1

TOJOPLASMOSIS, TERAPI DAN PENCEBA*ANNYA Ernawa " Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A's rak To3oplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasite obligat intraselluler To3oplasma gondii. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi yang bisa mengenai setiap sel penjamu yang berinti. To3oplasma gondii dapat ditularkan kepada janin jika ibu mendapat infeksi primer sebelum kehamilan. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara vaksinasi pada ibu hamil yag beresiko tertular To3oplasma gondii serta hygiene dan gaya hidup sehat dianjurkan untuk menghindari makanan yang terkontaminasi.

ToEo5las&os"s, T1era5% an! 5re#en "on Ernawa " Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
&bstract To3oplasmosis is a disease caused by infection ith the obligate intracellular parasite To3oplasma gondii. The disease is spread all over the orld because of its ability to cause infections that may affect any of the host cell nucleus. To3oplasma gondii can be transmitted to the fetus if the mother has a primary infection prior to pregnancy. Prevention can be done by ay of vaccination in pregnant omen at risk of contracting To3oplasma gondii yag as ell as hygiene and healthy lifestyles are encouraged to avoid foods that are contaminated.

PENDA*ULUAN To3oplasma gondii adalah proto?oa dengan penyebaran luas. Infeksi oleh T.gondii dapat menyebabkan terjadinya to3oplasmosis, infeksi tesebut dapat terjadi pada he an dan manusia. To3oplasma merupakan parasit proto?oa dengan sifat alami, perjalanan penyakitnya dapat bersifat akut atau menahun, simptomatik maupun asimptomatik.T.gondii mengalami siklus aseksual pada spesies vertebrata berdarah panas. Penularan pada manusia terjadi dengan cara menelan kista yang berisi bradi?oit yang terdapat pada daging yang terinfeksi, atau secara tidak sengaja menelan ookista yang terdapat pada ekskreta kucing. !rekuensi penyebaran tergantung pada kelembaban dan temperatur ) yang mempengaruhi ketahanan ookista di dalam lapisannya +, dan kebiasaan mengkonsumsi daging yang tidak dimasak atau kurang matang.

9i ,ropa, sebagai contoh, angka prevalensi di 2or egia sekitar ';J dan di Perancis sampai -;J. #al ini menunjukkan bah a infeksi tergantung persistensi jangka panjang parasit dalam menghasilkan protektif imun. 2amun hanya infeksi primer T.gondii yang dapat melalui transmisi materno L fetal. /ika to3oplasmosis terjadi pada masa postnatal hampir selalu infeksinya jinak. Infeksi congenital dapat menyebabkan infeksi patologis yang berat, biasanya karioretinitis pada usia anak / de asa. 9alam kasus transmisi a al pada kehamilan, dapat terjadi kelainan neurologis yang mengakibatkan malformasi berat atau lahir mati. Penatalaksanaan vaksinasi untuk mencegah transmisi materno L fetal terhambat oleh minimnya pengetahuan mengenai mekanisme proteksi terhadap infeksi T.gondii. Teori proteksi proteksi dari imun respon type Th' dan terutama produksi dari

Interferon X ) I!2 X + dapat menyingkirkan to3oplasmosis yang didapat ) acuisita +. 2amun bagaimanapun juga teori ini masih belum jelas apakah dapat berperan proteksi pada fetus juga. DEFINISI TOJOPLASMOSIS Beberapa definisi akan dibahas dalam makalah ini berkaitan dengan penyakit to3oplasmosis, yaitu * " To3oplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasit obligat intraselluler To3oplasma gondii. " Infeksi to3oplasma akut * infeksi yang didapat sesudah bayi dilahirkan, biasanya asimptomatik. " Infeksi to3oplasma kronik * terjadinya persistensi kista dalam jaringan yang berisi parasit pada individu yang secara klinis asiptomatik. " To3oplasmosis akut maupun kronik * suatu keadaan saat parasit menjadi penyebab terjadinya gejala dan tanda klinis ) antara lain * ensefalitis, miokarditis, pneumonia +. " To3oplasmosis congenital * infeksi pada bayi baru lahir yang terjadi akibat penularan parasit secara transplasental dari ibu yang terinfeksi terhadap janinnya. Bayi ini biasanya asiptomatik pada saat dilahirkan tapi di kemudian hari akan timbul manifestasi berupa gejala dan tanda dengan kisaran yang luas seperti * korioretinitis, strabismus, epilepsi dan retardasi psikomotor. To3oplasmosis pada penjamu dengan daya imun yang baik akan mengalami perjalanan penyakit sebagai berikut * a. &kan sembuh sendiri b. Eama sakit yang singkat c. 5enjadi to3oplasmosis kronik Pada umumnya ketiga proses tersebut bersifat asimptomatik, tetapi bila suatu saat daya imun seseorang yang telah terinfeksi tersebut menurun, dapat timbul tanda dan gejala klinis kembali. ETIOLOBI

Penyakit ini disebabkan oleh T.gondii yang merupakan parasit obligat intraselluler ) proto?oa + dari ordo %occidia yang dapat menimbulkan infeksi pada burung dan mamalia. To3oplasma gondii ada dalam . bentuk di alam * '. >okista adalah bentuk yang resisten di alam 4. Trofo?oid adalah bentuk vegetatif dan proliferatif .. (ista bentuk yang resisten di dalam tubuh &da 4 aspek yang berbeda pada siklus kehidupan T.gondii, yakni * '. Bentuk proliferatif ) aseksual + terjadi pada penjamu perantara seperti * burung, mamalia, manusia, disebut juga siklus nonfeline. 4. Bentuk reproduktif ) seksual +, terjadi pada usus kucing sebagai penjamu definitif, dosebut juga siklus feline ) feline W kucing +. T.gondii dapat tumbuh dalam semua sel mamalia kecuali sel darah merah yang bisa dimasuki tapi tanpa terjadi pembelahan. Selama infeksi akut, parasit dapat ditemukan dalam banyak organ tubuh. Begitu melekat pada sel penjamu dan sel secara aktif mengadakan penetrasi ke dalamnya, parasit akan membentuk vakuola parasitoforus dan mengadakan pembelahan. Daktu pembelahan sekitar < L F jam untuk strain yang virulen. Bila jumlah parasit dalam sel mendekati masa kritis ) h <1 L '4F dalam kultur +, sel tersebut akan ruptur dengan melepaskan taki?oit dan menginfeksi sel didekatnya. 9engan cara ini organ yang terinfeksi segera memperlihatkan bukti adanya proses sitopatik. Sebagian besar taki?oit akan dieliminasi dengan bantuan respon imun dari penjamu, baik humoral maupun seluler. Sekitar = "'; hari sesudah infeksi sistemik oleh taki?oit terbentuklah kista di dalam jaringan yang berisi bradi?oit. (ista

jaringan ini terdapat dalam sejumlah organ tubuh, tetapi pada prinsipnya di dalam SSP dan otot parasit tersebut berada sepanjang siklus penjamu. (alau kista tersebut termakan ) misalnya manusia memakan produk daging yang tidak dimasak sampai matang + membrane kista akan segera dicerna dengan adanya sekresi asam lambung yang p#nya rendah. Pada penjamu nonfeline, bradi?oit yang termakan akan memasuki epithelium usus halus dan mengadakan transformasi menjadi taki?oit yang membelah dengan cepat, terjadilah infeksi taki?oit sistemik akut, ini diikuti oleh pembentukan kista jaringan yang mengandung bradi?oit yang mengadakan replikasi lambat, terjadilah stadium kronik, ini melengkapi siklus nonfeline. Infeksi akut yang terjadi pada penjamu dengan daya imun lemah paling besar kemungkinannya disebabkan oleh pelepasan spontan parasit yang tebungkus dalam kista dan mengalami transformasi cepat menjadi taki?oit dalam SSP. Siklus kehidupan yang penting dari parasit tersebut terdapat dalam tubuh kucing ) penjamu definitif +. Siklus

kehidupan seksual parasit ditentukan oleh pembentukan ookista di dalam penjamu feline. Siklus entero epithelial ini dimulai dengan termaknnya kista jaringan yang menjadi bradi?oit dan akan memuncak setelah melalui beberapa stadium antara dalam proses produksi mikrogamet. 5ikrogamet mempunyai flagella yang memungkinkan parasit ini mencari mikrogamet. Penyatuan gamet akan menghasilkan ?igot yang membungkus diri dengan dinding yang kaku. Nigot ini disekresikan dalam feses sebagai ookista tanpa sporulasi. Setelah 4 ". hari terkena udara pada suhu sekitarnya, ookista yang non infeksius mengalami sporulasi untuk menghasilkan sporo?oit. >okista yang mengadakan sporulasi tersebut dapat termakan oleh penjamu antara, seperti anita hamil yang membersihkan kotoran kucing, babi yang mencari makan di sekitar peternakan, ataupun termakan mencit. Setelah dibebaskan dari ookista melalui proses pencernakan, sporo?oit yang terlepas akan menginfeksi epithelium intestinal penjamu nonfeline dan memproduksi taki?oit aseksual yang tumbuh dengan cepat dan membentuk bradi?oit.

Siklus hidup To3oplasma 0ondii EPIDEMIOLOBI Penyakit ini tersebar di seluruh dunia karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi yang pada hakekatnya bisa mengenai setiap sel penjamu yang berinti. T.gondii dapat menginfeksi sejumlah mamalia dan burung. Sero prevalensinya tergantung pada kondisi setempat dan usia populasinya. 6mumnya kondisi lingkungan yang panas dan kering disertai dengan prevalensi infeksi yang rendah. Tanah merupakan sumber infeksi untuk herbifora seperti kambing, domba, dan babi. (arena infeksi pada kebanyakan he an menetap secara menahun, maka daging yang mentah / setengah matang menjadi sumber infeksi untuk manusia, karnivora dan kucing. Penularan transplasental * T.gondii dapat ditularkan kepada janin jika ibu mendapatkan infeksi primer sebelum kehamilan. h j dari semua anita yang terinfeksi dalam masa kehamilannya akan menularkan parasit tersebut ke janinnya. 9ari berbagai faktor yang menentukan hasil akhir janin, usia kehamilan pada saat infeksi merupakan faktor yang paling menentukan. &da beberapa data yang menyatakan peranan infeksi maternal yang baru saja terinfeksi sebagai sumber penyakit congenital. /adi anita dengan seropositif sebelum kehamilan biasanya justru terlindung terhadap infeksi yang akut dan tidak akan melahirkan janin yang terinfeksi secara congenital. Pedoman secara umum ini dapat diikuti untuk infeksi congenital. Pada dasarnya resiko tidak akan terjadi apabila ibu sudah terinfeksi < bulan / lebih sebelum terjadi pembuahan. /ika infeksi terjadi dalam aktu Y < bulan sebelum pembuahan, kemungkinan terjadi infeksi transplasental akan meningkat bersamaan dengan berkurangnya masa selang antara infeksi dan pembuahan. Sebagian besar perempuan yang terinfeksi semasa hamil akan melahirkan bayi yang normal dan tidak terinfeksi. Sekitar j akan menularkan infeksi tersebut pada bayinya. /ika infeksi terjadi pada trimester I kehamilan,insidensi infeksi transplasenta menduduki tempat paling rendah ) h '-J + tetapi penyakit yang terjadi pada neonatus paling berat. /ika infeksi terjadi pada trimester III, insidensi infeksi treansplasental paling tinggi )<-J+, tetapi

Infeksi pada manusia didapat melalui * '. >okista yang berasal dari tinja penjamu definitif ) kucing + tertelan melalui mulut. 4. 5emakan daging setengah matang yang berasal dari binatang yang mengandung kista infektif .. Penularan dari ibu hamil yang terinfeksi kepada bayinya 9i &S dan sebagian besar 2egara ,ropa, prevalensi serokonversi meningkat bersamaan dengan usia dan pajanan. Sebagai contoh, di &S -".;J individu yang berusia ';"'A thn dan ';"<=J pada individu yang berusia T -; thn, memperlihatkan bukti serologis ri ayat pajanan sebelumnya. Peningkatan pada seroprevalensi h 'J per thn.

bayi biasanya asimptomatik pada saat dilahirkan. 2amun bukti paling akhir yang diperoleh menunjukkan bah a bayi yang terinfeksi dan tampak normal mungkin mempunyai insidensi ketidakmampuan belajar serta defek neurologist kronis yang lebih tinggi pada anak yang tidak terinfeksi. #anya sejumlah kecil anita ) 4;J + yang terinfeksi T.gondii menunjukkan tanda klinis infeksi. 9iagnosa infeksi sering diketahui secara tidak sengaja ketika tes serologis pasca konsepsi yang rutin memperlihatkan bukti adanya antibodi spesifik.

serology, jika terjadi peningkatan titer antibodi spesifik to3oplasma pada anak secara klinis sehat / sedang diobservasi.

#anya sebagian kecil neonatus dengan congenital to3oplasmosis mempunyai ketiga tanda trias klasik * hidrosefalus, kalsifikasi intra serebral dan retinokoroiditis, sebagian besar hanya ' / 4 dari gejala tersebut yang nampak. Sekitar ';J infeksi congenital neonatus menunjukkan kerusakan struktur pada saat lahir ) congenital to3oplasmosis +, dan yang lain hanya sub klinis, namun dapat terjadi kegagalan visual / retinokoroiditis di kemudian hari jika tidak diterapi. &nak dengan infeksi subklinis juga ada kemungkinan mengalami se$uele neurologis seperti hidrosefalus, mikrosefalus, retardasi psikomotor, kejang dan tuli.

E&'r"olog" (ongen" al oEo5las&os"s Infeksi postnatal oleh T.gondii A;J asiptomatik. Pada penjamu dengan imunokompeten, patogenisitas dari parasit dapat dibatasi sehingga terjadi kasus subklinis. Bila infeksi postnatal terjadi secara oral melalui ookista, infeksi prenatal terjadi hanya jika terjadi infeksi primer sebelum kehamilan. Infeksi maternal diikuti parasitemia menyebabkan infeksi plasenta sehingga terjadi infeksi sekunder pada fetus secara hematogen. Berat ringannya gejala klinis pada fetus tergantung lamanya paparan fetus pada parasit. Infeksi pada a al kehamilan biasanya terjadi lahir mati / abortus dikarenakan terjadinya kerusakan sel"sel trofoblast. Infeksi to3oplasma pada fetus dapat menyebabkan infeksi to3o congenital atau to3oplasmosis congenital. Batasan infeksi to3oplasma digunakan pada infeksi yang terjadi sebelum kehamilan, tetapi tanpa adanya gejala dan tanda klinis pada bayi. 9iagnosa infeksi fetal dilakukan dengan deteksi parasit pada cairan amnion dengan reaksi rantai polymerase dengan inokulasi pada cairan amnion pada tikus / kultur jaringan. Postnatal, infeksi to3oplasma congenital dikonfirmasi melalui follo up

Klas"+"kas" Kongen" al oEo5las&os"s (lasifikasi klinis pada infeksi congenital to3oplasma oleh 9esmonts dan %ouvreur * '. &nak dengan kelainan neurologis #idrosefalus, mikrosefalus, mocrophthalmus dengan atau tanpa retinochoroiditis. 0ejala mungkin timbul saat dilahirkan atau didiagnosa kemudian. 4. &nak dengan kelainan berat, penyakit generalisata 5aculopapular e3anthema, purpura, pneumonia, jaundice berat, hepatospenomegali, mungkin juga terdapat uveitis dan pembesaran ventricular. .. &nak dengan kelainan sedang dan tanda infeksi prenatal #epatospenomegali dan jaundice dengan atau tanpa trombositopenia atau gejala yang non spesifik.

1. &nak dengan infeksi subklinis Perke&'angan a'nor&al se(ara e&'r"olog"s ak"'a oEo5las&os"s " Trimester I * (ematian fetus dan abortus terjadi karena pada sel yang terinfeksi to3oplasma akan dihasilkan interferon X yang berfungsi untuk mengontrol multiplikasi parasit. 9i lain pihak, terlalu banyak interferon X dapat menyebabkan kematian fetus yang diakibatkan reaksi imunopatologis. #al ini terjadi pada saat pembentukan fetus. Biasanya terjadi pada masa a al gestasi.

fungsi retina menurun dimana terjadi destruksi dan penipisan selaput retina. 5ikroftalmia juga dapat terjadi pada ibu dengan to3oplasmosis dimana ukuran mata terlalu kecil dan volume bola mata berkurang sampai dengan k dari normal dan biasanya disertai cacat mata lainnya.

TANDA DAN BE:ALA 0ejala berhubungan dengan to3oplasmosis akuler unilateral yang terkena, nyeri okuler ringan, pandangan kabur, tampak gambaran bercak melayang pada oftalmoskop. (eluhan penderita biasanya pandangan kurang jernih. Secara klinis ditemukan * granulomatous iritis, vitritis, pembengkakan selaput optic, neuroretinitis, vaskulitis, oklusi vena retinal, tergantung peradangan dan berapa aktif virus menyerang mata. !unduskopi, to3oplasmosis aktif menunjukkan gambaran putih kekuningan, lesi korioretinal dan sel"sel vitreus, dapat juga terjadi lesi inaktif.

" Trimester II * 9apat terjadi kelainan neurologis seperti * hidrosefalus, mikrosefali, kejang dan retardasi mental, di mana pada minggu ke - L '; kehamilan adalah proses terbentuknya bagian"bagian otak dan ajah. 9i mana pada bulan 4 L - masa kehamilan terjadi proses migrasi neuron dari germinal ke korteks. 0angguan pada migrasi termasuk heterotopia, agyria L pakegiria, polimikrogiria dan gangguan histogenesis. 9i mana berhubungan dengan pembentukan gray matter di otak. :etardasi mental dapat disebabkan gangguan perkembangan akibat mutasi 92&. Trisomi 4', Trisomi 'F, Trisomi A, '., '-, namun perlu diingat bah a kelainan kromosom ini meningkat seiring dengan meningkatnya usia ibu. " Trimester III * 9apat terjadi retinokoroiditis ) okuler to3oplasmosis +, namun biasanya bermanifestasi setelah beberapa tahun kemudian tergantung dari terapi. Secara patologis terjadi lesi inflamasi fundus yang terdiri dari sel"sel mononuclear, limfosit makrofag, epiteloid dan sel"sel plasma. #al ini mengakibatkan retinal vaskulitis yang menyebabkan rupturnya barrier pembuluh darah retina sehingga

DIABNOSA 9iagnosa serologis to3oplasmosis akut pada neonatus dibuat berdasarkan titer Ig5 yang positif ) sesudah minggu pertama untuk menyingkirkan kemungkinan kebocoran le at plasenta +. Penurunan titer Ig0 harus diulang setiap < L '4 minggu / kali. Peningkatan titer Ig5 yang berlangsung melebihi minggu pertama merupakan indikasi adanya infeksi akut ) aktu paruh Ig5 maternal . L - hari +.

TERAPI

Pasien yang hanya memperlihatkan gejala limfadenopati tidak perlu terapi spesifik kecuali jika terdapat gejala yang persisten dan berat. Pasien dengan okuler to3oplasmosis harus diobati selama ' bulan dengan sulfadia?in dan pirimetamin. Preparat alternatif adalah klindamisin dan pirimetamin. kombinasi

memakan daging yang kurang matang. 9aging harus dimasak hingga suhu <;l% dan dibekukan untuk mematikan kista. Tangan harus dicuci sampai bersih setelah bekerja di kebun, sayur dan buah harus dicuci dahulu. 9arah yang digunakan untuk tranfusi pada penderira dengan keadaan umum lemah dengan hasil serologis kehamilan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining untuk antubodi terhadap T.gondii. 5eskipun pemeriksaan skrining serologis tidak dilakukan rutin, namun anita dengan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining beberapa kali selama kehamilannya untuk menemukan bukti adanya infeksi jika mereka terpajan dengan situasi lingkungan yang memberikan resiko terkena infeksi T.gondii.

Susunan pengobatan paling mutakhir mencakup pemberian pirimetamin dengan dosis a al -; L =- mg / hari, ditambah sulfadia?in 1 L < g / hari dalam dosis terbagi 1. Selain itu diberikan pula kalsium folinat '; "'- mg / hari selama < minggu. Semua preparat ini hanya bekerja aktif terhadap stadium taki?oit pada to3oplasmosis. /adi setelah menyelesaikan pengobatan a al penderita harus mendapat tertapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin ) 4- "-; mg + dan sulfadia?in ) 4 L 1 g +. /ika pemberian sulfadia?in tidak dapat ditolerir dapat diberikan kombinasi pirimetamin ) =- mg / hari + ditambah klindamisin ) 1;; mg + .3 / hari. Pemberian pirimetamin saja ) -; "=- mg / hari + mungkin sudah cukup untuk terapi supresif yang lama. 2eonatus yang terinfeksi secara congenital dapat diobati dengan pemberian pirimetamin oral ) ;,- L ' mg / kg BB + dan sulfadia?ine ) ';; mg / kg BB +.9i samping itu terapi dengan golongan spiramisin ) ';; mg / kg BB + ditambah prednisone ) ' mg / kg BB + juga memberikan respon yang baik untuk infeksi congenital.

DAFTAR PUSTAKA '. &mbroise Pierre, Thomas ) 4;;; +. %ongenital To3oplasmosis scientific Background, %linical 5anagement and %ontrol.Springer, p '-."'==. 4. Beck !, 5offat 9B,9avies 9P ) 'AF- +. #uman ,mbryology.Second edition. Black ell Scientific Publications, >3ford, p.'-="'<A. .. !amilly doctor.org.editorial ) 4;;- +. To3oplasmosis in Pregnancy. e#ealth &rticles. 9iambil 'F /uni 4;;F, dari http*//familydoctor.org/online/famdocen/h ome/ omen/pregnancy. 1. #omeir Barbara P ) 4;;- + %ongenital To3oplasmosis. 9iambil 'F /uni 4;;F, dari http*// .kidshealth.org.parent/infectio ns/parasitic/to3oplasmosis -. (asper Eloyd ) 'AAA +. Infeksi To3oplasma dan To3oplasmosis. 9alam* Prinsip"prinsip Ilmu Penyakit 9alam. ,disi '.. ,ditor* &hmad #. Penerbit Buku (edokteran ,0%, hlm ';4'"';4=. <. 5artinelli Pra$uale, &gangi &nnalisa ) 4;;= +. Screening for To3oplasmosis in

PENCEBA*AN Infeksi primer to3oplasma dapat dikurangi dengan menghindari bahan yang terkontaminasi ookista dan

Pregnancy. The Eancet, &cademic :esearh Eibrary, p F4.. =. >@:ahilly :onan, 5uller !abiola. ) 'AA4 +. #uman ,mbryology and Teratology.Dilley"Eiss,Inc.,<;-Third &venue, 2e Iork,p.4A.".;..

F. Saddler TD) 4;;; +. ,mbriologi (edokteran Eangman.,disi ke =. ,ditor* :onardy 9evi. Penerbit Buku (edokteran ,0%, hlm .-F".<=.

INTERAKSI O/AT *ern" Su5ra5 " Dosen Fakul as Ke!ok eran Un"#ers" as $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A's rak Banyak pasien, terutama orang tua, diperlakukan terus menerus dengan satu atau lebih obat untuk penyakit kronis seperti hipertensi, gagal jantung, osteoarthritis dan sebagainya. (ejadian akut )infeksi misalnya, infark miokard+ diperlakukan dengan obat tambahan. Potensi interaksi obat, oleh karena itu, besar dan VpolifarmasiV merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan ketika meresepkan dalam kelompok ini. >bat juga dapat berinteraksi dengan konstituen diet lainnya )misalnya jus jeruk bali, yang do nregulates ekspresi isoform spesifik P1-;, %IP.&1, di dinding usus+ dan obat herbal )seperti ort St /ohn+, yang terakhir menjadi lebih banyak digunakan meskipun tipis atau tidak ada bukti keamanan atau keampuhan. &dministrasi satu obat )&+ dapat mengubah tindakan lain )B+ dengan salah satu dari dua mekanisme umum* '. modifikasi efek farmakologi dari B tanpa mengubah konsentrasi di cairan jaringan )interaksi farmakodinamik+. 4. perubahan konsentrasi B yang mencapai situs kerjanya )interaksi farmakokinetik+.

DRUB INTERACTION *ern" Su5ra5 " Le( urer Fa(ul % o+ Me!"("ne, Un"#ers" % o+ $"ja%a Kusu&a Sura'a%a
A's ra( 5any patients, especially the elderly, are treated continuously ith one or more drugs for chronic diseases such as hypertension, heart failure, osteoarthritis and so on. &cute events )e.g. infections, myocardial infarction+ are treated ith additional drugs. The potential for drug interactions is, therefore, substantial and QpolypharmacyR is an important factor to consider hen prescribing in this group. 9rugs can also interact ith other dietary constituents )e.g. grapefruit juice, hich do nregulates e3pression of a specific isoform of P1-;, %IP.&1, in the gut all+ and herbal remedies )such as St /ohn@s ort+, the latter becoming more idely used despite flimsy or absent evidence of safety or efficacy. The administration of one drug )&+ can alter the action of another )B+ by one of t o general mechanisms* '. modification of the pharmacological effect of B ithout altering its concentration in the tissue fluid )pharmacodynamic interaction+. 4. alteration of the concentration of B that reaches its site of action )pharmacokinetic interaction+.

A!" "+) ,fek 4 obat yang diberikan bersamaan, yang hasil akhirnya adalah jumlah masing"masing obat tersebut. An agon"s) ,fek 4 obat yang diberikan bersamaan, yang hasil akhirnya adalah kurang dari jumlah efek kedua obat tersebut. In eraks" Far&ako!"na&"k) Perubahan farmakodinamik suatu obat karena berinteraksi dengan obat lain )mis, interaksi aditif+. In eraks" Far&akok"ne "k) Perubahan farmakokinetik suatu obat karena berinteraksi dengan obat lain )mis, induksi en?im hepatik+. S"nerg"s)

,fek 4 obat yang diberikan bersama" sama, hasilnya lebih besar daripada jumlah efek kedua obat tersebut. Interaksi >bat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap obat lain, di dalam tubuh. Interaksi obat dapat terjadi pada farmakokinetik, atau farmakodinamik, atau gabungan keduanya. Interaksi obat in vitro )campuran pada larutan atau sediaan injeksi+ disebut dengan Qdrug incompatibilitiesR, bukan interaksi obat. Salah satu atau kedua obat yang bercampur menjadi tidak aktif. 5isalnya, campuran thiopental dengan su3amethonium membentuk senya a

kompleks. #eparin dapat menginaktifasi obat lain. &da ratusan interaksi obat, tetapi yang penting secara klinis hanya beberapa saja )Tabel '+. >bat"obat ini kontraindikasi bila diberikan bersama"sama atau harus disesuaikan dosisnya. Ta'el -. In eraks" O'a O'a %ang &en%e'a'kan "n eraks" &lcohol

Pasien"pasien yang harus diberi perhatian terjadi interaksi obat adalah pasien lanjut usia, yang biasanya menderita beberapa penyakit kronis, sehingga minum banyak macam obat, selain tentunya perubahan klirens obat karena usia.

O'a %ang !"5engaru1" %2S depressants &cetaminophen

Ke erangan &dditive %2S depression, sedation, ata3ia, increased risk of accidents Increased formation of hepatoto3ic metabolites of acetaminophen ,nhanced ototo3icity 9ecreased gut absorption due either to reaction ith the drug affected or reduced gut acidity 5any antibiotics lo er estrogen levels and reduce contraceptive effectiveness &dditive effects ith the drugs affected Slo ed onset of effect because stomach emptying is delayed Increased clearance of the affected drugs due to en?yme induction, possibly leading to decreases in drug effectiveness 5asking of symptoms of hypoglycemia Increased Qfirst"doseR syncope :educed absorption of the affected drug :educed effect of other drugs because of induction of metabolism Increased effect of other

&minoglycosides &ntacids

&ntibiotics &ntihistamines )#'" blockers+ &ntimuscarinic drugs Barbiturates, especially phenobarbital

Eoop diuretics 9igo3in, iron supplements, fluoro$uinolones, ketocona?ole, tetracyclines, thyro3ine ,strogens, including oral contraceptives &nti muscarinics, sedatives 9rugs absorbed from the small intestine &?oles, calcium channel blockers, cyclosporine, propranolol, protease inhibitors, $uinidine, steroids, arfarin, and many other drugs metaboli?ed in the liver Insulin Pra?osin

Beta"blockers

Bile acid"binding resins %arbama?epine

&cetaminophen, digitalis, thia?ides,thyro3ine %yclosporine, do3ycydine, estrogen, haloperidol, theophylline, arfarin Ben?odia?epines, lidocaine,

%imetidine

9isulfiram metronida?ole, certain cephalosporins ,rythromycin !uranocoumarins )grapefruit juice+ (etocona?ole and other a?oles 5&> inhibitors

phenytoin, propranolol, $uinidine, theophylline, arfarin ,thanol

drugs due to inhibition of hepatic metabolism Increased hangover effect of ethanol because aldehyde dehydrogenase is blocked :isk of to3icity due to inhibition of metabolism these drugs Increased effect of other drugs due to inhibition of hepatic metabolism :isk of to3icity due to inhibition of metabolism of these drugs Increased 2, in sympathetic nerve endings released by the interacting drugs #ypertensive crisis Increased bleeding tendency because of reduced platelet aggregation 9ecreased anti hypertensive efficacy of &%, inhibitor :educed diuretic efficacy Increased metabolism of other drugs due to inductionC decreased efficacy Increased digo3in levels due to decreased clearanceC displacement may play a role 9ecreased efficacy of these drugs due to hepatic P1-; iso?ymes 9ecreased metabolism of other drugsC increased effects may lead to to3icity

%arbama?epine, cisapride, $uinidine, sildenafil, theophylline &pra?olam, atorvastatin, cydosporine, mida?olam, tria?olam Ben?odia?epines, cisapride cyclosporine, fluo3etine, lovastatin, omepra?ole, $uinidine,tolbutamide, arfarin %atecholamine releasers )amphetamine, ephedrine+ Tyramine"containing foods and beverages &nticoagulants

2onsteroidal anti" inflammatory drugs

&%, inhibitors Eoop diuretics, thia?ides 9o3ycycline, methadone, $uinidine, verapamil

Phenytoin

Ouinidine

9igo3in

:ifampin

:itonavir

&?ole antifungal drugs, corticosteroids, methadone, theophylline, tolbutamide Ben?odia?epines, cyclosporine, diltia?em, dronabinol, #50" %o& reductase inhibitors, lidocaine, metaprolol, other #IK protease inhibitors, propo3yphene, selective

Salicylates

serotonin reuptake inhibitors %orticosteroids #eparin, arfarin 5ethotre3ate Sulfinpyra?one 5&> inhibitors, meperidine, tricydic antidepressants, St. /ohnHs ort 9igitalis Eithium

Selective serotonin reuptake inhibitors Thia?ides

Darfarin

&miodarone, cimetidine, disulfiram, erythromycin, flucona?ole, lovastatin, metronida?ole &nabolic steroids, aspirin, 2S&I9s, $uinidine,thyro3ine Barbiturates, carbama?epine, phenytoin, rifabutin, rifampin, St. /ohnHs ort

&dditive to3icity of gastric mucosa Increased bleeding tendency 9ecreased clearance, causing greater methotre3ate to3icity 9ecreased uricosuric effect Serotonin syndrome hypertension, tachycardia, muscle rigidity, hyperthermia, sei?ures Increased risk of digitalis to3icity because thia?ides diminish potassium stores Increased plasma levels of lithium due to decreased total body ater Increased anticoagulant effect via inhibition of arfarin metabolism Increased anticoagulant effects via pharmacodynamic mechanisms 9ecreased anticoagulant effect due to increased clearance of arfarin via induction of hepatic P1-; iso?ymes

Selain interaksi obat dengan obat, dapat juga terjadi interaksi obat dengan senya a yang terkandung dalam makanan )mis, jus anggur / grapefruit juice, yang dapat men \do nregulates e3pression@ specific isoform P1-;, %IP.&1 di dinding usus+, dan interaksi obat dengan obat herbal. Interaksi obat penting secara klinis, apabila therapeutic range obat B sempit )yaitu, apabila sedikit saja penurunan efek, akan menyebabkan hilangnya efikasi dan / atau peningkatan sedikit efek akan menyebabkan toksisitas+. Interaksi farmakokinetik menjadi penting apabila kurva kadar"respons obat B curam )perubahan kecil pada kadar plasma

menyebabkan perubahan efek yang bermakna+ dan margin terapetiknya sempit, maka interaksi obat akan menyebabkan masalah besar, misalnya obat antithrombotic, antidysrhythmic, antiepileptic, lithium, antineoplastic, dan immunosuppressant. Interaksi obat bisa juga tidak mempengaruhi klinis, misalnya perubahan besar pada kadar plasma obat yang relatif tidak toksik seperti 5en"("ll"n, tidak menyebabkan masalah klinis karena safety margin"nya besar, kadar plasma yang dihasilkan oleh dosis normal sangat jauh dengan kadar plasma hilangnya efikasi atau timbulnya toksisitas.

INTERAKSI FARMAKODINAMIK '. Interaksi yang menyebabkan efek yang berla anan 4. Interaksi yang menyebabkan efek aditif A. INTERAKSI YANB MENYE/A/KAN EFEK YANB /ERLA$ANAN 3ANTABONIS4 Beta"bloker menghilangkan )antagonis+ efek bronkodilatasi aktivator B4"adrenoceptor )salbutamol atau terbutaline+ yang digunakan untuk asma. ,fek catecholamine pada denyut jantung )via aktivasi B"adrenoceptor+ diantagonis oleh inhibitor acetylcholinesterase yang bekerja melalui &%h )via reseptor muscarinik+. &ntagonis oleh obat agonis"antagonis )mis, penta?ocine+ atau oleh partial agonis )mis, pindolol+, yang harus hati"hati bila digunakan dengan obat agonis murni. Beberapa obat antagonis tidak mengalami interaksi reseptor. 5isalnya, nonsteroidal anti" inflammatory drug )2S&I9+ dapat menurunkan efek antihipertensi &%, inhibitor dengan menurunkan eliminasi sodium via renal.

mempunyai efek mem"blok reseptor muscarinik. ,fek depresi SSP aditif disebabkan karena pemberian sedative, hypnotic, dan opioid, bersama dengan konsumsi ethanol. >bat"obat hipertensi yang diberikan bersamaan, dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat rendah. ,fek aditif obat anticoagulant menyebabkan komplikasi perdarahan. ,fek samping perdarahan dapat meningkat bila arfarin yang diberikan bersama dengan aspirin )via efek antiplatelet, inhibisi biosintesis platelet thrombo3ane &4 L menyebabkan perdarahan lambung+, $uinidine )aditif hypoprothrombinemia+, thrombolytic )via aktivasi plasminogen,+, dan hormon thyroid )via peningkatan katabolisme clotting factor+. $ar+ar"n ber"kompetisi dengan vitamin (, mencegah sintesa hepatik berbagai faktor koagulasi. Bila produksi vitamin ( di intestine di"inhibisi )mis, oleh antibiotik+, maka efek antikoagulan arfarin meningkat.

/. INTERAKSI YANB MENYE/A/KAN EFEK ADITIF Interaksi &ditif adalah jumlah efek 4 obat. (edua obat tersebut bisa bekerja pada reseptor yang sama atau reseptor yang berbeda. Penggunaan tricyclic antidepressant dengan diphenhydramine atau prometha?ine menimbulkan atropine"like effect yang berlebihan karena semua obat ini

Interaksi supra"aditif dan potensiasi lebih jarang terjadi daripada antagonis dan interaksi aditif. Interaksi supra"aditif )sinergistik+, yaitu hasil interaksi lebih besar daripada jumlah kedua obat. (ombinasi antibiotik sulfonamide dengan dihydrofolic acid reductase inhibitor berupa trimethoprim. Sulfonamide mencegah sintesa folic acid oleh bakteriC r"&e 1o5r"& meng"inhibisi reduksi menjadi tetrahydrofolate. Bila diberikan bersama, maka

akan terjadi efek sinergis untuk terapi Pneumocystis carinii. Potensiasi, adalah efek obat yang ditingkatkan oleh obat kedua yang tidak mempunyai efek. Interaksi beta"lactamase inhibitor " clavulanic acid dengan beta" lactamasesusceptible penicillin. %ontoh lain* 9iuretik yang menurunkan kadar plasma (G, dapat meningkatkan efek cardiac glycoside sehingga menyebabkan toksisitas glycoside dan toksisitas obat antidysrhythmic tipe III yang memperpanjang cardiac action potential. S"l!ena+"l meng"inhibisi isoform phosphodiesterase )P9, type -+ yang meng"inaktivasi c05PC jadi mem"potensiasi organic nitrate, yang bekerja dengan cara meng" aktivasi guanylate cyclase, sehingga menyebabkan hipotensi berat pada pasien yang minum obat ini. 5onoamine o3idase inhibitor meningkatkan jumlah noradrenaline yang disimpan di ujung saraf noradrenergik sehingga berbahaya bila diberikan bersama dengan e51e!r"ne atau %ra&"ne, yang kerjanya rilis noradrenaline. #al ini juga dapat terjadi pada makanan yang mengandung tyramine, terutama yang di"fermentasi. 2on"steroidal anti"inflammatory drug, seperti "'u5ro+en atau "n!o&e a("n, meng"inhibisi biosintesa prostaglandin, termasuk renal vasodilator / natriuretic prostaglandins )P0,4, P0I4+. Bila diberikan pada pasien yang minum obat untuk hipertensi, dapat meningkatkan tekanan darah. Bila diberikan pada pasien yang minum diuretik

untuk payah jantung kronis, dapat menyebabkan retensi air dan garam dan meningkatkan dekompensasi cordis. Interaksi dengan diuretik merupakan interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik, karena 2S&I9 dapat berkompetisi dengan asam lemah, termasuk diuretik, pada sekresi tubulus. #istamine #'"receptor antagonis, seperti &e5%ra&"ne, efek sampingnya mengantuk. ,fek ini bertambah berat bila diminum dengan alkohol, bisa menyebabkan kecelakaan di jalan.

INTERAKSI FARMAKOKINETIK Semua proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi, dapat dipengaruhi oleh obat. A'sor5s" &bsorpsi obat dari traktus gastrointestinalis dipengaruhi oleh senya a * yang mengikat obat o antasida* menurunkan absorpsi 0IT digo3in, ketocona?ole, antibiotik $uinolone, dan tetracycline. o erythromycin meningkatkan bioavailabilitas oral digo3in, dengan cara menurunkan flora usus yang men"degradasi digo3in. o makanan yang tinggi kalsium dengan tetracycline akan membentuk senya a kompleks yang tidak bisa diabsorpsi o ?at besi dengan teh o (oles %ra&"ne )bile acid" binding resin " untuk terapi

hypercholesterolaemia+ mengikat war+ar"n dan !"goE"n sehingga tidak di"absorpsi. yang meningkatkan )metoclopramide+ atau menurunkan )antimuskarinik atropine, opiate+ motilitas gastrointestinal Senya a dalam jus anggur dan obat yang meng"inhibisi P" glycoprotein transporter obat pada intestinal epithelium, dapat meningkatkan absorpsi obat yang menjalani proses ini. Interaksi lain* penambahan a!renal"ne )epinephrine+ pada injeksi anestesi lokal* menyebabkan vasokonstriksi yang memperlambat absorpsi anestesi, jadi memperpanjang efek lokalnya. D"s r"'us" O'a Pergeseran obat dari binding site di plasma atau jaringan dapat meningkatkan kadar obat bebas / tak terikat, tetapi hal ini diikuti dengan peningkatan eliminasi sehingga terjadi steady state baru, dimana kadar obat total di plasma menurun tetapi kadar obat bebas sama dengan sebelum digeser oleh obat lain. &da beberapa keadaan klinis yang penting* 9apat terjadi toksisitas apabila kadar obat bebas meningkat sebelum steady state yang baru tercapai. &pabila merubah dosis untuk memenuhi target kadar plasma total, harus diingat bah a kadar terapetik target akan dipengaruhi oleh obat yang menggeser. Bila obat kedua yang menggeser, menurunkan eliminasi obat pertama, maka kadar obat bebas meningkat bukan hanya akut tetapi juga kronis pada steady

state yang baru, dapat menyebabkan toksisitas berat. 9istribusi obat dipengaruhi oleh obat lain yang berkompetisi terhadap ikatan dengan protein plasma. 5isalnya, antibiotik sulfonamide dapat menggeser methotre3ate, phenytoin, sulfonylurea, dan arfarin dari ikatannya dengan albumin. Sul+ona&"!e, (1loral 1%!ra e, trichloracetic acid )metabolit chloral hydrate+, mengikat erat plasma albumin. Penggeseran bilirubin dari albumin oleh obat, pada neonatus prematur yang jaundice dapat berakibat serius, karena pada bayi prematur, metabolisme bilirubin masih belum sempurna dan bilirubin bebas dapat menembus sa ar darah otak yang prematur dan menyebabkan kern icterus )bilirubin menodai basal ganglia+. #al ini menyebabkan gangguan pergerakan yang disebut dengan choreoathetosis, gejalanya adalah involuntary rithing dan t isting movements pada anak"anak. 9osis P1en% o"n disesuaikan dengan kadar dalam plasma, tetapi pengukuran ini tidak membedakan antara phenytoin yang terikat ataupun yang bebas, tapi merupakan kadar total obat. Pemberian obat penggeser pada pasien epilepsi yang menggunakan phenytoin akan menurunkan kadar phenytoin plasma total sehingga menyebabkan peningkatan eliminasi obat bebas, tetapi hal ini tidak menyebabkan hilangnya efikasi, karena kadar phenytoin bebas )aktif+ pada keadaan steady state yang baru, tidak terpengaruh. 9alam hal ini, kadar plasma dalam inde3 terapetik akan menurun, sehingga dosis ditingkatkan, menyebabkan toksisitas. >bat yang mempengaruhi ikatan protein dapat menurunkan eliminasi obat yang tergeser, menyebabkan interaksi obat. P1en%l'u aCone menggeser war+ar"n dari ikatannya dengan albumin dan secara selektif meng"inhibisi metabolisme

senya a )S+"isomer yang aktif secara farmakologis, memperpanjang prothrombin time dan menyebabkan peningkatan perdarahan. Sal"(%la e menggeser &e 1o reEa e dari ikatannya dengan albumin dan menurunkan sekresinya ke dalam nephron oleh kompetisi dengan anion secretory carrier. Hu"n"!"ne dan beberapa obat antidysrhythmic lainnya seperti #era5a&"l dan a&"o!arone menggeser !"goE"n dari tissue"binding site serta menurunkan ekskresi renalC sehingga menyebabkan dysrhythmia berat karena toksisitas digo3in. Perubahan distribusi obat pada suatu senya a dapat terjadi bila ada senya a lain yang mempengaruhi ukuran kompartemen fisiknya. 5isalnya, diuretik, yang menurunkan total cairan tubuh, menyebabkan peningkatan kadar plasma aminoglycoside dan lithium, sehingga meningkatkan toksisitasnya. Me a'ol"s&e o'a >bat dapat meng"induksi )Tabel 4+ atau meng"inhibisi )Tabel .+ metabolisme obat lain, yang berakibat baik atau buruk. Ta'el 0. O'a &e a'ol"s&e "n!uks" enC"&

:ifampicin 0riseofulvin Phenytoin ,thanol %arbama?epine In!uks" enC"&

(ontrasepsi oral %orticosteroid %iclosporin >bat"obat di kolom kiri juga dipengaruhi

Induksi en?im )mis, oleh barbiturate, ethanol, carbama?epine, phenytoin atau r"+a&5"("n+ juga menyebabkan interaksi obat. &da lebih dari 4;; obat yang menyebabkan induksi en?im sehingga menurunkan aktivitas farmakologis obat lain. Eihat Tabel 4. (arena senya a induksi menginduksi en?im, maka terjadilah toleransi. Toleransi farmakokinetik ini lebih kecil daripada toleransi farmakodinamik terhadap opioid, tetapi penting pada (ar'a&aCe5"ne. 5ula"mula berilah dosis kecil untuk menghindari toksisitas )karena mula"mula en?im liver tidak diinduksi+ dan pelan"pelan ditingkatkan dalam beberapa minggu, yang mana menginduksi en?im metabolismenya sendiri. 0ambar ' memperlihatkan antibiotik r"+a&5"("n, diberi untuk . hari, menurunkan efektivitas war+ar"n sebagai antikoagulan. Sebaliknya, induksi en?im dapat meningkatkan toksisitas obat kedua. Toksisitas 5ara(e a&ol * disebabkan karena 2"acetyl"p"ben?o$uinone imine, yang dibentuk oleh cytochrome P1-;. :isiko serius pada liver karena overdosis paracetamol akan meningkat pada pasien yang en?im cytochrome P1-; nya diinduksi, misalnya pada alkoholik kronis.

O'a %ang O'a %ang "n!uks" enC"& &e a'ol"s&en%a !"5engaru1" Phenobarbital Darfarin

Ba&'ar -. E+ek r"+a&5"("n 5a!a &e a'ol"s&e !an e+ek an "koagulan war+ar"n. A. (adar plasma arfarin )log scale+, per oral, dosis tunggal - mol/kg BB, versus aktu. Setelah pasien diberi rifampicin )<;; mg sehari, selama beberapa hari+, aktu paruh plasma arfarin menurun dari 1= jam menjadi 'F jam. B. ,fek arfarin dosis tunggal pada prothrombine time dalam keadaan normal dan setelah pemberian rifampicin. Induksi en?im juga digunakan untuk terapi bayi prematur, yaitu diberikan 51eno'ar'" al untuk menginduksi glucuronyltransferase, sehingga meningkatkan konjugasi bilirubin dan menurunkan risiko kernicterus. In1"'"s" enC"& Inhibisi en?im, terutama sistem P1-;, akan memperlambat metabolisme sehingga meningkatkan efek obat lain yang dimetabolisme dengan en?im tersebut. &ntara lain* cimetidine, disulfiram, erythromycin, furanocoumarins )pada jus anggur+, ketocona?ole, propo3yphene, $uinidine, ritonavir, dan sulfonamide. ,fek ini penting pada terapi pasien infeksi human immunodeficiency virus )#IK+ yang diberi ."1 obat, karena beberapa protease inhibitor merupakan inhibitor poten en?im P1-;. %ontoh lainnya adalah interaksi antara antihistamine non"sedasi er+ena!"ne dan antifungi imida?ole seperti ke o(onaCole dan obat lain yang meng"inhibisi %IP.& subfamily en?im P1-;. #al ini dapat menyebabkan perpanjangan H@T "n er#al pada electrocardiogram dan menyebabkan ventricular tachycardia pada pasien tertentu. /us anggur menurunkan metabolisme terfenadine dan obat lainnya, termasuk ("(los5or"n dan beberapa calcium channel antagonist.

Ta'el 2. O'a "n1"'"s" enC"& &e a'ol"s&e O'a %ang "n1"'"s" enC"& &llopurinol %hloramphenicol %imetidine %iproflo3acin %orticosteroids 9isulfiram ,rythromycin 5onoamine o3idase inhibitors :itonavir O'a %ang &e a'ol"s&en%a !"5engaru1" 5ercaptopurine, a?athioprine Phenytoin &miodarone, phenytoin, phethidine Theophylline Trycyclic antidepressants, cyclophosphamide Darfarin %iclosporin, theophylline Pethidine Sa$uinavir meng"inhibisi metabolisme active )S+" dan less active ):+"isomer arfarin, seperti pada Table. 1.

Iang lebih rumit lagi, beberapa inhibitor metabolisme obat mempengaruhi metabolisme stereoisomer yang berbeda secara selektif. 5isalnya, obat yang

Ta'el 6. In1"'"s" s ereosele( "#e !an non@s ereosele( "#e &e a'ol"s&e war+ar"n In1"'"s" &e a'ol"s&e Stereoselective for )S+"isomer O'a Phenylbuta?one 5etronida?ole Sulfinpyra?one Trimethoprim"sulfametho3a?ole 9isulfiram %imetidine >mepra?ole &miodarone termasuk war+ar"n, sehingga efeknya meningkat. Me ron"!aCole, suatu antimikroba yang digunakan untuk terapi infeksi bakteri anaerobik dan beberapa penyakit proto?oa, juga meng"inhibisi en?im ini, maka pasien dilarang minum alkohol. Inhibisi en?im bukan mekanisme utama suatu obat. S ero"! dan ("&e "!"ne meningkatkan efek antidepresan dan cytoto3ic.

Stereoselective for ):+"isomer 2on"Stereoselective effect on both isomer ,fek terapetik beberapa obat merupakan akibat dari inhibisi en?im )mis, 3anthine o3idase inhibitor allopurinol, yang digunakan untuk prevensi gout+. Santhine o3idase me"metabolisme beberapa obat cytoto3ic dan immunosuppressant, termasuk &er(a5 o5ur"ne )yang merupakan metabolit a?athioprine+, efek ini di"potensiasi dan diperpanjang oleh allopurinol. D"sul+"ra&, suatu inhibitor aldehyde dehydrogenase digunakan untuk mela an reaksi terhadap ethanol, juga meng"inhibisi metabolisme obat lain,

&pabila 5&>"inhibitor )efeknya mem" blok metabolisme senya a endogen sehingga meningkatkan simpanannya+ diberikan bersama dengan simpatomimetik indirek )mis, amphetamine, phenylpropanolamine"obat flu, decongestan+ dapat terjadi reaksi hipertensi. E+ek *e&o!"na&"k >bat yang menurunkan aliran darah hepatik )mis, propranolol atau lidocaine+ dapat menurunkan klirens obat yang dimetabolisme di liver, yaitu morphin dan verapamil, yang keduanya merupakan flo "limited hepatic clearance. Penurunan cardiac output dapat menurunkan aliran darah, jadi inotropik negatif )mis, propranolol+ menurunkan kecepatan metabolisme lidocaine dengan mekanisme ini. Ekskres" O'a ,kskresi obat melalui ginjal dapat dipengaruhi oleh obat yang * menurunkan aliran darah renal )mis, B"bloker+

meng"inhibisi mekansime transport renal spesifik )mis, efek aspirin pada sekresi asam urat pada segmen S4 tubulus proksimalis+ mempengarui p# urin dapat mempengaruhi ionisasi obat asam lemah atau basa lemah, menyebabkan perubahan reabsorpsi pada tubulus renalis. mempengaruhi ikatan protein, sehingga meningkatkan filtrasi

In1"'"s" sekres" u'ulus Pro'ene("! meng"inhisi sekresi 5en"("ll"n sehingga memperpanjang efeknya. Ia juga meng"inhibisi ekskresi obat lain, seperti C"!o#u!"ne. Beberapa obat lain mempunyai efek seperti probenecid sehingga meningkatkan efek obat yang eliminasinya melalui sekresi tubulus. Eihat Table -'.-. karena diuretik bekerja pada lumen tubulus, maka obat yang meng"inhibisi sekresi ke dalam cairan tubulus, seperti 2S&I9, efeknya akan berkurang.

Tabel -. >bat yang meng"inhibisi sekresi tubulus renalis O'a %ang &en%e'a'kan "n1"'"s" Probenecid Sulfinpyra?one Phenylbuta?one Sulfonamides &spirin Thia?ide diuretics Indometacin Kerapamil &miodarone Ouinidine Indometacin &spirin 2on"steroidal anti"inflammatory drugs Peru'a1an al"ran !an 5* ur"ne O'a %ang !"5engaru1" Penicillin &?idothymidine Indometacin

9igo3in !urosemide )frusemide+ 5ethotre3ate 9iuretik meningkatkan ekskresi urin obat lain, tetapi hal ini secara klinis tidak

bermakna. Sebaliknya diuretik loop dan thia?ide secara tidak langsung meningkatkan reabsorpsi pro3imal tubular l" 1"u& )hal yang sama juga terjadi pada 2aG+ dan hal ini dapat menyebabkan toksisitas pada pasien yang diberi lithium carbonate untuk mood disorder. ,fek p# urin pada ekskresi asam lemah dan basa lemah digunakan untuk terapi keracunan.

(ini makin banyak orang menggunakan obat herbal, sehingga juga terjadi peningkatan interaksi obat. Eihat Table <. >bat herbal kini makin gencar promosinya, tanpa mengindahkan keamanan atau efikasinya. >bat herbal dapat meningkatkan efek anticoagulant atau antiplatelet, antara lain* anise, arnica, capsicum, celery, chamomile, clove, feverfe , garlic, ginger, horseradish, meado s eet, onion, passion flo er, turmeric, dan ild lettuce.

INTERAKSI O/AT DENBAN O/AT

*ER/AL

Ta'el 9. In eraks" o'a !engan 1er'al *er'al 9ong $uai 0arlic, ginkgo 0inseng (ava Ei$uorice root 5a huang, other ephedra preparations O'a Darfarin &nticoagulants, antiplatelet agents &ntidepressants Sedative"hypnotics &ldosterone, anti hypertensive drugs Sympathomimetics In eraks" Increased anticoagulant effect of arfarinC bleeding Increased risk of bleeding Increased antidepressant effect, mania &dditive sedation Ei$uorice root e3tract )not candy+ increases salt retentionC hypertension ,phedrine in ma huang is additive ith other reparations sympathomimeticsC hypertension, stroke Increased metabolism of drug, decreased efficacy Increased antidepressant effectC secrotonin syndrome ith selective serotonin reuptake inhibitors

St. /ohnHs ort

>ral contraceptives, cyclosporine, digo3in, #IK protease inhibitors, arfarin &ntidepressants

Resu&e Banyak sekali jenis interaksi obatC prinsip pokok adalah * bila meragukan L cek kembali. Interaksi dapat berupa farmakodinamik atau farmakokinetik

Interaksi farmakodinamik dapat dilihat dari efke obat yang berinteraksi. Interaksi farmakokinetik dapat terjadi saat * o &bsorpsi

o o o

9istribusi )kompetisi ikatan protein+ 5etabolisme hepatik )induksi atau inhibisi+ ,kskresi renal.

9aftar Pustaka* &shraf 5o?ayani and Eionel P. :aymon, #andbook of drug interactions* & %linical and !orensic guide, 4;;1 &uer /, Berent :, and ,ber B. Eessons learned from trials ith statins. %lin %ard 41*4==L4F; )4;;'+ Bailey 9 0, 5alcolm /, &rnold >, Spence / 9 'AAF 0rapefruit juice" drug interactions. Br / %lin Pharmacol 1<* ';'"''; ):evie + Bertram 0. (at?ung, Susan B. 5asters, &nthony /. Trevor. Basic and clinical pharmacology. 5c0ra " #ill 5edical, 4;;A. !ugh"Berman &, ,rnst , 4;;' #erb" drug interactions* revie and assessment of report reliability. Br / %lin Pharmacol -4* -F="-A)Darfarin the most common drug, St /ohn@s ort the most common herb. 5ore data needed[ See also !ugh" Berman & 4;;; Eancet .--* '.1"'.F+ #anratty % 0, 5c0linchey P, /ohnston 0 9, Passmore & P 4;;; 9ifferential pharmacokinetics of digo3in in elderly patients. 9rugs &ging '=* .-.".<4 ):evie s pharmacokinetics of digo3in in relation to age, concomitant disease and interacting drugs+ #umphrey P. :ang, 5aureen 5. 9ale, /ames 5. :itter. Pharmacology. =th edition, 4;;'=. Ito (, I atsubo T, (anamitsu S, 6eda (, Su?uki #, Sugiyama I 'AAF Prediction of pharmacokinetic alterations caused by drug"drug interactions* metabolic interactions in the liver. Pharmacol :ev -;* .F="1''

)%an one predict pharmacokinetic changes from findings in isolated human hepatocytesM :evie s influences of plasma protein binding, hepatic upake, transport systems etc.+ Sproule b a, hardy b g, shulman k '4;;; differential pharmacokinetics in elderly pateients. 9rugs aging '<* '<-"'== )revie s age"related changes in pharmacodynamics as ell as pharmacokinetics and drug interactions, all of hich are clinically important+

Anda mungkin juga menyukai