Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PBL MODUL III

“PUCAT”
BLOK IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI

TUTOR: dr. Dian Amelia Abdi, M.Kes., Sp.KK


KELOMPOK 7 A

11020210005 Nurul Hafiza


11020210009 Aqil Fauziy
11020210015 Ghina Saniyyah Putri Yasya
11020210017 Munsir Ahyar
11020210027 Andi Nur Fadhillah Jayanti
11020210031 Kamilah Ramadhani Arif
11020210065 M. Sabirin Asikin
11020210121 Nisya Madani Irman
11020210131 Annisa Faharuddin

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
kita semua dapat beraktivitas dan mengejar mimpi kita hingga saat ini. Tak lupa pula kita
kirimkan shalawat dan salam kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW yang telah
menerangi kehidupan yang dahulu kelam akan jahiliah menjadi terang-benderang seperti saat
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami, dr. Dian Amelia
Abdi, M.Kes., Sp.KK yang telah membimbing kami pada saat diskusi serta memberi
masukan-masukan kepada kelompok kami.
Dalam Blok Imunologi dan Hematologi kedokteran terdapat sebuah agenda perkuliahan
berupa diskusi kelompok, dimana mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia melakukan diskusi mengenai kasus pada Blok Imunologi dan Hematologi.
Sekiranya mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini
karena semata-mata kami hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.

Makassar, 26 juli 2022

Penyusun
SKENARIO 3 :

Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan lemas, sejak 5 bulan,
memberat 1 minggu yang lalu. Pasien juga sering mengalami demam naik turun. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, sklera tidak ikterus, dan ada pembesaran
limpa schufner 1. Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Riwayat penyakit yang sama
dalam keluarga tidak ada. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Lekosit 68.000/mm3,
Hb 9 g/dL, Trombosit 234.000/mm3.

KATA SULIT :

1. Ikterus
Penyakit kuning adalah warna kuning pada kulit dan selaput lender karena akumulasi
pigmen empedu dalam darah dan pengendapannya di jaringan tubuh.1
2. Schuffner
Teknik palpasi lien dimana ditarik baris lurus dari lokasi lien melewati umbilikus ke
arah SIAS kanan kontralateral (blm ada ref)

KALIMAT KUNCI :

1. Seorang laki-laki berusia 20 tahun


2. keluhan lemas, sejak 5 bulan, memberat 1 minggu yang lalu
3. keluhan demam naik turun
4. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, sklera tidak ikterus, dan ada
pembesaran limpa schufner 1
5. Tidak memiliki keluhan sebelumnya
6. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada
7. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Lekosit 68.000/mm3, Hb 9 g/dL,
Trombosit 234.000/mm3

PERTANYAAN :
1. Jelaskan proses hematopoesis dan fungsi sel darah !
2. Gejala apa saja yang dapat timbul dari skenario diatas dan patofisiologinya ?
3. Apa diagnosis banding dari skenario ?
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan berdasarkan diagnosis
banding ?
5. Jelaskan perspektif islam berdasakan skenario !

PEMBAHASAN :

1. Jelaskan proses hematopoesis dan fungsi sel darah !


a. Proses Hematopoesis

Hematopoiesis dapat
didefinisikan sebagai produksi, perkembangan, diferensiasi, dan pematangan
semua sel darah dalam tubuh. Hematopoiesis merupakan pembentukan komponen
seluler darah yang terjadi selama perkembangan embrionik hingga dewasa untuk
memproduksi dan mengatur sistem darah dalam tubuh. Mempelajari
hematopoiesis dapat membantu memahami proses gangguan darah dan kanker
dengan lebih baik. Tempat terjadinya hematopoiesis ada pada Tabel 1.1.
Hematopoiesis terjadi di kantung kuning telur (yolk sac) beberapa minggu
pertama gestasi. Hati dan limpa adalah organ utama yang berperan dalam
memproduksi sel darah sejak janin berusia 6 minggu hingga 7 bulan sampai
dengan 2 minggu setelah kelahiran. Pada anak-anak hingga dewasa proses
hematopoiesis terjadi di sumsum tulang. Sel-sel yang sedang berkembang terletak
di luar sinus sumsum tulang, dan sel yang matang dilepaskan ke dalam rongga
sinus, mikrosirkulasi sumsum tulang, sehingga masuk ke dalam sirkulasi umum.
Pada saat bayi seluruh sumsum tulang bersifat hematopoietik tetapi setelah anak-
anak terjadi penggantian sumsum tulang disepanjang tulang panjang oleh lemak
yang sifatnya progresif, sehingga pada saat dewasa sumsum tulang hematopoietik
terbatas pada tulang rangka sentral serta ujung proksimal tulang femur dan
humerus.3
- Sel Induk Hematopoietik dan Progenitor
Semua sel darah matang dalam tubuh dihasilkan dari sejumlah kecil sel induk
hematopoietik atau Hematopoietic Stem Cell (HSC) dan progenitor.
Hematopoiesis berawal dari satu sel induk pluripotenbersama, kemudian
menyebabkan adanya berbagai jalur sel yang terpisah. Diferensiasi sel terjadi
dari sel induk menjadi jalur eritroid, granulositik, dan jalur lain yang terbatas
dalam potensi perkembangannya melalui committed hematopoietic progenitor.
Sel induk hematopoietik mempunyai kemampuan untuk memperbarui diri dan
menghasilkan setiap lineage yang ditemukan dalam sistem hematopoietik
termasuk sel darah merah, trombosit, dan berbagai sel limfoid dan myeloid.
Beberapa sel limfoid yang paling penting termasuk sel Natural Killer (NK), sel
T, dan sel B, sedangkan sel myeloid yang penting termasuk granulosit,
monosit, makrofag, sel mikroglial, sel dendritik. Masing-masing jenis sel ini
dapat dihasilkan dari satu sel induk, dan setiap sel induk mempunyai kapasitas
yang sangat besar untuk menghasilkan sejumlah sel dalam beberapa tahun.
Proses hematopoiesis melibatkan interaksi kompleks antara proses genetik
intrinsik dari sel darah dan lingkungannya. Interaksi ini menentukan apakah
sel induk, progenitor, dan sel darah matur tetap diam, berproliferasi,
berdiferensiasi, memperbaharui diri, atau mengalami apoptosis. Semua
mekanisme genetic dan lingkungan yang mengatur produksi darah beroperasi
dengan mempengaruhi keseimbangan relative proses ini. Pada kondisi normal,
mayoritas sel induk dan banyak progenitor berada dalam fase diam (G0) dari
siklus sel. Namun, banyak progenitor matur berproliferasi dan menghasilkan
keturunan matur. Pada keadaan normal, hal ini diimbangi dengan tingkat
apoptosis pada progenitor dan sel matur. Jika terjadi stress seperti pendarahan
atau infeksi, beberapa proses terjadi. Kumpulan sel yang tersimpan di sumsum
tulang atau menempel pada endotelium dengan cepat dilepaskan ke sirkulasi
untuk melokalisasi ke daerah yang cedera. Progenitor dan sel matur menjalani
apoptosis lebih sedikit, progenitor yang diam dan sel induk dirangsang oleh
berbagai faktor pertumbuhan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
leukosit, eritrosit, dan trombosit yang matur. Pada saat terjadi perdarahan,
infeksi, atau stres lain yang mendasarinya berhenti dan permintaan sel darah
Kembali normal, proses anti apoptotik dan proliferatif akan menurun, sel-sel
darah didistribusikan kembali ke tempat penyimpanan, dan proses
hematopoiesis kembali ke proses awal. Proses ini terjadi berulang-ulang kali
selama masa hidup seseorang, dan akan terlihat dalam bentuk berlebihan
setelah kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang.3
- Plastisitas Sel Induk
Sel induk merupakan sel terspesialisasi yang memiliki dua sifat menentukan,
yaitu: kemampuan untuk membedakan (berkembang menjadi sel lain) dan
kemampuan untuk diri-regenerasi. Stem cell atau sel punca adalah sel induk
yang mampu berdiferensiasi atau dapat merubah diri menjadi berbagai sel,
seperti sel otot, sel endokrin, epitel dan lain-lain. Faktor-faktor pertumbuhan
hemopoietik. Berdasarkan kemampuan berdiferensiasinya, ada 4 jenis stem
sel, antara lain:
a. Totipoten, yaitu sel yang dapat berdiferensiasi menjadi semua jenis sel.
Contoh selnya: zigot (sel telur yang sudah dibuahi)
b. Pluripoten, yaitu sel yang mampu berdiferensiasi menjadi 3 lapisan
germinal (ektoderm, mesoderm, dan endoderm) namun tidak bisa menjadi
jaringan ekstraembrionik (plasenta dan tali pusat). Contoh selnya:
embryonic stem cells.
c. Multipoten, yaitu stem cell dewasa yang terdapat dalam jaringan matur,
seperti otak, jantung, jantung, dan sumsum tulang yang mampu
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel dalam golongan yang sama.
Contoh selnya: stem cell neural pada otak yang dapat menjadi berbagai
jenis sel saraf (astrosit, oligodendrosit, dan neuron).
d. Unipoten, yaitu sel yang hanya mampu menghasilkan satu jenis sel dan
dapat meregenerasi atau memperbarui diri (self regenerate/ self renew).3
Sel induk dewasa pada berbagai organ bersifat pluripoten karena dapat
menghasilkan berbagai jenis jaringan. Salah satu sel induk dewasa ialah sel
induk hematopoietik (hematopoietic stem cells), yaitu sel induk pembentuk
darah yang mampu membentuk eritrosit, leukosit, dan trombosit atau platelet.
Sumber sel induk hematopoietik adalah sumsum tulang, darah tepi, dan darah
tali pusar. Sumsum tulang mengandung sel induk hemopoietik (yang akan
menurunkan jaringan limfoid dan myeloid) serta sel induk mesenkim
(mesenchymal stem cells/MSC). MSC dapat ditemukan pada stroma sumsum
tulang belakang, periosteum, lemak dan kulit. Sel induk mesenkim bersifat
multipoten yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel otot, tulang, ligamen,
tendon, dan lemak. Pembentukan sel induk hematopoietik terjadi pada tahap
awal embryogenesis, yaitu dari mesoderm dan disimpan pada tempat spesifik
di dalam embrio.3
- Apoptosis
Homeostasis pada organisme multiseluler dikontrol oleh proliferasi,
diferensiasi, dan kematian sel. Kematian sel dapat berupa nekrosis dan
apoptosis. Apoptosis adalah kematian sel terprogram (programmed cell death)
yang bertujuan untuk mempertahankan kestabilan populasi sel. Kegagalan
pengaturan apoptosis dapat menyebabkan sel membelah tanpa terkendali, yang
disebut sebagai kanker. Apoptosis dapat distimulasi oleh kondisi fisiologis dan
patologis serta memegang peranan penting dalam menjaga homeostasis
normal dan patogenesis beberapa penyakit. Penyebab fisiologis apoptosis,
antara lain: perkembangan embrionik ketika pembentukan jaringan, involusi
fisiologis pada saat luruhnya endometrium ketika menstruasi, dan hancurnya
sel epitel normal yang diiringi proliferasi sel kulit baru. Sedangkan penyebab
patologis apoptosis, yaitu virus (hepatitis B, hepatitis C), obat anti kanker,
radiasi, matinya sel CD4 pada Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS), hipoksia, degenerasi sel (Alzheimer, Parkinson), dan infark
miokardium. Mekanisme apoptosis terdiri dari empat tahap, diantaranya:
1. Sinyal kematian (penginduksi apoptosis) yang bersifat fisiologis (hormon,
sitokin), biologis (bakteri, virus, parasit), kimia (obat-obatan), fisik (toksin,
radiasi).
2. Integrasi/ pengaturan (transduksi sinyal, induksi gen apoptosis yang
berhubungan).
3. Pelaksanaan apoptosis, yaitu terjadinya perubahan morfologi dan kimia
(degradasi DNA, pembongkaran sel, pembentukan badan apoptotik).
4. Fagositosis/ eliminasi oleh makrofag, dendritik atau sel yang berdekatan
dengan sel apoptosis. Peristiwa apoptosis ditandai dengan pengerutan
sel, kondensasi kromatin inti, fragmentasi inti, dan pembelahan DNA pada
lokasi internukleosom. 3

Tahap diferensiasi sel darah merah

Tahap-Tahap Diferensiasi Sel Darah Merah Sel pertama yang dapat dikenali
sebagai bagian dari rangkaian sel darah merah adalah proeritroblas, yang tampak
pada permulaan Gambar 32-3. Dengan rangsangan yang sesuai, sejumlah besar
sel ini dibentuk dari sel-sel punca CFU-E. Begitu proeritroblas ini terbentuk,
maka ia akan membelah beberapa kali, sampai akhirnya membentuk banyak sel
darah merah yang matang. Sel-sel generasi pertama ini disebut eritroblas basofil
sebab dapat dipulas dengan zat warna basa; sel yang terdapat pada tahap ini
mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Pada generasi berikutnya, seperti yang
tampak pada Gambar 32-3, sel sudah dipenuhi oleh hemoglobin sampai
konsentrasi sekitar 34 persen, nukleus memadat menjadi kecil, dan sisa akhirnya
diabsorbsi atau didorong keluar dari sel. Pada saat yang sama, retikulum
endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut retikulosit karena masih
mengandung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri atas sisa-sisa aparatus
Golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya. Selama tahap
retikulosit ini, sel-sel berjalan dari sumsum tulang masuk ke dalam kapiler darah
dengan cara diapedesis (terperas melalui pori-pori membran kapiler). Materi
basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan menghilang dalam waktu
1 sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit matang. Oleh karena waktu
hidup retikulosit ini pendek, maka konsentrasinya di antara semua sel darah
merah normalnya kurang sedikit dari 1 persen.4

b. Fungsi Sel Darah Merah

Fungsi utama sel darah merah, yang juga dikenal sebagai eritrosit, adalah
mengangkut hemoglobin, yang selanjutnya mengangkut oksigen dari paru ke
jaringan. Pada beberapa hewan tingkat rendah, hemoglobin beredar sebagai
protein bebas dalam plasma dan tidak terkungkung di dalam sel darah merah. Jika
hemoglobin terbebas dalam plasma manusia, kira-kira 3 persen dari hemoglobin
tersebut bocor melalui membran kapiler masuk ke dalam ruang jaringan atau
melalui membran glomerulus ginjal masuk ke dalam filtrat glomerulus setiap kali
darah melewati kapiler. Dengan demikian, hemoglobin harus tetap dalam sel
darah merah agar berfungsi secara efektif pada manusia. Selain mengangkut
hemoglobin, sel darah merah juga mempunyai fungsi lain. Contohnya, sel tersebut
mengandung sejumlah besar anhidrase karbonat, suatu enzim yang mengatalisis
reaksi reversibel antara karbon dioksida (CO2) dan air untuk membentuk asam
karbonat (H2CO3) yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi ini beberapa ribu
kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat mengangkut
sejumlah besar CO2 dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-) dari jaringan ke paru.
Di paru, ion tersebut diubah kembali menjadi CO2 dan dikeluarkan ke dalam
atmosfer sebagai produk limbah tubuh. Hemoglobin yang terdapat di dalam sel
merupakan dapar asam-basa yang baik (seperti halnya pada kebanyakan protein),
sehingga sel darah merah bertanggung jawab untuk sebagian besar daya dapar
asam-basa seluruh darah.4
2. Gejala apa saja yang dapat timbul dari skenario diatas dan patofisiologinya ?
a. Anemia
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada tiga
kelompok:
1. Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal
Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau
sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi
akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan
vitamin yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit berjalan
normal. Kondisi kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell
anemia, gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi,
vitamin B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan
penurunan hormon yang diperlukan untuk proses eritropoesis.
2. Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan
terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat
sehingga menimbulkan anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang
diketahui atara lain:
- Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia
- Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapa
jenis makanan
- Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis
- Autoimun
- Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan
kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan trombosis
- Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel darah merah
dan menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.
3. Anemia akibat kehilangan darah
Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada
perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis
umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal (misal ulkus, hemoroid,
gastritis, atau kanker saluran pencernaan), penggunaan obat obatan yang
mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses
kelahiran.5
b. Leusitosis
Kenaikan jumlah neutrofil yang beredar dalam darah (bentukleukositosis yang
paling sering ditemukan) terjadi karenaberbagai mekanisme :
1. Ekspansi sel progenitor neutrofilik sumsum tulang dan depot simpanan terjadi
dalam waktu beberapa jam hingga beberapa hari akibat kenaikan faktor-faktor
penstimulasi koloni yang dilepas dari unsur-unsur stroma sumsum tulang.
2. Peningkatan pelepasan sel-sel neutrofil matur dari depot simpanan sumsum
tulang terjadi dengan cepat.
3. Peningkatan sel-sel neutrofil darah perifer terlihat dalamkeadaan stres akut.
4. Faktor-faktor lain menyebabkan berbagai bentuk leukositosis.Mekanisme
perubahan jumlah leukosit melibatkan interaksidiantara saraf, endokrin dan
sistem imun. Dimana keberadaan saraf aferent untuk menginformasikan
adanya respon eksternal semisal inflamasi dan infeksi bakteri iskemia berat
dan ancaman kerusakan miokardium kepada susunan saraf pusat. Pada kasus
inflamasi, setelah leukositosis atau terjadi peningkatan neutrofil pada daerah
cedera.6
c. Splenomegaly

3. Apa diagnosis banding dari skenario ?


Anemia Hemolitik Autoimun
Ialah suatu anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen
pada membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Reaksi
autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam sirkulasi
menjadi lebih pendek.7

Etiologi
AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen sehingga
menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang bereaksi terhadap self
antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan bermanifestasi sebagai penyakit
autoimun. Antibodi yang terbentuk mengakibatkan peningkatan klirens dengan
fagositosis melalui reseptor (hemolisis ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit yang
diperantarai oleh komplemen (hemolisis intravaskuler).7

Patofisiologi
AIHA disebabkan oleh autoantibodi langsung yang melawan antigen sel darah merah,
molekul pada permukaan sel darah merah. Autoantibodi mengikat sel darah merah.
Saat sel darah merah dikelilingi oleh antibodi, sel tersebut akan hancur dengan satu
atau lebih mekanisme. Pada kebanyakan kasus Fc portion dari antibodi akan dikenali
oleh reseptor Fc makrofag, dan ini akan menyebabkan eritrofagositosis. Jadi,
destruksi sel darah merah akan berlangsung di tempat yang makrofagnya banyak,
seperti di limpa, hati, dan sumsum tulang. Karena anatomi khusus dari limpa, yang
efisien dalam menjebak sel darah merah yang dikelilingi antibodi, dan terkadang
menjadi tempat predominan untuk destruksi sel darah merah. Meskipun pada kasus
berat dalam sirkulasi monosit dapat mengambil bagian dalam proses. Kebanyakan
mediator fagositosis dari penghancuran sel darah merah mengambil tempat di organ
yang disebutkan tadi, dan disebut hemolisis ekstravaskular. Dalam kasus lain,
antibodi alami (biasanya antibodi IgM) adalah antigen-antibodi kompleks pada
permukaan sel darah merah yang dapat mengaktifkan komplemen. Hasilnya, banyak
jumlah membran penyerang kompleks akan terbentuk, dan banyak sel darah merah
hancur secara langsung; dan diketahui sebagai hemolisis intravaskular.3-6.8
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan berdasarkan diagnosis
banding ?
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi pemeriksaan
hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin, laktat
dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan serologi.
a. pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat bervariasi dari normal
sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA tipe dingin jarang
ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat sedangkan jumlah leukosit
bervariasi dan jumlah trombosit umumnya normal.9
b. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis, polikromasi,
sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.22 Polikromasi menunjukkan
peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang. Sferositosis dapat terjadi
pada proses hemolitik pada anemia hemolitik sedang sampai berat.9
c. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat dehidrogenase
(LDH) Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan didapatkan
peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis ekstravaskuler terjadi
melalui proses fagositosis eritrosit oleh sistem retikuloendotelial yang
menyebabkan eritrosit lisis dan hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin
oleh lisosom. Globin dihidrolisis menjadi asam amino. Heme kemudian menjadi
besi dan protoporfirin yang terdiri dari biliverdin dan karbonmonoksida.
Biliverdin yang terikat dengan albumin merupakan bilirubin yang tidak
terkonjugasi di dalam darah. Bilirubin yang tidak terkonjugasi/indirek masuk ke
hepar dan menjadi bilirubin terkonjugasi/direk. Bilirubin direk dirubah menjadi
urobilinogen yang diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi di ginjal
dirubah urobilinogen urin.
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang menyebabkan
penurunan kadar haptoglobin. Hemolisis intravaskuler menimbulkan destruksi
pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan dengan haptoglobin menjadi
haptoglobin hemoglobin sehingga kadar haptoglobin menurun. Kompleks
haptoglobin hemoglobin dimetabolisme menjadi bilirubin.9
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia hemolitik sangat tergantung pada etiologi yang
mendasarinya. Tujuan utama dari terapi farmakologi adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi.10
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid diindikasikan pada anemia hemolitik yang disebabkan oleh faktor
imunitas. Terutama pada anemia hemolitik autoimun (AIHA). Pada tahap awal
dapat diberikan prednison oral 1–2 mg/kg/hari. Bila respon terapi per oral kurang
adekuat, maka dapat diberikan methylprednisolone intravena dengan dosis 0,8–1,6
mg/kg/hari. Penurunan dosis steroid harus dilakukan dengan perlahan. 10,11

b. Erythropoietin
Erythropoietin (EPO) digunakan untuk mengurangi kebutuhan transfusi. Keadaan
dimana terapi EPO dapat mengurangi kebutuhan transfusi antara lain:
- Anak-anak dengan gagal ginjal kronik
- Anemia hemolitik autoimun yang berhubungan dengan retikulositopenia

- Pasien sickle cell anemia yang menjalani hemodialisis karena gagal ginjal

- Bayi dengan hereditary spherocytosis


Akan tetapi kemampuan EPO untuk mengurangi transfusi pada bayi baru lahir
dengan hereditary spherocytosis dan pada post-diarrheal hemolytic uremic
syndrome masih belum jelas. Metode terapi ini masih membutuhkan studi
lebih lanjut.10
c. Tranfusi Darah
Terapi anemia hemolitik dengan transfusi darah sebaiknya dihindari kecuali
dinilai sangat perlu. Transfusi dapat dilakukan pada pasien dengan angina atau
pasien dengan keadaan kompensasi kardiopulmonal berat. Kelebihan besi karena
riwayat transfusi berkali-kali pada anemia kronik (contohnya pada thalassemia
dan sickle cell anemia) dapat diterapi dengan kelasi besi.10
d. Intravenous Immunoglobulin G (IVIG)
Intravenous immunoglobulin (IVIG) dapat digunakan sebagai terapi pasien AIHA.
Tetapi modalitas tata laksana ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut
karena tidak semua pasien berespon terhadap pemberian IVIG. Penelitian lanjutan
mengenai efikasi dan populasi target masih dibutuhkan.12
e. Intravenous immunoglobulin dapat diberikan dengan dosis 0,4–0,5 g/kg selama 5
hari. Terapi ini biasanya diindikasikan sebagai terapi adjuvan steroid pada kasus
anemia hemolitik terkait imun yang berat.11
f. Asam folat
Pemberian profilaksis asam folat diindikasikan karena hemolisis aktif dapat
menurunkan kadar folat serum dan menyebabkan megaloblastosis.10
g. Rituximab
Rituximab adalah chimeric monoclonal antibody yang menargetkan diri pada
antigen CD20 limfosit B yang umumnya dipergunakan sebagai terapi pada non-
Hodgkin’s lymphomas, leukemia limfositik kronik dan rheumatoid arthritis berat.
Rituximab digunakan sebagai terapi off label pada AIHA dengan dosis 375
mg/m2/minggu selama 4 minggu.11

h. Terapi Bedah
Splenektomi merupakan pilihan utama terapi pada anemia hemolitik akibat
keadaan tertentu, seperti hereditary spherocytosis. Pada kasus lain, seperti AIHA,
splenektomi direkomendasikan ketika modalitas terapi lainnya telah gagal.
Splenektomi tidak direkomendasikan pada intravaskular hemolisis. Sepsis berat
pada pasien pasca operasi splenektomi adalah kasus yang jarang, tapi merupakan
keadaan yang fatal.10,13

Tata Laksana Lainnya

Tata laksana anemia hemolitik lain dilakukan sesuai penyebab spesifik. Jika
anemia hemolitik diduga terkait dengan obat, maka penggunaan obat yang bisa
menginduksi hemolisis harus dihentikan segera. Jika hemolisis dicurigai
disebabkan oleh malaria, maka dapat diberikan obat antimalaria.

5. Jelaskan perspektif islam berdasakan skenario !

‫َما َأ ْن َز َل هللاُ دَ ا ًء ِإاَّل َأ ْن َز َل َل ُه شِ َفا ًء‬

Artinya: “Tidaklah Allah SWT menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan
penawarnya.” (HR.Bukhari).14
‫ان لِ َيقُ ْو َم ال َّناسُ ِب ْال ِقسْ ۚطِ َواَ ْن َز ْل َنا‬ َ ‫ت َواَ ْن َز ْل َنا َم َع ُه ُم ْالك ِٰت‬
َ ‫ب َو ْال ِمي َْز‬ ِ ‫َل َق ْد اَرْ َس ْل َنا ُر ُس َل َنا ِب ْال َبي ِّٰن‬
ٌّ‫ب اِنَّ هّٰللا َ َق ِوي‬ ُ ‫اس َولِ َيعْ َل َم هّٰللا ُ َمنْ َّي ْن‬
ِ ۗ ‫صرُهٗ َو ُر ُس َل ٗه ِب ْال َغ ْي‬ ‫ْأ‬
ِ ‫ْال َح ِديْدَ ِف ْي ِه َب سٌ َش ِد ْي ٌد َّو َم َنا ِف ُع لِل َّن‬
‫َع ِز ْي ٌز‬

Artinya: Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang
nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai
kekuatan, hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (QS. Al-Hadid Ayat 25).15
REFERENSI

1. Stillman AE. Jaundice. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical
Methods: The History, Physical, anda Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston:
Butterworths; 1990. Chapter 87. Available from:
hhtps://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK413/
2. …
3. Andika Aliviameita; Puspitasari.2019.Buku Ajar Mata
KuliahHematologi.Sidoarjo:UMSIDA Press
4. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 1022 
5. Ref : Ann Edmundson, MD, PhD. Understanding Anemia – The Basic. [internet]
2013 [updated on May 13, 2013]. Available from: http://www.webmd.com/a-to-z-
guides/understanding-anemia-basics [cited on 12 December 2013]
6. Ref : Wijayanti, F. (2017). KEJADIAN LEUKOSITOSISPADA IBU NIFAS (STUDI
DESKRIPTIF DI RSUD TUGUREJO SEMARANG) (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Semarang).
7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: SinarSurya MegahPerkasa; 2009. h. 103.
8. Hemolytic Anemia, diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/201066-
overview#a0156, 17 April 2015.
9. Parjono elias, Kartika widyanti. 20`5. Anemia Hemolitik Autoimun; dalam Ilmu
Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 660-662
10. Schick, Paul. Hemolytic Anemia. 2019. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/201066-overview#showall
11. Ladogana, Saverio et al. Diagnosis and management of newly diagnosed childhood
autoimmune haemolytic anaemia. Recommendations from the Red Cell Study Group
of the Paediatric Haemato-Oncology Italian Association. Blood Transfus. 2017 May;
15(3): 259–267. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5448833/
12. Zwiers C et al. Immunoglobulin for alloimmune hemolytic disease in newborns. 2018.
Available from :
https://www.cochrane.org/CD003313/NEONATAL_immunoglobulin-alloimmune-
hemolytic-disease-newborns
13. Haley, K. Congenital Hemolytic Anemia. Med Clin North Am. 2017 Mar;101(2):361-
374. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28189176

14. Muflih,Andi. 2013.Pengobatan Dalam Islam. UIN Alauddin: Makassar.


15. Sudiarti, T., Delilah, G. G. A., & Aziz, R. (2018). Besi dalam Qur'an dan Sains Kimia
(Analisis Teoritis dan Praktis Mengenai Besi dan Upaya Mengatasi Korosi pada
Besi). Al-Kimiya: Jurnal Ilmu Kimia dan Terapan, 5(1), 7-16.

Anda mungkin juga menyukai