Anda di halaman 1dari 18

HEMATOLOGI DAN HEMOPOIESIS

Oleh Nyoman Sadra Dharmawan

Hematologi veteriner adalah disiplin ilmu kedokteran hewan yang mempelajari


komponen sel darah hewan serta kelainan fungsional dari sel tersebut. Sebagai seorang
yang menekuni bidang hematologi, selain mempelajari komponen sel darah, ia juga
harus mengetahui volume darah setiap hewan, sifat aliran darah, serta hubungan fisik
antara sel-sel darah dan plasma.
Sebagaimana diketahui, darah dianggap sebagai jaringan khusus yang
menjalani sirkulasi, terdiri dari berbagai macam sel yang terendam dalam cairan yang
disebut plasma. Agak berbeda dengan jaringan lain, sel darah tidak menempati ruang
tetap satu dengan yang lain, tetapi bergerak terus dari satu tempat ke tempat lain. Aliran
darah dalam saluran tubuh menjamin lingkungan yang tetap agar semua sel serta
jaringan mampu melaksanakan fungsinya. Dengan kata lain, fungsi darah dalam
sirkulasi adalah sebagai media transportasi, pengatur suhu, dan pemelihara
keseimbangan cairan, asam, dan basa.
Secara rinci, Frandson (1986) dalam bukunya Anatomy and Physiology of Farm
Animals menyebutkan bahwa fungsi darah adalah sebagai berikut: 1) membawa zat
makanan yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh; 2)
membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan; 3) membawa karbon dioksida dari
jaringan ke paru-paru; 4) membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke
ginjal untuk diekskresikan; 5) membawa hormon dari kelenjar endokrin ke organ lain
dalam tubuh; 6) berperan penting dalam pengendalian suhu dengan cara mengangkut
panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh; 7) ikut berperan
dalam mempertahankan keseimbangan air; 8) berperan dalam sistem buffer seperti
bikarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada jaringan
dan cairan tubuh; 9) penggumpalan atau pembekuan darah sehingga dapat mencegah

1
terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada waktu Iuka; dan 10) mengandung
berbagai faktor penting untuk mempertahankan tubuh dari serangan penyakit.
Secara umum volume total darah mamalia berkisar antara 7 sampai 8% dari
berat badan. Bahan antarsel atau plasma darah berkisar antara 45 sampai 65% dari
seluruh isi darah, sedangkan sisanya 35 sampai 55% disusun oleh sel darah atau benda
darah. Sel darah dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi: 1) sel darah merah atau
eritrosit (Yunani: erythros berarti merah) yang tampak merah karena kandungan
hemoglobinnya; 2) sel darah putih atau leukosit (Yunani lenkos berarti putih); dan 3)
trombosit (keping-keping darah) yang merupakan kepingan-kepingan halus
sitoplasma. Sementara itu, leukosit secara garis besar digolongkan sebagai berikut: 1)
granulosit yang terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil; dan 2) agranulosit yang terdiri
dari monosit, limfosit.

Hemopoiesis
Proses pembentukan sel darah disebut dengan hematopoiesis atau hemopoiesis
(Yunani: hemato berarti darah; poiein berarti membuat), sehingga jaringan tempat sel
baru dibuat dikenal sebagai jaringan hematopoietik, yang dapat disingkat menjadi
hemopoietik. Semua sel darah pada hewan dewasa berasal dari sumber yang sama,
yaitu sel batang primordial yang terdapat dalam sumsum tulang. Proses pembentukan
eritrosit disebut dengan eritropoiesis, sedangkan proses pembentukan leukosit disebut
dengan leukopoiesis.
Kedua subdivisi utama jaringan hemopoietik adalah: 1) jaringan mieloid dan 2)
jaringan limfatik (atau limfoid). Jaringan hemopoietik tempat eritrosit, trombosit dan
kebanyakan jenis leukosit dibentuk, dikenal dengan jaringan mieloid (Yunani: myelos
berarti sumsum) karena jaringan ini dapat disamakan dengan sumsum tulang merah
yang terdapat dalam rongga medula tertentu. Akan tetapi, limfosit lebih banyak
terdapat dalam limfonodus, limpa, dan timus, sehingga organ-organ khusus ini dikenal
sebagai jaringan limfatik (limfoid).

2
Pada kehidupan embrio dini, sel mesoderm pada kantong kuning telur
berdiferensiasi menjadi sel endotel primitif, yang kemudian berproliferasi membentuk
pembuluh darah primitif. Sel induk hemopoiesis mampu berdiferensiasi, artinya
mampu berkembang menjadi sel yang definitif untuk melakukan fungsinya sebagai sel
darah, yaitu: eritrosit, neutrofil, basofil, eosinofil, monosit, makrofag, sel plasma,
limfosit, trombosit, dan lain-lain. Sedangkan sel induk hemopoiesis mampu
berproliferasi artinya mampu membelah dan memperbanyak diri sesuai dengan
perkembangan individu serta kebutuhannya
Dalam lumen hewan, terdapat sel mesenkim bebas dan tidak berdeferensiasi
yang disebut dengan pulau darah (blood islands). Sel ini merupakan benda darah
primitif yang selanjutnya berkembang dan berproliferasi dalam kantong kuning telur
dan selanjutnya, selama kebuntingan berlangsung, membenihi inti. Sumsum tulang,
limpa, dan timus dari embrio akan dibenihi oleh sel bibit dari hati. Menjelang
terbentuknya bibit sel hemopoietik di tempat tertentu, stroma ikut berkembang.
Keadaan ini merupakan petunjuk bahwa sel stroma erat kaitannya dengan pertumbuhan
serta diferensiasi sel bibit.
Pada saat partus, sumsum tulang merupakan sumber utama sel mieloid.
Meskipun demikian, mielopoiesis ekstramedular masih berlangsung dalam hati dan
limpa beberapa minggu setelah partus, kemudian berkurang secara bertahap. Keadaan
ini lebih umum terjadi pada ruminansia dan kuda daripada karnivora. Sumsum tulang
merah terdapat pada hampir seluruh tulang hewan yang baru lahir, yang secara bertahap
digantikan oleh sel lemak. Pada hewan dewasa, sumsum tulang merah hanya terdapat
di daerah epifise saja, khususnya pada tulang pipa, sternum, vertebra, rusuk, tengkorak,
dan ileum yang mengandung sumsum merah.

Teori Hemopoiesis
Sistem hemopoiesis, baik pada hewan maupun pada orang dewasa, merupakan
contoh dari keadaan yang mantap dan terus menerus dari sistem yang memperbarui
pada tingkat kehilangan sel matang (sel darah merah, granulosit, monosit, limfosit, dan

3
trombosit) di dalam darah, diseimbangkan secara tepat dengan tingkat pelepasan dari
sel darah yang baru dibentuk ke dalam peredaran darah. Sel yang matang dapat mati
karena usia (telah tua) atau selama menjalankan fungsi normalnya.
Pembentukan sel darah melibatkan dua macam proses, yaitu:
1. perkembangan progresif dari ciri-ciri struktural dan fungsional dari sel darah sesuai
dengan jenisnya (sitodiferensiasi atari maturase)
2. proliferasi sel.
Sel induk (stem cells) dan sel keturunan (progenitor cells) yang terlibat dalam
hemopoiesis secara mofologi tidak dapat dikenali dalam hapusan sumsum, tetapi dapat
dipelajari dengan menggunakan uji fungsi. Pada manusia, sel ini (unit pembentuk
koloni atau colony-forming unit = CFU) telah dapat dikenali dan dibedakan
berdasarkan pada kemampuannya untuk menghasilkan kelompok kecil yang terdiri atas
satu atau lebih jenis sel ketika ditumbuhkan didalam media setengah padat yang
mengandung berbagai faktor pertumbuhan hemopoietik yang dibutuhkan.
Sel hemopoietik yang paling primitif adalah sel induk hemopoietik pluripoten.
Sel ini menghasilkan dua jenis sel induk yang berbeda, yaitu sel induk mieloid
multipoten dan sel induk limfoid. Sel induk mempunyai kemampuan untuk
mempertahankan jumlahnya dengan cara proliferasi, selain kemampuannya untuk
tumbuh matang menjadi sel jenis lain. Sel induk limfoid menghasilkan sel progenitor
limfosit yang akan matang menjadi limfosit, baik menjadi jenis T dan jenis B. Sel-sel
induk multipoten mieloid berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel progenitor meloid
yang akan menjadi eritrosit, neutrofil, eosinofil, basofil, sel mast, monosit, dan
trombosit.
Tidak seperti sel induk, sel-sel progenitor mieloid dan limfoid mempunyai
kemampuan yang terbatas dalam memperbarui dirinya sendiri. Semakin kurang matang
suatu jenis sel progenitor maka sel ini makin mampu untuk berdiferensiasi dalam dua
atau tiga jalur diferensiasi yang berbeda. Semakin matang suatu sel progenitor maka
kemampuan berdiferensiasinya menjadi semakin terbatas sampai akhirnya hanya
mampu berdiferensiasi dalam satu jalur saja. Sel progenitor unipoten yang mampu

4
menghasilkan eritrosit, granulosit neutrofil, monosit / makrofag, dan megakariosit
secara berurutan disebut sebagai CFU-E, CFU-G, CFU-M, dan CFU-mega. Sel
tersebut di atas akan matang dan secara morfologi bisa dikenali sebagai bentuk awal
dari sel dewasa yang bersangkutan, yaitu: pronormoblas, mieloblas, monoblas, dan
megakarioblas.
Daerah hemopoietik dari sumsum tulang merah merupakan lokasi dari sel bibit
yang memiliki multipoten yang mampu menumbuhkan berbagai macam benda darah.
Berbagai bentuk mitosis serta perubahan multirasional yang terjadi dalam mewujudkan
sel multipoten sebenarnya masih belum diketahui secara pasti. Meskipun demikian, sel
bibit dengan potensi yang berbeda memiliki bentuk mirip dengan limfosit kecil sampai
limfosit medium.
Penelitian secara morfologi saja belum cukup memberikan hasil yang mantap
dalam menelusuri silsilah sel darah. Beberapa metode canggih, misalnya penerapan
radiasi, pencirian kromosom (chromosomal marking), teknik koloni limpa (spleen
colony technique), dan pembiakan sel, dapat membantu mengidentifikasi sifat
multipoten dari sel bibit dalam memperbaiki sumsum tulang terhadap kerusakan alat
hemopoietik. Contohnya adalah percobaan pada tikus. Tikus diradiasi sampai sel
sumsumnya mati, kemudian diberi konsentrat sel bibit dari tikus donor sehat. Setelah
beberapa hari, beberapa koloni sel sumsum tampak pada limpa. Penelitian histologi
menyatakan bahwa beberapa koloni hanya terdiri dari sel eritrosit, pada koloni lain
terdapat sel granulosit, dan ada yang bersifat campuran. Pengujian kromosom
menunjukan bahwa koloni tersebut berasal dari sejenis sel bibit yang pluripoten; jadi
merupakan klon (clones). Sel bibit tersebut disebut "unit pembentuk koloni" (colony-
forming unit = CFU-S) tergantung pada rangsangan atau lingkungan mikro
ditempatnya berada, dan keturunannya akan menjadi bibit dengan jalur tertentu. Sel
bibit tersebut dikenal sebagai commited stem cells. Penelitian kinetik menyatakan
bahwa commited stem cells mengabdikan diri untuk waktu lama. Di lain pihak, s'el
bibit pluripoten tetap ada tersimpan sebagai cadangan, menunggu rangsangan dari
lingkungan mikro untuk berkembang. Masih diteliti bagaimana timbulnya rangsangan

5
sampai terjadi efek.

Sifat Khas Pemasakan Sel


Perubahan morfologi tertentu merupakan sifat khas dari sel darah normal yang
mengalami proses pemasakan. Sel muda dan belum berdiferensiasi umumnya lebih
besar dari bentuk dewasa, tidak mengandung butir, dan memiliki inti besar dengan
sedikit sitoplasma. Karena itu, rasio inti-sitoplasma (N/C ratio = nuclear-cytoplasmic
ratio) merupakan kriteria dalam menentukan umur relatif dari sel. Semakin dewasa sel,
rasio C/N secara bertahap berubah sehingga pada yang dewasa sitoplasma lebih banyak
dari unsur inti. Dengan kata lain, ukuran sel mengecil. Megakariosit merupakan
perkecualian karena sel ini justeru membesar selama proses pemasakan berlangsung.
Inti dari sel muda berwarna pucat karena kromatin menyebar untuk secara aktif
melaksanakan sintesis DNA. Pada proses pemasakan, kromatin menjadi kasar,
menggumpal, pekat, dan mengambil warna kuat. Nukleolus lazim tampak pada sel
muda dan cenderung menghilang setelah sel mengalami diferensiasi secara penuh.
Setelah mitosis pertama, nukleolus sering muncul seperti cincin karena kehilangan
RNA.
Secara ringkas, kriteria dari tahap pematangan sel darah, khususnya untuk
eritrosit adalah sebagai berikut:
1. pengurangan secara progresif ukuran sel dan intinya, atau dengan kata lain sel
menjadi kecil setelah dewasa,
2. peningkatan secara progresif jumlah kromatin inti yang padat,
3. peningkatan secara progresif dari rasio antara volume sitoplasma terhadap volume
inti, dan
4. peningkatan secara progresif kadar hemoglobin (yang terwarnai jambon) dan
pengurangan secara progresif jumlah ribosom RNA (yang berwarna biru).
Sementara itu, kriteria dari tahap pematangan granulosit neutrofil secara
ringkas adalah sebagai berikut:
1. pengurangan secara progresif sitoplasma yang bersifat basofilik dan peningkatan

6
secara progresif jumlah kromatin padat sesudah tahap promielosit,
2. pembentukan granula sitoplasma (granula primer) yang besar dan berwarna merah
keunguan (bersifat azurofilik) pada tahap promielosit; hal ini masih terlihat sampai
mielosit, tapi tidak akan terlihat lagi pada tahap-tahap sesudahnya,
3. pembentukan granula netrofilik yang halus (granula spesifik) pada tahapan mielosit
dan metamielosit,
4. perlekukan inti dalam tingkat moderat selama tahap metamielosit (hal ini dapat
dilihat sehingga intinya berbentuk huruf C atau U), dan
5. segmentasi secara progresif dari inti yang berbentuk huruf C atau U tadi sehingga
akhirnya inti terdiri atas 2-5 lobus; hal ini terjadi pada tahap granulosit.

Eritropoiesis
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang mencakup deretan
perubahan morfologi dalam menghasilkan eritrosit. Massa total dari sel eritropoietik
dan eritrosit dewasa yang telah bersirkulasi merupakan organ fungsi, dikenal sebagai
eritron (erythron). Dengan kata lain, eritron adalah populasi eritrosit dan sel
pembentuknya - dewasa maupun muda - yang terdapat di dalam sumsum tulang dan
darah tepi, baik yang beredar maupun tetap dalam sumsum tulang. Eritrosit merupakan
sel yang jumlahnya terbanyak pada darah tepi.
Untuk berlangsungnya eritropoiesis, sel bibit eritroid memerlukan rangsangan
oleh eritropoietin, yaitu suatu alfa globulin. Meskipun diketahui bahwa hipoksia ginjal
(renal hypoxia) memprakarsai pembentukan eritropoietin, tetapi masih terdapat
keraguan tentang di mana serta bagaimana zat tersebut terbentuk. Teori yang diterima
menyatakan bahwa penurunan oksigen merangsang ginjal melepas enzim eritrogenin
(erythrogenin) yang mengaktifkan eritropoitinogen dalam aliran darah untuk
menghasilkan eritropoietin. Eritropoitinogen adalah suatu prekursor eritropoietin yang
dihasilkan oleh hati.
Hasil penelitian in vitro untuk jaringan hemopoietik menunjukkan adanya dua
bibit eritrosit dan dilukiskan sebagai burst-forming units (BFU- E) dan erytrhro-

7
colony-forming units (CFU-E). BFU-E membentuk burst atari klon sel eritrosit dan
dianggap sebagai sel paling awal pada seri pembentukan eritrosit. Suatu burst-
promoting factor (BPF) merangsang sel bibit primitif (CFU-S) untuk meningkatkan
proliferasi dan reseptor akuisisi untuk eritropoietin. CFU-E membentuk kelompok
kecil sel eritrositik yang sangat peka terhadap eritropoietin dalam biakan. Baik BFU-E
maupun CFU-E telah berhasil diidentifikasi secara mikroskopik. Keberadaannya
diduga didasarkan pada basis koloninya pada penelitian in vitro.
Unit anatomi dari eritropoiesis adalah pulau rubriblastik (rubriblastic /
erythroblastic island), yaitu terdiri dari beberapa sel eritropoietik yang mengitari
makrofag dan tersusun berdekatan terhadap dinding sinus. Kelompok sel ini umumnya
hanya tampak pada sampel yang diambil dari sumsum tulang karena dengan teknik
aspirasi sering merusak pulau. Sel rubriblastik terbungkus oleh penjuluran sitoplasma
sel makrofag, mengalami beberapa pembelahan mitosis dan melakukan sintesis hampir
80% dari hemoglobin eritrosit dewasa. Karena sel prekursor eritrosit menjadi masak,
sel bergerak menyusuri penjuluran sitoplasma makrofag sehingga eritrosit dewasa
mengambil posisi dekat dinding sinus untuk memasuki aliran darah. Makrofag pada
pulau rubriblastik dianggap berperan sebagai "sel perawat" (nurse cells') dari eritrosit
yang sedang berkembang. Lebih jauh, makrofag erat kaitannya dengan penjuluran sel
retikuler, menangkap unit terbalut hemoglobin dari metarubrisit yang terbuang, serta
memanfaatkan zat besi dan DNA.

Morfologi Silsilah Eritrosit


Fase pembentukan eritrosit berturut-turut adalah: rubriblas (pronormoblast),
prorubrisit (normoblas awal), rubrisit basofil (basophilic normoblast), rubrisit
polikromatik (polychromatophilic normoblast), rubrisit normokromik (orthochromatic
normoblast), metarubrisit (late normoblast), retikulosit, dan eritrosit. Keterangan
singkat masing-masing fase tersebut dapat diikuti pada penjelasan berikut.
Rubriblas (pronormoblast), sel paling awal dikenal dari jaringan eritrositik
berbentuk lonjong dengan diameter 20 sampai 24 mm dan dengan rasio N/C adalah

8
8:1. Inti berbentuk bulat, berwarna ungu pucat, memiliki jalinan kromatin seperti jala.
Terdapat satu sampai tiga nukleolus vang cukup jelas. Sitoplasma tampak memiliki
bercak yang mengambil warna hijau biru dan di sekitar inti sitoplasma berwarna biru
muda. Tidak tampak adanya butir dalam sitoplasma.
Tahap berikutnya adalah prorubrisit (normoblas awal), berdiameter .4 sampai
19 mm dengan rasio N/C adalah 7:1. Prorubrisit tampak mirip zengan rubriblas, hanya
saja kromatin inti prorubrisit mulai berkondensasi dan tidak mengandung nukleolus
atau cincin nukleolus.
Pembelahan mitosis dan pemasakan menghasilkan rubrisit basofil lasophilic
normoblast). Diameternya berkisar antara 16 sampai 18 mm dan rasio N/C adalah 6:1.
Kromatin ini menggumpal dan membentuk pola radial. Tidak terdapat nukleolus.
Sitoplasma berwarna hijau gelap atau Btru laut karena banyak mengandung RNA.
Karena itu, rubrisit basofil bersifat basofil terkuat dibandingkan dengan sel lain pada
sumsum tulang.
Kariokinesis berikutnya menghasilkan rubrisit polikromatik (polychro-
ttztophilic normoblast) dengan diameter 12 mm dan rasio N/C adalah 2:1.
Kukleolusnya kasar dan gelap dengan kromatin mengelompok. Steplasmanya
berwarna merah kebiru-biruan seperti lumpur karena mulai mengandung hemoglobin.
Aspek polikromasia disebabkan oleh campuran residu sitoplasma basofil (RNA) dan
hemoglobin yang berwarna oranye.
Rubrisit normokromatik (orthochromatic normoblast) adalah hasil mitosis lain
dengan diameter sekitar 8 sampai 10 mm, rasio N/C adalah 2:1. Intinya lebih gelap dan
mengandung lebih banyak hemoglobin daripada rubrisit polikromatik.
Metarubrisit (late normoblast) berkembang lanjut dengan bertambahnya
hemoglobin dengan inti piknosis. Diameternya antara 6 sampai 9 mm dengan rasio N/C
adalah 1:2. Intinya sebagian pecah atau terlontar ke luar dan sitoplasma bervariasi
antara polikromatik sampai normokromatik, tergantung dari jumlah hemoglobin yang
terbentuk.
Setelah inti lenyap, sitoplasma beraspek biru lumpur karena residu RNA. Sel

9
ini, kemudian disebut retikulosit. Stadium akhir perkembangan eritrosit terjadi di dekat
dinding sinus, tempat metarubrisit mulai mendesak jalinan endotel. Setelah sel masuk
ke dalam sinus, nukleus berada pada ujung sel yang berlawanan sambil melontarkan
sisa inti yang selanjutnya difagositosis oleh sel makrogfag. Eritrosit dewasa penuh
memiliki ukuran serta bentuk khas untuk setiap spesies.

Granulopoiesis
Berbeda dengan eritropoiesis, mekanisme pendeferensiasian serta pelepasan
granulosit relatif belum banyak diketahui. Meskipun demikian, ada hal yang perlu
diketahui bahwa granulosit sumsum tulang terdapat dalam dua kelompok:
a. Kelompok proliferatif (mitotik) mencakup mieloblas, promielosit, dan mielosit.
Ketiganya bersifat mampu melakukan replikasi.
b. Kelompok pemasakan mencakup metamielosit dan granulosit dewasa. Keduanya
bersifat tidak mampu bereplikasi.
Daerah yang padat dengan granulosit dewasa dalam sumsum tulang disebut
cadangan granulosit dewasa (mature granulocyte reserve) yang mengandung lebih
banyak granulosit daripada aliran darah. Di samping cadangan dalam sumsum tulang,
ada dua populasi granulosit dalam pembuluh darah. Satu populasi mengikuti sirkulasi
darah, sedangkan yang lain keluar dari aliran darah membentuk sel yang terletak di
dekat dinding pembuluh darah. Respon awal terhadap kekurangan granulosit adalah
berupa pelepasan sel tersebut dari sumsum tulang, bukan dengan cara merangsang
aktivitas proliferasi.
Berkat penelitian koloni sel sumsum tulang pada biakan jaringan, uerhasil
ditentukan sel bibit eosinofil (CFU-Eo), basofil (CFU-Ba), megakariosit (CFU-Meg),
dan sel bibit yang menumbuhkan monosit dan neutrofil (CFU-MN). Sel tersebut
memiliki kemampuan terbatas dalam diferensiasi dan mitosis. Sel yang menumbuhkan
koloni disebut "unit pembentuk koloni" (colony-forming unit atau CFU-C) dalam
biakan dan memiliki kemampuan terbatas dalam pembaruan daripada CFU-S.
Agar CFU-C mampu tumbuh dan membentuk koloni dalam biakan aringan,

10
diperlukan bahan faktor perangsang koloni (colony stimulating fictor atau CSF). CSF
dianggap analog dengan eritropoietin yang secara vitro dapat mengatur diferensiasi
granulosit makrofag. CSF berhasil diisolasi dari makrofag, otot polos pembuluh darah,
dan endotel. Bagaimana kadar CSF dapat diatur in vitro belum jelas. Menurut teori
bahwa laktoferin (lactoferrin), dikenal sebagai penghambat (inhibitor) produksi
leukosit neutrofil. Laktoferin diduga ikut mengatur granulopoiesis dengan cara
menahan CSF dari monosit. Masalah-masalah pengendalian dan pengaturan CSF
masih banyak belum terjawab.

Morfologi Silsilah Granulosit


Fase pendewasaan dari golongan granulosit berturut-turut adalah: mieloblas,
progranulosit, promielosit, mielosit, metamielosit, bentuk band stab), neutrofil
segmented - eosinofil - basofil. Keterangan singkat dari tase tersebut disampaikan pada
uraian di bawah ini.
Proses pemasakan granulosit mencakup perubahan pada inti dan sitoplasma,
sebagaimana juga pada transformasi butir-butirnya. Moyang pertama yang dapat
ditelusuri pada seri perkembangan granulosit yang rerasal dari CFU adalah mieloblas
(myeloblast). Selnya berbentuk lonjong, nerdiameter 1 sampai 18 mm dengan rasio
N/C adalah 6:1. Penyebaran kromatinnya merata beraspek ungu sebagai beludru pada
inti. Nukleolusnya cukup banyak, sampai berjumlah enam buah berwarna pucat.
Sitoplasmanya berwarna biru hijau pucat mengitari inti. Pada sumsum tulang babi,
mieloblas lazimnya mengandung butir azurofil, sedangkan pada ruminansia dan
karnivora, sitoplasmanya berbintik.
Progranulosit, sel anak mieloblas, kadang-kadang tampak lebih besar dari
induknya. Bentuknya lonjong, berdiameter 12 sampai 20 mm dengan sitoplasma
berwarna ungu pucat, berbusa, dan mengandung banyak butir tidak spesifik
(nonspecific) dan azurofil. Kromatin ini memiliki susunan linear halus sedikit
menggumpal dengan dua atau tiga nukleolus.

11
Anak sel progranulosit adalah promielosit (promyelocyte), berdiameter 12
sampai 18 mm, mengandung butir spesifik dan sedikit sisa butir azurofil yang tersebar
secara acak dalam sitoplasma yang berwarna biru pucat. Adanya butir spesifik
menunjukkan bahwa granulosit akan berkembang dan karena banyak butir yang belum
dimasak, granulosit mengambil warna berbeda dari butir yang masak. Dalam
promielosit eosinofil, butirnya berwarna coklat, ungu, dan biru tua; dalam promielosit
basofil, butirnya lebih sedikit dan berwarna ungu tua, merah muda, atau coklat.
Promielosit neutrofil yang butirnya belum masak berwarna merah muda. Pada sumsum
tulang kucing, butir spesifik terbatas disamping butir azurofil yang sedikit jumlahnya.
Pada sel ini, inti berbentuk bulat atau memiliki lekuk dengan gumpalan kromatin.
Nekleolus mungkin ada. Rasio N/C adalah 4:1.
Mielosit (myeloctycte) adalah sel taraf akhir yang terbentuk secara mitosis dari
sel induk. Diameter 12 sampai 18 mm dan rasio N/C 2:1. Pada taraf ini, mielosit
neutrofil dan eosinofil memiliki bentuk butir, tetapi sel bibit basofil hanya memiliki
sedikit butir spesfik. Tanpa memandang bentuk sel, butir cenderung berkumpul di suatu
sisi dari inti, di daerah apparatus Golgi. Daerah ini jelas sekali pada mielosit neutrofil
sehingga terlihat dilukiskan sebagai "ledakan matahari" (sun burst). Beberapa butir
azurofil dapat tampak. Mielosit neutrofil mengandung butir spesifik di samping butir
azurofil yang spesifik, sedangkan mielosit eosinofil dan basofil, memiliki campuran
butir yang masak dan belum masak. Butir eosinofil pada sumsum tulang anjing
cenderung tetap berwarna coklat dan tidak pernah mencapai warna merah oranye.
Karena itu, sel ini sering membingungkan dengan basofil dalam sediaan ulas sumsum
tulang. Semua mielosit memiliki sitoplasma biru pucat. Kromatin inti menunjukkan
gumpalan tertentu dan memiliki sedikit lekukan. Mielosit tidak memiliki nukleolus,
dan nukleolus itu tidak tampak juga pada sel berikutnya dalam seri.
Mulai dari taraf mielosit, berbagai sel dalam seri mengalami transformasi
menjadi lebih kecil, butir spesifiknya menjadi masak, dan inti mencapai bentuk
akhirnya. Bila inti telah memiliki lekuk definitif, sel itu disebut dengan metamielosit;
diameternya 12 sampail5 mm dan rasio N/C 1,5:1. Kromatin tampak kasar dengan

12
gumpalan tertentu. Butir azurofil dalam sitoplasma jumlahnya sedikit. Butir spesifik
pada sel umumnya memiliki kekhasan dalam warna.
Selanjutnya, pada lekukan ini berkumpul kromatin kasar, berwarna ungu,
berbentuk pita dengan diameter yang sama. Membentuk huruf C, S, V, tanpa konstriksi.
Sel ini disebut dengan band cells (stab), berdiameter 10 sampai 16 mm dengan rasio
N/C 1:2. Untuk dapat membedakan band cells dan metamielosit, lekuk inti harus
melebihi pusat sel. Butir pada sel dewasa mengisi sitoplasma yang beraspek biru pucat.
Butir neutrofil dewasa memiliki konstriksi pada inti membentuk gelambir (lobes),
tergantung pada spesies. Sedangkan pada leukosit eosinofil dan basofil, inti hanya
memberikan bentuk dua glambir (bilobes).

Agranulopoiesis
Adanya sel bibit untuk limfosit dan monosit dalam sumsum tulang cukup lama
menjadi wacana perdebatan. Meskipun demikian, penelitian dengan memakai label
radioaktif, pencirian kromosom, dan biakan aringan memberikan bukti bahwa kedua
sel tersebut memiliki asal usul mielogenik.

Morfologi Silsilah Agranulopoiesis

Monopoiesis
Fase pendewasaan monosit adalah sebagai berikut: monobias, cromonosit dan
monosit. Sumber bibit monosit dalam sumsum tulang relatif sedikit. Monobias
dianggap sebagai sel pertama dalam seri cembentukannya. Selnya besar, berdiameter
15 sampai 20 mm, sitoplasmanya banyak dan beraspek biru karena banyak
mengandung coliribosom bebas, apparatus Golgi, dan butir azurofil. Intinya besar,
Anjong dan mengandung dua sampai lima nukleolus. Semakin dewasa sel semakin
kecil ukurannya (12 sampai 18 mm), dan sitoplasmanya cerwarna biru kelabu. Inti
dapat memiliki lekukan pada satu sisi sedangkan nukleolus tetap ada. Ini memberikan
kesan bahwa monosit .-.ewasa memiliki kemampuan mensintesis butir yang

13
mengandung enzim hidrolitik. Monosit yang masuk ke dalam aliran darah dianggap
relatif belum masak dan sel itu mencapai fungsi serta potensi penuh bila telah masuk
ke dalam-jaringan.

Limfopoiesis
Fase pendewasaan limfosit adalah: limfoblas, prolimfosit dan limfosit. Sumsum
tulang adalah tempat utama penghasil dan pengirim bibit limfosit yang akan
menumbuhkan limfosit T atau B, tergantung pada jalur perkembangannya. Limfosit
yang relatif muda meninggalkan sumsum tulang melalui aliran darah dan menuju ke
korteks timus, selanjutnya berproliferasi. Menjelang pelepasan limfosit T dari timus,
sel tersebut masuk ke limpa untuk proses pemasakan akhir. Selanjutnya menjadi
sebagian sumber limfosit yang akan beredar dalam darah dan limfe.
Limfosit dan sel pendahulunya sulit dikenali dalam sumsum tulang. Karena
keheterogenan dalam morfologi dan fungsinya, sel ini diklasifikasikan menjadi limfosit
kecil dan limfosit besar.
Limfosit besar diduga sebagai limfoblas, berdiameter 12 sampai 15 mm. Intinya
bersifat eukromatik dan mengandung satu sampai tiga nukleolus, tergantung pada
spesies. Sitoplasmanya mengambil warna basofil kuat karena mengandung
poliribosom.
Limfosit kecil dalam sediaan ulas sumsum tulang secara morfologi tidak
berbeda dengan limfosit yang beredar. Kemungkinannya mereka adalah limfosit T dan
B. Kedua limfosit itu secara morfologi tidak dapat dibedakan.

Perkembangan Trombosit
Fase pendewasaan trombosit adalah: megakarioblas, promegakariosit,
megakariosit, dan trombosit. Keterangan tentang fase pendewasaan tersebut diuraikan
secara singkat seperti berikut.
Trombosit berasal dari sumsum tulang. Sel paling muda dalam seri ini adalah
megakarioblas. Bentuk sel bulat lonjong, berdiameter 25 sampai 35 mm dengan rasio

14
N/C 10:1. Sitoplasmanya bersifat basofil lemah dan menunjukkan penjuluran tumpul
sehingga tepi sel tampak tidak teratur. Berbeda jauh dengan seri perkembangan dari sel
lain, sel anak megakarioblas justeru lebih besar dari induknya. Penambahan ukuran itu
disebabkan oleh berulangnya pembelahan inti tanpa diikuti pembelahan sitoplasma.
Promegakariosit berdiameter 25 sampai 50 mm dengan tepi sel tidak teratur
karena penonjolan dari sitoplasma dalam jumlah cukup banyak. Sitoplasma yang
bersifat basofil memiliki sedikit butir azurofil. Inti mungkin satu, berlekuk (indented)
atau bergelambir terdiri dari gumpalan kromatin.
Megakariosit adalah sel terbesar dalam seri ini, berdiameter 40 sampai 100 mm.
Intinya memiliki dua atau lebih gelambir, terdiri dari gumpalan kromatin dengan
beberapa nukleolus. Sitoplasmanya berwarna biru karena mengandung banyak
ribosom. Butir azurofil banyak dan besar-besar berupa badan pekat berselaput
(membrane-bounded dense bodies). Disamping itu, dengan menggunakan mikroskop
elektron tampak pula adanya selaput demarkasi (platelet demarcation membrane) yang
ikut memberikan aspek jalinan berbutir pada sitoplasma. Bila trombosit lepas dari
megakariosit, trombosit akan dilindungi oleh unit selaput yang menyimpan keutuhan
sifat selaput induk.

Perkembangan Sel Plasma


Secara normal, sel plasma tidak tampak pada darah perifer dan oanyaknya
hanya 1 sampai 2% dari sel berinti dalam sumsum tulang. Sel plasma tampak pada
hampir seluruh organ limfatik sekunder, seperti kelenjar getah bening, limpa, dan
tonsil. Sel ini tampak pula pada lamina propria usus dan tempat lain. Hubungan erat
antara sel plasma sumsum rulang dan sel retikuler dendritik menunjukkan
kemungkinan adanya arti renting imunologi, karena sel retikuler dikenal menunjukkan
antigen efektif. Teori yang banyak diterima tentang produksi sel plasma mengutarakan
bahwa sel plasma berkembang dari limfosit B yang mengalami mitosis berulang kali
serta perubahan morfologi.
Seri perkembangan sel plasma adalah: plasmablas, proplasmasit, dan rlasmasit

15
(sel plasma dewasa). Plasmablas berdiameter 14 sampai 24 mm, rerbentuk buah pir
dengan sitoplasma bersifat basofil serta memiliki rasio X’/C 2:1. Intinya terletak di
tengah, kromatinnya kasar, dan memperlihatkan dua atau tiga nukleolus.
Proplasmasit tidak mutlak lebih kecil dari plasmablas dengan rasio X C agak
berubah. Perubahan paling nyata terlihat pada sitoplasma, sifat basofilia kuat yang
menandakan adanya sintesis protein. Daerah dekat inti tampak sebagai lingkaran pucat.
Di daerah ini terdapat apparatus Golgi yang subur.
Plasmasit (sel plasma dewasa) berdiameter 8 sampai 18 mm di daerah paling
lebar. Sitoplasmanya banyak beraspek biru dengan daerah perinuklear yang cerah.
Vakuola jelas tampak dekat batas pinggir sel. Intinya memiliki kromatin gelap dan
menggumpal begitu rupa sehingga di antaranya digambarkan seperti roda. Inilah salah
satu ciri morfologi dari sel plasma dewasa.

Sel Lain Dalam Sumsum Tulang

Osteoblas dan Osteoklas


Osteoblas dan osteoklas dapat terbawa dalam sediaan ulas sumsum tulang. Sel
tersebut sering terlihat bila sumsum tulang diambil dari daerah bekas biopsi karena
jarum biopsi menembus tudung tulang rawan, seperti krista iliaka, atau daerah lain yang
sedang mengalami proses pembentukan tulang. Osteoklas mirip dengan megakariosit
karena memiliki banyak inti, sitoplasmanya bersifat basofil lemah, heterogen, dan
diameternya hampir sama. Perbedaannya adalah bahwa inti osteoklas banyak terpisah,
sedangkan inti megakariosit multi lobular dan tiap gelambir saling berhubungan satu
dengan yang lain.
Osteoblas dan proplasmasit tampak mirip satu dengan yang lainnya karena
keduanya memiliki apparatus Golgi cukup jelas dengan sitoplasma yang mengitarinya
cerah. Posisi apparatus Golgi pada osteoblas agak jauh dari inti, berbeda dengan
proplasmasit. Sifat basofil dari sitoplasma osteoblas lebih kuat dari pada proplasmasit.

16
Evaluasi Klinik Pada Sumsum Tulang
Dari segi kedokteran hewan, identifikasi berbagai komponen sel dalam sumsum
tulang dan perubahan pada proses pemasakan merupakan informasi yang penting.
Banyak kelainan pada sumsum tulang memberikan perubahan pada komposisi darah
perifer dan juga pada sumsum tulang itu sendiri. Pada pengujian sitologi sumsum
tulang, kita harus memperhatikan rasio mieloid : eritroid dan komposisi sel.

Rasio Mieloid : Eritroid


Rasio mieloid : eritroid (M:E) menunjukkan jumlah sel mieloid yang tampak di
antara sel berinti dalam sumsum tulang. Istilah "mieloid" (my- eloid) menekankan pada
"sumsum tulang" (marrow) yang mencakup eritrosit dan granulosit. Dalam konteks ini,
itu berarti jumlah mielosit, atau bibit sel granulosit, berkaitan dengan jumlah sel berinti
pada seri oerkembangan eritrosit.
Rasio M:E harus dievaluasi berkaitan dengan jumlah seluruh butir sel darah
putih. Bila rasio M:E meningkat dan jumlah seluruh butir sel darah putih normal,
menunjukkan terjadinya depresi dalam eritrogenesis. Sebaliknya, penurunan rasio M:E
akan terjadi bila eritrogenesis meningkat sebagai akibat dari kehilangan darah yang
hebat atau kerusakan eritrosit.
Rasio M:E untuk spesies yang berbeda adalah berbeda. Tabel 3.1 rerikut,
memperlihatkan rasio M:E dari beberapa hewan piaraan.
Tabel 3.1. Rasio M:N beberapa hewan piaraan.
Spesies Rasio M:N

Anjing 1,5 : 1,0


Kucing 1,6 : 1,0
Sapi 0,71 : 1,0
Domba 1,1 : 1,0
Kambing 1,2 : 1,0
Kuda 1,6 : 1,0
Babi 1,77 : 1,0

17
Komposisi Seluler
Mengetahui tipe dan komposisi sel yang ada dalam sumsum tulang adalah
penting. Pengetahuan ini akan bermanfaat terutama dalam mempertimbangkan anemia
dengan patogenisitas yang belum jelas.
Pada kasus defisiensi vitamin B12 dan asam folik (folic acid), akan terjadi hambatan
dalam tahap pemasakan rubrisit basofil. Hal ini akan —engakibatkan terjadinya
penurunan pelepasan eritrosit normal dalam aliran darah perifer. Eritrosit yang dilepas
adalah makrosit (macrocytes). Proses pemasakan yang terhambat ini akan
menghasilkan sel besar beraspek biru yang disebut megaloblas dalam sumsum tulang.
Defisiensi zat besi (Fe) dapat menyebabkan anemia dan terjadi hiperplasi dalam
seri pembentukan eritrosit yang ditandai dengan peningkatan jumlah rubrisit
normokromatik. Kekurangan zat besi dalam sintesis hemoglobin akan menyebabkan
sel terus membelah dan menghasilkan eritrosit berbentuk mikrosit (microcytes).
Tidak seluruh gangguan hemopoietik memerlukan penilaian sumsum tulang.
Beberapa bentuk anemia yang disebabkan oleh pendarahan (hemorrhage) atau
hemolisis, dapat dikenali cukup dengan melihat bentuk eritrosit yang menyimpang dari
biasanya. Demikian juga dengan anemia yang disebabkan oleh penurunan eritropoiesis
sekunder sampai infeksi kronik. Kuda merupakan perkecualian, pada darah perifer
lazimnya tidak menunjukkan tanda eritrogenesis meningkat sebagai respon terhadap
kehilangan darah atau kerusakan eritrosit.

18

Anda mungkin juga menyukai