Oleh :
1. Nur Intan Mutiarawati 12208183042
2. Timur Novi Alip 12208183116
3. Noviantika Yulia Dewi 12208183128
4. Amalinda Miftachul Jannah 12208183174
A. Latar Belakang
Biologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan, sedangkan transportasi
merupakan alat yang membawa sesuatu dari tempat semula ke tempat tujuan. Setelah
menakar dari kedua definisi tersebut, didapat pengertian biotranspor merupakan proses
transportasi yang terjadi di dalam kehidupan baik tumbuhan, hewan, dan lingkungan.
Pada hewan, terdapat sistem transportasi seperti pembuluh darah. Selain pembuluh darah,
juga terdapat pembuluh limfe atau getah bening.
Sistem limfatik merupakan suatu jalur tambahan tempat cairan dapat mengalir
dari ruang interstisial ke dalam darah. Hal yang terpenting, sistem limfatik dapat
mengangkut protein dan zat-zat berpartikel besar keluar dari ruang jaringan, yang tidak
dapat dipindahkan dengan proses absorpsi langsung ke dalam kapiler darah.
Pengembalian protein ke dalam darah dari ruang interstisial ini merupakan fungsi yang
penting dan tanpa adanya fungsi tersebut, kita akan meninggal dalam waktu 24 jam.
Pembentukan cairan limfe berasal dari cairan interstisial yang mengalir ke dalam sistem
limfatik. Cairan limfe yang pertama kali mengalir dari setiap jaringan mempunyai
komposisi yang hampir sama dengan cairan interstisial.
Tubuh manusia memiliki suatu ruang sistem yang disebut sistem imun, yang
melindungi tubuh. Fungsi sistem limfatik adalan transpor cairan untuk kembali ke dalam
darah dan berperan penting dalam pertahanan tubuh dan pertahanan terhadap penyakit.
Limfe merupakan cairan jaringan berlebih (cairan interstisial dari darah) dibawa
pembuluh limfe dan kembali ke aliran darah. Sistem ini merupakan sistem satu jalur
untuk menuju jantung, tidak ada pemompaan dari pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sistem hemolimfe.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal, struktur dan fungsi darah ?
2. Bagaimana respon kebal tubuh terhadap antigen tertentu?
3. Bagaimana struktur dan fungsi jaringan limfoid?
4. Bagaimana fisiologi hemostatis
5. Bagaimana prinsip-prinsip penggolongan darah?
6. Bagaimana cairan interfersial dan limfe ?
7. Bagaimana jika tidak terjadi homeostatik dalam darah?
8. Apa saja gangguan pada sistem hemolimfe ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui struktur dan fungsi darah ?
2. Untuk mengetahui respon kebal tubuh terhadap antigen tertentu?
3. Untuk mengetahui struktur dan fungsi jaringan limfoid?
4. Untuk mengetahui fisiologi hemostatis
5. Untuk mengetahui prinsip-prinsip penggolongan darah?
6. Untuk mengetahui cairan interfersial dan limfe ?
7. Untuk mengetahui penyebab jika tidak terjadi homeostatik dalam darah?
8. Untuk mengetahui gangguan pada sistem hemolimfe ?
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 1 (sel darah merah, sel darah putih dan keping darah)
Sel darah merah , sebagian besar sel darah putih , dan trombosit diproduksi di
sumsum tulang, jaringan lemak lunak di dalam rongga tulang. Dua jenis sel darah putih,
sel T dan B ( limfosit ), juga diproduksi di kelenjar getah bening dan limpa, dan sel T
diproduksi di kelenjar timus. Di dalam sumsum tulang, semua sel darah berasal dari satu
jenis sel tidak terspesialisasi yang disebut sel induk. Ketika sel induk membelah, pertama-
tama ia menjadi sel darah merah yang belum matang, sel darah putih, atau sel penghasil
trombosit. Sel yang belum matang kemudian membelah, semakin matang, dan akhirnya
menjadi sel darah merah, sel darah putih, atau trombosit yang matang.
Sumsum tulang sebagai mesin pembentuk sel darah. Pada orang dewasa normal
menghasilkan dan melepaskan kurang lebih 2.5 juta sel darah merah, 2.5 juta trombosit,
dan satu juta granulosit per kg BB. Semua sel darah yang beredar di dalam tubuh berasal
dari satu sel induk yang pluripoten (Pluripotent Stem Cell): proliferasi, diferensiasi dan
maturasi. Sel Induk Hemopoesis akan mampu menjadi sel darah apa saja setelah melalui
diferensiasi menjadi sel progenitor/ bakal sel darah merah, bakal sel lekosit (granulosit
dan non granulosit) serta bakal sel trombosit.
Hematopoiesis merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan
perkembangan sel darah dari sel induk / asal / stem sel, dimana terjadi proliferasi,
maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan
peningkatan atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel hematopoietik pluripotent
menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah,
sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat
khusus yang berbeda-beda.
Tempat Terjadinya Hematopoiesis Pada Manusia :
Gambar 3.
Gambar 7 (Trombosit)
Trombosit adalah sel tak berinti yang diproduksi oleh sumsum tulang,
yang berbentuk cakram dengan diameter 2-5 μm. Trombosit dalam darah
tersusun atas substansi fosfolipid yang berfungsi sebagai faktor pembeku darah
dan hemostasis (menghentikan perdarahan). Jumlahnya dalam darah dalam
keadaan normal sekitar 150.000 sampai dengan 300.000 /ml darah dan
mempunyai masa hidup sekitar 1 sampai 2 minggu atau kira-kira 8 hari.
Pembentukan trombosit berasal dari Multipotensial Stem Cell menjadi
Unipotensial Stem Cell dibantu Trombopoitin. Sel yang paling muda yang dapat
dilihat dengan mikroskop adalah Megakarioblas, Megakarioblas akan diubah
menjadi megakariosit imatur kemudian menjadi megakariosit matur (Wirawan
R, 2008 ).
Fungsi Trombosit bila tubuh mengalami luka maka trombosit akan
berkumpul dan saling melekatkan diri sehingga akan menutup luka tersebut,
trombosit juga akan mengeluarkan zat yang merangsang untuk terjadinya
pengerutan luka sehingga ukuran luka menyempit dan karena mempunyai zat
pembeku darah maka dapat menghentikan perdarahan (Bakta, 2006 )
3. Fungsi Darah
Fungsi darah yang terpenting di antaranya adalah
a) Sebagai alat transportasi, misalnya :
1) Membawa dan mengantarkan zat-zat makanan (nutrisi) dan bahan kimia dari
saluran pencernaan ke jaringan tubuh yang memerlukannya.
2) Mengantarkan oxigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
3) Membawa keluar hasil-hasil buangan metabolisme (waste product metabolit)
dan CO2 dari jaringan ke organ-organ ekskresi mis. ginjal dan paru.
4) Mengangkut hasil sekresi kelenjar endokrin (hormon) dan enzime dari organ ke
organ.
b) Mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh, sehingga kadar air tubuh tidak
terlalu tinggi/rendah (homeostasis).
c) Mempertahankan temperatur tubuh, karena darah mempunyai panas spesifik yang
tinggi.
d) Mengatur pH tubuh (keseimbangan asam dan basa) dengan jalan mengatur
konsentrasi ion hydrogen.
e) Sebagai alat pertahanan tubuh terhadap mikro-organisme (oleh leucocyte/butir darah
putih).
Pada dasarnya fungsi darah sebagai alat penyelenggaraan lingkungan internal atau
matrix cairan yang tetap dan ini disebut sebagai homeostasis.
Fungsi darah secara umum menurut (D’Hiru, 2013) adalah sebagai berikut :
a) Mengangkut sari-sari makanan dari usus ke jaringan tubuh. Darah bekerja sebagai
sistem pengangkutan dan mengantarkan semua bahan kimia, oksigen dan zat-zat
makanan, nutrisi atau gizi yang dibutuhkan oleh sel dan jaringan untuk melakukan
aktivitas fisiologis, membuang karbondioksida serta hasil pembuangan sisa
metabolisme dan lainya ke luar tubuh.
b) Sel darah merah (eritrosit) mengantarkan oksigen (O2) dari paru-paru ke seluruh
jaringan tubuh dan mengangkut karbondioksida (CO2) dari jaringan tubuh menuju ke
paru-paru
c) Sel darah putih (leukosit) menyediakan banyak tipe sebagai pelindung, misalnya tipe
fagositik yang berfungsi untuk memangsa serangan kuman dan melawan infeksi
dengan antibodi.
d) Pengantar energi panas daritempat aktif ke tempat yang tidak aktif untuk menjaga
suhu tubuh atau sebagai respons pengaktifan sistem imunitas.
e) Mengedarkan air ke seluruh tubuh dan menjaga stabilitasnya.
f) Mengedarkan hormon (dari kelenjar endokrin), enzim dan zat aktif ke seluruh tubuh.
g) Trombosit berperan dalam pembekuan darah, melindungi dari pendarahan masif yang
diakibatkan luka atau trauma.
Respon Imun
Imunologi adalah studi mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi (berdasarkan
konsep lama). Sedangkan berdasarkan konsep baru Imunologi adalah studi mekanisme dan
fungsi sistem kekebalan akibat pengenalan zat asing dan usaha netralisasi, eliminasi dan
metabolisme zat asing tersebut atau produknya.
Fungsi Reaksi Kekebalan adalah Pertahanan Tubuh, Homeostatis Surveillance. Zat Asing
terdiri dari mikroorganisme (Bakteri, Virus, Fungus, Parasit), sel Tumor, sel / Jaringan
Alogen, bahan / zat yang bersifat antigen (Alergen).
Mekanisme Reaksi Kekebalan meliputi reaksi imun spesifik yaitu reaksi Humoral &
reaksi Seluler, reaksi Imun Non Spesifik yaitu reaksi non Humoral & reaksi non Seluler,
interaksi dari kedua mekanisme tsb.
1. Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada
individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk ttubuh dan dengan cepat
menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah
putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroba tertentu, teh ada dan siap berfungsi sejak lahir.
Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap dan memiliki
respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada individu yang sehat. Sistem
imun ini bertindak sebagai lini pertama dalam menghadapi infeksi dan tidak perlu
menerima pajanan sebelumnya, bersifat tidak spesifik karena tidak ditunjukkan terhadap
patogen atau mikroba tertentu, telah ada dan berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak
menunjukkan spesifitas dan mampu melindungi tubuh terhadap patogen yang potensial.
Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai
mikroba dan dapat memberikan respon langsung. Imunitas bawaan (non spesifik)
meliputi kulit dan mukosa sebagai barrier, cara kimia & fisik, asam lemak (kulit, folikel
rambut), lisozim (air mata, saliva), mukus,asam lambung gerak silia, batuk / bersin,
lisozim, IgA, dan pH asam lambung.
a. Sistem imun non spesifik humoral
Pertahanan humoral non spesifik berupa komplemen, interferon, protein fase akut
dan kolektin. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan
akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi.
Komplemen juga berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis yang
dapat menimbulkan lisis bakteri dan parasit. Tidak hanya komplemen, kolektin
merupakan protein yang berfungsi sebagai opsonin yang dapat mengikat hidrat arang
pada permukaan kuman.
Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag
yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan
dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Peningkatan kadar Creactive protein
dalam darah dan Mannan Binding Lectin yang berperan untuk mengaktifkan
komplemen terjadi saat mengalami infeksi akut.
b. Sistem imun non spesifik seluler.
Sel fagosit mononuklear dan polimorfonuklear serta sel Natural Killer dan sel
mast berperan dalam sistem imun non spesifik selular. Neutrofil, salah satu
fagosit polimorfonuklear dengan granula azurophilic yang mengandung enzyme
hidrolitik serta substansi bakterisidal seperti defensins dan katelicidin. 1,2
Mononuklear fagosit yang berasal dari sel primordial dan beredar di sel darah
tepi disebut sebagai monosit. Makrofag di sistem saraf pusat disebut sebagai sel
mikroglia, saat berada di sinusoid hepar disebut sel Kupffer, di saluran
pernafasan disebut makrofag alveolar dan di tulang disebut sebagai osteoklas.
Sel Natural Killer merupakan sel limfosit yang berfungsi dalam imunitas
non spesifik terhadap virus dan sel tumor. Sel mast berperan dalam reaksi alergi
dan imunitas terhadap parasit dalam usus serta invasi bakteri.
2. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap
asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal
oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi, sehingga antigen
yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian
dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik. Untuk menghancurkan
benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan
sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara
sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen fagosit-antibodi dan
antaramakrofag-sel T.
Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada imunitas
humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada
imunitas selular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan
mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel
terinfeksi
a. Sistem imun spesifik humoral
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adlah limfosit B atau sel B.
Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang.
Pada unggas, sel yang disebut Bursal cell atau sel B akan berdiferensiasi menjadi sel
B yang matang dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang terletak dekat kloaka.
Pada manusia diferensiasi tersebut terjadi dalam sumsum tulang. Sel B yang
dirangsang oleh benda asing akan berproliferas, berdiferensiasi dan berkembang
menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat
ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya.
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan
menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B
yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama
antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta
menetralisasi toksinnya.1 Sel B memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap
molekul antigen dan dapat dideteksi melalui metode tertentu melalui marker seperti
CD19, CD21 dan MHC II.
b. Sistem imun spesifik seluler
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga
berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa sel T dibentuk
didalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar
timus atau pengaruh berbagaifaktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dala
timustersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan
timus untuk masuk kedalam sirkulasi. B Imunoserologi 20 Faktor timus yang
disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan
dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Berbeda dengan sel B, sel t terdiri
atas beberapa subsset dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4⁺ (Th1, Th2), CD8⁺
atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik
selular ialah pertahanan terhadap bakter yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit
dan keganasan. Sel CD4⁺ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan
makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8⁺ memusnahkan sel terinfeksi.
Proliferasi Limfoblas
Limfoblas merupakan progenitor sel limfoid pertama yang terdapat di sumsum tulang.
Limfoblas berbentuk bulat, berukuran 15-20µ dengan sitoplasma biru dan tidak bergranula.
Inti sel limfoblas berbentuk bulat dengan kromatin relatif lebih kasar serta difus dan memiliki
nukeoli 1-2. Limfoblas akan membelah dua atau tiga kali menjadi sel prolimfosit yang pada
stadium selanjutnya akan menjadi limfosit. Semakin matang sel ini ukurannnya akan
bertambah kecil dengan kromatin padat dan tidak ada nukleoli.
Sel progenitor limfoid dengan pengaruh IL-7 akan berkembang menjadi sel prolimfosit
T dan B menghasilkan jumlah sel yang banyak. Proses pematangan sel T dan B memiliki jalur
yang berbeda, pematangan sel B berada di sumsum tulang sedangkan sel T berada di timus.
Dalam proses perkembangannya akan terjadi seleksi positif dan negatif yang terjadi dalam
organ limfoid primer melalui interaksi dengan molekul MHC.
Seleksi positif terjadi pada imatur sel T apabila sel tersebut berikatan lemah dengan self
antigen pada MHC. Sedangkan seleksi negatif terjadi pada sel T yang APC nya berikatan kuat
dengan self antigen. Sel dengan seleksi negatif akan mendapat sinyal apoptosis dan mati. Sel
limfosit dengan seleksi positif akan masuk ke jaringan limfoid sekunder untuk berproliferasi
dan menjadi matang.
Limfosit T dan limfosit B matur yang belum terpapar oleh antigen dikenal dengan
istilah naive limfosit. Limfosit naif ini berada dalam keadaan istirahat atau G0 pada siklus sel
dan apabila teraktivasi oleh antigen melalui Antigen Presenting Cell (APC) akan
berproliferasi menjadi limfoblas. Mekanisme ini menghasilkan suatu proses yang disebut
sebagai clonal expansion sehingga menghasilkan jumlah sel yang banyak. Limfosit T, baik
CD4+ maupun CD8+ akan berproliferasi dan berdiferensiasi sesuai fungsinya yaitu efektor dan
memori.
Pada sel T naif (Th0) dipengaruhi oleh mekanisme autokrin dari IL-2 untuk
berproliferasi yang akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Proses diferensiasi Th1
melibatkan reseptor sel T, IFN-γ, IL-12 dan T-bet, STAT1, STAT4 sebagai faktor transkripsi.
Fungsi utama Th1 sebagai pertahanan dalam melawan infeksi terutama oleh mikroba
intraselular, mekanisme efektor ini terjadi melalui aktivasi makrofag, sel B dan sel neutrofil.
Diferensiasi Th2 muncul sebagai respon terhadap reaksi alergi dan parasit, melibatkan
reseptor sel T, IL-4, faktor transkripsi GATA-3 dan STAT6. IL-4 menstimulasi terhadap
produksi IgE yang berfungsi dalam opsonisasi parasit. Selain itu, IL-5 juga diproduksi oleh
Th2 yang mengaktivasi eosinofil sebagai respon terhadap adanya antigen parasit
NODUS LYMFATICUS
Nodus limfatikus adalah organ bersimpai berbentuk bulat atau mirip ginjal pembuluh
limfe. Nodus ditemukan di ketiak dan lipatan paha, sepanjang pembuluh-pembuluh besar dileher,
dan dalam jumlah besar di toraks dan abdomen, terutamadalam mesenterium. Nodus limfatikus
membentuk sederetan saringan dalam satugaris yang penting dalam pertahanan tubuh melawan
mikroorganisme dan penyebaran sel-seol tumor. Semua limfe yang berasal dari cairan jaringan di
saring oleh sekurang-kurangnya satu nodus, sebelum dikembalikan kedalam peredaran.Nodus
limfatikus memiliki sisi konveks dan sisi konkaf, yaitu hilum (kadang disebuthilus), tempat arteri
dan saraf masuk dan vena keluar dari organ.
Jaringan penyambung simpai yang mengelilingi setiap nodus limfatikus membentuk
trabekula yang masuk kebagian dalam. Setiap nodus mengandungkorteks bagian luar dan bagian
dalam dan medula.
Nodus limphaticus terutama terdiri atas jaringan limfoid yang ditembusi anyaman
pembuluh limfe khusus yang diseut sinus lymphaticus. Nodus limphaticus dibungkus oleh
jaringan pengikat bsebagai kapsula yang menebal di daerah hillus dan beberapa jalur menjorok
ke dalam sebagai trabekula. Parenkim diantara trabekula diperkuat oleh anyaman serabut
retikuler yang berhubungandengan sel retikuler. Diantara anyaman ini diisi oleh limfosit,
plasmasit dan sel makrofag. Parenkim nodus lymphaticus terbagi atas cortex dan medulla,
dengan perbedaan terdapat pada jumlah, diameter dan susunan sinus.
a. Korteks
Korteks Luar: pada permukaan korteks luar terdapat sinus subkapularis, yang
dibatasi pada batas luar korteks dan simpai dan pada batas dalam oleh korteks bagian
luar. Sinus subskapularis dibentuk oleh satu jaringan kerja longgar dari makrofag dan sel
retikular dan serat retikular. Sinus subs kapularis berhubungan dengan sinus
submedularis melalui sinus intermedia yang berjalan paralel ketrabekula kapsular.
Korteks bagian luar dibentuk oleh jaringan limfoid yang terdiriatas satu jaringan sel
retikular dan serat retikular yang jalinan kerjanya dipenuhi oleh sel B. Didalam jaringan
limfoid korteks terdapat struktur berbentuk sferis yangdisebut nodulus limfatikus.
Korteks dalam: korteks bagianbagian luar dan mengandung beberapa, apabila dtemukan,
nodulus. Korteks bagiandalam mengandung banyak limfosit T.
b. Medulla
medulla terdiri atas korda medullaris, yaitu korteks bagian dalam yang menyerupai
korda, dan merupakan suatu cabang perluasan dari korteks bagian dalam , yang
mengandung limfosit B dan beberapa sel plasma. Korda medullaris dipisahkan
olehstruktur seperti kapiler yang berdilatas, yang disebut sinus limfoid medullaris. Sinus
ini merupakan ruang tidak teratur yang mengandung cairan limfe;seperti sinus
subskapularis dan sinus iintermedia, sinus-sinus tersebut dihubungkan oleh sebagian sel
retikular dan makrofag. Sel retikular dan serat retikular sering kali menjembatani sinus
dengan satu jaringan longgar. Sel percabangan denditrik(folikular) yang besar ditemukan
dalam nodus limfatikus dan berfungsi sebagi sel antigen presenting.Fungsi limfosit B dan
T paling banyak terlihat dalam penyakit imunodifensiasi, yang disebabkan oleh gangguan
pada sel B, sel T atau keduanya.
c. Pembuluh Darah
Hampir semua pembuluh darah yang menuju nodus lymphaticus akan masukmelalui
hillus, hanya sedikit yang melalui permukaan cortex., Mula-mula arteri darihillus
mengikuti trabecula memasuki medullary cord menjadi kapiler. Arterinya sendiri menuju
cortex untuk bercabang-cabang menjadi kapiler membentuk anyaman. Anyaman kapiler
di cortex ini akan ditampung dalam venula denganendotil berbentuk kuboid. Dari venula
ini akan berkumpul menjadi vena yang jalannya mendampingi arteri. Venula ini tidak
mempunyai serabut otot polos dan terdapat juga pada beberapa bagian pembuluh darah di
tonsilla, plaques Peyeri dan appendix.
Histofisiologis
Dinding pembuluh limfe yang tipis mudah ditembus oleh makromolekul dan sel-sel
yang berkelana dari jaringan pengikat, sehingga tidak dijumpai adanya barier yang
mencegah bahan-bahan antigenik, baik endogen maupun eksogen. Sel bakteridapat
dengan mudah melintasi epidermis dan epitel membrana mukosa yangmembatasi ruangan
dalam tubuh, yang apabila luput dari perngrusakan oleh fagositdalam darah maka akan
berproliferasi dan menghasilkan toksin yang mudah masukdalam limfe.Nodus
lymphaticus berfungsi sebagai filtrasi terhadap limfe yang masuk karenaterdapat
sepanjang pembuluh limfe sehingga akan mencegah pengaruh yang merugikan dari
bakteri tersebut. Fungsi imunologis nodus lymphaticus disebabkanadanya limfosit dan
plasmasit dengan bantuan makrofag untuk mengenal antigendan pembuangan antigen
fase terakhir. Nodus lymphaticus juga merupakan tempat penyebaran sel-sel yang baru
dilepas oleh thymus atau sumsum tulang.
D. Fisiologi Hemostasis
Hemostasis merupakan mekanisme tubuh yang bekerja untuk melindungi tubuh dari
perdarahan dan kehilangan darah. Sistem ini melibatkan faktor plasma, trombosit dan
dinding pembuluh darah. Oleh karna itu, mekanisme hemostasis mencerminkan
keseimbangan antara mekanisme prokoagulan dan antikoagulan yang dikaitkan dengan
proses fibrinolisis. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan penyakit
serius dimana terjadi aktivasi koagulasi yang meningkat, persisten, generalisata serta
biasanya menyebabkan pembentukan mikrotrombus pada mikrovaskular. Pada saat yang
sama, konsumsi trombosit dan protein koagulasi dapat menginduksi perdarahan masif.
DIC selalu memiliki penyakit yang mendasarinya seperti infeksi berat, keganasan
hematologi, trauma atau gangguan obstetrik. Tatalaksana DIC berupa manajemen
penyakit yang mendasarinya, terapi antikoagulan, dan supportive care berupa transfuse
komponen darah. Wawasan patofisiologi tentang koagulopati konsumtif saat ini
mengarahkan pada pilihan terapi yang ditujukan untuk mengurangi pembentukan
thrombin atau regulasi aktivasi koagulasi. Akan tetapi, keuntungan klinis terapi tersebut
masih belum dapat ditetapkan.
Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan secara spontan
agar tidak kehilangan darah terlalu banyak bila terjadi luka pada pembuluh darah
sehingga darah tetap cair dan mengalir secara lancar. Di dalam pembuluh darah terdapat
berbagai produk yang sangat kompleks dari berbagai jaringan, diantaranya produk dari
sumsum tulang, endotel dan sistem retikuloendotelial. Dalam keadaan normal, proses
hemostasis dimulai dengan adanya trauma, pembedahan, atau penyakit yang merusak
lapisan endotel pembuluh darah, dan darah terpajan dengan jaringan ikat subendotel.
Kelangsungan hemostasis dipertahankan melalui proses keseimbangan antara perdarahan
dan trombosis yang melibatkan komponen sistem vaskular, trombosit, faktor koagulasi,
fibrinolisis dan antifibrinolisis. Untuk mempermudah memahami proses yang sangat
kompleks ini maka dibagi atas proses hemostasis primer, hemostasis sekunder
(koagulasi), fibrinolisis, dan mekanisme pengaturan keseimbangannya.1
D. Proses Hemostasis
Pada proses perdarahan dari pembuluh darah maka yang terjadi adalah adanya
kerusakan dinding pembuluh darah dan tekanan di dalam pembuluh darah lebih besar
daripada tekanan di luar. Oleh karena itu, terjadi dorongan darah keluar dari kerusakan
tersebut. Mekanisme hemostatik inheren dalam keadaan normal mampu menambal
kebocoran dan menghentikan pengeluaran darah melalui kerusakan kecil di kapiler,
arteriol, dan venula. Pembuluh-pembuluh darah ini sering mengalami rupture oleh
trauma-trauma minor yang terjadi sehari-hari. Trauma semacam ini adalah sumber
tersering perdarahan. Mekanisme hemostasis dalam keadaan normal menjaga agar
kehilangan darah melalui trauma kecil tersebut tetap minimum.
1
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(2):hal 20
Gambar 1. Tahap Hemostasis
(Minors 2007)
A. Proses Spasme Veskular (Vasokonstriksi vaskuler)
Pembuluh darah yang terpotong atau robek akan segera berkonstriksi akibat
respon vaskuler inheren terhadap cedera dan vasokonstriksi yang diinduksi oleh
rangsang simpatis. Konstriksi ini akan menghambat aliran darah melalui defect,
sehingga pengeluaran darah dapat diperkecil. Karena permukaan endotel pembuluh
darah saling menekan satu sama lain akibat proses spasme vaskuler awal , endotel
tersebut menjadi lengket dan melekat satu sama lain, kemudian menutup pembuluh
yang rusak. Tindakan fisik ini saja tidak cukup untuk secara total mencegah
pengeluaran darah selanjutnya, tetapi penting untuk memperkecil pengeluaran darah
dari pembuluh darah yang rusak sampai tindakan-tindakan hemostatik lainnya mampu
menyumbat defect tersebut.
B. Proses Adhesi Trombosit (Hemostasis Primer)
Hemostasis primer mulai terjadi dalam beberapa detik setelah terjadi kerusakan
endotel dan berlanjut dengan pembentukan plak trombosit dalam waktu 5 menit.
Dalam proses ini, faktor endotel dan trombosit memegang peranan yang sangat
penting. Dalam pemeriksaan mikroskop elektron diketahui ultra struktur trombosit
terdiri atas berbagai bagian:
a) Glikokaliks yaitu selaput berbulu halus yang mengelilingi membran trombosit.
Pada permukaan ini terdapat reseptor-reseptor glikoprotein yang menjadi reaksi-
reaksi kontak membran pada adhesi, perubahan bentuk sel, kontraksi internal, dan
agregasi. Nomenklatur reseptor ini dengan GPI (glycoprotein) untuk berat
molekul terberat dan GPII, GPIII, dan seterusnya untuk berat molekul yang lebih
ringan secara sekuensial. Dalam keadaan normal, reseptor-resptor ini tidak
semuanya dalam bentuk aktif bahkan ada yang tidak terpapar ke permukaan2
b) Membran sitoplasma mengadakan invaginasi dan membentuk surface
connencting
canalicular system (SCCS) yang berfungsi sebagai tempat absorbsi selektif faktor-
faktor koagulasi plasma, tempat sekresi pada reaksi pelepasan, dan memperluas
permukaan trombosit. 3
c) Mikrofilamen dan mikrotubula, terdapat langsung dibawah membran sel,
menghasilkan sitoskeleton untuk mempertahankan bentuk diskoid selama dalam
sirkulasi dan mempertahankan posisi organel, mengatur organisasi internal dalam
reaksi pelepasan, mengandung trombostenin yang dapat menyebakan trombosit
berkontraksi.
d) Dalam sitoplasma trombosit terdapat granul alfa dan granul padat. Dalam reaksi,
granul alfa akan mengeluarkan faktor van Willbran (vWF), fibrinogen, F V,
Platelet Factor (PF4), FIX, fibrinektin, trombospondin, protein S, plasminogen
akivator inhibitor, dan platelet derived growth factor (PDGF) beta
tromboglobulin. Beberapa protein merupakan hasil penyerapan dari plasma di
antaranya fibrinogen, F V dan F VII, sedangkan granul padat mengeluarkan ADP
(adenosine 5'-diphosphate), ATP (adenosine triphosphate), ion Ca, serotonin,
epinefrin, dan norepinefrin.4
2
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(2):hal 21
3
Ibid
4
Ibid
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat di permukaan endotel pembuluh
darah, tetapi apabila lapisan ini rusak akibat cedera pembuluh, trombosit akan melekat
ke kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa yang terdapat di jaringan ikat
dibawahnya. Saat endotel mengalami kerusakan, maka kolagen dan matriks lain sub
endotel akan terpapar dan akan memicu adhesi trombosit. Dalam kondisis statis atau
dalam aliran lambat pada sirkulasi venula menunjukkan permukaan trombosit akan
beradesi dengan kolagen, fibronektin, laminin dan mikrofibril. Pada aliran yang lebih
cepat pada mikrosirkulasi arteriol kolagen, fibronektin, dan laminin saja tidak adekuat
untuk terjadinya adhesi trombosit.5 Maka dari itu, diperlukan vWF yang merupakan
kompleks pada F VII dan disintesis oleh sel endotel dan megakariosit. vWF akan
berikatan dengan kolagen sub endotel yang selanjutnya akan mengikat permukaan
reseptor GPIb-IX pada trombosit. Adesi ini berlangsung dalam 1-2 menit setelah
robekan. Trombosit yang beradhesi akan mengalami aktivasi. Aktivasi trombosit
menyebabkan perubahan bentuk trombosit, kontraksi, dan pengeluaran matriks yang
terdapat pada granul sitoplasma trombosit (antara lain PF, beta tromboglobulin,
trombospodin, vWF, fibrinogen, fibrinektin, Ca, ADP, ATP, serotonin, dan 5OH
triptamin). Agregasi trombosit awalnya dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan oleh
trombosit yang beradhesi dan disebut sebagai agregasi trombosit primer yang bersifat
reversibel. Adhesi merupakan gaya afinitas permukaan trombosit dengan reseptor
yang bukan berasal dari permukaan trombosit, sedangkan agregasi adalah afinitas
antara permukaan sel trombosit. Trombosit dapat diaktivasi oleh ADP, trombin, atau
kolagen. ADP akan berikatan dengan permukaan trombosit dan menyebabkan reseptor
GPIIb dan GPIIIa terbuka. Fibrinogen dapat berikatan dengan lebih dari satu trombosit
pada resptor-resptor ini dengan perantara CA, sehingga terbentuk ikatan kompleks
antara GPIIb dan GPIIIa dengan Ca dan fibrinogen. Ikatan yang timbul bersifat lemah.
Trombospodin yang dilepaskan dari granul juga akan menyebabkan adhesi trombosit
dan memperkuat agregasi. Di samping itu, aktivator trombosit seprti kolagen dan
trombin juga dapat menyebabkan mobilisasi asam arakhidonat yang dilepaskan dari
membran fosfolipid trombosit. Asam arakhidonat akan mengalami reaksi enzimatik
siklo oksigenase dan tromboksan sintetase menghasilkan tromboksan A2 (TxA2).
5
Petrovich C. Hemostasis and Hemotherphy. In: Clinical Anesthesia. Edisi ketiga. Philadelpia: Lippincott – Raven;
1997:199-206.
TxA2 merupakan prostaglandin yang mempunyai efek vasokonstriksi poten, juga
dapat menstimulasi pelepasan ADP dari granul trombosit. Setelah proses yang
kompleks (agregasi dan reaksi pelepasan) maka massa agregasi akan melekat pada
endotel atau disebut sebagai agregasi trombosit sekunder.
Selain terjadi reaksi seluler, juga terjadi reaksi vaskuler berupa vasokonstriksi
yang mula-mula terjadi secara reflektoris dan kemudian dipertahankan oleh faktor
lokal seperti epinefrin dan 5 hidroksi triptamin. Pada pembuluh darah kecil, hal ini
mungkin dapat menghentikan perdarahan, sedangkan pembuluh darah yang lebih besar
masih diperlukan sistem lain seperti trombosit, dan pembekuan darah. Selain itu,
proses tersebut juga dipengaruhi oleh jaringan sekitar pembuluh darah. Pada beberapa
kasus, terkadang diperlukan tindakan operasi untuk menghentikan perdarahan pada
pembuluh darah yang besar. Vasospasme ini akan berlangsung sekitar 20-30 menit,
sambil menunggu mekanisme hemostasis lain menjadi aktif.6
C. Homeostasis Sekunder (Koagulasi)
Proses koagulasi darah terdiri dari rangkaian enzimatik yang melibatkan banyak
protein plasma yang disebut sebagai faktor koagulasi darah. Faktor koagulasi
merupakan glikoprotein dengan berat molekul lebih dari 40.000. Nomenklatur faktor
pembekuan adalah menggunakan angka Romawi sesuai dengan urutan ditemukan.
Dalam keadaan normal faktor pembekuan berada dalam plasma dalam bentuk
perkusor inert sebagai prokoagulan atau proenzim dan akan diubah dalam bentuk
enzim aktif atau sebagai kofaktor selama proses koagulasi. Bentuk aktif ditandai
dengan huruf ’a’ dibelakanya. Untuk fibrinogen, protrombin, tromboplastin jaringan,
ion Ca, prekallikrein (PK), dan high molecular weight kininogen (HMWK) biasanya
tidak ditulis sebagai angka Romawi. Teori yang banyak dianut untuk menerangkan
proses koagulasi adalah teori kaskade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac
Farlane, Davie, dan Ratnoff. Menurut teori ini, tiap faktor koagulasi diubah menjadi
bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam rangkaian faktor enzimatik. Faktor
pembekuan beredar dalam darah sebagai prekusor yang akan diubah menjadi enzim
bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekusor selanjutnya menjadi enzim. Mula-
mula, faktor pembekuan bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim.
6
Stoelting R. Hemostasis and Blood Coagulation. In: Stoelting RK. Pharmacology Ang Phsysiology in Anesthetic
Practice. Edisi ketiga. Philadelpia: Lippincott – Raven; 1999:762-765.
Banyak reaksi dalam kaskade koagulasi melibatkam satu faktor yang mengaktifkan
faktor yang lain. Beberapa faktor koagulasi diaktifkan dengan melibatkan beberapa
faktor koagulan dan ada yang bertindak sebagai ko-faktor. Ini disebut sebagai
’reaction complex. Faktor V dan VIII bertindak sebagai kofaktor dalam ’reaction
complex’ pada kaskade koagulasi. Tanpa adanya kofaktor ini, maka reaksi akan
berjalan sangat lambat. Kedua, faktor ini dikenal sebagai faktor yang labil karena
aktivitas koagulan ini sangat singkat di darah. Demikian juga HMWK dan
tromboplastin jaringan bertindak sebagai kofaktor. Sedangkan faktor XII, XI,
prekallikrein, X, IX, VII, dan protrombin adalah zimogen proteinase serin yang akan
diubah menjadi enzim aktif selama proses koagulasi.
Sebagian besar faktor koagulasi disintesis di hati, kecuali vWF faktor VIII yang
disintesis oleh endotel dan megakariosit. Dalam sirkulasi, faktor VIII merupakan
protein plasma yang kompleks dan terdiri dari dua komponen. Bagian dengan berat
molekul besar terdapat antigen faktor VIII (VIIIR:Ag) dan vWF. Bagian dengan berat
molekul kecil terdiri dari activity coagulant factor VIII (VIIIC). Bagian ini
kemungkinan besar disintesis di hati. vWF mempunyai 2 fungsi utama yaitu sebagai
perekat kolagen subendotel dengan trombosit pada proses adhesi dan sebagai protein
pembawa faktor VIII (VIIIC). Kadar faktor VIII akan meningkat oleh epinefrin,
vasopresin, dan estrogen.
Beberapa faktor koagulasi yaitu protombin, faktor VII, IX, dan X memerlukan
vitamin K dalam proses sintesisnya di hati, sehingga disebut dengan Vitamin K
dependent factor. Vitamin K diperlukan untuk reaksi enzimatik tahap akhir proses
sintesis dengan penambahan gugus karboksil. Tanpa adanya gugus karboksil, maka
faktor koagulasi tidak dapat berikatan dengan permukaan fosfolipid dengan
diperantarai oleh Ca. Kekurangan vitamin K akan menyebabkan faktor koagulasi yang
disintesis tidak fungsional walaupun secara kualitatif kadarnya tidak menurun.
Kaskade mekanisme koagulasi terus berkembang. Pada tahun 1964, teori klasik
mekanisme koagulasi menyatakan bahwa proses koagulasi dapat dipicu melalui dua
jalur yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik.
Jalur intrinsik klasik dimulai dengan faktor kontak (faktor XII, XI, prekalikrein,
dan HMWK) yang bersentuhan dengan permukaan asing dan terjadilah reaksi aktivasi
kontak. Kontak antara F XII dengan permukaan asing akan menyebabkan aktivasi F
XII menjadi F XIIa. F XIIa akan mengubah prekallikrein menjadi kallikrein yang akan
meningkatkan aktivasi F XII selanjutnya dengan adanya kofaktor HMWK. Disamping
itu, kallikrein akan mengaktifkan F VII menjadi F VIIa pada jalur ekstrinsik,
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin pada sistem fibrinolitik, serta mengubah
kininogen menjadi kinin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Kemudian FXI
diaktifkan menjadi FXIa oleh FXIIa dengan HMWK sebagai kofaktor. FXIa dengan
adanya ion Ca akan mengubah FIX menjadi FIXa. Selanjutnya, kompleks FIXa, PF-3,
FVIII, dan in CA akan mengaktifkan FX. Jalur intrinsik dimulai dengan aktivasi FVII
oleh terpaparnya TF dan selanjutnya mengaktifkan FX. Setelah itu, kedua jalur
tersebut akan bertemu di jalur bersama.1
Pada individu yang menderita defisiensi faktor FXII, prekallikrein dan HMWK
tidak menunjukkan perdarahan abnormal secara klinis, walaupun keluhan
perdarahannya dapat bervariasi dan biasanya ringan. Ini menunjukkan FXII,
prekallikrein dan HMWK tidak begitu diperlukan dalam hemostasis in vivo. Reaksi
jalur intrinsik dapat terjadi dengan pengaruh FVII/TF dan thrombin. Pada gambar 2.
Gambar 2. Kaskade Koagulasi
(Murray and Margareth, 2003)
Terlihat pada gambar 2., faktor VII mengalami kontak dengan tissue factor (TF),
terbentuk faktor VII aktif (VIIa) yang mengaktifkan faktor X dan faktor IX (melalui
titik-titik berwarna biru). Kompleks faktor VIIa dan IVa akan memperkuat
pembentukan faktor Xa dari X. Pembentukan trombin dari protrombin oleh kerja
faktor Va mengakibatkan terbentuknya fibrin, trombin juga mengaktifkan faktor XI
( garis putus biru).
Fibrinogen
Faktor I Dipecah oleh thrombin sehingga
terbentuk bekuan fibrin.
Transglutaminase yang tergantung tiol
Faktor XIII Diaktifkan oleh trombin dengan adanya
Ca2+ menstabilkan bekuan fibrin
melalui ikatan silang kovalen.
Protein pengatur dan protein lain
Protein C Diaktifkan menjadi protein Ca dengan
pengikatan thrombin menjadi
trombomodulin; kemudian pecah
menjadi factor VIIa dan Va
Protein S Bekerja sebagai kofaktor protein C;
baik protein yang mengandung residu
Gia (γ-karboksiglutamat)
Trombomodulin Protein pada permukaan sel-sel
endotelial mengikat trombin yang
kemudian mengaktifkan protein C
D. Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik
sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik terdiri dari tiga
komponen utama yaitu plasminogen yang akan diaktifkan menjadi plasmin, aktivator
plasminogen, dan inhibitor plasmin.
(Payel, 2009)
Darah merupakan satu-satunya jaringan dalam tubuh yang berupa fluida. Darah
mentransport oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan dan membuang produk sisa seperti karbon
dioksia. Darah merupakan sampel yang sering diperiksa dilaboratorium rumah sakit (James et al,
2006). Darah merupakan suspensi sel dan fragmen sitoplasma di dalam cairan yang disebut
dengan plasma. Secara keseluruhan darah dapat dianggap sebagai jaringan pengikat dalam arti
luas karena pada dasarnya terdiri atas unsur-unsur sel dan substasi intraseluler yang berbentuk
plasma (isnaeni, 2006).
Keberadaan darah dalam tubuh mempunyai arti penting bagi kehidupan seseorang. Secara
umun fungsi darah adalah sebagai alat transport makanan yang diserap dari saluran cerna dan
diedarkan keseluruh tubuh, selain itu darah juga berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan
dinamis (homeostatis) dalam tubuh , termasuk di dalamnya ialah mempertahankan suhu tubuh,
mengatur keseimbangan distribusi air dan mempertahankan keseimbangan asam basa sehingga
pH darah dan cairan tubuh tetap dalam keadaan seharusnya.
1. Golongan Darah
Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya perbedaan
jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Didunia ini sebenarnya
dikenal sekitar 46 jenis antigen selain antigen ABO dan Rh (Andriyani et al, 2015). Sistem ABO
yang ditemukan oleh Karl Landsteiner merupakan sistem yang paling penting dalam bank darah
dan ilmu kedokteran transfusi, antigen-antigen utamanya disebut A dan B, antibodi utamanya
adalah anti-A dan anti-B. Gen-gen yang menentukan ada tidaknya aktivitas A atau B terletak di
kromosom 9 (Ronald, 2004). Penetapan golongan darah menentukan jenis aglutinogen yang ada
dalam sel dan menentukan aglutinin yang ada dalam serum (Subrata, 2007).
Dalam sisitem golongan darah ABO ini, berlaku asas yang mengatakan bahwa serum
seseorang tidak akan mengendapkan sel darah merah orang itu sendiri serta sel darah merah
orang lain yang bergolongan sama. Jadi, serum darah dari orang yang bergolongan darah A tidak
akan mengaglutinasikan sel darah merah dari orang yang bergolongan darah A. Hal yang
sebaliknya juga berlaku untuk serum yang bergolongan darah B. Serum dari orang yang
bergolongan darah AB tidak dapat mengendapkan sel darah merah golongan AB, juga tidak
dapat mengaglutinasikan sel darah merah golongan A maupun golongan B. Sel darah merah
golongan O tidak dapat diaglutinasikan oleh serum dari orang yang bergolongan darah A, B,
maupun AB.
Faktor yang menentukan golongan darah manusia berupa antigen yang terdapat pada
pernukaan luar sel darah merah disebut aglutinogen. Zat anti terhadap antigen tersebut disebut
zat anti atau antibodi yang bila bereaksi akan menghancurkan antigen yang bersangkutan
disebut aglutinin dalam serum, suatu antibodi alamiah yang secara otomatis terdapat pada tubuh
manusia. darah manusia menjadi 4 golongan, yaitu golongan darah A, golongan darah B,
golongan darah AB dan golongan darah O. Penggolongan darah ini dikenal dengan sistem
penggolongan darah ABO, pembagian golongan darah ini berdasarkan perbedaan aglutinogen
(antigen) dan aglutinin (antibodi) pada membran permukaan sel darah merah pada penggolongan
darah ini ada 2 zat yang berperan penting dalam menentukan golongan darah yaitu aglutiogen
dan aglutinin. Aglutinogen atau antigen ini merupakan polisakarida yang tidak hanya terdapat
pada sel darah merah tetapi juga terdapat pada kelenjar ludah, hati, ginjal, paruparu, testis dan
semen.
Sel darah merah memiliki salah satu dari antigen A, B , AB atau tidak sama sekali pada
permukaan sel tersebut. Golongan A memiliki antigen A, golongan B memiliki antigen B,
golongan AB memiliki antigen A dan B, sementara golongan O tidak mengandung antigen.
Antigen tersebut mampu memproduksi antibodi. Individu yang memiliki golongan darah AB
merupakan resipien universal (dapat menerima semua jenis darah) karena tidak memiliki
antibodi, seseorang yang bergolongan darah O merupakan donor universal (dapat menerima
semua jenis darah)
Reagen antisera merupakan reagen yang digunakan untuk pemeriksaan golongan darah
ABO. Diperoleh dari biakan supernatan secara in vitro yang berasal dari hibridisasi
immunoglobulin sel tikus dan hasil pemeriksaannya akan terbentuk aglutinasi Antigen.
Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat
bereaksi dengan antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk
merangsang produksi antibodi. Atigen adalah zat yang dapat bereaksi dengan produk respon
imun spesifik. Substansi yang dikenal sebagai antigen golongan darah merupakan produk gen
yang spesifik dan juga bersifat imunogenik. Individu memiliki suatu pola genetik spesifik
(genotip) dan antigen ini biasanya mengekspresikan diri pada eritrosit. Antigen terdapat pada
permukaan sel darah merah, yang terdiri atas bilipid membrane suatu molekul yang besar.
Komposisi bilipid membrane adalah molekul yang dinamakan phospolid yang terdiri dari
hydrophilic dan hydrophobic. Umumnya molekul protein bilipid membrane memiliki
oligosakarida, beberapa diantaranya diketahui menjadi antigen. golongan darah, lainya
berfungsi untuk metabolisme sel darah merah. Antigen yang terdapat pada eritrosit bersifat
herediter. Antigen A dan antigen B ini diturunkan secara dominan menurut hukum Mendel.
Selain di sel darah, antigen ini juga dapat terdistribusi secara luas di berbagai jaringan tubuh
lain yaitu kelenjar liur, pankreas, saliva, testis, ginjal, hati, semen dan cairan amnion.
Antigen AB bukan merupakan produk gen primer tetapi mereka adalah produk reaksi
ezimatik enzim glikosiltransferase yang diekspresikan pada permukaan eritrosit atau hadir
dalam sekresi sebagai unit glikan dari mucin glikoprotein (NCBI, 2014). Produk dari alel A
dan B adalah enzim glikosiltransferase. Variasi dalam gen ini (polimorfise) menentukan
apakah enzim glikosiltransferase menempelkan N- asetilgalaktosamine (antigen A), galaktosa
(antigen B) atau tidak ada gula (tipe O). Susunan gula ini adalah bagian dari antigen yang
mampu merespon kekebalan tubuh sehingga menghasilkan antibodi untuk menghancurkan
antigen.
Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma
setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi ditemukan dalam serum dan jaringan dan
mengikat antigen secara spesifik (Sudoyo, 2007). Antibodi dapat dikenal bila antibodi itu
bereaksi dengan antigen dan sebaliknya. Dalam golongan darah interaksi ini biasanya dapat
dilihat dari sel-sel darah beraglutinasi. Antibodi golongan darah adalah protein ( spesifiknya
gamma globulin), dihasilkan oleh tubuh sebagai mekanisme pertahanan dalam menanggapi
antigen. Antibodi golongan darah yaitu anti A dan anti B pada umumnya timbul beberapa
bulan setelah lahir (3-6 bulan) dan mencapai level maksimal pada usia 5-10 tahun kemudian
secara perlahan-lahan menurun pada usia tua (Ellyani, 2002). Antibodi ABO terjadi secara
alamiah, yaitu berkembang tanpa harus terpajan dengan eritrosit yang mengekspresikan
antigen yang sesuai. Antibodi ini belum ada saat lahir, tapi berkembang dengan pajanan
antigen di lingkungannya. Antibodi tersebut terutama immunoglobulin (Ig) M, reaktif pada
suhu 37º C dan dapat mengaktivasi komplemen.
F. Cairan Interstisial dan Cairan Limfe
1. Cairan interestial
Cairan interestial yang menggenangi jaringan secara terus menerus yang diambil oleh
kapiler kapiler limfatik disebut dengan Limfa. Limfa mengalir melalui sistem pembuluh
yang akhirnya kembali ke sistem sirkulasi. Ini dimulai pada ekstremitasdari sistem kapiler
limfatik yang dirancang untuk menyerap cairan dalam jaringanyang kemudian dibawa
melalui sistem limfatik yang bergerak dari kapiler kelimfatik (pembuluh getah bening) dan
kemudian ke kelenjar getah bening. Getah bening ini disaring melalui benjolan dan keluar
dari limfatik eferen. Dari sana getah bening melewati batang limfatik dan akhirnya ke dalam
saluran limfatik. Pada titik ini getah bening dilewatkan kembali ke dalam aliran darah
dimana perjalanan ini dimulai lagi.
2. Cairan limfe
Kata “chyle” berasal dari bahasa Latin yang berarti “juice” dan digunakan untuk
mendeskripsikan cairan limfe yang berasal dari organ intestinal. Lemak dari makanan
ditransport lewat pembuluh limfe menuju ductus thoracicus ke sirkulasi darah vena. Setleah
makanan makanan berlemak, cairan limfe terlihat seperti air susu. Faktor pendorong gerak
Cairan limfe merupakan cairan yang mirip dengan plasma dengan kadar protein lebih
rendah. Kelenjar limfe menambahkan limfosit, sehingga dalam saluran limfe jumlah selnya
besar.
a. Faktor pendorong gerak cairan limfe:
1. Pembuluh limfe mirip vena, memiliki katup yang bergantung pada pergerakan otot
rangka untuk memecah cairan kejantung
2. Perlawanan pertama yang dilakukan oleh tubuh adalah dengan respon imunnon-
spesifik, sel makrofag dan cairan limfa. Sehingga cairan limfatik mengalir melalui sistem
limfatik yang berfungsi juga dalam sirkulasi system imunseluler
3. Karena fungsi dari sistem saluran limfe juga untuk mengembalikan cairan dan
protein dari jaringan kembali ke darah melalui sistem limfatik, maka faktor pendorong gerak
cairan limfe juga dikarenakan adanya cairan yang keluar dari kapiler darah.
b. Proses jalannya cairan limfe
Proses jalan limfe di mulai dari keluarnya cairan, yang disebut cairan interstisial
yang mengandung zat-zat makanan didalamnya keluar dari kapiler darah. Setelah keluar dari
kapiler darah kemudian masuk ke dalam jaringanjaringan disekelilingnya. Kemudian akan
memberikan zat-zat makanan dari jaringan. Kemudian setelah itu cairan tersebut akan
berkumpul di lekak-lekak jaringan yang kecil sekali. Dari lekak-lekak tersebut limfe
mengalir melalui jalanjalan limfe. Proses masuknya seperti pada susunan jalan darah,
pertama limfe itu masuk kedalam kapiler. terus antara kapiler yang satu dengan yang lain
bertemu dan akhirnya menjadi besar yaitu pembuluh limfe. Pada akhirnya jalan-jalan limfe
akhirnya menjadi dua buah, yaitu ductus thoracicus dan ductus lymphaticus dexter. Ductus
thoracicus ini dimulai dari sebuah perluasan yang dinamakan systerna cycli. Pada ductus
thoracicus ini menerima limfe dari isi badan dari seluruh pasangan belakang dari dinding
dada, dinding perut, daerah bahu sebelah kiri, leher sebelah kiri dan kepala sebelah kiri.
Sedangkan untuk truncus lymphaticus dexter, pangkalnya menreima limfe dari sebagian
besar dinidng dada sebelah kanan,kepalasebelah kanan, lehersebelah kanan danbahu sebelah
kanan, kelenjar limfe yang ada ditempat semuanya itu berkumpul di kelenjar limfe sebelah
kanan, yang tereltak didekat pintu masuk dada., dari perkumpulan tersebut terdiri dari 3-4
pangkal, dan akhirnya menjadi satu yaitu ductus lymphaticusdexter.
Pembuluh limfe ini lebih kecil dan dindingnya lebih tipis dari pembuluh darah.
Sebelum limfe dialirkan kedalam darah limfe ini akan disaring di nodusnodus limfatikus.
karena limfe saat di lekak-lekak jaringan dapat terdapat kuman penyakit dan benda-benda
debu seperti zat arang. Jadi sebelum dialirkan kedalam pembuluh darah limfe-limfe tersebut
disaring terlebih dahulu. Pembersihan tersebut terjadi di nodus limfatikus atau di kelenjar-
kelenjar limfe. Dan kumankuman tersebut yang tertahan disana akan dimusnahkan oleh
limfosit yang terdapat di kelenjar-kelenjar limfe. Terkadang terdapat kuman yang lebih kuat,
hal demikin dapat terjadi, bila terdapat kuman-kuman, dan akibatnya kelenjar tersebut akan
bernanah. Dan kelenjar-kelanjar limfe juga bisa berwarna hitam bila terdapat seperti zat
arang. Setelah masuk ke vasa darah, limfe tersebut pertama akan dibawa ke ren, di ren
tersebut zat-zat yang ada di dalam cairan tersebut akan dikeluarkan. Didalam pembuluh
limfe juga terdapat klep-klep sehingga cairan limfe tidak bisa kembali.
G. Homesitosis
1. Homeostasis
Homeostasis adalah proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan makhluk
hidup untuk mempertahankan kondisi konstan agar tubuhnya dapat berfungsi dengan
normal, meskipun terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh. Kondisi
konstan ini meliputi berbagai variabel, seperti suhu tubuh dan keseimbangan cairan
tubuh, yang dijaga dalam batas yang telah ditentukan (yang disebut rentang homeostasis).
Contoh variabel lainnya yaitu pH ekstraseluler, konsentrasi ion natrium, kalium,
dan kalsium, serta kadar gula darah. Hal-hal ini perlu dijaga meskipun lingkungan, diet,
dan aktivitas tubuh terus berubah. Setiap variabel ini dikendalikan oleh satu atau
beberapa mekanisme yang bersama-sama mempertahankan kehidupan.
Diagram diatas menggambarkan perubahan glukosa menjadi glikogen dan sebaliknya
untuk menjaga kadar gula darah tetap konstan, meskipun terjadi fluktuasi akibat makan
atau berpuasa. Ketika suatu hal sudah dalam kondisi optimal, homeostasis muncul
sebagai resistansi alami untuk berubah. Kondisi seimbang dipertahankan dan diatur oleh
banyak mekanisme. Semua mekanisme yang mengendalikan homeostasis memiliki
setidaknya tiga komponen yang saling bergantung, yaitu reseptor, pusat kendali, dan
efektor, yang masing-masing dimiliki untuk setiap variabel yang diatur. Reseptor adalah
komponen penginderaan yang memantau dan merespons perubahan lingkungan, baik
eksternal maupun internal. Reseptor mencakup reseptor suhu dan reseptor mekanik. Pusat
kontrol misalnya pusat pernapasan dan sistem renin–angiotensin. Efektor adalah target
yang ditindak lanjuti sehingga perubahan dikembalikan ke keadaan normal.
2. Mekanisme Homeostasis
Ada banyak sekali mekanisme homeostasis lain yang mengatur beragam aspek fisiologi
dalam tubuh. Ketika tingkat suatu variabel lebih tinggi atau lebih rendah dari yang
dibutuhkan, masing-masing kondisi ini sering diawali dengan hiper- dan hipo-, seperti
hipertermia dan hipotermia atau hipertensi dan hipotensi.
Gambar diatas merupakan variasi sirkadian pada suhu tubuh yang berkisar dari
sekitar 37,5 °C dari pukul 10 hingga 18, dan turun menjadi sekitar 36,4 °C pada pukul 2
hingga 6. Jika suatu entitas dikendalikan melalui homeostasis, hal itu tidak menyiratkan
bahwa nilainya harus benar-benar stabil untuk menjaga kesehatan. Suhu inti tubuh,
misalnya, diatur oleh mekanisme homeostasis oleh sensor suhu, di
antaranya hipotalamus pada otak. Namun, titik setel suatu regulator diatur ulang secara
teratur. Sebagai contoh, suhu inti tubuh pada manusia bervariasi sepanjang hari
(dipengaruhi oleh ritme sirkadian), dengan suhu terendah terjadi pada malam hari dan
tertinggi pada sore hari. Suhu normal juga bervariasi akibat siklus menstruasi.
3. Pengaturan Suhu Badan dalam Tubuh Manusia
a) Pengaturan suhu dengan kaidah fisika
Dikenali sebagai kaidah fisika karena pengaturan lebih banyak kepada
penggunaan otot-otot tubuh dan secara fisik. Di antara kemungkinan yang akan
terjadi ialah:
Suhu badan tinggi melebihi normal
Suhu badan rendah melebihi normal
Apabila suhu badan tinggi, termoreseptor akan mentransfer suhu pada kulit, di
otak, hipotalamus akan berfungsi sebagai termostat untuk mengatur suhu darah
yang melaluinya, mekanisme koreksi akan diarahkan atau dirangsang oleh
hipotalamus dengan menggunakan koordinasi tubuh.
Mekanisme koreksi apabila suhu badan tinggi adalah :
1) Vasodilasi yaitu pembuluh darah mengembang untuk berdekatan dengan
kulit (lingkungan luar) yang memungkinkan panas dibebaskan keluar.
2) Bulu kulit ditegaskan untuk mengurangi udara yang terperangkap pada
kulit supaya panas mudah dibebaskan karena udara adalah konduktor
panas yang baik. Bulu kulit diatur oleh otot erektor.
3) Lebih banyak darah pada kulit (kulit kelihatan merah). Memudahkan
panas darah terbebas keluar melalui proses penyinaran.
4) Berpeluh. Air keringat yang dirembes oleh kelenjar keringat mempunyai
panas pendam tentu yang tinggi dapat menyerap panas yang tinggi dan
terbebas ke lingkungan sekitar apabila air peluh menguap.
Apabila suhu tubuh rendah, termoreseptor akan menaikkan suhu pada kulit, di
otak hipotalamus akan berfungsi sebagai termostat mengatur suhu darah yang
melaluinya, mekanisme koreksi akan diarahkan atau dirangsang oleh hipotalamus
dengan menggunakan koordinasi badan.
Mekanisme koreksi apabila suhu badan rendah adalah :
1) Vasokonstriksi yaitu pembuluh darah menyempit untuk menjauhi kulit
agar panas tak banyak keluar ke lingkungan sekitar.
2) Bulu kulit ditegakkan agar lebih banyak udara yang terperangkap pada
kulit supaya panas sukar dibebaskan karena udara adalah konduktor panas
yang baik. Bulu kulit diatur oleh otot erektor.
3) Kurang darah pada kulit (Kulit kurang kelihatan kemerahan atau pucat).
Kurang mengalami proses penyinaran untuk mencegah panas terbebas
keluar lingkungan.
4) Kurangnya keringat. Saat kurang air keringat dirembeskan oleh kelenjar
peluh maka panas tak banyak dibebaskan melalui penguapan air peluh.
b) Pengaturan suhu dengan kaidah metabolik
Dikenal sebagai kaidah metabolik karena pengaturan lebih kepada penggunaan
kimia badan daripada secara fisik walaupun terdapat pengaturan yang melibatkan
otot-otot. Kawalan ini melibat peranan:
Otot rangka
Kelenjar adrenal
Kelenjar tiroid
Dalam keadaan sejuk, hipotalamus akan mengatur otot rangka untuk
vasokonstriksi secara aktif. Hal ini akan menyebabkan seseorang mengigil dan
meningkatkan suhu badan. Pada saat yang sama, kelenjar adrenal akan
menyekresikan hormon adrenalin dan noradrenalin sedangkan kelenjar tiroid akan
menyekresikan hormon tiroksin, semua hormon ini bertujuan untuk meningkatkan
suhu badan dengan cara meningkatkan metabolisme tubuh. Dalam keadaan panas,
aktivitas otot rangka akan berkurang, begitu juga dengan sekresi hormon-hormon
tertentu oleh kelenjar adrenal dan kelenjar tiroid akan berkurang.
•Aterosklerosis
Abstrak
Jurnal yang berjudul ‘Lymphangioma Di Leher Anak-Anak Tua Tahun 8 Tahun’ berisi
tentang Seorang anak perempuan usia 8 tahun datang ke RSUD Undata Palu dengan
keluhan benjolan pada leher kiri yang dirasakan sejak pasien lahir dan bertambah besar
seiring bertambahnya usia. Tidak terasa nyeri dan warna sama dengan kulit sekitar.
Terdapat massa dengan konsisten padat, batas tegas dan mobile, ukuran ± 3 cm pada
regio supraclavicular sinistra.
Abstrak yang di sajikan penulis menggunakan bahasa yang cukup
sederhana, jelas mudah untuk dimengerti, dan secara keseluruhan isi dalam abstrak
langsung menuju pada inti permasalahan atau pembahasan pada jurnal penelitian
tersebut.
Pendahuluan
Di dalam paragraph yang pertama disajiakan bahwa Limfangioma merupakan tumor
jinak dari pembuluh limfe yang biasanya muncul setelah lahir. Limfangioma terjadi
akibat gangguan perkembangan dari saluran limfatik dan lokasi paling sering yaitu di
daerah kepala, leher dan axila, tetapi bisa juga terdapat pada lokasi pembuluh limfatik
lainnya.
Dijelaskan juga pada pendahuluan Penyebab pasti lymphangioma tidak
diketahui. Pembentukan lympangioma menggambarkan adanya kegagalan saluran getah
bening untuk menghubungkan dengan sistem vena selama embriogenesis, penyerapan
abnormal struktur limfatik atau keduanya. Beberapa pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis limfangioma adalah ultrasonography, plain radiography, CT Scan,
MRI dan Needle Aspiration and culture.2
Pembahasan
Dalam penelitian jurnal tersebut di jelaskan Seorang anak perempuan
usia 7 tahun datang ke RSUD Undata Palu pada tanggal 09 Oktober 2017 dengan keluhan
benjolan pada leher kiri yang dirasakan sejak pasien lahir. Awalnya benjolan sebesar
kepala jarum pentul, dan semakin membesar seiring bertambahnya usia pasien. Benjolan
tersebut tidak terasa gatal maupun nyeri, warnanya sama dengan kulit sekitarnya dengan
konsistensi padat, batas tegas dan teraba mobile. Riwayat demam tidak ada, sakit kepala
tidak ada, pusing tidak ada, batuk tidak ada, flu tidak ada, sakit perut tidak ada, mual dan
muntah tidak ada.Buang air kecil lancar dan buang air besar lancar.
Pasien didiagonis menderita limfangioma karena didapatkan tanda dan gejala yang mendukung
diagnosa tersebut. Berdasarkan anamnesa didapatkan keluhan benjolan pada leher kiri yang
dirasakan sejak pasien lahir dan semakin membesar seiring bertambahnya usia pasien. Benjolan
tersebut tidak terasa gatal maupun nyeri dan warnanya sama dengan kulit sekitarnya.
Berdasarkan pemeriksaan fisik di dapatkan adanya massa dengan konsisten padat, batas tegas
dan mobile, ukuran ± 3 cm pada regio supraclavicular sinistra. Salah satu pemeriksaan
penunjang yang mendukung diagnosis yaitu pemeriksaan biopsi pada kelenjar dan di dapatkan
hasil yaitu suspek lymphangioma. Pada kasus ini dipilih tindakan eksisi karena benjolan
berukuran besar, padat, batas tegas dan mobile. Tindakan eksisi telah terbukti sangat efektif
dengan tingkat kekambuhan rendah jika pengambilan epitel kistik secara menyeluruh. Setelah
itu, jaringan dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan PA dan memberikan hasil
yaitu mikroskopik: Sediaan jaringan menunjukkan jaringan ikat dan lemak yang diantaranya
terdapat rongga-rongga ukuran bervariasi, dilapisi selapis endotel, lumen umumnya kosong dan
sebagian berisi massa eosinofilik, eritrosit dan sedikit limfosit. Pada stroma tampak focus – focus
agregat sel – sel limfoid dengan kesimpulan lymphangioma. Jadi pada pasien ini merupakan
tumor jinak yang disebabkan oleh malformasi limfatik pada lapisan dermis dalam dan subkutan
yaitu limfangioma, yang merupakan tumor jinak dari pembuluh limfe yang biasanya terjadi
setelah lahir.
Simpulan
Dibagian ini penulis menyumpulkan bahwa Limfangioma pada anak
biasanya asimtomatik saat di diagnosis terutama jika limfangioma berada di luar daerah
kepala atau leher. Temuan klinis pada limfangioma adalah adanya benjolan yang tidak
nyeri dengan konfirmasi melalui pemeriksaan biopsi. Pada kasus ini dilakukan tindakan
eksisi tumor yang terletak di regio supraclavicular sinistra sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi seperti obstruksi pernapasan, infeksi, ulserasi, kesulitan makan dan
bicara serta kematian pada pasien