Anda di halaman 1dari 62

MAKALAH SISTEM HEMOLIMFE

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Fisiologi Manusia


Dosen Pengampu Desi Kartikasri,M.Si

Oleh :
1. Nur Intan Mutiarawati 12208183042
2. Timur Novi Alip 12208183116
3. Noviantika Yulia Dewi 12208183128
4. Amalinda Miftachul Jannah 12208183174

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
April 2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Biologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan, sedangkan transportasi
merupakan alat yang membawa sesuatu dari tempat semula ke tempat tujuan. Setelah
menakar dari kedua definisi tersebut, didapat pengertian biotranspor merupakan proses
transportasi yang terjadi di dalam kehidupan baik tumbuhan, hewan, dan lingkungan.
Pada hewan, terdapat sistem transportasi seperti pembuluh darah. Selain pembuluh darah,
juga terdapat pembuluh limfe atau getah bening.
Sistem limfatik merupakan suatu jalur tambahan tempat cairan dapat mengalir
dari ruang interstisial ke dalam darah. Hal yang terpenting, sistem limfatik dapat
mengangkut protein dan zat-zat berpartikel besar keluar dari ruang jaringan, yang tidak
dapat dipindahkan dengan proses absorpsi langsung ke dalam kapiler darah.
Pengembalian protein ke dalam darah dari ruang interstisial ini merupakan fungsi yang
penting dan tanpa adanya fungsi tersebut, kita akan meninggal dalam waktu 24 jam.
Pembentukan cairan limfe berasal dari cairan interstisial yang mengalir ke dalam sistem
limfatik. Cairan limfe yang pertama kali mengalir dari setiap jaringan mempunyai
komposisi yang hampir sama dengan cairan interstisial.
Tubuh manusia memiliki suatu ruang sistem yang disebut sistem imun, yang
melindungi tubuh. Fungsi sistem limfatik adalan transpor cairan untuk kembali ke dalam
darah dan berperan penting dalam pertahanan tubuh dan pertahanan terhadap penyakit.
Limfe merupakan cairan jaringan berlebih (cairan interstisial dari darah) dibawa
pembuluh limfe dan kembali ke aliran darah. Sistem ini merupakan sistem satu jalur
untuk menuju jantung, tidak ada pemompaan dari pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sistem hemolimfe.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal, struktur dan fungsi darah ?
2. Bagaimana respon kebal tubuh terhadap antigen tertentu?
3. Bagaimana struktur dan fungsi jaringan limfoid?
4. Bagaimana fisiologi hemostatis
5. Bagaimana prinsip-prinsip penggolongan darah?
6. Bagaimana cairan interfersial dan limfe ?
7. Bagaimana jika tidak terjadi homeostatik dalam darah?
8. Apa saja gangguan pada sistem hemolimfe ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui struktur dan fungsi darah ?
2. Untuk mengetahui respon kebal tubuh terhadap antigen tertentu?
3. Untuk mengetahui struktur dan fungsi jaringan limfoid?
4. Untuk mengetahui fisiologi hemostatis
5. Untuk mengetahui prinsip-prinsip penggolongan darah?
6. Untuk mengetahui cairan interfersial dan limfe ?
7. Untuk mengetahui penyebab jika tidak terjadi homeostatik dalam darah?
8. Untuk mengetahui gangguan pada sistem hemolimfe ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Darah, Struktur Darah, dan Fungsi Darah


1. Asal Darah
Darah merupakan komponen esensial mahluk hidup, mulai dari binatang primitif
sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah
sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai pembawa oksigen, mekanisme pertahanan
tubuh terhadap infeksi, dan mekanisme hemostasis.

Gambar 1 (sel darah merah, sel darah putih dan keping darah)
Sel darah merah , sebagian besar sel darah putih , dan trombosit diproduksi di
sumsum tulang, jaringan lemak lunak di dalam rongga tulang. Dua jenis sel darah putih,
sel T dan B ( limfosit ), juga diproduksi di kelenjar getah bening dan limpa, dan sel T
diproduksi di kelenjar timus. Di dalam sumsum tulang, semua sel darah berasal dari satu
jenis sel tidak terspesialisasi yang disebut sel induk. Ketika sel induk membelah, pertama-
tama ia menjadi sel darah merah yang belum matang, sel darah putih, atau sel penghasil
trombosit. Sel yang belum matang kemudian membelah, semakin matang, dan akhirnya
menjadi sel darah merah, sel darah putih, atau trombosit yang matang.
Sumsum tulang sebagai mesin pembentuk sel darah. Pada orang dewasa normal
menghasilkan dan melepaskan kurang lebih 2.5 juta sel darah merah, 2.5 juta trombosit,
dan satu juta granulosit per kg BB. Semua sel darah yang beredar di dalam tubuh berasal
dari satu sel induk yang pluripoten (Pluripotent Stem Cell): proliferasi, diferensiasi dan
maturasi. Sel Induk Hemopoesis akan mampu menjadi sel darah apa saja setelah melalui
diferensiasi menjadi sel progenitor/ bakal sel darah merah, bakal sel lekosit (granulosit
dan non granulosit) serta bakal sel trombosit.
Hematopoiesis merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan
perkembangan sel darah dari sel induk / asal / stem sel, dimana terjadi proliferasi,
maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan
peningkatan atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel hematopoietik pluripotent
menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah,
sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat
khusus yang berbeda-beda.
Tempat Terjadinya Hematopoiesis Pada Manusia :

Gambar 2. (Hematopoiesis terjadi pada sumsum tulang)


a. Embrio dan Fetus
1) Stadium Mesoblastik, Minggu ke 3-6 s/d 3-4 bulan kehamilan : Sel-sel
mesenchym di yolk sac. Minggu ke 6 kehamilan produksi menurun diganti organ-
organ lain.
2) Stadium Hepatik, Minggu ke 6 s/d 5-10 bulan kehamilan : Menurun dalam waktu
relatif singkat. Terjadi di Limpa, hati, kelenjar limfe
3) Stadium Mieloid, Bulan ke 6 kehamilan sampai dengan lahir, pembentukan di
sumsum tulang : Eritrosit, leukosit, megakariosit.
b. Bayi sampai dengan dewasa
Hematopoiesis terjadi pada sumsum tulang, normal tidak diproduksi di hepar dan
limpa, keadaan abnormal dibantu organ lain.
1) Hematopoiesis Meduler (N) Lahir sampai dengan 20 tahun : sel sel darah →
sumsum tulang. Lebih dari 20 tahun : corpus tulang panjang berangsur-angsur
diganti oleh jaringan lemak karena produksi menurun.
2) Hematopoiesis Ekstrameduler (AbN) Dapat terjadi pada keadaan tertentu, misal:
Eritroblastosis foetalis, An.Peniciosa, Thallasemia, An.Sickle sel, Spherositosis
herediter, Leukemia. Organ-organ Ekstrameduler : Limpa, hati, kelenjar adrenal,
tulang rawan, ginjal, dll.
Macam – Macam Hematopoiesis

Gambar 3.

(pembentukan sel darah)

1) Seri Eritrosit (Eritropoesis)


Perkembangan eritrosit ditandai dengan penyusutan ukuran (makin tua makin kecil),
perubahan sitoplasma (dari basofilik makin tua acidofilik), perubahan inti yaitu
nukleoli makin hilang, ukuran sel makin kecil, kromatin makin padat dan tebal, warna
inti gelap. Tahapan perkembangan eritrosit yaitu sebagai berikut :
a) Proeritroblas
Proeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri eritrosit.
Proeritroblas adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-20 µm. Inti
mempunyai pola kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari pada pola
kromatin hemositoblas, serta satu atau dua anak inti yang mencolok dan
sitoplasma bersifat basofil sedang. Setelah mengalami sejumlah pembelahan
mitosis, proeritroblas menjadi basofilik eritroblas.
b) Basofilik Eritroblas
Basofilik Eritroblas agak lebih kecil daripada proeritroblas, dan
diameternya rata-rata 10µm. Intinya mempunyai heterokromatin padat dalam jala-
jala kasar, dan anak inti biasanya tidak jelas. Sitoplasmanya yang jarang nampak
basofil sekali.
c) Polikromatik Eritroblas (Rubrisit)
Polikromatik Eritoblas adalah Basofilik eritroblas yang membelah berkali-
kali secara mitotris, dan menghasilkan sel-sel yang memerlukan hemoglobin yang
cukup untuk dapat diperlihatkan di dalam sediaan yang diwarnai. Setelah
pewarnaan Leishman atau Giemsa, sitoplasma warnanya berbeda-beda, dari biru
ungu sampai lila atau abu-abu karena adanya hemoglobin terwarna merah muda
yang berbeda-beda di dalam sitoplasma yang basofil dari eritroblas. Inti
Polikromatik Eritroblas mempunyai jala kromatin lebih padat dari basofilik
eritroblas, dan selnya lebih kecil.
d) Ortokromatik Eritroblas (Normoblas)
Polikromatik Eritroblas membelah beberapa kali secara mitosis.
Normoblas lebih kecil daripada Polikromatik Eritroblas dan mengandung inti
yang lebih kecil yang terwarnai basofil padat. Intinya secara bertahap menjadi
piknotik. Tidak ada lagi aktivitas mitosis. Akhirnya inti dikeluarkan dari sel
bersama-sama dengan pinggiran tipis sitoplasma. Inti yang sudah dikeluarkan
dimakan oleh makrofag makrofag yang ada di dalam stroma sumsum tulang.
e) Retikulosit
Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya, dan
mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta masih dapat
mensintesis hemoglobin. (Child, J.A, 2010 ; Erslev AJ, 2001)
Retikulosit dianggap kehilangan sumsum retikularnya sebelum
meninggalkan sumsum tulang, karena jumlah retikulosit dalam darah perifer
normal kurang dari satu persen dari jumlah eritrosit. Dalam keadaan normal
keempat tahap pertama sebelum menjadi retikulosit terdapat pada sumsung
tulang. Retikulosit terdapat baik pada sumsum tulang maupun darah tepi. Di
dalam sumsum tulang memerlukan waktu kurang lebih 2 – 3 hari untuk menjadi
matang, sesudah itu lepas ke dalam darah.
f) Eritrosit
Eritrosit merupakan produk akhir dari perkembangan eritropoesis. Sel ini
berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada manusia, sel
ini berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Jumlah normal pada
tubuh laki – laki 5,4 juta/µl dan pada perempuan 4,8 juta/µl. setiap eritrosit
memiliki diameter sekitar 7,5 µm dan tebal 2 µm. (Ganong, William F.1998)
Perkembangan normal eritrosit tergantung pada banyak macam-macam
faktor, termasuk adanya substansi asal (terutama globin, hem dan besi). Faktor-
faktor lain, seperti asam askorbat, vitamin B12, dan faktor intrinsic (normal ada
dalam getah lamung), yang berfungsi sebagai koenzim pada proses sintesis, juga
penting untuk pendewasaan normal eritrosit.(Djunaedi Wibawa, 2011).
Pada sistem Eritropoesis dikenal juga istilah Eritropoiesis inefektif, yang
dimaksud Eritropoiesis inefektif adalah suatu proses penghancuran sel induk
eritroid yang prematur disumsum tulang.
2) Seri Leukosit
a) Leukosit Granulosit / myelosit Myelosit terdiri dari 3 jenis yaitu neutrofil,
eosinofil dan basofil yang mengandung granula spesifik yang khas. Tahapan
perkembangan myelosit yaitu :
i. Mieloblas
Mieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari seri
granulosit. Diameter berkisar antara 10-15µm. Intinya yang bulat dan besar
memperlihatkan kromatin halus serta satu atau dua anak inti.
ii. Promielosit
Sel ini agak lebih besar dari mielobas. Intinya bulat atau lonjong, serta
anak inti yang tak jelas.
iii. Mielosit
Promielosit berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi mielosit. Pada
proses diferensiasi timbul grnula spesifik, dengan ukuran, bentuk, dan sifat
terhadap pewarnaan yang memungkinkan seseorang mengenalnya sebagai
neutrofil, eosinofil, atau basofil. Diameter berkisar 10µm, inti mengadakan
cekungan dan mulai berbentuk seperti tapal kuda.
iv. Metamielosit
Setelah mielosit membelah berulang-ulang, sel menjadi lebih kecil
kemudian berhenti membelah. Sel-sel akhir pembelahan adalah
metamielosit. Metamielosit mengandung granula khas, intinya berbentuk
cekungan. Pada akhir tahap ini, metamielosit dikenal sebagai sel batang.
Karena sel-sel bertambah tua, inti berubah, membentuk lobus khusus dan
jumlah lobi bervariasi dari 3 sampai 5. Sel dewasa (granulosit bersegmen)
masuk sinusoid-sinusoid dan mencapai peredaran darah. Pada masing-
masing tahap mielosit yang tersebut di atas jumlah neutrofil jauh lebih
banyak daripada eosinofil dan basofil.
b) Leukosit non granuler
i. Limfosit
Sel-sel precursor limfosit adalah limfoblas, yang merupakan sel
berukuran relatif besar, berbentuk bulat. Intinya besar dan mengandung
kromatin yang relatif dengan anak inti mencolok. Sitoplasmanya homogen
dan basofil. Ketika limfoblas mengalami diferensiasi, kromatin intinya
menjadi lebih tebal dan padat dan granula azurofil terlihat dalam sitoplasma.
Ukuran selnya berkurang dan diberi nama prolimfosit. Sel-sel tersebut
langsung menjadi limfosit yang beredar.
ii. Monosit
Monosit awalnya adalah monoblas berkembang menjadi promonosit.
Sel ini berkembang menjadi monosit. Monosit meninggalkan darah lalu
masuk ke jaringan, disitu jangka hidupnya sebagai makrofag mungkin 70
hari.14
3) Seri Trombosit (Trombopoesis) Pembentukan Megakariosit dan Keping-keping darah
Megakariosit adalah sel raksasa (diameter 30-100µm atau lebih). Inti berlobi
secara kompleks dan dihubungkan dengan benang-benang halus dari bahan kromatin.
Sitoplasma mengandung banyak granula azurofil dan memperlihatkan sifat basofil
setempat. Megakariosit membentuk tonjolan-tonjolan sitoplasma yang akan dilepas
sebagai keping-keping darah. Setelah sitoplasma perifer lepas sebagai keping-keping
darah, megakariosit mengeriput dan intinya hancur. (Nadjwa Zamalek D, 2002 ;
Indranila KS, 1994)
2. Struktur Darah

Gambar 4. ( struktur darah)


Darah adalah komponen esensial mahluk hidup yang berfungsi sebagai pembawa
oksigen dari Paru-Paru kejaringan dan Karbon dioksida dari jaringan ke Paru-Paru untuk
dikeluarkan, membawa zat nutrien dari saluran cerna ke jaringan kemudian
menghantarkan sisa metabolisme melalui organ sekresi seperti Ginjal, menghantarkan
hormon dan materi-materi pembekuan darah.
Struktur Darah terdiri atas :
a. Plasma :
Cairan darah adalah darah yang tidak memiliki sel-sel darah dan berwarna
kekuning-kuningan serta sekitar 90%-nya terdiri dari air. Bagian lainnya ialah zat-zat
yang larut di dalamnya yang bersifat organik dan anorganik. Bagian-bagian
komposisi merupakan bagian permanen (tetap) dari cairan darah, tetapi masih ada zat-
zat terlarut yang diangkut oleh cairan darah, seperti zat-zat makanan, gas oksigen
(O2) dan lain-lain yang ada untuk sementara waktu (sekadar transit dan bersirkulasi.
Cairan darah juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan asam-basa darah sehingga
menghindari kerusakan jaringan. Hal ini dikarenakan adanya senyawa penyangga
berupa hemoglobin, oksihemoglobin, bikarbonat, fosfat dan protein plasma (D’Hiru,
2013).
Cairan darah ( 55 % ) sebagian besar terdiri dari air ( 95%), 7% protein, 1%
nutrien . Didalam plasma terdapat sel-sel darah dan lempingan darah, Albumin dan
Gamma globulin yang berguna untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid, dan
gamma globulin juga mengandung antibodi ( imunoglobulin ) seperti IgM, IgG, IgA,
IgD, IgE untuk mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme. Didalam plasma
juga terdapat zat/faktor-faktor pembeku darah, komplemen, haptoglobin, transferin,
feritin, seruloplasmin, kinina, enzym, polipeptida, glukosa, asam amino, lipida,
berbagai mineral, dan metabolit, hormon dan vitamin.
Protein dalam plasma darah terdiri dari, diantaranya : 1) Antihemofilik, berguna
untuk mencegah anemia 2) Tromboplastin, protrombin dan fibrinogen yang berguna
dalam proses pembekuan darah (faktor pembekuan darah). 3) Albumin, berguna
dalam pemeliharaan tekanan osmosis darah. 4) Gammaglobulin, bergna dalam
senyawa antibodi (D’Hiru, 2013)
b. Sel-sel darah : kurang lebih 45 % terdiri dari Eritrosit ( 44% ), sedang sisanya 1%
terdiri dari Leukosit atau sel darah putih dan Trombosit. Sel Leukosit terdiri dari
Basofil, Eosinofil, Neutrofil, Limfosit, dan Monosit.
Menurut Nugraha (2015), darah terdiri atas dua komponen utama yaitu:
a. Komponen non-seluler
Komponen non seluler berupa cairan yang disebut plasma. Plasma membentuk
sekitar 55 % bagian dari darah. Dalam plasma terkandung berbagai macam molekul
makro dan mikro, baik yang bersifat larut air (hidrofilik) maupun tidak larut air
(hidrofobik), organik maupun anorganik serta atom-atom maupun ionik. Plasma yang
tidak mengandung faktor pembekuan darah disebut dengan serum. Plasma darah
terdiri dari air, protein, karbohidrat, lipid, asam amino, vitamin, mineral dan lain
sebagainya. Komponen tersebut ikut mengalir dalam sirkulasi bersama darah, baik
bebas atau diperantai oleh molekul lain agar dapat terlarut di dalam plasma
(Nugraha, 2015).
b. Komponen seluler
Komponen seluler sering disebut juga korpuskuli, yang membentuk sekitar 45 %
yang terdiri dari tiga macam yaitu:
1) Eritrosit yaitu sel darah merah (Red Blood Cell/RBC)

Gambar 5 ( sel darah merah)


Eritosit atau sel darah merah adalah sel yang berbentuk cakram bikonkaf, tidak
berinti, tidak bergerak, berwarna merah karena mengandung hemoglobin,
eritrosit berdiameter 7,5 µm dan tebal 2,0 µm. Jumlah di dalam tubuh paling
banyak kira-kira mencapai 4,5-5 juta/mm3 dan memiliki bentuk yang bersifat
elastic agar bisa berubah bentuk ketika melalui berbagai macam pembuluh darah
yang dilaluinya.
Produksi eritrosit (eritropoisis) dimulai dari munculnya eritroblas dari sel
sistem primitif dalam sumsum tulang. Eritroblas adalah sel berinti dalam proses
pematangan disumsum tulang menimbun hemoglobin dan secara bertahap
kehilangan intinya yang disebut retikulosit, kemudian selanjutnya mengalami
penyusutan ukuran dan menghilangnya material berwarna gelap (Desmawati,
2013).
Diferensiasi sel sistem multipotensial primitive sumsum tulang menjadi
eritroblas di stimulasi oleh eritropoetin yang diproduksi oleh ginjal dalam
keadaan hipoksia lama seperti pada orang yang tinggal di daerah ketinggian dan
setelah dalam keadaan berat terjadi peningkatan kadar eritropoetin dan stimulasi
produksi sel darah merah (Desmawati, 2013).
Sel darah merah yang matang mengandung 200-300 juta hemoglobin
(terdiri dari hem yang merupakan gabungan protoprofirin dengan besi dan globin
yang merupakan bagian dari protein yang tersusun oleh dua rantai beta) dan
enzim-enzim seperti G6PD (glukose-6-phospate-dehydrogenase). Hemoglobin
mengandung kira-kira 95% besi dan berfungsi membawa oksigen dengan cara
mengikat oksigen (oksihemoglobin) dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk
kebutuhan metabolisme. Darah keseluruhan normalnya mengandung 15 g
hemoglobin per 100 ml darah, atau 30 µm hemoglobin per seribu eritrosit
(Desmawati, 2013).
Hemoglobin adalah protein dan pigmen merah yang terdapat dalam sel
darah merah. Normalnya dalam darah pada laki-laki 15.5 g/dl dan pada wanita
14.0 g/dl. Rata-rata konsentrasi hemoglobin (MCHC = Mean Cell Concentration
of Hemoglobin) pada sel darah merah adalah 32 g/dl. Sintesis hemoglobin terjadi
selama proses eritropoisis, pemtangan sel darah merah akan mempengaruhi
fungsi hemoglobin. Terdapat tiga jenis hemoglobin yaitu (Desmawati, 2013):
a) HbA yang merupakan kebanyakan dari hemoglobin orang dewasa yang
mempunyai rantai globin 2α dan 2β.
b) HbA2 yang merupakan minoritas hemoglobin pada orang dewasa yang
mempunyai rantai globin 2α dan 2δ.
c) HbF merupakan hemoglobin fetal, mempunyai rantai globin 2α dan 2Y.
Saat bayi baru lahir 2/3 nya jenis hemoglobinnya adalah HbF dan 1/3 nya
adalah HbA. Menjelang usia 5 tahu menjadi HbA >95%, HbA2 <1.5%.
Apabila tidak ada hemoglobin, kapasitas pembawa oksigen darah dapat
berkurang sampai 99% dan tentunya tidak mencukupi kebutuhan metabolisme
tubuh dalam darah vena, hemoglobin bergabung dengan ion hidrogen yang
dihasilkan oleh metabolisme sel sehingga dapat menyangga kelebihan asam
(Desmawati, 2013).
2) Leukosit yaitu sel darah putih (White Blood Cell/WBC)
Gambar 6. (sel darah putih)
Leukosit atau sel darah putih memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit, tidak
berwarna dan dapat melakukan pergerakan dengan adanya kaki semu dengan
masa hidup 13-20 hari. Sel darah putih berperan sebagai sistem imunitas atau
membunuh kuman dan penyakit yang berada di aliran darah manusia. Dalam
setiap 1mm3 darah terdapat 4000-10000 sel darah putih.
Sel ini memiliki sebuah inti yang dapat membelah menjadi banyak dan
protoplasmanya berbulir atau bergranula (D’Hiru, 2013). Berdasarkan bentuk
morfologinya terdiri dari lima jenis tipe yaitu limfosit, monosit, neutrofil,
eosinofil, dan basofil. Dari lima jenis tipe bentuk morfologi leukosit ini memiliki
fungsi dan ciri yang berbeda-beda.
Leukosit merupakan fungsi utama untuk pertahanan tubuh. Leukosit
berfungsi untuk perlindungan atau sebagai pertahanan tubuh melawan infeksi
serta membunuh sel yang mengalami mutasi. Kadar limfosit dipengaruhi oleh
aktivitas fisik, pengobatan, dan penyakit. Limfosit berperan penting dalam
respon imunitas tubuh untuk melawan infeksi virus dan infeksi bakteri
(Karolina, Silaban, Permana dan Suban, 2016).
Dalam keadaan normal, jumlah limfosit absolut berkisar 15-45%. Umur
limfosit berkisar antara 100-300 hari, peningkatan jumlah limfosit absolut
(limfositosis) terjadi pada kasus infeksi akibat virus, penyakit bakteri, dan
ganguan hormonal. Infeksi virus seperti mononucleosis infeksiosa, hepatitis,
parotitis, campak, pneumonia virus, myeloma multiple, hipofungsi
adrenokortikal.
Monosit merupakan sel darah yang terbesar. Fungsi dari monosit yaitu
sebagai lapis kedua pertahanan tubuh yang dapat memfagositosis dan termasuk
dalam kelompok makrofag. Peningkatan persentase jumlah monosit pada hitung
jenis leukosit mengindikasikan terjadinya inflamasi. Fungsi utama dari neutrofil
yaitu melawan infeksi bakteri dan gangguan radang.
Leukosit yang paling banyak adalah neutrofil. Dalam kerusakan jaringan
yang berkaitan dengan penyakit noninfeksi, neutrofil memiliki peranan yang
penting. Eosinofil aktif terutama pada tahap akhir inflamasi yang memiliki
kemampuan untuk memfagosit. Eosinofil juga aktif pada reaksi alergi dan
infeksi parasit sehingga peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan untuk
mendiagnosa atau monitoring penyakit, jumlah eosinofil lebih dari 6% atau
jumlah absolut lebih dari 500 mm3 disebabkan oleh respon tubuh terhadap
neoplasma, penyakit Addison, reaksi alergi, penyakit collagen vascular atau
infeksi parasit. Peningkatan basofil berhubungan dengan leukemia granulostik
dan basofilik myeloid metaplasia dan reaksi alergi disebut basofilia, sedangkan
basopenia yaitu penurunan basofil berkaitan dengan infeksi akut, reaksi stress,
terapi steroid jangka panjang (Peraturan Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Leukosit pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu granulosit dan
agranulosit. Granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil. Sedangkan
agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit. Dari kelima jenis leukosit, netrofil
memiliki proporsi yang paling banyak, netrofil akan berwarna ungu dengan
pengecatan netral (campuran asam-basa; asam:merah; basa:biru), sedangkan
dengan pewarna asam (eosin) akan terlihat berwarna merah. Sementara sel
basofil menyerap pewarna basa sehingga warnanya menjadi biru. Jumlah
limfosit 25% dari jumlah leukosit, sel ini dibentuk di dalam kelenjar limfa dan
dalam sumsum tulang. Sel limfosit ini non-granula dan tidak memiliki
kemampuan bergerak seperti Amoeba sp. Sel ini dikelompokkan dalam limfosit
T limfosit B (berperan dalam sistem antibodi). Selain itu terdapat sejumlah kecil
sel-sel yang berukuran besar yaitu monosit. Sel ini mampu mengadakan gerakan
ameboid (mirip amoeba) dan bersifat fagosit (pemangsa) (D’Hiru, 2013).
3) Trombosit yaitu keping darah (platelet)

Gambar 7 (Trombosit)
Trombosit adalah sel tak berinti yang diproduksi oleh sumsum tulang,
yang berbentuk cakram dengan diameter 2-5 μm. Trombosit dalam darah
tersusun atas substansi fosfolipid yang berfungsi sebagai faktor pembeku darah
dan hemostasis (menghentikan perdarahan). Jumlahnya dalam darah dalam
keadaan normal sekitar 150.000 sampai dengan 300.000 /ml darah dan
mempunyai masa hidup sekitar 1 sampai 2 minggu atau kira-kira 8 hari.
Pembentukan trombosit berasal dari Multipotensial Stem Cell menjadi
Unipotensial Stem Cell dibantu Trombopoitin. Sel yang paling muda yang dapat
dilihat dengan mikroskop adalah Megakarioblas, Megakarioblas akan diubah
menjadi megakariosit imatur kemudian menjadi megakariosit matur (Wirawan
R, 2008 ).
Fungsi Trombosit bila tubuh mengalami luka maka trombosit akan
berkumpul dan saling melekatkan diri sehingga akan menutup luka tersebut,
trombosit juga akan mengeluarkan zat yang merangsang untuk terjadinya
pengerutan luka sehingga ukuran luka menyempit dan karena mempunyai zat
pembeku darah maka dapat menghentikan perdarahan (Bakta, 2006 )
3. Fungsi Darah
Fungsi darah yang terpenting di antaranya adalah
a) Sebagai alat transportasi, misalnya :
1) Membawa dan mengantarkan zat-zat makanan (nutrisi) dan bahan kimia dari
saluran pencernaan ke jaringan tubuh yang memerlukannya.
2) Mengantarkan oxigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
3) Membawa keluar hasil-hasil buangan metabolisme (waste product metabolit)
dan CO2 dari jaringan ke organ-organ ekskresi mis. ginjal dan paru.
4) Mengangkut hasil sekresi kelenjar endokrin (hormon) dan enzime dari organ ke
organ.
b) Mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh, sehingga kadar air tubuh tidak
terlalu tinggi/rendah (homeostasis).
c) Mempertahankan temperatur tubuh, karena darah mempunyai panas spesifik yang
tinggi.
d) Mengatur pH tubuh (keseimbangan asam dan basa) dengan jalan mengatur
konsentrasi ion hydrogen.
e) Sebagai alat pertahanan tubuh terhadap mikro-organisme (oleh leucocyte/butir darah
putih).
Pada dasarnya fungsi darah sebagai alat penyelenggaraan lingkungan internal atau
matrix cairan yang tetap dan ini disebut sebagai homeostasis.
Fungsi darah secara umum menurut (D’Hiru, 2013) adalah sebagai berikut :
a) Mengangkut sari-sari makanan dari usus ke jaringan tubuh. Darah bekerja sebagai
sistem pengangkutan dan mengantarkan semua bahan kimia, oksigen dan zat-zat
makanan, nutrisi atau gizi yang dibutuhkan oleh sel dan jaringan untuk melakukan
aktivitas fisiologis, membuang karbondioksida serta hasil pembuangan sisa
metabolisme dan lainya ke luar tubuh.
b) Sel darah merah (eritrosit) mengantarkan oksigen (O2) dari paru-paru ke seluruh
jaringan tubuh dan mengangkut karbondioksida (CO2) dari jaringan tubuh menuju ke
paru-paru
c) Sel darah putih (leukosit) menyediakan banyak tipe sebagai pelindung, misalnya tipe
fagositik yang berfungsi untuk memangsa serangan kuman dan melawan infeksi
dengan antibodi.
d) Pengantar energi panas daritempat aktif ke tempat yang tidak aktif untuk menjaga
suhu tubuh atau sebagai respons pengaktifan sistem imunitas.
e) Mengedarkan air ke seluruh tubuh dan menjaga stabilitasnya.
f) Mengedarkan hormon (dari kelenjar endokrin), enzim dan zat aktif ke seluruh tubuh.
g) Trombosit berperan dalam pembekuan darah, melindungi dari pendarahan masif yang
diakibatkan luka atau trauma.

B. Respon Kebal terhadap Antigen


Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran ganda dalam
usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem endokrin, sistem imun yang
bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar diseluruh tubuh,
supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi imunitas,
didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler. Sistem ini
merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya
didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan
beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas bermacam-macam sel yang dapat
menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsinya masing-
masing (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993; Kresno, 1991).
Dengan kemajuan imunologi yang telah dicapai sekarang ini, maka konsep imunitas
dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang bersifat faali yang melengkapi manusia dan
binatang dengan suatu kemampuan untuk mengenal suatu zat sebagai asing terhadap dirinya,
yang selanjutnya tubuh akan mengadakan tindakan dalam bentuk netralisasi, melenyapkan
atau memasukkan dalam proses metabolisme yang dapat menguntungkan dirinya atau
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh sendiri. Konsep imunitas tersebut, bahwa yang
pertama-tama menentukan ada tidaknya tindakan oleh tubuh (respons imun), adalah
kemampuan sistem limforetikuler untuk mengenali bahan itu asing atau tidak (Bellanti,1985:
Marchalonis, 1980; Roitt,1993).
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh terpapar suatu zat
yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi asing ini dinamakan antigen atau
imunogen dan proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang
menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau imunogen merupakan
potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons imun tubuh yang dapat diamati baik
secara seluler ataupun humoral. Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat
membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga
sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Kejadian
ini disebut dengan Autoantibodi (Abbas dkk., 1991; Roit dkk., 1993).
Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan terjadi dua jenis
respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons imun spesifik. Walaupun kedua
respons imun ini prosesnya berbeda, namun telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons imun
diatas saling meningkatkan efektivitasnya. Respons imun yang terjadi sebenarnya merupakan
interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang terdapat didalam system imun.
Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu
aktivitas biologic yang seirama dan serasi (Grange, 1982; Goodman, 1991; Roit dkk., 1993).
Pengertian Antigen
Antigen adalah molekul yang bereaksi dengan antibodi / imunosit. Tidak harus
membangkitkan respon imun. Imunogen adalah molekul yang membangkitkan respon imun.
Hapten adalah molekul berukuran kecil, tidak imunogenik, dapat bereaksi dengan antibodi
yang timbul akibat stimulasi hapten bersangkutan yang terikat molekul carrier. Sedangkan
epitop adalah bagian antigen yang bereaksi dengan antibodi.
Pengertian Antibodi
Antibodi (imunoglobulin) adalah molekul yang disintesis oleh sel B / sel plasma (bentuk
soluble dari reseptor antigen pada sel B). Membran imunoglobulin merupakan reseptor
antigen pada permukaan sel B. Secara fungsional antibodi adalah molekul yang dapat bereaksi
dengan antigen.Sedangkan paratop adalah bagian antibodi yang bereaksi dengan antigen.
Antibodi mempunyai struktur dasar yang sama, terdiri atas fragmen Fab (yang mengikat
antigen) dan Fc yang berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem imun yang mempunyai
reseptor Fc. Berbentuk huruf Y, tersusun atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan
(light chain) yang dihubungkan dengan jembatan disulfida (S-S). Heavy chain mempunyai
berat molekul 50.000 dalton sedangkan light chain mepunyai berat molekul 25.000 dalton.
Ada 5 jenis antibodi yaitu Ig M; Ig G; Ig A; Ig D dan Ig E.

Gambar 8 ( struktur antibodi)


Gambar 8 ( jenis-jenis antibodi Ig M; Ig G; Ig A; Ig D dan Ig E.
)

Respon Imun
Imunologi adalah studi mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi (berdasarkan
konsep lama). Sedangkan berdasarkan konsep baru Imunologi adalah studi mekanisme dan
fungsi sistem kekebalan akibat pengenalan zat asing dan usaha netralisasi, eliminasi dan
metabolisme zat asing tersebut atau produknya.
Fungsi Reaksi Kekebalan adalah Pertahanan Tubuh, Homeostatis Surveillance. Zat Asing
terdiri dari mikroorganisme (Bakteri, Virus, Fungus, Parasit), sel Tumor, sel / Jaringan
Alogen, bahan / zat yang bersifat antigen (Alergen).
Mekanisme Reaksi Kekebalan meliputi reaksi imun spesifik yaitu reaksi Humoral &
reaksi Seluler, reaksi Imun Non Spesifik yaitu reaksi non Humoral & reaksi non Seluler,
interaksi dari kedua mekanisme tsb.
1. Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada
individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk ttubuh dan dengan cepat
menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah
putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroba tertentu, teh ada dan siap berfungsi sejak lahir.
Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap dan memiliki
respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada individu yang sehat. Sistem
imun ini bertindak sebagai lini pertama dalam menghadapi infeksi dan tidak perlu
menerima pajanan sebelumnya, bersifat tidak spesifik karena tidak ditunjukkan terhadap
patogen atau mikroba tertentu, telah ada dan berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak
menunjukkan spesifitas dan mampu melindungi tubuh terhadap patogen yang potensial.
Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai
mikroba dan dapat memberikan respon langsung. Imunitas bawaan (non spesifik)
meliputi kulit dan mukosa sebagai barrier, cara kimia & fisik, asam lemak (kulit, folikel
rambut), lisozim (air mata, saliva), mukus,asam lambung gerak silia, batuk / bersin,
lisozim, IgA, dan pH asam lambung.
a. Sistem imun non spesifik humoral
Pertahanan humoral non spesifik berupa komplemen, interferon, protein fase akut
dan kolektin. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan
akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi.
Komplemen juga berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis yang
dapat menimbulkan lisis bakteri dan parasit. Tidak hanya komplemen, kolektin
merupakan protein yang berfungsi sebagai opsonin yang dapat mengikat hidrat arang
pada permukaan kuman.
Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag
yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan
dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Peningkatan kadar Creactive protein
dalam darah dan Mannan Binding Lectin yang berperan untuk mengaktifkan
komplemen terjadi saat mengalami infeksi akut.
b. Sistem imun non spesifik seluler.
Sel fagosit mononuklear dan polimorfonuklear serta sel Natural Killer dan sel
mast berperan dalam sistem imun non spesifik selular. Neutrofil, salah satu
fagosit polimorfonuklear dengan granula azurophilic yang mengandung enzyme
hidrolitik serta substansi bakterisidal seperti defensins dan katelicidin. 1,2
Mononuklear fagosit yang berasal dari sel primordial dan beredar di sel darah
tepi disebut sebagai monosit. Makrofag di sistem saraf pusat disebut sebagai sel
mikroglia, saat berada di sinusoid hepar disebut sel Kupffer, di saluran
pernafasan disebut makrofag alveolar dan di tulang disebut sebagai osteoklas.
Sel Natural Killer merupakan sel limfosit yang berfungsi dalam imunitas
non spesifik terhadap virus dan sel tumor. Sel mast berperan dalam reaksi alergi
dan imunitas terhadap parasit dalam usus serta invasi bakteri.
2. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap
asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal
oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi, sehingga antigen
yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian
dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik. Untuk menghancurkan
benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan
sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara
sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen fagosit-antibodi dan
antaramakrofag-sel T.
Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada imunitas
humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada
imunitas selular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan
mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel
terinfeksi
a. Sistem imun spesifik humoral
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adlah limfosit B atau sel B.
Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang.
Pada unggas, sel yang disebut Bursal cell atau sel B akan berdiferensiasi menjadi sel
B yang matang dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang terletak dekat kloaka.
Pada manusia diferensiasi tersebut terjadi dalam sumsum tulang. Sel B yang
dirangsang oleh benda asing akan berproliferas, berdiferensiasi dan berkembang
menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat
ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya.
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan
menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B
yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama
antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta
menetralisasi toksinnya.1 Sel B memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap
molekul antigen dan dapat dideteksi melalui metode tertentu melalui marker seperti
CD19, CD21 dan MHC II.
b. Sistem imun spesifik seluler
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga
berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa sel T dibentuk
didalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar
timus atau pengaruh berbagaifaktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dala
timustersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan
timus untuk masuk kedalam sirkulasi. B Imunoserologi 20 Faktor timus yang
disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan
dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Berbeda dengan sel B, sel t terdiri
atas beberapa subsset dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4⁺ (Th1, Th2), CD8⁺
atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik
selular ialah pertahanan terhadap bakter yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit
dan keganasan. Sel CD4⁺ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan
makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8⁺ memusnahkan sel terinfeksi.
Proliferasi Limfoblas
Limfoblas merupakan progenitor sel limfoid pertama yang terdapat di sumsum tulang.
Limfoblas berbentuk bulat, berukuran 15-20µ dengan sitoplasma biru dan tidak bergranula.
Inti sel limfoblas berbentuk bulat dengan kromatin relatif lebih kasar serta difus dan memiliki
nukeoli 1-2. Limfoblas akan membelah dua atau tiga kali menjadi sel prolimfosit yang pada
stadium selanjutnya akan menjadi limfosit. Semakin matang sel ini ukurannnya akan
bertambah kecil dengan kromatin padat dan tidak ada nukleoli.
Sel progenitor limfoid dengan pengaruh IL-7 akan berkembang menjadi sel prolimfosit
T dan B menghasilkan jumlah sel yang banyak. Proses pematangan sel T dan B memiliki jalur
yang berbeda, pematangan sel B berada di sumsum tulang sedangkan sel T berada di timus.
Dalam proses perkembangannya akan terjadi seleksi positif dan negatif yang terjadi dalam
organ limfoid primer melalui interaksi dengan molekul MHC.
Seleksi positif terjadi pada imatur sel T apabila sel tersebut berikatan lemah dengan self
antigen pada MHC. Sedangkan seleksi negatif terjadi pada sel T yang APC nya berikatan kuat
dengan self antigen. Sel dengan seleksi negatif akan mendapat sinyal apoptosis dan mati. Sel
limfosit dengan seleksi positif akan masuk ke jaringan limfoid sekunder untuk berproliferasi
dan menjadi matang.
Limfosit T dan limfosit B matur yang belum terpapar oleh antigen dikenal dengan
istilah naive limfosit. Limfosit naif ini berada dalam keadaan istirahat atau G0 pada siklus sel
dan apabila teraktivasi oleh antigen melalui Antigen Presenting Cell (APC) akan
berproliferasi menjadi limfoblas. Mekanisme ini menghasilkan suatu proses yang disebut
sebagai clonal expansion sehingga menghasilkan jumlah sel yang banyak. Limfosit T, baik
CD4+ maupun CD8+ akan berproliferasi dan berdiferensiasi sesuai fungsinya yaitu efektor dan
memori.
Pada sel T naif (Th0) dipengaruhi oleh mekanisme autokrin dari IL-2 untuk
berproliferasi yang akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Proses diferensiasi Th1
melibatkan reseptor sel T, IFN-γ, IL-12 dan T-bet, STAT1, STAT4 sebagai faktor transkripsi.
Fungsi utama Th1 sebagai pertahanan dalam melawan infeksi terutama oleh mikroba
intraselular, mekanisme efektor ini terjadi melalui aktivasi makrofag, sel B dan sel neutrofil.
Diferensiasi Th2 muncul sebagai respon terhadap reaksi alergi dan parasit, melibatkan
reseptor sel T, IL-4, faktor transkripsi GATA-3 dan STAT6. IL-4 menstimulasi terhadap
produksi IgE yang berfungsi dalam opsonisasi parasit. Selain itu, IL-5 juga diproduksi oleh
Th2 yang mengaktivasi eosinofil sebagai respon terhadap adanya antigen parasit

Gambar 9 (Perkembangan subset Th1 dan Th22)


pada studi baru-baru ini, ditemukan Th17 sebagai subset ketiga dari sel T CD4 +
mencit. Sel Th17 ini mensekresikan IL-17, tidak memproduksi IFN-𝛾 ataupun IL-4.
Diferensiasi sel Th17 dari sel T naïve CD4+ berasal dari stimulasi antigen dan hadirnya
sitokin TGF-β bersama dengan IL-6, IL-1 dan sitokin proinflamatori lainnya. Sebaliknya,
diferensiasi sel Th17 ini dihambat oleh IFN-γ atau IL-4.
Aktivasi sel B naif diawali dengan pengenalan spesifik oleh reseptor permukaan.
Antigen dan perangsang lain termasuk Th, merangsang proliferasi dan diferensiasi klon sel B
spesifik. Interaksi sel T dan B pada T-B interface yang selanjutnya sel B akan diaktifkan oleh
CD40L dan sitokin. Kemudian terbentuk fokus ekstrafolikular sel B di zona sel T dan terjadi
isotype switching serta sekresi Ig. Sel B yang teraktivasi akan kembali lagi ke folikel
selanjutnya akan terbentuk germinal center yang merupakan tempat maturasi afinitas, isotype
switching, sel B memori dan sel plasma.
Organ Dan Sistem Limfatik
1. Organ limfatik
Sejumlah organ limfoid dan jaringan yang morfologis dan fungsional berlainan berperan
dalam respons imun. Organ limfoid tersebut dapat dibagi menjadi organ primer dan
sekunder. Timus dan sumsum tulang adalah organ primer yang merupakan organ limfoid
tempat pematangan limfosit
a. Organ limfoid primer Organ limfoid primer atau sentral terdiri atas sumsum tulang
dan timus. Sumsum tulang merupakan jaringan kompleks tempat hematopoiesis dan
depot lemak. Lemak merupakan 50% atau lebih dari komprtemen rongga sumsum
tulang. Organ limfoid primer diperlukan untuk pematangan, diferensiasi dan
proliferas sel T dan B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen.
Karena itu organ tersebut berisikan limfosit dalam berbagai fase diferensiasi. Sel
hematopoietik yang diproduksi di sumsum tulang menembus dinding pembuluh darah
dan masuk ke dalam sirkulasi dan didistribusikan ke berbagai bagian tubuh. Sumsum
Tulang merupakan tempat pembentukan dan pematangan limfosit B dan tempat
pembentukan Limfosit Tsedangkan timus merupakan tempat pematangan limfost T.
b. Organ limfoid sekunder
Organ Limfoid Sekunder terdiri dari limpa dan kelenjar limfe disebut juga organ
sistemik karena memberi respon terhadap antigen yang ada dalam sirkulasi darah dan
limfe yang berasal dari seluruh tubuh. Dan Sistem Mukosa (Malt) Jaringan limfoid
yang terdapat pada permukaan yang melapisi saluran cerna (Galt) dan saluran napas
(Balt). Mekanisme utama adalah melalui s Ig A. Pada saluran cerna terdapat sebagai
Peyers Patches. Disamping sistem Malt, sejumlah besar limfosit terdapat dalam
Jaringan Ikat Lamina Propria (Lamina Propria Lymphocyte, LPL) Dan Dalam
Lapisan Epitel (Intra-Epitel) Limpa dan kelenjar getah bening (KGB) merupakan
organ limfoid sekunder yang teroganisasi tinggi. Yang akhir ditemukan sepanjang
sistem pembuluh limfe. Jarigan limfoid yang kurang terorganisasi secara kolektif
disebut mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) yang ditemukan di berbagai
tempat di tubuh. MALT meliputi jaringan limfoid ekstranodul yang berhubungan
dengan mukosa di berbagai lokasi, seperti skin-associated lymphoid tissue (SALT) di
kulit, bronchus-associated lymphoid tissue (BALT) di bronkus, gut-associated
lymphoid tissue (GALT) di saluran cerna yang meliputi Plak Peyer di usus kecil,
apendiks, berbagai folikel limfoid dalam lamina propria usus, mukosa hidung, tonsil,
mame, serviks uterus, membran mukosa saluran napas atas, bronkus dan saluran
kemih. Organ limfoid sekunder merupakan tempat sel darah mempresentasikan
antigen yang ditangkapnya di bagian lain tubuh ke sel T yang memacunya untuk
proliferasi dan diferensiasi limfosit.
1) Limpa
Seperti halnya dengan kelenjar getah bening, limpa terdiri atas zona sel T atau
senter germinal dan zona sel B atau zona folikel. Arteriol berakhir dalam sinusoid
vaskuler yang mengandung sejumlah eritrosit, makrofag, sel dendritik, limfosit
dan sel plasma. Antigen dibawa antigen pressenting cell (APC) masuk ke dalam
limpa melalui sinusoid vaskuler. Limpa merukan tempat respon imun utama yang
merupakan saringan terhadap antigen asal darah. Mikroba dalam darah
dibersihkan makrofag dalam limpa. Limpa merukan tempat utama fagosit
memakan mikroba yang diikat antibodi (opsonisasi). Individu tanpa limpa akan
menjadi rentan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti pneumokok dan
meningokok, oleh karena mikroba tersebut biasanya hanya disingkirkan melalui
opsonisasi dan fungsi fagositosis akan terganggu bila limpa tidak ada.
2) Kelenjar getah bening
Kelenjar getah bening (KGB) adalah agegat nodular jaringan limfoid yang terletak
sepanjang jalur limfe di seluruh tubuh. Sel dendritik membawa antigen mikroba
dari epitel da mengantarkannya ke kelenjar getah bening yang akhirnya
dikonsentrasikan di KGB. Dalam KGB ditemukan peningakatan limfosit berupa
nodus tempat proliferasi limfosit sebagai respons terhadap antigen.
3) Skin-Associated Lymphoid Tissue
Skin-Associated Lymphoid Tissue (SALT) merupakan alat tubuh terluas yang
berperan dalam sawar fisik terhadap lingkungan. Kulit juga berpartisipasi dalam
pertahanan pejamu, dalam reaksi imun dan inflamasi lokal. Banyak antigen asing
masuk tubuh melalui kulit dan banyak respon imun sudah diawali di kulit.
4) Mucosa- Associated Lymphoid Tissue
Sistem Imun Sekretori Imunitas di tempat khusus seperti saluran napas dan
saluran cerna disebut MALT yang merupakan imunitas lokal. MALT merupakan
agregat jaringan limfoid dekat permukaan mukosa. Baik antibodi lokal (IgA
sekretori) maupun sel limfosit berperan dalam respon imun spesifik. IgA sekretori
yang diproduksi di aluran cerna dapat bereaksi degan makanan atau alergen lain
yang dicerna. Lapisan epitel mukosa yang terpajan langsung dengan antigen
berperan sebagai sawar mekanis. Jaringan-jaringan limfoid tersebut berperan
dalam pertahanan imun lokal dan regional melalui kontak langsung dengan
antigen asing. Oleh karena itu berbeda dari jaringan limfoid yang berhubungan
dengan kelenjar limfoid, limpa dan timus. MALT ditemukan di jaringan mukosa
saluran napas bagian atas, saluran cerna, saluran urogenital dan kelenjar mame
berupa jaringan limfoid tanpa kapsul, mengandung sel limfosit dan APC yang
mengawali respons imun terhadap antigen yang terhirup dan termakan. Epitel
mukos yang merupakan sawar antara lingkungan internal dan eksternal juga
merupakan tempat masuknya mikroba.
5) Respon imun oral
Ludah tidak hanya membilas rongga mulut, tetapi juga mengandung berbagai
molekul seperti lisozim dan IgA sekretori yang ikut melindungi rongga mulut. Sel
PMN melindungi jaringan gusi dan peridontium. Di samping IgA, respons imun
humoral yang lain juga berperan. Subyek dengan defisiensi imun sering disertai
dengan peningkatan infeksi mukosa oleh mikroorganisme oportunistik seperti
Kandida albikan. Sel Th1 dan Th2 berperan dalam respon imun tehadap bakteri
patogen juga penting pada penyakit periodontal. Reaksi hipersensitivitas Tipe II,
III dan IV dapat menimbulkan periodontitis progresif kronis. Vaksin diharapkan
dapat dikembangkan di masa mendatang dalam pencegahan atau mengontrol
karies gigi dan penyakit periodontal. Namun penyakit yang kompleks
menyulitkan pembuatan vaksin. Lapisan epitel mukosa merupakan sawar mekanis
terhadap antigen asing dan mikroorganisme. Sistem imun khusus yang terletak di
permukaan epitel kadang disebut CMIS. Sistem imun mukosa terdiri atas IgA
sekretori yang diproduksi sel plasma di lamina propria dan kemudian diangkut
melalui sel epitel dengan bantuan reseptor poliimunoglobulin. Baik sel Tαβ dan
Tϒδ ditemukan di lapisan mukosa epitel sebagai limfosit intra epitel dan di
lamina propria mukosa. Respon imun tehadap antigen oral berbeda dari respon
imun terhadap antigen yang diberikan parenteral. Toleransi oral dapat terjadi
terhadap beberapa antigen protein yang dicerna, tetapi respon mukosa lokal
dengan produksi kadar IgA tinggi dapat terjadi setelah pemberian vaksin terpilih
seperti vaksin polio Sabin.
6) Bronchial Associated Lymphoid Tissue
Belum banyak hal yang sudah diketahui mengenai respon imun mukosa saluran
napas dibanding saluran cerna, namun diduga bahwa respon imunnya adalah
serupa. Struktur berupa cincin banyak ditemukan di berbagai tempat, berisikan
nodul yang terletak di sekitar bronkus dan berhubungan dengan epitel seperti plak
sel limfoid. Sel plasma ditemukan di bawah epitel. Sel-sel BALT memiliki
kemampuan pergantian yang tinggi dan nampaknya tidak memproduksi IgG. Sel-
sel BALT diduga bermigrasi dari daerah limfoid lain. BALT berperan dalam
respons terhadap antigen kuman yang terhirup.
7) Gut- Associated Lymphoid Tissue
Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT) tersebar di mukosa saluran cerna.
Saluran cerna orang dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 400 m².
Permukaan yang luas tersebut selalu terpajan dengan berbagai mikroba dan
makanan yang mungkin dapat menerangkan mengapa 2/3 seluruh sistem imun ada
di saluran cerna. Secara fungsional , GALT terdiri atas dua komponen, yeng
terorganisasi dan yang difus.
8) Microfold cell Microfold cell
Sel M adalah sel epitel saluran cerna yang pinositik aktif, berperan dalam
mengantarkan kuman dan bahan makromolekul dari lumen intestinal ke plak
Peyer. Sel tersebut bukanlah APC, ditemukan di lapisan epitel plak Peyer yang
berperan dalam presentasi antigen. Sel tersebut memiliki permukaan relatif besar
dengan lipatan-lipatan mikro yang menempel pada mikroorganisme dan
permukaan makromolekular. Penangkapan antigen melewati sawar usus terjadi di
tempat-tempat yang dikenal sebagai daerah induktif oleh sel pengangkut khusus
yang disebut sel M. Morfologi sel M unik karena adanya suatu kantong besar pada
membaran basolateral yang berisikan limfosit dan makrofag. Sel mengantarkan
antigen dari lumen saluaran cerna ke sel imun yang ditemukan dalam kantong
tersebut secara terus menerus. Limfosit atau makrofag yang menangkap antigen
meninggalkan sel M untuk seterusnya berpindah menuju folikel limfoid setempat.
Dasar dari respon imun didapat / spesifik adalah antigen rekognisi. Antigen
adalah initiator & pemicu semua bentuk respon imun spesifik. Inti respons imun
adalah aktivasi klon limfosit yang mengenal antigen pemicu. Sistem imun dibentuk
untuk mengenal antigen, menghancurkannya dan menyikirkan sumbernya. Antigen
Binding Molecules terdiri dari B-Cell Antigen Receptor (Ig), T-Cell Antigen
Receptor & MHC Klas I & II
Seluler
Limfosit T dengan sub set : T Helper ( Th1& Th2), T Supresor & T Sitotoksik
Fungsi membantu sel B untuk membentuk Antibodi Fungsi Sitotoksik Produksi
Sitokin
Humoral Antibodi (Imunoglobulin)
Disintesis oleh Limfosit B/ Sel Plasma Membran Ig merupakan reseptor Ag pd
permukaan Sel B Secreted/Circulating Ig merupakan bentuk soluble dari reseptor tsb
Fungsi :
a) Mengawali Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
b) Mengaktivasi Fagosit
c) Multi Valen Mempunyai struktur dasar yang sama, terdiri atas Fragmen Fab yang
mengikat Ag, dan Fc yang berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem imun
yang mempunyai reseptor.
Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC)
Sitotoksisitas seluler baru dapat berlangsung bila dibantu oleh (ada interaksi dengan)
antibodi.
Hipotesis Seleksi Klon
Limfosit B mempunyai reseptor yang disebut B Cell antigen Receptor (BCR).
Reseptor dari limfosit B akan berikatan dengan antigen yang cocok. Satu limfosit
akan mengenali satu epitop. Setelah reseptor antigen berikatan dengan antigen maka
akan terikat erat dan masuk secara endositosis, kemudian sel akan teraktivasi yaitu

proliferasi (memperbanyak diri) dan diferensiasi (berubah bentuk) menjadi sel


plasma (sel efektor) dan sel memori. Sel plasma akan membentuk antibodi berada di
sitoplasma sel, kemudian disekresikan ke dalam plasma darah. Sel memori adalah sel
dengan bentuk sama dengan sel asal hanya mempunyai ingatan sehingga jika
bertemu dengan antigen yang sama akan berespon lebih cepat, kualitas lebih baik dan
kadarnya akan lebih tinggi dan bertahan lebih lama di dalam plasma darah.

Gambar 10 (Hipotesis Seleksi Klon)


TICCL model T-cell Induce Cell Contact Ligand
(TICCL) adalah mekanisme sel T dalam membantu sel B membentuk antibodi.
Antigen akan ditangkap oleh sIg kemudian masuk ke dalam sel, dipecah menjadi
peptide dan digendong oleh MHC II kemudian di presentasikan ke permukaan sel
dan di ikat oleh TCR dari limfosit T. Ikatan tersebut akan menyebabkan sel T
teraktivasi yaitu membentuk molekul permukaan baru yaitu TICCL dan sekresi
limfokin. TICCL akan berikatan dengan CD40 dari Limfosit B menyebabkan
Limfosit B teraktivasi yaitu berproliferasi dan dibawah pengaruh limfokin akan
berdiferensiasi.
Gambar 11. (Mekanisme TICCL model)

C. Mendeskripsikan struktur dan fungsi jaringan limfoid

Jaringan limfosid adalah kumpulan sl-sel limfosit. Berdasarkan susunan histologisnya,


jaringan dibagi menjadi:
a) Jaringan Limfoid Longgar, yaitu susunan unsur sel yang menetap ( sel makrofag
dan sel retikuler) lebih banyak dari el-sel bebas
b) Jaringan Limfosit Padat, yaitu limfosit lebih mendominasi dibandingkan sel-sel
lain.
c) Jaringan limfoid noduler, yaitu merupakan jaringan limfoid padat karena sel-sel
limfosit memadati jaringan tersebut dalam struktur bulat, disebut juga nodus
lymphaticus. Jringan limfoid ini merupakan banguana sementara yang dapat
menghilang dan timbul lagi. Berfungsi sebagai tempat profilesai limfosit. Bagian
tengah nodul berisi limfosit-limfosit muda yang berukuran besar dangan inti pusat
disebut centru germinalis.
Gambar 12. Nodus lymphatic

NODUS LYMFATICUS
Nodus limfatikus adalah organ bersimpai berbentuk bulat atau mirip ginjal pembuluh
limfe. Nodus ditemukan di ketiak dan lipatan paha, sepanjang pembuluh-pembuluh besar dileher,
dan dalam jumlah besar di toraks dan abdomen, terutamadalam mesenterium. Nodus limfatikus
membentuk sederetan saringan dalam satugaris yang penting dalam pertahanan tubuh melawan
mikroorganisme dan penyebaran sel-seol tumor. Semua limfe yang berasal dari cairan jaringan di
saring oleh sekurang-kurangnya satu nodus, sebelum dikembalikan kedalam peredaran.Nodus
limfatikus memiliki sisi konveks dan sisi konkaf, yaitu hilum (kadang disebuthilus), tempat arteri
dan saraf masuk dan vena keluar dari organ.
Jaringan penyambung simpai yang mengelilingi setiap nodus limfatikus membentuk
trabekula yang masuk kebagian dalam. Setiap nodus mengandungkorteks bagian luar dan bagian
dalam dan medula.
Nodus limphaticus terutama terdiri atas jaringan limfoid yang ditembusi anyaman
pembuluh limfe khusus yang diseut sinus lymphaticus. Nodus limphaticus dibungkus oleh
jaringan pengikat bsebagai kapsula yang menebal di daerah hillus dan beberapa jalur menjorok
ke dalam sebagai trabekula. Parenkim diantara trabekula diperkuat oleh anyaman serabut
retikuler yang berhubungandengan sel retikuler. Diantara anyaman ini diisi oleh limfosit,
plasmasit dan sel makrofag. Parenkim nodus lymphaticus terbagi atas cortex dan medulla,
dengan perbedaan terdapat pada jumlah, diameter dan susunan sinus.
a. Korteks
Korteks Luar: pada permukaan korteks luar terdapat sinus subkapularis, yang
dibatasi pada batas luar korteks dan simpai dan pada batas dalam oleh korteks bagian
luar. Sinus subskapularis dibentuk oleh satu jaringan kerja longgar dari makrofag dan sel
retikular dan serat retikular. Sinus subs kapularis berhubungan dengan sinus
submedularis melalui sinus intermedia yang berjalan paralel ketrabekula kapsular.
Korteks bagian luar dibentuk oleh jaringan limfoid yang terdiriatas satu jaringan sel
retikular dan serat retikular yang jalinan kerjanya dipenuhi oleh sel B. Didalam jaringan
limfoid korteks terdapat struktur berbentuk sferis yangdisebut nodulus limfatikus.
Korteks dalam: korteks bagianbagian luar dan mengandung beberapa, apabila dtemukan,
nodulus. Korteks bagiandalam mengandung banyak limfosit T.
b. Medulla
medulla terdiri atas korda medullaris, yaitu korteks bagian dalam yang menyerupai
korda, dan merupakan suatu cabang perluasan dari korteks bagian dalam , yang
mengandung limfosit B dan beberapa sel plasma. Korda medullaris dipisahkan
olehstruktur seperti kapiler yang berdilatas, yang disebut sinus limfoid medullaris. Sinus
ini merupakan ruang tidak teratur yang mengandung cairan limfe;seperti sinus
subskapularis dan sinus iintermedia, sinus-sinus tersebut dihubungkan oleh sebagian sel
retikular dan makrofag. Sel retikular dan serat retikular sering kali menjembatani sinus
dengan satu jaringan longgar. Sel percabangan denditrik(folikular) yang besar ditemukan
dalam nodus limfatikus dan berfungsi sebagi sel antigen presenting.Fungsi limfosit B dan
T paling banyak terlihat dalam penyakit imunodifensiasi, yang disebabkan oleh gangguan
pada sel B, sel T atau keduanya.
c. Pembuluh Darah
Hampir semua pembuluh darah yang menuju nodus lymphaticus akan masukmelalui
hillus, hanya sedikit yang melalui permukaan cortex., Mula-mula arteri darihillus
mengikuti trabecula memasuki medullary cord menjadi kapiler. Arterinya sendiri menuju
cortex untuk bercabang-cabang menjadi kapiler membentuk anyaman. Anyaman kapiler
di cortex ini akan ditampung dalam venula denganendotil berbentuk kuboid. Dari venula
ini akan berkumpul menjadi vena yang jalannya mendampingi arteri. Venula ini tidak
mempunyai serabut otot polos dan terdapat juga pada beberapa bagian pembuluh darah di
tonsilla, plaques Peyeri dan appendix.
Histofisiologis
Dinding pembuluh limfe yang tipis mudah ditembus oleh makromolekul dan sel-sel
yang berkelana dari jaringan pengikat, sehingga tidak dijumpai adanya barier yang
mencegah bahan-bahan antigenik, baik endogen maupun eksogen. Sel bakteridapat
dengan mudah melintasi epidermis dan epitel membrana mukosa yangmembatasi ruangan
dalam tubuh, yang apabila luput dari perngrusakan oleh fagositdalam darah maka akan
berproliferasi dan menghasilkan toksin yang mudah masukdalam limfe.Nodus
lymphaticus berfungsi sebagai filtrasi terhadap limfe yang masuk karenaterdapat
sepanjang pembuluh limfe sehingga akan mencegah pengaruh yang merugikan dari
bakteri tersebut. Fungsi imunologis nodus lymphaticus disebabkanadanya limfosit dan
plasmasit dengan bantuan makrofag untuk mengenal antigendan pembuangan antigen
fase terakhir. Nodus lymphaticus juga merupakan tempat penyebaran sel-sel yang baru
dilepas oleh thymus atau sumsum tulang.
D. Fisiologi Hemostasis

Hemostasis merupakan mekanisme tubuh yang bekerja untuk melindungi tubuh dari
perdarahan dan kehilangan darah. Sistem ini melibatkan faktor plasma, trombosit dan
dinding pembuluh darah. Oleh karna itu, mekanisme hemostasis mencerminkan
keseimbangan antara mekanisme prokoagulan dan antikoagulan yang dikaitkan dengan
proses fibrinolisis. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan penyakit
serius dimana terjadi aktivasi koagulasi yang meningkat, persisten, generalisata serta
biasanya menyebabkan pembentukan mikrotrombus pada mikrovaskular. Pada saat yang
sama, konsumsi trombosit dan protein koagulasi dapat menginduksi perdarahan masif.
DIC selalu memiliki penyakit yang mendasarinya seperti infeksi berat, keganasan
hematologi, trauma atau gangguan obstetrik. Tatalaksana DIC berupa manajemen
penyakit yang mendasarinya, terapi antikoagulan, dan supportive care berupa transfuse
komponen darah. Wawasan patofisiologi tentang koagulopati konsumtif saat ini
mengarahkan pada pilihan terapi yang ditujukan untuk mengurangi pembentukan
thrombin atau regulasi aktivasi koagulasi. Akan tetapi, keuntungan klinis terapi tersebut
masih belum dapat ditetapkan.
Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan secara spontan
agar tidak kehilangan darah terlalu banyak bila terjadi luka pada pembuluh darah
sehingga darah tetap cair dan mengalir secara lancar. Di dalam pembuluh darah terdapat
berbagai produk yang sangat kompleks dari berbagai jaringan, diantaranya produk dari
sumsum tulang, endotel dan sistem retikuloendotelial. Dalam keadaan normal, proses
hemostasis dimulai dengan adanya trauma, pembedahan, atau penyakit yang merusak
lapisan endotel pembuluh darah, dan darah terpajan dengan jaringan ikat subendotel.
Kelangsungan hemostasis dipertahankan melalui proses keseimbangan antara perdarahan
dan trombosis yang melibatkan komponen sistem vaskular, trombosit, faktor koagulasi,
fibrinolisis dan antifibrinolisis. Untuk mempermudah memahami proses yang sangat
kompleks ini maka dibagi atas proses hemostasis primer, hemostasis sekunder
(koagulasi), fibrinolisis, dan mekanisme pengaturan keseimbangannya.1
D. Proses Hemostasis
Pada proses perdarahan dari pembuluh darah maka yang terjadi adalah adanya
kerusakan dinding pembuluh darah dan tekanan di dalam pembuluh darah lebih besar
daripada tekanan di luar. Oleh karena itu, terjadi dorongan darah keluar dari kerusakan
tersebut. Mekanisme hemostatik inheren dalam keadaan normal mampu menambal
kebocoran dan menghentikan pengeluaran darah melalui kerusakan kecil di kapiler,
arteriol, dan venula. Pembuluh-pembuluh darah ini sering mengalami rupture oleh
trauma-trauma minor yang terjadi sehari-hari. Trauma semacam ini adalah sumber
tersering perdarahan. Mekanisme hemostasis dalam keadaan normal menjaga agar
kehilangan darah melalui trauma kecil tersebut tetap minimum.

1
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(2):hal 20
Gambar 1. Tahap Hemostasis
(Minors 2007)
A. Proses Spasme Veskular (Vasokonstriksi vaskuler)
Pembuluh darah yang terpotong atau robek akan segera berkonstriksi akibat
respon vaskuler inheren terhadap cedera dan vasokonstriksi yang diinduksi oleh
rangsang simpatis. Konstriksi ini akan menghambat aliran darah melalui defect,
sehingga pengeluaran darah dapat diperkecil. Karena permukaan endotel pembuluh
darah saling menekan satu sama lain akibat proses spasme vaskuler awal , endotel
tersebut menjadi lengket dan melekat satu sama lain, kemudian menutup pembuluh
yang rusak. Tindakan fisik ini saja tidak cukup untuk secara total mencegah
pengeluaran darah selanjutnya, tetapi penting untuk memperkecil pengeluaran darah
dari pembuluh darah yang rusak sampai tindakan-tindakan hemostatik lainnya mampu
menyumbat defect tersebut.
B. Proses Adhesi Trombosit (Hemostasis Primer)
Hemostasis primer mulai terjadi dalam beberapa detik setelah terjadi kerusakan
endotel dan berlanjut dengan pembentukan plak trombosit dalam waktu 5 menit.
Dalam proses ini, faktor endotel dan trombosit memegang peranan yang sangat
penting. Dalam pemeriksaan mikroskop elektron diketahui ultra struktur trombosit
terdiri atas berbagai bagian:
a) Glikokaliks yaitu selaput berbulu halus yang mengelilingi membran trombosit.
Pada permukaan ini terdapat reseptor-reseptor glikoprotein yang menjadi reaksi-
reaksi kontak membran pada adhesi, perubahan bentuk sel, kontraksi internal, dan
agregasi. Nomenklatur reseptor ini dengan GPI (glycoprotein) untuk berat
molekul terberat dan GPII, GPIII, dan seterusnya untuk berat molekul yang lebih
ringan secara sekuensial. Dalam keadaan normal, reseptor-resptor ini tidak
semuanya dalam bentuk aktif bahkan ada yang tidak terpapar ke permukaan2
b) Membran sitoplasma mengadakan invaginasi dan membentuk surface
connencting
canalicular system (SCCS) yang berfungsi sebagai tempat absorbsi selektif faktor-
faktor koagulasi plasma, tempat sekresi pada reaksi pelepasan, dan memperluas
permukaan trombosit. 3
c) Mikrofilamen dan mikrotubula, terdapat langsung dibawah membran sel,
menghasilkan sitoskeleton untuk mempertahankan bentuk diskoid selama dalam
sirkulasi dan mempertahankan posisi organel, mengatur organisasi internal dalam
reaksi pelepasan, mengandung trombostenin yang dapat menyebakan trombosit
berkontraksi.
d) Dalam sitoplasma trombosit terdapat granul alfa dan granul padat. Dalam reaksi,
granul alfa akan mengeluarkan faktor van Willbran (vWF), fibrinogen, F V,
Platelet Factor (PF4), FIX, fibrinektin, trombospondin, protein S, plasminogen
akivator inhibitor, dan platelet derived growth factor (PDGF) beta
tromboglobulin. Beberapa protein merupakan hasil penyerapan dari plasma di
antaranya fibrinogen, F V dan F VII, sedangkan granul padat mengeluarkan ADP
(adenosine 5'-diphosphate), ATP (adenosine triphosphate), ion Ca, serotonin,
epinefrin, dan norepinefrin.4

2
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(2):hal 21
3
Ibid
4
Ibid
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat di permukaan endotel pembuluh
darah, tetapi apabila lapisan ini rusak akibat cedera pembuluh, trombosit akan melekat
ke kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa yang terdapat di jaringan ikat
dibawahnya. Saat endotel mengalami kerusakan, maka kolagen dan matriks lain sub
endotel akan terpapar dan akan memicu adhesi trombosit. Dalam kondisis statis atau
dalam aliran lambat pada sirkulasi venula menunjukkan permukaan trombosit akan
beradesi dengan kolagen, fibronektin, laminin dan mikrofibril. Pada aliran yang lebih
cepat pada mikrosirkulasi arteriol kolagen, fibronektin, dan laminin saja tidak adekuat
untuk terjadinya adhesi trombosit.5 Maka dari itu, diperlukan vWF yang merupakan
kompleks pada F VII dan disintesis oleh sel endotel dan megakariosit. vWF akan
berikatan dengan kolagen sub endotel yang selanjutnya akan mengikat permukaan
reseptor GPIb-IX pada trombosit. Adesi ini berlangsung dalam 1-2 menit setelah
robekan. Trombosit yang beradhesi akan mengalami aktivasi. Aktivasi trombosit
menyebabkan perubahan bentuk trombosit, kontraksi, dan pengeluaran matriks yang
terdapat pada granul sitoplasma trombosit (antara lain PF, beta tromboglobulin,
trombospodin, vWF, fibrinogen, fibrinektin, Ca, ADP, ATP, serotonin, dan 5OH
triptamin). Agregasi trombosit awalnya dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan oleh
trombosit yang beradhesi dan disebut sebagai agregasi trombosit primer yang bersifat
reversibel. Adhesi merupakan gaya afinitas permukaan trombosit dengan reseptor
yang bukan berasal dari permukaan trombosit, sedangkan agregasi adalah afinitas
antara permukaan sel trombosit. Trombosit dapat diaktivasi oleh ADP, trombin, atau
kolagen. ADP akan berikatan dengan permukaan trombosit dan menyebabkan reseptor
GPIIb dan GPIIIa terbuka. Fibrinogen dapat berikatan dengan lebih dari satu trombosit
pada resptor-resptor ini dengan perantara CA, sehingga terbentuk ikatan kompleks
antara GPIIb dan GPIIIa dengan Ca dan fibrinogen. Ikatan yang timbul bersifat lemah.
Trombospodin yang dilepaskan dari granul juga akan menyebabkan adhesi trombosit
dan memperkuat agregasi. Di samping itu, aktivator trombosit seprti kolagen dan
trombin juga dapat menyebabkan mobilisasi asam arakhidonat yang dilepaskan dari
membran fosfolipid trombosit. Asam arakhidonat akan mengalami reaksi enzimatik
siklo oksigenase dan tromboksan sintetase menghasilkan tromboksan A2 (TxA2).
5
Petrovich C. Hemostasis and Hemotherphy. In: Clinical Anesthesia. Edisi ketiga. Philadelpia: Lippincott – Raven;
1997:199-206.
TxA2 merupakan prostaglandin yang mempunyai efek vasokonstriksi poten, juga
dapat menstimulasi pelepasan ADP dari granul trombosit. Setelah proses yang
kompleks (agregasi dan reaksi pelepasan) maka massa agregasi akan melekat pada
endotel atau disebut sebagai agregasi trombosit sekunder.
Selain terjadi reaksi seluler, juga terjadi reaksi vaskuler berupa vasokonstriksi
yang mula-mula terjadi secara reflektoris dan kemudian dipertahankan oleh faktor
lokal seperti epinefrin dan 5 hidroksi triptamin. Pada pembuluh darah kecil, hal ini
mungkin dapat menghentikan perdarahan, sedangkan pembuluh darah yang lebih besar
masih diperlukan sistem lain seperti trombosit, dan pembekuan darah. Selain itu,
proses tersebut juga dipengaruhi oleh jaringan sekitar pembuluh darah. Pada beberapa
kasus, terkadang diperlukan tindakan operasi untuk menghentikan perdarahan pada
pembuluh darah yang besar. Vasospasme ini akan berlangsung sekitar 20-30 menit,
sambil menunggu mekanisme hemostasis lain menjadi aktif.6
C. Homeostasis Sekunder (Koagulasi)
Proses koagulasi darah terdiri dari rangkaian enzimatik yang melibatkan banyak
protein plasma yang disebut sebagai faktor koagulasi darah. Faktor koagulasi
merupakan glikoprotein dengan berat molekul lebih dari 40.000. Nomenklatur faktor
pembekuan adalah menggunakan angka Romawi sesuai dengan urutan ditemukan.
Dalam keadaan normal faktor pembekuan berada dalam plasma dalam bentuk
perkusor inert sebagai prokoagulan atau proenzim dan akan diubah dalam bentuk
enzim aktif atau sebagai kofaktor selama proses koagulasi. Bentuk aktif ditandai
dengan huruf ’a’ dibelakanya. Untuk fibrinogen, protrombin, tromboplastin jaringan,
ion Ca, prekallikrein (PK), dan high molecular weight kininogen (HMWK) biasanya
tidak ditulis sebagai angka Romawi. Teori yang banyak dianut untuk menerangkan
proses koagulasi adalah teori kaskade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac
Farlane, Davie, dan Ratnoff. Menurut teori ini, tiap faktor koagulasi diubah menjadi
bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam rangkaian faktor enzimatik. Faktor
pembekuan beredar dalam darah sebagai prekusor yang akan diubah menjadi enzim
bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekusor selanjutnya menjadi enzim. Mula-
mula, faktor pembekuan bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim.
6
Stoelting R. Hemostasis and Blood Coagulation. In: Stoelting RK. Pharmacology Ang Phsysiology in Anesthetic
Practice. Edisi ketiga. Philadelpia: Lippincott – Raven; 1999:762-765.
Banyak reaksi dalam kaskade koagulasi melibatkam satu faktor yang mengaktifkan
faktor yang lain. Beberapa faktor koagulasi diaktifkan dengan melibatkan beberapa
faktor koagulan dan ada yang bertindak sebagai ko-faktor. Ini disebut sebagai
’reaction complex. Faktor V dan VIII bertindak sebagai kofaktor dalam ’reaction
complex’ pada kaskade koagulasi. Tanpa adanya kofaktor ini, maka reaksi akan
berjalan sangat lambat. Kedua, faktor ini dikenal sebagai faktor yang labil karena
aktivitas koagulan ini sangat singkat di darah. Demikian juga HMWK dan
tromboplastin jaringan bertindak sebagai kofaktor. Sedangkan faktor XII, XI,
prekallikrein, X, IX, VII, dan protrombin adalah zimogen proteinase serin yang akan
diubah menjadi enzim aktif selama proses koagulasi.
Sebagian besar faktor koagulasi disintesis di hati, kecuali vWF faktor VIII yang
disintesis oleh endotel dan megakariosit. Dalam sirkulasi, faktor VIII merupakan
protein plasma yang kompleks dan terdiri dari dua komponen. Bagian dengan berat
molekul besar terdapat antigen faktor VIII (VIIIR:Ag) dan vWF. Bagian dengan berat
molekul kecil terdiri dari activity coagulant factor VIII (VIIIC). Bagian ini
kemungkinan besar disintesis di hati. vWF mempunyai 2 fungsi utama yaitu sebagai
perekat kolagen subendotel dengan trombosit pada proses adhesi dan sebagai protein
pembawa faktor VIII (VIIIC). Kadar faktor VIII akan meningkat oleh epinefrin,
vasopresin, dan estrogen.
Beberapa faktor koagulasi yaitu protombin, faktor VII, IX, dan X memerlukan
vitamin K dalam proses sintesisnya di hati, sehingga disebut dengan Vitamin K
dependent factor. Vitamin K diperlukan untuk reaksi enzimatik tahap akhir proses
sintesis dengan penambahan gugus karboksil. Tanpa adanya gugus karboksil, maka
faktor koagulasi tidak dapat berikatan dengan permukaan fosfolipid dengan
diperantarai oleh Ca. Kekurangan vitamin K akan menyebabkan faktor koagulasi yang
disintesis tidak fungsional walaupun secara kualitatif kadarnya tidak menurun.
Kaskade mekanisme koagulasi terus berkembang. Pada tahun 1964, teori klasik
mekanisme koagulasi menyatakan bahwa proses koagulasi dapat dipicu melalui dua
jalur yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik.
Jalur intrinsik klasik dimulai dengan faktor kontak (faktor XII, XI, prekalikrein,
dan HMWK) yang bersentuhan dengan permukaan asing dan terjadilah reaksi aktivasi
kontak. Kontak antara F XII dengan permukaan asing akan menyebabkan aktivasi F
XII menjadi F XIIa. F XIIa akan mengubah prekallikrein menjadi kallikrein yang akan
meningkatkan aktivasi F XII selanjutnya dengan adanya kofaktor HMWK. Disamping
itu, kallikrein akan mengaktifkan F VII menjadi F VIIa pada jalur ekstrinsik,
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin pada sistem fibrinolitik, serta mengubah
kininogen menjadi kinin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Kemudian FXI
diaktifkan menjadi FXIa oleh FXIIa dengan HMWK sebagai kofaktor. FXIa dengan
adanya ion Ca akan mengubah FIX menjadi FIXa. Selanjutnya, kompleks FIXa, PF-3,
FVIII, dan in CA akan mengaktifkan FX. Jalur intrinsik dimulai dengan aktivasi FVII
oleh terpaparnya TF dan selanjutnya mengaktifkan FX. Setelah itu, kedua jalur
tersebut akan bertemu di jalur bersama.1
Pada individu yang menderita defisiensi faktor FXII, prekallikrein dan HMWK
tidak menunjukkan perdarahan abnormal secara klinis, walaupun keluhan
perdarahannya dapat bervariasi dan biasanya ringan. Ini menunjukkan FXII,
prekallikrein dan HMWK tidak begitu diperlukan dalam hemostasis in vivo. Reaksi
jalur intrinsik dapat terjadi dengan pengaruh FVII/TF dan thrombin. Pada gambar 2.
Gambar 2. Kaskade Koagulasi
(Murray and Margareth, 2003)
Terlihat pada gambar 2., faktor VII mengalami kontak dengan tissue factor (TF),
terbentuk faktor VII aktif (VIIa) yang mengaktifkan faktor X dan faktor IX (melalui
titik-titik berwarna biru). Kompleks faktor VIIa dan IVa akan memperkuat
pembentukan faktor Xa dari X. Pembentukan trombin dari protrombin oleh kerja
faktor Va mengakibatkan terbentuknya fibrin, trombin juga mengaktifkan faktor XI
( garis putus biru).

Tabel 1. Fungsi faktor-faktor pembekuan darah (Murray and Margareth, 2003)

Zimogen protease serin


Faktor XII Berikatan pada kolagen yang terpapar
pada tempat luka dinding pembuluh
darah, diaktifkan oleh kininogen berat
molekul tinggi dan kalikrein
Faktor XI Diaktifkan oleh Faktor XIIa
Faktor IX Diaktifkan oleh factor XIa dengan
adanya Ca+
Faktor VII Diaktifkan oleh thrombin dengan
adanya Ca2+
Faktor X Diaktifkan pada permukaan trombosit
aktif oleh komplek protrombinase
(Ca2+, factor VIIIa dan IXa) dan oleh
factor VIIa dengan adanya faktor
Faktor II jaringan serta Ca2+
Diaktifkan pada permukaan trombosit
aktif oleh kompleks protrombinase
(Ca2+, faktor Va dan Xa). ( faktor II,
VII, IX dan X)
Kofaktor
Faktor VIII Diaktifkan oleh trombin, faktor VIIIa
merupakan kofaktor dalam aktivasi
protrombin oleh faktor Xa
Faktor V Diaktifkan oleh trombin; faktor Va
Faktor Jaringan (Faktor III) merupakan kofaktor dalam aktivasi
protrombin oleh faktor Xa
Sebuah protein yang terpapar pada
permukaan sel-sel endotel yang sudah
terangsang, yang membutuhkan
fospolipid untuk bekerja sebagai
kofaktor untuk faktor VII

Fibrinogen
Faktor I Dipecah oleh thrombin sehingga
terbentuk bekuan fibrin.
Transglutaminase yang tergantung tiol
Faktor XIII Diaktifkan oleh trombin dengan adanya
Ca2+ menstabilkan bekuan fibrin
melalui ikatan silang kovalen.
Protein pengatur dan protein lain
Protein C Diaktifkan menjadi protein Ca dengan
pengikatan thrombin menjadi
trombomodulin; kemudian pecah
menjadi factor VIIa dan Va
Protein S Bekerja sebagai kofaktor protein C;
baik protein yang mengandung residu
Gia (γ-karboksiglutamat)
Trombomodulin Protein pada permukaan sel-sel
endotelial mengikat trombin yang
kemudian mengaktifkan protein C

D. Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik
sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik terdiri dari tiga
komponen utama yaitu plasminogen yang akan diaktifkan menjadi plasmin, aktivator
plasminogen, dan inhibitor plasmin.

Gambar 3. Skema Sistem Fibrinolisis

(Payel, 2009)

plasminogen activators, tissue plasminogen activator (tPA) and urokinase


plasminogen activator (UPA), membelah ikatan Arg560-Val561 dari plasminogen
untuk menghasilkan enzim plasmin aktif. Lysine-binding sites dari plasmin (dan
plasminogen) memungkinkannya untuk mengikat fibrin, sehingga fibrinolisis
fisiologis merupakan “fibrin specific”. Kedua plasminogen (melalui lysine binding
sites) dan TPA memiliki afinitas khusus terhadap fibrin. Terbentuk fibrin degradation
product (FDP) merupakan bentukan fibrin yang terdegradasi oleh plasmin. Setiap
plasmin bebas membentuk suatu komplesk α2-antiplasmin (α2Pl) (Konkle, 2010).
Sistem hemostasis mengontrol pembentukan trombin aktif atau trombosis melalui
mekanisme umpan balik sehingga menghasilkan keseimbangan antara aktivasi dan
inhibisi (Bakta, 2001; Rahayuningsih, 2007). Sistem fibrinolitik dicetuskan oleh
adanya aktivator plasminogen yang akan memecah plasminogen menjadi plasmin.
Aktivasi plasminogen terjadi melalui tiga jalur yang berbeda yaitu jalur intrinsik, jalur
ekstrinsik, dan jalur eksogen. Jalur intrinsik melibatkan F.XII, prekalikrein, dan
HMWK. Aktivasi F.XII menjadi F.XIIa akan mengubah prekalikrein menjadi
kalikrein dengan adanya HMWK. Kalikrein yang terbentuk akan mengaktifkan
plasminogen menjadi plasmin. Pada jalur ekstrinsik aktivator yang terdapat didalam
jaringan atau endotel pembuluh darah akan dilepaskan ke dalam darah bila terdapat
amin vasoaktif dan protein C. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar plasminogen
terikat pada fibrin dan sebagiannya lagi bebas di dalam plasma. Apabila plasminogen
tersebut diaktifkan, akan terdapat plasmin bebas dan plasmin yang terikat fibrin.
Plasmin bebas akan dinetralkan oleh antiplasmin. Plasmin merupakan enzim
proteolitik yang akan memecah fibrin menjadi fragmen-fragmen yang disebut fibrin
degeneration products (FDP). Mula-mula, akan terbentuk fragmen X yang pada proses
selanjutnya akan dipecah menjadi fragmen Y dan D. Fragmen D akan dipecah plasmin
menjadi fragmen D dan E. Pada umumnya, FDP merupakan inhibitor pembekuan
darah terutama fragmen Y yaitu dengan cara menghambat kerja trombin dan
menghambat polimerisasi fibrin. Pada proses selanjutnya, FDP akan dibersihkan dari
sirkulasi darah oleh hati dan RES.
E. Prinsip Dasar Penggolongan Darah

Darah merupakan satu-satunya jaringan dalam tubuh yang berupa fluida. Darah
mentransport oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan dan membuang produk sisa seperti karbon
dioksia. Darah merupakan sampel yang sering diperiksa dilaboratorium rumah sakit (James et al,
2006). Darah merupakan suspensi sel dan fragmen sitoplasma di dalam cairan yang disebut
dengan plasma. Secara keseluruhan darah dapat dianggap sebagai jaringan pengikat dalam arti
luas karena pada dasarnya terdiri atas unsur-unsur sel dan substasi intraseluler yang berbentuk
plasma (isnaeni, 2006).

Keberadaan darah dalam tubuh mempunyai arti penting bagi kehidupan seseorang. Secara
umun fungsi darah adalah sebagai alat transport makanan yang diserap dari saluran cerna dan
diedarkan keseluruh tubuh, selain itu darah juga berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan
dinamis (homeostatis) dalam tubuh , termasuk di dalamnya ialah mempertahankan suhu tubuh,
mengatur keseimbangan distribusi air dan mempertahankan keseimbangan asam basa sehingga
pH darah dan cairan tubuh tetap dalam keadaan seharusnya.
1. Golongan Darah

Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya perbedaan
jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Didunia ini sebenarnya
dikenal sekitar 46 jenis antigen selain antigen ABO dan Rh (Andriyani et al, 2015). Sistem ABO
yang ditemukan oleh Karl Landsteiner merupakan sistem yang paling penting dalam bank darah
dan ilmu kedokteran transfusi, antigen-antigen utamanya disebut A dan B, antibodi utamanya
adalah anti-A dan anti-B. Gen-gen yang menentukan ada tidaknya aktivitas A atau B terletak di
kromosom 9 (Ronald, 2004). Penetapan golongan darah menentukan jenis aglutinogen yang ada
dalam sel dan menentukan aglutinin yang ada dalam serum (Subrata, 2007).

Dalam sisitem golongan darah ABO ini, berlaku asas yang mengatakan bahwa serum
seseorang tidak akan mengendapkan sel darah merah orang itu sendiri serta sel darah merah
orang lain yang bergolongan sama. Jadi, serum darah dari orang yang bergolongan darah A tidak
akan mengaglutinasikan sel darah merah dari orang yang bergolongan darah A. Hal yang
sebaliknya juga berlaku untuk serum yang bergolongan darah B. Serum dari orang yang
bergolongan darah AB tidak dapat mengendapkan sel darah merah golongan AB, juga tidak
dapat mengaglutinasikan sel darah merah golongan A maupun golongan B. Sel darah merah
golongan O tidak dapat diaglutinasikan oleh serum dari orang yang bergolongan darah A, B,
maupun AB.

2. Faktor yang menentukan golongan darah manusia

Faktor yang menentukan golongan darah manusia berupa antigen yang terdapat pada
pernukaan luar sel darah merah disebut aglutinogen. Zat anti terhadap antigen tersebut disebut
zat anti atau antibodi yang bila bereaksi akan menghancurkan antigen yang bersangkutan
disebut aglutinin dalam serum, suatu antibodi alamiah yang secara otomatis terdapat pada tubuh
manusia. darah manusia menjadi 4 golongan, yaitu golongan darah A, golongan darah B,
golongan darah AB dan golongan darah O. Penggolongan darah ini dikenal dengan sistem
penggolongan darah ABO, pembagian golongan darah ini berdasarkan perbedaan aglutinogen
(antigen) dan aglutinin (antibodi) pada membran permukaan sel darah merah pada penggolongan
darah ini ada 2 zat yang berperan penting dalam menentukan golongan darah yaitu aglutiogen
dan aglutinin. Aglutinogen atau antigen ini merupakan polisakarida yang tidak hanya terdapat
pada sel darah merah tetapi juga terdapat pada kelenjar ludah, hati, ginjal, paruparu, testis dan
semen.

Sel darah merah memiliki salah satu dari antigen A, B , AB atau tidak sama sekali pada
permukaan sel tersebut. Golongan A memiliki antigen A, golongan B memiliki antigen B,
golongan AB memiliki antigen A dan B, sementara golongan O tidak mengandung antigen.
Antigen tersebut mampu memproduksi antibodi. Individu yang memiliki golongan darah AB
merupakan resipien universal (dapat menerima semua jenis darah) karena tidak memiliki
antibodi, seseorang yang bergolongan darah O merupakan donor universal (dapat menerima
semua jenis darah)

3. Pengertian Reagen Anti-sera, Antigen, dan Antibodi

Reagen antisera merupakan reagen yang digunakan untuk pemeriksaan golongan darah
ABO. Diperoleh dari biakan supernatan secara in vitro yang berasal dari hibridisasi
immunoglobulin sel tikus dan hasil pemeriksaannya akan terbentuk aglutinasi Antigen.

Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat
bereaksi dengan antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk
merangsang produksi antibodi. Atigen adalah zat yang dapat bereaksi dengan produk respon
imun spesifik. Substansi yang dikenal sebagai antigen golongan darah merupakan produk gen
yang spesifik dan juga bersifat imunogenik. Individu memiliki suatu pola genetik spesifik
(genotip) dan antigen ini biasanya mengekspresikan diri pada eritrosit. Antigen terdapat pada
permukaan sel darah merah, yang terdiri atas bilipid membrane suatu molekul yang besar.
Komposisi bilipid membrane adalah molekul yang dinamakan phospolid yang terdiri dari
hydrophilic dan hydrophobic. Umumnya molekul protein bilipid membrane memiliki
oligosakarida, beberapa diantaranya diketahui menjadi antigen. golongan darah, lainya
berfungsi untuk metabolisme sel darah merah. Antigen yang terdapat pada eritrosit bersifat
herediter. Antigen A dan antigen B ini diturunkan secara dominan menurut hukum Mendel.
Selain di sel darah, antigen ini juga dapat terdistribusi secara luas di berbagai jaringan tubuh
lain yaitu kelenjar liur, pankreas, saliva, testis, ginjal, hati, semen dan cairan amnion.
Antigen AB bukan merupakan produk gen primer tetapi mereka adalah produk reaksi
ezimatik enzim glikosiltransferase yang diekspresikan pada permukaan eritrosit atau hadir
dalam sekresi sebagai unit glikan dari mucin glikoprotein (NCBI, 2014). Produk dari alel A
dan B adalah enzim glikosiltransferase. Variasi dalam gen ini (polimorfise) menentukan
apakah enzim glikosiltransferase menempelkan N- asetilgalaktosamine (antigen A), galaktosa
(antigen B) atau tidak ada gula (tipe O). Susunan gula ini adalah bagian dari antigen yang
mampu merespon kekebalan tubuh sehingga menghasilkan antibodi untuk menghancurkan
antigen.

Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma
setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi ditemukan dalam serum dan jaringan dan
mengikat antigen secara spesifik (Sudoyo, 2007). Antibodi dapat dikenal bila antibodi itu
bereaksi dengan antigen dan sebaliknya. Dalam golongan darah interaksi ini biasanya dapat
dilihat dari sel-sel darah beraglutinasi. Antibodi golongan darah adalah protein ( spesifiknya
gamma globulin), dihasilkan oleh tubuh sebagai mekanisme pertahanan dalam menanggapi
antigen. Antibodi golongan darah yaitu anti A dan anti B pada umumnya timbul beberapa
bulan setelah lahir (3-6 bulan) dan mencapai level maksimal pada usia 5-10 tahun kemudian
secara perlahan-lahan menurun pada usia tua (Ellyani, 2002). Antibodi ABO terjadi secara
alamiah, yaitu berkembang tanpa harus terpajan dengan eritrosit yang mengekspresikan
antigen yang sesuai. Antibodi ini belum ada saat lahir, tapi berkembang dengan pajanan
antigen di lingkungannya. Antibodi tersebut terutama immunoglobulin (Ig) M, reaktif pada
suhu 37º C dan dapat mengaktivasi komplemen.
F. Cairan Interstisial dan Cairan Limfe
1. Cairan interestial
Cairan interestial yang menggenangi jaringan secara terus menerus yang diambil oleh
kapiler kapiler limfatik disebut dengan Limfa. Limfa mengalir melalui sistem pembuluh
yang akhirnya kembali ke sistem sirkulasi. Ini dimulai pada ekstremitasdari sistem kapiler
limfatik yang dirancang untuk menyerap cairan dalam jaringanyang kemudian dibawa
melalui sistem limfatik yang bergerak dari kapiler kelimfatik (pembuluh getah bening) dan
kemudian ke kelenjar getah bening. Getah bening ini disaring melalui benjolan dan keluar
dari limfatik eferen. Dari sana getah bening melewati batang limfatik dan akhirnya ke dalam
saluran limfatik. Pada titik ini getah bening dilewatkan kembali ke dalam aliran darah
dimana perjalanan ini dimulai lagi.
2. Cairan limfe
Kata “chyle” berasal dari bahasa Latin yang berarti “juice” dan digunakan untuk
mendeskripsikan cairan limfe yang berasal dari organ intestinal. Lemak dari makanan
ditransport lewat pembuluh limfe menuju ductus thoracicus ke sirkulasi darah vena. Setleah
makanan makanan berlemak, cairan limfe terlihat seperti air susu. Faktor pendorong gerak
Cairan limfe merupakan cairan yang mirip dengan plasma dengan kadar protein lebih
rendah. Kelenjar limfe menambahkan limfosit, sehingga dalam saluran limfe jumlah selnya
besar.
a. Faktor pendorong gerak cairan limfe:
1. Pembuluh limfe mirip vena, memiliki katup yang bergantung pada pergerakan otot
rangka untuk memecah cairan kejantung
2. Perlawanan pertama yang dilakukan oleh tubuh adalah dengan respon imunnon-
spesifik, sel makrofag dan cairan limfa. Sehingga cairan limfatik mengalir melalui sistem
limfatik yang berfungsi juga dalam sirkulasi system imunseluler
3. Karena fungsi dari sistem saluran limfe juga untuk mengembalikan cairan dan
protein dari jaringan kembali ke darah melalui sistem limfatik, maka faktor pendorong gerak
cairan limfe juga dikarenakan adanya cairan yang keluar dari kapiler darah.
b. Proses jalannya cairan limfe

Proses jalan limfe di mulai dari keluarnya cairan, yang disebut cairan interstisial
yang mengandung zat-zat makanan didalamnya keluar dari kapiler darah. Setelah keluar dari
kapiler darah kemudian masuk ke dalam jaringanjaringan disekelilingnya. Kemudian akan
memberikan zat-zat makanan dari jaringan. Kemudian setelah itu cairan tersebut akan
berkumpul di lekak-lekak jaringan yang kecil sekali. Dari lekak-lekak tersebut limfe
mengalir melalui jalanjalan limfe. Proses masuknya seperti pada susunan jalan darah,
pertama limfe itu masuk kedalam kapiler. terus antara kapiler yang satu dengan yang lain
bertemu dan akhirnya menjadi besar yaitu pembuluh limfe. Pada akhirnya jalan-jalan limfe
akhirnya menjadi dua buah, yaitu ductus thoracicus dan ductus lymphaticus dexter. Ductus
thoracicus ini dimulai dari sebuah perluasan yang dinamakan systerna cycli. Pada ductus
thoracicus ini menerima limfe dari isi badan dari seluruh pasangan belakang dari dinding
dada, dinding perut, daerah bahu sebelah kiri, leher sebelah kiri dan kepala sebelah kiri.
Sedangkan untuk truncus lymphaticus dexter, pangkalnya menreima limfe dari sebagian
besar dinidng dada sebelah kanan,kepalasebelah kanan, lehersebelah kanan danbahu sebelah
kanan, kelenjar limfe yang ada ditempat semuanya itu berkumpul di kelenjar limfe sebelah
kanan, yang tereltak didekat pintu masuk dada., dari perkumpulan tersebut terdiri dari 3-4
pangkal, dan akhirnya menjadi satu yaitu ductus lymphaticusdexter.
Pembuluh limfe ini lebih kecil dan dindingnya lebih tipis dari pembuluh darah.
Sebelum limfe dialirkan kedalam darah limfe ini akan disaring di nodusnodus limfatikus.
karena limfe saat di lekak-lekak jaringan dapat terdapat kuman penyakit dan benda-benda
debu seperti zat arang. Jadi sebelum dialirkan kedalam pembuluh darah limfe-limfe tersebut
disaring terlebih dahulu. Pembersihan tersebut terjadi di nodus limfatikus atau di kelenjar-
kelenjar limfe. Dan kumankuman tersebut yang tertahan disana akan dimusnahkan oleh
limfosit yang terdapat di kelenjar-kelenjar limfe. Terkadang terdapat kuman yang lebih kuat,
hal demikin dapat terjadi, bila terdapat kuman-kuman, dan akibatnya kelenjar tersebut akan
bernanah. Dan kelenjar-kelanjar limfe juga bisa berwarna hitam bila terdapat seperti zat
arang. Setelah masuk ke vasa darah, limfe tersebut pertama akan dibawa ke ren, di ren
tersebut zat-zat yang ada di dalam cairan tersebut akan dikeluarkan. Didalam pembuluh
limfe juga terdapat klep-klep sehingga cairan limfe tidak bisa kembali.
G. Homesitosis
1. Homeostasis 
Homeostasis adalah proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan makhluk
hidup untuk mempertahankan kondisi konstan agar tubuhnya dapat berfungsi dengan
normal, meskipun terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh. Kondisi
konstan ini meliputi berbagai variabel, seperti suhu tubuh dan keseimbangan cairan
tubuh, yang dijaga dalam batas yang telah ditentukan (yang disebut rentang homeostasis).
Contoh variabel lainnya yaitu pH ekstraseluler, konsentrasi ion natrium, kalium,
dan kalsium, serta kadar gula darah. Hal-hal ini perlu dijaga meskipun lingkungan, diet,
dan aktivitas tubuh terus berubah. Setiap variabel ini dikendalikan oleh satu atau
beberapa mekanisme yang bersama-sama mempertahankan kehidupan.
Diagram diatas menggambarkan perubahan glukosa menjadi glikogen dan sebaliknya
untuk menjaga kadar gula darah tetap konstan, meskipun terjadi fluktuasi akibat makan
atau berpuasa. Ketika suatu hal sudah dalam kondisi optimal, homeostasis muncul
sebagai resistansi alami untuk berubah. Kondisi seimbang dipertahankan dan diatur oleh
banyak mekanisme. Semua mekanisme yang mengendalikan homeostasis memiliki
setidaknya tiga komponen yang saling bergantung, yaitu reseptor, pusat kendali, dan
efektor, yang masing-masing dimiliki untuk setiap variabel yang diatur. Reseptor adalah
komponen penginderaan yang memantau dan merespons perubahan lingkungan, baik
eksternal maupun internal. Reseptor mencakup reseptor suhu dan reseptor mekanik. Pusat
kontrol misalnya pusat pernapasan dan sistem renin–angiotensin. Efektor adalah target
yang ditindak lanjuti sehingga perubahan dikembalikan ke keadaan normal.
2. Mekanisme Homeostasis
Ada banyak sekali mekanisme homeostasis lain yang mengatur beragam aspek fisiologi
dalam tubuh. Ketika tingkat suatu variabel lebih tinggi atau lebih rendah dari yang
dibutuhkan, masing-masing kondisi ini sering diawali dengan hiper- dan hipo-, seperti
hipertermia dan hipotermia atau hipertensi dan hipotensi.
Gambar diatas merupakan variasi sirkadian pada suhu tubuh yang berkisar dari
sekitar 37,5 °C dari pukul 10 hingga 18, dan turun menjadi sekitar 36,4 °C pada pukul 2
hingga 6. Jika suatu entitas dikendalikan melalui homeostasis, hal itu tidak menyiratkan
bahwa nilainya harus benar-benar stabil untuk menjaga kesehatan. Suhu inti tubuh,
misalnya, diatur oleh mekanisme homeostasis oleh sensor suhu, di
antaranya hipotalamus pada otak. Namun, titik setel suatu regulator diatur ulang secara
teratur. Sebagai contoh, suhu inti tubuh pada manusia bervariasi sepanjang hari
(dipengaruhi oleh ritme sirkadian), dengan suhu terendah terjadi pada malam hari dan
tertinggi pada sore hari. Suhu normal juga bervariasi akibat siklus menstruasi.
3. Pengaturan Suhu Badan dalam Tubuh Manusia
a) Pengaturan suhu dengan kaidah fisika
Dikenali sebagai kaidah fisika karena pengaturan lebih banyak kepada
penggunaan otot-otot tubuh dan secara fisik. Di antara kemungkinan yang akan
terjadi ialah:
 Suhu badan tinggi melebihi normal
 Suhu badan rendah melebihi normal
Apabila suhu badan tinggi, termoreseptor akan mentransfer suhu pada kulit, di
otak, hipotalamus akan berfungsi sebagai termostat untuk mengatur suhu darah
yang melaluinya, mekanisme koreksi akan diarahkan atau dirangsang oleh
hipotalamus dengan menggunakan koordinasi tubuh.
 Mekanisme koreksi apabila suhu badan tinggi adalah :
1) Vasodilasi yaitu pembuluh darah mengembang untuk berdekatan dengan
kulit (lingkungan luar) yang memungkinkan panas dibebaskan keluar.
2) Bulu kulit ditegaskan untuk mengurangi udara yang terperangkap pada
kulit supaya panas mudah dibebaskan karena udara adalah konduktor
panas yang baik. Bulu kulit diatur oleh otot erektor.
3) Lebih banyak darah pada kulit (kulit kelihatan merah). Memudahkan
panas darah terbebas keluar melalui proses penyinaran.
4) Berpeluh. Air keringat yang dirembes oleh kelenjar keringat mempunyai
panas pendam tentu yang tinggi dapat menyerap panas yang tinggi dan
terbebas ke lingkungan sekitar apabila air peluh menguap.
Apabila suhu tubuh rendah, termoreseptor akan menaikkan suhu pada kulit, di
otak hipotalamus akan berfungsi sebagai termostat mengatur suhu darah yang
melaluinya, mekanisme koreksi akan diarahkan atau dirangsang oleh hipotalamus
dengan menggunakan koordinasi badan.
 Mekanisme koreksi apabila suhu badan rendah adalah :
1) Vasokonstriksi yaitu pembuluh darah menyempit untuk menjauhi kulit
agar panas tak banyak keluar ke lingkungan sekitar.
2) Bulu kulit ditegakkan agar lebih banyak udara yang terperangkap pada
kulit supaya panas sukar dibebaskan karena udara adalah konduktor panas
yang baik. Bulu kulit diatur oleh otot erektor.
3) Kurang darah pada kulit (Kulit kurang kelihatan kemerahan atau pucat).
Kurang mengalami proses penyinaran untuk mencegah panas terbebas
keluar lingkungan.
4) Kurangnya keringat. Saat kurang air keringat dirembeskan oleh kelenjar
peluh maka panas tak banyak dibebaskan melalui penguapan air peluh.
b) Pengaturan suhu dengan kaidah metabolik
Dikenal sebagai kaidah metabolik karena pengaturan lebih kepada penggunaan
kimia badan daripada secara fisik walaupun terdapat pengaturan yang melibatkan
otot-otot. Kawalan ini melibat peranan:
 Otot rangka
 Kelenjar adrenal
 Kelenjar tiroid
Dalam keadaan sejuk, hipotalamus akan mengatur otot rangka untuk
vasokonstriksi secara aktif. Hal ini akan menyebabkan seseorang mengigil dan
meningkatkan suhu badan. Pada saat yang sama, kelenjar adrenal akan
menyekresikan hormon adrenalin dan noradrenalin sedangkan kelenjar tiroid akan
menyekresikan hormon tiroksin, semua hormon ini bertujuan untuk meningkatkan
suhu badan dengan cara meningkatkan metabolisme tubuh. Dalam keadaan panas,
aktivitas otot rangka akan berkurang, begitu juga dengan sekresi hormon-hormon
tertentu oleh kelenjar adrenal dan kelenjar tiroid akan berkurang.

H. Gangguan Sistem Peredaran Darah


Sistem peredaran darah berfungi untuk mengirim darah, oksigen, dan nutrisi ke
seluruh tubuh. Saat aliran darah ke tubuh berkurang yang diakibatkan beberapa kondisi
tersebut, maka akan menimbulkan gejala akibat penyakit pada sistem peredaran darah.
Sistem peredaran darah terdiri dari jantung dan pembuluh darah, meliputi pembuluh darah
arteri, vena, dan kapiler. Jantung merupakan organ utama sistem peredaran darah, dengan
fungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Apabila aliran darah terganggu, maka organ tubuh
akan mengalami kerusakan dan mengakibatkan komplikasi penyakit pada sistem peredaran
darah.
Berikut merupakan gangguan sistem peredaran darah :

•Aterosklerosis

Aterosklerosis merupakan penyakit pada sistem peredaran darah berupa mengerasnya


pembuluh darah. Penyakit ini disebabkan oleh diet tinggi lemak, yang meninggalkan
timbunan lemak di lapisan pembuluh darah. Tumpukan lemak ini bersatu dan membuat arteri
menjadi keras dan kurang fleksibel. Aterosklerosis menyebabkan tekanan darah tinggi, yang
dapat merusak jantung dan ginjal, bahkan stroke.
•Serangan Jantung
Myocardial infraction (MI) merupakan istilah teknis untuk penyakit serangan jantung.
Serangan jantung merupakan penyakit pada sistem peredaran darah yang terjadi ketika suplai
darah terputus dari jantung. Biasanya suplai darah terputus dari jantung akibat gumpalan
darah. Gejala seseorang yang terkena serangan jantung berupa nyeri dada, sesak napas,
merasa lemah, serta munculnya perasaan cemas yang luar biasa. Penyebab serangan jantung
adalah penyakit jantung koroner.
•Angina
Angina merupakan penyakit pada sistem peredaran darah yang ditandai dengan berat dan
berulang ketidaknyamanan pada dada dan nyeri. Kondisi ini disebabkan karena kurangnya
pasokan darah atau suplai oksigen pada otot jantung. Ini merupakan komplikasi yang
disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah. Angina sering dianggap sebagai tanda
peringatan serangan jantung yang akan datang.
•Iskemia Jantung
Iskemia jantung berarti otot jantung tidak mendapatkan cukup oksigen untuk berfungsi
dengan baik. Iskemia pada jantung biasanya disebabkan oleh penyempitan atau penyumbatan
satu atau lebih arteri koroner, yaitu arteri yang memasok darah ke otot jantung. Seseorang
dengan iskemia jantung biasanya akan mengalami sakit seperti angina dan mungkin merasa
seolah-olah mengalami serangan jantung.
•Kolesterol Tinggi
Kolesterol tinggi biasanya disebabkan oleh gaya hidup kurang sehat dan pola makan
yang tidak sehat. Beberapa orang juga bisa secara genetik berisiko kolesterol tinggi. Setiap
orang memang membutuhkan kolesterol pada tubuhnya, namun kolesterol yang terlalu
banyak dapat membentuk lapisan tebal di bagian dalam pembuluh darah dan akan
menghalangi aliran darah.
•Gagal Jantung
Penyakit pada sistem peredaran darah selanjutnya, yaitu gagal jantung. Gagal jantung
disebabkan oleh jantung yang tidak memompa darah ke seluruh tubuh dengan baik. Kondisi
ini akan menyebabkan penderitanya kelelahan, sesak napas, dan batuk. Beberapa penderita
gagal jantung sulit melakukan banyak hal seperti berjalan, naik tangga, atau membawa
barang-barang.
•Tekanan Darah Tinggi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit pada sistem pembuluh darah
yang diakibatkan tekanan darah yang mengalir melalui pembuluh darah terlalu tinggi.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan stroke, kehilangan penglihatan, gagal jantung,
serangan jantung. Penyakit ginjal, dan menurunnya fungsi seksual.
•Stroke
Stroke dapat terjadi ketika salah satu pembuluh darah yang mengarah ke otak tersumbat
oleh gumpalan darah atau bahkan pecah. Kondisi ini akan menghentikan aliran darah dan
mencegah oksigen masuk ke otak. Kondisi ini nantinya akan menyebabkan kerusakan otak,
kelumpuhan, dan bahkan mematikan. Untuk itu, segera dapatkan perawatan untuk stroke agar
tidak terjadi kerusakan yang semakin parah.
•Penyakit Arteri Perifer
Penyakit arteri perifer mengacu pada penyempitan arteri yang mengarah ke kaki, perut,
lengan, dan kepala. Pengurangan aliran darah ini dapat merusak sel-sel dan jaringan pada
anggota tubuh, organ, dan otak. Penyakit ini cenderung terjadi pada orang tua.
•Tromboemboli Vena (VTE)
Tromboemboli vena (VTE) merupakan gumpalan darah yang tersangkut di pembuluh
darah dan menghalangi aliran darah. Ini merupakan kondisi serius yang memerlukan
perhatian medis.
•Aneurisme Aorta
Aneurisme aorta merupakan penyakit pada sistem peredaran darah yang mempengaruhi
arteri dalam tubuh. Kondisi ini berarti dinding arteri telah melemah, sehingga memungkinkan
untuk melebar. Arteri yang membesar bisa pecah dan menjadi kondisi yang perlu
penanganan medis.
RIVIEW JURNAL
REVIEW JURNAL

Judul : Lymphangioma In The Neck Of 8 Years Old Children (Lymphangioma


Di Leher Anak-Anak Tua Tahun 8 Tahun)
Jurnal : Jurnal Profesi Kedokteran
Volume : Vol. 1 No. 2, Juni 2019 : 177 - 186
Jumlah halaman : 9 halaman
Email : yeti.eka.nurdianasari@gmail.com
Penulis : Yeti Eka Nurdianasari1, Roberthy D Maelissa, Muhammad Ardi Munir
Reviewer : Timur Novi A, Nur Intan M, Noviantika Yulia D, Amalinda M.J

Abstrak
Jurnal yang berjudul ‘Lymphangioma Di Leher Anak-Anak Tua Tahun 8 Tahun’ berisi
tentang Seorang anak perempuan usia 8 tahun datang ke RSUD Undata Palu dengan
keluhan benjolan pada leher kiri yang dirasakan sejak pasien lahir dan bertambah besar
seiring bertambahnya usia. Tidak terasa nyeri dan warna sama dengan kulit sekitar.
Terdapat massa dengan konsisten padat, batas tegas dan mobile, ukuran ± 3 cm pada
regio supraclavicular sinistra.
Abstrak yang di sajikan penulis menggunakan bahasa yang cukup
sederhana, jelas mudah untuk dimengerti, dan secara keseluruhan isi dalam abstrak
langsung menuju pada inti permasalahan atau pembahasan pada jurnal penelitian
tersebut.
Pendahuluan
Di dalam paragraph yang pertama disajiakan bahwa Limfangioma merupakan tumor
jinak dari pembuluh limfe yang biasanya muncul setelah lahir. Limfangioma terjadi
akibat gangguan perkembangan dari saluran limfatik dan lokasi paling sering yaitu di
daerah kepala, leher dan axila, tetapi bisa juga terdapat pada lokasi pembuluh limfatik
lainnya.
Dijelaskan juga pada pendahuluan Penyebab pasti lymphangioma tidak
diketahui. Pembentukan lympangioma menggambarkan adanya kegagalan saluran getah
bening untuk menghubungkan dengan sistem vena selama embriogenesis, penyerapan
abnormal struktur limfatik atau keduanya. Beberapa pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis limfangioma adalah ultrasonography, plain radiography, CT Scan,
MRI dan Needle Aspiration and culture.2
Pembahasan
Dalam penelitian jurnal tersebut di jelaskan Seorang anak perempuan
usia 7 tahun datang ke RSUD Undata Palu pada tanggal 09 Oktober 2017 dengan keluhan
benjolan pada leher kiri yang dirasakan sejak pasien lahir. Awalnya benjolan sebesar
kepala jarum pentul, dan semakin membesar seiring bertambahnya usia pasien. Benjolan
tersebut tidak terasa gatal maupun nyeri, warnanya sama dengan kulit sekitarnya dengan
konsistensi padat, batas tegas dan teraba mobile. Riwayat demam tidak ada, sakit kepala
tidak ada, pusing tidak ada, batuk tidak ada, flu tidak ada, sakit perut tidak ada, mual dan
muntah tidak ada.Buang air kecil lancar dan buang air besar lancar.

Pasien didiagonis menderita limfangioma karena didapatkan tanda dan gejala yang mendukung
diagnosa tersebut. Berdasarkan anamnesa didapatkan keluhan benjolan pada leher kiri yang
dirasakan sejak pasien lahir dan semakin membesar seiring bertambahnya usia pasien. Benjolan
tersebut tidak terasa gatal maupun nyeri dan warnanya sama dengan kulit sekitarnya.
Berdasarkan pemeriksaan fisik di dapatkan adanya massa dengan konsisten padat, batas tegas
dan mobile, ukuran ± 3 cm pada regio supraclavicular sinistra. Salah satu pemeriksaan
penunjang yang mendukung diagnosis yaitu pemeriksaan biopsi pada kelenjar dan di dapatkan
hasil yaitu suspek lymphangioma. Pada kasus ini dipilih tindakan eksisi karena benjolan
berukuran besar, padat, batas tegas dan mobile. Tindakan eksisi telah terbukti sangat efektif
dengan tingkat kekambuhan rendah jika pengambilan epitel kistik secara menyeluruh. Setelah
itu, jaringan dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan PA dan memberikan hasil
yaitu mikroskopik: Sediaan jaringan menunjukkan jaringan ikat dan lemak yang diantaranya
terdapat rongga-rongga ukuran bervariasi, dilapisi selapis endotel, lumen umumnya kosong dan
sebagian berisi massa eosinofilik, eritrosit dan sedikit limfosit. Pada stroma tampak focus – focus
agregat sel – sel limfoid dengan kesimpulan lymphangioma. Jadi pada pasien ini merupakan
tumor jinak yang disebabkan oleh malformasi limfatik pada lapisan dermis dalam dan subkutan
yaitu limfangioma, yang merupakan tumor jinak dari pembuluh limfe yang biasanya terjadi
setelah lahir.

Simpulan
Dibagian ini penulis menyumpulkan bahwa Limfangioma pada anak
biasanya asimtomatik saat di diagnosis terutama jika limfangioma berada di luar daerah
kepala atau leher. Temuan klinis pada limfangioma adalah adanya benjolan yang tidak
nyeri dengan konfirmasi melalui pemeriksaan biopsi. Pada kasus ini dilakukan tindakan
eksisi tumor yang terletak di regio supraclavicular sinistra sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi seperti obstruksi pernapasan, infeksi, ulserasi, kesulitan makan dan
bicara serta kematian pada pasien

Kekuatan dan kelemahan penelitian


Teori dan model analisis yang digunakan tepat dan bahasa yang
sederhana sehingga pembaca mampu memahami dengan mudah. Jurnal ini memberikan
informasi dan membantu pembaca dalam mencari informasi mengenai otot
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Asal Darah
Darah merupakan komponen esensial mahluk hidup, mulai dari binatang primitif
sampai manusia.
2. Struktur Darah terdiri atas :
 Plasma
 Sel darah
3. Fungsi Darah
 Sebagai alat transportasi
 Mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh, sehingga kadar air tubuh
tidak terlalu tinggi/rendah (homeostasis).
 Mempertahankan temperatur tubuh, karena darah mempunyai panas spesifik
yang tinggi.
 Mengatur pH tubuh (keseimbangan asam dan basa) dengan jalan mengatur
konsentrasi ion hydrogen.
 Sebagai alat pertahanan tubuh terhadap mikro-organisme (oleh
leucocyte/butir darah putih).
4. Respon Kebal Terhadap Antigen
 Imunitas non spesifik fisiologik
 Sistem Imun Spesifik
5. Jaringan Limfoid
Jaringan limfosid adalah kumpulan sl-sel limfosit. Berdasarkan susunan
histologisnya, jaringan dibagi menjadi:
a) Jaringan Limfoid Longgar, yaitu susunan unsur sel yang menetap ( sel makrofag
dan sel retikuler) lebih banyak dari el-sel bebas
b) Jaringan Limfosit Padat, yaitu limfosit lebih mendominasi dibandingkan sel-sel
lain.
c) Jaringan limfoid noduler, yaitu merupakan jaringan limfoid padat karena sel-sel
limfosit memadati jaringan tersebut dalam struktur bulat, disebut juga nodus
lymphaticus. Jringan limfoid ini merupakan banguana sementara yang dapat
menghilang dan timbul lagi. Berfungsi sebagai tempat profilesai limfosit. Bagian
tengah nodul berisi limfosit-limfosit muda yang berukuran besar dangan inti
pusat disebut centru germinalis.
Daftar Pustaka
Vranova, Martina dan Cornelia. 2014. “Lymphatic vessel in inflamation”. Journalof Clinical
and Celullar Immunology. http://repository.unimus.ac.id/2273/2/BAB%20II.pdf.
Anonim. Sistem Limfatik dan Imunitas. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(2):hal 19-32
Petrovich C. Hemostasis and Hemotherphy. In: Clinical Anesthesia. Edisi ketiga. Philadelpia:
Lippincott – Raven; 1997:199-206
Stoelting R. Hemostasis and Blood Coagulation. In: Stoelting RK. Pharmacology Ang
Phsysiology in Anesthetic Practice. Edisi ketiga. Philadelpia: Lippincott – Raven; 1999:762-765.

Anda mungkin juga menyukai