Anda di halaman 1dari 31

STANDAR KUALITAS UDARA

A. Kualitas Udara Ambien


Udara Ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer
yang berada di dalam wilayah yuridiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan
mempengaruhinya kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup
lainnya (PP No. 41 Tahun 1999). Udara terdiri atas beberapa unsur dengan susunan atau
komposisi tertentu. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah nitrogen (N), oksigen,
hidrogen, karbon dioksida, dan lain-lain. Jika ke dalam udara tersebut masuk atau
dimasukkan zat asing yang berbeda dengan penyusun udara baik jenis maupun
komposisinya, maka dikatakan bahwa udara tersebut telah tercemar. Pencemaran udara
adalah masuk atau dimasukkannya bahan-bahan atau zat-zat asing ke udara yang
menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Zat-zat
asing tersebut mengubah komposisi udara dari keadaan normalnya dan jika berlangsung
lama akan mengganggu kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya yang
membutuhkan dan menggunakan udara dalam aktifitas kehidupannya.
Terdapat banyak bahan-bahan atau zat-zat yang mencemari udara, namun yang
paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara ambien adalah karbon monoksida,
nitrogen oksida, sulfur oksida, hidro karbon, partikel dan lain-lain, yang secara
bersamaan maupun sendiri-sendiri memiliki potensi bahaya bagi lingkungan dan
kesehatan masyarakat. Bahan-bahan atau zat-zat asing tersebut bersumber dari aktifitas
alamiah maupun dari aktifitas manusia itu sendiri, seperti letusan gunung berapi,
pembakaran bahan bakar fosil, aktifitas transportasi dan industri, dan lain-lain.
Pencemaran udara ambien khususnya di perkotaan saat ini semakin memprihatinkan,
seiring dengan bencana alam yang semakin sering terjadi serta meningkatnya aktifitas
manusia dari sektor transportasi, industri, perkantoran, dan perumahan yang memberikan
kontribusi cukup besar terhadap pencemaran udara. Udara yang tercemar dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, terutama gangguan pada organ paru-paru, pembuluh
darah, dan iritasi mata dankulit. Hampir tidak ada kota di dunia ini yang dapat
menghindar dari pencemaran udara.
Kualitas udara ambien merupakan tahap awal untuk memahami dampak negatif
cemaran udara terhadap lingkungan. Kualitas udara ambien ditentukan oleh:
1. Kuantitas emisi cemaran dari sumber cemaran
2. Proses transportasi, konversi dan penghilangan cemaran di atmosfer.
3. Kualitas udara ambien akan menentukan dampak negatif pencemaran udara
terhadap kesehatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat (tumbuhan, hewan,
material dan IainIainnya).

Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau
komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam udara ambien. Selanjutnya dijelaskan juga tentang sumber
pencemar udara adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan
pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
(Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999).

Tabel 1. Parameter Baku Mutu Udara Ambien


pada Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999
Saat ini Indeks standar kualitas udara yang dipergunakan secara resmi di
Indonesia adalah
Indek Standar Pencemar Udara (ISPU), hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor: KEP 45 / MENLH / 1997 Tentang Indeks Standar Pencemar
Udara. Dalam keputusan tersebut yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan
diantaranya : bahwa untuk memberikan kemudahan dari keseragaman informasi kualitas
udara ambien kepada masyarakat di lokasi dan waktu tertentu serta sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara perlu
disusun Indeks Standar Pencemar Udara. Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka
yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di
lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia,
nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.

Indeks Standar Pencemar Udara ditetapkan dengan cara mengubah kadar


pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi. Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) (bahasa Inggris: Air Pollution Index, disingkat API) adalah
laporan kualitas udara kepada masyarakat untuk menerangkan seberapa bersih atau
tercemarnya kualitas udara kita dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan kita
setelah menghirup udara tersebut selama beberapa jam atau hari. Penetapan ISPU ini
mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan,
bangunan, dan nilai estetika. ISPU ditetapkan berdasarkan 5 (lima) pencemar utama,
yaitu: karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), Ozon
permukaan (O3), dan partikel debu (PM10). Di Indonesia ISPU diatur berdasarkan
Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor KEP
107/Kabapedal/11/1997.

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah konsep indeks yang dijadikan
rujukan kategori udara ambien. Udara ambien dalam atmosfer akan terus mengalami
perubahan akibat aktivitas kehidupan manusia maupun kejadian alamiah. Setiap aktivitas
akan menghasilkan sampah atau hasil sampingan yang masuk kembali ke dalam sistem
atmosfer. Nilai ISPU tidak memiliki satuan, tetapi merupakan angka absolut yang
menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di suatu tempat. Penetapan kriteria ISPU
didasarkan pada dampaknya terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk
hidup lainnya. Data Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian
Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien Otomatis. Sedangkan Parameter Indeks
Standar Pencemar Udara meliputi:

1. Partikulat (PM10)
2. Karbon monooksida (CO)
3. Sulfur dioksida (SO2).
4. Nitrogen dioksida (NO2).
5. Ozon (O3)

Tabel 2. Parameter-Parameter Dasar Untuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

dan Periode Waktu Pengukuran

Catatan :

1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata tertinggi


waktu pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data ratarata sebelumnya
(24 jam sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu Indonesia
bagian Barat (WIB).
4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan (Pukul 15.00
tanggal (n) sampai pukul 15.00 tanggal (n+1 ) )
Tabel 3. Indeks Standar Pencemar Udara
Keterangan :

1. Pada 25 0C dan 760 mm Hg


2. Tidak ada indeks yang dapat dilaporkan pada konsentrasi rendah dengan jangka
paparan yang pendek.

Tabel 4. Pengaruh Indeks Standar Pencemar Udara


Untuk Setiap Parameter Pencemar

B. Baku Mutu Udara Emisi


Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara, sehingga tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien. Semua kegiatan yang membuang
limbah gas ke udara ditetapkan mutu emisinya dalam pengertian mutu emisi dari limbah
gas yang dibuang ke udara tidak melampaui baku mutu udara emisi yang telah ditetapkan
serta tidak menyebabkan turunnya kualitas udara. Menurut Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995, tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak untuk jenis kegiatan Industri besi dan baja, Industri pulp dan kertas,
Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara, serta Industri Semen.
Tabel 5. Baku Mutu Emisi Untuk Industri Pulp dan Kertas

C. Nilai Ambang Batas Kualitas Udara Dalam Ruang


Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang
diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengdlami gangguan
penyakit atau menderita karena zat tersebut. Nilai Ambang Batas yang selanjutnya
disingkat NAB adalah standar factor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk
waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
1. Kualitas Udara dalam Ruang Perkantoran
Berikut adalah persyaratan minimum kualitas udara dalam ruangan perkantoran
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 48 Tahun 2016
Tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran.
Tabel 6. Persyaratan Minimum Kualitas Fisik Udara
dalam Ruangan Perkantoran

2. Kualitas Udara dalam Ruang Rumah Sakit


Menurut Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004 tentang Persyaratan
kesehatan lingkungan rumah sakit, standard kualitas udara ruang rumah sakit
adalah : Tidak berbau (terutama bebas dari H2S dan amonia), Kadar debu
(particulate matter) berdiameter kurang dari 10 micron dengan rata- rata
pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak melebihi 150 µg/ m3, dan tidak mengandung
debu asbes. Indeks kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara ruang rumah sakit
yaitu konsentrasi gas dalam udara tidak melebihi konsentrasi maksimum seperti
dalam tabel berikut:

Tabel 7. Indeks Kadar Gas dan Bahan Berbahaya

dalam Udara Ruang Rumah Sakit

Menurut Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004 tentang Persyaratan


kesehatan lingkungan rumah sakit, standard kualitas udara ruang rumah sakit
adalah tidak berbau (terutama bebas dari H2S dan amonia), kadar debu
(particulate matter) berdiameter kurang dari 10 micron dengan rata- rata
pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak melebihi 150 µg/ m3, dan tidak mengandung
debu asbes, serta Indeks kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara ruang rumah
sakit Konsentrasi gas dalam udara tidak melebihi konsentrasi maksimum.
Sedangkan persyaratan penghawaan untuk masing- masing ruang atau unit adalah
sebagai berikut:

a. Ruang- ruang tertentu seperti ruang operasi, perawatan bayi, laboratorium,


perlu mendapat perhatian yang khusus karena sifat pekerjaan yang terjadi
di ruang- ruang tersebut.
b. Ventilasi ruang operasi harus dijaga pada tekanan lebih positif sedikit
minimum 0,1 mbar) dibandingkan ruang- ruang lain di rumah sakit.
c. Sistem suhu dan kelembaban hendaknya didesain sedemikian rupa
sehingga dapat menyediakan suhu dan kelembaban sesuai standard.

TEKNIK PENGENDALIAN KUALITAS UDARA

A. Sistem Ventilasi
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam ruangan dan
pengeluaran
udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis. Tersedianya
udara
segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan manusia, sehingga apabila suatu
ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan kepadatan hunian yang tinggi
(over crowded) maka akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 03-6572-2001), ventilasi bertujuan
menghilangkan gas-gas yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh keringat dan
sebagainya dan gas-gas pembakaran (CO2) yang ditimbulkan oleh pernafasan dan proses-
proses pembakaran, menghilangkan uap air yang timbul sewaktu memasak, mandi dan
sebagainya, menghilangkan kalor yang berlebihan, serta membantu mendapatkan
kenyamanan termal.
Prinsip utama dari ventilasi adalah menggerakan udara kotor dalam rumah atau di
tempat kerja, kemudian menggantikannya dengan udara bersih. Sistem ventilasi menjadi
fasilitas penting dalam upaya penyehatan udara pada suatu lingkungan kerja. Menurut
ILO (1991), ventilasi digunakan untuk memberikan kondisi dingin atau panas serta
kelembaban di tempat kerja. Fungsi lain adalah untuk mengurangi konsentrasi debu dan
gas-gas yang dapat menyebabkan keracunan, kebakaran dan peledakan. Secara umum
kita mengenal beberapa bentuk ventilasi
1. Ventilasi Alami (Natural Ventilation)
Ventilasi alamiah, merupakan ventilasi yang terjadi secara alamiah,
dimana udara masuk kedalam ruangan melalui jendela, pintu, atau lubang angin
yang sengaja dibuat. Merupakan suatu bentuk pertukaran udara secara alamiah
tanpa bantuan alat-alat mekanik seperti kipas. Ventilasi alami masih dapat
dimungkinkan membersihkan udara selama pada saat ventilasi terbuka terjadi
pergantian dengan udara yang segar dan bercampur dengan udara yang kotor yang
ada dalam ruangan. Ventilasi alami terjadi karena adanya perbedaan tekanan di
luar suatu bangunan gedung yang disebabkan oleh angin dan karena adanya
perbedaan temperatur, sehingga terdapat gasgas panas yang naik di dalam saluran
ventilasi.
Sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 03-6572-2001), Ventilasi
alami yang disediakan harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau
sarana lain yang dapat dibuka, dengan jumlah bukaan ventilasi tidak kurang dari
5% terhadap luas lantai ruangan yang membutuhkan ventilasi; dan arah yang
menghadap ke halaman berdinding dengan ukuran yang sesuai, atau daerah yang
terbuka keatas, teras terbuka, pelataran parkir, atau sejenis; atau ruang yang
bersebelahan. Agar udara dalam ruangan segar persyaratan teknis ventilasi dan
jendela sebagai berikut:
a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan dan luas
lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% luas
lantai, dengan tinggi lubang ventilasi minimal 80 cm dari langit-langit.
b. Tinggi jendela yang dapat dibuka dan ditutup minimal 80 cm dari lantai
dan jarak dari langit-langit sampai jendela minimal 30 cm.
c. Udara yang masuk harud udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap
pembakaran sampah, knaolpot kendaraan, debu dan lain-lain.
d. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang
hawa berhadapan antara dua dinding ruangan. Aliran udara ini diusahakan
tidak terhalang oleh barang-barang seperti almari, dinding, sekat-sekat,
dan lain-lain.
e. Kelembaban udara dijaga antara 40% s/d 70%
2. Ventilasi Mekanik (Mechanical Ventilation)
Ventilasi Mekanik, merupakan ventilasi buatan dengan menggunakan:
a. AC (Air Conditioner), yang berfungsi untuk menyedot udara dalam ruang
kemudian disaring dan dialirkan kembali dalam ruangan.
b. Fan (Baling-baling) yang menghasilkan udara yang dialirkan ke depan.
c. Exhauser, merupakan baling-baling penyedot udara dari dalam dan luar
ruangan untuk proses pergantian udara yang sudah dipakai.
1) Ventilasi Umum (General Ventilation)
General ventilation atau ventilasi umum biasanya
digunakan pada tempat kerja dengan emisi gas yang sedang dan
derajat panas yang tidak begitu tinggi. Jenis ventilasi ini biasanya
dilengkapi dengan alat mekanik berupa kipas penghisap. Sistem
kerja yang dibangun udara luar tempat kerja di hisap dan di
hembuskan oleh kipas kedalam rungan bercampur dengan bahan
pencemar sehingga terjadi pengenceran. Kemudian udara kotor
yang telah diencerkan tersebut dihisap dan di buang keluar.
2) Ventilasi pengeluaran setempat (Local Exhaust Ventilation)
Jenis ventilasi ini dipakai dengan pertimbangan teknis,
bahwa bahan pencemar berupa gas, debu dan vapours yang ada
pada tempat kerja dalam konsentrasi tinggi tidak dapat dibuang
atau diencerkan hanya dengan menggunakan ventilasi umum
apalagi ventilasi alami, namun harus dengan ventilasi pengeluaran
setempat yang diletakan tepat pada sumber pencemar. Bahan
pencemar yang keluar dari proses kerja akan langsung di hisap
oleh ventilasi, sebelum sampai pada tenaga kerja.
3) Comfort Ventilation
Contoh ventilasi ini dengan digunakanyya Air Conditioner
(AC) ada suatu ruangan. Jenis ventilasi ini berfungsi menciptakan
kondisi tempat kerja agar menjadii nyaman, hangat bagi tempat
kerja yang dingin, atau menjadi sejuk pada tempat kerja yang
panas. Sementara pendapat serupa mengatakan, bahwa untuk
memperoleh ventilasi yang baik dapat dilaksanakan dengan cara:

Faktor yang harus diperhatikan dalam membangun sistem


ventilasi, selain bentuk juga harus sangat diperhatikan kekuatan
aliran dan tata letak ventilasi. Letak ventilasi harus sesuai dengan
priciples of dilution ventilation, terutama untuk tempat kerja
dengan resiko paparan bahan kimia.

Teknologi pengendalian pencemaran udara dalam suatu plant atau


tahap proses dirancang untuk memenuhi kebutuhan proses itu atau
perlindungan lingkungan. Teknologi ini dapat dipilih dengan
penerapan susunan alat pengendali sehingga memenuhi
persyaratan yang telah disusun dalam rancangan proses.

Rancangan proses pengendalian pencemaran ini harus dapat


memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam peraturan
pengelolaan lingkungan. Rancangan ini harus mempertimbangkan
faktor ekonomi. Jadi penerapan peralatan pengendalian ini perlu
dikaitkan dengan perkembangan proses produksi itu sendiri
sehingga memberikan nilai ekonomik yang paling rendah baik
untuk instalasi, operasi dan pemeliharaan.

Nilai ekonomik yang dihubungkan dengan biaya produksi ini


masih sering dianggap cukup besar. Penilaian ekonomi yang
dihubungkan dengan kemaslahatan masyarakat kurang ditinjau,
karena analisis ini kurang dapat dipahami oleh pihak industriawan.
Dengan demikian penerapan peraturan harus dilaksanakan dan
diawasi dengan baik, agar penerapan teknologi pengendalian ini
bukan hanya
sekedar memasang alat pengendalian pencemaran udara tetapi
kinerja alat ini tidak memenuhi persyaratan.
Teknologi pengendalian ini perlu dikaji dengan seksama, agar
penggunaan alat tidak berlebihan dan kinerja yang diajukan oleh
pembuat alat dapat dicapai dan memenuhi persyaratan
perlindungan lingkungan. Sistem pengendalian ini harus diawali
dengan
memahami watak emisi senyawa pencemar dan lingkungan
penerima. Teknologi pengendalian yang sempurna akan
membutuhkan biaya yang besar sekali sehubungan dengan dimensi
alat, kebutuhan energi, keselamatan kerja dan mekanisme reaksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan teknologi
pengendalian atau rancangan sistem pengendalian meliputi:

a) Karakteristik gas buang atau efluen


b) Tingkat pengurangan yang dibutuhkan
c) Teknologi komponen alat pengendalian pencemaran
d) Kemungkinan perolehan senyawapencemar yang bernilai
ekonomik.

Karakteristik efluen merupakan faktor penentu dan


tidak dapat digunakan untuk penyelesaian semua jenis
pengendalian pencemaran. Jadi karakteristik fisik dan kimia
efluen dan lingkungan penerima harus di pahami dengan baik.
Kemungkinan fenomena sinergetik yang dapat berlangsung
harus dapat di perkirakan, jika perubahan karakteristik atau
komposisi effluent atau proses produksi dapat berlangsung
dalam waktu yang akan datang.

B. Pengendalian Emisi
Adanya pengaruh buruk akibat terjadinya pencemaran udara, maka berbagai
tuntutan untuk memperbaiki kualitas udara sekarang mulai timbul dikarenakan adanya
bahaya di bidang kesehatan, lingkungan hidup dan di bidang ekonomi. Tuntutan dan
tekanan dari masyarakat yang mulai sadar dengan udara yang bersih juga mempengaruhi
diterbitkannya perundangan dan teknik-teknik pengendalian udara. Semuanya itu akan
bermuara pada tingkatan udara yang bersih. Untuk menentukan tingkat pengendalian
emisi yang dapat memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku diperlukan
pengendalian secara teknis. Apakah suatu design pengendalian pencemaran emisi
dianggap efisiensi sangat tergantung dari emisi yang dapat dikendalikan.
Sebelum menentukan rancangan design pengendalian emisi dari cerobong, ada
lima hal yang perlu diperhatikan. Kelima faktor tersebut adalah:
1. Sifat-sifat fisik dan kimia emisi yang dikeluarkan dari cerobong harus diukur,
yang meliputi ukuran partikel , density, ruang, ukuran spektrum, komposisi kimia
dan corrosiveness.
2. Karakteristik dari Carrier exhaust gas termasuk didalamnya suhu, kelembaban,
density dan tekanannya.
3. Perkiraan faktor-faktor yang mempengaruhi proses seperti volume aliran,
kecepatan dan konsentrasi particulate gas.
4. Konstruksi alat termasuk di dalamnya adalah pemeliharaan, penggunaannya dan
biaya pembuangannya harus diketahui.
5. Faktor pengoperasian alat termasuk diantaranya pemeliharaan, penggunaannya
dan biaya pemeliharaan harus diketahui.

Baik tidaknya peralatan pengendali emisi sangat tergantung dari mekanisme


operasional, efisiensi peralatan dalam pengendalian emisi, jenis peralatan dan
diameter partikel. Untuk lebih mengetahui jenis-jenis dan karakteristik alat
pengendali emisi akan dijelaskan secara terperinci di bawah ini. Ada tipe/jenis
peralatan yang dapat digunakan untuk pengendalian emisi, yaitu :

1. Mechanical separators;
2. Filtration devices;
3. Wet collector;
4. Electrostattic precipitators;
5. Gas Adsorbers; dan
6. Combustion incinerators.

PENGUKURAN KEBISINGAN
Kebisingan merupakan gelombang longitudinal yang merambat melalui media.
Dalam konteks penyehatan udara, maka kebisingan yang diukur adalah yang merambat
melalui udara. Kebisingan yang kita dengar dapat ditentukan intensitasnya dengan
menggunakan peralatan sound level meter dan prosedur tertentu. Topik berikut ini akan
membahas tentang prosedur pengukuran kebisingan yang dapat menghasilkan data kebisingan
yang akurat. Prosedur pengukuran kebisingan yang akan dibahas mengancu pada Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49/MenLH/111996, tentang Baku Tingkat Kebisingan.
Pengukuran intensitas kebisingan juga dapat dilakukan sesuai dengan Prosedur yang
dikeluarkan oleh SNI, yaitu SNI 7231-2009, tentang Metode Pengukuran Intensitas Kebisingan
di Tempat Kerja.

A. Sumber Kebisingan
Pada umumnya sumber bising di industri berasal dari mesin-mesin pembangkit
tenaga, pesawat dan peralatan-peralatan yang digunakan dalam proses produksi.
Kebisingan timbul akibat penggunaan alat kerja dalam proses kerja diakibatkan adanya
tumbukan atau benturan peralatan kerja yang pada umumnya terbuat dari benda keras
atau logam. Sedangkan kebisingan yang ditimbulkan oleh pergerakan udara, gas, atau
cairan diakibatkan oleh adanya gesekan antara molekul gas/udara tersebut yang
mengakibatkan timbulnya suara atau kebisingan. Seperti yang dikutip oleh Umaryadi
(2006) dari Djamal Thaib (2005), sumber bising dibagi menjadi tiga kelompok antara
lain:
1. Mesin, kebisingan disebabkan mesin yang bergetar karena kurang memadainya
damper dan bunyi mesin itu sendiri karena gesekan atau putaran. Bunyi mesin
sangat brgantung pada:
a. Jumlah silinder
Semakin banyak jumlah silindernya maka akan menyebabkan makin
tingginya bunyi bising yang ditimbulkan
b. Putaran motor
Semakin besar putaran motornya maka semakin tinggi pula tingkat
kebisingannya
c. Berat jenis motor
Semakin besar berat jenis motornya maka semakin tinggi pula tingkat
bisingnya
d. Jumlah daun propeller
Semakin banyak jumlah daun propellernya maka akan semakin tinggi pula
tingkat kebisingannya
e. Umur mesin
Semakin tua umur mesinnya makan akan semakin tinggi pula tingkat
intensitas bising yang timbul
f. Peralatan yang bergetar/berputar untuk melakukan suatu proses kerja,
bunyi yang timbul sebagai efek dari peralatan kerja yang
bergetar/bergesek yang terbuat dari campuran metal
g. Aliran udara atau gas dengan tekanan tertentu keluar melalui outlet
menimbulkan bising. Bila aliran udara terjepit, suara yang keluar akan
keras sekali karena berfrekuensi tinggi
Menurut Slamet (2006), bermacam-macam sumber kebisingan yang merupakan
dampak dari aktivitas berbagai proyek pembangunan dapat dibagi ke dalam empat tipe
pembangunan yaitu:
1. Sumber kebisingan dari tipe pembangunan pemukiman
2. Sumber kebisingan dari tipe pembangunan gedung bukan untuk tempat tinggal
tetap, misalnya untuk perkantoran, gedung umum, hotel, rumah sakit, sekolah dan
lain sebagainya.
3. Sumber kebisingan dari tipe pembangunan industri.
4. Sumber kebisingan dari tipe pekerjaan umum, mislanya jalan, saluran induk air,
selokan induk air, dan lainnya.
Menurut Buchari (2007), sumber bising yang dilihat dari bentuk sumber suara
yang dikeluarkannya ada dua yaitu:
1. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran. Contohnya
sumber bising dan mesin-mesin yang tak bergerak.
2. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis. Contohnya kebisingan yang
timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak di jalan.
Berdasarkan letak sumber suaranya, kebisingan dibagi menjadi (Presetio,1985) :
1. Bising Interior Merupakan bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah
tangga atau mesin-mesin gedung yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi,
alat-alat musik, dan juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang ada di
gedung tersebut seperti kipas angin, mesin kompresor pendingin, pencuci pring,
dan lain-lain.
2. Bising Eksterior
Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut maupun udara, dan
alat-alat konstruksi.

B. Tipe Kebisingan
Menurut suma’ur (1992) tingkat kebisingan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas misalnya mesin, kipas
angin, dapur pijar dan lain-lain
2. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempti misalnya gergaji sirkuler,
katup gas dan lain-lain
3. Kebisingan terputus-putus misalnya lalu lintas, suara pesawat terbang
4. Kebisingan implusif seperti pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam, ledakan
5. Kebisingan implusif berulang misalnya, mesin tempa di perusahaan
Menurut Umaryadi (2006) yang dikutip dari Gabriel (1996), pembagian
kebisingan berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, terdiri dari:
1. Audiable noise (bising pendengaran) adalah bising yang disebabkan oleh
frekuensi bunyi antara 31,5-8000 Hz
2. Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan), adalah bising
yang disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja
3. Implus noise (bising implusf) disebabkan oleh bunyi menyentak seperti pukulan
palu atau ledakan meriam
Sedangkan pembagian kebisingan berdasarkan waktu terjadinya, maka bising
dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Bising kontinyu dalam spectrum luas, contohnya mesin, kipas angin
2. Bising kontinyu spectrum sempit contohnya gergaji, penutup gas
3. Bising terputus-putus contohnya seperti lalu lintas, bunyi pesawat
Berdasarkan skala itensitasnya maka tingkat kebisingan dibagi kedalam sangat
tenang, tenang, sedang, kuat, sangat hiruk-piruk dan menulikan.
Sedangkan menurut Febriani (1999), di lingkungan kerja terdapat berbagai jenis
kebisingan yang sering ditemukan, diantaranya yaiu:
1. Constant (steaady) noise
Adalah kebisingan yang mempunyai sound pressure level konstan atau frekuensi
level relatif kecil
2. Fluctuating noise (non steady noise)
Adalah kebisingan yang mempunyai sound pressure level berfluktuasi bermakna
3. Continous noise
Adalah kebisingan yang terjadi kontinyu dalam suatu waktu tertentu
4. Intermittent noise
Adalah kebisingan yang tidak kontinyu atau teputus-putus dalam satuan waktu
tertentu

C. Nilai Ambang Batas


Menurut surat edaran menteri tenaga kerja, transmigrasi, koperasi No. SE
01/MEN/1978 mendefinisikan bahwa NAB untuk kebisingan ditempat kerja adalah
intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja
tanpa mengakibatkan menurunna daya dengar yang tetap untuk waktu kerja terus-
menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kebisingan di tempat kerja
diusahakan agar lebih rendah dari NAB. Menurut surat edaran menteri tenaga kerja,
transmigrasi dan koperasi tersebut NAB untuk kebisingan ditempat kerja ditetapkan 85
dBA.
Sedangkan ACCGIH (1996) memberikan definisi tentang NAB sebagai kadar
bahan-bahan di udara dalam lingkungan kerja yang merupakan keadaan yang diyakini
bahwa tenaga kerja yang terpapar pada keadaan tersebut dari hari ke hari hampir
semuanya tidak mengalami gangguan kesehatan.
Selain itu Nilai Ambang Batas kebisingan pemerintah pun telah mengeluarkan
Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999. Sedangkan menurut
ACGIH (1996), nilai ambang batas untuk pemajanan kebisingan adalah seperti yang
terdapat pada label yang memiliki kesamaan dengan NAB surat keputusan Menteri
Negara Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999 sebagai berikut:
Tabel 8 NAB menurut ACGIH dan surat keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja
Nomor: KEP-51/MEN/1999

Menurut National Institue For occupational Safety and Health (NIOSH) untuk
melindungi pekerja dari gangguan pendengaran akibat pajama bising di tempat kerja teah
ditetapkan recommended exposure limit (REL) untuk pajanan bisin di tempat kerja, yaitu
85 db(A)-TWA. Pajanan yang senilai atau melebihi level ini dinyatakan sebagai pajanan
yang berbahaya. Berikut ini adalah kombinasi antara level pajanan bising dan durasi yang
tidak boleh memajan pekerja, baik yang sama maupun melebihi.
Tabel 9 Level pajanan bising dan durasi yang tidak boleh memajan pekerja, baik yang
sama maupun melebihi
Peraturan Menteri Kesehatan No. 718/Menkes/Per/Xi/1987 tentang kebisingan
yang berhubungan dengan kesehatan membagi daerah menjadi empat bagian seperti
dalam tabel berikut:
Tabel 10 pembagian zona dan kebisingan yang diperbolehkan

D. Gangguan Akibat Kebisingan


Bising merupakan suara atau bunyi yang mengganggu. Bising dapat
menyebabkan berbagai gangguan terhadap kesehatan manusia. Gangguan lansung bising
terhadap manusia terjadi pada sistem pendengan. Dari sistem pendengaran ini selanjutnya
berpengaruh pada sistem yang lain. Dampak bising terhadap kesehatan dapat
dikelompokkan menjadi
1. gangguan fisiologis,
2. gangguan psikologis,
3. gangguan komunikasi,
4. gangguan keseimbangan, dan
5. gangguan pendengaran.
Ada juga penulis lain yang menggolongkan gangguannya berupa gangguan (1)
auditory, misalnya gangguan terhadap pendengaran dan gangguan (2) non auditory
seperti gangguan komunikasi, ancaman bahaya keselamatan, menurunya performan kerja,
stres dan kelelahan. Lebih rinci dampak kebisingan terhadap kesehatan pekerja dijelaskan
sebagai berikut:
1. Gangguan Fisiologis Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu,
apalagi bila terputusputus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa
peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh
darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan
gangguan sensoris. Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
pusing/sakit kepala. Hal ini disebabkan bising dapat merangsang situasi reseptor
vestibular dalam telinga dalam yang akan menimbulkan evek pusing/vertigo.
Perasaan mual,susah tidur dan sesak nafas disbabkan oleh rangsangan bising
terhadap sistem saraf, keseimbangan organ, kelenjar endokrin, tekanan darah,
sistem pencernaan dan keseimbangan elektrolit.
2. Gangguan Psikologis Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman,
kurang konsentrasi, susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam
waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung,
stres, kelelahan dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi Gangguan komunikasi biasanya disebabkan oleh masking
effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang kurang jelas) atau gangguan
kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak.
Gangguan ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan
terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya. Gangguan
komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan seseorang.
4. Gangguan Keseimbangan Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan
berjalan di ruang angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan
fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.
5. Gangguan pada pendengaran Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah
kerusakan pada indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini
telah diketahui dan diterima secara umum dari zaman dulu. Mula-mula efek
bising pada pendengaran adalah sementara dan pemuliahan terjadi secara cepat
sesudah pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila bekerja terus-
menerus di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan tidak dapat normal
kembali, biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian makin meluas
kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya digunakan
untuk percakapan.
Macam-macam gangguan pendengaran (ketulian), dapat dibagi atas:
1. Tuli sementara (Temporaryt Treshold Shift =TTS) Diakibatkan pemaparan
terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan mengalami penurunan
daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan terlalu
singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya
dengarnya akan pulih kembali.
2. Tuli Menetap (Permanent Treshold Shift =PTS) Tuli menetap adalah gangguan
pendengaran Sensorineural (syaraf) yang terjadi akibat pajanan bising yang keras
dalam jangka waktu yang lama, kontinyu sehingga akan mengakibatkan
kerusakan secara mekanik dan metabolik pada organ manusia khususnya organ
telinga. Dampak yang terjadi bersifat menetap tidak memungkinkan kembali pada
fungsi pendengaran normal karena merusak sel sensoris pendengaran manusia (sel
rambut luar rumah siput). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut diperlukan
upaya pengenalan dini kelainan tersebut guna melindungi fungsi pendengaran
mereka yang terpajan bising.
3. Trauma Akustik Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian
atau seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal
atau beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-
ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat
memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris
pendengaran.
4. Prebycusis Penurunan daya dengar sebagai akibat pertambahan usia merupakan
gejala yang dialami hampir semua orang dan dikenal dengan prebycusis
(menurunnya daya dengar pada nada tinggi). Gejala ini harus diperhitungkan jika
menilai penurunan daya dengar akibat pajanan bising ditempat kerja.
5. Tinitus Tinitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan
pendengaran. Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging. Orang yang
dapat merasakan tinitus dapat merasakan gejala tersebut pada saat keadaan hening
seperti saat tidur malam hari atau saat berada diruang pemeriksaan audiometri.
Menurut Achmadi (1993) gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula
timbul akibat bising. Pada awalnya fungsi pendengaran tak terganggu, pembicaraan atau
instruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas, sehingga efeknya bisa lebih
buruk misalnya kecelakaan, pembicaraan terpaksa berteriak yang memerlukan tenaga
ekstra dan meanmbah kebisingan. Gangguan fisiologis yang terakumulasi dalam jangka
waktu yang lama dapat menimbulkan psikologi berupa stress, gangguan jiwa, sulit
berkonsentrasi/berpikir dan lain sebagainya.
Menurut Arifiani (2004), efek fisiologis kebisingan terhadap kesehatan manusia
dapat dibedakan dalam efek jangka pendek dan jangka panjang. Efek jangka pendek
berlangsung sampai beberapa menit setelah pajanan terjadi, sedangkan efek jangka
panjang terjadi sampai beberapa jam, hari ataupun lebih lama. Efek jangka panjang dapat
terjadi akibat efek kumulatif dari stimulus yang berulang.
1. Efek jangka pendek
Efek jangka pendek yang terjadi dapat berupa refleks otot-otot berupa kontraksi
otot-otot, refleks pernapasan berupa takipneu, dan respon sistem kardiovaskuler
berupa akikardia, meningkatnya tekanan darah, dan sebagainya. Namun dapat
pula terjadi respon pupil mata berupa miosis, respon gastrointensital yang dapat
berupa gangguan dismotilitas sampai timbulnya keluhan dispepsis serta terjadi
pecahnya organ-organ tubuh selain gendang telinga (yang paling rentan adalah
paru-paru)
2. Efek jangka panjang
Efek jangka panjang terjadi akibat adanya pengaruh hormonal. Efek ini dapat
berupa gangguan homeotasis tubuh karena hilangnya keseimbangan simpatis dan
arasimpatis yang seacra klinis dapat berupa keluhan psikomotorik akibat
gangguan saraf otonom, serta aktivitas hormon kelenjar adrenal seperti hipertensi,
distrimia jantung dan sebagainya.
Pengaruh utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan indera
pendengar yang menyebabkan ketulian progresif. Mula-mula efek kebisingan pada
pendengaran bersifat sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah
dihentikannya kerja di tempat bising. Tetapi kerja terus-menerus di tempat bising akan
mengakibatkan kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak pulih kembali, biasanya
bermula pada frekuensi-frekuensi sekitar 4000 Hz dan kemudian berlanjut meluas pada
frekuensi sekitarnya dan pada akhirnya megenai frekuensi yang digunakan untuk
percakapan (Suma’mur, 1992).

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi tuli akibat bising


Menurut Dwiatmo (2005) yang dikutip dari Poernomo (1996), banyak hal yang
mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain:
1. Intensitas bising
Makin tinggi intensitasnya maka makin besar pula resiko terjadinya penurunan
pendengaran
2. Frekuensi bising
Makin tinggi frekuensinya makin besar kontribusimya terhadap penurunan
pendengaran.
3. Jenis kebisingan
Kebisingan yang kontinyu besar kemungkinannya untuk menyebabkan terjadinya
gangguan penurunan pendengaran daripada kebisingan yang terputus-putus
4. Lamanya pajanan yang dialami setiap hari
Makin lama pemaparan makin besar resiko terhadap terjadinya gangguan
penurunan pendengaran
5. Masa kerja
Makin lama masa kerjanya makin besar resiko terhadap terjadinya gangguan
penurunan pendengaran
6. Kerentanan individu
Tidak semua individu yang terpapar dengan kebisingan pada kondisi yang sama
akan mengalami perubahan nilai ambang pendengaran yang sama pula. Hal ini
disebabkan karena respon tiap-tiap individu terhadap kebisingan berlainan,
tergantung dari kerentanan. Belum didapatkan metode untuk mengdentifikasi
kerentanan individu terhadap pemaparan kebisingan
7. Umur
Biasanya sensifitas pendengaran berkurang dengan bertambahnya umur.

F. Instrumen Pengukur Kebisingan


Instrumen pengukur kebisingan disebut Sound Level Meter (SLM). Terdapat
banyak nama, jenis, dan model SLM yang dijual di pasaran, namun secara umum SLM
dibagi menjadi dua jenis yaitu SLM manual atau biasa dan SLM otomatis atau integrating
SLM. Harga integrating SLM biasanya jauh lebih mahal karena kemampuan alat tersebut
dalam merekam dan mengolah data rekaman suara secara otomatis. Adapun SLM
biasahanya berfungsi menangkap suara secara current time tanpa fungsi record dan
processing sehingga datanya harus diolah lagi sebelum dibandingkan dengan bakumutu.
Berbeda dengan kebisingan di industri yang bersifat tetap atau kontinyu (steady noise),
kebisingan di lingkungan bersifat lebih fluktuatif (intermitten) dan bervariasi menurut
waktu (time varying noise). Oleh sebab itu hal terpenting dalam pengukuran kebisingan
lingkungan adalah penggunaan respon fast saat pengukuran. Secara umum langkah-
langkah yang diperlukan dalam penggunaan SLM sebagai berikut:
1. Mengecekdaya baterai dengan menghidupkan alat memperhatikan indicator
baterai
pada layar SLM.
2. Melakukan kalibrasi internal dengan cara menekan tombol cal, kemudian
mencocokkan nilai yang tertera pada layar dengan nilai acuan di atasnya, atau
3. Melakukan kalibrasi eksternal dengan cara menghubungkan mikrofon dengan
kalibrator yang memiliki intensitas tertentu, kemudian menyesuaikan nilai yang
tertera pada layar SLM dengan nilai kebisingan kalibrator
4. Mengatur respon jaringan dengan menekan tombol fast/slow (pilih respon fast
untuk pengukuran bising lingkungan)
5. Mengatur mode jaringan dengan menekan tombol A/C/P (pilih mode A)
6. Mengatur rentang pengukuran sesuai estimasi tingkat kebisingan yang akan
diukur
7. Memilihmode waktu yang digunakan dengan menekan menu pada integrating
SLM (10 menit untuk pengukuran bising lingkungan)
8. Memilih mode pengukuran dengan menekan tombol mode pada integrating SLM
(Leq, Le, Lmax, none)
9. Untuk SLM biasa waktu pengukuran ditentukan secara manual sedangkan Leq
dihitung dari 120 data yang terkumpul selama 10 menit.
G. Metode Pengukuran Kebisingan
Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Cara Sederhana
Cara sederhana adalah cara penentuan intensitas kebisingan menggunakan alat
berupa Sound Level Meter(SLM), dan stopwatch. Pengukuran tingkat tekanan
bunyi dB (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan
dilakukan setiap 5 (lima) detik. Data yang diperoleh langsung dapat diolah dan
intensitas kebisingan saat dilakukan pengukuran tersebut dapat sgera diketahui.
2. Cara Langsung (Jelaskan Artinya)
Cara langsung adalah cara mengukur intensitas kebisingan menggunakan
sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran
LTM5, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama
10 (sepuluh) menit. Pengukuran tersebut dilakukan secara berlanjut. Waktu
pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari
tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00 –
22.00 dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00 – 06.00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan
menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam
hari paling sedikit 3 waktu pengukuran

H. Pengendalian kebisingan
Menurut Mulia (2005), pengendalian kebisingan pada sumbernya dapat melalui
pemberlakuan peraturan yang melarang sumber bising (misalnya mesin pabrik)
mengeluarkan bunyi dengan tingkat kebisingan yang tinggi. Penempatan penghalang
(barrier) pada jalan transmisi dapat dilakukan dengan membuat penghalag (barrier) pada
jalan transmisi diantara sumber bising dengan masyarakat yang terpapar. Sebagai contoh,
penanaman pohon bambu disekitar kawasan industri dapat mereduksi bising yang
diterima masyarakat. Ataupun proteksi kebisingan pada masyarakat yang terpapar dapat
dilakukan dengan penggunaan sumbat telinga pada masyarakat yang berada dekat
kawasan industri yang menghasilkan kebisingan. Berdasarkan pendapat Chandra (2007),
bahwa kebisingan dapat dikendalikan dengan berbagai cara, antara lain :
1. Pengurangan sumber bising Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan
peredam suara pada sumber kebisingan, melakukan modifikasi mesin atau
bangunan, dan mengganti mesin dan menyusun perencanaan bangunan baru.
2. Penempatan penghalang pada jalan transmisi suara Isolasi antara ruangan kerja
dengan ruangan mesin merupakan upaya yang cepat dan baik untuk mengurangi
kebisingan. Agar efektif, harus disusun rencana yang sebaik mungkin dan bahan
yang dapat menyerap suara agar tidak menimbulkan getaran yang kuat.
3. Perlindungan dengan sumbat atau tutup telinga biasanya lebih efektif dari
penyumbat telinga. Alat seperti ini harus diseleksi agar terpilih yang paling tepat.
Alat semacam ini dapat mengurangi intensitas kebisingan sampai sekitar 20-25
dB. Selain itu, sebagai akibat penggunaan alat tersebut, upaya perbaikan
komunikasi harus dilakukan. Masalah utama pemakaian alat perlindungan
pendengaran adalah kedisiplinan pekerja di dalam menggunakannya. Masalah ini
dapat diatasi dengan menyelenggarakan pendidikan pekerja tentang kegunaan alat
itu.
Menurut Suma’mur (2009) kebisingan dapat dikendalikan dengan :
1. Pengurangan kebisingan pada sumbernya
Pengurangan kebisingan pada sumbernya misalnya dengan menempatkan
peredam pada sumber getaran, tapi umumnya hal itu dilakukan dengan melakukan
riset dan membuat perencanaan mesin atau peralatan kerja yang baru. Membuat
desain dan memproduksi mesin baru dengan standar intensitas yang lebih baik
sangat tergantung pada permintaan para usahawan sebagai pengguna mesin
tersebut kepada pabrik peodusennya dengan memintakan persyaratan kebisingan
terhadap mesin serupa yang telah digunakan sebelumnya.
2. Penempatan pada jalan transmisi
Isolasi tenaga kerja atau mesin atau unit operasi adalah upaya segera dan baik
dalam upaya mengurangi kebisingan. Untuk itu perencanaan harus matang dan
material yang dipakai untuk isolasi harus mampu menyerap suara. Penutup atau
pintu ke ruang isolasi harus mempunyai bobot yang cukup berat, menutup pas
betul lobang yang ditutupnya dan lapisan dalamnya terbuat dari bahan yang
menyerap suara agar tidak terjadi getaran yang lebih hebat sehingga merupakan
sumber kebisingan.
3. Proteksi dengna sumbat atau tutup telinga
Tutup telinga biasanya lebih efektif dari pada sumbat telinga dan dapat lebih besar
menurunkan intensitas kebisingan yang sampai ke syaraf pendengar. Alat
perlindungan diri atau sumbat telinga harus diseleksi, sehingga dipilih yang tepat
ukurannya bagi pemakainya. Alat –alat ini dapat mengurangi intensitas
kebisingan sekitar 10 – 25 dB. Dengan memakai sumbat atau tutup telinga,
perbaikan cara komunikasi harus diperbaiki sebagai akibat terdamnya intensitas
suara pembicaraan yang masuk kedalam telinga. Problematik utama pemakaian
alat proteksi pelindung pendengaran adalah mendidik tenaga kerja agar konsisten
patuh menggunakannya.
4. Pelaksaan waktu paparan bagi intensitas di atas NAB
Untuk intensitas kebisingan yang melebihi NABnya telah ada standar waktu
paparan yang diperkenankan sehingga masalahnya adalah pelaksanaan dari
pengaturan waktu kerja sehingga memnuhi ketentuan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai