Anda di halaman 1dari 24

1

BAB 7 : SISTEM SYARAF OTONOM


Sisterm syaraf otonom (SSO) berfungsi untuk menggerakkan aktivitas
involunter tubuh (termasuk didalamnya adalah sistem homeostasis kardiovaskuler,
saluran pencernaan, dan keseimbangan regulasi suhu). Sistem syaraf otonom
dibagi menjadi dua cabang utama : sistem syaraf simpatis (SNS), dimana ia
mengontrol respons lari atau berkelahi, dan sistem syaraf parasimpatis (PNS),
dimana ia mengatur fungsi keseimbangan tubuh termasuk fungsi digestif dan
genitourinari. Aktivitas SNS dan PNS sangat penting untuk kelangsungan hidup,
dan baik keadaan sakit meupun keadaan stress saat operasi dapat menyebabkan
perubahan pada ANS yang bisa memberikan potensial yang serious pada tubuh.
Karena itu, pasien yang dibawah pengaruh anestesi perlu memodifikasi respons
suhu tubuh otonomnya untuk mempertahankan keamanan pasien. Anestesiologi
kontemporer memiliki banyak obat-obatan yang ia berikan untuk menaikkan
aktivitas ototnom, akan tetapi, untuk menggunakan bat-obatan ini secara efektif,
maka pemahaman kita pada fisiologi dan antomi sistem syaraf otonom sangatlah
diperlukan.

ANATOMI SISTEM SYARAF OTONOM
Sistem syaraf simpatis
Serat paraganglion SSO berasal dari regio thoracolumbar spinal cord (gambar 7-
1). Badan sel dari neuron-neuron ini berda pada gray matter dan serat syarafnya
berlanjut hingga ganglia berpasangan sepanjang rantai simpatis, kemudian
berbelok ke lateral pada kolumna vertebralis, atau ia menuju pleksus distal tidak
berpasangan (yaitu pleksus celiac atau mesenterik). Serat simpatis preganglion
tidak hanya bersinapsis pada ganglion pada level asalnya dia spinal cord, namun
ia juga dapat bersinapsis diatas dan dibawah ganglia pasangannya. Karena itu,
2

respons simpatik yang terjadi tidak memiliki batas yang jelas pada segmen dimana

Gambar 7-1 representasi skematis sistem syaraf otonom berdasarkan innverasi
fungsional pada organ efektor perifernya serta asal anatomis dari nervus otonom
perifer dari medula spinalis. Sekalipun kedua rantai ganglia simpatis paravertebral
ada, innervasi simpatis menuju organ efektor perifer hanya tampak disebelah
kanan dari gambar ini saja, sementara itu innervasi parasimpatis pada organ
efektor perifer juga terjadi pada sisi kiri. Angka romawi pada nervus yang berasal
dari regio tectal batang otak menunjukkan nervus kranialis yang memberikan efek
3

parasimpatis pada organ efektornya di daerah kepala, leher, dan batang tubuh.
(dari Ruffolo R. Fisilogi dan Biokimiawi sistem syaraf otonom perifer. In
Wingard L, Brody T, Larner J, et al (eds). Human Pharmacology: Molecular to
Clinical. St. Louis, Mosby-Year Book, 1991, p 77.)

Gambar 7-2 Diagram skematis sistem syaraf otonom perifer. Serat preganglion
dan postganglion sistem syaraf parasimpatik melepaskan asetilkolin (Ach) sebagai
neurotransmitter. Serat postganglionik sistem syaraf simpatik melepaskan
norepinefrin sebagai neurotransmitternya (pengecualian berlaku pada serat di
kelenjar keringat, yang melepaskan ACh). (dikutip dari Lawson NW, Wallfisch
HK. Cardiovascular pharmacology: A new look at the pressors. pada Stoelting
RK, Barash J [eds]. Advances in Anesthesia. Chicago, Year Book Medical
Publishers, 1986, halaman 195-270.)
4


Gambar 7-3 penggambaran skematik pada ujung syaraf simpatik postganglionik.
Pelepasan neurotransmitter norepinefrin (NE) dari ujung syaraf menghasilkan
stimulasi reseptor postsinaptik, dimana ia diklasifikasikan menjadi a1, b1, dan b2.
Stimulasi reseptor presinaptik a2 menghasilkan inhibisi pelepasan NE dari ujung
nervus. (diadaptasi dari Ram CVS, Kaplan NM: Alpha- and beta-receptor
blocking drugs in the treatment of hypertension. In Harvey WP [ed]. Current
Problems in Cardiology. Chicago, Year Book Medical Publishers, 1970.)
stimulusnya berasal, sebab responsnya itu bisa diperbesar atau malah melemah.
Neuron-neuron postganglion pada SSO kemudian berjalan menuju organ target,
karena itu secara serat-serat ganglion lebih pendek karena ganglia simpatik
umumnya tertutup terhadap sistem syaraf pusat (SSP), dan serat-serat
postganglionik berjalan lebih panjang untuk menginnervasi organ effektornya
(gambar 7-2).
Neurotransmintter yang dilepaskan pada ujung terminal neuron simpatik
preganglionik adlaah asetilkolin (Ach), dan reseptor kolinergik pada neruon
postganglioniknya adalah sejenis reseptor nikotinik. Norepinefrin adalah
neurotransmitter yang dilepaskan pada ujung terminal dari neuron postganglionik
pada sinapsisnya dengan organ target (gambar 7-3). Neurotransmitter klasik pada
sistem syaraf pussat adalah epinefrin dan dopamin. Sebagai tambahan, co-
transmitter, seperti adenosine triphosphate (ATP) dan neuropeptida Y, melakukan
5

modulasi terhadap aktivitas simpatik. Norepinefrin dan epinefrin terikat pada
reseptor postsinaptis, termasuk dalam reseptor ini adalah reseptor a1-, b1-, b2- dan
b3-. Ketika norepinefrin terikat pada reseptor a2, reseptor ini terletak pada
presinaptik pada terminal syaraf simpatis postganglionik, norepinefrin berikut
yang dilepaskan mengalami penurunan (feedback negatif). Dopamin (D) terikat
pada reseptor postsinaptik atau disebut juga reseptor D2 di presinaptik.

Gambar 7-4 Biosintesis norepinefrin dan epinefrin pada ujung syaraf simpatis
(dan medulla adrenalis). A, sudut pandang dari molekul. B, proses enzimatik.
(dari Tollenaere JP. Atlas of the Three-Dimensional Structure of Drugs.
Amsterdam, Elsevier North-Holland, 1979, seperti yang dimodifikasi oleh
6

Vanhoutte PM. Adrenergic neuroeffector interaction in the blood vessel wall. Fed
Proc 37:181, 1978.)
Neurotransmitter simpatis disintesis dari tyrosin pada ujung syaraf simpatik
postganglion (gambar 7-3). Batas kecepatan pembentukannya tergantung dari
perubahan tyrosin menjadi dihydroxyphenylalanine (DOPA), yang dikatalisasi
oleh enzim tyrosine hydroxylase. DOPA kemudian dikonversi menjadi dopamin
dan, ketika ia sudah berada didalam vesikel didalam terminal syaraf, ia kemudian
mengalami beta-hydroxilasi menjadi norepinefrin. Pada medulla adrenalis,
norepinefrin dimetilasi menjadi epinefrin. Neurotransmitter kemudian disimpan
didalam vesikel hingga nervus postganglion distimulasi. Vesikel ini kemudian
bersatu dengan membran sel dan melepaskan isinya menuju sinaps (gambar 7-5).
Secara umum, 1% dari keseluruhan total norepinefrin dilepaskan pada setiap
proses depolarisasi, sehingga terdapat banyak fungsi yang tersimpan. Norepinefrin
kemudian berikatan pada reseptor adrenergik pre- dan post-sinaptik. Reseptor
postsinaptik kemudian mengaktifkan sistem penyampai pesan kedua pada sel
post-sinaptik melalui aktivitas protein-terkait-G. Ketika norepinefrin dilepaskan
dari reseptor, kebanyakan diambil secara aktif oleh terminal syaraf presinaptik dan
ditransportasikan untuk disimpan didalam vesikel agar dapat digunakan ulang.
Norepinefrin yang tidak melalui proses pengambilan ulang, akan berjalan menuju
sirkulasi untuk kemudian di metabolisme oleh mono-amine oxidase (MAO) atau
catechol-O-methyltransferase (COMT) enzim dalam darah, hati, atau ginjal.
Sistem syaraf Parasimpatik
Sistem syaraf simpatis berasal dari nervus cranialis III, VII, IX dan X, juga
berasal dari segmen sakral (lihat gambar 7-1). Berbeda dengan ganglia pada SNS,
ganglia pada PNS berada pada posisi tertutup terhadap (atau bahkan didalam)
organ targetnya (lihat gambar 7-2). Seperti halnya SNS, nervus terminalis
preganglionik melepaskan Ach menuju sinaps, dan sel postganglionik berikatan
dengan Ach melalui reseptor nikotinik. Nervus terminal postganglionik kemudian
melepaskan Ach menuju sinaps yang berbagi dengan sel target organnya.
7


Gambar 7-5 Pelepasan dan reuptake norepinefrin pada ujung syaraf simpatik.
Aad : aromatic L-amino decarboxylase; DbH, dopamine b-hydroxylase; dopa, L-
dihydroxyphenyalanine; NE, norepinephrine; tyr hyd, tyrosine hydroxylase; siklus
solid, karier aktif. (dari Vanhoutte PM. Adrenergic neuroeffector interaction in the
blood vessel wall. Fed Proc 37:181, 1978, as modified by Shepherd. J, Vanhoutte
P. Neurohumoral regulation. In Shepherd S, Vanhoutte P [eds]. The Human
Cardiovascular System: Facts and Concepts. New York, Raven Press, 1979,
halaman 107.)
Reseptor Ach pada organ target adalah termasuk reseptor muskarinik.
Seperti halnya reseptor adrenergik, reseptor muskarinik adalah protein G-
berpasangan dan merupakan sistem pengantar pesan sekunder. ACh diinaktifkan
secara cepat pada sinaps oleh enzim kolinesterase. Efek dari stimulasi adrenergik
dan reseptor kolinergik pada tubuh akan dijabarkan pada tabel 7-1.


8

FARMAKLOGI ADRENERGIK
Katekolamin endogen
Tabel 7-2 menyimpulkan efek farmakologik dan dosis terapetik dari
katekolamin.
NOREPINEFRIN
Norepinefrin, sebagai neurotransmitter adrenergik utama, berikatan pada reseptor
a dan b. Ia terutama digunakan untuk efek adrenergik-a1 yang meningkatkan
resistensi sistemik vaskuler. Seperti halnya katekolamin endogen lainnya, waktu
paruh norepinefrin sangatlah singkat (2,5 menit),sehingga ia biasanya diberikan
dalam bentuk infus berkelanjutan dengan kecepatan 3 mg/ menit atau lebih dan
dititrasi sesuai dengan efek yang kita inginkan. Peningkatan pada resistensi
sistemik dapat menyebabkan refleks bradikardia. Selain itu, karena norepinefrin
menyebabkan vasokonstriksi pulmoner, renal, dan sirkulasi mesenterik, infus
harus di monitoring untuk
mencegah kerusakan pada organ-organ vital. Infus norepinefrin yang terlalu lama
juga dapat menyebabkan iskemia pada jari-jari sebab ia memiliki sifat
vasokonstriktor perifer yang kuat.
Tabel 7-1 Respons yang didapatkan organ efektor berdasarkan stimulasi
nervus simpatik dan parasimpatik
Organ efektor Respons
Adrenergik
(A)
Resepto
r yang
terlibat
Respons
Cholinergi
k (C)
Respons
Domina
n (A
atau C)
Jantung
Kecepatan kontraksi
Kekuatan kontraksi

Meningkat

Meningkat

1


Menurun

Menurun

C

C
Pembuluh darah
Arteri (kebanyakan )
Otot skelet
Vena

Vasokonstrik
si
Vasodilatasi

A
1

2


A
A
A
9

Vasokonstrik
si
Cabang bronkial Bronkodilata
si

2
Bronkokons
triksi
C
Kapsul Splenik Kontraksi A
1
A
Uterus Kontraksi A
1
Variabel A
Vas deferens Kontraksi A
1
A
Kapsul prostatik Kontraksi A
1
A
Traktus Gastrointestinal Relaksasi A
2
Kontraksi C
Mata
otot radial, iris
otot sirkular, iris

otot silier

Kontraksi


Relaksasi

A
1


B


Kontraksi
(miosis)
Kontraksi
(Akomodasi
)

A
C

C
Ginjal Sekresi renin B
1
A
Kandung kemih
Detrusor
Trigonum dan
spinkter

Relaksasi
Kontraksi

B
A
1


Kontraksi
Relaksasi

C
A,C
Ureter Kontraksi A
1
Relaksasi A
Pelepasan insulin dari
pankreas
Menurun A
2
A
Sel Lemak Lipolisis B
1
A
Glikogenolisis Hati Meningkat A
1
A
Folikel rambut, otot polos Kontraksi
(piloereksi)
A
1
A
Sekresi nasal Meningkat C
Kelenjar saliva Meningkatka
n sekresi
A
1
Meningkatk
an sekresi
C
Kelenjar keringat Meningkatka
n sekresi
A
1
Meningkatk
an sekresi
C
Dikutip dari Ruffolo R. Physiology and biochemistry of the peripheral autonomic
nervous system. In Wingard L, Brody T, Lamer J, et al (eds). Human
Pharmacology: Molecular to Clinical. St. Louis, MosbyYear Book, 1991, p 77.

EPINEFRIN
Seperti halnya norepinefrin, epinefrin berikatan pada reseptor a dan b.
Epinefrin endogen digunakan intravena pada kondisi mengancam jiwa seperti
untuk mengatasi henti jantung, kolaps sirkulasi, dan reaksi anafilaksis. Ia juga
10

biasanya digunakan secara lokal untuk menurunkan penyebaran anestesi lokal dan
menurunkan jumlah darah yang hilang pada proses operasi. Diantara efek terapi
dari epinefrin, adalah inotropik dan kronotropik positif, ia meningkatkan konduksi
jantung (b1) ; relaksasi otot polos pada vaskuler dan cabang-cabang bronkus (b2);
dan vasokonstriksi (a1). Efek-efek ini yang mendominasi tergantung dari jumlah
epinefrin yang diberikan. Epinefrin juga memberikan efek endokrin dan metabolik
yang terdiri dari peningkatan kadar gluksa darah, laktat, dan asam-lemak bebas.
Tabel 7-2 Efek farmakologi dan Dosis Terapi Katekolamin
Katekolamin Tekanan
arteri
Rata-
rata
Frekuensi
jantung
Kardiak
output
Resistensi
vaskuler
sistemik
Aliran
darah
renal
Disritmia
kardiak
Preparat
(mg/250mL)
Dosis
intravena
(ug/kg/menit)
Dopamin + + +++ + +++ + 200(800ug/mL) 2-20
Norepinefrin +++ - - +++ --- + 4(16ug/mL) 0.01-0.1
Epinefrin + ++ ++ ++ -- +++ 1(4ug/mL) 0.03-0.15
Isproterenol - +++ +++ -- - +++ 1(4ug/mL) 0.03-0.15
dobutamin + +++ +++ - ++ - 250(1000ug/mL) 2-20
+,Peningkatan ringan; ++ , peningkatan sedang; +++ , peningkatan berarti; -,
penurunan ringan; --, penurunan sedang; --- penurunan berarti.
Pemberian intravena sebesar 1.0 mg diberikan untuk mengatasi kolaps
kardiovaskuler, asistol, fibrilasi ventrikel, disosiasi elektromekanis, atau syok
anafilaksis untuk memberikan efek konstriksi vaskuler perifer dan
mempertahankan perfusi myokardial dan serebral. Pada keadaan yang kurang
akut, epinefrin diberikan dalam bentuk infus kontinu. Respons masing-masing
pasien terhadap epinefrin sangat bervariasi, sehingga infus harus dititrasi untuk
memberikan efek yang diharapkan sambil memantau tanda-tanda adanya hal
yang membahayakan renal, serebral, atau perfusi myokard. Secara umum,
kecepatan infus 1 hingga 2 mg/menit harusnya dapat menstimulasi reseptor-b2
dan menurunkan resistensi saluran nafas dan tonus vaskuler. Kecepatan 2 hingga
10 mg/menit dapat meningkatkan kecepatan frekuensi jantung, kontraktilitas, dan
11

konduksi pada nodus atrioventrikuler. Pada dosis melebihi 10 mg/menit efek
adrenergik a1 yang lebih menonjol, sehingga menyebabkan terjadinya
vaskonstriksi umum yang bisa menyebabkan terjadinya refleks bradikardia.
Epinefrin juga dapat diberikan dalam bentuk aerosol untuk mengobati
croup berat atau edema jalan nafas. Bronkospasme dapat diobati dengan
pemberian epinefrin yang diberikan subkutan dengan dosis 300 mg setiap 20
menit dengan batas maksimum pemberian sebanyak tiga kali. Epinefrin dapat
mengatasi bronkospasme dengan efek langsungnya sebagi bronkodilator, dan
karena ia juga menurunkan pelepasan substansi bronkospastik yang disebabkan
oleh adanya antigen (seperti yang biasanya terjadi pada reaksi anafilaksis) dengan
menstabilkan sel-sel mast yang melepaskan substansi tersebut.
Karena epinefrin menurunkan periode refraktorik myokardium, resiko
terjadinya aritmia selama pemberian anestesi halothane mengalami peningkatan
apabila diberikan juga epinefrin. Resiko terjadinya aritmia tampaknya lebih
sedikit pada anak-anak namun meningkat apabila terdapat hipokapnia.
DOPAMINE
Sebagai tambahan dari ikatan pada reseptor a dan b, dopamin juga
berikatan pada reseptor dopaminergik. Disamping efek langsungnya, dopamin
bekerja secara tidak langsung dengan cara menstimulasi pelepasan norepinefrin
dari vesikel tempat ia disimpan. Dopamin adalah substansi yang unik dalam
kemampuannya untuk meningkatkan aliran darah renal dan badan mesenterik
pada keadaan hampir syok dengan cara mengikatkan diri pada reseptor D1
postjunctasional. Dopamin dimetabolisme secara cepat oleh MAO dan COMP dan
memiliki waktu paruh 1 menit, sehingga ia harus diberikan dengan cara infus
kontinu. Pada dosis antara 0,5 dan 2,0 mg/kg/menit, reseptor D1 distimulasi dan
renal serta badan mesenterik mengalami dilatasi. Ketika infusnya ditingkatkan
menjadi 2 hingga 10 mg/kg/menit, reseptor-b1 distimulasi dan kontraktilitas
kardiak dan outputnya mengalami peningkatan. Pada dosis 10 mg/kg/menit atau
lebih, keterikatannya lebih banyak pada reseptor a1, dan hal ini menyebabkan
12

terjadinya vasokonstriksi menyeluruh, dan menegatifkan kembali seluruh manfaat
yang sudah terjadi pada renal. Di masa lalu, dopamin biasanya digunakan untuk
mengatasi pasien yang syok. Konsepnya adalah infus dopamin dapat
meningkatkan aliran darah renal, sehingga dapat memproteksi ginjal dan
membantu proses diuresis. Studi terkini menemukan bahwa dopamin tidak
memiliki manfaat dalam memperbaiki fungsi renal dalam kondisi syok, dan
penggunaan rutinnya dalam penanganan pasien syok kini telah dipertanyakan
kembali.
1
Katekolamin sintetis
ISOPROTERENOL
Isoproterenol (isuprel) memberikan stimulasi yang relatif murni dan non-
selektif dari b-adrenergik. Stimulasi adrenergik-b1 nya lebih besar dari efeknya
pada adrenergik b2. Popularitasny telah menurun sebab adanya efek samping
seperti takikardia dan aritmia. Saat ini ia tidak lagi menjadi bagian dari protokl
Advanced Cardiac Life Support (lihat juga bab 44), dan ia sekarang digunakan
terutama sebagai agen kronotropik setelah transplantasi jantung. Karena
isoproterenol tidak dibawa hingga ke ujung syaraf adrenergik, maka waktu
paruhnya lebih panjang daripada katekolamin endogen.
DOBUTAMINE
Dobutamin, adalah analog sintetik dopamin, ia terutama memiliki efek
adrenergik-b1. Ketika dibandingkan dengan isoproterenol, inotropiknya lebih
terpengaruhi daripada kronotropiknya. Penggunaannya lebih sedikit pada efek
tipe-b2 daripada penggunaan isoproterenol dan lebih sedikit pada efek tipe-a1
dibandingkan dengan norepinefrin. Tidak sama dengan dopamin, norepinefrin
endogen tidak dilepaskan dan tidak beraksi pada reseptor dopaminergik.
Dobutamin biasanya berguna pada pasien dengan gagal jantung kongestif (CHF)
atau infark myokardiak yang berkomplikasi menyebabkan penurunan kardiak
output. Dosis dibawahd 20mg/kg/menit biasanya tidak menyebabkan takikardia.
13

Karena dobutamin langsung menstimulasi reseptor-b1, ia tidak tergantung dari
penyimpanan norepinefrin endogen untuk memunculkan efeknya dan ia masih
dapat berguna pada keadaan dimana kadar katekolamin telah menurun seperti
pada keadaan CHF kronik. Pengobatan menggunakan dopamin yang
berkepanjangan, dapat menyebabkan penurunan regulasi reseptr-b, dan
menyebabkan toleransi yang signifikan terhadap efek hemodinamiknya setelah
penggunaan 3 hari. Untuk mencegah masalah tachyphylaxis, maka infus
intermitten dobutamin telah digunakan pada pengobatan gagal jantung jangka
panjang. Jenis pengobatan ini dapat meningkatkan toleransi terhadap
kegiatan,namun tidak meningkatkan kemungkinan selamat pasien.
2

FENOLDOPAM
Fenoldopam adalah agonist-D1 dan merupakan vasodilator poten yang
dapat meningkatkan aliran darah renal dan diuresis. Karena hasil percobaan
klinisnya berbeda-beda, fenoldopam tidak lagi digunakan untuk mengobati
hipertensi kronik atau CHF. Sebaliknya, fenoldopam intravena, pada infus dengan
kecepatan 0,1 hingga 0,8 mg/kg/menit, telah diterima sebagai cara untuk
mengobati hipertensi berat. fenoldopam adalah alternatif sodium nitroprusside
dengan efek samping yang lebih minimal (tidak ada toksisitas thioxyanate, tanpa
efek rebound, atau coronary steal) ia juga memperbaiki fungsi renal, dan efek
puncaknya dapat muncul dalam waktu 15 menit setelah pemberian.
Amino Simpatomimetik Non-catecholamine
Kebanyakan amino simpatomimetik non-catecholamine bekerja pada
reseptor a dan b melalui aktivitas cara langsung (berikatan dengan obat melalui
reseptor-reseptor adrenergik) maupun tak langsung (dilepaskan dari penyimpanan
norepinefrin endogen). Mephentermine dan metaraminol sudah jarang digunakan,
sehingga amino simpatomimetik non-catecholamine yang banyak digunakan saat
ini hanya efedrin.

14

EPHEDRINE
Efedrin meningkatkan tekanan darah dan memiliki efek inotropik positif.
Karena ia tidak memiliki efek yang merusak pada aliran darah uterin pada model
binatang, efedrin banyak digunakan sebagai penekan pada pasien hamil yang
hipotensi. Akan tetapi, fenilepinefrin sekarang lebih dipilih karena resiko asidosis
fetalnya lebih minimal (lihat juga bab 33). Sebagai hasil dari efeknya dalam
mestimulasi adrenergik-b1, efedrin sangat baik dalam mengobati hipotensi
sedang, terutama yang disertai dengan bradikardia. Dosis biasa yang dianjurkan
adalah 2,5 hingga 25 mg yang diberikan secara intravena atau 25 hingga 50 mg
yang diberikan secara intramuskuler.
Tachyphylaksis terhadap efek tidak langsung efedrin dapat terjadi seiring
dengan penurunan kadar cadangan norepinefrin. Sebagai tambahan, meskipun
obat-obatan dengan aktivitas tidak langsung banyak digunakan sebagai terapi lini
pertama pada hipotensi intraoperatif, studi epidemilogik terhadap efek samping
selama anestesi menujukkan bahwa ketergantungan efedrin pada pada kondisi
yang mengancam jiwa dapat meningkatkan morbiditas.
3

RESEPTOR AGONIS ADRENERGIK-A SELEKTIF
Agonist adrenergik-a1
FENILEFRIN
Fenilefrin (Ne-synephrine), salah satu agonis-a1, ia biasanya digunakan untuk
memberikan efek vaskonstriktor perifer ketika jumlah kardiak output cukup (yaitu
pada keadaan hipotensi akibat anestesi spinal). Ia juga digunakan untuk
mempertahankan afterload pada pasien-pasien dengan stenosis aorta dimana
perfusi koroner dikompromasi oleh penurunan resistensi vaskuler sistemik. Bila
diberikan secara intravena, fenilefrin memiliki onset cepat dan durasi kerja yang
relatif singkat (5 hingga 10 menit). Ia juga dapat diberikan dalam bolus 40 hingga
100 mg atau dalam infus dengan kecepatan awal 10 hingga 20 mg/menit. Dosis
yang lebih besar hingga 1 mg akan memperlambat takikardi supraventrikuler
15

dengan bekerja secara refleks. Fenilefrin juga dapat berfungsi sebagai midriatik
dan dekongestan hidung. Bila diberikan secara topikal secara tunggal maupun
dikombinasi dengan anestesi lokal, fenilefrin dulunya digunakan untuk
mempersiapkan lubang hidung untuk tindakan intubasi nasotrakeal.
Agonis Adrenergik-a2
Agonis-a2 selama ini dianggap sebagai tambahan anestesi yang penting dan juga
sebagai analgesik. Efek utamanya adalah sebagai simpatolitik. Ia menurunkan
pelepasan norepinefrin perifer dengan cara menstimulasi reseptor inhibitor-a2
prejunctional. Dulunya, agonis adrenergik-a2 digunakan sebagai obat-obatan
antihipertensi, namun ia juga telah banyak digunakan untuk mendapatkan efek
sedatif, anxiolitik, dan analgetik.
CLONIDINE
Clonidine, merupakan obat prototipe di kelasnya, ia merupakan golongan agonis
adrenoreseptor-a2 selektif. Efek antihipertensinya didapatkan dari penurunan
outflow simpatis pada perifer dan sentral. Penurunan kadar clonidine dapat
mencetuskan terjadinya krisis hipertensi, karena itu ia harus dilanjutkan terus
selama periode perioperatif. Clonidin dalam bentuk patch transdermal tersedia
juga apabila pasien tidak dapat mengonsumsi clonidin secara oral. Bila
penggunaannya tidak dilanjutkan selama perioperatif maka tekanan darah harus
diawasi dengan seksama dan dengan mempersiapkan obat-obatan untuk
penanganan hipertensi. Labetalol biasanya digunakan untuk mengatasi gejala
akibat putus obat clonidine ini.
Meskipun pengalaman penggunaan agonis-a2 pada anestesi masih
terbatas, obat-obatan ini terbukti dapat menurunkan kebutuhan pemberian agen
anestesi intravena atau inhalasi lain dalam pemberian anestesi umum maupun
lokal.
4


16

Perioperatif
Penggunaan klonidin dan agonis a2 lain dexmedetomidine dan mivazerol
juga dapat menurunkan kejadian infark myokardial dan insidens mortalitas
perioperatif pada pasien-pasien yang menjalani operasi vaskuler.
5

Sebagai tambahan dari penggunaannya pada saat operasi, agonis-a2
memberikan analgesi yang efektif untuk nyeri akut dan kronik, terutama sebagai
tambahan anestesi lokal dan opioid. Clonidine epidural diindikasikan untuk
pengobatan nyeri yang berat, hal ini menjadi dasar diterimanya clonidine
parenteral di Amerika serikat sebagai obat yatim. Clonidin juga digunakan untuk
mengobati pasien-pasien dengan distrofi refleks simpatik dan sindroma nyeri
neuropatik lainnya.
DEXMEDETOMIDINE
Sama seperti clonidine, dexmedetomidine hanya selektif terhadap
reseptor-a2. Waktu paruhnya adalah 2,3 jam dan waktu paruh distribusinya yang
kurang dari 5 menit akan membuat efek klinisnya cenderung lambat. Berbeda
dengan clonidine, dexmedetomidine tersedia dalam cairan intravena di Amerika
Serikat. Dosis umum yang diberikan melalui infus adalah 0,3 hingga 0,7
mg/kg/jam baik dengan atau tanpa pemberian loading dose sebesar 1 mg/kg dalam
waktu 10 menit.
Pada orang coba sehat, dexmedetomidine meningkatkan efek sedasi,
analgesi, dan amnesia; ia menurunkan kecepatan jantung, output kardiak, dan
katekolamin yang beredar di darah tergantung dengan dosis yang diberikan. Efek
sedatif MAC-sparing dan efek analgesik yang tampak pada studi preklinis
maupun pada orang coba yang telah dilakukan, memungkinkan penggunaannya
pada praktik klinis sehari-hari. Efek minor berupa sedatif relatif akibat a2 pada
fungsi respirasi yang dikombinasikan dengan durasi kerja dexmedetomidine
membuatnya dapat digunakan untuk membantu prosedur intubasi fiberoptik pada
pasien yang sadar.
6

17

Infus dexmedetomidine untuk manajemen perioperatif pasien obesitas
dengan gangguan sleep apnea akan meminimalisasi jumlah narkotik yang
dibutuhkan namun tetap memberikan efek analgesik yang adekuat.
7
AGONIS RESEPTOR B2-ADRENERGIK
Agonis-b2 digunakan untuk mengatasi penyakit reaktif saluran nafas.
Apabila diberikan dalam dosis besar, selektivitasnya terhadap reseptor b2 dapat
menghilang, sehingga memungkinkan terjadinya efek samping berat akibat
terstimulasinya adrenergik b1. Agen yang biasa digunakan dalam golongan ini
adalah metaproterenol (alupent, Metaprel), terbutaline (Brethine, Bricanyl), dan
albuterol (proventil, ventolin).
Agonis-b2 juga digunakan untuk menghambat kelahiran prematur.
Ritodrine (Yutopar) telah beredar di pasaran untuk mengatasi kelahiran prematur.
Sayangnya, efek samping adrenergik-b1 sering terjadi, terutama bila obat ini
diberikan secara intravena.
ANTAGONIS RESEPTOR A-ADRENERGIK
Antagonis-a telah lama digunakan sebagai obat-obatan antihipertensi,
namun efek sampingnya, yaitu hipotensi ortostatik berat dan retensi cairan,
membuatnya kurang populer digunakan, sebab obat-obatan lain yang dapat
mengontrol tekanan darah telah banyak tersedia.
Phenoxybenzamine
Phenoxybenzamine (Dibenzyline) adalah prototipikal antagonis
adrenergik-a1 (meskipun ia juga memiliki efek antagonis-a2).karena ia terikat
secara irreversibel pada reseptor a1, reseptor baru harus disensitasi sebelum
terjadinya pemulihan sempurna. Phenoxybenzamine menurunkan resistensi perifer
dan meningkatkan output kardiak. Efek samping utamanya adalah hipotensi
orthostatik yang dapat menyebabkan pingsan akibat perubahan tiba-tiba pada
posisi berbaring ke posisi berdiri. Kekakuan nasal adalah efek samping lainnya.
18

Phenoxybenzamine adalah obat yang paling sering digunakan pada
pheochromocytomas. Ia menstabilkan simpatektomi kimiawi pada kondisi
preoperatif sehingga ia membuat tekanan darah arteri menjadi lebih stabil selama
proses operasi reseksi tumor-tumor penghasil katekolamin ini. Ketika
simpatomimetik eksogen diberikan setelah terjadinya penghambatan efek
vasokonstriktor blokade-a1. Meskipun sifat keterikatannya pada reseptor adalah
irreversible, pengobatan yang direkomendasikan untuk overdosis
phenoxybenzamine adalah infus norepinefrin sebab beberapa reseptor masih ada
yang tidak terikat dengan obat tersebut.
Prazosin (Minipress) adalah selektif a1-blocker yang menjadi antagonis
efek vaskonstriktor norepinefrin dan epinefrin. Hipotensi ortostatik adalah
masalah utama obat prazosin. Tidak seperti obat-obat anti hipertensi lainnya,
prazosin meningkatkan profil lipid dengan cara menurunkan kadar Low-density-
lipid dan sedikit meningkatkan kadar high-density-lipids. Dosis awal prazosin
yang biasa diberikan adalah 0,5 hingga 1 mg yang diberikan sebelum tidur, untuk
menghindari efek samping hipotensi ortostatik.
Yohimbine
Antagonis-a2 seperti yohimbine meningkatkan pelepasan norepinefrin
namun mereka lebih jarang digunakan pada praktek klinis anestesia.
ANTAGONIS b-ADRENERGIC
Antagonis b-Adrenergik (yaitu, b-blockers) biasanya diberikan pada
pasien yang akan menjalani operasi. Indikasi klinis pemberian bloka b-adrenergik
antara lain adalah penyakit jantung iskemik, penanganan post-infark, aritmia,
kardiomyopati hipertropik, hipertensi, gagal jantung, profilaksis migraine,
thyrotoxicosis, dan glaucoma. Pada tahun 1990an, sebuah studi yang dilakukan
oleh kelompok peneliti Iskemia Perioperatif menunjukkan pentingnya
menggunakan b-bloker pada pasien perioperatif yang beresiko terkena penyakit
jantung koroner.
8
19

Subjek studi yang diberikan b-blocker perioperatf memiliki penurunan
signifikan insidens mortalitas dalam 2-tahun (68% dari grup plasebo
terselamatkan, lawan 83% orang yang erselamatkan dan mendapatkan pengobatan
atenolol. Mekanisme presume dari peningkatan survival rate pasien ini adalah
karena adanya penurunan kadar respons stres operatif akibat penggunaan b-
blocker. Hal ini, serta penemuan konfirmatif lainnya memberikan penekanan akan
pentingnya pemberian b-blocker perioperatif. Studi-studi terbaru, sebaliknya,
menanyakan apakah manfaat yang dapat didapatkan dari pemberian b-blocker
preoperatif. Studi POBBLE menunjukkan tidak ada penurunan pada resiko
mortalitas 30-hari pada pasien yang telah menjalani operasi vaskuler (satu dari
kelompok beresiko pada studi sebelumnya),
9
pada studi DIPOM ditemukan
bahwa tidak ada manfaat pada pasien diabetes (kelompok beresiko lainnya).
10

Pada akhirnya, pada kebanyakan studi retrospektif, ditemukan efek negatif dari b-
bloker pada pasien tanpa penyakit arteri koroner bersih.
11
Jadi hingga saat ini,
hanya indikasi kuat saja yang membuat pemberian b-bloker dapat dilakukan
perioperatif seperti pada pasien yang membutuhkan operasi vaskuler dan memiliki
resiko kardiak tinggi yang ditemukan adanya iskemik pada tes-tes
preoperatifnya.
12
B-blokers harus dilanjutkan pada pasien yang telah terlanjur
menggunakannya untuk mengatasi angina, aritmia, atau hipertensi, sebab efek
putus obat b-blocker dapat menyebabkan efek samping mematikan. Jenis B-
adrenergik blocker yang paling banyak digunakan pada praktik anestesi adalah
propanolol, metoprolol, labetolol, dan esmolol, sebab mereka tersedia dalam
bentuk intravena dan memiliki karakter efek yang jelas. Perbedaan penting dari
agen-agen ini adalah selektivitas kardiaknya serta durasi kerjanya. Kerja b-blocker
nonselektif pada reseptor-reseptor b1 dan b2. B-blocker kardioselektif memiliki
affinitas yang lebih kuat pada reseptor adrenergik-b1 daripada terhadap reseptor
adrenergik-b2. Dengan adanya blokade selektif B1, kecepatan konduksi
atrioventrikuler, frekuensi jantung, dan kontraktilitas kardiak mengalami
penurunan. Pelepasan renin pada apparatus juxtaglomerulal dan lipolisis pada
adiposit juga menurun. Pada dosis yang lebih tinggi, selektivitas relatif reseptor
b1 menghilang dan reseptor b2 juga mengalami blokade, yang memberikan
20

potensi terjadinya bronkokonstriksi, vasokonstriksi perifer, dan penurunan
glikogenolisis.
Efek Samping Blokade B-Adrenergik
Bradikardia mengacam nyawa, atau bahkan asistol, dapat terjadi pada
pemberian b-blocker, dan penurunan kontraktilitas dapat mencetuskan terjadinya
CHF pada pasien dengan gangguan fungsi jantung. Pada pasien dengan penyakit
paru bronkospastik, b2-bloker dapat menyebabkan efek samping fatal. Diabetes
melitus relatif kontraindikasi untuk penggunaan jangka pajang antagonis b-
adrenergik. Karena ia dapat menyebabkan hipoglikemia (takikardia dan tremor )
dapat tersamarkan sebab glikogenolisis kompensatoris menjadi tumpul. Untuk
mencegah perburukan hipertensi, penggunaan b-blocker pada pasien dengan
pheochromocytoma harus dihidndari kecuali reseptor-a telah dilakukan blok.
Overdosis obat-obatan b-bloker dapat diobati dengan atropin, namun
isoproterenol, dobutamin, atau glukagn juga dapat diberikan bersamaan dengan
pemasangan pace jantung untuk mempertahankan kontraksi frekuensi jantung
yang cukup. Interaksi obat yang tidak diinginkan adalah dengan b-blocker.
Kecepatan dan efek kontraktilitas verapamil adalah bersifat addiktif terhadap b-
blocker, sehingga bila obat ini dikombinasikan, harus dilakukan pemantauan
ketat. Begitu juga, kombinasi digoksin dan b-blocker dapat memberikan efek kuat
pada frekuensi dan konduksi jantung dan harus diberikan dengan sangat hati-hati.
Bloker Spesifik B-Adrenergik
PROPRANOLOL
Propanolol (Inderal, Ipran) dan b-blocker prototipikal, adalah jenis obat-obatan b-
bloker yang non-selektif. Karena kelarutan dalam lemaknya tinggi, ia sangat
banyak dimetabolisme di hati. Namun kecepatan metabolisme sangat bervariasi
dari pasien ke pasien. Pembersihan obat ini dapat dipengaruhi oleh adanya
penyakit hati atau peningkatan aliran darah hepatik. Propanolol terdapat dalam
bentuk intravena dan awalnya dapat diberikan dalam bentuk bolus atau infus.
21

Infus propanolol telah banyak digantikan dengan pemberian esmolol kerja-
singkat. Untuk pemberian bolus, dosis sebesar 0,1 mg/kg dapat diberikan, namun
kebanyakan praktisi memulai terapinya dengan dosis yang jauh lebih rendah
biasanya antara 0,25 hingga 0,5 mg, dan efek titrasi. Propanolol berubah pada
disosiasi kurva oxyhemoglbin kearah kanan, yang dapat mempengaruhi
efisiensinya pada kelainan vasospastik.
13

METOPROLOL
Metoprolol (Lopressor), sebuah bloker b-adrenergik kardiselektif,
penggunaannya biasa diberikan untuk mengobati angina pectoris dan infark
myokardial akut. Tidak ada penyesuaian dosis untuk pasien dengan gangguan
liver. Dosis oral biasa yang diberikan antara 100 hingga 200mg/hari diberikan
sekali atau dua kali sehari untuk hipertensi, dan dua kali sehari untuk angina
pectoris. Dosis intravena sebesar 2,5 hingga 5 mg dapat diberikan setiap 2 hingga
5 menit hingga mencapai dosis total 15 mg, dengan titrasi frekuensi jantung dan
tekanan darah.
LABETALOL
Labetalol (Trandate, Normodyne) bekerja sebagai kompetitif antagonis pada
reseptor adrenergik a1 dan b. Karena dimetabolisme di hati, pembersihannya
dipengaruhi oleh perfusi hati. Labetalol dapat diberikan secara intravena setiap 5
menit dalam dosis 5 hingga 10 mg atau diberikan secara infus dengan kecepatan
hingga 2 mg/menit. Ia dapat berguna juga pada pengobatan pasien dengan diseksi
aorta
14
atau kegawatdaruratan hipertensi. Karena vasodilatsi yang terjadi tidak
disertai dengan takikardia, labetalol dapat diberikan pada pasien jantung
postoperatif. ia juga dapat digunakan untuk mengobati hipertensi pada pasien
hamil baik untuk penggunaan jangka panjang dan juga penggunaan pada situasi
akut.
15
Aliran darah uterin tidak dipengaruhi bahkan dengan penurunan signifikan
tekanan darah.
16


22

ESMOLOL
Karena ia di hidrolisasi oleh esterase yang berada dalam darah, esmolol
(Brevibloc) memiliki waktu paruh yang unik dari 9 hingga 10 menit, hal ini
membuatnya berguna terutama pada praktik anestesi. Ia dapat digunakan ketika
kita ingin memberikan blokade-b dengan durasi pendek atau pada pasien yang
sakit keras dimana efek samping bradikardia, gagal jantung atau hipotensi
membutuhkan penanganan cepat dengan menarik cepat bat ini. Esmolol adalah
golongan kardioselektif, dan efek puncak dari loading dosenya dapat dilihat dalam
5 hingga 10 menit serta menghilang dalam 20 hingga 30 menit kemudian. Ia dapat
diberikan dalam bentuk bolus 0,5mg/kg atau dalam bentuk infus. Ketika ia
digunakan untuk mengbati takikardia supraventrikuler maka dibutuhkan dosis
bolus sebesar 500mg/kg yang diberikan dalam 1 menit, diikuti dengan infus 50
mg/kg/menit selama 4 menit. Bila frekuensi jantung tidak terkontrol, maka
pengulangan pemberian loading dose diikuti dengan infus 4 menit dosis
100mg/kg/menit diberikan lagi. Bila perlu, langkah-langkah ini diulangi dengan
mempercepat aliran infus dari 50 mg/kg/menit menjadi 200 atau 300mg/kg/menit.
Esmolol adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk menangani hipertensi
dan takikardia intraoperatif dan postoperatif. bila perlu diberikan secara kontinu,
ia dapat digantikan dengan b-blocker kardiselektif kerja panjang seperti
metoprolol.
FARMAKOLOGI KOLINERGIK
Berbeda dengan banyaknya pilihan obat untuk memanipulasi respons
adrenergik, terdapat sedikit saja jumlah obat-obatan yang dapat mempengaruhi
transmisi kolinergik. Jumlah agen kolinergik langsung yang sedikit digunakan
secara topikal untuk mengobati glaukoma atau untuk mengembalikan fungsi
gastrointestinal atau traktus urinarisu. Kelas obat-obatan yang relevan untuk
digunakan oleh anestesiologis adalah agen-agen antikolinergik (antagonis
muskarinik) dan antikolinesterase.

23

Tabel 7-3 Perbandingan efek pemberian antikolinergik intramuskuler
sebagai premedikasi farmakologi
Efek Atropin Scopolamin Glycopyrrolat
Efek
antisialagogue
+ +++ ++
Efek sedatif dan
amnestik
+ +++ 0
Peningkatan pH
cairan lambung
0 0 0/+
Toksisitas SSP + ++ 0
Relaksasi spinkter
esofagus bawah
++ ++ ++
Midriasis dan
sikloplegia
+ +++ 0
Frekuensi jantung ++ 0/+ +
0, tidak ada; +, ringan; ++, sedang; +++, tinggi.
Antagonis Muskarinik
Antagonis muskarinik berkompetisi dengan asetilkolin yang dilepaskan di
neural untuk mengakes cholinoseptor muskarinik dan efek-efek blok asetikolin.
Hasilnya adalah peningkatan frekuensi jantung, sedasi, dan kekeringan mulut.
Dengan pengecualian komponen ammonium kuaternary yang tidak dapat
melewati sawar darah otak dan memiliki sedikit efek pada SSP, tidak ada
spesifisitas signifikan diantara kerja obat-obatan ini, mereka semua memblok efek
muskarinik dengan efisiensi yang sama, meskipun terdapat juga perbedaan efek
kuantitatifnya (Tabel 7-3). Pada era anestesi ether ini, antagonis muskarinik
ditambahkan pada premedikasi anestesi untuk menurunkan sekresi dan mencegah
refleks vagal yang membahayakan. Penambahan ini menjadi kurang penting lagi
pada era anestesi inhalan modern saat ini. Penggunaan preoperatif obat ini
berlanjut pada beberapa kasus pediatri dan otorhinolaringologik atau ketika
intubasi fiberoptik akan dilakukan.
24

Atropin dengan struktur tersiernya dapat melewati sawar darah otak.
Karena itu, dosis besar (1 hingga 2 mg) dapat mempengaruhi SSP. Sebaliknya,
karena struktur quaternary obat antimuskarinik sintetik glycpyrrolate (Robinul)
tidak melewati sawar darah otak. Glycopyrrolate memiliki durasi kerja yang lebih
lama dari atropin dan banyak menggantikan peran atropin dalam memblok efek
muskarinik berbahaya (bradikardia) obat-obatan antikolinesterase yang
membalikkan blokade neuromuskular. Scopolamine juga melewati sawar darah
otak dan dapat memperkuat efek SSP. Preparat patch scopolamine telah
digunakan untuk propilaksis mual muntah postoperatif, namun ia juga bisa
menyebabkan efek samping pada mata, kandung kemih, kulit, dan psikoologis.
Distorsi mentasi (yaitu delusi dan delirium) yang dapat terjadi setelah pengobatan
atropin dan scopolamine yang diobati dengan physostigmine, sebuah
antikolinesterase yang dapat melewati sawar darah otak.
Inhibitor Kolinesterase
Obat-obatan antikolinesterase mempengaruhi inaktivasi asetilkolin melalui
kerja enzim kolinesterase dan bertahannya agonis kolinergik pada reseptor
nikotinik dan muskarinik. Obat-obatan ini digunakan untuk membalikkan blokade
neuromuskuler (lihat bab 12) dan untuk mengobati myasthenia gravis. Efek
samping menonjol dari obat-obatan ini adalah bradikardia. Inhibitor kolinesterase
yang sering digunakan adalah phytostimine, neostigmine, pyridostigmine, dan
edrophonium. Sebagai tambahan dari efek pembaliknya pada agen pemblok
neuromuskuler dengan cara meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada
neuromuscular junction, kolinesterase menghambat stimulasi fungsi usus atau
diberikan secara topikal di mata untuk mendapatkan efek amiotik. Satu obat
topikal (Echothiophate iodide) terikat secara irreversibel dengan cholinesterase
dan dapat menginterferensi dengan metabolisme succinylcholine (sebab
anticholinesterase menganggu fungsi enzim pseudocholinesterase juga).

Anda mungkin juga menyukai