Anda di halaman 1dari 16

Referat kecil

SISTEM SARAF OTONOM

Disusun Oleh:
Mardhiyatul Aflah
1708436509

Pembimbing:
dr. Enny Lestari, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2019

0
SISTEM SARAF OTONOM

I. Struktur Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun
dari medula spinalis dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini
terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang
kompleks dan juga membentuk ganglion. Serabut saraf yang terdapat pada
pangkal ganglion disebut serabut saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung
ganglion disebut serabut saraf post ganglion.1
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis, dibuat berdasarkan perbedaan anatomis, neurotransmiter, dan efek
fisiologis. Fungsi sistem saraf simpatis dan parasimpatis selalu berlawanan.
Sebenarnya tidak ada penyamarataan yang dapat dipakai untuk menjelaskan
apakah rangsangan simpatis atau parasimpatis dapat menyebabkan timbulnya
eksitasi atau inhibisi pada suatu organ tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat
mengerti fungsi simpatis dan parasimpatis, kita harus mempelajari seluruh fungsi
kedua sistem saraf ini pada masing-masing organ.1,2,3

Gambar 1. Bagan pembagian sistem saraf manusia

1
II. Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis berasal dari sistem saraf pusat melalui segmen medulla
spinalis T1 hingga L2 (torakolumbal).2,3 Dari segmen T1 hingga T2 mempersarafi
organ visceral di daerah leher, T3 hingga T6 menuju daerah toraks, T7 hingga T11
menuju abdomen, dan T12 hingga L2 menuju ke ekstremitas bawah. 2 Saraf
simpatis lebih rumit dibandingkan saraf parasimpatis karena mempersarafi lebih
banyak organ.2
Setelah meninggalkan medulla spinalis melalui akar ventral, serabut
preganglion melewati white ramus communicans, lalu masuk ke rantai ganglion
simpatik (sympathetic trunk ganglion). Karena letaknya dekat dengan vertebrae,
disebut juga dengan ganglia paravertebral. Selanjutnya, ada tiga cabang, yakni:
(1) bersinaps dengan neuron orde dua di ganglion yang sama; (2) naik atau turun
rantai ganglion simpatis dan bersinaps di sana; (3) tidak bersinaps, hanya
melewati rantai ganglion simpatis dan keluar bersinaps dengan ganglion
kolateral (ganglion pravertebra), yang secara khusus disebut saraf splanknik .
Ganglion kolateral ini terletak di daerah abdomen dan pelvis dan tidak
berpasangan seperti ganglia simpatis lain.1,2
Serabut preganglion yang bersinaps di rantai ganglia simpatis berlanjut
dengan serabut pascaganglion yang masuk ke akar dorsal melalui saraf spinal
yang berkesesuaian melalui gray rami communicantes. Dari sini, serabut
pascaganglion meneruskan perjalanan untuk menuju organ efektor. Sepanjang
jalur serabut postanglion dapat mempersarafi pembuluh darah dan otot polos
sebelum tiba ke organ efektor akhir.3
Terdapat beberapa ganglion selain ganglion kolateral dan rantai ganglion
simpatis, di antaranya ganglion servikal superior yang berasal dari T1-T4 yang
naik untuk bersinaps di ganglion yang terletak di atas rantai ganglion simpatis ini.
Menginervasi pembuluh darah dan otot polos di bagian kepala, otot dilator mata,
lendir hidung dan kelenjar saliva, serta mengirimkan cabang yang menginervasi
jantung. Ganglion servikal merupaan ganglion yang mempersarafi organ visceral
di daerah toraks serta berasal dari T1 hingga T6. Ada yang membentuk jalinan
pleksus kardiak dan mempersarafi jantung, beberapa lainnya mempersarafi
kelenjar tiroid dan kulit. Ganglion kolateral seperti ganglion seliak, mesentrik

2
superior, mesentrik inferior dapat ditemukan sebagai kelanjutan dari saraf
splanknik yang tidak bersinaps di rantai ganglion simpatis.

Gambar 2. Distribusi sistem saraf simpatis

Serabut preganglion simpatis melepaskan neurotransmitter ACh yang


ditangkap oleh reseptor nikotinik yang berada di badan sel neuron pascaganglion.
Sementara itu kebanyakan serabut pascaganglion melepaskan noradrenalin
(atau norepinefrin) dan ditangkap oleh reseptor adrenergik. Dikenal empat
macam reseptor adrenergic untuk neurotransmitter ini dapat dilihat pada tabel 1
jenis reseptor adrenergic.1,2,3

3
Jenis Reseptor Afinitas Efektor Mekanisme aksi dan
neurotransmiter efek
α1 NE dari post Hampir semua efektor Mengaktifkan IP3/Ca2+;
simpatis; E dari persarafan simpatis eksitatori
medulla adrenal;
NE>E
α2 NE>E Organ pencernaan Menghambat cAMP;
Inhibitori
β1 NE~E Jantung Mengaktivasi cAMP;
Eksitatori
β2 Hanya E Otot polos dari arteriol dan Mengaktivasi cAMP;
bronkiolus Inhibitori
Tabel 1 Jenis Reseptor Adrenergic.

Aktivasi reseptor α1 cenderung menghasilkan efek positif, seperti konstriksi


arteriol akibat peningkatan kontraksi otot di endotel. Aktivasi α2 justru
menyebabkan respons inhibitori seperti pengurangan kontraksi otot polos di
sistem pencernaan. Stimulasi β1menimbulkan efek eksitatori di organ utama yang
dipersarafinya, yakni jantung, menyebabkan kontraksi dan denyut yang
meningkat. Sementara itu β2 menyebabkan pelebaran arteriol dan saluran
pernapasan akibat relaksasi otot polos di dinding saluran ini.2
Beberapa serabut pascaganglion tidak menghasilkan NE, melainkan
menghasilkan asetilkolin. Serabut pascaganglion ini mempersarafi kelenjar
keringat.2
Fungsi dari saraf simpatis adalah untuk mempersiapkan diri dalam keadaan
darurat, merespons situasi yang tidak menyenangkan dan penuh tekanan (stress),
serta keadaan ancaman dari luar. Oleh karena itu, dengan mudah efek dominansi
simpatis adalah adanya keadaan fight-or-flight. Efek yang ditimbulkan akibat
perangsangan simpatis, seperti peningkatan denyut dan kekuatan kontraksi
jantung, pemecahan glikogen, pelebaran pembuluh darah, pelebaran pupil,
berkeringat, dan penurunan sementara fungsi sistem pencernaan dan perkemihan.
Pengaruh aktivasi sistem saraf simpatis terhadap kelenjar saliva adalah sekresi
saliva yang kental dan kaya akan lendir. 2

III. Sistem Saraf Parasimpatis

4
Divisi parasimpatis, atau disebut divisi kraniosakral, berasal dari sistem
saraf pusat melalui saraf kranial III (okulomotor), VII (fasial), IX (glosofaringeal),
dan X (vagus). Selain berasal dari saraf kranial, saraf parasimpatis juga berasal
dari medulla spinalis bagian bawah, yakni melalui S2 dan S3 (atau S4). Hampir ¾
serabut parasimaptis berada bersama-sama dengan saraf vagus (X), masuk ke
daerah torakal dan abdominal untuk mempersarafi organ visceral ini.4,5,6
Divisi parasimpatis yang berasal dari n.III keluar dan mempersarafi sfingter pupil
dan otot siliar mata, sementara yang berasal dari n.VII mempersarafi kelenjar
lakrimal, nasal, dan submandibular, n.IX mempersarafi kelenjar parotis, serta n. X
mempersarafi jantung, paru-paru, esophagus, lambung, usus halus, hati, kantung
empedu, pankreas, ginjal, bagian proksimal colon, serta bagian atas ureter.6
Divisi parasimpatis memiliki ganglion yang berada dekat dengan organ efektor,
semisal ganglion siliar, sfenopalatina, submandibular, sublingual, otik, ganglion-
ganglion yang berada di organ efektor (misalnya untuk organ jantung, otot
bronkus, lambung, kantung empedu). Bagian dari S2 dan S3 keluar membentuk
jalinan splankik pelvis, serta mempersarafi bagian rectum, kandung kemih, ureter,
dan alat kelamin wanita dan pria.6
Divisi parasimpatis cenderung mengatur organ efektor dalam keadaan rest-and-
digest, yakni ketika tubuh berada dalam keadaan tenang, relaks, kondisi yang
tidak mengancam, atau dalam keadaan “pembersihan dan pemulihan tubuh”
(general housekeeping).
Serabut preganglion parasimpatis melepaskan neurotransmitter asetilkolin
(ACh) yang ditangkap oleh reseptor kolinergik nikotinik badan sel
pascaganglion. Efek dari penangkapan ACh oleh reseptor nikotinik menyebabkan
pembukaan kanal ion nonspesifik, menyebabkan influx terutama ion Na+. Setelah
itu, serabut pascaganglion parasimpatis menghasilan juga asetilkolin yang
ditangkap oleh reseptor kolinergik muskarinik yang terdapat di semua organ
efektor parasimpatis. Penempelan ACh dengan reseptor muskarinik mengaktifkan
protein G, dan dapat menginhibisi atau mengeksitasi organ efektor.2

5
Gambar 3. Distribusi saraf parasimpatis

Berbeda dengan sistem saraf simpatis, serabut preganglion parasimpatis


menuju ganglia atau organ yang dipersarafi secara langsung tanpa hambatan.
Serabut postganglion saraf parasimpatis pendek karena langsung berada di ganglia
yang sesuai, ini berbeda dengan sistem saraf simpatis, dimana neuron
postganglion relatif panjang, ini menggambarkan ganglia dari rangkaian
paravertebra simpatis yang berada jauh dengan organ yang dipersarafinya.2,5

IV. Fisiologi sistem saraf otonom


Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis mensekresikan salah satu
dari kedua bahan transmiter sinaps ini, asetilkolin atau norepinefrin. Serabut
postganglion sistem saraf simpatis mengekskresikan norepinefrin sebagai
neurotransmitter. Neuron- neuron yang mengeluarkan norepinefrin ini dikenal
dengan serabut adrenergik. Serabut postganglion sistem saraf parasimpatis
mensekresikan asetilkolin sebagai neurotransmitter dan dikenal sebagai serabut
kolinergik. Sebagai tambahan serabut postganglion saraf simpatis kelenjar
keringat dan beberapa pembuluh darah juga melepaskan asetilkolin sebagai
neurotransmitter. Semua saraf preganglion simpatis dan parasimpatis melepaskan
asetilkolin sebagai neurotransmitter karenanya dikenal sebagai serabut kolinergik.

6
Sedangkan asetilkolin yang dilepaskan dari serabut preganglion mengaktivasi baik
postganglion simpatis maupun parasimpatis. 6,7

Gambar 4. Neurotransmiter simpatik dan parasimpatik2

V. Mekanisme pemindahan transmitter pada ujung postganglionik.


Beberapa ujung saraf otonom postganglionik terutama saraf parasimpatis
memang mirip dengan taut neuromuskular skeletal, namun ukurannya jauh lebih
kecil. Beberapa serat saraf parasimpatis dan hampir semua serat saraf simpatis
hanya bersinggungan dengan sel-sel efektor dari organ yang dipersarafinya,
pada beberapa contoh serat-serat ini berakhir pada jaringan ikat yang letaknya
berdekatan dengan sel-sel yang dirangsangnya. Pada filamen ini berjalan atau
mendekati sel efektor biasanya terdapat suatu bulatan yang membesar yang
disebut varikositas didalam varikositas ditemukan vesikel transmitter asetilkolin
atau norepinefrin. Pada varikositas ini juga terdapat banyak sekali mitokondria
untuk mensuplai adenosin triphosphat yang dibutuhkan untuk memberi energi
pada sintesis asetilkolin atau norepinefrin.7,8
Bila ada penjalaran potensial aksi disepanjang serat terminal, maka proses
depolarisasi meningkatkan permeabilitas membran serat saraf terhadap ion

7
kalsium, sehingga mempermudah ion ini untuk berdifusi keujung saraf atau
varikositas saraf. Di sini ion kalsium berinteraksi dengan vesikel sekretori yang
letaknya berdekatan dengan membran sehingga vesikel ini bersatu dengan
membran dan menggosongkan isinya keluar. Jadi, bahan transmitter akhirnya
disekresikan. Sebelum transmitter asetilkolin atau norepinefrin disekresikan pada
ujung saraf otonom untuk dapat merangsang organ efektor, transmiter ini mula-
mula harus berikatan dulu dengan reseptor yang sangat spesifik pada sel-sel
efektor. Reseptor ini terdapat di bagian dalam membran sel, terikat sebagai
kelompok prostetik pada molekul protein yang menembus membran sel. 7,8

VI. Efek simpatis dan parasimpatis


Pada tabel dicantumkan efek-efek yang terjadi pada organ viseral tubuh
akibat terangsangnya saraf simpatis atau parasimpatis. Dari tabel ini dapat terlihat
lagi bahwa perangsangan simpatis menimbulkan efek eksitasi pada beberapa
organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya. Demikian pula,
perangsangan parasimpatis akan mengeksitasi beberapa organ namun
menghambat organ lainnya. Kebanyakan organ diatur oleh salah satu dari kedua
sistem tersebut. 2

Tabel 2. Efek otonomik pada berbagai organ tubuh


Organ Simpatis Parasimpatis
Jantung denyut, kekuatan kontraksi denyut, kekuatan kontraksi
seluruh jantung (β1) atrium jantung

Hampir seluruh Konstriksi (α1) Dilatasi p.darah penis dan


pembuluh darah kiltoris

Paru-paru Dilatasi bronkiolus Konstriksi bronkiolus


Saluran pencernaan motilitas (α2, β2) motilitas
Kontraksi sfinger (α1) – Relaksasi sfinger –
mencegah pengeluaran mengeluarkan feses
feses

Kandung kemih Relaksasi (β2) Kontraksi (pengosongan)


Mata Dilatasi pupil (kontraksi Konstriksi pupil (kontraksi
otot radial) (α1) otot sirkuler)

Pankreas sekresi (α2) sekresi

Keringat sekresi kebanyakan sekresi beberapa kelenjar

8
kelenjar keringat (α1) keringat

Saliva saliva kental dan kaya akan saliva encer dan kaya akan
lendir (α1) enzim

Medulla adrenal epinefrin dan norepinefrin Tidak dipersarafi


(kolinergik) parasimpatis

Genitalia Ejakulasi dan orgasme Ereksi penis (pria)


(pria) Ereksi klitoris (wanita)
Orgasme (wanita) (α1)

VII. Efek Perangsangan Simpatis dan Parasimpatis pada Organ Spesifik


A. Mata
Terdapat dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi
pupil dan pemusatan lensa. Perangsangan simpatis membuat serat-serat
meridional iris berkontraksi sehingga pupil menjadi dilatasi, sedangkan
perangsangan parasimpatis mengkontraksikan otot-otot sirkular iris sehingga
terjadi konstriksi pupil. Bila ada cahaya yang berlebihan masuk kedalam mata,
serat-serat parasimpatis yang mengatur pupil akan terangsang secara refleks,
dimana refleks ini akan mengurangi pembukaan pupil dan mengurangi jumlah
cahaya yang membentur retina. Sebaliknya selama periode eksitasi, saraf simpatis
akan terangsang dan karena itu, pada saat yang bersamaan akan menambah
pembukaan pupil. Pemusatan lensa hampir seluruhnya diatur oleh sistem saraf
parasimpatis. Normalnya, lensa dipertahankan tetap dalam keadaan rata oleh
tegangan intrinsik elastik dari ligamen radialnya. Perangsangan parasimpatis
membuat otot siliaris berkontraksi, sehingga melepaskan tegangan tadi dan
menyebabkan lensa menjadi lebih konveks. Keadaan ini membuat mata
memusatkan objeknya dekat tangan.6

B. Kelenjar-kelenjar tubuh
Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar
gastrointestinalis terangsang dengan kuat oleh sistem saraf parasimpatis sehingga
mengeluarkan banyak sekali sekresi cairan. Kelenjar-kelenjar saluran pencernaan
yang paling kuat dirangsang oleh parasimpatis adalah yang terletak di saluran
bagian atas, terutama kelenjar di daerah mulut dan lambung. Kelenjar usus halus
dan usus besar terutama diatur oleh faktor-faktor lokal yang terdapat di saluran

9
usus sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus serta sedikit oleh saraf otonom.
Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel kelenjar dalam
pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.6
Rangsangan simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
yang mensuplai kelejar-kelenjar sehingga seringkali mengurangi kecepatan
sekresinya. Bila saraf simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan
banyak sekali keringat, tetapi perangsangan pada saraf parasimpatis tidak
mengakibatkan pengaruh apapun. Namun, serat-serat simpatis yang menuju ke
sebagian besar kelenjar keringat bersifat kolinergik dimana hal ini berbeda dengan
hampir semua serat simpatis lainnya, yang bersifat adrenergik.6
Selanjutnya kelenjar keringat terutama dirangsang oleh pusat-pusat di
hipotalamus yang biasanya dianggap sebagai pusat parasimpatis. Oleh karena itu,
berkeringat dapat dianggap sebagai fungsi parasimpatis, walaupun hal ini
dikendalikan oleh serat-serat saraf yang secara anatomis tersebar melalui sistem
saraf simpatis. 6
Kelenjar apokrin di aksila mensekresikan sekret yang kental dan berbau
sebagi akibat dari perangsangan simpatis, namun kelenjar ini tidak bereaksi
terhadap perangsangan parasimpatis. Kelenjar apokrin, walaupun embriologisnya
berkaitan erat dengan kelenjar keringat, tetapi lebih banyak diatur oleh pusat
simpatis dalam sistem saraf pusat daripada oleh pusat parasimpatis.6

C. Sistem gastrointestinal
Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri yang
dikenal sebagai pleksus intramural atau sistem saraf enterik usus. Namun, baik
perangsangan simpatis maupun parasimpatis dapat mempengaruhi aktivitas
gastrointestinal, terutama oleh peningkatan atau penurunan kerja spesifik dalam
pleksus intramural. Pada umumnya, perangsangan parasimpatis meningkatkan
seluruh tingkat aktivitas saluran gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya
gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter, jadi akan mempermudah pengeluaran
isi usus melalui saluran pencernaan dengan cepat.6
Pengaruh dorongan ini berkaitan dengan penambahan kecepatan sekresi yang
terjadi secara bersamaan pada sebagian besar kelenjar gastrointestinal, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.6 Fungsi normal dari saluran gastrointestinal

10
tidak terlalu tergantung pada perangsangan simpatis . Namun bila ada
perangsangan simpatis yang sangat kuat, maka akan timbul penghambatan
peristaltik dan peningkatan tonus sfingter. Hasil akhirnya adalah timbul dorongan
yang sangat lemah dalam saluran pencernaan dan kadang-kadang juga
mengurangi sekresi.6

D. Jantung
Pada umumnya perangsangan simpatis akan meningkatkan seluruh aktivitas
jantung. Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi
jantung. Perangsangan parasimpatis terutama menimbulkan efek yang
berlawanan. Akibat atau pengaruh ini dapat diungkapkan dengan cara lain, yakni
perangsangan simpatis akan meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa
yang diperlukan selama kerja berat, sedangkan perangsangan parasimpatis
menurunkan kemampuan pemompaan tetapi menimbulkan beberapa tingkatan
istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat.2

E. Pembuluh darah sistemik


Sebagian besar pembuluh darah sistemik, khususnya yang terdapat di visera
abdomen dan kulit anggota tubuh, akan berkonstriksi bila ada perangsangan
simpatis. Perangsangan parasimpatis hampir sama sekali tidak berpengaruh pada
pembuluh darah, kecuali pada daerah-daerah tertentu malah memperlebar, seperti
pada timbulnya daerah kemerahan di wajah. Pada beberapa keadaan, fungsi
rangsangan simpatis pada reseptor beta akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah pada rangsangan simpatis yang biasa, tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali
setelah diberi obat-obatan yang dapat melumpuhkan reseptor alfa simpatis yang
memberi pengaruh vasokonstriktor, yang biasanya lebih merupakan efek reseptor
beta.2

VIII. Gangguan Sistem Saraf Simpatis Dan Parasimpatis


Lesi yang mengenai pusat siliospinal, rantai simpatis servika (ganglion
servikotorakal) atau pleksus otonom di sepanjang pembuluh darah kepala dan leher

11
menimbulkan sindrom horner ipsilateral. Sindroma ini terdiri atas trias klinis yaitu
konsusi upil miosis akibat hilang kontraksi m. dilator pupillae, kelopak mata
menggantung akibat hilangnya kontraksi m. tarsalit, dan bola mata yang masuk
kedalam atau enoftalmus akibata hilangnya kontraksi m. orbitalis. Selain itu juga
dapat mengkibatkan hilangnya kemampuan berkeringat dimana tampak sebagian
wajah kering dan memerah. Penyebab tersering dari sindrom horner yaitu
karsinoma bronkial diapeks paru, dan diseksi arteri karotis interna. Tterdapat juga
beberapa kelainan yang dapat ditimbulkan pada gangguan saraf otonom yaitu
sebagai berikut :

a. Gangguan kandung kemih


Kandung kemih memiliki dua fungsi utama yaitu mengontrol penyimpanan
urine dan pengosongan urin. Beberapa kelainan pada kandung kemih yaitu :
1. Instabiltas dan hiper refleksia detrusor
Ditandai dengan kontraksi detrusor secara prematur pada fase pengisian vesika.
Lesi terdapat di atas medula spinalis sakral dan mengganggu fungsi proyeksi
inhibisi suprasakral ke otot detrusor. Gejala utama adalah urinary urgency yang
sangat mendesak dengan inkontinesia yang mendesak dan rendahnya volume
residu. Penyebab yang paling sering adalah sklerosis multipel, gangguan
serebrovaskuler, normal pressure hydrocephalus, penyakit parkinson, trauma
medula spinal dan otak lobus frontal, dan tumor otak lobu sfrontal.6
2. Dissinergia detrusor-sfingter
Dapat didefiniskan sebagai kontraksi detrusor involunter tanpa relaksi sfingter
uretra eksterna. Lesi terletak diantara medulla spinalis sakralis dan pusat miksi
di pons. Gejala utamanya adalah keinginan berkemih yang sangan mendesak
dengan pengosongan kandung yang tidak total. 6
3. Arefleksia detrusor
Terjadi akibatdefisiensi persarafan eferen atau aferen pada otot detrusor. Gejala
klinis yang dapat ditimbulkan yaitu penurunan keinginan untuk berkemih,
ketidakmampuan untuk memulai miksi dan inkontinensia overflow.
Penyebabnya antara lain tumor yang mengenai konus medularis, stenosis
medulla spinalis lumbalis dan herniasi diskus, poliradikulitis. 6

12
Gambar 5. Persarafan kandung kemih6

b. Gangguan pengosongan rektum


Pengisian rectum mengaktivasi reseptor regang dinding rectum yang
mengantarkan impuls melalui pleksus hipogastrikus inferior ke segmen S2
hingga S4 medula spinalis sakralis. Peristaltic rectum diinduksi oleh aktivasi
parasimpatis dari segmen S2 hingga S4 yang juga menginduksi relaksasi
sfingter interna. Terdapat beberapa gangguan pengosongan rectum yaitu:
1. Retensi alvi
Transeksi medulla spinalis diatas pusat defekasi lumbosacral menimbulkan
retensi alvi.
2. Inkontinesia alvi
Lesi medulla spinalis sakralis S2-S4 dapat menghilangkan reflex anal dan
menimbulkan inkontinensia alvi.

13
Gambar 6. Persarafan rectum6

c. Gangguan pada genetalia laki-laki


Serabut simpatis eferen dari medulla spinalis lumbalis atas berjalan
melalui pleksus nervus hipogastrikus kevesikula seminalis, prostat dan duktus
deferens. Stimulasi pleksus menyebabkan ejakulasi. Terdapat beberapa
kelainan pada genetalia akibat dari gangguan saraf otonom anatara lain
disfungsi genital yang terjadi akibat adanya lesi pada medulla spinal sakral
dari S2 hingga S4 juga menyebabkan impotensi.1

Gambar 7.

Persarafan genetalia laki-laki6

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Neuroanatomi Klinik. Edisi 7. EGC.Jakarta.2011. Hal.405-30.

2. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi 6. EGC.Jakarta.2011. Hal.258-64.

3. McCorry, LK. Physiology of the Autonomic Nervous System. American.

Journal of Pharmaceutical Education: 71(4);art 78. 2007.

4. Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, et al., editors. Neuroscience. 2nd

edition. Sunderland (MA): Sinauer Associates; 2001. The Parasympathetic

Division of the Visceral Motor System. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11149/

5. Guyton AC, Hall EJ. Textbook of medical physiology: 11th ed.

Philadelphia: Elsevier Inc.; 2006.

6. Baehr, Frotscher. Duus Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy,

Fisiology, Sign, Simptom. Edisi 4. New York: Mc-Graw Hill companies.

2005;129-83

7. Mardjono, Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2014;

219-42.

8. Juwono. Pemeriksaan Klinik neurologik Dalam Praktek. Jakarta: FK UI.

1996; 34-6.

9. Dejong. The Neurology Examination. Edisi 4. : The University of

Michigan Medical School. 2007; 491-509.

15

Anda mungkin juga menyukai