I
Kelompok 3
Anggota Kelompok
Saraf simpatis ini menyiapkan individu untuk bertempur atau lari, semua itu
tampak pada manusia apabila menghadapi masalah, bekerja, olahraga, cemas
dan lainlain, pada keadaan ini terjadi peningkatan penggunaan energi atau
katabolisme. Sistem saraf simpatis disebut juga sistem saraf torakolumbar,
karena saraf preganglion keluar dari tulang belakang toraks ke 1 sampai
dengan ke 12. Pusat saraf simpatis berada dibagian medula spinalis bagian
torakal dan lumbal.
● Beta-1
Reseptor beta-1 lebih dominan di jantung. Umumnya stimulasi reseptor ini
akan meningkatkan aktifitas metabolisme atau eksitasi.
● Beta-2
Reseptor beta-2 lebih tersebar luas didalam tubuh. Reseptor ini
menyebabkan inhibisi sebagai contoh memicu relaksasi otot polos
sepanjang jalur pernafasan
● Beta-3
Reseptor ini terdapat dijaringan lemak, stimulasinya menyebabkan lipolisis,
penghancuran trigliserid yang disimpan dalam adiposit.
Distribusinya :
2. Parasimpatis
Terdapat dua tipe reseptor
1234567890
QWE R T Y U I OP
A S D F GH J KL
Z XCVB NM
KLASIFIKASI OBAT YANG MEMPENGARUHI
SISTEM SARAF OTONOM
● Terdapat banyak tempat atau bagian dimana obat-obat otonom dapat bekerja.
Tempat-tempat yang berfungsi seperti SSP (sistem saraf pusat) yang
merupakan pusat fasomotor, ganglia, terminal saraf pra dan pasca ganglion
(misal : sintesis, penyimpanan, dan pelepasan transmiter) reseptor pada sel efektor
dan mekanisme yang melibatkan terminasi kerja transmiter (misal : metabolisme
atau ambilan kembali).
Klasifikasinya :
Obat-obat yang dapat mempengaruhi fungsi SSO dapat digolongkan menurut jenis efek
utamanya, yaitu golongan :
1. Adrenergik (simpatomimetik), yang mempunyai efek mirip dengan perangsangan
aktifitas saraf simpatik.
2. Penghambat adrenergik (simpatolitik) yang mempunyai efek menghambat aktifitas
susunan saraf simpatik.
3. Kolinergik (parasimpatomimetik) yang mempunyai efek mirip dengan peningkatan
aktifitas susunan saraf parasimpatik
4. Penghambat kolinergik (parasimpatolitik) yang mempunyai efek penghambat aktivitas
susunan saraf parasimpatik
5. Obat ganglion dengan efek merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion.
PENJELASAN PROFIL FARMAKOLOGI (Efedrin,
Terazosin, Atropin, Pilokarpin)
1. Efedrin
● Farmakodinamik
Efedrin secara langsung berperan sebagai agonis pada reseptor alfa adrenergik dan beta
adrenergik, serta secara tidak langsung menyebabkan pelepasan norepinefrin pada persarafan
simpatis. Hal ini menyebabkan efek peningkatan tekanan darah, denyut jantung, cardiac output
serta peningkatan resistensi perifer.
Selain itu, stimulasi pada reseptor alfa adrenergik yang terdapat pada sel otot polos vesika
urinaria menyebabkan peningkatan tahanan terhadap pengeluaran urin. Aktivasi reseptor beta
adrenergik di saluran napas dan paru menyebabkan bronkodilasi. Efedrin juga bekerja sebagai
stimulan pada korteks serebri dan pemberian topikal dapat menyebabkan dilatasi pupil. [1-6]
• Farmakokinetik
Pada pemberian oral, efedrin diserap dengan baik melalui gastrointestinal. Durasi kerja sediaan oral
berkisar 3-6 jam.
• Absorpsi
Efedrin diabsorpsi hampir seluruhnya melalui jalur gastrointestinal. Waktu paruh berkisar antara 2,5-3,6
jam, dengan durasi kerja 3-6 jam. Onset obat sangat cepat jika diberikan secara intravena, dan berkisar 10-
20 menit setelah pemberian intramuskular.
• Distribusi
Efedrin diekskresikan secara ekstensif ke seluruh tubuh, termasuk ke air susu ibu. Efedrin dapat
berakumulasi di hepar, paru, ginjal, limpa, dan otak.
Metabolisme
Efedrin dimetabolisme di hepar secara minimal. Metabolit yang dihasilkan berupa asam benzoat, hippuric
acid, norefedrin, dan p-hidroksiefedrin (inaktif).
• Eksresi
Efedrin dieksresikan melalui urin sebanyak 95% dalam 24 jam. Tetapi, ekskresi efedrin tergantung pada
pH urin dikarenakan adanya grup yang terionisasi pada kondisi asam. Pada kondisi basa, ekskresi urin
dapat berkurang hingga 20-30% dosis. [1,5-7]
2. Terazosin
● Senyawa ini secara khusus memblok alpha1 dengan efek minimal pada alpha2; hal ini mengakibatkan
penghambatan postsynaptic peripher, dengan akibat menurunkan arterial tone. Terazosin merelaksasi
otot halus pada leher kandung urin (bladder neck), sehingga menurunkan obstruksi kandung urin.
Secara umum, reseptor α1-adrenergik memediasi kontraksi dan pengembangan hipertrofik sel otot
polos. α1-Reseptor merupakan reseptor domain 7-transmembran berikatan dengan protein G, Gq / 11.
Tiga subtipe α1-reseptor, yang berbagi sekitar 75% homologi dalam domain transmembran mereka,
telah diidentifikasi: α1A (kromosom 8), α1B (kromosom 5), dan α1D (kromosom 20). Terazosin adalah
antagonis reseptor α1-pertama untuk menunjukkan selektivitas terhadap α1A-reseptor. Ketiga subtipe
reseptor tampaknya terlibat dalam menjaga tonus pembuluh darah. α1A-reseptor mempertahankan
tonus pembuluh darah basal sementara reseptor α1B- menengahi efek vasocontrictory eksogen α1-
agonis. Aktivasi α1-reseptor mengaktifkan protein Gq, yang menghasilkan stimulasi intraselular
phospholipases C, A2, dan D. Hal ini menyebabkan mobilisasi Ca2 + dari intraseluler, aktivasi mitogen-
diaktifkan kinase dan PI3 jalur kinase dan vasokonstriksi berikutnya.
Terozosin menghasilkan efek farmakologis yang dengan
menghambat aktivasi α1A-reseptor. Penghambatan reseptor
dalam pembuluh darah dan prostat menghasilkan relaksasi otot,
penurunan tekanan darah dan meningkatkan aliran urin pada
gejala benign prostatic hyperplasia.
Mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan BP sebagai
akibat dari efek vasodilatasi; memproduksi dilation baik arteri
dan vena.
Mengikat reseptor α1-adrenergik dalam prostat dan trigonum
kandung kemih, yang mengakibatkan penurunan resistensi
outflow kemih pada laki laki.
Dapat meningkatkan profil lipid serum ke batas tertentu
(misalnya, peningkatan kecil di HDL / rasio kolesterol total;
penurunan kecil dalam LDL, kolesterol total, trigliserida dan
konsentrasi).
3. Antropin
Farmakodinamik
Atropin menghalangi aksi muskarinik dari asetilkolin pada:
Struktur jaringan, yang diinervasi oleh persarafan kolinergik post ganglion Otot polos, yang respon
terhadap asetilkolin endogenus
Mekanisme kerja utama atropin adalah sebagai zat antagonisme yang kompetitif, dimana dapat diatasi
dengan cara meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada lokasi reseptor dari organ efektor. Contohnya
adalah dengan menggunakan zat antikolinesterase, yang menginhibisi destruksi enzimatik dari
asetilkolin.
Reseptor-reseptor, yang diantagonisir oleh atropin, adalah struktur jaringan perifer, yang distimulasi,
atau diinhibisi oleh muskarin, seperti kelenjar eksokrin, otot polos, otot kardiak.
Efek kerja atropin, pada jantung, intestinal, dan otot bronkial, adalah lebih poten, dan durasinya lebih
panjang, dibandingkan dengan efek kerja skopolamin (suatu isomer atropin). Namun, aksi atropin, pada
badan siliar, iris, dan kelenjar sekretori tertentu, lebih lemah dari skopolamin.
Farmakokinetik
Berikut adalah farmakokinetik obat atropin, yaitu mengenai absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat :
Absorpsi
Absorpsi atropin per oral terjadi di traktus gastrointestinal. Onset kerja atropin oral dalam waktu satu jam, dan durasi
kerja sekitar 4 jam. Bioavailabilitas obat 90%. Konsentrasi puncak obat dalam plasma darah adalah satu jam. Pada
pemberian secara injeksi intravena, atropin akan segera hilang dalam darah, dengan efek kerja dalam waktu 3 menit.
Sedangkan, konsentrasi puncak obat atropin dalam darah, pada pemberian injeksi secara intramuskular terjadi sekitar
30 menit.
Distribusi
Distribusi atropin injeksi adalah ke seluruh jaringan tubuh. Ikatan protein dengan atropin dalam plasma darah adalah
sekitar 44%. Atropin dapat melewati sawar plasenta, dan memasuki sirkulasi fetus, namun tidak ditemui dalam cairan
amnion.
Metabolisme
Atropin terutama dimetabolisme di hepar. Metabolit utama yang dihasilkan adalah noratropine, atropine-n-oxide, tropine,
dan tropic acid. Metabolisme atropin dapat diinhibisi oleh zat pestisida, seperti organofosfat. Sebagian besar obat
didestruksi oleh enzim hidrolitik.
Eksresi
Waktu paruh atropin, setelah diabsorpsi adalah sekitar 2‒3 jam dalam plasma darah. Waktu paruh eliminasi atropin
adalah lebih dari dua kali lipat pada anak dibawah usia dua tahun, dan lanjut usia, usia >65 tahun, dibandingkan dengan
populasi usia lainnya. Sekitar 13% hingga 50% obat yang masuk ke dalam tubuh, akan diekskresikan ke dalam urine,
dalam bentuk yang tidak diubah. Ekskresi obat juga terjadi ke dalam air susu ibu.
4. Pilokarpin
● Farmakodinamik
Farmakodinamik dari pilocarpine sebagai senyawa kolinergik yang bekerja secara langsung dengan efek
parasimpatomimetik melalui stimulasi reseptor muskarinik dan otot polos termasuk otot sfingter iris dan otot
siliaris (bila diberikan secara topikal ke mata) dan kelenjar sekretori. Kontraksi dari otot siliaris menyebabkan
peningkatan ketegangan pada scleral spur dan pembukaan trabecular meshwork spaces untuk memfasilitasi
aliran keluar dari aqueous humor sehingga mengurangi resistensi aliran keluar dan TIO. Selain itu, pilocarpine
juga memiliki efek miosis melalui kontraksi otot sfingter iris yang dapat mengurangi penyempitan dan penutupan
sudut aposisi sehingga menurunkan TIO pada tipe glaukoma sudut tertutup tertentu.
● Farmakokinetik
Farmakokinetik pilocarpine dengan pemberian secara oral terdiri dari aspek absorpsi, distribusi, metabolisme
dan eliminasi obat. Pilocarpine tersedia dalam bentuk sediaan gel, tetes mata, dan tablet. Pemberian pilocarpine
secara topikal memiliki penetrasi yang baik dengan onset terjadinya miosis dimulai 15-30 menit dan penurunan
TIO dengan onset 60 menit setelah aplikasi topikal serta durasi miosis berlangsung selama 4-8 jam dan
penurunan TIO selama 4-12 jam. Sedangkan, efek puncak pilocarpine pada glaukoma berlangsung antara 2-4 jam
setelah pemberian secara topikal dan berlangsung selama 12-24 jam.
● Absorbsi
Pemberian pilocarpine hydrochloride secara oral pada xerostomia dengan dosis tunggal 5 mg dan 10
mg, memiliki onset aliran saliva terjadi pada 20 menit (individu sehat) sampai 1 jam (individu dengan
kanker kepala dan leher), respon puncak aliran saliva diamati pada 1 jam, dan durasi kerja bertahan
selama lebih dari 10 jam.
Dalam studi farmakokinetik pada individu sehat berjenis kelamin pria, didapatkan pemberian
pilocarpine hydrochloride secara oral dengan dosis 5 dan 10 mg sebanyak 3 kali sehari selama 2 hari,
memiliki nilai Cmax masing-masing 15 dan 41 nanogram/ ml dengan waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak masing-masing pada 1,25 dan 0,85 jam. Diketahui bahwa terjadi penurunan tingkat
penyerapan pilocarpine yang diberikan secara oral, jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan tinggi
lemak.
Pada penelitian yang melibatkan 12 individu sehat (laki-laki) yang konsumsi pilocarpine oral
bersamaan dengan makanan tinggi lemak menunjukkan penurunan tingkat penyerapan dengan Tmax
rata-rata masing-masing 1,47 dan 0,87 jam dalam keadaan makan dan puasa serta Cmax rata-rata
masing-masing 51,8 dan 59,2 nanogram/mL dalam keadaan makan dan puasa.
● Distribusi
Pilocarpine tersebar luas ke jaringan tubuh dengan volume distribusi sebesar 2,1 L/ kg. Pilocarpine tidak
terikat pada protein plasma pada konsentrasi mulai dari 5-25.000 nanogram/ ml.
● Metabolisme
Pilocarpine dimetabolisme menjadi pilocarpic acid oleh serum esterase oleh isoenzim CYP2A6 membentuk
metabolit 3-hydroxypilocarpine dalam mikrosom hati manusia.
● Eksresi
Pilocarpine diekskresikan dalam urin sekitar 30% sebagai bentuk yang tidak berubah dan metabolit inaktif.
Pada individu dengan insufisiensi hati derajat ringan sampai sedang diketahui bahwa total pembersihan
plasma pilocarpine sekitar 30% lebih rendah dibandingkan dengan individu sehat setelah pemberian dosis
tunggal pilocarpine hydrochloride oral 5 mg. Waktu paruh eliminasi pilocarpine hydrochloride oral dosis 5
mg dan 10 mg dengan pemberian 3 kali sehari selama 2 hari, masing-masing 0,76 jam dan 1,35 jam.
Sedangkan, pada individu dengan insufisiensi hati derajat ringan sampai sedang memerlukan waktu 2,1 jam.
Respon terhadap saraf simpatis dapat diilustrasikan pada
saat seseorang ingin menyerang lawan atau sadar adanya
bahaya sehingga ia lari ketakutan, maka tubuh
membutuhkan lebih banyak sinar masuk ke dalam retina
(pupil melebar),dan lebih banyak suplai darah ke seluruh
tubuh (kontraktilitas jantung dan laju jantung meningkat).
Contohnya pada Mata, terjadi Dilatasi pupil. Pada Jantung,
Laju jantung meningkat dan tekanan darah meningkat.
Pada Jaringan Lemak, Liposis meningkat.
Pada Vesikula Urinaria, Tonus spingter menurun dan otot
destrusor meningkat.
Pada Otot Skelet, Glikogenolisis meningkat. Pada Saluran
Gastrointestinal, Peristaltik menurun, tonus spingter
meningkat, aliran darah menurun. Pada Hepar, Glikolisis
pelepasan glukosa meningkat. Pada kulit, Perspirasi
(kolinergik) meningkat. Pada Bronkus, terjadi Dilatasi.
Pada Saliva, Sedikit kental. Pada Saraf Pusat, Kewaspadaan
meningkat.
Sistem saraf parasimpatis mendorong aktivasi
program tubuh tipe “istirahat dan mencerna”. cirinya
seperti pada bagian Mata, Akomodasi untuk
penglihatan dekat (miosis). Pada Saliva, Encer. Pada
Jantung, Laju jantung menurun dan tekanan darah
menurun. Pada Bronkus, Kontriksi sekresi
meningkat. Pada Saluran Gastrointestinal, Sekresi
meningkat, peristaltik meningkat, tonus spingter
menurun. Serta pada, Vesikula Urinaria, Tonus
spingter menurun dan otot destrusor meningkat
Farmakologi
KASUS 1
● Seorang wanita 15 tahun datang dengan gejala demam, sakit tenggorokan, dan limfadenopati serviks
yang nyeri. Dia didiagnosis dengan faringitis yang disebabkan streptokokus dan diobati dengan penisilin
IM. Dalam beberapa menit setelah injeksi, pasien menjadi sesak, takikardi, dan hipotensi,dan ditemukan
mengi pada pemeriksaan. Dia juga mengeluh disfagia. Epinefrin rute IM diberikan segera untuk reaksi
anafilaksisnya.
KASUS 2
Seorang wanita 70 tahun mengalami gagal jantung kongestif ringan dirawat di unit perawatan
intensif (ICU) dengan sepsis yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih. Dia mengalami
hipotensi, dengan tekanan darah 80/40 mm Hg, memiliki denyut jantung meningkat (takikardia),
dan penurunan output urin (oliguria). Seiring dengan pemebarian terapi antibiotik yang tepat
dan cairan IV, keputusan dibuat untuk memberikannya infus norepinefrin IV untuk mencoba
meningkatkan tekanan darahnya
Sloane, Ethel. (2003) Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula(hlm 154) Jakarta:EGC
Miftahulrrahmah 20011112