Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SYOK ANAFILAKTIK

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1.

Definisi
Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan phylaxis = perlindungan). Anafilaksis
berarti menghilangkan perlindungan. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan
efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro
intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya
alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ
terutama kardiovaskuler, respirasi, kulit, dan gastrointestinal yang merupakan reaksi
imunologi yang didahului dengan terpaparnya allergen yang sebelumnya sudah
tersensitisasi. ( Cicilia bangeud, 2012 ).
Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau
tanpa penurunan kesadaran.
Syok anafilaktik merupakan suatu resiko pemberian obat, baik melalui suntikan
ataupun dengan cara lain. Reaksi dapat berkembang menjadi suatu kegawatan berupa
syok, gagal napas, henti jantung, dan kematian mendadak. ( Alirifan, 2007 )

2.

Klasifikasi
Klasifikasi syok anafilaktik :
a. Ringan meliputi :
Rasa jesemutan dan hanya diperifer
Rasa pahit di mulut dan tenggorokan
Kongesti nasal, pembengkakan periorbital
Pruritus, bersin bersin dan mata berair
Awitan gejala terjadi 2 jam setelah kontak

b. Sedang
Kemerahan pada muka dan leher ( sementara ), rasa hangat, gatal gatal
Reaksi serius disertai bronkospasme dan edema saluran nafas atau laring
dengan dispnea, mengi dan batuk
c. Berat

Onset mendadak

Gejala = ringan hanya kejadian lebih cepat hingga terjadi bronkospasme,


edema laring, dispnea berat serta sianosis

3.

Disfagia, kram abdomen, vomiting, diare dan serangan kejang kejang

Kadang timbul henti jantung dan koma

Etiologi
Penyebab anafilaktik paling sering adalah alergen makanan, obat obatan,
sengatan serangga, dan media kontras radio grafis.
Anafilaktik dapat terjadi melalui berbagai jalur paparan alergen termasuk
melalui oral, topical, perkutan, subkutan, intramuskuler, intravenous, maupun
endotrakeal.

Paparan

melalui

oral

lebih

jarang

menimbulkan

anafilaksis

dibandingkan parenteral dengan gejala yang lebih ringan.


Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan
reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen
lain yang tidak bisa di golongkan. Berikut bahan bahan yang sering menyebabkan
anafiktik :
Bahan Penyebab
Makanan
Kacang kacangan
Kerang
Putih telur
Susu
Biji - bijian
Bisa sengatan serangga

Mekanisme
Dimediasi oleh IgE

Waps

Dimediasi oleh IgE

Tawon
Lebah madu
Semut api
Protein atau peptide
Streptokinase

Dimediasi oleh IgE

Insulin

Dimediasi oleh IgE

Plasma seminal

Beberapa dimediasi oleh IgE

Vaksin imunoterapi

Dimediasi oleh IgE

Lateks

Dimediasi oleh IgE

Pelemas otot

Aktivasi sel mast dimediasi oleh IgE

Antibiotika
Penisilin

Dimediasi oleh IgE

Sefalosporin

Dimediasi oleh IgE

Sulfametoksazol

Beberapa dimediasi oleh IgE

Trimetoprim

Beberapa dimediasi oleh IgE

Fluorokuinolon

Tidak diketahui

Vankomisin
Bahan diagnostic atau terapi

Aktivasi sel mast

Media kontras radio grafis

Tidak diketahui

Zat warna fluoresin

Tidak diketahui

Membrane dialysis

Aktivasi komplemen

Plasma (tranfusi)

Aktivasi komplemen

Imonoglobulin intravena

Aktivasi komplemen, Dimediasi oleh IgG


atau IgM

Lain lain
Antibodi monoclonal

Dimediasi oleh IgE

Aspirin, OAINS nonselektif

Produksi

leukotrien

D4,

Prostaglandin E, aktivasi sel mast


Penghambat ACE

Potensial bradikinin

Exercise-induce

Tidak diketahui

Anafilaksis idiopatik

Tidak diketahui

supresi

4.

Faktor Predisposisi
Beberapa factor diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya anafilaksi :
a. Sifat alergen
Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan anafilaksis ( obat golongan
Penisilin, pelemas otot, media kontras radio grafis, aspirin, lateks, kacang
kacangan, kerang )
b. Jalur pemberian obat
Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung menimbulkan anafilaksis
dibandingkan pemberian per oral, namun anafilaksis dapat terjadi melalui
berbagai jalur pemberian
c. Riwayat atopi
Adanya riwayat atopi meningkatkan resiko terjadinya anafilaksis ( misalnya
terhadap lateks, media kontras radio grafis, dan anafilaksis setelah latihan fisik ).
Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki riwayat atopi. Basofil
pada penderita atopik. Basofil pada penderita atopik lebih reaktif dan lebih mudah
mengalami degranulasi dibandingkan penderita non atopik.
d. Kesinambungan ( constantcy ) paparan alergen
Pemakaian obat yang sering terputus dapat meningkatkan resiko terjadinya
anafilaksis. Sebagian besar penderita yang alergi terhadap insulin tidak
mengalami anafilaksis, kecuali jika pemberian insulin tersebut tersebut terputus
dan diberikan kembali setelah beberapa waktu.
e. Pemberian obat imunoterapi berupa injeksi ekstrak allergen pada penderita yang
penyakit alerginya sedang tidak terkendali. Injeksi ekstrak allergen pada penderita
asma yang belum terkendali akan meningkatkan resiko terjadina anafilaktik.

5.

Patofisiologi
Bila suatu alergen spesifik disuntikkan langsung kedalam sirkulasi darah maka
alergen dapat bereaksi pada tempat yang luas diseluruh tubuh dengan adanya basofil
dalam darah dan sel mast yang segera berlokasi diluar pembulur darah kecil. Jika
setelah disensitisasi oleh perlekatan reagen IgE menyebabkan terjadi anafilaksis.
Histamine yang dilepaskan dalam sirkulasi menimbulkan vasodilatasi perifer
menyeluruh. Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan terjadi kehilangan
benyak plasma dari sirkulasi, maka dalam beberapa menit dapat meningggal akibat

syok sirkulasi. Histamine yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi yang


menginduksi timbulnya redflare ( kemerahan ) dan peningkatan permeabilitas kapiler
setempat sehingga terjadi pembengkakan pada area yang terbatas jelas ( disebut
hives ).
Urtikaria yang muncul akibat masuknya antigen karena kulit yang spesifik dan
menimbulkan reaksi setempat. Histamin yang dilepaskan sebagi respon terhadap
reaksi menyebabkan dialatasi pembuluh darah setempat serta terjadi peningkatan
tekanan kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler menimbulkan kebocoran cairan
yang cepat, dalam hidung kebocoran ini menyebabkan dinding mukosa bengkak dan
bersekresi. ( Gaura, 2011 ).
6.

Manifestasi Klinis
Manifestasi anafilaksis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala
maupun perjalanan klinisnya. Reaksi dapat timbul dalam beberapa menit hingga
beberapa jam setelah paparan terhadap suatu allergen. Anafilaksis fase lambat, atau
disebut juga reaksi bifasik, bisa saja muncul 8-12 jam setelah reaksi awal. Walaupun
mendapatkan pengobatan yang agresif, reaksi anafilaksis dapat terus berlangsung
hingga 5-32 jam. Semakin cepat awal timbulnya gejala, biasanya semakin parah
anafilaksis yang terjadi. Kulit, konjungtiva, saluran pernapasan atas dan bawah,
sistem kardiovaskuler, dan gastrointestinal sering kali terlihat secara tersendiri
maupun bersama sama. Kematian dapat terjadi hanya dalam beberapa menit.
a. Kulit
Rasa kesemutan dan panas di kulit sering kali merupakan gejala awal yang
timbul pada anafilaksis, diikuti kemerahan pada kulit ( flushing ), pruritus,
urtikaria, dengan atau tanpa angiodema. Gejala kulit timbul pada 70% reaksi
sistemik generalisata. Pada anafilaksis yang ringan gejala kulit mungkin
merupakan satu satunya manifestasi yang timbul.
b. Saluran napas
Gejala akut berupa keluarnya cairan dalam rongga hidung ( rhinorhea ),
hidung buntu, bersin bersin, rasa gatal pada hidung, terutama pada mereka yang
menderita rhinitis alergika. Angiodema meliputi pembengkakan pada uvula,
lidah, faring atau laring, yang disertai suara parau atau hilangnya suara, stridor,
sesak napas, atau bahkan henti napas. . keterlibatan saluran napas bagian bawah

umumnya berupa bronkospasme dan edema saluran napas, yang menimbulkan


sesak napas, mengi ( wheezing ), dan perasaan dada terhimpit. Pada penderita
asma gejala gejala saluran napas tersebut sangat menonjol.
c. Kardiovaskuler
Aritmia dapat dijumpai selama anafilaksis yaitu berupa gangguan irama
atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai iskemia miokard, palpitasi, dizziness,
atau nyeri dada. Hipotensi merupakan gejala yang paling menghkhawatirkan pada
anafiksis, bervariasi mulai dari yang ringan ( rasa melayang )
d. Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal merupakan akibat dari edem intestinal akut dan spasme
otot polos, berupa nyeri abdomen, mual mual atau diare. Kadang kadang
dijumpai perdarahan rectal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
e. Susunan saraf pusat

Disorientasi, kejang, pingsan, dan penurunan kesadaran dapat terjadi akibat


penurunan perfusi serebral atau efek toksik langsung mediator yang dilepaskan
selama anafilaksis.
7.

Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi : Hitung

sel

meningkat, Hemokonsentrasi,

trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun

Kimia:

Plasma

Histamin

meningkat,

sereum

triptaase

meningkat.
b. Radiologi

X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.

EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia

8.

Diagnosis/kriteria diagnosis
Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat hewan,
makan sesuatu atau setelah test kulit ). Timbul biduran mendadak, gatal dikulit,
suara parau sesak , sukar nafas, lemas, pusing, mual, muntah, sakit perut setelah
terpapar sesuatu.

9.

Therapy/tindakan penanganan
Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
1) Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang
dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu, kecuali pada kondisi terlarang,
misalnya dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan anasthesi ssangatlah
dianjurkan.
2) Penilaian A, B, C dari tahap resusitasi jantung paru
A ( airway ) yaitu membuka jalan napas
Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, penarikan mandibula ke anterior. Dan membuka
mulut. Pada syok anafilaktik yang disertai odem laring, dapt terjadi obstruksi
jalan napas total atau parsial. Pertimbangkan intubasi elektif awal untuk pasien
dengan suara serak yang signifikan dan edema lingual atau orofaringeal.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan
aktif melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Pada pasien
pediatric intubasi mungkin secara teknis sulit, menambah juga beratnya
edema. Oleh karena itu intubasi dengan sedasi dapat dibenarkan.
B ( breathing )
Pasien harus ditempatkan pada monitor kardiopulmonari terus
menerus, termasuk oksimetri. Jika jalan napas sudah memadai. Oksigen harus

diberikan melalui masker wajah nonrebreathing dengan dosis 12 sampai 15


L/menit pada awalnya, kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan.
C ( circulation )
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat
anafilaktik. Pada pasien anak pemberian secara bolus cepat 20 ml/kg harus
diberikan dan diulang seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500
1000 ml. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan
dan kerugian mengingatkan

terjaddinya peningkatan permeabilitas atau

kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka


diperlukan jumlah 3-4 kali diperkirakan kekurangan volume plasma. Biasanya
pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40%
dari volume plasma. Sedangakan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan
dengan jumlah yang sama denganperkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi
perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin.
3) Pemberian epinefrin ( adrenalin )
Pemberian epinefrin dalam larutan 1 : 1000 secara intramuscular di daerah
otot deltoid atau paha sebelah luar ( otot vastus lateralis ) dengan dosis 0,3 mL
( 0,01 mL/kg BB ). Dosis tersebut dapat dapat diulang tiap 15 20 menit b ila
diperlukan. Penderita yang mendapat terapi penyekat

sering kali resisten

terhadap Epinefrin sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Bila anafilaksis
disebabkan oleh sengatan binatang atau suntikan obat didaerah ekstremitas, perlu
dipasang torniket disebelah proksimal sengatan atau suntikan. Torniket ini perlu
dilepaskan selama 1-2 menit setiap 10 menit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
fisik secara cepat dan menyeluruh untuk menentukan organ sasaran yang terkena,
agar pengobatan yang sesuai dapat segera diberikan.

4) Pemberian cairan intravena


Pemberian cairan infus dilakukan bila tekanan sistolik mencapai 100 mmHg
( dewasa ) dan 50 mmHg ( anak ). Cairan yang dapat diberikan adalah RL / Nacl,
Dextra / Plasma. Pada dewasa sering dibutuhkan cairan sampai 2000 ml dalam
jam pertama dan selanjutnya diberikan 2000 3000 ml / LPB / 24 jam. Karena
cukup banyak cairan yang diberikan pemantauan CVP dan hematokrit serial
sangat membantu.
5) Obat obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infus yang diarasakn cukup adekuat tetapi
tekanan sistolik belum mencapai 90 mmHg atau syok belum teratasi, dapat
diberikan vasopressor, dopamine dapat diberikan secara infus dengan dosis awal
0,3 mg/kg BB/jam dan dapat ditingkatkan secara bertahap 1,2 mg/kg BB/jam
untuk mempertahankan tekanan darah yang membaik. Noradrenalin dapat
diberikan untuk hipotensi yang tetap membandel.
6) Aminophilin
Sama seperti adrenalin, aminophilin menghambat pelepasan histamine dan
mediator lain dengan meningkatkan C-AMP sel mast dan basofil. Jadi kerjanya
memperkuat kerja adrenalin. Dosis yang diberikan 5 mg/kg iv pelan pelan
dalam 5 10 menit untuk mencegah terjadinya hipotensi dan diencerkan 10 ml
D5%. Aminophilin diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi
denga adrenalin. Bila perlu aminophilin dapat diteruskan secara infus yang
kontinyu dengan dosis 0,2 1,2 mg/kg/jam
7) Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan juga menghambat
pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid
digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang tidak dapat diatasi dengan
adrenalin dan mencegah terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang
dapat diberikan addalah 7 10 mg/kg iv. Prednisolon dialnjutkan dengan 5 mg/kg
tiap 6 jam atau dengan deksamethason 40 50 mg iv. Kortisol dapat diberikan
secara iv dengan dosis 100 200 mg dalam interval 24 jam dan selanjutnya
diturunkan secara bertahap.

8) Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap sel target.
Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang / bila terjadi
odema angioneurotik dan urtikaria. Dipenhidraimin dapat diberikan dengan dosis
1 -2 mg/kg sampai 50 mg dosis tunggal im. Umtuk anak anak dosinya 1 mg/kg
tiap 4 6 jam.
10. Komplikasi
Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
Bronkospasme persisten.
Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
Kerusakan otak permanen akibat syok.
Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
11. Pencegahan
Pencegahan terhadap episode anafilaksis berikutnya merupakan salah satu
kunci tata laksana jangka panjang. Sebelum memberikan obat kepada seorang
penderita, dokter dan perawat harus mencatat secara teliti adanya riwayat atopi,
riwayat alergi obat sebelumnya, jenis obat yang sedang dipergunakan oleh penderita
saat ini. Pada penderita yang memiliki riwayat alergi, pemberian obat harus
dilakukan secara hati hati. Jika memungkinkan lebih baik obat diberikan secara
oral daripada secara parenteral.
Pada penderita yang baru saja dirawat dirumah sakit akibat reaksi alergi obat /
anafilaktik harus dilakukan pemantauan secara seksama secara berkala. Hindari uji
paparan allergen yang mengandung makanan dan obat obatan, atau pemberian
vaksin imunoterapi. Tes diagnostic dan pengobatan semacam itu seyogyanya hanya
dilakukan oleh dokter ahli di bidang alergi imunologi. Pada penderita yang
sensitive terhadap media kontras radiografi diperlukan langkah langkah profilaksis
dan pemilihan media kontras radiografi dengan osmolalitas rendah.

Woc ( Web Of Caution )


Alergen

(makanan,

obat,

gigitan

serangga, Bahan diagnostik atau terapi

Masuk tubuh (peroral,


Intravena, Itramuskular, dll

Anafilaktik

Pelebaran
pembuluh darah

Maldistribusi volume sirkulasi

Aliran darah balik


(venous return)

Tekanan darah

Tekanan perfusi

Hipoksia jaringan

Otak

Paru paru

Gangguan penurunan
kesadaran

Pola nafas
tidak efektif

Anda mungkin juga menyukai