RUNI ASMARANTO
1.1.
Umum.
Sebagian besar airtanah berasal dari air permukaan yang meresap masuk
kedalam tanah, dan merupakan bagian dari siklus hidrologi. Kandungan airtanah di suatu
daerah dapat dipengaruhi oleh kondisi lapisan geologi bawah permukaan di daerah
tersebut terutama berkaitan dengan porositas batuan.
1.2.
Q
K=
A x dh
dl
L3
T
L xL
2
L
m
T hari
(2-1)
K (mm/hari)
3.1000
0.2000
0.0800
0.0002
0.9400
0.0010
2.
Kapasitas Jenis.
Kapasitas Jenis (Specific Capacity) adalah debit yang dapat diperoleh setiap
penurunan permukaan airtanah bebas ataupun airtanah tertekan, sepanjang satu satuan
panjang dalam satu sumur pompa pada akhir periode pemompaan. Secara sedarhana
harga kapasitas jenis dapat digunakan untuk menentukan besarnya debit pemompaan.
Kapasitas jenis secara umum dinyatakan dalam:
SQ =
L2 m2
Q L3
det
T
S T
L
(2-2)
3.
Transmisivity =
L3
L2 m2
T
T
det
L
(2-3)
Porositas
(%)
Lempung (alluvium)
45-50
Silt (alluvium)
35-45
Pasir (alluvium)
30-35
Pasir dan kerikil (alluvium)
25-30
Lempung (dillivium)
50-60
Silt (dillivium)
40-50
Pasir (dillivium)
35-40
Pasir dan kerikil (dillivium)
30-35
Batu lumpur (neo-tersier)
55-65
Batu pasir (neo-tersier)
40-50
Tufa (neo-tersier)
30-65
(Sumber: Sosrodarsono dan Takeda, 1976 : 96)
4.
Porositas Efektif
(%)
5,00-10,00
5,00-8,00
20,00-25,00
15,00-20,00
3,00-5,00
5,00-10,00
15,00-20,00
10,00-20,00
3,00-5,00
5,00-10,00
3,00-10,00
Koefisien
Permeabilitas
( m2/det )
10-4-10-5
10-4-10-5
10-1-10-6
10-1-10-6
10-5-10-6
10-5-10-6
10-2-10-3
10-2-10-3
10-5-10-6
10-3-10-4
10-3-10-6
d.Akuifug.
Akuifug (Aquifuge) merupakan suatu lapisan yang mempunyai susunan batuan
sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menampung maupun melepaskan air
(sama sekali kedap terhadap air), misalnya granit yang keras, kuarsit, lapisan
batuan yang kompak (rock) atau batuan sedimen yang tersemen penuh.
1.3. Penyebaran Vertikal Airtanah.
Distribusi airtanah secara vertikal dibawah permukaan tanah dibagi dalam
beberapa zona yaitu zona jenuh dan zona tidak jenuh. Zona tidak jenuh sendiri terdiri
atas: zona air dangkal (soil water zona), zona antara (intermediate vadoze water zona)
dan zona kapiler (capillary water zona). Penjelasan selengkapnya mengenai susunan
vertikal airtanah adalah sebagai berikut:
A. Zona Jenuh.
Dalam zona jenuh (Zona of Saturation) semua rongga-rongga atau pori-pori berisi
air. Bagian bawah dari zona jenuh merupakan lapisan kedap air, zona jenuh dapat
berupa tanah liat atau batuan dasar (bedrock). Air yang berada dalam zona jenuh
dinamakan airtanah. Air yang ditampung dalam zona ini adalah air yang ditahan oleh
lapisan setempat terhadap gaya gravitasi. (Bisri, 1988 : 4)
1. Zona Kapiler.
Zona kapiler (Capilary Zona) berada diantara permukaan airtanah sampai ke
batas kenaikan kapiler air. Beberapa penelitian telah mempelajari kenaikan dan
distribusi air dalam zona kapiler dari sudut media berpori. Jika ruang porinya dapat
diandaikan sebagai pipa kapiler dengan kenaikan kapiler, makin tinggi kenaikannya di
atas permukaan airtanah maka besar kadar kejenuhannya makin menurun. (Soemarto,
1995 : 165)
2. Zona Antara.
Zona antara (Intermediate Vadose Zona) terletak di antara batas bawah zona air
dangkal sampai dengan batas atas zona kapiler. Tebal dari zona antara sangat beragam,
zona antara berguna untuk mengalirnya air kebawah, sampai ke muka airtanah.
(Soemarto, 1995 : 165)
3. Zona Air Dangkal.
Zona air dangkal (Soil Water Zona) dimulai dari permukaan tanah sampai ke
zona perakaran utama (major root zona). Tanah di zona air dangkal dalam keadaan tidak
jenuh, kecuali bila terdapat banyak air di permukaan tanah seperti berasal dari curah
hujan, irigasi.
Air yang berada di zona dangkal dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori
berdasarkan konsentrasinya di dalam zona tersebut. (Soemarto, 1995 : 164)
a) Air higroskopis.
Air higroskopis merupakan air yang diisap dari udara membentuk lapisan air
yang sangat tipis dipermukaan partikel-partikel tanah. Air higroskopis memiliki gaya
adhesi yang sangat besar, sehingga tidak dapat diserap oleh akar-akar tanaman.
b) Air kapiler.
Air kapiler merupakan air yang berada dalam lapisan tipis di seputar partikelpartikel tanah. Air kapiler ditahan oleh tegangan permukaan (surface tension) yang
digerakan oleh aksi kapiler sehingga dapat diserap oleh tanaman.
c) Air gravitasi.
Air gravitasi merupakan kelebihan air dangkal yang mengalir melewati sela-sela
butiran tanah di bawah pengaruh gaya gravitasi.
1.4. Akuifer.
Akuifer sendiri berasal dari kata aqua yang berarti air dan fere yang berarti
mengandung. Jadi akuifer dapat juga diartikan sebagai lapisan pembawa air atau lapisan
permeabel. (Suharyadi 1984 : 12)
(K)Akuifer Tertekan
(K)Akuifer Tertekan
Lapisan
LapisanKedap
KedapAir
Air
Daerah dataran yang dimaksud berupa dataran yang luas dengan endapan yang
belum mengeras seperti pasir dan kerikil. Pengisian (recharge) pada umumnya diperoleh
dari perkolasi air hujan atau sungai, sebagai contoh: dataran pantai.
2. Daerah Alluvial (daerah aliran sungai).
Volume airtanah dalam didaerah alluvial ditentukan oleh tebal, penyebaran dan
permeabilitas akuifer. Bila muka air disekitar daerah alluvial lebih tinggi dari muka
airtanah, maka potensi airtanahnya cukup besar. Airtanah pada daerah alluvial dapat
dibagi menjadi tiga macam. (Takeda dan Sosrodarsono, 1976 : 98)
a. Airtanah Susupan.
Airtanah susupan merupakan airtanah yang mengendap di dataran banjir ditambah
langsung dari peresapan sungai. Titik permulaan peresapan air sungai dapat
diperkirakan dari garis kontur permukaan airtanah. Makin panjang jaraknya dari
titik permukaan, biasanya makin kecil tahanan listriknya, karena makin panjang
penyusupan itu, makin banyak bahan-bahan lisrik yang larut dalam airtanah.
b. Airtanah yang Dalam.
Airtanah yang dalam, berupa lapisan alluvium dan diluvium yang diendapkan
setebal seratus sampai beberapa ratus meter di dataran alluvium yang bergantiganti dari lapisan pasir dan krikil, lapisan loam dan lapisan lempung.
c. Airtanah Sepanjang Pantai.
Airtanah di daerah pantai dipengaruhi oleh pasang surut air laut, bila muka air laut
pasang maka airtanah yang tersedia akan banyak.
3. Daerah Lembah Mati.
Daerah lembah mati merupakan suatu lembah yang tidak dilewati sungai.
Potensi airtanahnya cukup besar akan tetapi suplai air yang diterima tidak sebesar
daerah aliran air.
4. Daerah Lembah antar Gunung.
Daerah lembah antar gunung merupakan daerah lembah yang dikelilingi oleh
pegunungan biasanya terdiri dari material lepas dalam jumlah yang sangat besar.
Materialnya berupa pasir dan kerikil yang akan menerima air dari pengisian.
B. Material Kompak.
Sedangkan beberapa material kompak yang mempunyai potensi airtanah cukup
besar antara lain : (suharyadi, 1984 : 24)
1. Batu Gamping.
Batu gamping apabila dalam keadaan kompak tidak dapat bertindak sebagai
akuifer, tetapi apabila memiliki banyak retakan, lubang diantara retakan tersebut dapat
juga memungkinkan untuk bertindak sebagai akuifer. Dalam hal ini jenis batu gamping
sangat menentukan disamping topografinya.
2. Batuan Beku Dalam.
Batuan beku dalam tidak termasuk sebagai akuifer yang baik, akan tetapi bisa
mengandung airtanah jika memiliki banyak rekahan-rekahan didalamnya.
3. Batuan Vulkanik.
Batuan vulkanik primer misalnya lava basalt dapat sangat lulus air apabila
banyak lubang-lubang bekas gas maupun retakan. Batuan endapan vulkanik dapat
bertindak sebagai akuifer yang baik, terutama batuan yang berumur muda.
1.6.
Metode-metode Geofisika.
Ada beberapa metode geofisika yang dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi lapisan geologi bawah permukaan (Verhoef, 1992 : 199) diantaranya:
8
A. Metode Seismik.
Dalam metode seismik penyelidikan didasarkan pada kecepatan rambat dari
getaran suara, yang tergantung dari kerapatan material dan massa. Metode seismik
terdiri dari metode refraksi seismik dan metode refleksi seismik.
B. Metode Geolistrik.
Pada metode geolistrik penyelidikan didasarkan pada variasi vertikal dan
horizontal yang menyangkut perubahan dalam hantaran elektrik suatu arus listrik.
Metode ini banyak digunakan dalam penentuan struktur geologi, ketebalan lapisan
penutup, kadar kelembaban tanah dan permukaan airtanah.
C. Metode Magnetik.
Metode magnetik merupakan salah satu bentuk pengukuran terhadap variasi
dalam medan magnetik bumi. Metode ini banyak digunakan dalam pencarian material
magnetik dalam lingkungan yang tidak magnetis atau sebaliknya.
D. Metode Elektromagnetik VLF (Very Low Frequency)
Salah satu metode yang banyak digunakan dalam prospeksi geofisika adalah
metode elektromagnetik. Metode elektromagnetik biasanya digunakan untuk eksplorasi
benda-benda konduktif. Perubahan komponen-komponen medan akibat variasi
konduktivitas dimanfaatkan untuk menentukan struktur bawah permukaan. Medan
elektromagnetik yang digunakan dapat diperoleh dengan sengaja membangkitkan
medan elektromagnetik di sekitar daerah observasi, pengukuran semacam ini disebut
teknik pengukuran aktif. Contoh metode ini adalah Turam elektromagnetik.
Metode ini kurang praktis dan daerah observasi dibatasi oleh besarnya sumber
yang dibuat. Teknik pengukuran lain adalah teknik pengukuran pasif, teknik ini
memanfaatkan medan elektromagnetik yang berasal dari sumber yang tidak secara
sengaja dibangkitkan di sekitar daerah pengamatan. Gelombang elektromagnetik seperti
ini berasal dari alam dan dari pemancar frekuensi rendah (15-30 Khz) yang digunakan
untuk kepentingan navigasi kapal selam. Teknik ini lebih praktis dan mempunyai
jangkauan daerah pengamatan yang luas.
1.7.
Pendugaan Geolistrik.
Penyelidikan airtanah secara tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa
metode, salah satunya adalah penyilidikan geofisika. Untuk kepentingan airtanah sering
digunakan metode geolistrik, karena lebih mudah dan murah. Dengan geolistrik dapat
diukur harga tahanan jenis dari lapisan batuan lokasi tertentu. Secara umum cara kerja
alat geolistrik ini dapat dilihat pada gambar 2.7 dibawah.
Gambar 2.8. Tampak atas dan samping dari alat resistivity meter
10
V2
Gambar 2.9. Arus listrik merata dan sejajar dalam sebuah silinder dengan beda
potensial antara kedua ujungnya. (Sumber, Waluyo, 1984 : 149)
Dimana:
A x V
I xL
V
I
(2-4)
=
=
=
Tabel 2.3. Harga tahanan jenis berbagai mineral, batuan maupun fluida.
Resistivitas Semu
esistivitas e u Material Bumi
Material Bumi
-m)
m)
Logam
Batuan sedimen
Tembaga
1,7 x 10-8
Batu Lempung
10 1 x 103
-8
Emas
2,4 x 10
Batu Pasir
1 1 x 108
Perak
1,6 x 10-8
Batu Gamping
50 1 x 107
-3
Grafit
1 x 10
Dolomit
100 1 x 104
Besi
1 x 10-7
Nikel
7,8 x 10-8
Sedimen Lepas
-7
Timah
1,1 x 10
Pasir
1 1 x 103
Lempung
1 1 x 102
Batuan Kristalin
Granit
102 - 106
Airtanah
4
5
Diorit
10 10
Air Sumur
0,1 1 x 103
3
6
Gabbro
10 10
Air Payau
0,3 1
2
4
Andesit
10 10
Air Laut
0,2
Basalt
10 107
Air Asin (Garam)
0,05 0,2
4
Sekis
10 10
11
Gneiss
104 - 106
(Sumber: Waluyo, 1984 : 179)
Tabel 2.4. Harga resistivitas spesifik batuan
Material
Air Permukaan
Air Tanah
Silt-lempung
Pasir
Pasir dan Kerikil
Batu Lumpur
Batu Pasir
Konglomerat
Tufa
Kelompok Adesit
Kelompok Granit
Tanah Lempung
Lempung Lanau
Tanah Lanau Pasiran
Batuan Dasar Lembab
Pasir Kerikil Kelanauan
Batuan Dasar Tak lapuk
terdapat Air Tawar
Air Asin
Kelompok Chert, Slate
Unconsolidated Sedimen
Sand
Clay
Marl
Ground Water
Portable well water
Breckish water
Sea Water
(Sumber: Telford et al., 1990)
Harga resistivitas ( M)
80-200
30-100
10-200
100-600
100-1000
20-200
50-500
100-500
20-200
100-2000
1000-10000
1,5-3,0
3,0-15
15-150
150-300
300
2400
20-60
20-200
0,18-0,24
1-1000
1-100
1-100
0,1-1000
0,3-1
0,05-0,2
Secara teknis hubungan antara besarnya nilai tahanan jenis dengan macam
batuan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nilai tahanan jenis batuan yang lepas lebih rendah dari batuan yang kompak.
2. Nilai tahanan jenis batuan akan lebih rendah, jika airtanah berkadar garam tinggi.
3. Tidak terdapat batas yang jelas antara nilai tahanan jenis dari tiap-tiap batuan.
4. Tahanan jenis batuan dapat berbeda secara menyolok, tidak saja dari lapisan yang
satu terhadap lapisan yang lain, tetapi juga didalam satu lapisan batuan.
5. Batuan yang pori-porinya mengandung air, hambatan jenisnya lebih rendah dari yang
kering. Kandungan air didalam batuan akan menunjukan harga resistivitas.
Ketentuan umum dari sifat kelistrikan batuan adalah besarnya tahanan
dinyatakan dengan perantaraan nilai tahanan jenisnya. Tahanan jenis berbanding
terbalik dengan daya hantar listrik, sehingga:
12
Dimana:
(2-5)
= Tahanan Jenis (Ohm-meter).
= Daya hantar listrik.
13
melalui elektroda arus C1 dan C2. Hasil dari perbedaan tegangan (P1-P2) yang
dihasilkan oleh arus ini di dalam bumi diukur melalui dua elektroda potensial P1 dan P2.
Adapun konfigurasi posisi elektroda yang umum digunakan yakni konfigurasi
Schlumberger, sedangkan metode-metode lain sangatlah jarang digunakan.
1.7.3.1. Konfigurasi Schlumberger
Penggunaan geolistrik pertama kali dilakukan oleh Conrad Schlumberger pada
tahun 1912. Metoda geolistrik konfigurasi Schlumberger merupakan metoda favorit
yang banyak digunakan untuk mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah
permukaan dengan biaya survei yang relatif murah.
Kelemahannya adalah tidak bisa mendeteksi homogenitas batuan di dekat
permukaan yang bisa berpengaruh terhadap hasil perhitungan. Pada konfigurasi
Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil-kecilnya, sehingga jarak MN secara
teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat ukur, maka ketika jarak
AB sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya dirubah. Perubahan jarak MN
hendaknya tidak lebih besar dari 1/5 jarak AB.
Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pembacaan tegangan pada
elektroda MN adalah lebih kecil terutama ketika jarak AB yang relatif jauh, sehingga
diperluka alat ukur ulti eter ya g e pu yai karakteristik high i peda e de ga
akurasi tinggi yaitu yang bisa mendisplay tegangan minimal 4 digit atau 2 digit di
belakang koma. Atau dengan cara lain diperlukan peralatan pengirim arus yang
mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi.
Sedangkan keunggulan konfigurasi Schlumberger ini adalah kemampuan untuk
mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan, yaitu dengan
membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda MN/2.
a.
Posisi Elektroda
Pada pendugaan geolistrik Schlumberger, elektroda ditempatkan dalam satu
garis lurus, simetris terhadap tititk pusat, seperti terlihat dalam Gambar 2.10. Jarak
elektorda C1 dan C2 (AB) dibuat lebih besar dari jarak antara dua elektroda potensial P1
dan P2 (MN). Biasanya dalam praktek di lapangan digunakan jarak AB = 5 MN dan
hasilnya cukup baik. Titik duga 0 terletak ditengah-tengah sebagai titik duga. Arus listrik I
dialirkan dan diukur antara kutub-kutub arus listrik C1 dan C2 sedangkan tegangan listrik
V diukur antara kutub-kutub P1 dan P2.
b.
14
Karena di bumi tidak ada lapisan batuan yang homogen isotropic, maka tahanan
jenis yang diperoleh adalah tahanan jenis semu. Tahanan jenis semu ini dinyatakan
dengan Persamaan (2-7):
(2-7)
dimana:
a
C1
M
A
P2
P1
MN 1/5AB
C2
L = AB
15
MN pada konfigurasi Wenner selalu sepertiga (1/3) dari jarak AB. Bila jarak AB
diperlebar, maka jarak MN juga harus diubah sehingga jarak MN tetap sepertiga jarak
AB.
Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan tegangan
pada elektroda MN lebih baik dengan angka yang relatif besar karena elektroda MN
yang relatif dekat dengan elektroda AB. Disini bisa digunakan alat ukur multimeter
dengan impedansi yang relatif lebih kecil.
Data yang didapat dari cara konfigurasi Wenner, sangat sulit untuk menghilangkan
faktor non homogenitas batuan, sehingga hasil perhitungan menjadi kurang akurat.
a. Posisi elektroda
Penyusunan titik ukur mengunakan mengunakan system grid, sehingga lokasi tersebut
dapat terukur dari berbagai arah. Jarak antara grid dan intervalnya diatur sesuai luas
lokasi. Pada gambar 2.11. memperlihatkan empat buah kutub listrik yang ditancapkan
dengan interval yang sama pada sebuah garis lurus. Cara rangkaian seperti ini disebut
konfigurasi Wenner.
Jarak elektroda C1 dan C2 (AB) dibuat tiga kali dari jarak antara dua elektroda
potensial (MN). Titik duga no 0 terletak di tengah-tengah. Arus listrik I dihubungkan
antara arus listrik C1 dan C2 lalu dialirkan secara bertahap. Kemudian hasil pembacaan
tegangan V diukur selisihnya antara kutub tegangan P1 dan P2. Tahap demi tahap
interval kutup AB diperpanjang dengan titik duga sebagai pusat untuk memperoleh hasil
pengukuran yang baik.
b. Analisa Nilai Tahanan Jenis Semu
Rumus untuk tahanan jenis sebenarnya dan tahanan jenis semu pada konfigurasi
Wenner tidak terlalu jauh berbeda dengan konfigurasi Schlumberger, perbedaannya
hanya terletak pada faktor koreksi geometri.
K=2 a
Dimana:
K = Faktor koreksi geometri
a = jarak dari penempatan elektroda potensial (m)
= 3.14
I
C1
M
A
P2
P1
MN = 1/3AB
L = AB
16
C2
Kemudian buat VES point baru dengan mengklik icon atau menekan tombol
Ctrl+Alt+N untuk memulai proses input data tahanan jenis seperti gambar
2.13
17
4.
18
19
20
5.
6.
Klik Invers Modeling untuk menganalisa data tahanan jenis yang sebenarnya,
kemudian klik Invers Processing sampai mendapatkan nilai error kecil. Kalau
bisa mendekati nilai error pada IPI2Win.
Untuk melihat hasil Interpretasi lapisan batuan, klik Interpreted Data Gambar
Litologi batuan akan tampil dengan nilai tahanan jenisnya pada masingmasing lapisan batuan.
Material
Air pemasuan
Airtanah
Siltlempung
Pasir
Pasir dan keripik
Batu Lumpur
Batu pasir
Konglomerat
Tufa
Kelompok adesit
Kelompok granit
Kelompok chert, state
Tanah lempung
Lempung
Lemauan
Tanah lanau pasiran
Batuan dasar lembab
Pasi kerikil kelanauan
Batuan dasar tak lapuk
Kelompok cheret
21
0.18 0.24
Shale
Silt lempung
Pasir
Pasir dan kerikil
Batu pasir
Konglomerat
Tufa
Kelompok andesit
Kelompok granit
Kelompok chart
Shale
Sumber : Suyono, 1999
10 200
100 600
100 1000
20 200
50 500
100 500
20 200
100 200
1000 10000
200 2000
3 x 10 - 10
1.7 x 10 4.5 x 10
2
10 5 x 10
10 1.3 x 10
3
2 x 10 - 10
6 x 10 4 x 10
2
10 2.5 x 10
10 2 x 10
20 2 x 10
10 8 x 10
2 x 10 - 10
1 6.4 x 10
50 10
7
2
3.5 x 10 5 x 10
20
3 70
1 100
10 800
22
4 800
Groundwater
Brackish water
Sea water
0.1 10
0.2 1
0.3 0.2
23
Mulai
Peta Geologi
dan Hidrogeologi
Pengukuran Geolistrik
Konfigurasi Schlumberger
Menentukan Target
Pemboran
Selesai
Gambar 3.2.
24
PROGRAM IPI2WIN
PROGRAM PROGRESS
Mulai
Analisa Data
Tahanan Jenis Semu
Mulai
Analisa Data
Tahanan Jenis Sebenarnya
Forward Modeling
IPI-format
Input Data dan Depth Lapisan Tanah
Pilih inversi: Menghitung
Procesing Modeling
nilai Resistivitas
Invers
Tidak
Litologi Batuan
Ya
Simpang data dalam bentuk file BMP
Resistivity Log
Print Out
Selesai
25
PROGRAM IPI2WIN
PROGRAM PROGRESS
Mulai
Analisa Data
Tahanan Jenis Semu
Mulai
Analisa Data
Tahanan Jenis Sebenarnya
Input Observasi Data
a dan AB/2
Forward Modeling
Input Data dan Depth Lapisan Tanah
Procesing Modeling
Invers
Modeling dan Prosesing
Tidak
Interpretasi Data
Nilai error 15% Data
Sudah Benar
Litologi Batuan
Ya
Simpang data dalam bentuk file BMP
Resistivity Log
Print Out
Selesai
26
DAFTAR PUSTAKA
Asmaranto,R., Soemitro,R.A.A., Anwar, N (2012)
http://jurnalpengairan.ub.ac.id/index.php/jtp/article/download/150/148
Anderson, M. P., and Woessner, W. W., 1992, Applied Groundwater Modeling,
Simulation of Flow and Adventive Transport, San Diego, Academic. Press.,
www.csun.edu/~hcgeo008/geol578.pdf
Asdak, C., 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Bisri, M. 1991. Aliran Airtanah. Malang : UPT. Penerbit Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya
Boonstra, J., 1999, Well Hydraulic and Aquifer Test, International Institute for Land
Reclamation and Improvement The Netherlands.
Bruin, Jack and Hudson, Jr, HE, 1961, Selected Methods for Pumping Test Analysis, State
of Illionis, USA.
DeFosset, Kevin L. and Richards Christopher J., 2003, Analysis of Sand and Gravel
Aquifer Pump Test, Wright Landfill, Okaloosa County, Florida. Dingman, SL., 2002,
Physical Hydrology, 2nd Edition, Upper Saddler River, New
Jersey, Prentice Hall.
Duffield, Glenn M., 2010, Pumping Test (Pump Test), HydroSOLVE, Inc. Gregg, Neil,
1996, Water Resources Management Principles, Regulation and Cases, MC Graw Hill.
Hendrayana, Heru, DR., 2002, Dampak Pemanfaatan Airtanah, Modul Kuliah Teknik
Geologi, UGM.
Herrera, Ismael, 1970., Theory of Multiple Leaky Aquifer, Water Resources Research,
vol 6, no. 1.
Irianto, S.G., 2007, Pedoman Teknis Pengembangan Irigasi Airtanah Dangkal, Jakarta,
Direktorat Pengelolaan Air, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian.
Kodoatie, Riobert J, Sjarief, Rustam,2010, Tata Ruang Air, ANDI Offset, Yogyakarta.
Kruseman G.P, de Ridder N.A, Verweij J.M, 1994, Analysis and Evaluation of Pumping
Test Data (Second Edition; completely revised), ILRI (International Institute for Land
Reclamation and Improvement, Wageningen, The Netherlands
Suharyadi. 1984. Geohidrologi. Yogyakarta : Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada
27