Anda di halaman 1dari 26

1

MAKALAH KEPERAWATAN ENDOKRIN II


ASUHAN KEPERAWATAN
GIGANTISME PADA PASIEN ANAK

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK V
Noviani Nastiti S
Achmad Luky Amanda F
Agida De Argarinta
Siti Hidayati Al Indasah
Yeny Rachmawati
Thurfah Kustiati Azmi

(131311123034)
(131311123035)
(131311123037)
(131311123039)
(131311123041)
(131311123045)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
DAFTAR ISI

Daftar Isi ...........................................................................................

BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ....................................................................
B. Tujuan ................................................................................

3
4

BAB II Tinjauan Pustaka


A. Konsep Dasar
1. Definisi ........................................................................
2. Etiologi .........................................................................
3. Manifestasi Klinik ........................................................
4. Patofisiologi (WOC) ....................................................
5. Pemeriksaan Diagnostik ..............................................
6. komplikas.............................................. .......................
7. Penatalaksanaan .........................................................
8. Prognosis ......................................................................
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian ...................................................................
a. Riwayat Keperawatan ..........................................
b. Pemeriksaan Fisik .................................................
2. Diagnosis Keperawatan .............................................
3. Intervensi Keperawatan ............................................

5
5
7
9
11
12
12
14
14
14
15
15
16

BAB III Penutup


A. Simpulan ............................................................................
B. Saran ..................................................................................
Daftar Pustaka ....................................................................................

26
26
27

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal terutama dalam tinggi
badan (melebihi 2,14 m), akibat kelebihan growth hormone pada anak
sebelum fusi epifise (Brooker, 2009). Hubungan antara gigantisme dan GH
telah diketahui pertama kali sejak tahun 1886 oleh seorang neurologis
Perancis, Piere Marie yang mengatakan sebagai penyakit kronis endokrin.

Onset hipersekresi GH pada kanak-kanak akan menyebabkan


terjadinya gigantisme dan bila onset hipersekresi GH pada usia remaja
(setelah penutupan celah efipiseal) akan terjadi peningkatan tinggi badan dan
akromegali (Eugster, 2004 & Shim M, 2004). Insiden hipersekresi GH dibagi
menjadi dua kategori yaitu primer pada hipofisis dan peningkatan growth
hormone-realising hormone (GHRH) atau disregulasi. Kebanyakan insiden
gigantisme karena adenoma hipofisis yang mensekresis GH atau karena
hyperplasia. Gigantisme tampak juga pada keadaan lain seperti: multiple
endocrine neoplasma (MEN) tipe I, Mc Cune-Albright Syndrome (MAS),
neurofibromatosis, sklerosis tuberosistas atau kompleks Carney (Shim, 2004).
Frekuensi gigantisme di Amerika Serikat sangat jarang, diperkirakan
ada 100 kasus yang dilaporkan hingga saat ini. Tidak ada predileksi ras pada
gigantisme. Insiden kejadian gigantisme tidak jelas. Pada orang dewasa
kelebihan GH pada perempuan dan laki-laki adalah sama (Shim, 2004).
Gigantisme biasa terjadi di negara Barat karena gigantisme bisa terdiagnosa
secara dini, sedangkan di Afrika, Amerika Selatan dan Asia jarang terdiagnosa
secara dini (Herder, 2008).
Kelainan gigantisme dapat mengakibatkan peningkatan metabolisme
tubuh dan terganggunya keseimbangan tubuh. Asuhan keperawatan yang
tepat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang muncul akibat
gangguan hipofisis yang terjadi. Penatalaksanaan keperawatan yang tepat dan
cepat diperlukan agar pasien dapat kembali memenuhi kebutuhan dasarnya
secara mandiri. Melalui makalah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan
memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kelenjar
hipofisis dengan baik dan benar.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu memahami konsep dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada pasien yang menderita gigantisme.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep dasar gigantisme:
1) Mengetahui definisi gigantisme.

2) Mengetahui etiologi gigantisme.


3) Mengetahui manifestasi klinik gigantisme.
4) Mengetahui patofisiologi (WOC) gigantisme.
5) Mengetahui pemeriksaan diagnostik gigantisme.
6) Mengetahui komplikasi gigantisme.
7) Mengetahui penatalaksanaan gigantisme.
8) Menjelaskan prognosis gigantisme.
b. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gigantisme:
1) Mengetahui pengkajian pada pasien dengan gigantisme.
2) Mengetahui diagnosis keperawatan pada pasien dengan
gigantisme.
3) Mengetahui
gigantisme.

intervensi

keperawatan

pada

pasien

dengan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal, terutama dalam tinggi
badan (melebihi 2,14 m) akibat kelebihan GH pada anak sebelum fusi
epifisis (Brooker, 2005).
Gigantisme merupakan suatu penyakit kelebihan pertumbuhan
longitudinal tulang skelet yang dijumpai akibat kelebihan GH sebelum
pubertas (Corwin, 2008).
Gigantisme merupakan peningkatan hormone protein dalam banyak
jaringan, meningkatkan penguraian asam lemak dan jaringan adipose dan
kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Jadi, gigantisme adalah suatu penyakit akibat hipersekresi growth
hormone yang terjadi pada anak-anak sebelum fusi epifise atau lempeng
tulang menutup yang dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal.

2. Etiologi
Sekresi GH berlebihan memiliki beberapa penyebab potensial dan
dapat terjadi dalam konteks sejumlah gangguan heterogen. Kasus
hipersekresi GH dapat dibagi menjadi dua ketegori utama yaitu primer
pada hipofisis dan peningkatan sekresi growth hormone-realising
hormone (GHRH) atau disregulasi. Kebanyakan insiden gigantisme
karena adenoma hipofisis yang mensekresis GH atau karena hiperplasia.
Gigantisme juga tampak pada keadaan lain seperti multiple endocrine
neoplasma (MEN) tipe 1, Mc Cune-Albright Syndrome (MAS),
neurofibromatosis, sklerosis tuberosistas atau kompleks Carney (Eugster
& Pescovitz, 1999).
Penyebab sekresi GH yang berlebihan adalah:
Sumber

Mekanisme

Kelebihan

Patogenetik

Konteks Klinis

Temuan yang Terkait

GH
Kelebihan

Mutasi Gs

GH

Adenoma hipofisis

gsp onkogen

sporadis

hipofisis
primer
Hilangnya

Adenoma hipofisis sporadis

heterozigositas
11q13
MEN tipe 1

Warisan dominan autosomal,


neoplasia pankreas, hipofisis,

Abnormalitas di

Carney kompleks

2p16

paratiroid.
Warisan dominan autosomal,
beberapa lentigines mixoma,

Hiperplasia pituitari

neoplasia endokrin.
Tak ada sumber identifikasi

Kelebihan

Kelebihan

GH

GHRH

sekunder

hipotalamus
Sekresi GHRH

Gangliositoma,

Hubungan erat tumor neuron

tumor

neurositoma

dengan sel pensekresi GH

intrakranial
Kelebihan

Ca. pankreas,

hipofisis
Penyebab yang sangat jarang

GHRH ektopik
Kelebihan GH

neoplasia bronkial
Limpoma

dari gigantisme
Salah melaporkan kasus

ektopik
Pola abnormal

Neurofibromatosis

akromegali
Infiltrasi ke jalur

somatostatin

dengan optik

somatostatinergik

hipersekresi GH atau GHRH

glioma/astrositoma
Etiologi gigantisme menurut Greenspan & Baxter (2000) adalah:
a. Fungsi hipotalamus yang abnormal menyebabkan sekresi GH
berlebihan.
b. Adenoma hipofise:
1) Mikroadenoma : adenoma intrasellar dengan diameter < 1 cm yang
disertai dengan manifestasi hormone yang berlebihan tanpa
pembesaran sellar atau penekanan ekstrasellar.
2) Makroadenoma: adenoma yang berdiameter > 1 cm.

3. Manifestasi Klinik
Pada pasien gigantisme terjadi pertumbuhan linier yang cepat,
wajah kasar, pembesaran kaki dan tangan. Pada anak muda,
pertumbuhan cepat kepala dapat mendahului pertumbuhan linier dan
memiliki masalah penglihatan dan perilaku. Pada kebanyakan kasus
yang terekam, pertumbuhan abnormal menjadi nyata pada masa
pubertas. Jangkung dapat tumbuh sampai ketinggian 8 kaki atau lebih
(Behrman, Kliegman & Arvin, 2000).
Adapun menurut Kowalak (2011) manifestasi klinis pasien
dengan gigantisme adalah:
a. Rasa

sakit

pada

punggung,

artralgia,

dan

artritis

akibat

pertumbuhan tulang yang cepat.


b. Tinggi badan yang berlebihan akibat pertumbuhan berlebihan
sebelum lempeng epifisis menutup.
c. Sakit kepala, muntah, serangan kejang, gangguan penglihatan, dan
papiledema (edema pada tempat nervus optikus memasuki rongga
bola mata) yang semua terjadi karena tumor yang menekan saraf
dan jaringan pada struktur di sekitar.
d. Defisiensi pada sistem hormon yang lain (jika tumor yang
memproduksi GH menghancurkan sel-sel penghasil hormon yang
lain).
e. Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH yang
merupakan antagonis insulin.

(sriaristiadewi.wordpress.com/tag/gigantisme/)
4. Patofisiologi
Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH (Growth Hormone) yang
berlebihan. Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang
mensekresi GH atau karena kelainan hipotalamus yang mengarah pada
pelepasan GH secara berlebihan. Penyebab kelebihan produksi hormon
pertumbuhan juga berasal dari tumor pada sel-sel somatrotop yang
menghasilkan hormon pertumbuhan.
Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis
menutup, seperti pada anak prapubertas, kadar GH yang berlebihan akan

menyebabkan gigantisme. Hal ini ditandai dengan peningkatan umum


ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang berlebihan.
Penderita gigantisme biasanya berperawakan tinggi lebih dari 2 meter
dengan proporsi tubuh yang normal, hal ini terjadi karena jaringan lunak
seperti

otot

tetap

tumbuh.

Gigantisme

juga

dapat

mengalami

hiperhidrosis yaitu keadaan dimana terjadinya hipermetabolisme yang


menyebabkan keringat berlebih. Penderita dapat pula mengalami
gangguan penglihatan apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan
chiasma opticum yang merupakan jalur saraf mata. Pembesaran jaringan
saraf yang tertekan juga mengakibatkan terjadinya sensasi kesemutan dan
kelemahan pada lengan dan kaki.
Hormon pertumbuhan mempengaruhi metabolisme beberapa zat
penting tubuh, sehingga penderita gigantisme sering mengalami
endocrinopathies

misalnya

hipogonadisme,

hiperprolaktinema,

diabetes/hiperglikemi. Hiperglikemi terjadi karena produksi hormone


pertumbuhan yang sangat banyak menyebabkan hormone pertumbuhan
tersebut menurunkan pemakaian glukosa di seluruh tubuh sehingga
banyak glukosa yang beredar di pembuluh darah. Dan sel-sel beta pulau
Langerhans pancreas menjadi terlalu aktif akibat hiperglikemi dan
akhirnya sel-sel tersebut berdegenerasi. Akibatnya, kira-kira 10 persen
pasien Gigantisme menderita Diabetes Melitus.

WOC Gigantisme

Mutasi GsAbnormalitas diFungsi


2p16

GRH & Som

pen
Stimulasi
Retensi cairan Organo
dan
Na
Proliferasi
tulang enzim 1-hidroksilase
10

Hipertrofi
Pada masa pertumbuhan (anak-anak) lempeng epifise pada tulang belum
menu
kadar vit. D
vol. plasma

absorbsi Ca

HT
MK: Penuruna

Glomerulo-sklerosis
Pertumbuhan longitudinal cepat (abnormal)

MK

Kelem

Perubahan struktur tubuh

MK: Gangguan citra tubuh


MK:
Intoleransi

Kurangnya peng

5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Behrman, Kliegman & Arvin

(2000) pemeriksaan

penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa gigantisme


adalah:
a. Laboratorium
1) Kadar GH meningkat dan kadang-kadang mencapai 400 ng/mL.
Pola sekresi episodik dan arus nokturna dapat terpelihara pada
beberapa penderita. Biasanya tidak ada supresi kadar GH oleh
hiperglikemia uji toleransi glukosa. Mugkin tidak ada respons,

11

respons

normal

atau

respons

rangsangan lain. Misalnya

paradoks

terhadap

berbagai

L-dopa dapat secara paradoks

menurunkan kadar GH. Pemberian hormon pelepas tirotropin


mengakibatkan peningkatan kadar GH 3 x lipat pada anak raksasa
berusia 5 tahun.
2) Pengukuran kadar IGF-1 berkisar 2,6-21,7 U/mL (kadar normal:
0,3-1,4 U/mL).
3) Adanya hiperprolaktinemia yang mencolok sebagai akibat dari
adenoma plurihormonal yang mensekresikan GH dan prolaktin.
4) Kadar glukosa darah dapat meningkat.
b. Radiologi
1) Rontgen tengkorak kepala memperlihatkan pelebaran sella tursica
dan sinus paranasalis, penebalan kalvarium dan pembesaran
mandibula.
2) Rontgen ekstremitas

menampakkan

ikatan

falangs

dan

bertambahnya penebalan bantalan tumit adalah biasa. Maturasi


tulang normal.
c. CT-scan dan MRI dapat menunjukkan pembesaran atau hiperplasi
jaringan hipofisis dan adanya tumor atau adenoma.
6. Komplikasi
a. Diabetes mellitus
GH juga mempengauhi metabolisme karbohidrat. Pada keadaan
berlebihan, akan meningkatkan penggunaan karbohidrat dan
mengganggu pengambilan glukosa ke dalam sel. Resistensi
terhadap insulin karena GH tampak berhubunan dengan kegagalan
postreseptor pada kerja insulin. Kejadian ini mengakibatkan
intoleransi glukosa dan hiperinsulinisme sekunder. Intoleransi
glukosa dan hiperinsulinisme terjadi masing-masing pada 50% dan
70% kasus
b. Hipertensi dan Hipertrofi jantung
Sebagian besar kerusakan akibat hipersekresi GH yang kronis
disebabkan oleh stimulasi IGF-1 yang berlebihan. Pengaruh daya
tumbuh dari IGF-1 menyebabkan proliferasi yang khas pada

12

jaringan lunak dan meningkatkan ukuran besarnya orrgan lain


hingga

menimbulkan

manifestasi

klinis

hiperttofi

jantung.

Hipertrofi jantung terjadi sekitar 15% kasus dan hipertensi yang


tidak diketahui penyebabbnya terjadi sekitar 25% kasus
c. Artralgia dan artritis
Pertumbuhan tulang dan kartilago berlebihan menyebabkan
artralgia

dan

pada

kasus

yang

sudah

berlangsung

lama

menyebabkan artritis degeneratifpada tulang vertebra, panggul dan


lutut. Bila terjadi hipersekresi GH selama beberapa tahun,
terjadilah komplikasi-komplikasi lanjut, mencakup deformitas
kosmetis yang progesif dan artritus degeneratif yang menimbulkan
cacat (yang sering menimbulkan terapi pembedahan).

7. Penatalaksanaan
a. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan adalah cara pengobatan utama pada pasien
kelainan GH yang disebabkan adenoma. Ada 2 jenis terapi
pembedahan yaitu:
1) Pembedahan mikro transfenoidal.
Pengangkatan adenoma transfenoidal secara selektif merupakan
prosedur pilihan.
2) Kraniotomi transfrontal.
Dibutuhkan pada sebagian kecil pasien yang mengalami ekstensi
suprasellar major sehingga menghalangi prosedur transfenoidal.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan operasi adalah ukuran
tumor, kadar hormon sebelum operasi dan pengalaman dokter bedah.
Pada pasien dengan mikroadenoma (ukuran tumor < 1 cm) angka
normalisasi

IGF-I

mencapai

75-95%

kasus,

sementara

makroadenoma angka normalisasi hormonal 40-68%.


b. Terapi Radiasi

pada

13

Tidak digunakan sebagai terapi lini pertama karena lamanya rentang


waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Terapi
radiasi dapat dilakukan dalam 2 cara yaitu:
1)Penyinaran Sinar rotgen yaitu penyinaran konvesional yang
menggunakan sumber energy tinggi dengan dosis total 4000-5000
rad dan biasanya diberikan sejumlah 180-210 rad per hari. Cara ini
memerlukan waktu 10-20 tahun untuk mencapai terapi yang
efektif.
2)Penyinaran partikel berat yaitu penyinaran yang menggunakan
partikel alfa atau proton beam, gamma knife dan stereotactic
radiotherapy. Cara ini dapat memberikan remisi yang lebih cepat.
Efektivitas stereotactic radiotherapy terhadap pasien yang gagal
dengan radioterapi konvensional memperlihatkan penurunan kadar
IGF-I sebesar 38% 2 tahun pasca terapi.
c. Terapi Medikamentosa
1) Agonis dopamin
Terdiri dari bromokriptin dan cabergoline. Monoterapi dengan
cabergoline

mempunyai

efikasi

antara

10-35%

dalam

menormalisasi kadar IGF-I. Ini merupakan satu-satunya alternatif


pilihan bagi pasien yang menolak tindakan operasi dan pemberian
obat injeksi, karena hanya dopamin agonis yang dapat dikonsumsi
secara oral dalam tata laksana akromegali. Agonis bromocriptine
dopamin dapat memberikan perawatan medis ajuvan gigantisme
yang aman digunakan oleh anak-anak dalam jangka waktu lama.
2) Analog somatostatin
Merupakan pilihan pertama dalam terapi medikamentosa karena
memiliki efektivitas yang tinggi dalam menormalisasi kadar IGF-I
dan hormon pertumbuhan (sekitar 70%). Bekerja menyerupai
hormon

somatostatin,

yaitu

menghambat

sekresi

hormon

pertumbuhan. Analog somatostatin juga dapt mengurangi ukuran


tumor sekitar 0-50% tapi hanya pada tingkat yang kecil. Beberapa
penelitian menunjukkan analog somatostatin aman dan efektif
digunakan dalam jangka panjang dalam pengobatan pasien dengan

14

gigantisme yang tidak disebabkan oleh tumor hipofise. Analog


somatostatin diberikan secara injeksi SC beberapa kali dalam
sehari, namun saat ini sudah terdapat sediaan baru dengan masa
kerja panjang yang diberikan secara injeksi IM setiap 1 x/28 hari.
Efek samping dari analog somatostatin terutama terdiri dari
keluhan gastrointestinal ringan sementara dan peningkatan resiko
batu empedu. Kendala utamanya adalah harga yang mahal.
3) Antagonis reseptor hormon pertumbuhan
Merupakan kelas baru dalam terapi medikamentosa akromegali.
Direkomendasikan untuk kasus akromegali yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin,
maupun analog somatostatin. Golongan ini dapat menormalisasi
kadar IGF-I pada 90% pasien. Efektivitas serta keamanan terapi
obat golongan ini sebagai monoterapi atau kombinasi dengan
analog somatostatin memperlihatkan efektivitas masing-masing
sebesar 56% dan 62% dalam menormalisasi kadar IGF-I.
d. Diet
Perubahan diet perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga
karena intoleransi karbohidrat dapat mengakibatkan DM. Diet DM
dapat dipakai sebagai patokan.
8. Prognosis
Pada

pasien-pasien

yang

berhasil

dilakukan

pengurangan

hipersekresi GH, terdapat penghentian pertumbuhan tulang yang


berlebihan. Sebagai tambahan, pasien-pasien ini mengalami perbaikan
klinis yang cukup memuaskan, termasuk berkurangnya jaringan lunak dan
artralgia bersifat reversibel pada terapi yang berhasil. Intoleransi glukosa
dan hiperinsulinemia teratasi pada sebagian besar kasus. Namun, Angka
harapan hidup turun setengahnya karena komplikasi kardiopulmonal.
Penatalaksanaan disebut berhasil bila terjadi penghancuran jaringan yang
memproduksi GH berlebih (Rubenstein, Wayne, & Bradley, 2005).
B. ASUHAN KEPERAWATAN

15

1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan Utama:
Keluhan utama pasien adalah adanya kelelahan dan kelemahan,
kebutuhan tidur atau istirahat meningkat, pertumbuhan organ
tubuh yang berlebih, postur tubuh yang tinggi pada gigantisme.
2) Riwayat Penyakit Sekarang:
Kapan terjadinya gigantisme, apa yang dirasakan klien dan apa
saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi sakitnya.
3) Riwayat Penyakit Dahulu:
Adanya riwayat tumor hipofisis atau penyakit lain yang berkaitan
dengan gigantisme.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga:
Adanya anggota keluarga yang mengalami gigantisme dan
akromegali.
6) Riwayat psikososial
Adanya rasa cemas, gelisah, dan gangguan citra diri.
b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pola napas normal, tidak terjadi gangguan pola napas.
2) B2 (Blood)
Hipertensi, hipertrofi jantung, gagal jantung kongestif.
3) B3 (Brain)
Nyeri kepala, pusing, gangguan penglihatan akibat adanya
adenoma.
4) B4 (Bladder)
Glomerulosklerosis.
5) B5 (Bowel)
Peningkatan laju metabolisme tubuh.
6) B6 (Bone and Integumen)
Pertumbuhan longitudinal yang abnormal, lemah, letargia,
hidroporesis, kifosis, artralgia dan artritis.
7) Endokrin dan Metabolik
Intoleransi glukosa, DM.
2. Diagnosa Keperawatan

16

a.
b.
c.
d.

Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.


Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan

kondisi fisik.
e. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.
f. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan resistensi
insulin.
g. Intoleransi

aktivitas

berhubungan

dengan

kelelahan

sekunder

peningkatan laju metabolisme tubuh.


3.
Intervensi Keperawatan
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.
Tujuan: Pasien mampu menerima dan beradaptasi dengan perubahan
struktur tubuh setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil:
1) Pasien mengungkapkan hal positif tentang dirinya.
2) Pasien mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa adnya
gangguan citra diri.
Intervensi:
1) Gunakan alat seperti Body Image Instrumen (BII) untuk
mengidentifikasi klien yang memiliki keprihatinan tentang
perubahan citra tubuh.
Rasionalisasi: 5 skala BII (penampilan umum , kompetensi tubuh ,
reaksi lainnya untuk penampilan, nilai penampilan

dan bagian

ubuh) dipamerkan sedang hingga tinggi reliabilitas internal dan


validitas konkuren.
2) Amati mekanisme biasa klien mengatasi selama masa stres yang
ekstrim dan memperkuat penggunaannya dalam krisis saat ini.
Rasionalisasi: Klien shock selama fase akut, dan sistem nilai
mereka sendiri harus dipertimbangkan. Klien sepakat lebih baik
dengan perubahan dari waktu ke waktu.
3) Akui penolakan , kemarahan , atau depresi sebagai perasaan normal
saat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam tubuh dan gaya
hidup.
Rasionalisasi: Perubahan citra tubuh menyebabkan kecemasan.
Orang-orang dalam situasi ini menggunakan berbagai mekanisme

17

koping sadar untuk berurusan dengan citra tubuh mereka berubah.


Mekanisme

pertahanan

normal,

kecuali

mereka

digunakan

sehingga mereka mengganggu daripada meningkatkan rasa percaya


diri.
4) Mengidentifikasi klien beresiko untuk gangguan citra tubuh.
Rasionalisasi: Hasil dari satu penelitian menunjukkan bahwa
pembentukan tubuh laki-laki beresiko untuk gangguan citra tubuh.
5) Jangan meminta klien untuk mengeksplorasi perasaan kecuali
mereka telah menunjukkan kebutuhan untuk melakukannya.
Rasionalisasi: Pasien melaporkan menjaga perasaan mereka kepada
diri mereka sendiri sebagai strategi koping yang sering digunakan.
6) Dorong klien untuk membahas konflik interpersonal dan sosial
yang mungkin timbul.
Rasionalisasi: Sebuah persepsi yang baik terhadap citra tubuh yang
terbaik dicapai dalam kerangka sosial yang mendukung . Klien
dengan dukungan jaringan sosial yang aktif cenderung membuat
kemajuan yang lebih baik
7) Dorong klien untuk membuat keputusan sendiri, berpartisipasi
dalam rencana perawatan , dan menerima baik kekurangan dan
kelebihan.
Rasionalisasi: Hal ini penting bagi klien untuk terlibat dalam
perawatan mereka sendiri. Jika mereka telah menerima informasi
tentang citra perubahan tubuh mereka, pengobatan dan rehabilitasi,
mereka akan mampu untuk membuat pilihan mereka sendiri.
8) Dorong klien untuk melanjutkan rutinitas perawatan pribadi yang
sama yang diikuti sebelum perubahan citra tubuh.
Rasionalisasi: Mendorong kemandirian pasien dan meningkatkan
percaya diri pasien.
b. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.

18

1) Tentukan apakah pasien mengalami nyeri pada saat wawancara


awal. Jika demikian, campur tangan pada saat itu untuk
memberikan bantuan nyeri.
Rasionalisasi: Intensitas, karakter,onset, durasi, memperparah dan
menghilangkan factor rasa sakit harus dikaji dan didokumentasikan
selama evaluasi awal pasien.
2) Observasi adanya tanda-tanda nyeri baik verbal maupun non
verbal, seperti: ekspresi wajah gelisah, cemas, meringis.
Rasionalisasi: Sebagai pengukur derajat nyeri yang dialami pasien.
3) Ukur nyeri dengan menggunakan skala penilaian nyeri.
Rasionalisasi: Untuk mengidentifikasi tingkat intensitaas nyeri.
4) Menentukan penggunaan obat klien saat ini.
Rasionalisasi: Untuk membantu dalam perencanaan perawatan
sakit, dan mendapatkan sejarah pengobatan.
5) Mendapatkan resep untuk mengelola asetaminofen , Cox-2
inhibitor atau obat antiinflamasi nonsteroid/NSAID), kecuali
kontraindikasi diberikan ATC.
Rasionalisasi: NSAID bertindak terutama di pinggiran untuk
menghambat inisiasi impuls nyeri. Kecuali kontraindikasi , semua
pasien dengan nyeri akut harus menerima ATC nonopioid.
Analgesik regimen harus mencakup non-opioid, bahkan jika sakit
cukup berat sehingga membutuhkan penambahan opioid.
6) Diskusikan ketakutan klien tentang nyeri dibawah kcontrol obat,
overdosis dan kecanduan.
Rasionalisasi: Sejumlah kekhawatiran

dapat

mempengaruhi

kesediaan klien untuk melaporkan nyeri dan menggunakan


analgesik opioid. Karena banyak kesalahpahaman tentang nyeri dan
pengobatan, pendidikan tentang kemampuan untuk mengontrol rasa
sakit secara efektif dan koreksi mitos tentang penggunaan opioid
harus dimasukkan sebagai bagian dari rencana perawatan.
Ketergantungan

ini

sangat

tidak

mungkin

setelah

pasien

menggunakan opioid untuk nyeri akut.


7) Ketika opioid yang diberikan, menilai intensitas nyeri, obat
penenang dan status pernafasan secara berkala.

19

Rasionalisasi: opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan


karena mereka mengurangi respon dari kemoreseptor karbon
dioksida yang terletak di pusat pernapasan otak .
8) Tinjau lembar catatan klien dan obat klien untuk menentukan
tingkat keseluruhan penghilang rasa sakit, efek samping

dan

persyaratan analgesik selama 24 jam terakhir.


Rasionalisasi: Pelacakan sistematis rasa sakit tampaknya menjadi
faktor penting dalam meningkatkan manajemen nyeri.
9) Mengatur dosis opioid tambahan yang diperlukan untuk menjaga
peringkat nyeri pada atau di bawah tingkat yang dapat diterima.
Rasionalisasi: Perintah PRN untuk dosis opioid tambahan antara
dosis biasa adalah cadangan penting.
10) Mendapatkan resep untuk menambah atau mengurangi dosis opioid
sesuai kebutuhan resep dasar laporan klien keparahan nyeri dan
respon terhadap dosis sebelumnya dalam hal bantuan, efek samping
dan

kemampuan

Rasionalisasi:

untuk

Menambah

melakukan
atau

kegiatan

mengurangi

pemulihan.

dosis

opioid

berdasarkan penilaian respon pasien. Respon pasien dan karena


kebutuhan mereka, sangat bervariasi, sehingga kurang penting
untuk fokus pada jumlah yang diberikan dari pada respon.
11) Ketika klien mampu mentolerir analgesik oral, mendapatkan resep
untuk mengubah ke rute oral, menggunakan grafik anti nyeri untuk
menentukan dosis awal.
Rasionalisasi: Oral lebih disukai karena ini adalah yang paling
nyaman dan hemat biaya. Penggunaan analgesik ketika berpindah
dari satu opioid atau rute pemberian yang lain akan membantu
untuk mencegah hilangnya kontrol nyeri karena dosis diturunkan
dan efek samping dari overdosis.
15) Selain penggunaan analgesik, penggunaan dukungan klien metode
nonfarmakologi untuk mengontrol rasa sakit , seperti distraksi ,
imajinasi, relaksasi, pijat dan sesuatu yang panas dan dingin.

20

Rasionalisasi: Strategi kognitif-perilaku dapat mengembalikan rasa


klien kontrol diri , efektivitas pribadi , dan partisipasi aktif dalam
perawatan sendiri.
16) Ajarkan dan menerapkan intervensi nonfarmakologis ketika rasa
sakit

dikendalikan

dengan

cukup

baik

dengan

intervensi

farmakologis
Rasinalisasi: Intervensi nonfarmakologi harus digunakan untuk
melengkapi , bukan menggantikan, intervensi farmakologis.
17) Rencanakan aktivitas perawatan sekitar periode kenyamanan
terbaik bila memungkinkan.
Rasionalisasi: Nyeri berkurang saat aktivitas.
18) Minta klien untuk menggambarkan nafsu makan, eliminasi usus,
dan kemampuan untuk beristirahat dan tidur . Memberi obat dan
perawatan untuk meningkatkan fungsi-fungsi ini . Mendapatkan
resep untuk stimulan peristaltik untuk mencegah sembelit.
Rasionalisasi: Karena ada variasi individu yang besar dalam
pengembangan efek samping opioid, efek samping ini harus
dipantau dan jika perkembangannya tidak bisa dihindari (misalnya
sembelit), dirawat dengan profilaksis. Opioid menyebabkan
sembelit dengan mengurangi peristaltik usus.
c. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
Tujuan: Cemas hilang/berkurang setelah mendapat tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien mengungkapkan tingkat kecemasan yang bisa
ditoleransi, cukup tidur dan menunjukkan pengendalian diri terhadap
ansietas dengan merencanakan strategi koping untuk situasi penuh
tekanan, mempertahankan performa peran, memantau distorsi persepsi
sensori, memantau manifestasi perilaku ansietas dan menggunakan teknik
relaksasi untuk meredakan ansietas.
Intervensi:
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi
fisik.
2) Gali teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan cemas di
masa lalu.

21

3) Pada saat ansietas berat, dampingi pasien,, bicara dengan tenang dan
berikan ketenangan serta rasa nyaman.
4) Beri dorongan pada pasien untuk mengungkapkan secara verbal
pikiran dan perasaan untuk mengekternalisasikan ansietas.
5) Sediakan pengalihan melalui TV, radio, permainan serta terapi okupasi
untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus.
6) Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi dan
prognosis.
7) Berikan obat penurun ansietas bila perlu.
d. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi
fisik.
Tujuan: Resiko cidera menurun setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien mampu memperlihatkan pengendalian resiko cidera
yaitu dengan memantau faktor resiko perilaku individu dan lingkungan,
mengembangkan strategi pengendalian resiko yang efektif, menerapkan
strategi pengendalian resiko pilihan dan memodifikasi gaya hidup untuk
mengurangi resiko.
Intervensi:
1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan,
misalnya perubahan status mental.
2) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko jatuh.
3) Orientasikan kembali pasien terhadap realitas dan lingkungan saat ini
4)
5)
6)
7)

bila dibutuhkan.
Bantu ambulasi pasien bila perlu.
Sediakan alat bantu berjalan (seperti tongkat atau walker).
Jauhi bahaya lingkungan (misalnya beri pencahayaan yang adekuat).
Berikan materi edukasi yang berhubungan dengan strategi dan
tindakan untuk mencegah cidera.

e. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.


Tujuan: Menunjukkan curah jantung yang memuaskan setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien akan mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi
dalam batas normal; haluaran urine, BJ urine, BUN dan kreatinin plasma
dbN; warna kulit normal; peningkatan toleransi terhadap aktivitas fisik;
menggambarkan diet, obat, aktivitas dan batasan yang diperlukan;

22

mengidentifikasi tanda dan gejala perburukan kondisi yang dapat


dilaporkan.
Intervensi:
1) Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status
pernapasan dan status mental.
2) Pantau tanda kelebihan cairan.
3) Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memperhatikan adanya awitan
napas pendek, nyeri, palpitasi atau limbung.
4) Evaluasi respons pasien terhadap terapi O2.
5) Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasidan
nyeri, durasi, faktor pencetus, daerah kualitas dan intensitas.
6) Berikan informasi tentang teknik penurunan stress.
7) Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian atau
penghentian obat tekanan darah.
f. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan resistensi
insulin.
Tujuan: Kadar gula darah stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien akan menunjukkan prosedur yang benar untuk
memeriksa kadar glukosa darah; mematuhi regimen yang diprogramkan
untuk pemantauan glukosa darah, mematuhi rekomendasi diet dan latihan
fisik; memperlihatkan prosedur yang benar untuk pemberian obat secara
mandiri; menguraikan gejala hipoglikemia dan hiperglikemia.
Intervensi:
1) Kaji faktor yang dapat meningkatkan resiko ketidakseimbangan
2)
3)
4)
5)
6)

glukosa.
Pantau kadar glukosa serum sesuai dengan protokol.
Pantau asupan dan haluaran.
Pantau tanda dan gejala hipoglikemia dan hiperglikemia.
Tentukan penyebab hipo/hiperglikemia jika terjadi.
Beri informasi tentang penyakit, diet, latihan fisik, obat-obatan dan

pemantauan secara mandiri kadar glukosa bila perlu.


7) Beri tahu dokter jika tanda dan gejala hipo/hiperglikemia terjadi dan
tidak dapat diatasi dengan tindakan mandiri.
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder peningkatan
laju metabolisme tubuh.
Tujuan: Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan setelah dilakukan
tindakan keperawatan.

23

Kriteria Hasil: Pasien mampu menunjukkan toleransi aktivitas dan


mendemonstrasikan penghematan energi.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur,
2)
3)
4)
5)
6)

berdiri, ambulasi dan melakukan AKS dan AKSI.


Kaji respons emosi, sosial dan spiritual terhadap aktivitas.
Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas.
Tentukan penyebab keletihan.
Pantau respons kardiorespiratori terhadap aktivitas.
Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang

adekuat.
7) Instruksikan kepada pasien dan keluarga tindakan untuk menghemat
energi, misalnya menyimpan alat/benda yang sering digunakan di
tempat yang mudah dijangkau.
8) Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas perawatan selama
periode istirahat.
9) Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang dapat
meningkatkan kemandirian dan ketahanan.
10) Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisisk atau rekreasi untuk
merencanakan dan memantau program aktivitas, jika perlu.

24

BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Gigantisme terjadi akibat hipersekresi persisten dari GH

yang

merangsang sekresi IGF-1 sebelum lapisan epifise menutup, sehingga


menyebabkan manifestasi klinis pada anak-anak/remaja berupa tubuh tinggi
abnormal. Penyebab gigantisme adalah kelainan hipotalamus dan

adanya

adenoma hipofise.
Pilihan utama pengobatan adalah operasi transsphenoid. Namun akhirakhir ini pengobatan medis/farmakologis mengalami perkembangan yang
pesat.

Pengobatan

radiasi

mempunyai

banyak

kelemahan,

sehingga

penggunaannya hanya sebagai penunjang pada kasus-kasus tertentu.


Masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan gigantisme
adalah nyeri, cemas, resiko cidera, gangguan citra tubuh, penurunan curah
jantung, resiko ketidakstabilan kadar gula darah dan intoleransi aktivitas.
Rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan gigantisme bertujuan
untuk mengatasi permasalahan keperawatan, sehingga dapat meningkatkan
derajat kesehatan pasien.
B. SARAN

25

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis menyampaikan saran-saran


yang kiranya dapat dijadikan perhatian dan masukan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan yaitu:
1. Pasien hendaknya lebih memahami tentang penyakit, gejala, pengobatan
dan penanganan di rumah.
2. Keluarga hendaknya memahami keadaan pasien dan mendukung proses
pengobatan pasien.
3. Perawat hendaknya lebih memahami tentang konsep gigantisme, sehingga
dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien gigantisme secara
komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman & Arvin (2000). Ilmu kesehatan anak nelson (ed. 15).
Jakarta: EGC.
Brooker, C. (2005). Ensiklopedia keperawatan (Ed. 1). Jakarta: EGC.
Corwin E. J. (2009). Buku saku patofisiologi (ed. 3 ). Jakarta: EGC.
Daimboaia, G.Y.V. (2006). Tatalaksana seorang penderita gigantisme dengan
makroadenoma hipofisis dan diabetes melitus diakses tanggal 14
Nopember

2013

pada

http://penelitian.unair.ac.id/artikel/

61eeae06beb7c843311de82cf9433f55_Unair.pdf
Eugster, E.A. & Pescovitz, O.H. (1999). Gigantism diakses pada 06 Nopember
2013 dari The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism pada
http://jcem.endojournals.org/content/84/12/4379.full.
Greenspan, F.S. & Baxter, J.D. (2000). Endokrinologi dasar & klinik (ed. ).
Jakarta: EGC.
Kowalak, J.P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi (ed. ). Jakarta : EGC.
Rubenstein, D., Wayne, D. & Bradley, J. (2005). Lecture notes: kedokteran klinis
(ed.6). Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G., (2002). Buku ajar: keperawatan
medikal bedah brunner & suddarth (ed. 8). Jakarta: EGC.
Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. (2013). Buku saku diagnosis keperawatan:
diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC (ed. 9). Jakarta: EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai