Anda di halaman 1dari 24

ASKEP PADA ANAK DENGAN GIGANTISME

Disusun Oleh :

1. Alifviana Ramadhanty (106114005)


2. Andini Dwi Gustami (106114012)
3. Yuningsih (106114013)
4. Suci Febriana Setiowati (106114014)
5. Vinda Herdiana Bastian (106114015)
6. Rahmat Adi Nugroho (106114017)
7. Hena Wartika (106114020)
8. Eva Nuryati (106114022)

Program Studi D-III Keperawatan 2A

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN(STIKES)


Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap

2014/2015

Page | 1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah meberikan rahmat dan karuniaNya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Anak dengan
Gigantisme” ini. Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Endocrine System. Penyusunan makalah ini adalah hasil kerjasama dan
bantuan dari berbagai pihak, oleh sebab itu kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam
penyelesaian makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.

Page | 2
DAFTAR ISI
1. Kata pengantar……………………………………………… 2
2. Daftar isi……………………………………………………. 3
3. Bab I (PENDAHULUAN) :
a. Latar Belakang Masalah…………………………………. 4
b. Rumusan Masalah……………………………………….. 4
c. Tujuan Penulisan………………………………………… 4
4. Bab II (PEMBAHASAN) :
a. Pengertian Gigantisme......………………………………. 6
b. Etiologi Gigantisme …………………………………..... 6
c. Manifestasi klinis Gigantisme………………………...... 8
d. Patofisiologi Gigantisme …......………………………... 9
e. Pemeriksaan Diagnostik Gigantisme …………………... 10
f. Komplikasi Gigantisme………………………………… 11
g. Penatalaksanaan Gigantisme............................................. 11
h. Diet pasien Gigantisme………………………………….. 13
i. Askep anak dengan Gigantisme…………….…………... 14
5. Bab III (PENUTUP) :
a. Kesimpulan………………………………………………. 23
b. Penutup…………………………………………………... 23
6. Daftar Pustaka………………………………………………. 24

Page | 3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gigantisme merupakan penyakit kronis dan progresif yang ditandai
dengan disfungsi hormonal dan pertumbuhan skeletal yang mengejutkan.
Gigantisme adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan
tinggi dan besar diatas normal. Gigantisme disebabkan oleh kelebihan jumlah
hormone pertumbuhan. Tidak terdapat definisi tinggi yang merujukkan orang
sebagai “raksasa”. Tinggi dewasa yang mengalami gigantisme dapat setinggi
sekitar 2,25 – 2,40 meter. Gigantisme adalah kelainan yang disebabkan oleh
karena sekresi hormone pertumbuhan (Hp) atau Growth Hormone (GH) yang
berlebihan. 

B. RUMUSAN MASALAH
1) Apa pengertian gigantisme ?
2) Apa etiologi gigantisme?
3) Bagaimana manifestasi klinis gigantisme?
4) Bagaimana patofisiologi gigantisme ?
5) Apa saja pemeriksaan diagnostik gigantisme ?
6) Apa saja komplikasi gigantisme?
7) Bagaimana penatalaksanaan gigantisme?
8) Apa saja diet pasien gigantisme?
9) Bagaimana askep anak dengan gigantisme?

C. TUJUAN PENULISAN
1) Dapat menjelaskan pengertian gigantisme
2) Dapat menyebutkan etiologi gigantisme
3) Dapat menyebutkan manifestasi klinis gigantisme
4) Dapat menjelaskan patofisiologi gigantisme
5) Dapat menyebutkan komplikasi gigantisme
6) Dapat menyebutkan pemeriksaan diagnostik gigantisme
7) Dapat menyebutkan penatalaksanaan gigantisme

Page | 4
8) Dapat menyebutkan diet pasien gigantisme
9) Dapat menjelaskan askep anak dengan gigantisme

Page | 5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal terutama dalam tinggi badan
(melebihi 2,14 m), akibat kelebihan growth hormone pada anak sebelum fusi
epifise (Brooker, 2009). Hubungan antara gigantisme dan GH telah diketahui
pertama kali sejak tahun 1886 oleh seorang neurologis  Perancis, Piere Marie
yang mengatakan  sebagai penyakit kronis endokrin. 
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal, terutama dalam tinggi badan
(melebihi 2,14 m) akibat kelebihan growth hormone pada anak sebelum fusi
epifisis (Brooker, 2005).
Gigantisme merupakan suatu penyakit kelebihan pertumbuhan longitudinal
tulang skelet yang dijumpai akibat kelebihan GH sebelum pubertas (Corwin,
2008).
Gigantisme merupakan peningkatan hormone protein dalam banyak jaringan,
meningkatkan penguraian asam lemak dan jaringan adipose dan kadar glukosa
darah (Smeltzer & Bare, 2002). Jadi, gigantisme adalah suatu penyakit akibat
hipersekresi growth hormone yang terjadi pada anak-anak sebelum fusi epifise
atau lempeng tulang menutup yang dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal.

B. ETIOLOGI

Sekresi GH berlebihan memiliki beberapa penyebab potensial dan dapat


terjadi dalam konteks sejumlah gangguan heterogen. Kasus hipersekresi GH
dapat dibagi menjadi dua ketegori utama yaitu primer pada hipofisis dan
peningkatan sekresi growth hormone-realising hormone (GHRH) atau
disregulasi. Kebanyakan insiden gigantisme karena adenoma hipofisis yang
mensekresis GH atau karena hiperplasia. Gigantisme juga tampak pada keadaan
lain seperti multiple endocrine neoplasma (MEN) tipe 1, Mc Cune-Albright
Syndrome (MAS), neurofibromatosis, sklerosis tuberosistas atau kompleks

Page | 6
Carney (Eugster & Pescovitz, 1999). Gigantisme terbanyak disebabkan oleh
adenoma hipofisis yang mensekresi GH. Insiden hipersekresi GH dibagi menjadi
dua kategori yaitu primer pada hipofisis dan peningkatan Growth hormone-
realasing hormon (GHRH) atau disregulasi. Gigantisme tampak juga pada
keadaan lain seperti : multipel endokrin neoplasma (MEN) tipe 1, MC Cune-
albright syndrome (MAS), Neurofibromatosis, sklerosis tuberrosistas atau
kompleks carney. (Eugster & Pescuvits, 1998).

Penyebab sekresi GH yang berlebihan adalah:

Sumber Mekanisme Konteks Klinis Temuan yang Terkait


Kelebihan Patogenetik
GH
Kelebihan Mutasi Gsα Adenoma hipofisis gsp onkogen
GH sporadis
hipofisis
primer
Hilangnya Adenoma hipofisis sporadis
heterozigositas
11q13
MEN tipe 1 Warisan dominan autosomal,
neoplasia pankreas, hipofisis,
paratiroid.
Abnormalitas di Carney kompleks Warisan dominan autosomal,
2p16 beberapa lentigines mixoma,
neoplasia endokrin.
Kelebihan Kelebihan Hiperplasia pituitari Tak ada sumber identifikasi
GH GHRH hipersekresi GH atau GHRH
sekunder hipotalamus

Page | 7
Sekresi GHRH Gangliositoma, Hubungan erat tumor neuron
tumor neurositoma dengan sel pensekresi GH
intrakranial hipofisis
Kelebihan Ca. pankreas, Penyebab yang sangat jarang
GHRH ektopik neoplasia bronkial dari gigantisme
Kelebihan GH Limpoma Salah melaporkan kasus
ektopik akromegali
Pola abnormal Neurofibromatosis Infiltrasi ke jalur
somatostatin dengan optik somatostatinergik
glioma/astrositoma
 

C. MANIFESTASI KLINIK

Pada pasien gigantisme terjadi pertumbuhan linier yang cepat, wajah kasar,
pembesaran kaki dan tangan. Pada anak muda, pertumbuhan cepat kepala dapat
mendahului pertumbuhan linier dan memiliki masalah penglihatan dan prilaku.
Pada kebanyakan kasus yang terekam, pertumbuhan abnormal menjadi nyata
pada masa pubertas. Jangkung dapat tumbuh sampai ketinggian 8 kaki atau lebih
(Behrman, Kliegman & Arvin, 2000). Adapun menurut Kowalak (2011)
manifestasi klinis pasien dengan gigantisme adalah:

1. Rasa sakit pada punggung, artralgia, dan artritis akibat pertumbuhan tulang
yang cepat.
2. Tinggi badan yang berlebihan akibat pertumbuhan berlebihan sebelum
lempeng epifisis menutup.
3. Sakit kepala, muntah, serangan kejang, gangguan penglihatan, dan
papiledema (edema pada tempat nervus optikus memasuki rongga bola
mata) yang semua terjadi karena tumor yang menekan saraf dan jaringan
pada struktur di sekitar. Defisiensi pada sistem hormon yang lain (jika
tumor yang memproduksi GH menghancurkan sel-sel penghasil hormon

Page | 8
yang lain). Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH yang
merupakan antagonis insulin. Berikut ini adalah gejala gigantisme yang
disebabkan oleh kelebihan sekresi GH :
1. Tanda-tanda intoleransi glukosa
2. Hidung lebar, lidah membesar dan wajah kasar
3. Mandibula tumbuh berlebihan
4. Gigi menjadi terpisah-pisah
5. Ibu jari dan jari tumbuh menebal
6. Kelelahan dan kelemahan
7. Kehilangn penglihatan pada pemeriksaan lapang pandang secara seksama
karena khiasma optikum saraf mata tertekan

D. PATOFISIOLOGI

Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH (Growth Hormone) yang berlebihan.


Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang mensekresi GH atau karena
kelainan hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan.
Penyebab kelebihan produksi hormon pertumbuhan juga berasal dari tumor pada
sel-sel somatrotop yang menghasilkan hormon pertumbuhan.

Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis menutup,


seperti pada anak prapubertas, kadar GH yang berlebihan akan menyebabkan
gigantisme. Hal ini ditandai dengan peningkatan umum ukuran tubuh serta
lengan dan tungkai yang memanjang berlebihan. Penderita gigantisme biasanya
berperawakan tinggi lebih dari 2 meter dengan proporsi tubuh yang normal, hal
ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot tetap tumbuh. Gigantisme juga
dapat mengalami hiperhidrosis yaitu keadaan dimana terjadinya
hipermetabolisme yang menyebabkan keringat berlebih. Penderita dapat pula
mengalami gangguan penglihatan apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan
chiasma opticum yang merupakan jalur saraf mata. Pembesaran jaringan saraf
yang tertekan juga mengakibatkan terjadinya sensasi kesemutan dan kelemahan
pada lengan dan kaki.

Page | 9
Hormon pertumbuhan mempengaruhi metabolisme beberapa zat penting
tubuh, sehingga penderita gigantisme sering mengalami endocrinopathies
misalnya hipogonadisme, hiperprolaktinema, diabetes/hiperglikemi.
Hiperglikemi terjadi karena produksi hormone pertumbuhan yang sangat banyak
menyebabkan hormone pertumbuhan tersebut menurunkan pemakaian glukosa
di seluruh tubuh sehingga banyak glukosa yang beredar di pembuluh darah. Dan
sel-sel beta pulau Langerhans pancreas menjadi terlalu aktif akibat hiperglikemi
dan akhirnya sel-sel tersebut berdegenerasi. Akibatnya, kira-kira 10 persen
pasien Gigantisme menderita Diabetes Melitus.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Menurut Behrman, Kliegman & Arvin  (2000) pemeriksaan penunjang yang


perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa gigantisme adalah:

1. Laboratorium
a. Kadar GH meningkat dan kadang-kadang mencapai 400 ng/mL. Pola
sekresi episodik dan arus nokturna dapat terpelihara pada beberapa
penderita. Biasanya tidak ada supresi kadar GH oleh hiperglikemia uji
toleransi glukosa. Mugkin tidak ada respons, respons normal atau
respons paradoks terhadap berbagai rangsangan lain. Misalnya L-dopa
dapat secara paradoks menurunkan kadar GH. Pemberian hormon
pelepas tirotropin mengakibatkan peningkatan kadar GH 3 x lipat pada
anak raksasa berusia 5 tahun.
b. Pengukuran kadar IGF-1 berkisar 2,6-21,7 U/mL (kadar normal: 0,3-1,4
U/mL).
c. Adanya hiperprolaktinemia yang mencolok sebagai akibat dari
adenoma plurihormonal yang mensekresikan GH dan prolaktin.
d. Kadar glukosa darah dapat meningkat.

Page | 10
2. Radiologi
a. Rontgen tengkorak kepala memperlihatkan pelebaran sella tursica dan
sinus paranasalis, penebalan kalvarium dan pembesaran mandibula.
b. Rontgen ekstremitas menampakkan ikatan falangs dan bertambahnya
penebalan bantalan tumit adalah biasa. Maturasi tulang normal.
c. CT-scan dan MRI dapat menunjukkan pembesaran atau hiperplasi
jaringan hipofisis dan adanya tumor atau adenoma.

F.  KOMPLIKASI

Diabetes mellitus, karena GH juga mempengauhi metabolisme karbohidrat.


Pada keadaan berlebihan, akan meningkatkan penggunaan karbohidrat dan
mengganggu pengambilan glukosa ke dalam sel. Resistensi terhadap insulin
karena GH tampak berhubungan dengan kegagalan postreseptor pada kerja
insulin. Kejadian ini mengakibatkan intoleransi glukosa dan hiperinsulinisme
sekunder. Intoleransi glukosa dan hiperinsulinisme terjadi masing-masing pada
50% dan 70% kasus.

G.  PENATALAKSANAAN
a. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan adalah cara pengobatan utama pada pasien kelainan
GH yang disebabkan adenoma. Ada 2 jenis terapi pembedahan yaitu:
1) Pembedahan mikro transfenoidal.
Pengangkatan adenoma transfenoidal secara selektif merupakan
prosedur pilihan.
2) Kraniotomi transfrontal
Dibutuhkan pada sebagian kecil pasien yang mengalami ekstensi
suprasellar major sehingga menghalangi prosedur transfenoidal.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan operasi adalah ukuran tumor,
kadar hormon sebelum operasi dan pengalaman dokter bedah. Pada
pasien dengan mikroadenoma (ukuran tumor < 1 cm)  angka

Page | 11
normalisasi IGF-I mencapai 75-95% kasus, sementara pada
makroadenoma angka normalisasi hormonal 40-68%.
b. Terapi Radiasi
Tidak digunakan sebagai terapi lini pertama karena lamanya rentang
waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Terapi
radiasi dapat dilakukan dalam 2 cara yaitu:
1) Penyinaran Sinar rotgen yaitu penyinaran konvesional yang
menggunakan sumber energy tinggi dengan dosis total 4000-5000 rad
dan biasanya diberikan sejumlah 180-210 rad per hari. Cara ini
memerlukan waktu 10-20 tahun untuk mencapai terapi yang efektif.
2) Penyinaran partikel berat yaitu penyinaran yang menggunakan
partikel alfa atau proton beam, gamma knife dan stereotactic
radiotherapy. Cara ini dapat memberikan remisi yang lebih cepat.
Efektivitas stereotactic radiotherapy terhadap pasien yang gagal
dengan radioterapi konvensional memperlihatkan penurunan kadar
IGF-I sebesar 38% 2 tahun pasca terapi.
c. Terapi Medikamentosa
1) Agonis dopamin
2) Terdiri dari bromokriptin dan cabergoline. Monoterapi dengan
cabergoline mempunyai efikasi antara 10-35% dalam menormalisasi
kadar IGF-I. Ini merupakan satu-satunya alternatif pilihan bagi pasien
yang menolak tindakan operasi dan pemberian obat injeksi, karena
hanya dopamin agonis yang dapat dikonsumsi secara oral dalam tata
laksana akromegali. Agonis bromocriptine dopamin dapat
memberikan perawatan medis ajuvan gigantisme yang aman
digunakan oleh anak-anak dalam jangka waktu lama.
3) Analog somatostatin
4) Merupakan pilihan pertama dalam terapi medikamentosa karena
memiliki efektivitas yang tinggi dalam menormalisasi kadar IGF-I dan
hormon pertumbuhan (sekitar 70%). Bekerja menyerupai hormon
somatostatin, yaitu menghambat sekresi hormon pertumbuhan. Analog

Page | 12
somatostatin juga dapt mengurangi ukuran tumor sekitar 0-50% tapi
hanya pada tingkat yang kecil. Beberapa penelitian menunjukkan
analog somatostatin aman dan efektif digunakan dalam jangka
panjang dalam pengobatan pasien dengan gigantisme yang tidak
disebabkan oleh tumor hipofise. Analog somatostatin diberikan secara
injeksi SC beberapa kali dalam sehari, namun saat ini sudah terdapat
sediaan baru dengan masa kerja panjang yang diberikan secara injeksi
IM setiap 1 x/28 hari.  Efek samping dari analog somatostatin
terutama terdiri dari keluhan gastrointestinal ringan sementara dan
peningkatan resiko batu empedu. Kendala utamanya adalah harga
yang mahal.
5) Antagonis reseptor hormon pertumbuhan
6) Merupakan kelas baru dalam terapi medikamentosa akromegali.
Direkomendasikan untuk kasus akromegali yang tidak dapat dikontrol
dengan terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin, maupun
analog somatostatin. Golongan ini dapat menormalisasi kadar IGF-I
pada 90% pasien. Efektivitas serta keamanan terapi obat golongan ini
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan analog somatostatin
memperlihatkan efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62%
dalam menormalisasi kadar IGF-I.

H. DIET PADA GIGANTISME


Perubahan diet perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga karena intoleransi
karbohidrat dapat mengakibatkan DM. Diet DM dapat dipakai sebagai patokan.
Pasien tidak disarankan untuk merokok karena zat racun dalam rokok
menghambat penyerapan nutrisi makanan. Selain itu pasien harus berolahraga
secara teratur untuk menjaga stamina tubuh dan mengendalikan berat badan.
Asupan gula dalam makanan dan minuman harus dikurangi caranya gunakan
gula khusus DM. Selain itu, konsumsi buah-buahan, kurangi porsi makan nasi,
dan perbanyak minum air putih. Aktivitas fisik akan membakar kalori dalam
tubuh. Selain itu olahraga dengan teratur akan menjaga peredaran darah,

Page | 13
memperbaiki kerja insulin dan mendorong terjadinya pembakaran gula dalam
darah agar diubah menjadi energi.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan Utama : Keluhan utama pasien adalah adanya kelelahan dan
kelemahan, kebutuhan tidur atau istirahat meningkat, pertumbuhan
organ tubuh yang berlebih, postur tubuh yang tinggi pada
gigantisme.
2) Riwayat Penyakit Sekarang: Kapan terjadinya gigantisme, apa yang
dirasakan klien dan apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi
sakitnya.
3) Riwayat Penyakit Dahulu: Adanya riwayat tumor hipofisis atau
penyakit lain yang berkaitan dengan gigantisme.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga: Gigantisme dan akromegali tidak
diturunkan dari riwayat keluarga yang memilki penyakit akromegali
dan gigantisme.
5) Riwayat psikososial: Adanya rasa cemas, gelisah, dan gangguan citra
diri.
b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing) : Pola napas normal, tidak terjadi gangguan pola
napas.
2) B2 (Blood) : Hipertensi, hipertrofi jantung, gagal jantung kongestif.
3) B3 (Brain) : Nyeri kepala, pusing, gangguan penglihatan akibat
adanya adenoma.
4) B4 (Bladder) : Glomerulosklerosis.
5) B5 (Bowel) : Peningkatan laju metabolisme tubuh.
6) B6 (Bone and Integumen)   : Pertumbuhan longitudinal yang
abnormal, lemah, letargia, hidroporesis, kifosis, artralgia dan artritis.
7) Endokrin dan Metabolik : Intoleransi glukosa, DM.

Page | 14
 

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.
b. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
c. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
d. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan
kondisi fisik.
e. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder
peningkatan laju metabolisme tubuh.
3. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh
a. Tujuan: Pasien mampu menerima dan beradaptasi dengan perubahan
struktur tubuh setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Kriteria hasil:
1) Pasien mengungkapkan hal positif tentang dirinya.
2) Pasien mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa adanya
gangguan citra diri.
c. Intervensi:
1) Gunakan alat seperti Body Image Instrumen (BII) untuk
mengidentifikasi klien yang memiliki keprihatinan tentang
perubahan citra tubuh.
Rasionalisasi: 5 skala BII (penampilan umum, kompetensi tubuh,
reaksi lainnya untuk penampilan, nilai penampilan,  dan bagian
tubuh) dipamerkan sedang hingga tinggi reliabilitas internal dan
validitas konkuren.
2) Amati mekanisme biasa klien mengatasi selama masa stress yang
ekstrim dan memperkuat penggunaannya dalam krisis saat ini.

Page | 15
Rasionalisasi: Klien shock selama fase akut, dan sistem nilai
mereka sendiri harus dipertimbangkan. Klien sepakat lebih baik
dengan perubahan dari waktu ke waktu.
3) Akui penolakan, kemarahan, atau depresi sebagai perasaan
normal saat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam tubuh
dan gaya hidup.
Rasionalisasi: Perubahan citra tubuh menyebabkan kecemasan.
Orang-orang dalam situasi ini menggunakan berbagai mekanisme
koping sadar untuk berurusan dengan citra tubuh mereka berubah.
Mekanisme pertahanan normal, kecuali mereka digunakan
sehingga mereka mengganggu daripada meningkatkan rasa
percaya diri.
4) Mengidentifikasi klien beresiko untuk gangguan citra tubuh.
Rasionalisasi: Hasil dari satu penelitian menunjukkan bahwa
pembentukan tubuh laki-laki beresiko untuk gangguan citra
tubuh.
5) Jangan meminta klien untuk mengeksplorasi perasaan kecuali
mereka telah menunjukkan kebutuhan untuk melakukannya.
Rasionalisasi: Pasien melaporkan menjaga perasaan mereka
kepada diri mereka sendiri sebagai strategi koping yang sering
digunakan.
6) Dorong klien untuk membahas konflik interpersonal dan sosial
yang mungkin timbul.
Rasionalisasi: Sebuah persepsi yang baik terhadap citra tubuh
yang terbaik dicapai dalam kerangka sosial yang mendukung.
Klien dengan dukungan jaringan sosial yang aktif cenderung
membuat kemajuan yang lebih baik
7) Dorong klien untuk membuat keputusan sendiri, berpartisipasi
dalam rencana perawatan, dan menerima baik kekurangan dan
kelebihan.

Page | 16
Rasionalisasi: Hal ini penting bagi klien untuk terlibat dalam
perawatan mereka sendiri. Jika mereka telah menerima informasi
tentang citra perubahan tubuh mereka, pengobatan dan
rehabilitasi, mereka akan mampu untuk membuat pilihan mereka
sendiri.
8) Dorong klien untuk melanjutkan rutinitas perawatan pribadi yang
sama yang diikuti sebelum perubahan citra tubuh.
Rasionalisasi: Mendorong kemandirian pasien dan meningkatkan
percaya diri pasien.

2. Nyeri  berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.


a. Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
b. Kriteria Hasil: Pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
1) Tentukan apakah pasien mengalami nyeri pada saat wawancara
awal. Jika demikian, campur tangan pada saat itu untuk
memberikan bantuan nyeri.
Rasionalisasi: Intensitas, karakter, onset, durasi, memperparah
dan menghilangkan faktor rasa sakit harus dikaji dan
didokumentasikan selama evaluasi awal pasien.
2) Observasi adanya tanda-tanda nyeri baik verbal maupun non
verbal, seperti: ekspresi wajah gelisah, cemas, meringis.
Rasionalisasi: Sebagai pengukur derajat nyeri yang dialami
pasien.
3) Ukur nyeri dengan menggunakan skala penilaian nyeri.
Rasionalisasi: Untuk mengidentifikasi tingkat intensitaas nyeri.
4) Menentukan penggunaan obat klien saat ini.
Rasionalisasi: Untuk membantu dalam perencanaan perawatan
sakit, dan mendapatkan sejarah pengobatan.

Page | 17
5) Mendapatkan resep untuk mengelola asetaminofen, Cox-2
inhibitor atau obat antiinflamasi nonsteroid/NSAID), kecuali
kontraindikasi diberikan ATC.
Rasionalisasi: NSAID bertindak terutama di pinggiran untuk
menghambat inisiasi impuls nyeri. Kecuali kontraindikasi, semua
pasien dengan nyeri akut harus menerima ATC non–opioid.
Analgesik regimen harus mencakup non-opioid, bahkan jika sakit
cukup berat sehingga membutuhkan penambahan opioid.
6) Diskusikan ketakutan klien tentang nyeri dibawah kontrol obat,
overdosis,  dan kecanduan.
Rasionalisasi: Sejumlah kekhawatiran dapat mempengaruhi
kesediaan klien untuk melaporkan nyeri dan menggunakan
analgesik opioid. Karena banyak kesalahpahaman tentang nyeri
dan pengobatan, pendidikan tentang kemampuan untuk
mengontrol rasa sakit secara efektif dan koreksi mitos tentang
penggunaan opioid harus dimasukkan sebagai bagian dari rencana
perawatan. Ketergantungan ini sangat tidak mungkin setelah
pasien menggunakan opioid untuk nyeri akut.
7) Ketika opioid yang diberikan, menilai intensitas nyeri, obat
penenang dan status pernafasan secara berkala.
Rasionalisasi: opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan
karena mereka mengurangi respon dari kemoreseptor karbon
dioksida yang terletak di pusat pernapasan otak .
8) Tinjau lembar catatan klien dan obat klien untuk menentukan
tingkat keseluruhan penghilang rasa sakit, efek samping  dan
persyaratan analgesik selama 24 jam terakhir.
Rasionalisasi: Pelacakan sistematis rasa sakit tampaknya menjadi
faktor penting dalam meningkatkan manajemen nyeri.
9) Ketika klien mampu mentolerir analgesik oral, mendapatkan
resep untuk mengubah  ke rute oral, menggunakan grafik anti
nyeri untuk menentukan dosis awal.

Page | 18
Rasionalisasi: Oral lebih disukai karena ini adalah yang paling
nyaman dan hemat biaya. Penggunaan analgesik ketika berpindah
dari satu opioid atau rute pemberian yang lain akan membantu
untuk mencegah hilangnya kontrol nyeri karena dosis diturunkan
dan efek samping dari overdosis.
10) Selain penggunaan analgesik, penggunaan dukungan klien
metode nonfarmakologi untuk mengontrol rasa sakit, seperti
distraksi, imajinasi, relaksasi, pijat dan sesuatu yang panas dan
dingin.
Rasionalisasi: Strategi kognitif-perilaku dapat mengembalikan
rasa klien kontrol diri, efektivitas pribadi, dan partisipasi aktif
dalam perawatan sendiri.
11) Ajarkan dan menerapkan intervensi nonfarmakologis ketika rasa
sakit dikendalikan dengan cukup baik dengan intervensi
farmakologis
Rasionalisasi: Intervensi nonfarmakologi harus digunakan untuk
melengkapi, bukan menggantikan intervensi farmakologis.
12) Rencanakan aktivitas perawatan sekitar periode kenyamanan
terbaik bila memungkinkan.
Rasionalisasi: Nyeri berkurang saat aktivitas.
13) Minta klien untuk menggambarkan nafsu makan, eliminasi usus,
dan kemampuan untuk beristirahat dan tidur. Memberi obat dan
perawatan untuk meningkatkan fungsi-fungsi ini. Mendapatkan
resep untuk stimulan peristaltik untuk mencegah sembelit.
Rasionalisasi: Karena ada variasi individu yang besar dalam
pengembangan efek samping opioid, efek samping ini harus
dipantau dan jika perkembangannya tidak bisa dihindari
(misalnya  sembelit), dirawat dengan profilaksis. Opioid
menyebabkan sembelit dengan mengurangi peristaltik usus.

Page | 19
3. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
a. Tujuan: Cemas hilang/berkurang setelah mendapat tindakan
keperawatan.
b. Kriteria Hasil: Pasien mengungkapkan tingkat kecemasan yang bisa
ditoleransi, cukup tidur dan menunjukkan pengendalian diri terhadap
ansietas dengan merencanakan strategi koping untuk situasi penuh
tekanan, mempertahankan performa peran, memantau distorsi
persepsi sensori, memantau manifestasi perilaku ansietas dan
menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas.
c. Intervensi:
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk
reaksi fisik.
2) Gali teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan cemas
di masa lalu.
3) Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang
dan berikan ketenangan serta rasa nyaman.
4) Beri dorongan pada pasien untuk mengungkapkan secara verbal
pikiran dan perasaan untuk mengekternalisasikan ansietas.
5) Sediakan pengalihan melalui TV, radio, permainan serta terapi
okupasi untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus.
6) Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi dan
prognosis.
7) Berikan obat penurun ansietas bila perlu.

4. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan


kondisi fisik.
a. Tujuan: Resiko cidera menurun setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
b. Kriteria Hasil: Pasien mampu memperlihatkan pengendalian resiko
cidera yaitu dengan memantau faktor resiko perilaku individu dan

Page | 20
lingkungan, mengembangkan strategi pengendalian resiko yang
efektif, menerapkan strategi pengendalian resiko pilihan dan
memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko.
c. Intervensi:
1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan,
misalnya perubahan status mental.
2) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko jatuh.
3) Orientasikan kembali pasien terhadap realitas dan lingkungan
saat ini bila dibutuhkan.
4) Bantu ambulasi pasien bila perlu.
5) Sediakan alat bantu berjalan (seperti tongkat atau walker).
6) Jauhi bahaya lingkungan (misalnya beri pencahayaan yang
adekuat).
7) Berikan materi edukasi yang berhubungan dengan strategi dan
tindakan untuk mencegah cidera.

5. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.


a. Tujuan: Menunjukkan curah jantung yang memuaskan setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
b. Kriteria Hasil: Pasien akan mempunyai indeks jantung dan fraksi
ejeksi dalam batas normal; haluaran urine, BJ urine, BUN dan
kreatinin plasma dalam batas normal; warna kulit normal;
peningkatan toleransi terhadap aktivitas fisik; menggambarkan diet,
obat, aktivitas dan batasan yang diperlukan; mengidentifikasi tanda
dan gejala perburukan kondisi yang dapat dilaporkan.
c. Intervensi:
1) Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status
pernapasan dan status mental.
2) Pantau tanda kelebihan cairan.

Page | 21
3) Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memperhatikan adanya
awitan napas pendek, nyeri, palpitasi.
4) Evaluasi respons pasien  terhadap terapi O2.
5) Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi
dan nyeri, durasi, faktor pencetus, daerah kualitas dan intensitas.
6) Berikan informasi tentang teknik penurunan stress.
7) Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian
atau penghentian obat tekanan darah.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder


peningkatan laju metabolisme tubuh.
a. Tujuan: Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan  setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
b. Kriteria Hasil: Pasien mampu menunjukkan toleransi aktivitas dan
mendemonstrasikan penghematan energi.
c. Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat
tidur, berdiri, ambulasi dan melakukan AKS dan AKSI.
2) Kaji respons emosi, sosial dan spiritual terhadap aktivitas.
3) Tentukan penyebab keletihan.
4) Pantau respons kardiorespiratori terhadap aktivitas.
5) Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi
yang adekuat.
6) Instruksikan kepada pasien dan keluarga tindakan untuk
menghemat energi, misalnya menyimpan alat/benda yang sering
digunakan di tempat yang mudah dijangkau.
7) Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas perawatan selama
periode istirahat.
8) Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik atau rekreasi
untuk merencanakan dan memantau program aktivitas, jika perlu

Page | 22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gigantisme adalah kelainan yang disebabkan oleh karena sekresi hormone
pertumbuhan (Hp) atau Growth Hormone (GH) yang berlebihan. Gigantisme
adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan besar
diatas normal. Gigantisme disebabkan oleh kelebihan jumlah hormone
pertumbuhan. Tidak terdapat definisi tinggi yang merujukkan orang sebagai
“raksasa”. Tinggi dewasa yang mengalami gigantisme dapat setinggi sekitar 2,25
– 2,40 meter. Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan. Melihat
besarnya tumor adenoma hipofisis dapat dibedakan dalam dua bentuk yakni,
mikro adenoma dengan diameter lebih kecil dari 10 mm dan makro adenoma
kalau diameternya lebih dari 10 mm.

B. Saran
Untuk itu kita sebagai seorang perawat, kita perlu mengetahui dan memahami
tanda dan gejala berbagai penyakit khususnya gigantisme agar kita dapat
melaksanakan asuhan keperawatan yang profesional. 

Page | 23
DAFTAR PUSTAKA

http://muziburrahman-fkp14.web.unair.ac.id/artikel_detail-116182-Kesehatan-
ASKEP%20Gigantisme.html

Page | 24

Anda mungkin juga menyukai