Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Secara umum, penyakit – penyakit sistem endokrin (endokrinopati)
ditandai dengan kelebihan atau kekurangan produksi hormon, yang klinisnya
berupa keadaan hipofungsi atau hiperfungsi. Onset hipersekresi GH pada kanak-
kanak akan menyebabkan terjadinya gigantisme dan bila onset hipersekresi GH
pada usia remaja (setelah penutupan celah efipiseal) akan terjadi peningkatan
tinggi badan dan akromegali (Eugster & Shim M, 2004). Gigantisme adalah
pertumbuhan abnormal terutama dalam tinggi badan (melebihi 2,14 m), akibat
kelebihan growth hormone pada anak sebelum fusi epifise (Brooker, 2009).
Gigantisme adalah suatu penyakit akibat hipersekresi growth hormone yang
terjadi pada anak-anak sebelum fusi epifise atau lempeng tulang menutup yang
dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal (tinggi badan berlebih).
Gigantisme biasa terjadi di negara Barat karena gigantisme bisa
terdiagnosa secara dini, sedangkan di Afrika, Amerika Selatan dan Asia jarang
terdiagnosa secara dini. Frekuensi gigantisme di Amerika Serikat sangat jarang,
diperkirakan ada 100 kasus yang dilaporkan hingga saat ini. Tidak ada predileksi
ras pada gigantisme. Insiden kejadian gigantisme tidak jelas. Pada orang dewasa
kelebihan GH pada perempuan dan laki-laki adalah sama (Eugster & Shim, 2004).
Penyakit ini dapat mengakibatkan beberapa gangguan keseimbangan
tubuh. Penatalaksanaan dan asuhan keperawatan yang tepat sangat diperlukan
untuk mengatasi masalah yang muncul akibat gangguan hipofisis yang terjadi.
Pada kasus gigantisme, peran keperawatan yang utama yaitu mengidentifikasi
secara dini tumbuh kembang anak melalui penilaian pertumbuhan anak yang
berlebih. Meskipun penatalaksanaan pada pasien gigantisme tidak mengurangi
pertumbuhan anak yang berlebih tetapi penatalaksanaan yang tepat dapat
memperlambat pertumbuhan yang cepat. Penatalaksanaan yang dini merupakan
kesempatan yang sangat baik untuk mencapai tinggi badan yang normal (Whaley
& Wong, 2002). Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan pengurangan
hipersekresi GH, terdapat penghentian pertumbuhan tulang yang berlebihan serta

1
mengalami perbaikan klinis yang cukup memuaskan, termasuk berkurangnya
jaringan lunak dan artralgia bersifat reversibel pada penatalaksanaan yang tepat.
Oleh karena itu melalui makalah ini akan kami bahas mengenai penyakit
gigantisme serta asuhan keperawatan pada pasien khususnya anak dengan
gigantisme. Penatalaksanaan keperawatan yang tepat dan cepat diperlukan agar
pasien dapat kembali memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Melalui
makalah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan memahami asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis khususnya gigantisme dengan
baik dan benar.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanan anatomi dan fisiologi dari kelenjar hipofisis?
2. Apa pengertian dari gigantisme pada anak?
3. Apa etiologi gigantisme?
4. Apa tanda dan gejala dari gigantisme?
5. Bagaimana patofisiologi gigantisme?
6. Apa komplikasi penyakit dari gigantisme?
7. Apa pemeriksaan diagnostik gigantisme?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada gigantisme?
9. Apa pemeriksaan prognosis gigantisme?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan gigantisme?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi kelenjar hipofisis
2. Untuk mengetahui pengertian dari gigantisme pada anak
3. Untuk mengetahui etiologi gigantisme
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari gigantisme
5. Untuk mengetahui patofisiologi gigantisme
6. Untuk mengetahui komplikasi penyakit dari gigantisme
7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik gigantisme
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada gigantisme
9. Untuk mengetahui prognosis gigantisme
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gigantisme

1.4 MANFAAT PENULISAN


Menambah wawasan mahasiswa mengenai asuhan keperawatan pada klien
dengan masalah pada Growth Hormone (GH) untuk selanjutnya dijadikan sebagai
acuan dalam melaksanakan proses asuhan keperawatan terhadap pasien
Overactivity.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Hipofisis


Kelenjar Hipofisis terdapat di sela tursika bertulang yang berada di bawah
lapisan dura mater. Kelenjar ini terbagi menjadi tiga lobus, yaitu lobus anterior,
lobus inferior, dan lobus intermediet. Namun lobus intermediet ini tidak
berkembang pada manusia (Karch, 2010). Kelenjar hipofisis dibagi menjadi:
1. Lobus Anterior (Adenofise)
Hormon yang menstimulasi dan menghambat hipofisis mengalir ke dalam
system porta pembuluh darah dari hypothalamus mengendalikan hormon yang
dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Enam hormon yang dihasilkan
oleh hipofisis anterior termasuk empat hormon yang merangsang struktur
endokrin lain (hormon tropic), yaitu:
a. Hormon Adenokortiotropik (ACTH).
b. Tyroid Stimulating Hormon (TSH).
c. Gonadotropine Hormone, yaitu Stimulating Hormone (FSH) dan Luienizing
Hormone (LH).
Dan dua hormon yang bekerja pada jaringan lain, yaitu:

a. Hormon pertumbuhan (Growth Hormone)


b. Prolaktin
2. Lobus porterior (Neurohipofisis)
Lobur posterior tidak mengahasilkan hormon, tetapi menyimpan dan
mensekresi dua hormon, yaitu Antidiuretic Hormone (ADH) dan Oksitosin.
Kedua hormon tersebut dihasilkan oleh hypothalamus dan mengalir dalam serabut
tangkai ke hipofisis posterior. Pelepasan hormon tersebut dari hypothalamus
dikendalikan oleh saraf dari hypothalamus. (Brooker, 2009).

2.2 Pengertian Gigantisme


Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal, terutama dalam tinggi badan
(melebihi 2,14 m) akibat kelebihan growth hormone pada anak sebelum fusi
epifisis (Brooker, 2009). Gigantisme merupakan suatu penyakit kelebihan

3
pertumbuhan longitudinal tulang skelet yang dijumpai akibat kelebihan GH
sebelum pubertas (Corwin, 2008). Gigantisme merupakan peningkatan hormone
protein dalam banyak jaringan, meningkatkan penguraian asam lemak dan
jaringan adipose dan kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut
Whaley & Wong (2002) kelebihan GH akan menyebabkan
Jadi, gigantisme adalah suatu penyakit akibat hipersekresi growth hormone
yang terjadi pada anak-anak sebelum fusi epifise atau lempeng tulang menutup
yang dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal. Apabila hipersekresi GH pada
usia remaja (setelah penutupan celah efipiseal) akan terjadi peningkatan tinggi
badan dan akromegali (Eugster & Shim M, 2004)..

2.3 Etiologi
Etiologi gigantisme menurut Greenspan & Baxter (2000) adalah:
a. Fungsi hipotalamus yang abnormal menyebabkan sekresi GH berlebihan.
b. Adenoma hipofise:
1) Mikroadenoma : adenoma intrasellar dengan diameter < 1 cm yang
disertai dengan manifestasi hormone yang berlebihan tanpa pembesaran
sellar atau penekanan ekstrasellar.
2) Makroadenoma: adenoma yang berdiameter > 1 cm.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa sekresi GH berlebihan akibat adenoma
hipofisis menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari jaringan lunak, termasuk
kulit, lidah, dan visera serta tulang. Hormon ini memiliki sifat anti insulin.
Penyebab gigantisme dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Gigantisme primer atau hipofisis, dimana penyebabnya adalah adenoma
hipofisis
2. Gigantisme sekunder atau hipothalamik, disebabkan oleh karena hipersekresi
GHRH dari hypothalamus
3. Gigantisme primer yang disebabkan oleh tumor ektropik (paru, pankreas, dll)
yang mensekresi GH atau GHRH (Rubenstein & David 2007).

2.4 Manifestasi Klinis

4
Pada pasien gigantisme terjadi pertumbuhan linier yang cepat, wajah kasar,
pembesaran kaki dan tangan. Pada anak muda, pertumbuhan cepat kepala dapat
mendahului pertumbuhan linier dan memiliki masalah penglihatan dan prilaku.
Pada kebanyakan kasus yang terekam, pertumbuhan abnormal menjadi nyata pada
masa pubertas. Jangkung dapat tumbuh sampai ketinggian 8 kaki atau lebih
(Behrman, Kliegman & Arvin, 2000).
Adapun menurut Kowalak (2011) manifestasi klinis pasien dengan
gigantisme adalah:
a. Rasa sakit pada punggung, artralgia, dan artritis akibat pertumbuhan
tulang yang cepat.
b. Tinggi badan yang berlebihan akibat pertumbuhan berlebihan sebelum
lempeng epifisis menutup.

c. Sakit kepala, muntah, serangan kejang, gangguan penglihatan, dan


papiledema (edema pada tempat nervus optikus memasuki rongga bola mata)
yang semua terjadi karena tumor yang menekan saraf dan jaringan pada
struktur di sekitar.

d. Defisiensi pada sistem hormon yang lain (jika tumor yang memproduksi
GH menghancurkan sel-sel penghasil hormon yang lain).

e. Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH yang merupakan


antagonis insulin.

2.5 Patofisiologi
Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH (Growth Hormone) yang berlebihan.
Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang mensekresi GH atau karena
kelainan hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan.
Penyebab kelebihan produksi hormon pertumbuhan juga berasal dari tumor pada
sel-sel somatrotop yang menghasilkan hormon pertumbuhan.
Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis menutup,
seperti pada anak prapubertas, kadar GH yang berlebihan akan menyebabkan
gigantisme. Hal ini ditandai dengan peningkatan umum ukuran tubuh serta lengan

5
dan tungkai yang memanjang berlebihan. Penderita gigantisme biasanya
berperawakan tinggi lebih dari 2 meter dengan proporsi tubuh yang normal, hal
ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot tetap tumbuh. Gigantisme juga dapat
mengalami hiperhidrosis yaitu keadaan dimana terjadinya hipermetabolisme yang
menyebabkan keringat berlebih. Penderita dapat pula mengalami gangguan
penglihatan apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan chiasma opticum yang
merupakan jalur saraf mata. Pembesaran jaringan saraf yang tertekan juga
mengakibatkan terjadinya sensasi kesemutan dan kelemahan pada lengan dan
kaki.
Hormon pertumbuhan mempengaruhi metabolisme beberapa zat penting
tubuh, sehingga penderita gigantisme sering mengalami endocrinopathies
misalnya hipogonadisme, hiperprolaktinema, diabetes/hiperglikemi. Hiperglikemi
terjadi karena produksi hormone pertumbuhan yang sangat banyak menyebabkan
hormone pertumbuhan tersebut menurunkan pemakaian glukosa di seluruh tubuh
sehingga banyak glukosa yang beredar di pembuluh darah. Dan sel-sel beta pulau
Langerhans pancreas menjadi terlalu aktif akibat hiperglikemi dan akhirnya sel-sel
tersebut berdegenerasi. Akibatnya, kira-kira 10 persen pasien Gigantisme
menderita Diabetes Melitus.

6
2.6 Komplikasi

7
1. Diabetes mellitus
GH juga mempengauhi metabolisme karbohidrat. Pada keadaan
berlebihan, akan meningkatkan penggunaan karbohidrat dan mengganggu
pengambilan glukosa ke dalam sel. Resistensi terhadap insulin karena GH
tampak berhubungan dengan kegagalan postreseptor pada kerja insulin.
Kejadian ini mengakibatkan intoleransi glukosa dan hiperinsulinisme
sekunder. Intoleransi glukosa dan hiperinsulinisme terjadi masing-masing
pada 50% dan 70% kasus.
2. Hipertensi dan Hipertrofi jantung
Sebagian besar kerusakan akibat hipersekresi GH yang kronis disebabkan
oleh stimulasi IGF-1 yang berlebihan. Pengaruh daya tumbuh dari IGF-1
menyebabkan proliferasi yang khas pada jaringan lunak dan meningkatkan
ukuran besarnya orrgan lain hingga menimbulkan manifestasi klinis hipertrofi
jantung. Hipertrofi jantung terjadi sekitar 15% kasus dan hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya terjadi sekitar 25% kasus.
3. Artralgia dan artritis
Pertumbuhan tulang dan kartilago berlebihan menyebabkan artralgia dan
pada kasus yang sudah berlangsung lama menyebabkan artritis degeneratif
pada tulang vertebra, panggul dan lutut. Bila terjadi hipersekresi GH selama
beberapa tahun, terjadilah komplikasi-komplikasi lanjut, mencakup
deformitas kosmetis yang progesif dan artritus degeneratif yang menimbulkan
cacat (yang sering menimbulkan terapi pembedahan).
4. Kesulitan Psikososial
Tinggi secara ekstrim berhenti menjadi keuntungan dan dapat dianggap
sebagai beban, sehingga baik secara fisik maupun psikologis, cacat. Hal ini
mendorong pengobatan farmakologis remaja yang tinggi dengan steroid seks
untuk mempercepat fusi epifise, sebuah praktik yang telah ada sejak tahun
1950. Gadis tinggi sering melaporkan kesulitan sosial akibat ukuran mereka,
karena tinggi patologis akibat kelebihan GH jelas jauh melampaui tinggi
normal/sehat. Meskipun tidak ada informasi mendalam mengenai profil
psikologis pasien dengan gigantisme, serangkaian kasus menunjukkan

8
tingginya insiden depresi berat, penarikan sosial dan rendah diri (Eugster,
2004).

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Behrman, Kliegman & Arvin (2000) pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa gigantisme adalah:
1. Laboratorium
a. Kadar GH meningkat dan kadang-kadang mencapai 400 ng/mL. Pola
sekresi episodik dan arus nokturna dapat terpelihara pada beberapa
penderita. Biasanya tidak ada supresi kadar GH oleh hiperglikemia uji
toleransi glukosa. Mugkin tidak ada respons, respons normal atau respons
paradoks terhadap berbagai rangsangan lain. Misalnya L-dopa dapat
secara paradoks menurunkan kadar GH. Pemberian hormon pelepas
tirotropin mengakibatkan peningkatan kadar GH 3 x lipat pada anak
raksasa berusia 5 tahun.
b. Pengukuran kadar IGF-1 berkisar 2,6-21,7 U/mL (kadar normal: 0,3-1,4
U/mL).
c. Adanya hiperprolaktinemia yang mencolok sebagai akibat dari adenoma
plurihormonal yang mensekresikan GH dan prolaktin.
d. Kadar glukosa darah dapat meningkat.
2. Radiologi
a. Rontgen tengkorak kepala memperlihatkan pelebaran sella tursica dan
sinus paranasalis, penebalan kalvarium dan pembesaran mandibula.
b. Rontgen ekstremitas menampakkan ikatan falangs dan bertambahnya
penebalan bantalan tumit adalah biasa. Maturasi tulang normal.
c. CT-scan dan MRI dapat menunjukkan pembesaran atau hiperplasi
jaringan hipofisis dan adanya tumor atau adenoma.
2.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan adalah cara pengobatan utama pada pasien kelainan
GH yang disebabkan adenoma. Ada 2 jenis terapi pembedahan yaitu:
a. Pembedahan mikro transfenoidal.

9
Pengangkatan adenoma transfenoidal secara selektif merupakan prosedur
pilihan.
b. Kraniotomi transfrontal.
Dibutuhkan pada sebagian kecil pasien yang mengalami ekstensi
suprasellar major sehingga menghalangi prosedur transfenoidal. Faktor
yang mempengaruhi keberhasilan operasi adalah ukuran tumor, kadar
hormon sebelum operasi dan pengalaman dokter bedah. Pada pasien
dengan mikroadenoma (ukuran tumor < 1 cm) angka normalisasi IGF-I
mencapai 75-95% kasus, sementara pada makroadenoma angka
normalisasi hormonal 40-68%.
2. Terapi Radiasi
Tidak digunakan sebagai terapi lini pertama karena lamanya rentang waktu
tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Terapi radiasi dapat
dilakukan dalam 2 cara yaitu:
a. Penyinaran Sinar rotgen yaitu penyinaran konvesional yang menggunakan
sumber energy tinggi dengan dosis total 4000-5000 rad dan biasanya
diberikan sejumlah 180-210 rad per hari. Cara ini memerlukan waktu 10-
20 tahun untuk mencapai terapi yang efektif.
b. Penyinaran partikel berat yaitu penyinaran yang menggunakan partikel alfa
atau proton beam, gamma knife dan stereotactic radiotherapy. Cara ini
dapat memberikan remisi yang lebih cepat. Efektivitas stereotactic
radiotherapy terhadap pasien yang gagal dengan radioterapi konvensional
memperlihatkan penurunan kadar IGF-I sebesar 38% 2 tahun pasca terapi.
3. Terapi Medikamentosa
a. Agonis dopamine
Terdiri dari bromokriptin dan cabergoline. Monoterapi dengan
cabergoline mempunyai efikasi antara 10-35% dalam menormalisasi
kadar IGF-I. Ini merupakan satu-satunya alternatif pilihan bagi pasien
yang menolak tindakan operasi dan pemberian obat injeksi, karena hanya
dopamin agonis yang dapat dikonsumsi secara oral dalam tata laksana
akromegali. Agonis bromocriptine dopamin dapat memberikan perawatan

10
medis ajuvan gigantisme yang aman digunakan oleh anak-anak dalam
jangka waktu lama.
b. Analog somatostatin
Merupakan pilihan pertama dalam terapi medikamentosa karena memiliki
efektivitas yang tinggi dalam menormalisasi kadar IGF-I dan hormon
pertumbuhan (sekitar 70%). Bekerja menyerupai hormon somatostatin,
yaitu menghambat sekresi hormon pertumbuhan. Analog somatostatin
juga dapt mengurangi ukuran tumor sekitar 0-50% tapi hanya pada tingkat
yang kecil. Beberapa penelitian menunjukkan analog somatostatin aman
dan efektif digunakan dalam jangka panjang dalam pengobatan pasien
dengan gigantisme yang tidak disebabkan oleh tumor hipofise. Analog
somatostatin diberikan secara injeksi SC beberapa kali dalam sehari,
namun saat ini sudah terdapat sediaan baru dengan masa kerja panjang
yang diberikan secara injeksi IM setiap 1 x/28 hari. Efek samping dari
analog somatostatin terutama terdiri dari keluhan gastrointestinal ringan
sementara dan peningkatan resiko batu empedu. Kendala utamanya adalah
harga yang mahal.
c. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan
Merupakan kelas baru dalam terapi medikamentosa akromegali.
Direkomendasikan untuk kasus akromegali yang tidak dapat dikontrol
dengan terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin, maupun analog
somatostatin. Golongan ini dapat menormalisasi kadar IGF-I pada 90%
pasien. Efektivitas serta keamanan terapi obat golongan ini sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan analog somatostatin memperlihatkan
efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62% dalam menormalisasi
kadar IGF-I.
4. Diet
Perubahan diet perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga karena
intoleransi karbohidrat dapat mengakibatkan DM. Diet DM dapat dipakai
sebagai patokan. Pasien tidak disarankan untuk merokok karena zat racun
dalam rokok menghambat penyerapan nutrisi makanan. Selain itu pasien
harus berolahraga secara teratur untuk menjaga stamina tubuh dan

11
mengendalikan berat badan. Asupan gula dalam makanan dan minuman harus
dikurangi caranya gunakan gula khusus DM. Selain itu, konsumsi buah-
buahan, kurangi porsi makan nasi, dan perbanyak minum air putih. Aktivitas
fisik akan membakar kalori dalam tubuh. Selain itu olahraga dengan teratur
akan menjaga peredaran darah, memperbaiki kerja insulin dan mendorong
terjadinya pembakaran gula dalam darah agar diubah menjadi energi.
(langkahsehat.com/diet-sehat-untuk-penderita-diabetes-melitus).

2.9 Prognosis
Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan pengurangan hipersekresi GH,
terdapat penghentian pertumbuhan tulang yang berlebihan. Sebagai tambahan,
pasien-pasien ini mengalami perbaikan klinis yang cukup memuaskan, termasuk
berkurangnya jaringan lunak dan artralgia bersifat reversibel pada terapi yang
berhasil. Intoleransi glukosa dan hiperinsulinemia teratasi pada sebagian besar
kasus. Namun, Angka harapan hidup turun setengahnya karena komplikasi
kardiopulmonal. Penatalaksanaan disebut berhasil bila terjadi penghancuran
jaringan yang memproduksi GH berlebih (Rubenstein, Wayne, & Bradley, 2005).
Kejadian gigantisme antara wanita dan laki-laki sama. Laporan adanya kasus
gigantisme di Indonesia juga sangat jarang. Prognosis pada pasien gigantisme
tergantung pada lamanya proses kelainan berlangsung dan besarnya tumor
(Guyton, 2006).

2.10Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Keluhan Utama:
Keluhan utama pasien adalah adanya kelelahan dan kelemahan,
kebutuhan tidur atau istirahat meningkat, pertumbuhan organ tubuh yang
berlebih, postur tubuh yang tinggi pada gigantisme.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Kapan terjadinya gigantisme, apa yang dirasakan klien dan apa saja yang
sudah dilakukan untuk mengatasi sakitnya.

12
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
Adanya riwayat tumor hipofisis atau penyakit lain yang berkaitan dengan
gigantisme.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Gigantisme dan akromegali tidak diturunkan dari riwayat keluarga yang
memilki penyakit akromegali dan gigantisme.
e. Riwayat psikososial
Adanya rasa cemas, gelisah, dan gangguan citra diri. Berhubungan
dengan perasaan dan emosi yang dialami pasien mengena.i sakitnya dan
tanggapan keluarga tentang penyakitnya.
f. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Pola napas normal, tidak terjadi gangguan pola napas.
b. B2 (Blood)
Hipertensi, hipertrofi jantung, gagal jantung kongestif.
c. B3 (Brain)
Nyeri kepala, pusing, gangguan penglihatan akibat adanya adenoma.
d. B4 (Bladder)
Glomerulosklerosis.
e. B5 (Bowel)
Peningkatan laju metabolisme tubuh, anorexia, dan disfagia
f. B6 (Bone and Integumen)
Pertumbuhan longitudinal yang abnormal, lemah, letargia,
hidroporesis, kifosis, artralgia dan artritis. Dapat ditemukan juga
lipatan kulit kasar, kulit tebal, turgor jelek.
g. Endokrin dan Metabolik
Intoleransi glukosa, DM.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.
b. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.

13
c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi
fisik.

d. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder peningkatan


laju metabolisme tubuh.

f. Resiko peningkatan kadar glukosa darah dengan faktor resiko status


kesehatan fisik,periode pertumbuhan cepat

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan menurut Nanda NIC NOC dalam Huda (2015):
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC: NIC :
 Body image Body image enhancement
 Self esteem - Kaji secara verbal dan nonverbal
Setelah dilakukan tindakan respon klien terhadap tubuhnya
keperawatan gangguan body - Monitor frekuensi mengkritik
image dirinya
pasien teratasi dengan kriteria - Jelaskan tentang pengobatan,
hasil: perawatan, kemajuan dan prognosis
 Body image positif penyakit
 Mampu mengidentifikasi - Dorong klien mengungkapkan
kekuatan personal perasaannya
 Mendiskripsikan secara - Identifikasi arti pengurangan
faktual perubahan fungsi melalui pemakaian alat bantu
tubuh - Fasilitasi kontak dengan individu
 Mempertahankan interaksi lain dalam kelompok kecil
sosial

14
b. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC : NIC :
- Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan
- Koping kecemasan)
Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan yang
keperawatan kecemasan menenangkan
teratasi dgn kriteria hasil:  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
 Klien mampu pelaku pasien
mengidentifikasi dan  Jelaskan semua prosedur dan apa yang
mengungkapkan gejala dirasakan selama prosedur
cemas  Temani pasien untuk memberikan
 Mengidentifikasi, keamanan dan mengurangi takut
mengungkapkan dan  Berikan informasi faktual mengenai
menunjukkan tehnik diagnosis, tindakan prognosis
untuk mengontol cemas  Libatkan keluarga untuk mendampingi
 Vital sign dalam batas klien
normal
 Instruksikan pada pasien untuk
 Postur tubuh, ekspresi
menggunakan tehnik relaksasi
wajah, bahasa tubuh dan
 Dengarkan dengan penuh perhatian
tingkat aktivitas
 Identifikasi tingkat kecemasan
menunjukkan
 Bantu pasien mengenal situasi yang
berkurangnya
menimbulkan kecemasan
kecemasan
 Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, persepsi
 Kelola pemberian obat anti cemas

15
c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi
fisik,
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

NOC : NIC : Environment Management


Risk Kontrol (Manajemen lingkungan)
Immune status  Sediakan lingkungan yang aman untuk
Safety Behavior pasien
Setelah dilakukan tindakan  Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
keperawatan klien tidak sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
mengalami injury dengan kognitif pasien dan riwayat penyakit
kriterian hasil: terdahulu pasien
Klien terbebas dari  Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
cedera (misalnya memindahkan perabotan)
Klien mampu  Memasang side rail tempat tidur
menjelaskan cara/metode  Menyediakan tempat tidur yang nyaman
untukmencegah dan bersih
injury/cedera  Menempatkan saklar lampu ditempat yang
Klien mampu mudah dijangkau pasien.
menjelaskan factor risiko  Membatasi pengunjung
dari lingkungan/perilaku  Memberikan penerangan yang cukup
personal  Menganjurkan keluarga untuk menemani
Mampumemodifikasi pasien.
gaya hidup  Mengontrol lingkungan dari kebisingan
untukmencegah injury  Memindahkan barang-barang yang dapat
Menggunakan fasilitas membahayakan
kesehatan yang ada  Berikan penjelasan pada pasien dan
Mampu mengenali keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status perubahan status kesehatan dan penyebab
kesehatan penyakit.

16
d. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

NOC : NIC :
 Cardiac Pump  Evaluasi adanya nyeri dada
effectiveness  Catat adanya disritmia jantung
 Circulation Status  Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac
 Vital Sign Status putput
 Tissue perfusion:  Monitor status pernafasan yang menandakan
perifer gagal jantung
Setelah dilakukan  Monitor balance cairan
asuhan selama………  Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan
penurunan kardiak antiaritmia
output klien teratasi  Atur periode latihan dan istirahat untuk
dengan kriteria hasil: menghindari kelelahan
 Tanda Vital dalam  Monitor toleransi aktivitas pasien
rentang normal  Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan
(Tekanan darah, ortopneu
Nadi, respirasi)
 Anjurkan untuk menurunkan stress
 Dapat
 Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
mentoleransi
 Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
aktivitas, tidak ada
berdiri
kelelahan
 Auskultasi TD pada kedua lengan dan
 Tidak ada edema
bandingkan
paru, perifer, dan
 Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
tidak ada asites
setelah aktivitas
 Tidak ada
 Monitor jumlah, bunyi dan irama jantung
penurunan
 Monitor frekuensi dan irama pernapasan
kesadaran
 Monitor pola pernapasan abnormal
 AGD dalam batas
 Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
normal
 Monitor sianosis perifer
 Tidak ada distensi
 Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang

17
vena leher melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
 Warna kulit  Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
normal  Jelaskan pada pasien tujuan dari pemberian
oksigen
 Sediakan informasi untuk mengurangi stress
 Kelola pemberian obat anti aritmia, inotropik,
nitrogliserin dan vasodilator untuk
mempertahankan kontraktilitas jantung
 Kelola pemberian antikoagulan untuk mencegah
trombus perifer
 Minimalkan stress lingkungan

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder peningkatan


laju metabolisme tubuh.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC : NIC :
 Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan
 Toleransi aktivitas klien dalam melakukan aktivitas
 Konservasi eneergi  Kaji adanya faktor yang
Setelah dilakukan tindakan menyebabkan kelelahan
keperawatan selama …. Pasien  Monitor nutrisi dan sumber energi
bertoleransi terhadap aktivitas yang adekuat
dengan  Monitor pasien akan adanya
Kriteria Hasil : kelelahan fisik dan emosi secara
 Berpartisipasi dalam aktivitas berlebihan
fisik tanpa disertai peningkatan  Monitor respon kardivaskuler
tekanan darah, nadi dan RR terhadap aktivitas (takikardi,
 Mampu melakukan aktivitas disritmia, sesak nafas, diaporesis,
sehari hari (ADLs) secara pucat, perubahan hemodinamik)
mandiri  Monitor pola tidur dan lamanya
 Keseimbangan aktivitas dan tidur/istirahat pasien

18
istirahat  Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi yang
tepat.
 Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
 Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
 Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
 Bantu untuk mendapatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek, tongkat
 Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, sosial
dan spiritual

19
f. Resiko peningkatan kadar glukosa darah dengan faktor resiko status
kesehatan fisik,periode pertumbuhan cepat
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

NOC: NIC :
 Blood glucose Hyperglikemi management
 Risk for unstable  Memantau kadar glukosa darah
Kriteria hasil:  Pantau tanda dan gejala hiperglikemia
 Penerimaan: kondisi  Mendorong asupan cairan oral
kesehatan  Mengidentifikasi kemungkinan penyebab
 Kepatuhan perilkau: hiperglikemia
diet sehat  Anjurkan diet sehat dan seimbang
 Dapat mnegontrol
 Memfasilitasi kepatuhan terhadap diet dan
kadar glukosa darah
latihan
 Dapat mengontrol
stres
 Tingkat pemahaman
untuk pencegahan
komplikasi
 Status nutrisi adekuat

20
BAB III
KASUS

Seorang ibu membawa anaknya ke klinik karena merasa anaknya


mengalami ketidaknormalan di usianya yang 10 tahun. Sang anak memiliki tinggi
badan 170 cm dengan berat badan 70 kg.
DATA FOKUS
Data Subjektif (DS) Data Objektif (DO)
 Ibu klien mengatakan  Pengukuran TTV:
 TD: 130/90 mmhg
anaknya mengalami
 RR: 24x/menit
ketidaknormalan di
 S: 36,50C
usianya yang 10 tahun  Nadi : 68x/menit
 Ibu klien mengatakan  Kesadaran umum : compos mentis
 GCS (E4) (M5) (V6)
anaknya tidak pede  Akral dingin
dan menarik diri  Klien tampak pucat
 Klien mengatakan  Capillary refil >3 detik
 Tinggi badan 170 cm
tinggi dan berat
 Berat badan 70 kg
badanya berbeda
 Fitur Wajah tampak kasar
dengan teman sebaya
nya
 Klien mengeluh nyeri
kepala. Skali nyeri 6
 Klien mengatakan
penglihatanya buram
 Klien mengatakan
pusing

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan glukosa darah:
Gigantisme (+) : glukosa darah meningkat
GDP: 150 mg/dL
(normal: 70-110 mg/dL 3.8-6.1 mmol / L)
2 jam PP: 130 mg/dL
(normal: < 120 mg/dL< 6.6 mmol/L
Pemeriksaan Growth Hormone darah atau SM-C (IGF 1):
Gigantisme (+) : peningkatan GH darah atau SM-C (IGF 1)
Growth hormone - arginine stimulation Fasting: 8 µg/mL

21
( normal: < 5 µ g/L)
Pemeriksaan Somatostatin:
Gigantisme (+) : somatostatin meningkat
2,6-21,7 U/ml
(normal: 0,31-1,4 U/ml)
Hasil CT Scan : tumor hipofisis
Hasil MRI : pembesaran sella tursika dan sinus paranasalis (Menampakan Tumor)

22
ANALISA DATA

No Data Fokus Problem Etiologi


1. DS = Nyeri Adenoma kelenjar
 Ibu klien mengatakan hipofisis
anaknya mengalami
ketidaknormalan di usianya
yang 10 tahun
 Klien mengeluh nyeri kepala
 Klien mengatakan
penglihatanya buram
 Klien mengatakan pusing
 Klien mengatakan skala nyeri
(6)
DO=
 Kaji TTV:
o TD: 130/90 mmhg
o RR: 24x/menit
o S: 36,50C
o Nadi : 68x/menit
 Kesadaran umum : compos
mentis
 GCS (E4) (M5) (V6)
 Tinggi badan 170 cm
 Berat badan 70 kg
 Sakal nyeri 6
 Grimace +
 Pemeriksaan Growth
Hormone darah atau SM-
C (IGF 1) terjadi peningkatan
 Pemeriksaan Somatostatin:
meningkat 2,6-21,7 U/ml
 Hasil CT Scan : tumor
hipofisis
 Hasil MRI : pembesaran sella
tursika dan sinus paranasalis
(Menampakan Tumor)

23
2 DS = Gangguan citra Perubahan
 Ibu klien mengatakan anaknya tubuh perkembangan
mengalami ketidaknormalan di
usianya yang 10 tahun
 Ibu klien mengatakan anaknya
tidak pede dan menarik diri
 Klien mengatakan tinggi dan
berat badanya berbeda dengan
teman sebaya nya
DO =
 Anak tampak murung
 Menghindari kontak mata

3. DS= Resiko Status kesehatan


 Ibu klien mengatakan ketidakstabilan fisik,periode
anaknya mengalami kadar glukosa pertumbuhan cepat
kegemukan darah
DO=
BB 70 kg TB 170 cm
Usia 10 tahun
Pemeriksaan glukosa darah:
Gigantisme (+) : glukosa darah
meningkat
GDP: 150 mg/dL
(normal: 70-110 mg/dL 3.8-6.1
mmol / L)
2 jam PP: 130 mg/dL
(normal: < 120 mg/dL< 6.6
mmol/L

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b.d adenoma kelenjar hipofisis yang ditnadai dengan skala
nyeri 6, pemeriksaan CT Scan adanya tumor hipofisis, grimace +

24
2. Gangguan citra tubuh b.d perubahan perkembangan ditandai
dengan klien menarik diri, tidak pede, tampak murung
3. Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d periode
pertumbuhana cepat ditandai dengan hasil pemeriksaan glukosa darah GDP
150 mg/dL dan GD 2 jam PP 130 mg/dL

25
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri b.d adenoma kelenjar hipofisis yang ditnadai dengan skala nyeri 6,
pemeriksaan CT Scan adanya tumor hipofisis, grimace +
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC : NIC :
 Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
 pain control, komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
 comfort level durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
Setelah dilakukan tindakan presipitasi
keperawatan pasien tidak  Observasi reaksi nonverbal dari
mengalami nyeri, dengan ketidaknyamanan
kriteria hasil:  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
 Mampu mengontrol nyeri menemukan dukungan
(tahu penyebab nyeri,  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
mampu menggunakan nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
tehnik nonfarmakologi kebisingan
untuk mengurangi nyeri,  Kurangi faktor presipitasi nyeri
mencari bantuan)  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
 Melaporkan bahwa nyeri intervensi
berkurang dengan  Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
menggunakan manajemen napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres
nyeri hangat/ dingin
 Mampu mengenali nyeri  Kolaborasi berikan analgetik untuk
(skala, intensitas, frekuensi mengurangi nyeri
dan tanda nyeri)  Tingkatkan istirahat
 Menyatakan rasa nyaman
 Berikan informasi tentang nyeri seperti
setelah nyeri berkurang
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
 Tanda vital dalam rentang berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan
normal dari prosedur
 Tidak mengalami gangguan  Monitor vital sign sebelum dan sesudah
tidur pemberian analgesik pertama kali

26
2. Gangguan citra tubuh b.d perubahan perkembangan ditandai
dengan klien menarik diri, tidak pede, tampak murung
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC: NIC :
 Body image Body image enhancement
 Self esteem - Kaji secara verbal dan nonverbal respon
Setelah dilakukan tindakan klien terhadap tubuhnya
keperawatan gangguan body - Monitor frekuensi mengkritik dirinya
image pasien teratasi dengan - Jelaskan tentang pengobatan, perawatan,
kriteria hasil: kemajuan dan prognosis penyakit
 Body image positif - Dorong klien mengungkapkan
 Mampu mengidentifikasi perasaannya
kekuatan personal - Identifikasi arti pengurangan melalui
 Mendiskripsikan secara pemakaian alat bantu
faktual perubahan fungsi - Fasilitasi kontak dengan individu lain
tubuh dalam kelompok kecil
 Mempertahankan interaksi
sosial

3. Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d periode


pertumbuhana cepat ditandai dengan hasil pemeriksaan glukosa darah GDP
150 mg/dL dan GD 2 jam PP 130 mg/dL
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

NOC: NIC :
 Blood glucose Hyperglikemi management
 Risk for unstable  Memantau kadar glukosa darah
Kriteria hasil:  Pantau tanda dan gejala hiperglikemia
 Penerimaan: kondisi  Mendorong asupan cairan oral
kesehatan  Mengidentifikasi kemungkinan penyebab
 Kepatuhan perilkau: diet hiperglikemia
sehat  Anjurkan diet sehat dan seimbang
 Dapat mnegontrol kadar
 Memfasilitasi kepatuhan terhadap diet dan

27
glukosa darah latihan
 Dapat mengontrol stres
 Tingkat pemahaman untuk
pencegahan komplikasi
 Status nutrisi adekuat

28
BAB IV
PENUTUP

4.1Kesimpulan
1. Kelenjar Hipofisis terdapat di sela tursika bertulang yang berada di
bawah lapisan dura mater.
2. Gigantisme adalah suatu penyakit akibat hipersekresi growth
hormone yang terjadi pada anak-anak sebelum fusi epifise atau lempeng
tulang menutup yang dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal.
3. Etiologi gigantisme yaitu sekresi GH berlebihan dan adenoma
hipofise
4. Manifestasi klinis gigantisme diantaranya pertumbuhan linier yang
cepat, wajah kasar, pembesaran kaki dan tangan
5. Patofisiologi gigantisme pada anak terjadi karena adenoma
penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis menutup.
6. Komplikasi gigantisme diantaranya diabetes mellitus, hipertensi
dan hipertrofi jantung, artralgia dan artritis, serta kesulitan psikososial
7. Pemeriksaan penunjangnya yaitu laboratorium dan radiologi
8. Penatalaksanaannya adalah pembedahan, radiasi, pengobatan
medis/farmakologis dan diet.
9. Prognosis gigantisme mengalami perbaikan klinis yang cukup
memuaskan, termasuk berkurangnya jaringan lunak dan artralgia bersifat
reversibel pada terapi yang berhasil.
10. Masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan
gigantisme, dan adalah cemas, resiko cidera, gangguan citra tubuh, intoleransi
aktivitas, resiko ketidakstabilan gula darah. Rencana asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan hormon pertumbuhan (GH) bertujuan untuk
mengatasi permasalahan keperawatan, sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatan pasien.

29
4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis menyampaikan saran-saran
yang kiranya dapat dijadikan perhatian dan masukan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan yaitu:
1. Pasien hendaknya lebih memahami tentang penyakit, gejala, pengobatan
dan penanganan di rumah.
2. Keluarga hendaknya memahami keadaan pasien dan mendukung proses
pengobatan pasien.
3. Perawat hendaknya lebih memahami tentang konsep gigantisme sehingga
dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif.

30
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Ilmu kesehatan anak nelson (ed. 15).
Jakarta: EGC.

Brooker, C. 2009. Ensiklopedia keperawatan (Ed. 1). Jakarta: EGC.

Corwin,Elizabet.J. 2008. Buku Saku Patologi. Jakarta : EGC

Eugster, E.A. & Shim. 2004. Gigantism The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism (http://jcem.endojournals.org/content/84/12/4379.full).

Greenspan, F.S. & Baxter, J.D. 2000. Endokrinologi Dasar & Klinik. Jakarta:
EGC.

Guyton, Artur C. 2006. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta:


EGC

Karch. 2010. Buku Ajar Farmakologi Keperawatan. Jakarta:EGC.

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Huda, A & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Percetakan Mediaction
Publishing.

Rubenstein, D., Wayne, D. & Bradley, J. (2005). Lecture notes: kedokteran klinis
(ed.6). Jakarta: Erlangga.

Rubenstein, David, dkk. 2007. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Dialih


bahasakan oleh Annisa Rahmalia. Jakarta : Erlangga.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G., 2002. Buku Ajar: Keperawatan
Medikal Bedah . Jakarta: EGC.

Whaley & Wong. 2002. Essentials of Pediatrics Nursing. USA: California


Indonesia Education Foundation.

Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. (2013). Buku saku diagnosis keperawatan:
diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC (ed. 9). Jakarta: EGC.

31

Anda mungkin juga menyukai