Anda di halaman 1dari 27

PAPER

GANGGUAN GROWTH HORMONE

Disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Keperawatan Dewasa II


Dosen Pembimbing : Dr. Untung Sujianto, S.Kp.,M.Kes

Disusun oleh:
1. Ayu Karunia Utami (22020115140086)
2. Dina Fitria Amalia (22020115120013)
3. Cici Melati Nur Khanifa (22020115140065)
4. Iffah Nur Amalia (22020115120022)
5. Fastika Furi Aprina (22020115120058)
6. Risky Setyo Putri (22020115130074)
7. Riyantika Ayu Ramandhani (22020115120059)
8. Sinta Nurkhalisa (22020115120028)

Kelompok 6
Kelas A 15.1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017

GANGGUAN GROWTH HORMONE


A. Definisi
Hormon merupakan senyawa kimia, berupa protein yang mempunyai
fungsi untuk memacu atau menggiatkan proses metabolisme tubuh. Dengan
adanya hormon dalam tubuh maka organ akan berfungsi menjadi lebih baik.
Pada makhluk hidup, khususnya manusia hormon dihasilkan oleh kelenjar
yang tersebar dalam tubuh. Cara kerja hormon di dalam tubuh tidak dapat
diketahui secara cepat perubahannya, akan tetapi memerlukan waktu yang
lama. Tidak seperti sistem saraf yang cara kerjanya dengan cepat dapat dilihat
perubahannya. Hal ini karena hormon yang dihasilkan akan langsung
diedarkan oleh darah melalui pembuluh darah, sehingga memerlukan waktu
yang panjang (Nugroho, 2012). Hormon mempunyai fungsi sebagai berikut;
1. Memacu pertumbuhan dan metabolisme tubuh.
2. Memacu reproduksi.
3. Mengatur keseimbangan cairan tubuh/homeostasis.
4. Mengatur tingkah laku.
Salah satu hormon yang dihasilkan adalah hormon pertumbuhan (growth
hormone) atau biasa disebut somatotropin adalah suatu hormon anabolik yang
berperan sangat besar dalam pertumbuhan dan pembentukan tubuh, terutama
pada masa anak-anak dan puberitas. Growth hormone berperan meningkatkan
ukuran dan volume dari otak, rambut, otot dan organ-organ di dalam tubuh
(Raider, 2011).
Kelenjar yang bertanggung jawab untuk memproduksi HGH (Human
Growth Hormon) adalah kelenjar pituitary. Kelenjar pituitary terletak di
bawah otak manusia. Ukuran dari kelenjar ini adalah sebesar kacang kedelai.
Walaupun kecil, kelenjar ini merupakan raja dari seluruh kelenjar yang
memproduksi hormon di tubuh manusia. Produksi dari HGH (Human Growth
Hormon) sangat mempengaruhi produksi hormon-hormon lain di dalam tubuh
(Raider, 2011).
Growth hormone diproduksi pada tiga sampai empat jam pertama dari
waktu tidur, dan produksinya mencapai puncak pada masa remaja, hingga
mencapai kadar 1500 g perhari. Pada pria dan wanita muda dengan usia 25
tahun dan bertumbuh dengan baik, produksi growth hormone mencapai 350
g perhari. Secara normal, seseorang akan mengalami penurunan kadar dari
GH sejak usia memasuki 20 tahun yaitu menurun sebesar 14% setiap
pertumbuhan 10 tahun usia, dan akan memiliki growth hormone
dalam jumlah yang sedikit ataupun tidak sama sekali pada usia 65 tahun.
Penurunan kadar growth hormone di dalam tubuh, akan menyebabkan
berbagai kemunduran, baik kemunduran fisik maupun mental (Raider, 2011).

B. Klasifikasi Gangguan Growth Hormone


1. Akromegali
a. Definisi
Akromegali adalah pertumbuhan berlebih akibat pelepasan GH yang
berlebihan terjadi setelah epifisis tulang menutup. Akromegali
ditandai dengan membesarnya ujung anggota badan, seperti hidung,
dagu, telinga, dan kaki (Aziz, 2013).

b. Etiologi
Akromegali disebabkan oleh sekresi GHRH yang berlebih dengan
akibat hyperplasia somatotrof. Sebagian besar (98 %) kasus
akromegali disebabkan oleh tumor hipofisis. Gejala klinis yang
dijumpai pada pasien akromegali disebabkan oleh massa tumor dan
hipersekresi GH yang terjadi setelah lempeng pertumbuhan tulang
menutup (Aziz, 2013).
Dalam akromegali, hipofisis terus melepaskan GH dan
mengabaikan sinyal-sinyal dari hipotalamus. Dalam hati, hormon
pertumbuhan menyebabkan produksi hormon yang disebut insulin-
seperti pertumbuhan faktor 1 (IGF-1) yang bertanggung jawab untuk
pertumbuhan seluruh tubuh. Ketika hipofisis menolak untuk
menghentikan memproduksi GH, tingkat IGF-1 juga mencapai
upnormal puncak. Tulang, jaringan lunak, dan organ diseluruh tubuh
mulai untuk membesar. Akromegali juga bisa disebabkan oleh tumor
pankreas, paru-paru, dan bagian lain dari otak.

c. Faktor Predisposisi

d. Faktor Presipitasi

e. Manifestasi Klinis
Rentang waktu diagnosis dengan waktu timbulnya gejala untuk
pertama kali, yaitu berkisar antara 5-32 tahun karena manifestasi
klinis akromegali yang muncul perlahan. Pada hampir 70% kasus saat
diagnosis akromegali ditegakkan, ukuran tumor telah mencapai >10
mm (makro-adenoma). Penekanan terhadap kiasma optikum terjadi
pada 70-73%. Manifestasi klinis yang ditemukan bervariasi dari
sekedar pembesaran akral, pembengkakan jaringan lunak, hingga
terjadinya osteoartritis, diabetes mellitus, dan hipertensi. Contohnya
pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo empat pasien yang
mengalami akomegali didapatkan manifestasi klinis berupa sakit
kepala, pembesaran akral, serta perubahan maksilofasial disebabkan
oleh makroadenoma dengan ukuran diameter terbesar antara 25 mm
sampai 34 mm. Penyakit penyertayang ditemukan adalah hipertensi
(tiga pasien), diabetes mellitus (dua pasien), serta stroke (satu orang)
(Cahyanur & Soewando, 2010).
Tabel 1. Menifestasi Klinis Akromegali

Efek lokal tumor Pembesaran hipofisis, defek lapang


kelumpuhan saraf kranial, sakit kepala
Sistem somatik Pembesaran akral
Sistem Gigantisme, prognatism, maloklusi, atralgia,
muskuloskeletal atritis, sindrom terowongan karpal, miopati
Kulit dan saluran Hiperhidrosis, skin tag, polip kolon
cerna
Sistem Hipertrofi ventrikel kiri, kardiomiopati,
kardiovaskuler hipertensi, gagal jantung kongestif
Sistem pernapasan Gangguan tidur, sleep apnea, narkolepsi
Viseromegali Lidah, kelenjar saliva, hati, limpa, ginjal,
prostat
Sistem endokrin Reproduksi: gangguan menstruasi, galak
dan metabolik torea, impotensi
MEN tipe 1: hiperparatiroidisme, tumor
pankreas
Karbohidrat: ganguuan metabolisme glukosa,
resistensi insulin, hiperinsulinemia, DM
Lemak: hipertrigliseridemia
Mineral: hiperkalsiuria, peningkatan kadar
vitamin
Elektrolit: penurunan kadar renin,
peningkatan kadar aldosteron
Tiroid: penurunan kadar thyroxine binding
globulin, goiter

f. Patofisiologis
Tumor hipofisis anterior akan menimbulkan efek massa terhadap
struktur sekitarnya. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sakit
kepala dan gangguan penglihatan. Pembesaran ukuran tumor akan
menyebabkan timbulnya keluhan sakit kepala, dan penekanan pada
kiasma optikum akan menyebabkan gangguan penglihatan dan
penyempitan pandang. Selain itu, penekanan pada daerah otak lainnya
juga dapat menimbulkan kejang, hemiparesis, dan gangguan
kepribadian. Pada akromegali dapat terjadi hipersekresi maupun
penekanan sekresi hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior
(Silvani, 2016).
Hipersekresi hormon petumbuhan dapat menimbulkan berbagai
macam perubahan metabolik dan sistemik, seperti pembengkakan
jaringan lunak akibat peningkatan deposisi glikosaminoglikan serta
retensi cairan dan natrium oleh ginjal, pertumbuhan tulang yang
berlebihan, misalnya pada tulang wajah dan ekstremitas, kelemahan
tendon dan ligamen sendi, penebalan jaringan kartilago sendi dan
jaringan fibrosa periartikular, osteoartritis, serta peningkatan aktivitas
kelenjar keringat dan sebasea (Silvani, 2016). Hormon pertumbuhan
yang berlebihan akan menyebabkan gangguan organ dalam dan
metabolik. Pembesaran organ dalam (organomegali) seringkali
ditemukan. Pada jantung terjadi hipertrofi kedua ventrikel. Retensi
cairan dan natrium akan menyebabkan peningkatan volume plasma
dan berperanan dalam terjadinya hipertensi pada pasien akromegali.
Selain itu, efek kontra hormon pertumbuhan terhadap kerja insulin di
jaringan hati maupun perifer dapat menyebabkan toleransi glukosa
terganggu (15%), gangguan glukosa darah puasa (19%), dan diabetes
melitus (20%). Efek tersebut diperkirakan terjadi melalui peningkatan
produksi dan ambilan asam lemak bebas. Resistensi insulin terjadi
akibat peningkatan massa jaringan lemak, penurunan lean body mass,
serta gangguan aktivitas fisik. Gangguan kerja enzim trigliserida
lipase dan lipoprotein lipase di hati akan menyebabkan
hipertrigliseridemia (Silvani, 2016).
Perubahan juga dapat terjadi pada saluran napas atas, seperti
pembesaran sinus paranasal dan penebalan pita suara. Selain itu, lidah
dapat membesar dan massa jaringan lunak di daerah saluran napas
atas bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan tidur
(sleep apnoe). Pada pasien akromegali juga dapat terjadi
hiperkalsiuria, hiperkalsemia, dan nefrolitiasis, yang disebabkan oleh
stimulasi enzim l -hidroksilase, sehingga meningkatkan kadar
vitamin D, yang akan meningkatkan absorbsi kalsium (Silvani, 2016).
Pada jaringan saraf dapat terjadi neuropati motorik dan sensorik.
Neuropati yang terjadi diperburuk oleh kondisi hiperglikemia yang
sering ditemukan pada pasien akromegali. Edema pada sinovium
sendi pergelangan tangan dan pertumbuhan tendon dapat
menyebabkan sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome)
(Silvani, 2016).

g. Penatalaksanaan
Tata laksana yang adekuat dapat menurunkan angka mortalitas.
Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah mengendalikan
pertumbuhan massa tumor, menghambat sekresi hormon
pertumbuhan, dan normalisasi kadar IGF-I. Terdapat tiga modalitas
terapi yang dapat dilakukan pada kasus akromegali, yaitu
pembedahan, medikamentosa dan radioterapi (Thomas AD et al,
2015).
1) Pembedahan
Terapi pembedahan merupakan cara pengobatan utama.
Dikenal dua macam pembedahan tergantung dari besarnya tumor
yaitu, bedah makro dengan melakukan pembedahan pada batok
kepala (TC atau Trans cranial) dan bedah mikro (TESH atau
Trans ethmoic sphenoid hypophysectomy) yang dilakukan dengan
cara pembedahan melalui sudut antara celah infra orbita dan
jembatan hidung antara kedua mata untuk mencapai tumor
hipofisis.
Efek samping operasi dapat terjadi pada 6-20% kasus,
namun pada umumnya dapat diatasi. Komplikasi pasca operasi
dapat berupa: kebocoran cairan serebrospinal (CSF leak), fistula
oro nasal, epistaksis, sinusitis, dan infeksi luka operasi.
Komplikasi lainnya adalah terjadinya gejala diabetes insipidus
atau SIADH (syndrome inappropriate anti diuretic hormone), dan
hipopituitarisme. Dapat terjadi pada 510% kasus.
Halhal yang harus diperhatikan pasca operasi:
a) Insulin tolerance test (ITT), diperlukan untuk memantau aksis
ACTH-kortisol, pada kasus yang membutuhkan pengobatan
dengan kortisol sebagai terapi substitusi.
b) Oral glucose tolerance test (OGTT), dikerjakan apabila kadar
hormone pertumbuhan menetap diatas 2 g/l.
c) Thyrotropin-releasing hormone (TRH) test harus dibuat untuk
menunjukan test positif pre operatif.
d) Fungsi kelenjar tiroid, apabila terjadi penurunan sekresi
hormone tiroid, maka terapi substitusi hormone tiroid harus
diberikan.
e) Fungsi gonad, dengan melakukan pemeriksaan hormone
testoreron dan FSH/LH.
2) Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga
golongan, yakni agonis dopamin, analog somatostatin, dan
antagonis reseptor hormon pertumbuhan.
a) Dopamin agonis (DA)
Dopamin agonis terdiri atas bromokriptin dan cabergoline.
Monoterapi dengan cabergoline memiliki efikasi antara l0-
35% dalam menormalisasi kadar IGF-I. Pada serial 64 pasien
dengan akromegali yang ditatalaksana dengan cabergoline
selama 3 sampai 40 bulan dengan dosis 1,0-1,75 mg/minggu
menurunkan kadar GH dan IGF-I pada 40% pasien. Pasien
yang menolak tindakan operasi dan pemberian obat injeksi
dapat menggunakan obat golongan ini, mengingat dopamin
agonis merupakan satu-satunya golongan obat dalam tata
laksana akromegali yang dapat dikonsumsi secara oral.
b) Analog somatostatin (SSA)
Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon
somatostatin yaitu menghambat sekresi hormon pertumbuhan.
Obat golongan ini memiliki efektivitas sekitar 70% dalam
menormalisasi kadar IGF-I dan hormon pertumbuhan.
Efektivitasnya yang tinggi menjadikan obat golongan analog
somatostatin sebagai pilihan pertama dalam terapi
medikamentosa. Studi yang menilai efektivitas obat golongan
ini memperlihatkan bahwa normalisasi IGF-I tercapai pada
51% subjek setelah pernberian analog somatostatin kerja
panjang selama 36 bulan. Pada 32% subjek penelitian terjadi
reduksi IGF-1 sekitar lebih dari 50%. Selain menormalisasi
kadar IGF-I, terapi analog somatostatin juga dapat
mengecilkan ukuran tumor (80%), perbaikan fungsi jantung,
tekanan darah, serta profil lipid. Kendala utama yang dihadapi
hingga saat ini adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.
Terdapat dua preparat SSA kerja panjang yang efektif :
intramuscular ocreotide long acting release (LAR), dan deep
sc lanreotide depot/autogel yang diberikan setiap bulan.
Lanreotide depot/autogel dapat disuntikkan sendiri atau oleh
orang lain. Dosis awal ocreotide LAR yang disetujui adalah 20
mg/bulan dengan titrasi dosis setiap 3-6 bulan turun hingga 10
mg atau naik hingga 40 mg/bulan. Lanreotide autogel/depot
dosis awalnya yang disetujui 90 mg/bulan dosis dititrasi turun
hingga 60 mg/bulan atau naik hingga 120 mg/bulan. Ocerotide
sc yang kerja cepat juga tersedia yang diberikan secara injeksi
subkutan beberapa kali dalam sehari.
c) Antagonis reseptor hormon pertumbuhan (GH Receptor
Antagonist)
Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas
baru dalam terapi medikamentosa akromegali. Pegvisomant
merupakan rekombinan analog hormon pertumbuhan manusia
yang bekerja sebagai selektif antagonis reseptor GH. Obat
golongan ini direkomendasikan pada kasus akromegali yang
tidak dapat dikontrol dengan terapi pembedahan, pemberian
agonis dopamin, maupun analog somatostatin. Antagonis
reseptor hormon pertumbuhan dapat menormalisasi kadar IGF-
I pada 90% pasien. Sebuah studi yang menilai efektivitas serta
keamanan terapi obat golongan ini sebagai monoterapi atau
kombinasi dengan analog somatostatin memperlihatkan
efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62% dalam
menormalisasi kadar IGF- I. Pegvisomant diberi secara
subkutan dengan dosis 10, 15, atau 20 mg/hari. Pada uji
pivotal, normalisasi IGF-I bersifat dose dependent dan dapat
dicapai pada pasien yang mendapat dosis hingga 40 mg/hari.
3) Terapi Kombinasi
Pada pasien yang memberi respon biokimia parsial terhadap
pemberian SSA, penambahan cabergoline atau pegvisomant dapat
dipertimbangkan.
a) Kombinasi SSA dan cabergoline
Beberapa studi yang dipublikasi mengindikasikan bahwa
DA seperti cabergoline bermanfaat sebagai tambahan terhadap
SSAs pada pasien yang resisten terhadap SSA. Pada suatu
studi dari 19 pasien dengan respon parsial terhadap SSA,
penambahan Cabergoline menghasilkan normalisasi kadar
IGF-I pada 8 pasien (42%). Pada studi ini, adanya tumor
immunocytochemistry yang positif untuk prolaktin atau
hiperprolaktinemia tidak berhubungan dengan reduksi IGF-I
dan GH. Oleh karena itu, kombinasi cabergoline dengan SSA
efektif walaupun tidak dijumpai hiperprolaktinemia.
b) Kombinasi SSA dan Pegvisomant
Kombinasi dua obat ini tampaknya lebih efektif dalam
menurunkan IGF-I dibandingkan dengan SSA atau
Pegvisomant saja. Penambahan Pegvisomant setiap minggu
pada dosis rata-rata 60 mg/minggu selama 42 minggu terhadap
pasien yang resisten terhaap SSA menghasilkan normalisasi
IGF-I pada 95% pasien. Tidak ada pembesaran tumor
hipofisis, tetapi peningkatan ringan enzim hati dijumpai pada
38%.
4) Radioterapi
Dilakukan jika tindakan operasi tidak memungkinkan dan
menyertai tindakan pembedahan jika masih terdapat gejala aktif
setelah terapi pembedahan dilakukan (Silvani, 2016).
Tindakan radiasi dapat dilakukan dalam dua cara yaitu :
a) Radiasi secara konvensional, menggunakan sinar energi proton
dimulai dengan dosis kecil (waktu 5 minggu) tujuannya
adalah untuk mencegah kerusakan jaringan sehat. Misalnya
khiasma optikum atau hipotalamus. Total radiasi dengan cara
ini dapat mencapai 4500 rad. Radiasi memberikan manfaat
pengecilan tumor, menurunkan kadar hormone pertumbuhan,
tetapi dapat pula mempengaruhi fungsi hipofisis. Penurunan
kadar hormone pertumbuhan umunya mempunyai korelasi
dengan lamanya radiasi dilaksanakan.
b) Radiasi dengan energi tinggi partikel berat, dapat memberikan
hasil yang lebih baik tetapi membawa resiko lebih besar pada
gangguan penglihatan. Radiasi ini dilaksanakan dengan dosis
12.000 cGy atau 12.000 rad, dan diarahkan ke sentral
adenoma.

h. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan kadar IGF-1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan
diperkuat oleh tingginya kadar hormon pertumbuhan atau IGF-I
(insulin-like growth factor I) dalam darah (Suddart & Brunner,
2000).
2) Rontgen tulang tengkorak bisa menunjukkan penebalan tulang,
pembesaran sinus hidung dan pembesaran atau pengikisan sella
tursika (struktur bertulang yang mengelilingi hipofisa).
3) Rontgen tangan menunjukkan penebalan tulang dibawah ujung
jari tangan dan pembengkakan jaringan di sekitar tulang.
4) MRI (Magnetic Resonance Imaging) atau CT-scan pada bagian
kepala untuk mengetahui adanya tumor hipofisis makro maupun
mikro.
5) Tes supresi hormon pertumbuhan (GH supresin tes) dengan beban
glukosa 100 gr.
6) Penderita diberikan sejumlah gula untuk melihat apakah kadar
hormon pertumbuhannya turun. Pada bukan penderita akromegali,
kadar hormon pertumbuhan akan turun setelah pemberian
sejumlah gula. Pada penderita akromegali, kadar gula darah dan
hormon pertumbuhan tetap tinggi (Suyono, 2001).

i. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas klien
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama,
umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat,
jenis kelamin, status perkawinan, tanggal MRS.
b) Penanggung jawab
Identitas penanggungjawab pasien, misal : ibu, ayah, suami
atau istri.
c) Keluhan utama
Klien datang ke rumah sakit dengan keluhan Klien mengeluh
adanya pembesaran tangan dan kaki.
d) Riwayat Kesehatan Sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan. Pada akromegali klien
mengatakan tulang mengalami kelainan bentuk, bukan
memanjang, gambaran tulang wajah kasar, tangan dan kakinya
membengkak.
e) Riwayat Kesehatan Dulu
Pada akromegali biasanya riwayat penyakit dahulu klien
mungkin pernah menderita tumor hipofisis jinak.
f) Riwayat Kesehatan Keluarga
Akromegali tidak diturunkan dari riwayat keluarga yang
memilki penyakit akromegali.

2) Pemeriksaan Fisik
a) Tanda-tanda vital
1. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
2. Denyut nadi : 100x / menit
3. Suhu tubuh : 370 C (normal)
4. RR : 20 x / menit
b) Pemeriksaan Fisik B1-B6
Pada pemeriksaan fisik menggunakan metode 6B
(Breathing, Blood, Brain, Bladder, Bower dan Bone) untuk
menguji apakah ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada,
apakah pasien pusing, pemeriksaan pada lingkar kepala,
hidung dan mandibularis. Pemeriksaan pada gigi, ibu jari serta
jari-jari pada tangan dan kaki.
1. Breath (B1)
Biasanya pada pasien akromegali dan gigantisme
tidak terjadi perubahan pola nafas. Bunyi nafas normal.
Gangguan nafas biasanya terjadi akibat adanya proses
pembesaran tumor hipofisis.
2. Blood (B2)
Pada gigantisme biasanya tidak terjadi perubahan
dalam kerja jantung. Pada akromegali jantung biasanya
membesar dan fungsinya sangat terganggu sehingga terjadi
gagal jantung.
3. Brain (B3)
Pada tumor hipofisis yang mengakibatkan
akromegali biasanya terjadi nyeri kepala bitemporal,
gangguan penglihatan disertai hemi-anopsia bitemporal
akibat penyebaran supraselar tumor dan penekanan kiasma
optikum.
4. Bladder (B4)
Pada gigantisme terjadi pertumbuhan alat kelamin
yang tidak sempurna. Pola BAK biasanya normal. Pada
akromegali terdapat penurunan libido, impotensi,
oligomenorea, infertilitas, nyeri senggama pada wanita,
batu ginjal.
5. Bowel (B5)
Biasanya pola BAB normal, terjadi deformitas
mandibula disertai timbulnnya prognatisme (rahang ang
menjorok ke depan) dan gigi geligi tidak dapat menggigit
sehingga meyulitkan dalam mengunyah makanan.
Pembesaran mandibula menyebabkan gigi-gigi renggang,
lidah juga membesar sehingga penderita sulit berbicara.
6. Bone (B6)
Pada gigantisme pertumbuhan longitudinal,
pembesaran pada kaki dan tangan perubahan bentuk yang
terjadi membesar. Deformitas tulang belakang karena
pertumbuhan tulang yang berlebihan, mengakibatkan
timbulnya nyeri punggung dan perubahan fisiologik tulang
belakang. Terdapat nyeri sendi pada bahu tulang dan lutut.

3) Data Fokus
a) Data subjektif
1. Sakit kepala bagian frontal dan temporal, nyeri pada sendi
(artralgia), dan nyeri punggung.
2. Perubahan Sensori, terutama penglihatan.
3. Riwayat perubahan pada wajah, tangan dan kaki (banyak
keringat dan kulit tampak berlemak).
4. Merasa cepat lelah, letargik dan malas bergerak.
5. Perubahan pada tingkah laku, misalnya cepat marah, cemas
dan khawatir tentang citra diri.
6. Perubahan menstruasi pada wanita dan perubahan libido;
impotensi dan infertilitas pada pria.
7. Riwayat obat : kontrasepsi oral dan obat psikotropik
8. Pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan hasil
pengobatan.
b) Data Objektif
1. Fungsi saraf kranial II,II, IV dan VI
2. Perubahan retina bisa menunjukkan papiledema (edema
pada saraf optik)
3. Status mental dan emosional
4. Mobilitas dan perubahan sendi
5. TTV
6. Pembesaran organ, terutama jantung dan hati serta tanda-
tanda yang timbul
4) Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh yang abnormal.
b) Nyeri berhubungan dengan adanya adenoma kelenjar hipofisis
c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.

5) Rencana Asuhan Keperawatan


a) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh yang abnormal
Tujuan : memiliki kembali citra tubuh yang positif
Kriteria Hasil :
1. Klien dapat menerima kekurangan (perubahan fisik) dalam
dirinya
2. Klien mampu bersosialisi dengan lingkungan
Intervensi :
1. Dorong klien agar mau mengungkapkan pikiran dan
perasaannya terhadap perubahan penampilan tubuhnya
2. Bantu pasien dalam mengembangkan mekanisme koping
untuk mengatasi perubahan.
3. Bantu klien mengidentifikasi kekuatanya serta segi-segi
positif yang dapat dikembangkan oleh klien.

b) Nyeri berhubungan dengan adanya adenoma kelenjar hipofisis


Tujuan : Rasa nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
1. Pasien akan memberitahukan nyeri hilang atau terkontrol.
2. Pasien dapat melakukan tindakan atau metode untuk
mengurangi dan mengatasi nyeri.
3. Pasien mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
Intervensi:
1. Kaji karakteristik nyeri
2. Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal, seperti:
ekspresi wajah; gelisah, menangis, menarik diri
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman
4. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai
keinginan pasien
5. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
jika nyeri itu muncul

c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
Tujuan : Pasien dapat menerima asupan nutrisinya dengan
baik.
Kriteria hasil :
1. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
2. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
3. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
Intervensi :
1. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
2. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkkan.
3. Monitor lingkungan selama makan.
2. Dwarfisme
a. Definisi
Dwarfisme adalah suatu kondisi kelainan yang ditandai dengan
tinggi tubuh yang pendek akibat kelainan medis atau genetis. Seorang
manusia dewasa dikatakan mengalami dwarfisme bila tinggi badannya
hanya mencapai kisaran 147 cm atau lebih pendek.

b. Etiologi
Penyebab terjadinya dwarfisme adalah sebagai berikut (Rahman,
2014) :
1) Defisiensi seluruh sekresi kelenjar hipofisis anterior
(panhipopituitary) selama masa anak-anak (Guyton
& Hall, 1997)
2) Terlalu sedikitnya hormon hipofisis sehingga
menyebabkan tubuh yang kerdil (Atkinson, 1994)
3) Mutasi genetik yang berlangsung secara spontan
yang terjadi pada sel telur atau pada sel sperma.
Dalam beberapa kasus, kedua orang tua yang
memiliki ukuran tubuh normal sekalipun dapat
memiliki anak dengan struktur tubuh yang kecil
(Nicholson, 2005)
4) Defisiensi hormon pertumbuhan selanjutnya dapat
disebabkan karena penyakit hipofisis atau defek
pada tigkat hipotalamus yang tidak mampu
merangsang sekresi hormon pertumbuhan (Ganong,
1990)

c. Faktor Predisposisi
1) Sindrom Prader-Willi
2) Sindrom Down
3) Sindrom Noonan
4) Sindrom Conradi
5) Sindrom Ellis-van Creveld
6) Hypochondroplasia
7) Penyakit mucopolysaccharide
8) Diastrophic dysplasia
9) Multiple epiphyseal dysplasia
10) Pseudoachondroplasia
11) Perawatan yang menggunakan steroid, misalnya penyakit asma.
12) Penyakit jangka panjang yang berdampak kepada paru-paru,
jantung, atau ginjal.

d. Faktor Presipitasi
1) Tumor Otak
Kebanyakan kasus hipopituitari disebabkan adenoma
hipofisis menekan jaringan normal di kelenjar, dan jarang lainnya
tumor otak luar kelenjar-chraniopharyngioma, meningioma,
Chordoma, ependymoma, glioma atau metastasis dari kanker di
tempat lain di tubuh.
2) Infeksi, peradangan, dan infiltrasi otak
Pituitary juga dapat dipengaruhi oleh infeksi pada otak
(abses otak, meningitis, ensefalitis) atau kelenjar itu sendiri, atau
mungkin disusupi oleh sel-sel yang abnormal (neurosarcoidosis,
histiocytosis) atau besi yang berlebihan (hemochromatosis).
3) Cedera Fisik
Penyebab fisik eksternal untuk hipopituitari termasuk
cedera otak traumatis, perdarahan subarachnoid, bedah saraf, dan
radiasi pengion (misalnya terapi radiasi untuk tumor otak
sebelumnya).
4) Bawaan / Keturunan
Bawaan hipopituitari (hadir sejak lahir) mungkin hasil
komplikasi persalinan sekitar, atau mungkin hasil pembangunan
tidak cukup (hipoplasia) dari kelenjar, kadang-kadang dalam
konteks kelainan genetic tertentu.Mutasi dapat menyebabkan salah
perkembangan cukup kelenjar atau penurunan fungsi

e. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis defisiensi hormon pertumbuhan berupa
perawakan pendek berat (cebol), agak gemuk, lemak subkutan di
abdomen bertambah, bisa terdapat keluhan dan gejala hipoglikemia,
proporsi tulang normal. Bisa terdapat gejala-gejala yang berkaitan
dengan etiologi seperti kraniofaringioma yang menyebabkan visus
mata menurun. Ketika anak-anak mencapai pubertas, maka tanda-
tanda seksual sekunder dari genetalia eksterna gagal berkembang
(Price, 2006).
Pada anak-anak, terjadi gangguan pertumbuhan somatis akibat
defisiensi pelepasan GH. Dwarfisme hipofisis (kerdil) merupakan
konsekuensi dari defisiensi tersebut. Selain itu sering pula ditemukan
berbagai derajat insifisiensi adrenal dan hipitiroidisme, mereka
mungkin akan mengalami kesulitan di sekolah dan memperlihatkan
perkembangan intelektual yang lamban, kulit biasanya pucat karena
tidak adanya MSH.
Gejala yang ditimbulkan dwarfisme antara lain:
1) Wajah imatur.
2) Suara anak- anak.
3) Bentuk kepala mikrochepal.
4) Hidung menonjol.
5) Postur tubuh proporsional.
6) Penipisan tulang panjang.
7) Tulang kecil dan rapuh.
8) Dislokasi sendi
9) Impotensi
10) Infertilitas
11) Nyeri senggama
12) Pubertas terlambat
13) Perawakan fisik pendek
14) Kurus dan wajahnya menua sesuai dengan usia
15) Keterlambatan pertumbuhan fisik
16) Terjadi keterlambatan perkembangan keterampilan
17) Perilaku belum matang
18) Peningkatan kolesterol total/LDL
19) Hipoglikemi akibat penurunan metabolism KH
20) IQ dalam keadaan normal
21) Smart Look

f. Patofisiologis
Secara umum, dwarfisme disebabkan oleh kondisi defisiensi
GHRH, sehingga kelenjar hipofisis anterior tidak dapat mensekresi
GH dan terjadilah defisiensi hormon pertumbuhan. Hal tersebut akan
menyebabkan defisiensi IGF-1 dan somatomedin, sehingga tubuh
tidak mengalami perkembangan tulang dan otot. Oleh karena itu,
seseorang dengan dwarfisme memiliki proporsi tubuh kecil atau tidak
sesuai dengan tinggi badan orang pada umumnya pada usia yang
sama. Defisiensi hormon pertumbuhan selain disebabkan oleh
defisiensi GHRH, dapat terjadi pada kodisi dimana respons hormon
pertumbuhan terhadap GHRH masih normal, namun sebagian
penderita mengalami kelainan pada sel-sel pensekresi hormon
pertumbuhan yaitu pada kelenjar hipofisis anterior. Penyebab
hipofungsi hipofise dapat bersifat primer dan sekunder. Primer jika
gangguannya terdapat pada kelenjar hipofise itu sendiri, dan sekunder
bila gangguan ada pada hipotalamus (Guyton, 2008).
Pasien dwarfisme panhipopituitarisme tidak melewati masa
pubertas dan pasien tersebut tidak pernah dapat menyekskresi hormon
gonadotropin dalam jumlah yang cukup guna pertumbuhan fungsi
seksual dewasa. Apabila hipopituitarisme berlanjut pada saat dewasa,
gejala utama ditandai dengan efek defisiensi gonadotropin. Pada
wanita biasanya terjadi amenore dan infertilitas sedangkan pada pria
biasanya terjadi infertilitas dan impotensi defisiensi tirotropin dan
kortikotropin yang dapat mengakibatkan atropi tiroid dan korteks
adrenal.Akan tetapi sepertiga pasien dwarfisme hanya mengalami
defisiensi hormon pertumbuhan saja; pasien seperti ini mengalami
pematangan seksual dan adakalanya dapat juga bereproduksi (Guyton,
2008).

g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dwarfisme terdiri atas penatalaksanaan psikologis
dan pemantauan medis secara kontinu. Tujuannya untuk
penatalaksanaan medis yaitu memerhatikan kesehatan umum dan
nutrisi, dan dukungan psikologis (Wulandari, 2012).
1) Medikametosa
Pengobatan hipopituitarisme mencakup penggantian
hormon-hormon yang kurang. GH manusia, hormon yang hanya
efektif pada manusia, dihasilkan dari tehnik rekombinasi asam
deoksiribonukleat (DNA), dapat digunakan untuk mengobati
pasien dengan defesiensi GH dan hanya dapat dikerjakan oleh
dokter spesialis.
2) Terapi
Dengan cara meningkatkan self confidence individu. Rasa
percaya diri merujuk pada aspek kehidupannya dimana merasa
memiliki potensi yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa karena
didukung oleh pengalaman, prestasi, serta harapan yang realistik
terhadap dirinya. Percaya diri (Self Confidence) adalah
meyakinkan pada kemampuan dan penilaian (judgement) diri
sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang
efektif.
Terapi yang dapat diberikan adalah terapi dinamik, yaitu
dirancang untuk memahami motivasi psikologis, dan terapi
perilaku, yakni terapi yang digunakan untuk mengubah perilaku-
perilaku spesifik melalui pemberian penguatan positif secara
konsisten. Selain itu, terdapat pula terapi yang diberikan untuk
keluarga. Hal ini guna untuk menanamkan pengertian keluarga
terhadap anak dwarfisme.

h. Pemeriksaan Penunjang (Syahbuddin, 2002)


1) Pemeriksaan hormon pertumbuhan dan somatomedin secara RIA
(Radioimmunoassay), dapat memberi petunjuk adanya penurunan
kadar hormon pertumbuhan dan somatomedin C pada defisiensi
hormon pertumbuhan.
2) Pemeriksaan X-Ray tulang epifis dan pergelangan tangan dengan
bantuan Atlas Gruelich dan Pyle adalah untuk menilai tingkat
pematangan tulang dan umur tulang. Umur tulang tertinggal pada
defisiensi hormon pertumbuhan.
3) X Ray sella tursica (tengkorak /kepala) dapat memberi petunjuk
adanya tumor hipofisis dan sekitarnya
4) Pemeriksaan kadar gula darah yang menurun dan kolesterol yang
meningkat.
5) Pengukuran kadar IGF-1 berkisar yang cenderung turun (kadar
normal: 0,3-1,4 U/mL).
i. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas Klien
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama,
umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat,
jenis kelamin, status perkawinan
b) Penanggung Jawab
Identitas penanggungjawab pasien, misal : ibu, ayah, suami
atau istri.
c) Keluhan Utama
Keluhan utama pasien adalah adanya kelelahan dan
kelemahan, kebutuhan tidur atau istirahat meningkat, ketidak
mampuan tubuh untuk tumbuh.
d) Riwayat Kesehatan Sekarang
Adanya keluhan tubuh yang tidak mengalami pertumbuhan
sesuai umurnya, sehingga memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan.
e) Riwayat Kesehatan Dulu
Adanya riwayat tumor hipofisis atau penyakit lain yang
berkaitan dengan dwarfisme.
f) Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya anggota keluarga yang mengalami dwarfisme.

2) Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan Fisik B1-B6
Pada pemeriksaan fisik menggunakan metode 6B
(Breathing, Blood, Brain, Bladder, Bower dan Bone) untuk
menguji apakah ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada,
apakah pasien pusing, pemeriksaan pada lingkar kepala,
hidung dan mandibularis. Pemeriksaan pada gigi, ibu jari serta
jari-jari pada tangan dan kaki.
1 B1 (Breathing) : Pola napas normal, tidak terjadi
gangguan pola napas.
2 B2 (Blood) : Tidak terjadi gangguan jantung.
3 B3 (Brain) : Adanya pusing, gangguan penglihatan/ visus
menurun akibat adanya adenoma.
4 B4 (Bladder) : Glomerulosklerosis.
5 B5 (Bowel) : Penururnan laju metabolisme. BAB dalam
batas normal.
6 B6 (Bone and Integumen) : Tubuh terasa lemas dan lelah.
7 Endokrin dan Metabolik : Sensitivitas dengan insulin
meningkat, hipoglikemi.

3) Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh yang abnormal.
b) Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
c) Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit.
d) Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi
dan kondisi fisik.

4) Rencana Asuhan Keperawatan


a) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh yang abnormal
Tujuan : Pasien mampu menerima dan beradaptasi dengan
perubahan struktur tubuh.
Kriteria Hasil :
1. Klien dapat menerima perubahan fisik dalam dirinya
2. Pasien mengungkapkan hal positif tentang dirinya.
3. Klien mampu bersosialisi dengan lingkungan
Intervensi :
1. Gunakan alat seperti Body Image Instrumen (BII) untuk
mengidentifikasi klien yang memiliki keprihatinan tentang
perubahan citra tubuh
2. Amati mekanisme biasa klien mengatasi selama masa stres
yang ekstrim dan memperkuat penggunaannya dalam
krisis saat ini.
3. Akui penolakan, kemarahan, atau depresi sebagai perasaan
normal saat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
tubuh dan gaya hidup.
4. Mengidentifikasi klien beresiko untuk gangguan citra
tubuh.
5. Jangan meminta klien untuk mengeksplorasi perasaan
kecuali mereka telah menunjukkan kebutuhan untuk
melakukannya.
6. Dorong klien untuk membahas konflik interpersonal dan
sosial yang mungkin timbul.
7. Dorong klien untuk membuat keputusan sendiri,
berpartisipasi dalam rencana perawatan , dan menerima
baik kekurangan dan kelebihan.
8. Dorong klien untuk melanjutkan rutinitas perawatan
pribadi yang sama yang diikuti sebelum perubahan citra
tubuh.

b) Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan


intrakranial.
Tujuan : Rasa nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
1. Pasien akan memberitahukan nyeri hilang atau terkontrol.
2. Pasien dapat melakukan tindakan atau metode untuk
mengurangi dan mengatasi nyeri.
3. Pasien mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
Intervensi:
1. Kaji karakteristik nyeri
2. Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal, seperti:
ekspresi wajah; gelisah, menangis, menarik diri
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman
4. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai
keinginan pasien
5. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
jika nyeri itu muncul

c) Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang


penyakit.
Tujuan : Cemas hilang/berkurang setelah mendapat tindakan
keperawatan.
Kriteria hasil :
1. Pasien mengungkapkan tingkat kecemasan yang bisa
ditoleransi
2. Pasien menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas
dan mampu merencanakan strategi koping untuk situasi
penuh tekanan
Intervensi :
1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien,
termasuk reaksi fisik.
2. Gali teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan
cemas di masa lalu.
3. Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan
tenang dan berikan ketenangan serta rasa nyaman.
4. Beri dorongan pada pasien untuk mengungkapkan secara
verbal pikiran dan perasaan untuk mengekternalisasikan
ansietas.
5. Sediakan pengalihan melalui TV, radio, permainan serta
terapi okupasi untuk menurunkan ansietas dan
memperluas fokus.

d) Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi


dan kondisi fisik.
Tujuan : Resiko cidera menurun setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
Kriteria Hasil :
1. Pasien mampu memperlihatkan pengendalian resiko
cedera
2. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko.
Intervensi:
1. Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan
keamanan, misalnya perubahan status mental.
2. Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko
jatuh.
3. Orientasikan kembali pasien terhadap realitas dan
lingkungan saat ini bila dibutuhkan.
4. Bantu ambulasi pasien bila perlu.
5. Jauhi bahaya lingkungan (misalnya beri pencahayaan yang
adekuat).
6. Berikan materi edukasi yang berhubungan dengan strategi
dan tindakan untuk mencegah cidera.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. (2013). Gigantisme dan Akromegali. Diakses pada tanggal 23 April 2017
melalui http://abdulaziz-fkp10.web.unair.ac.id/artikel_detail-79687-askep
%20endokrin-Gigantisme%20dan%20Akromegali.html

Cahyanur, R., & Soewando, P. (2010). Akromegali. Majalah Kedokteran


Indonesia, 60(6), 281.

Guyton. (2008). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC

Masitah, T. A. (2009). Manifestasi Penyakit Achondroplasia di Rongga Mulut


Ditinjau dari Gambaran Radiografi. Diakses pada tanggal 23 April 2017
melalui repository.usu.ac.id

Nugroho. (2012). Sistem Hormon Manusia. Diakses pada tanggal 26 April 2017
melalui staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/12/SISTEM-HORMON-
MANUSIA.pdf

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-proses Penyakit Vol. 2 Ed. 6. Jakarta: EGC

Rahman, M. (2014). Askep Dwarfisme. Diakses pada tanggal 26 April 2017, dari :
http://muziburrahman-fkp14.web.unair.ac.id/artikel_detail-116598-
Kesehatan-Askep%20Dwarfisme.html

Raider, Dolphin. (2011). Hormon Pertumbuhan Manusia. Diakses pada tanggal 24


April 2017 melalui https://www.scribd.com/doc/56319282/Hormon-
Pertumbuhan-Manusia-Copy

Silvani, Melati et al. (2016). Akromegali dan Gingantisme. Diakses pada tanggal
24 April 2017 melalui
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/62885/5_897114038
436102145.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Suddart & Brunner. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Suyono, Slamet. (2001). Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI

Syahbuddin, Syafril. (2002). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.

Thomas AD et al. (2015). Gigantism and Acromegaly. Diakses pada tanggal 24


April 2017 melalui http://emedicine.medscape.com/article/925446-overview

Wulandari, Ambar Arum. (2012). Bimbingan dan Konseling Islam dengan


Pendekatan Person-Centered dalam Meningkatkan Self Confidence. Diakses
pada tanggal 24 April 2017 melalui http://digilib.uinsby.ac.id/10196/2/bab1-
5.pdf

Anda mungkin juga menyukai