Anda di halaman 1dari 30

8

2.3. Pemfigus dan Adhesi Interselular dalam Epidermis


Semua jenis pemfigus merupakan penyakit autoimun dimana antibodi
imunoglobulin G (IgG) terikat pada sejumlah antigen sel epidermis. Antigen
ini, merupakan bagian dari molekul di permukaan sel keratinosit yang
berfungsi merekatkan keratinosit satu sama lainnya. Fungsi ini, disebut
sebagai adhesi. Ikatan antar keratinosit dimediasi secara predominan oleh
molekul adhesi sel dari famili cadherin, yang terletak di dua taut adhesi
interselular khusus, yakni: (1) desmosom dan (2) taut intermediat atau
adheren (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010)
Dua antigen utama yang berhasi diidentifikasi pada kasus pemfigus
adalah desmoglein 3 (pada pemfigus vulgaris) dan desmoglein 1 (pada
pemfigus superfisial). Keduanya termasuk molekul adhesi sel, glikoprotein
transmembran dari famili cadherin yang ditemukan dalam desmosom.
Reaksi antigen-antibodi yang terjadi pada kasus pemfigus menimbulkan
gangguan pada ikatan adhesi antar keratinosit, memicu terjadinya suatu
proses yang dikenal dengan istilah akantolisis, yakni runtuhnya jembatan
interselular karena hilangnya ikatan adhesi antar keratinosit (Weller R,
Hunter J, Mann M, et al, 2015; Wolff, Johnson, Saavedra, 2013). Berikut
akan dijabarkan mengenai struktur apa saja yang terlibat serta bagaimana
fungsi adhesi berlangsung secara normal.
A. Desmosom
Desmosom merupakan struktur padat elektron berukuran kecil yang
menghubungkan filamen intermediat pada sel ke membran plasma dan
struktur sel lain di dekatnya. Komponen adhesi utama dari struktur ini
adalah cadherin desmosomal yang meliputi desmoglein dan desmocollin
(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010). Susunan yang memungkinkan
dari komponen desmosom diilustrasikan secara skematis pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Representasi Skematis Komponen Molekular Desmosom


DP: desmoplakin; Dsg1, desmoglein 1;Dsg 3, desmoglein 3; N, terminal amino;
PG, plakoglobin; PP, plakofilin (Diilistrasikan oleh Dr. J. Allen, Oxford Radcliffe
Hospital, Oxford, UK)
(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010)

10

Cadherin desmosomal merupakan domain glikoprotein transmembran


yang masing-masing memiliki domain ekstraselular, sebuah domain
transmembran dan domain sitoplasma, yang menghubungkannya dengan
sitoskeleton. Fungsi adhesi mungkin diregulasi oleh interaksi kompleks
antara domain sitoplasma cadherin dan protein sitoplasma seperti catenin
atau plakoglobin (Garrod dan Chidgey, 2008).
Desmoglein dapat diklasifikasikan lagi menjadi 3 jenis protein yang
saling berhubungan: desmoglein-1, desmoglein-2, dan desmoglein-3.
Desmoglein-1 dapat dikenali pada serum pasien yang menderita penyakit
pemfigus (khususnya pemfigus foliaceus dan vulgaris), dan juga merupakan
target kerusakan yang dimediasi oleh protease oleh eksotoksin stafilokokus.
Desmoglein-3 adalah antigen target pada pemfigus vulgaris. Desmocollin
ada dalam beberapa bentuk isoform dan dapat diidentifikasi pada serum dari
seorang penderita pemfigus IgA. Pada tabel berikut ini, tertera beberapa
isoform desmoglein dan penyakit yang berkaitan dengannya (Burns,
Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).
Tabel 2.3. Desmoglein yang Menjadi Target pada Sejumlah Penyakit
Isoform

Tipe

Desmoglein 1

Autoimun
Infeksi

Desmoglein 2

Genetik
Infeksi
Genetik

Desmoglein 3

Autoimun

Desmoglein 4

Peyakit

Pemfigus foliaceus
Pemfigus vulgaris tipe mukokutaneus
Pemfigus paraneoplastik
Staphylococcal scalded skin syndrome
Bullous impetigo
Keratoderma palmoplantar striata
Infeksi traktus respiratorius dan urinarius
Kardiomiopati Dilatasi
Pemfigus Vulgaris (Tipe dominan mukosa,

mukokutaneus)
Pemfigus paraneoplastik
Genetik
Hipotrikosis
(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010)

Ekspresi sub-famili desmoglein bervariasi selama diferensiasi, dan


ekspresi pada kulit manusia berbeda dengan ekspresi pada epitel mukosa.
Desmoglein-3 diekspresikan hanya di lapisan basal dan suprabasal
epidermis sedangkan desmoglein-1 ditemukan hampir di semua lapisan

11

epidermis, khususnya di lapisan yang letaknya superfisial. Di sisi lain,


desmoglein-3 diekspresikan secara adekuat di mukosa, sedangkan
desmoglein-1 diekspresikan dengan lemah di bagian tersebut. Untuk alasan
inilah pemfigus vulgaris dan foliaceus, menunjukkan gambaran klinis yang
berbeda, karena letak dan ekspresi antigen yang dominan terikat oleh autoantibodi patologis berbeda satu sama lainnya pada kedua kasus tersebut.
Adapun ekspresi desmoglein epidermis pada neonatus, menyerupai ekpresi
desmoglein pada mukosa orang dewasa (Burns, Breatnach, Cox, dan
Griffiths, 2010).
Jika strukturnya dikaji lebih jauh, maka pada desmosom akan ditemukan
susunan yang terdiri dari plak submembran, yang mengandung protein
plakoglobin non-glikosilasi, desmoplakin-1 dan 2, serta plakofilin.
Plakoglobin, muncul pada desmosom maupun taut adheren, mungkin
berinteraksi dengan cadherin untuk meregulasi adhesi. Desmoplakin-1 dan 2
merupakan bagian famili multigen dari filament organizing proteins
(plakin), yang mencakup antigen pemfigoid bulosa (BP230), muncul di
hemidesmosom zona basement membrane, dan plectin, intermediate
filament-associated protein yang terdistribusi secara luas di tubuh.
Autoantibodi plakin ditemukan pada pemfigus paraneoplastik, suatu kondisi
yang dihubungkan dengan keganasan limfoid, timoma, atau sarcoma tertentu
(poorly differentiated sarcoma). Filamen intermediat keratin memasuki plak
desmosomal, di mana terminal aminonya berinteraksi dengan terminal
karboksi desmoplakin. Desmoplakin, plakoglobin, dan mungkin juga
plakofilin-1, melekat pada cadherin desmosomal, dan juga melekat satu
sama lainnya dalam susunan yang sangat kompleks (Burns, Breatnach, Cox,
dan Griffiths, 2010).
B. Taut Adheren
Cadherin epitel (E-cadherin) ditemukan di taut adheren. Interaksi antara
domain sitoplasma pada E-cadherin dan protein sitoplasma yang disebut
catenin sangatlah esensial untuk fungsi adhesi normal. Plakoglobin, yang
strukturnya menyerupai -catenin, mungkin juga membentuk kompleks

12

tertentu dengan E-cadherin. Vinculin dan -actinin, protein sitoplasma yang


juga terlihat di taut adheren, mungkin terhubung dengan serat microfilamen
aktin untuk mempengaruhi organisasi filamen. Namun demikian, meskipun
esensial untuk fungsi adhesi, hingga saat ini belum terbukti apakah struktur
ini merupakan antigen target pada penyakit imunobulosa (Burns, Breatnach,
Cox, dan Griffiths, 2010).
Pada sub-bab selanjutnya akan dibahas mengenai beberapa tipe spesifik
dari pemfigus. Pembahasan mencakup sejumlah aspek klinis yang penting
mengenai kondisi ini. Adapun tatalaksana akan dibahas secara tersendiri
pada sub-bab lain, mengingat pada dasarnya, semua tipe pemfigus memiliki
penatalaksanaan yang hampir sama. Perbedaan tentunya terletak pada
intensitas terapi yang diberikan.
2.4. Pemfigus Vulgaris
Pemfigus vulgaris

(PV)

merupakan

penyakit

auto-imunobulosa

intraepitelial yang mengenai kulit dan membran mukosa, serta dimediasi


oleh antibodi dalam sirkulasi yang didireksikan terhadap permukaan sel
keratinosit (Zeina et al, 2015).
A. Epidemiologi
Pemfigus vulgaris (PV) merupakan bentuk pemfigus yang paling sering
dijumpai, di mana secara global, persentasenya 70 80 % dari total kasus,
dengan distribusi mencapai 0.1 0.5 pasien/100.000 populasi setiap
tahunnya. Pemfigus vulgaris juga merupakan penyakit auto-imunobulosa
yang paling umum di negara-negara bagian Timur, seperti India, Malaysia,
Cina dan Timur Tengah (Karisetty, Reddy, Lahkar, 2013; Chams-Davatchi,
Valikhani, Daneshpazhooh, et al, 2005; Burns, Breatnach, Cox, dan
Griffiths, 2010).
1. Etnis
Semua ras dapat menderita PV, namun demikian, sejumlah

studi

menunjukkan bahwa kondisi ini lebih sering ditemui pada beberapa ras
tertentu. Mayoritas kasus yang pernah dilaporkan berasal dari ras Yahudi
Ashkenazi, penduduk asli Mediterania, dan India (Burns, Breatnach,

13

Cox, dan Griffiths, 2010; Weller R, Hunter dan Mann, 2015). Sejalan
dengan ini, insidensi pemfigus vulgaris juga tinggi di wilayah yang
mayoritas penduduknya adalah ras Yahudi. Contohnya Jerusalem, yang
insidensinya mencapai 16 per 1000.000 populasi (Zeina et al, 2015).
Penyakit ini sangat jarang ditemukan di Negara Barat. Di Eropa Tengah,
insidensinya hanya berada pada rentang 0.6 0.8 kasus/1000.000
populasi setiap tahunnya. Di negara Eropa lainnya, seperti Prancis dan
Jerman, insidensinya hanya sebesar 1.3 per 1000.000 populasi (Marazza
et al, 2009; Langan et al, 2008; Wolff, Johnson, Saavedra, 2013).
2. Gender
Ditinjau dari segi gender, pemfigus vulgaris dapat mengenai semua jenis
kelamin. Namun apakah rasionya ekuivalen atau tidak belumlah jelas
karena data yang tersedia dari berbagai literatur masih saling
bertentangan. Sebuah studi observasi non-analitik retrospektif yang
dilakukan oleh Wilson et al (1994) menunjukkan bahwa persentase
penderita pemfigus lebih tinggi di kalangan perempuan (perempuan=
60,6%; laki-laki = 39,4%). Dua studi lain juga menunjukkan hasil yang
sama (Pisanti dan Sharav, 1974; Salmanpour dan Shankar, 2006).
Sementara itu, data dari literatur lainnya memperlihatkan rasio insidensi
yang ekuivalen antara laki-laki dan perempuan, yakni sebesar 0.9:1.0
(Wolff, Johnson, dan Saavedra 2013; Burns, Breatnach, dan Cox, 2010).

3. Usia saat Onset


Rerata usia onset pada kasus pemfigus vulgaris berkisar antara 50-60
tahun, atau pada usia pertengahan. Meskipun jarang, penyakit ini dapat
juga mengenai anak kecil. Ditinjau per negara, India memiliki penderita
pemfigus yang berusia lebih muda dibanding negara Barat (Wilson et al,
1994; Burns, Breatnach, dan Cox, 2010; Djuanda, Hamzah dan Aisah,
2011).
4. Mortalitas

14

Sebelum kortikosteroid diperkenalkan pada awal 1950, mortalitas PV


mencapai 75% dan prognosisnya hampir selalu fatal dalam rentang
waktu dua tahun setelah diagnosis ditegakkan (Bystryn dan Steinman,
1996). Setelah kortikosteroid diperkenalkan, mortalitas pemfigus dapat
diturunkan hingga 5 15% (Zeina et al, 2015). Menurunnya mortalitas
ini tampak seperti keberhasilan yang signifikan dalam terapi pemfigus
vulgaris, namun demikian, faktor utama yang berkontribusi terhadap
mortalitas sebesar 5 15% tersebut tidak lain adalah efek samping dari
terapi kortikosteroid sistemik (Lagha et al, 2005).
B. Etiologi
Pemfigus vulgaris muncul sebagai akibat dari adanya gangguan
autoimun, yang memicu proses akantolisis. Gangguan autoimun pada
pemfigus vulgaris dikonfirmasi melalui identifikasi auto-antibodi patologis
kelas IgG yang berikatan dengan desmoglein-3 dan desmoglein-1 dari
desmosom. Antibodi ini dikenal dengan istilah antidesmoglein, dan dalam
pemfigus vulgaris, desmoglein-3 adalah antigen target utama antibodi
tersebut (Wolff, Johnson, Saavedra, 2013).

Faktor predisposisi terjadinya pemfigus dihubungkan dengan faktor


genetik. Dua studi case control membuktikan bahwa hubungan keluarga
derajat 1 dengan penderita pemfigus vulgaris membuat seseorang lebih
rentan mengalami panyakit ini. Selain itu, dibanding kelompok populasi
normal, insidensi antidesmoglein yang positif dalam sirkulasi lebih tinggi
pada kelompok orang-orang yang memiliki relasi biologis seperti di atas
(Firooz A, Mazhar A, Ahmed AR, 1994; Starzycki Z, Chorzelski TP,
Jablonska S, 1998).
Alel spesifik (HLA-DR) pada genotip MHC kelas II ditemukan pada
penderita pemfigus vulgaris, di antaranya adalah HLA-DRB1*0402, HLADRB1*1401 dan HLA-DQB1*0503. Ketiga alel ini membawa risiko
pemfigus vulgaris, mungkin melalui perubahan struktural pada situs

15

pengikatan peptida, yang kemudian mempengaruhi presentasi antigen dan


rekognisi oleh sel limfosit-T (Lee, Lendas dan Chow, et al, 2006).
Sejumlah faktor lain yang mungkin memiliki hubungan dengan
pemfigus vulgaris adalah riwayat infeksi virus. DNA virus (herpes simplex,
Virus EB, human herpes viruses 6 dan 8) telah berhasil dideteksi pada
sejumlah biopsi lesi dan sel mononuklear perifer dari penderita pemfigus,
khususnya pemfigus vulgaris dan foliaseus (Tufano, Baroni, Buommino, et
al, 1999; Rawya dan Gaber, 2007). Pada beberapa kasus, penyakit
ditemukan coexist bersama infeksi HIV, yang tentunya membawa tantangan
bagi terapi kortikosteroid dan imunosupresan (Hodgson, Fidler, Speight et
al, 2003).

C. Patofisiologi Pemfigus Vulgaris


Autoantibodi terhadap permukaan keratinosit muncul pada pemfigus
vulgaris. Baik observasi maupun eksperimen klinis membuktikan bahwa
autoantibodi yang bersirkulasi ini merupakan antibodi patogenik.
1. Antigen pemfigus vulgaris
Seperti yang telah dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya,
antigen utama dalam pemfigus vulgaris adalah desmoglein-3, suatu
cadherin desmosomal yang terlibat dalam proses mediasi adhesi
interselular pada epidermis. Antibodi pemfigus terikat pada domain
ektraselular di regio amino-terminal desmoglein-3 dan menimbulkan
efek langsung pada fungsi struktur ini (Burns, Breatnach, dan Cox,
2010).
Desmoglein-3 dapat ditemukan di desmosom dan di membran
keratinosit bagian lainnya. Antigen ini dapat dideteksi pada awal
diferensiasi keratinosit, utamanya di epidermis bagian bawah dan
ekspresinya lebih banyak di mukosa buccal serta kulit kepala dibanding
kulit dari batang tubuh. Kontras dengan pola ekspresi desmoglein-1,

16

yang muncul hampir di semua bagian epidermis, lebih banyak di lapisan


superfisial, namun minimal ekspresinya di lapisan mukosa (Burns,
Breatnach, dan Cox, 2010).
2. Antibodi pada Pemfigus Vulgaris dan Teori Kompensasi Desmoglein
Penamaan antibodi pada pemfigus disesuaikan dengan antigen
targetnya. Antibodi yang menyerang antigen desmoglein-3, disebut
antibodi antidesmoglein-3, demikian seterusnya. Sebuah teori yang
disebut desmoglein compensation theory pernah diajukan untuk
menjelaskan fenomena kerusakan fungsi adhesi pada pemfigus. Menurut
teori ini, apabila terdapat 2 molekul antigen desmoglein yang
diekspresikan pada sel yang sama, salah satu molekul akan
mengkompensasi fungsi adhesi dari molekul desmoglein lainnya (Burge,
Wilson, dan Dean et al, 1993; Amagai, 2009).
Teori di atas sekaligus mencoba menjelaskan distribusi dari lesi
berbagai bentuk pemfigus yang pada beberapa kasus, konsisten terhadap
distribusi epidermal dari isoform desmoglein (Burns, Breatnach, dan
Cox, 2010). Penderita pemfigus vulgaris yang hanya memiliki
antidesmoglein-3 dalam sirkulasinya cenderung hanya memiliki lesi
yang terbatas pada membran mukosa, di mana defisiensi relatif dari
desmoglein-1 (desmoglein-1 diekspresikan secara minimal di membran
mukosa) tidak sanggup mengkompensasi fungsi adhesi desmoglein-3
yang hilang, sehingga terjadilah akantolisis (MBL, 2014). Masih sejalan
dengan teori ini, pasien pemfigus vulgaris yang memiliki antibodi
terhadap kedua desmoglein biasanya memiliki bula mukokutaneus yang
tersebar luas di bagian tubuh, dan terutama di lapisan suprabasal
epidermis, lokasi di mana kedua cadherin tampaknya esensial untuk
mempertahankan adhesi sel ke sel. Di lain pihak, kasus di mana tidak
ada hubungan antara profil antibodi yang terbentuk dengan klinis yang
muncul juga ditemukan. Hal ini mengindikasikan bahwa antibodi
antidesmoglein bukanlah satu-satunya efektor pada pemfigus (Yoshida
et al, 2005; Herrero-Gonzalez et al, 2006).

17

3. Mekanisme Akantolisis dan Pembentukan Bula


Mekanisme yang terlibat dalam separasi sel (akantolisis) belum
dipahami sepenuhnya. Sejauh ini, ada dua hipotesis mayor yang
mencoba menjelaskan bagaimana mekanisme dari proses patologis
tersebut, yakni:
a. Antibodi antidesmoglein menyebabkan munculnya halangan steris
(teori steric hindrance)
b. Antibodi antidesmoglein

memicu

signal

intraselular

(teori

intracellular signal)

Hipotesis Steric Hindrance


Hipotesis steric hindrance merupakan teori yang didasarkan pada
hasil pemetaan epitop pada reaksi antigen-antibodi dalam pemfigus
vulgaris. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa antigen antidesmoglein
berikatan dengan terminal amino domain ekstraselular dari desmoglein,
yang diprediksi membentuk jarak trans-adhesif antar permukaan sel.
Dengan kata lain, pengikatan tersebut menyebabkan inhibisi langsung
terhadap fungsi adhesi desmoglein, tanpa harus melalui aktivasi suatu
sinyal tertentu terlebih dahulu. Sebagai pembanding, seekor tikus
percobaan (dinamai knockout mice) yang tidak memiliki desmoglein-3
menunjukkan hilangnya fungsi adhesi, tanpa melalui induksi signal oleh
antibodi (Amagai dan Stanley, 2012).
Teori kompensasi desmoglein yang menjelaskan lokasi lesi lepuh di
kulit

dan

membran

mukosa

penderita

pemfigus

vulgaris,

mengindikasikan bahwa lesi terbentuk akibat hilangnya fungsi adhesi


dari tiap isoform desmoglein. Menurut teori ini, jika sinyal dari antibodi
yang menyebabkan hilangnya fungsi adhesi, maka dapat dipostulasikan
bahwa setiap kali antibodi terikat pada permukaan sel keratinosit, lesi

18

bula seharusnya terbentuk karena resultan dari sinyal; faktanya, ini tidak
terjadi apabila desmoglein-1 juga ada pada sel terkait (mekanisme
kompensasi isoform desmoglein lainnya) (Amagai dan Stanley, 2012).
Observasi di atas menunjukkan bahwa tahap inisial pembentukan lesi
disebabkan oleh adanya steric hindrance, penghalang yang terbentuk
antar desmoglein akibat karena terikatnya antibodi antidesmoglein.
Inilah yang mengawali hilangnya fungsi adhesi, bukan oleh adanya
sinyal yang dihasilkan pengikatan tersebut. Namun demikian, sinyal
semacam ini dapat muncul setelah hilangnya fungsi adhesi, yang
kemudian memperberat inisiasi disfungsi adhesi sel (Amagai dan
Stanley, 2012).

Sinyal Intraselular
Hipotesis sinyal intraselular menyatakan bahwa pengikatan antibodi
antidesmoglein pada permukaan sel keratinosit dapat mengaktifkan
sejumlah

sinyal

jalur

intraselular. Sinyal

ini

ditujukan

untuk

menimbulkan perubahan fosforilasi pada keratinosit. Jalur ini mungkin


dapat diaktifkan hanya setelah sel kehilangan fungsi adhesinya,
meskipun demikian, proses ini justru dapat meningkatkan efek
akantolisis dari antibodi patogen. Selain fosforilasi, sinyal tersebut juga
dapat mengaktifasi kaskade apoptosis. Hipotesis ini, terbukti melalui
percobaan inhibisi spesifik terhadap p38MAPK pada seekor tikus secara
in vivo yang ternyata menghentikan proses pembentukan bula (Amagai
dan Stanley, 2012).
Mekanisme lainnya
Mekanisme lain yang mungkin terlibat dalam akantolisis adalah:

Aktivasi komplemen melalui pelepasan mediator inflamasi


Recruitment sel T yang telah teraktivasi
Aktivasi komplemen pada pemfigus vulgaris ditingkatkan oleh (IL)-

1- dan tumour necrosis factor (TNF)-. IL-1, tromboksan B2 dan

19

leukotrien B4 dapat dideteksi dalam cairan bula. TNF- dan IL-6 juga
ditemukan dalam serum dan lesi kulit pada penderita pemfigus vulgaris
dan dapat menginduksi aktivator plasminogen serta aktivitas plasmin.
Semua substansi ini merupakan mediator yang efeknya nyata dalam
reaksi inflamasi (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).
D. Gambaran Klinis
Pemfigus vulgaris dikarakterisasi oleh munculnya bula pada area
mukosa (mucosal dominant pemphigus vulgaris), dan juga pada area kulit
(mucocutaneus pemphigus vulgaris) (Weller, Hunter, Mann, 2015). Hampir
semua pasien pemfigus vulgaris memiliki lesi mukosa (50 70%). Bula
tersebut sangat mudah mengalami ruptur, meninggalkan erosi luas yang
disertai rasa nyeri. Gejala ini dapat didahului oleh lesi kutaneus di mulut
atau mungkin menjadi satu-satunya manifestasi dari penyakit. Seringnya,
pasien memiliki lesi erosi buccal yang bentuknya iregular, nyeri dan
berbatas tegas, yang sembuhnya sangat lambat (gambar 2.3 dan 2.4). Erosi
tersebut akan melebar ke perifer bersama pengelupasan epitel. Permukaan
mukosa lain mungkin terlibat termasuk konjungtiva, nasal, faring, laring,
esofagus, uretra, vulva dan cervix (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths,
2010).

Gambar 2.3

Gambar 2.4

(Gambar 2.3 Mukosa oral dengan lesi erosif pada pemfigus vulgaris tipe mukosa;
Gambar 2.4: Mukosa oral dengan lesi erosi yang lebih luas)
(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010; Weller, Hunter, Mann, 2015)

20

Kebanyakan pasien juga memiliki lesi kutaneus. Area yang terlibat


sangat jarang terlokalisir di satu tempat namun lebih sering menyebar secara
acak (Wolff, Johnson, Saavedra, 2013). Tempat predileksinya antara lain di
kepala, wajah, aksila, lipat paha dan area yang mendapat tekanan sering
pada pasien yang perawatannya membutuhkan tirah baring (gambar 2.5, 2.6
dan 2.7). Bula flaksid dapat menonjol dari permukaan kulit atau dengan
dasar eritematosa (gambar 2.9). Konten di dalamnya segera menjadi keruh
atau mungkin bula akan pecah, menjadi erosi yang nyeri (gambar 2.10).
Pada stadium ini, gesekan disertai tekanan lembut dengan jari dapat
memisahkan

epidermis

yang

masih

tampak

normal

dari

dermis,

menghasilkan sebuah tanda yang disebut Nikolsky sign (Nikolski PV,


1896). Bula juga dapat mengalami ekstensi dengan tekanan vertikal,
fenomena ini ditemukan pada banyak penyakit berbula lainnya (Hansen
sign). Penyembuhan terjadi tanpa pembentukan luka parut namun perubahan
pigmen dan akantoma dapat muncul pada lesi yang mengalami perbaikan
(gambar 2.11) (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).

Gambar 2.5 PV

Gambar 2.6 PV

(Gambar 2.5: Lesi di daerah kulit kepala pada pasien yang didiagnosis menderita
pemfigus vulgaris; Gambar 2.6: lesi yang muncul di aksila, salah satu tempat predileksi
pemfigus vulgaris)
(Masjedi M, Asilian A, Shahmoradi Z et al, 2014; Weller, Hunter, dan Mann, 2015)

21

Gambar 2.7 PV

Gambar 2.8 PV

(Gambar 2.7: Pemfigus Vulgaris. Bula Flaksid dan Erosi di Lengan; Gambar 2.8: lesi
ekstensif di daerah punggung pada pasien pria berusia 53 tahun yang membutuhkan
tirah baring)

(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010; Wolff, Johnson, Saavedra, 2013)

Gambar 2.9 Bula Kendur pada PV

Gambar 2.10 Erosi pada PV

(Gambar 2.9 Lesi bula kendur dan lunak dengan dasar eritema yang merupakan
gambaran klasik di awal penyakit pemfigus vulgaris. Pada gambar 2.10 terlihat bula
yang sudah pecah, meninggalkan lesi erosi pada kulit penderita)
(Zeina et al, 2015; Wolff, Johnson, Saavedra, 2013)

22

Gambar 2.11. Pemfigus Vulgaris. Perubahan Pigmen pada Lesi yang Mengalami
Penyembuhan
(Zeina et al, 2015)

Pada sejumlah kasus, lesi di daerah lipatan kulit akan segera membentuk
granulasi vegetatif, dan pemfigus vulgaris yang lesinya terdistribusi di
daerah fleksura menyatu dengan variannya, pemfigus vegetans (Burns,
Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010). Distrofi kuku, paronikia akut dan
subungual hematoma juga pernah diobservasi dalam pemfigus tipe ini
(Kolivras, Gheeraert, dan Andre, 2003)
E. Histopatologi dan Imunologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal
dan sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang
menyebabkan percobaan Tzanck positif. Percobaan ini berguna untuk
menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti untuk
penderita pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop
elektron dapat diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah
perlunakan segmen interseluler (Djuanda, Hamzah, dan Aisah, 2011).
Diagnosis pemfigus dikonfirmasi melalui immunofluoresensi direk yang
menunjukkan deposit IgG di atas permukaan keratinosit sepanjang
epidermis, di dalam dan di sekitar lesi (gambar 2.12). IgG1 dan IgG4
merupakan sub-class antibodi yang tersering; C3, IgM dan IgA muncul lebih
jarang dibanding IgG. Immunofluoresensi direk

mungkin merupakan

23

metode paling sensitif untuk mendiagnosa pemfigus oral (Burns, Breatnach,


Cox, dan Griffiths, 2010). Antibodi pemfigus rupanya sangat sensitif untuk
pemfigus. Kadar titer umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan
menurun atau menghilang dengan pengobatan kortikosteroid (Djuanda,
Hamzah, Aisah, 2011). Namun tentunya, pemeriksaan ini hanya dapat
dilakukan oleh tenaga dengan keahlian spesifik di bidang dermatologi.

Gambar 2.12. Immunofluoresensi yang Menunjukkan IgG Interselular di Sepanjang


Epidermis dari Pasien Penderita Pemfigus Vulgaris
(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010)

F. Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan
pemfigoid bulosa. Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak
maupun dewasa, keadaan umumny baik, keluhannya sangat gatal, ruam
polimorf, dinding vesikel/bula tegang dam berkelompok, serta
mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya, pemfigus vulgaris terutama
terdapat pada orang dewasa, keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula
berdinding

kendur,

dan

biasanya

generalisata.

histopatologis

dermatitis

herpetiformis,

subepidermal,

sedangkan

pada

pemfigus

letak

Pada

gambaran

vesikel/bula

vulgaris

terletak

di
di

intraepidermal dan terdapat akantolisis. Pemeriksaan imunofluoresensi


pada pemfigus menunjukkan IgG yang terletak intraepidermal

24

sedangkan pada dermatitis herpetiformis terdapat IgA berbentuk granular


intrapapilar.
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemfigus karena keadaan
umumnya baik, dinding bula tegang, dan letaknya di subepidermal serta
terdapat IgG linear (Djuanda, Hamzah, dan Aisah, 2011)
2.5. Pemfigus Vegetans Varians Pemfigus Vulgaris
Pemfigus vegetans merupakan varian pemfigus vulgaris yang jarang
ditemukan, dikarakterisasi oleh erosi disertai vegetasi, dan ditemukan
khususnya di daerah fleksura (Young-Min S et al, 2011). Secara
menyeluruh, diperkirakan bahwa tipe ini mencakup 1 2% dari total kasus
pemfigus (Cozzani et al, 2007). Terapat 2 subtipe yang dikenal: pemfigus
vegetans tipe Neumann dan pemfigus vegetans tipe Hallopeau. Kedua tipe
ini membentuk spektrum klinis yang ringan (tipe Hallopeau) hingga berat
(tipe Neumann) (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010)

A. Etiopatogenesis
Pada kedua tipe pemfigus vegetans antibodi bereaksi dengan antigen
desmoglein-1 dan -3, dan mungkin juga antigen lainnya, seperti desmocollin
1 dan 2 pada tipe Hallopeau serta periplakin. Studi yang telah dilakukan oleh
sejumlah peneliti sebelumnya secara konsisten melaporkan adanya
autoantibodi terhadap desmoglein-3 pada pasien dengan pemfigus vegetans
(Elder, Elenitsas, Johnson et al, 2009; Cozzani et al, 2007). Fiksasi
komplemen mungkin bertanggung jawab terhadap infiltrasi kutaneus oleh
netrofil maupun eosinofil, dan ini merupakan gambaran khas dari pemfigus
vegetans (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).
B. Gambaran Klinis
1. Tipe Neumann
Gambaran biasanya menyerupai pemfigus vulgaris, kecuali timbulnya
pada usia lebih muda. Tempat predileksi di muka, aksila, genitalia
eksterna, dan daerah intertrigo yang lain. Yang khas pada peyakit ini
ialah terdapatnya bula-bula yang kendur, menjadi erosi dan kemudian

25

menjadi vegetatif dan proliferatif papilomatosa terutama di daerah


intertrigo. Lesi oral hampir selalu ditemukan. Perjalanan penyakitnya
lebih lama daripada pemfigus vulgaris, dapat terjadi lebih akut, dengan
gambaran pemfigus vulgaris lebih dominan dan dapat fatal (Djuanda,
Hamzah, Aisah, 2011).

Gambar 2.13. Pemvigus Vegetans Tipe Neumann. Lesi di Bibir


(Young-Min S et al, 2011)

Gambar 2.14. Plak Veruka Hipertrofik Vegetatif Tipe Neumann di Lipat Inguinal
pada Penderita Pemfigus Vegetans
(Young-Min S et al, 2011)

2. Tipe Hallopeau
Perjalanan penyakitnya kronik, tetapi dapat seperti pemfigus vulgaris
dan fatal. Lesi primer ialah pustul-pustul yang bersatu, meluas ke perifer,
menjadi vegetatif dan menutupi daerah yang luas di aksila dan perineum.
Gambaran yang khas berupa granulomatosis seperti beledu seringkali
terlihat di dalam mulut (Djuanda, Hamzah, Aisah, 2011). Pernah
ditemukan 1 kasus dimana pemfigus foliaceus mendahului onset
pemfigus vegetans tipe Hallopeau (Cecchi, Tuci, Brunetti et al, 1994).

26

Gambar 2.15. Pemfigus Vegetans Tipe Hallopeau


(Wolff, Johnson, Saavedra, 2013)

C. Patologi
1. Tipe Neumann
Lesi dini sama seperti pada pemfigus vulgaris, tetapi kemudian timbul
proliferasi papil-papil ke atas, pertumbuhan ke bawah epidermis, dan
terdapat abses-abses intraepidermal yang hampir seluruhnya berisi
eosinofil (gambar 2.16) (Djuanda, Hamzah, Aisah, 2011).
2. Tipe Hallopeau
Lesi permulaan sama dengan tipe Neumann, terdapat akantolisis
suprabasal, mengandung banyak eosinofil, dan terdapat hiperplasia
epidermis dengan abses eosinofilik pada lesi yang vegetatif. Pada
keadaan yang lebih lanjut akan tampak papilomatosis dan hiperkeratosis
tanpa abses (gambar 2.15) (Djuanda, Hamzah, Aisah, 2011).

27

Gambar 2.16. Gambaran Histopatologi Pemfigus Vegetans Tipe Neumann


(A) Gambar ini merupakan hasil biopsi vesikel (pasien perempuan, berusia 63 tahun dan
menderita pemfigus vegetans) yang telah menjadi lesi erosif di daerah bibir, dimana terlihat
suprabasal cleft dengan sel yang telah terpencar akibat akantolisis. (B) dan (C) Merupakan
hasil biopsi plak vegetatif di lipatan inguinal yang menunjukkan epidermis hiperplastik,
spongiosis eosinofil, dan abses intraepitelial diselubungi oleh eosinofil. Eosinofil juga
mendominasi infiltrat inflamasi di papila dermis.
(Young-Min S et al, 2011)

D. Diagnosis Banding
Pada dasarnya sama dengan pemfigus vulgaris, diagnosis banding
lainnya untuk pemvigus vegetans meliputi: eritema multiform akut,
dermatitis herpetiform dan Hailey-Hailey disease (Burns, Breatnach, Cox,
dan Griffiths, 2010)
2.6. Pemfigus Foliaceus dan Variannya
Pemfigus foliaceus (PF) merupakan tipe pemfigus yang umumnya
bersifat ringan, termasuk kelompok penyakit autoimun berbula yang
dikarakterisasi oleh hilangnya adhesi sel keratinosit (akantolisis) di lapisan
atas epidermis yang kemudian menjadi penyebab dari formasi bula
superfisial (Schwartz RA, Majewski S, dan Majewski SS, 2015). Secara

28

histopatologi, bula terbentuk di dalam lapisan granular, atau tepat di bawah


stratum korneum (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).
Pierre Louis Alphee Cazenave, penemu dari jurnal pertama yang
didedikasikan untuk dermatologi, mendokumentasikan deskripsi pertama
dari pemfigus foliaceus pada tahun 1844 dalam jurnal tersebut. Deskripsi
tersebut merupakan kasus seorang wanita berusia 47 tahun yang
mengkonsultasikan penyakit kepadanya. Penyakit yang diderita pasien ini
dikarakterisasi oleh gambaran erupsi generalisata dengan durasi menahun
(Schwartz RA, Majewski S, dan Majewski SS, 2015).
A. Epidemiologi
Dibanding pemfigus vulgaris, tipe ini jarang ditemukan secara global. Di
sebagian besar belahan dunia, prevalensinya berkisar antara 10 20% dari
total kasus pemfigus yang berhasil didokumentasi. Salah satu varian
pemfigus tipe ini, endemic/sporadic pemphigus foliaceus, ditemukan
umumnya di bagian pedesaan Amerika Selatan, khususnya sejumlah wilayah
Brazil, di mana penyakit tersebut dikenal dengan istilah fogo selvagem
dalam terjemahan inggrisnya: wild fire (Burns, Breatnach, Cox, dan
Griffiths, 2010). Di wilayah lainnya, pemfigus foliaceus ditemukan dengan
persentase yang lebih tinggi dibanding pemfigus vulgaris, seperti Mali,
Libya dan Afrika Selatan, dimana penyakit ini predominan mengenai ras
kulit hitam (Tron F, Gilbert D, Mouquet H, 2005).
B. Etiologi
Kerentanan untuk mengalami pemfigus foliaceus telah diasosiasikan
dengan sejumlah alel, antara lain HLA-DR4, DR-14 dan DR-1. Kerentanan
untuk varian pemfigus foliaceus yang sporadik dan endemik (dikenal dengan
istilah fogo selvagem) juga dihubungkan dengan polimorfisme nukleotida
tunggal pada gen untuk desmoglein-1. Di sisi lain, polimorfisme gen (IL-6)
telah diidentifikasi sebagai faktor predisposisi terjadinya pemfigus foliaceus
endemik (Tron F, Gilbert D, Mouquet H, 2005).
Antibodi yang menjadi faktor utama berlangsungnya patogenesis
penyakit ini tidak lain adalah IgG (khususnya IgG4), yang tergolong
patologis dan terikat pada desmoglein-1 (DG-1). Beberapa tahun terakhir,
dengan menggunakan teknik ELISA yang lebih sensitif, autoantibodi

29

antidesmoglein-1 dan antidesmoglein-3 terdeteksi pada serum sejumlah


orang yang berdomisili di daerah dengan prevalensi PF yang tinggi. Pada
orang-orang ini, tidak tampak manifestasi klinis dari pemfigus foliaceus
maupun pemfigus vulgaris. Seiring observasi, sejumlah orang menunjukkan
perkembangan subsekuen PF, dan kejadian ini didahului oleh peningkatan
titer antibodi yang nyata (Warren SJ, Lin MS, Giudice GJ et al, 2000;
Amagai M, 2006).
Untuk alasan yang belum diketahui, suatu faktor eksternal nampaknya
memicu peningkatan titer antibodi tersebut. Burns, Breatnach, Cox, dan
Griffiths (2010) berpendapat bahwa faktor lingkungan mungkin berperan.
Faktor lain yang mungkin memiliki hubungan: infeksi virus yang
ditransmisikan oleh serangga, paparan ekstensif dari sinar ultraviolet, luka
bakar atau obat-obatan (penisilin, inhibitor angiotensin konvertase dan
NSAID), dan paparan bucilamin (Brenner S, Ruocco V, 1998; Olszewska
M dan Misiewiz J, 2001; Lin R, Ladd DJ Jr, 2004).

C. Patogenesis
Antigen yang diserang oleh antibodi dalam pemfigus foliaceus terletak
di domain aminoterminal ekstraselular desmoglein-1. Antigen ini tidak lain
adalah cadherin desmosomal dengan berat molekul 160-kDa. Mikroskopi
imunoelektron telah mendemonstrasikan bahwa pada pemfigus foliaceus
antibodi antidesmoglein secara eksklusif terikat dalam jumlah yang lebih
banyak pada desmosom lapisan epidermis bagian atas dibanding bagian
basal. Pola ini merupakan pola resiprokal dari pemfigus vulgaris, yang
menunjukkan adanya korelasi langsung dari pola pengikatan dengan pola
distribusi desmogein-1 pada epidermis (Burns, Breatnach, Cox, dan
Griffiths, 2010). Namun demikian, epitop desmoglein yang dikenali oleh
autoantibodi pada pemfigus foliaceus endemik mungkin berbeda dengan tipe
lain yang non-endemik (Akiyama et al, 1993).
Pengikatan antibodi (predominan IgG4) menghasilkan efek langsung
pada fungsi cadherin desmosomal di lapisan atas epidermis, menyebabkan

30

kerusakan susunan keratinosit. Keratinosit mulai terlepas dari ikatannya


dengan keratinosit lain, yang pada kasus ini berlangsung secara ekstensif,
memicu pembentukan bula superfisial karena ekspresi desmoglein-1 yang
dominan di bagian superfisial epidermis. Proses ini, dapat berlangsung
bahkan tanpa keterlibatan komplemen. Mengingat desmoglein-1 memang
ada namun ekspresinya minimal di mukosa, lesi pada pemfigus foliaceus
pada klinisnya jarang melibatkan daerah tersebut. Lebih jauh, adanya
antibodi antidesmoglein-1 dapat menstimulasi sel epidermis untuk
mensekresikan sejumlah aktivator plasminogen, mediator ini memperburuk
efek akantolisis (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).

D. Manifestasi Klinis
Umumnya terdapat pada orang dewasa, antara umur 40 50 tahun.
Sebaliknya, tipe endemik (fogo selvagem), biasanya mengenai anak-anak
dan dewasa muda, dengan insidensi puncak pada dekade kedua dan ketiga
masa kehidupan (Djuanda, Hamzah dan Aisah, 2011; Burns, Breatnach,
Cox, dan Griffiths, 2010).
Gejalanya tidak seberat pemfigus vulgaris. Perjalanan penyakit kronik,
remisi terjadi temporer. Penyakit mulai dengan timbulnya vesikel/bula,
skuama dan krusta dan sedikit eksudatif, kemudian memecah dan
meninggalkan erosi. Mula-mula dapat mengenai kepala yang berambut,
muka dan dada bagian atas sehingga mirip dermatitis seboroika. Kemudian
menjalar simetrik dan mengenai seluruh tubuh setelah beberapa bulan. Yang
khas ialah terdapatnya eritema yang menyeluruh disertai banyak skuama
yang kasar, sedangkan bula yang berdinding kendur hanya sedikit, agak
berbau. Lesi di mulut jarang terdapat, dan gejala sistemik seperti demam,
malaise serta nyeri sendi pernah dilaporkan (Djuanda, Hamzah dan Aisah,
2011; Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).

31

Nikolski sign juga positif pada pemfigus foliaceus, khususnya fogo


selvagem dan tanda ini memiliki sensitifitas tingkat moderat dalam
mendiagnosis

pemfigus.

Pemfigus

foliaceus

dapat

terlihat

seperti

eritroderma, psoriasiform eritroderma (gambar 2.20 dan 2.21), dan


dermatitis herpetiformis. Variasi ini dikenal dengan istilah pemphigus
erythematosus dan pemphigus herpetiformis (Fariba, Ayatollahi dan Hejazi,
2012; Grekin, Fox, dan Gudjonsson, 2012).

Gambar 2.17 Bula Superfisial pada PF


Gambar 2.18 Bula Superfisial pada PF
Gambar 2.17: Wanita Amerika ras meksican dengan bula superfisial, karakteristik pemfigus
foliaceus; Bambar 2.18: Wanita Amerika usia pertengahan, ras yang sama, dengan formasi
bula superfisial
(Schwartz RA, Majewski S, dan Majewski SS, 2015)

Gambar 2.19 PF dengan lesi eritroderma Gambar 2.20 PF dengan lesi eritroderma

Gambar 2.21 Pasien PF Tampak Eritrodermik

32

Gambar 2.20: Wanita berusia 41 tahun, asal Puerto Rico yang telah menderita pemfigus
foliaces selama 9 tahun, muncul dengan ruam eritroderma; Gambar 2.21: Pasien yang
sama, menunjukkan ruam eritroderma di bagian punggung; Gambar 2.22: Pasien pria
dengan pemfigus foliaceus yang tampak eritrodermik, lesi menyebar disertai erosi yang
nyeri.
(Schwartz RA, Majewski S, dan Majewski SS, 2015; Burns, Breatnach, Cox, dan
Griffiths, 2010)

E. Histopatologis dan Immunologi


Terapat akantolisis di epidermis bagian atas, tepatnya di stratum
granulosum. Kemudian terbentuk celah yang dapat menjadi bula, sering
subkorneal dengan akantolisis sebagai dasar dan atap bula tersebut
(Djuanda, Hamzah dan Aisah, 2011). Bula mengandung fibrin, sejumlah
nettrofil dan keratinosit yang tersebar, akantolitik. Eosinofil atau netrofil
spongiosis mungkin mendahului lesi melepuh. Lesi yang lebih tua bersifat
akantotik, papilomatosa dan hiperkeratotik dengan parakeratosis fokal. Sel
diskeratotik di lapisan granular lesi tua membedakan pemfigus foliaceus dari
pemfigus vulgaris. Campuran infiltrat inflamasi dari eosinofil dan netrofil
menyelubungi dermis superfisial (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths,
2010).
Temuan immunofluoresensi direk dan indirek biasanya sulit dibedakan
dengan pemfigus vulgaris dengan IgG dan C3 interselular di sepanjang
epidermis. Adakalanya pewarnaan interselular direstriksi pada lapisan atas
epidermis, baik pada immunofluoresensi direk maupun indirek. IgA
mungkin terdeteksi namun jarang. ELISA dapat mendeteksi antidesmoglein-1 antibodi pada 71% pasien namun immunoblotting kurang
sensitif (43%) (Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).
F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi dermatitis seboroik atau impetigo, namun
temuan histologis dan imunologis menyingkirkan dua kondisi ini. Pemfigus
foliaseus, seperti yang telah diterangkan sebelumnya, dapat menyerupai
gambaran dermatitis herpetiformis baik secara klinis maupun histopatologis,
namun studi imunologis membedakan kedua kondisi ini (Burns, Breatnach,
Cox, dan Griffiths, 2010).

33

2.7. Pemfigus Tipe Lain : Induced Pemphigus


A. Etiologi
Obat-obatan dapat menginduksi terjadinya pemfigus. Obat-obatan yang
mengandung sulfidril (thiol) seperti penisilinamin dan captopril merupakan
dua kelompok obat yang paling sering diteliti, namun pemfigus dapat juga
diinduksi oleh obat-obatan non-thiol seperti ACE inhibitor lain (enalapril,
ramapril, fosinopril) dan angiotensin II receptor blocker seperti candesartan
dan telmisartan. Obat-obatan lain yang memiliki implikasi dengan pemfigus
adalah nifedipin, penisilin, cefalosporin, derivat pirazolon, klorokuin,
hidroklorokuin, rifampisin dan interferon (Burns, Breatnach, Cox, dan
Griffiths, 2010).
B. Patogenesis
Alel yang sama pada predisposisi pemfigus vulgaris terlibat dalam kasus ini.
Orang-orang dengan alel tersebut, rentan terhadap pemfigus, dan obatobatan yang telah disebutkan di atas berperan sebagai faktor pemicu reaksi
pemfigus, oleh sebab itu disebut drug induced pemphigus. Kondisi ini
jarang ditemukan, dan kebanyakan pasien memiliki autoantibodi patogen
yang sama spesifisitasnya dengan autoantibodi pada pemfigus vulgaris
(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).
C. Gambaran Klinis
Gambaran menyerupai pemfigus foliaceus atau pemfigus eritematosus
(Burns, Breatnach, Cox, dan Griffiths, 2010).

34

2.8. Pemphigus Paraneoplastik


Bentuk ini sering dikaitkan dengan adanya neoplasma, baik jinak
maupun ganas. Limphoma, leukemia dan thymomas sering merangsang
pembentukan antibodi pemphigus dan antibodi yang mirip pemphigus.
Neoplasma yang sering menyebabkan pemphigus adalah lymphoma,
leukemia, sarkoma dan tumor thymus. Waldenstroms makroglobulinemia
dan penyakit Castlemans juga dilaporkan sebagai pencetus terjadinya
pemphigus. Kebanyakan pasien mempunyai penumpukan antibodi pada
kulit dan komponen antibodi (BP230 antigen) pada membrana basalis kulit.
Berbeda dengan pemphigus vulgaris antibodi sirkulasi juga berikatan pada
epitel kantung kemih. Identitas antigen yang terlibat tidak diketahui namun
berat molekulnya adalah 250, 230, 210 dan 190 kd.10 (Lee SE, Kim SC,
2010).
Gambaran klinis yang paling sering dijumpai adalah adanya stomatitis
yang sukar semubuh atau mukositis yang erosif. Stomatitis berat biasanya
merupakan tanda yang paling awal, dan setelah mendapat pengobatan,
stomatitis ini tetap ada dan resisten terhadap pengobatan. Stomatitis ini
terdiri dari erosi dan ulserasi yang menyerang seluruh permukaan orofaring
dan mengadakan penyebaran pada bibir. Sebagian besar pasien juga
mengalami konjungtivitis pseudomembran yang berat, yang dapat
berkembang menjadi parut dan terjadi obliterasi pada forniks konjungtiva.
Lesi mukosa pada esofagus, nasofaring, vagina, labia, dan penis dapat juga
ditemukan (Amagai, 2008).
Lesi di kulit bentuknya bervariasi, antara lain dapat berupa makula
eritematous, lepuh flaksid dan erosi yang menyerupai pemfigoid bulosa, lesi
seperti eritema multiforme, dan liken. Adanya lepuh dan lesi seperti eritema
multiforme pada telapak tangan dan kaki sering digunakan sebagai ciri
untuk membedakan pemfigus paraneoplastik dari pemfigus vulgaris
(Amagai, 2008).

35

Gambar 2.22 Pemfigus Paraneoplastik pada Penderita Limfoma


A. Erosi luas pada bibir pasien dengan pemfigus paraneoplastik dan limfoma. Stomatitis
berat yang khas disertai dengan lesi kutan polimorfik. B. Ulserasi yang nyeri pada bagian
lateral lidah. C. Lesi di trunkus pada pasien yang sama dalam gambar A. Makula dan papula
eritematous yang menjadi erosi pada bagian atas dada. D. Lesi di lengan bawah pada pasien
yang sama.
(Amagai, 2008)

36

2.9. Penegakan Diagnosis dan Evaluasi Lain yang Diperlukan dalam


Pemfigus
Untuk dapat mendiagnosis suatu pemfigus diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai
penyakit sehingga dapat mempersulit dalam penegakkan diagnosis. Perlu
dilakukan pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan adanya
Nikolskys sign yang menunjukkan adanya pemfigus (Burns, Breatnach,
Cox, dan Griffiths, 2010). European Academy of Dermatology and
Venereology (2014) menetapkan suatu panduan khusus dalam melakukan
pendekatan klinis terhadap pemfigus:
A. Riwayat Penyakit
Penggalian riwayat penyakit sekurang-kurangnya harus mencakup beberapa
poin di bawah ini:
1. Waktu dari onset pertama penyakit.
2. Gejala fungsional, contoh: nyeri, disuria, masalah terkait anogenital dan
penurunan berat badan.
3. Harus mencakup riwayat

hematologis,

onkologis,

endokrin,

kardiovaskular dan infeksi untuk mencari tahu faktor risiko penggunaan


kortikosteroid oral serta komplikasi yang mungkin muncul dari terapi
immunosupresif.
4. Jika terapi immunosupresif direncanakan, gali kemungkinan adanya
penggunaan kontrasepsi.
5. Riwayat penggunaan obat-obatan yang mungkin menginduksi pemfigus
seperti penisilinamin, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor,
angiotensin receptor blocker, beta blocker, sefalosporin, fenilbutazon,
piritinol, thiopronine.
6. Toleransi psikologis terhadap efek samping penggunaan kortikosteroid.
7. Evaluasi pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup pasien (Hertl et al,
2014).

B. Pemeriksaan Fisik
Status general
Pemeriksaan status generalis mencakup:

37

1. Ekstensi lesi pada kulit dan semua membran mukosa, derajat


kerusakan mukosa dan kerusakan fungsional (disfagia, disfonia,
penurunan berat badan, gangguan penglihatan dan dispareuni)
2. Harus mengevaluasi kondisi general pasien dan komorbiditas:
a. Berat badan
b. Tekanan darah
c. Komorbiditas (neoplasma, kardiovaskular, muskuloskeletal,
diabetes, dan lain-lain.
d. Nikolski sign tipe I (direct): epidermis pada area kulit yang
berada jauh dari area lesi dapat dipisahkan dengan tekanan lateral
menggunakan jari. Pemeriksaan ini dilakukan pada kulit yang
terlihat normal untuk memonitoring aktivitas penyakit.
e. Nikolski sign tipe II (indirect): epidermis kulit yang terletak jauh
dari erosi yang sudah ada dapat dipisahkan, meluas jauh dari
kulit yang tampak normal, dengan menarik sisa bula yang ruptur
atau menggosok bagian perifer lesi yang ada. Juga dilakukan
untuk kepentingan diagnosis (Hertl et al, 2014).
C. Pemeriksaan Laboratorium
Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium, terlebih dahulu diagnosa
berdasarkan temuan klinis pemfigus harus ditentukan. Diagnosa pemfigus,
ditetapkan bila 4 kriteria berikut terpenuhi:
Ada presentasi klinis (terangkum di tabel 2.2)
Temuan histopatologi positif
Direct immunofluorescence microscopy (DIF) positif
Temuan autoantibodi yang ditujukan terhadap permukaan sel epitel kulit
dengan deteksi serologis melalui immunofluoresensi indirek maupun
ELISA (Hertl et al, 2014).

Anda mungkin juga menyukai