230110140077
230110140084
Egi Sahril
230110140089
Felisha Gitalasa
230110140093
230110140108
Indra Adiwiguna
230110140129
Kelas :
Perikanan B/Kelompok 4
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2016
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Tujuan Praktikum
Lamun
2.1.1
Peranan Ekologis
2.1.2
Peranan Biologis
2.2
Makrozoobenthos
2.2.1
Peranan Ekologis
2.2.2
Peranan Biologis
3.2
3.2.1
3.3
Hasil
3.4
Pembahasan
3.4.1
3.4.2
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lamun merupakan Tumbuhan Berbunga (Angiospermae) Yang mampu
Beradaptasi secara Penuh di Perairan yang salinitas nya cukup tinggi atau hidup
terbenam di dalam air dan memiliki Rhizoma, daun, dan akar sejati.
Padang
lamun
memiliki
keanekaragaman
hayati
tinggi.
Indonesia
diperkirakan memiliki 13 jenis lamun. Selain itu padang lamun juga merupakan
habitat penting untuk berbagai jenis hewan laut, seperti: ikan, Mollusca, crustacea,
echinodermata, penyu, dugong dll. Lamun dapat membantu mempertahankan kualitas
air. Lamun dapat mengurangi dampak gelombang pada pantai sehingga dapat
membantu menstabilkan garis pantai. Padang lamun menyediakan berbagai
sumberdaya yang dapat digunakan untuk menyokong kehidupan masyarakat, seperti
untuk makanan, perikanan, bahan baku obat, dan pariwisata.
1.2
Tujuan Praktikum
Mengamati Distribusi Komunitas Lamun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lamun
2.1.1
Peranan Ekologis
2.1.2
Peranan Biologis
2.2
Makrozoobenthos
2.2.1
Peranan Ekologis
2.2.2
Peranan Biologis
BAB III
METODA DAN HASIL
3.1
tanggal 3 Juni 2016, pukul 14.00 WIB yang bertempat di Pantai Perawan, Pulau Pari,
Kepulauan Seribu.
3.2
arah laut ( tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun yang terjadi) di
daerah intertidal.
3.2.1
Hasil
Tanggal
: 3 Juni 2016
Provinsi
: DKI Jakarta
Koordinat
: S 05.85326 o / E 106.62205 o
Transek No
:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Komunitas Lamun
Tutupan
Lamun
(%)
Komposisi
Spesies Lamun
EA
TH
Kuadra
n
Sedimen
Keterangan
0M
Pasir
5M
Pasir
10 M
Pasir
Ada
33%
15 M
Pasir
Ada
44%
6%
Foto
Tutupan
Alga (%)
20 M
Pasir
Ada
60%
25 M
Pasir
Ada
56%
30 M
Pasir
Ada
40%
35 M
Pasir
Ada
80%
40 M
Pasir
Ada
28%
45 M
50 M
Pasir
Pasir
Ada
Ada
42%
32%
v
v
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jenis /
Spesies
Bivalvia
Gastropoda
Coelenterata
Gastropoda
Bivalvia
Coelenterata
Bivalvia
Bivalvia
Holothuridae
Gastropoda
Bivalvia
Gastropoda
Bivalvia
-
Jumlah
individu
dalam
kuadran
(1,2,3,4,5)
Jumlah
total
individu
-;4;-;2;1;1;1;3;1;-;-;-;2;1;3;5;3;-;-;-;-;-;1;-;-;3;-;-;1;
1;-;-;3;1
-;1;-;-;1
1;-;-;2;1
-;1;-;-;3;-;-;-;1;-;-;-;-
6
6
1
11
8
1
4
5
1
4
1
3
1
-
Jumlah
kuadran
tempat
ditemukan
spesies
tersebut
2
4
1
4
2
1
2
3
1
3
1
1
1
-
Jumlah
kuadran
yang
digunakan
Kelimpahan
Kepadatan
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
3
1.5
1
2.75
4
1
2
1.67
1
1.33
1
3
1
-
1.2
1.2
0.2
2.2
1.6
0.2
0.8
1
0.2
0.8
0.2
0.6
0.2
-
3.4
Pembahasan
3.4.1
Lamun merupakan biota laut yang seluruh bagiannya (akar, daun, dan
rhizome) terendam di dalam air. Lamun hidup di lautan yang dangkal dan biasanya
menempel pada substrat yang berlumpur, thalusnya tegak berdiri dengan panjang bisa
mencapai satu meter (Romimohtarto,2001). Pengamatan lamun di perairan pantai
Perawan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu dilakukan dengan menggunakan transek garis
didalam air dengan meletakkan sebuah transek tersebut didasar laut yang berukuran
1x1 meter. Namun sebelum itu dibuat garis secara horizontal sepanjang 50 m, dimana
setiap 5m nya diamati. Lamun yang berada pada transek merupakan objek
pengamatan pada praktikum ini. Cara pengamatannya yaitu dengan menggunakan
snorkel yang berfungsi untuk mempermudah pengamatan Lamun didalam air. Sampel
yang berhasil ditemukan didokumentasikan dan untuk selanjutnya diidentifikasi.
Selain itu juga dilihat kelimpahan lamun dalam transek tersebut. Dimana pada plot
pertama untuk titik pertama yaitu pada kuadran 0 m tidak dijumpai jenis lamun yang
apapun, begitu pula dengan pengamatan lamun pada titik kedua yaitu pada kuadran
5m tidak ditemukan lamun dan bersubstrat pasir.
Pengamatan lamun pada titik ketiga, dilakukan dengan cara yang sama namun
tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 10 m. Di dalam transek ini terdapat
jenis lamun Thalassia Hemprichii yang telah kami identifikasi sesuai dengan modul
yang diberikan sebanyak 33%. Dikatakan Thalassia Hemprichii karena cirinya yang
memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal dengan skala
diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang duaun berkisar
antara 10 cm hingga 40 cm.
Pengamatan lamun pada titik keempat, dilakukan dengan cara yang sama
namun tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 15 m. Di dalam transek ini
terdapat jenis lamun Thalassia Hemprichii yang telah kami identifikasi sesuai dengan
modul yang diberikan sebanyak 44%. Dikatakan Thalassia Hemprichii karena cirinya
yang memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal dengan
skala diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang duaun
berkisar antara 10 cm hingga 40 cm. Pada kuadran ini ditemukan pula persentase
tutupan alga sebesar 6%.
Pengamatan lamun pada titik kelima, dilakukan dengan cara yang sama
namun tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 20 m. Di dalam transek ini
terdapat jenis lamun Thalassia Hemprichii yang telah kami identifikasi sesuai dengan
modul yang diberikan sebanyak 60%. Dikatakan Thalassia Hemprichii karena cirinya
yang memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal dengan
skala diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang duaun
berkisar antara 10 cm hingga 40 cm.
Pengamatan lamun pada titik keenam, dilakukan dengan cara yang sama
namun tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 25 m. Di dalam transek ini
terdapat jenis lamun Enhalus Acoroides dan Thalassia Hemprichii yang telah kami
identifikasi sesuai dengan modul yang diberikan sebanyak 56%. Dikatakan Enhalus
Acoroides karena cirinya yang memiliki daun sangat panjang seperti pita, rimpang
tebal dan rambut hitam panjang dan akar seperti tali, serta panjang daun berkisan
antara 30 cm hingga 150 cm. Sedangkan, dikatakan Thalassia Hemprichii karena
cirinya yang memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal
dengan skala diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang
duaun berkisar antara 10 cm hingga 40 cm.
Pengamatan lamun pada titik tujuh, dilakukan dengan cara yang sama namun
tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 30 m. Di dalam transek ini terdapat
jenis lamun Enhalus Acoroides yang telah kami identifikasi sesuai dengan modul
yang diberikansebanyak 40%. Dikatakan Enhalus Acoroides karena cirinya yang
memiliki daun sangat panjang seperti pita, rimpang tebal dan rambut hitam panjang
dan akar seperti tali, serta panjang daun berkisan antara 30 cm hingga 150 cm.
Pengamatan lamun pada titik delapan, dilakukan dengan cara yang sama
namun tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 35 m. Di dalam transek ini
terdapat jenis lamun Thalassia Hemprichii yang telah kami identifikasi sesuai dengan
modul yang diberikan sebanyak 80%. Dikatakan Thalassia Hemprichii karena cirinya
yang memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal dengan
skala diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang duaun
berkisar antara 10 cm hingga 40 cm.
Pengamatan lamun pada titik sembilan, dilakukan dengan cara yang sama
namun tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 40 m. Di dalam transek ini
terdapat jenis lamun Enhalus Acoroides dan Thalassia Hemprichii yang telah kami
identifikasi sesuai dengan modul yang diberikan sebanyak 28%. Dikatakan Enhalus
Acoroides karena cirinya yang memiliki daun sangat panjang seperti pita, rimpang
tebal dan rambut hitam panjang dan akar seperti tali, serta panjang daun berkisan
antara 30 cm hingga 150 cm. sedangkan, dikatakan Thalassia Hemprichii karena
cirinya yang memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal
dengan skala diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang
duaun berkisar antara 10 cm hingga 40 cm.
Pengamatan lamun pada titik sepuluh, dilakukan dengan cara yang sama
namun tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 45 m. Di dalam transek ini
terdapat jenis lamun Thalassia Hemprichii yang telah kami identifikasi sesuai dengan
modul yang diberikan sebanyak 42%. Dikatakan Thalassia Hemprichii karena cirinya
yang memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal dengan
skala diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang duaun
berkisar antara 10 cm hingga 40 cm.
Pengamatan lamun pada titik sebelas, dilakukan dengan cara yang sama
namun tempat transek yang berbeda yaitu pada kuadran 50 m. Di dalam transek ini
terdapat jenis lamun Thalassia Hemprichii yang telah kami identifikasi sesuai dengan
modul yang diberikan sebanyak 32%. Dikatakan Thalassia Hemprichii karena cirinya
yang memiliki bintik-bintik hitam kecil (sel tannin) pada daun, rimoang tebal dengan
skala diantara tuna, daun berbentuk sabit/sedikit melengkung, dan panjang duaun
berkisar antara 10 cm hingga 40 cm.
Lamun selian memiliki karakteristik fisik khusus yang telah disebutkan diatas,
juga membutuhkan parameter khusus agar bisa tumbuh di laut. Menurut Noir
Primadona Purba (2012) pada jurnalnya yang berjudul Pengaruh Tinggi Pasang Surut
Terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Daun Lamun Enhalus Acoroides Di Pulau Pari
Kepulauan Seribu Jakarta, lamun hidup pada pH optimal antara 7.5-8.5 serta salinitas
dengan nilai 35 %, selain itu komposisi sedimen juga mempengaruhi kerapatan dan
pertumbuhan dimana semakin tinggi kerapatan akan meningkatkan tingkat kompetisi
antar masing-masing individu sehingga akan menyebabkan kekurangannya unsur
haradan cahaya yang menghambat proses fotosintesis dan pertumbuhan lamun.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kehidupan dan kelimpahan
lamun di laut. Faktor faktor tersebut diantaranya kualitas air, substrat dasar
perairan. Kualitas air meliputi temperatur, cahaya, salinitas, kecerahan dan nutrien.
Temperatur merupakan salah satu faktor ekologi perairan yang sangat penting, karena
mempengaruhi proses-proses fisiologis lamun, seperti ketersediaan dan penyerapan,
nutrien, respirasi dan siklus protein. Selain itu, substrat dasar perairan yang mudah
terbawa gelombang ataupun karena adanyanya pergerakan membuat air menjadi
keruh sehingga cahaya matahari susah untuk menembus. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikatakan Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar
perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya
cahaya matahari disebabkan karena banyaknya faktor antara lain adanya bahan yang
tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan
air menjadi keruh.
Stirn (1981) dalam Susilowati (2007) menyatakan, ekosistem yang stabil
dicirikan oleh keanekaragaman komunitas yang tinggi, tidak ada dominansi jenis,
serta jumlah individu per jenis terbagi merata. Selanjutnya dikatakan pula bahwa
komunitas pada lingkungan tercemar dicirikan oleh keanekaragaman yang rendah
dan adanya perubahan struktur komunitas dari yang mantap menjadi tidak mantap.
Menurut Wilhm (1975) dalam Sinaga (2009), perubahan sifat substrat dan
penambahan
pencemaran
keanekaragamannya.
lingkungan
akan
Respon
digunakan
untuk
berpengaruh terhadap
komunitas makrozoobentos
menduga pengaruh
kelimpahan
terhadap
berbagai
dan
perubahan
kegiatan
seperti
industri, pertambangan, pertanian, dan tata guna lahan lainnya yang akan
mempengaruhi kualitas perairan. Masukan bahan organik, bahan kimia dan
perubahan substrat dapat mempengaruhi komunitas makrozoobenthos (APHA,
1976 dalam Ridwan, 2004).
Kelimpahan makrozoobentos diperairan dipengaruhi oleh faktor fisika,
kimia, dan juga faktor biologi seperti suhu, pH, kekeruhan, tipe substrat, arus,
kedalaman, gas-gas terlarut, dan interaksi dengan organisme lain. Hal ini
menyebabkan adanya perubahan kualitas air akan
mengubah
komposisi
dan
lokasi ke 6 sampai 9 ini Makrozoobentos yang paling banyak ditemukan adalah dari
kelas Gastropoda, ini disebabkan kondisi lingkungan sesuai dengan kehidupannya.
Pada makrozoobenthos ditemukan 13 biota yaitu dari filum Moluska kelas
Gastropoda yaitu Littorina scabra, Telebralia palustris, Telebra areolata, Corbicula
sp. Telescopium sp, Cypraea sp, Comitia rotellina, Papiuna (cahefriula) lacteolata
(siput), Papiuna (zetemina) metrodora (siput), Melapus flavus (siput), Cassidula
makrozoobentos
tertinggi yaitu
kelas
saling menyilang. Penstabilan dasar olah akar ini sangat kuat dan mampu bertahan
dalam topan badai sekalipun. Sebaliknya, sistem ini dapat melindungi banyak
organisme. Jadi terdapat banyak hewan umum yang dijumpai di kebun lamun, tetapi
tidak berhubungan dengan tingkatan makanan secara langsung. Kebun lamun
berperan juga sebagi tempat pembesaran bagi banyak spesies yang menghabiskan
waktu dewasanya dilingkungan lain (Nyabaken JW. 1992).
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan Lamun
Semakin tinggi kerapatan atau tutupan lamun akan meningkatkan tingkat
kompetisi antar masing-masing individu sehingga akan menyebabkan kekurangannya
unsur hara dan cahaya yang menghambat proses fotosintesis dan pertumbuhan lamun.
Ketutupan lamun terendah atau pertumbuhan lamun tercepat yaitu pada kuadran 40 m
sebesar 28 % sedangkan ketutupan lamun tertinggi atau pertumbuhan lamun paling
lambat yaitu pada kuadran 35 m sebesar 80 %.
Kesimpulan Benthos
Keberadaan makrozoobenthos yang mendiami daerah lamun tersebut
menunjukan bahwa adanya kehidupan yang dinamik terjadi interaksi antara lamun
biota-biota laut, terutama saling memanfaatkan dan saling membutuhkan dalam
proses pertumbuhan dan berkembangbiak. Keberadaan makrozoobenthos di Pantai
Pasir Perawan, Pulau Pari bisa di katakan melimpah dengan komposisi
makrozoobentos tertinggi yaitu kelas Gastropoda, hal ini disebabkan karena kelas
Gastropoda dapat ditemukan di berbagai jenis substrat, baik substrat berbatu,
berpasir maupun berlumpur.
DAFTAR PUSTAKA
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan Oleh T. Samingan.
Gadjah Mada Universty Press.Yogyakarta.
Purba, Noir Primadona dkk. 2012. Pengaruh Tinggi Pasang Surut Terhadap
Pertumbuhan dan Biomassa Daun Lamun Enhalus Acoroides Di Pulau Pari
Kepulauan Seribu Jakarta. Jatinangor. Unversitas. Padjadjaran.
Ridwan, D. 2004. Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologi
Perairan Sungai Ciliwung. Skripsi FPIK-IPB. Bogor. (tidak diterbitkan)
Simamora, D. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai
Padang Kota Tebing Tinggi. Skripsi FMIPA USU. Medan (tidak diterbitkan).