Anda di halaman 1dari 23

BAB 2.

FORAMINIFERA
Sistematika kehidupan merupakan suatu cara pengelompokan kehidupan berdasar
atas kesamaan-kesamaan sifat yang dimiliki oleh masing-masing individu. Tingkatan
dalam sistematika kehidupan mulai dari Kingdom, sering disebut dengan istilah
Kerajaan. Secara umum kehidupan yang ada di alam dibagi menjadi dua Kingdom,
yaitu Kingdom Animalia,
dan
Kingdom Plantae. Para ahli biologi termasuk
paleontolog menterjemahkan Kingdom dengan Kerajaan. Selanjutnya Kerajaan
dibagi menjadi beberapa Phylum dengan lingkup mulai yang tertinggi hingga
lingkup yang paling rendah yaitu tingkatan subspesies. Secara berurutan
sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
Phylum adalah tingkatan yang paling tinggi dibawah tingkatan Kingdom.
Selanjutnya tingkatan Phylum dibagi menjadi beberapa Klas, masing-masing Klas
dibagi menjadi beberapa Ordo, dan masing-masing Ordo, dibagi menjadi beberapa
Famili, untuk selanjutnya Famili dibagi menjadi beberapa Genus, dan masingmasing Genus terdiri dari banyak Spesies, untuk selanjutnya masing-masing
Spesies dibagi menjadi banyak Subspesies.
Pada beberapa kasus, dalam usaha untuk menyusun klasifikasi yang lebih rinci
pada tingkatan taksonomi ditambah dengan kata super ataupun sub. Sebagai
contoh, dibawah Phylum dibagi menjadi beberapa Subphylum, kemudian diatas dari
Klas dibagi menjadi beberapa Superklas. Hal yang sama, dapat diberlakukan pada
tingkatan yang lain. Jumlah tingkatan Kingdom sampai tingkatan Klas hingga
sekarang relatif tetap. Mempelajari kehidupan Ordo Foraminifera yang sering
disebut pula dengan istilah Foraminiferida, banyak para ahli biologi yang telah
mengajukan klasifikasi. Tampaknya para pemerhati klasifikasi sepakat bahwa
klasifikasi utamanya didasarkan pada bentuk morpologi tubuh secara keseluruhan,
kemudian dipertimbangkan juga komposisi bagian yang keras baik itu merupakan
eksoskeleton maupun endoskeleton. Phylum Protozoa, yang merupakan fauna
unicellular, disebut pula dengan istilah binatang bersel tunggal hidup dalam
lingkungan air, maupun terrestrial disebut juga dengan istilah lingkungan darat,
sering hidup bersimbiose dengan jenis kehidupan yang lain, hidup secara soliter
ataupun berkoloni. Bagian yang keras yang disebut pula dengan istilah test
tersusun oleh senyawa karbonatan, silikaan ataupun material organik. Para ahli
biologi seperti yang disebut oleh Schrock & Twenhovel
(1953) dalam Buku
Principles of Invertebrate Paleontology, sepakat bahwa Phylum Protozoa dibagi
menjadi tingkatan yang lebih rendah seperti terlihat pada tabel berikut ini
Tabel 2.1. Klasifikasi Phylum Protozoa
Klas
1.Mastigophor
a

Ordo
(1). Chrysomonadina, (2). Cryptomonadina, (3).Phytomonadina, (4).
Euglenoidina,
(5). Chloromonadina, (6). Dinoflagellata, (7). Rhizomastigina, (8).
Protomonadina,
(9).Polymastigina, (10).Hypermastigina

2.Sarcodina
3.Sporozoa
4.Ciliata
5.Suctoria

(1).Proteomyxa, (2). Mycetozoa, (3).Amoebina, (4). Testacea,


(5).Foraminifera, (6).Heliozoa, (7). Radiolaria.
tidak memiliki skeleton yang terawetkan
tidak memiliki bagian tubuh yang terawetkan
tidak meninggalkan fosil

Phylum Protozoa, termasuk kehidupan fauna


jenis mikro. Khususnya
Ordo
Foraminifera cukup menarik perhatian dan telah diteliti oleh banyak ahli neontologi
maupun paleontologi. Hal ini membuktikan bahwa menyusun klasifikasi kehidupan
merupakan hal yang cukup menarik perhatian dalam hal nilai ilmiahnya, terlebih
setelah diketahui lebih lanjut peranan Foraminifera dalam teknologi eksplorasi
sumberdaya alam. Mengacu pada buku: Treatise On Invertebrate Paleontology Part
C: Protista 2, Sarcodina, Chiefly Thecamoebians and Foraminiferida, yang disusun
oleh Alfred R.Loeblich,Jr & Helen Tappan (1964), diterbitkan oleh The Geological
Society of Amerika & The University of Kansas Press, para ahli biologi tersebut
antara lain sebagai berikut:
Tabel 2.2. Penyusun klasifikasi Foraminifera
De Blainville, 1825
Schultze, 1854
Schwager, 1877
Eimer & Fickert,
1899
Galloway, 1933

DOrbigny, 1826
Carpenter, Parker &
Jones, 1862
Brady, 1884

Crouch, 1827
Reuss, 1862

DOrbigny, 1839
Jones, 1875

Rumbler, 1895

Lister, 1903

Zchubert, 1921

Delage
Herouard, 1896
Cushman, 1927

Chapman &
Parr,
1936
Sigal, 1952
Aldrovandi (1665)*

Glaessner, 1945

Chusman, 1948

Hofker, 1951
Pkorny, 1958
RauzerDujardin (1835)*
Chernousova
&
Fursenko, 1959
Ehrenberg (1841)* Williamson (1858)*
Rhumbler (1895)*
Galloway (1933)*
Sumber: Loeblich & Tappan, 1964.*: Haynes, 1981.

&

Reiss, 1958
DOrbigny (1839)*

Chapman (1900)*

2.1. VARIASI DARI TIPE.


Dalam mempelajari berbagai macam kehidupan termasuk Foraminifera diperlukan
standar baku yang dikenal dengan istilah type. Type sering ditulis dengan kata tipe,
merupakan sesuatu yang dipergunakan sebagai acuan untuk mengenal suatu jenis
kehidupan dalam taksonomi., tidak terkecuali Ordo Foraminifera.
Dalam
paleontologi peranan tipe sangat menentukan dan dimanfaatkan sebagai standar
atau patokan atau acuan dalam melakukan deskripsi Beberapa istillah tipe yang
perlu dipelajari adalah:

Type specimen, merupakan gabungan antara kata type dan kata specimen.
Specimen sering ditulis dan diterjemahkan dengan kata spesimen
dimaksudkan material fosil yang diperiksa/ditemukan, dan type sering ditulis
dan diterjemahkan dengan kata tipe dimaksudkan sesuatu yang dipakai
sebagai standar. Dengan demikian, type specimen dimaksudkan spesimen
fosil yang diperiksa dan dipergunakan sebagai standar. Standar dalam hal ini
merupakan bentuk dan semua parameter yang melekat pada fosil itu,
kemudian dipakai sebagai dasar untuk memberi nama.
Speciotype, merupakan fosil yang dipergunakan sebagai standar penamaan
pada tingkat spesies yang bersangkutan. Hal yang serupa kemudian timbul
istilah genotype dan subspeciotype.
Holoype, adalah spesimen fosil yang dipakai sebagai dasar deskripsi spesies
baru yang bersangkutan. Dari holotype ini pengamatan tentang sifat-sifat
tersebut diperoleh. Holotype ini yang selanjutnya disimpan dimuseum
sebagai dokumen ilmiah. British Museum Natural History di London, Inggris;
Cushman Laboratory Foraminifera Research di Amerika; Utrech University di
Den Hag, Belanda; Laboratory of Paleontologia Geologia Padova di Italia;
Direktorat Geologi Bandung, yang sekarang berubah nama menjadi Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) di Bandung, Indonesia, adalah
contoh nama-nama tempat yang diberi legalitas untuk menyimpan
holotype. Apabila dikemudian hari ada peneliti yang ingin melihat kebenaran
dari deskripsi dan wujud fosilnya, maka peneliti dapat meminjam atau
melihat spesimen tersebut di museum yang menyimpannya.
Museotype, adalah contoh spesimen fosil yang disimpan di museum sebagai
dokumen ilmiah. Siapa saja dapat meminjam dan melihat untuk
dipergunakan penelitian ilmiah. Type specimen yang disimpan sebagai
museotype wajib diberi nomor katalog, meliputi nama ilmiah fosil yang
bersangkutan, nama penemu, tahun penemuan, deskripsi lengkap, tahun
penerbitan majalah, nama majalah ilmiah yang untuk pertama kali
mempublikasikan penemuan tersebut, dimuat pada halaman berapa, dan
nomor plate serta gambar/foto fosil yang bersangkutan.
Type reference, adalah reference (majalah ilmiah) yang pertama kali
menerbitkan penemuan fosil tersebut.
Contoh: Globorotalia siakensis (Le Roy). Type reference: Globigerina siakensis
Le Roy, 1939, p.262,pl.4,figs.20-22 (Le Roy,L.W.,1939, Some small
Foraminifera,Ostracoda nd Ooliths from the Neogen (Miocene) of the Rokan,
Tapanoeli area, Central Sumatera, Natuurkd.Tijdsh.Ned.Indie, 99, 215-96.
Original reference, adalah publikasi/majalah ilmiah yang memuat nama
spesies yang bersangkutan, yang diterbitkan untuk pertama kali.
Contoh: Globorotalia puncticulata (Deshayes). Type reference: Globigerina
puncticulata Deshayes, 1832,p.170,figs. In Forsaini, 1899,p.210, text-fig.5.
Lectotype: Globigerina puncticulata Deshayes, 1832 {(=Globorotalia
(Turborotalia)}
puncticulata
(Deshayes);
Banner
&
Blow,
1960,p.15,pl.5,figs.7a-c.

Neotype, adalah spesimen pengganti apabila holotype rusak atau hilang.


Syntype, adalah tipe yang sama dan mempunyai nilai yang sama dalam
nomenklatur.
Typeseries, adalah sejumlah spesimen yang menunjukkan atau mempunyai
kenampakan sama atau sebagai variasinya.
Lectotype, adalah spesimen yang dipilih oleh peneliti lain (bukan penemu)
yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk deskripsi dengan keyakinan
bahwa nilai ilmiah dalam taksonomi/nomenclature sama dengan holotype.
Contoh-contoh fosil yang dideskripsi oleh mahasiswa di laboratorium dalam
tugas skripsi atau thesis tidak lain merupakan lectotype.
Topotype, lokasi dimana holotype, neotype dan syntype diperoleh atau
diambil. Dengan demikian apabila holotype,neotype dan syntype hilang maka
sebagai penggantinya dicari lectotype pada topotype yang sama.
Synoname, apabila satu spesimen fosil mempunyai dua nama atau lebih.
Homoname, apabila dua spesimen mempunyai satu nama. Bila hal ini terjadi
salah satu diantaranya namanya harus segera direvisi.
Contoh: deskripsi (yang lengkap)
Family Siphoninidae Cushman, 1927
Genus Siphoninoides Cushman, 1927
Type species: Planorbulina echinata Brady, 1879.
Siphoninoides echinata Cushman (Brady),1969
Pl.4,fig.17
1879 Planorbulina echinata Brady: 283;pl.8,figs.31a-c.
1884 Truncatulina echinata (Brady) Brady: 670;pl.96,figs.9-14.
1915 Truncatulina echinata (Brady); Heron-Allen &Earland: 711;pl.53,fig.1.
1915 Siphonina echinata (brady) Cushman:42;pl,18,figs.1-4 (after Brady); text-figs
46,47.
?1927Siphoninoides echinata (Brady) Cushman: 13;pl.4,figs > 7a,b only
1949 Siphoninoides echinata (Brady): Said: 38;pl.4,fig.6.
1954 Siphoninoides echinata (Brady); Cushman, Todd&Pos: 361;pl.89,figs.31,32.
1957 Siphoninoides echinata (Brady); Todd: 290 (table);pl.91,figs.7a,b.
1959 Siphoninoides echinatus (Brady) Graham&Militante: 102;pl.16,figs.2a,b.
1960 Siphoninoides echinata (Brady); Barker: 198;pl.96,figs.9-14 (after Brady)
1965 Siphoninoides echinata (Brady); Todd: 23;pl.15,figs.5,6.
1969 Siphoninoides echinata (Brady); Resig:84,pl.5,fig.5
Material: 8 specimens.NB 9447, 9450.
Variation: Maximum diameter 0,21-0,32 mm
Remarks: Hofker (1970:32;pl.33) discuss Siphoninoides from the Caribbean and
tentatively assign it to the Glabratellidae. Unfortunately we are not a position to
verify his findings due to lack of material. Western Pacific material from the
Challenger and Milletts collections shows that the strength and number of the

spines and prominence of the sutures in the last whorl are variable in this species.
The correct ending for the specific name is echinatus. According to
McFadyen&Kenny (1934) all genera ending in oides should be taken as being
masculine.
Distribution Fossil: Pleistocene, Eva Borehole, Hawaii (Resig). There is a further
possible fossil record from the Miocene of Victoria, Australia,. Recent: Common in
the Western Pacific Islands (excluding Japan). Said (1949) record it from the Red
Sea.
Note: copy from the original transcripe- Whittaker,J.E.,& Hodgkinson,R.L., 1979:
Foraminifera of the Togopi Formation, eastern Sabah, Malaysia (Bulletin of the
British Museum(Natural History),London.
Catatan: deskripsi untuk genus/spesies baru lazimnya ditulis dalam bahasa Inggris
dan diterbitkan dalam jurnal berbahasa Inggris. Disamping itu juga disertakan
gambar tipe (type figures) fosil yang bersangkutan.
2.2. TATACARA PENULISAN NAMA FOSIL
Mengacu pada Loeblich & Tappan, 1964. klasifikasi yang dianut hingga sekarang
adalah sebagai berikut; Kingdom ANIMALIA, Phylum PROTOZOA, Klas RHIZOPODA,
Ordo FORAMINIFERA. Klasifikasi berikutnya dari Ordo FORAMINIFERA (oleh beberapa
paleontolog disebut dengan istilah FORAMINIFERIDA) menjadi tingkat Subordo,
Superfamili, Famili, dan Subfamili dapat dilihat pada Loeblich & Tappan (1964)
halaman C157 sampai halaman C161, Gambar 83A; halaman C62 sampai halaman
C163, Gambar 83B. Namun secara umum tingkatan sistematika, seperti contoh
berikut ini.
Tabel 2.3. Sistematika tingkat kehidupan
Tingkatan
Nama
Kingdom
ANIMALIA
Phylum
PROTOZOA
Klas
SARCODINA
Ordo
FORAMINIFERIDA Eichwald, 1830
Famili
GLOBOROTALIIDAE Cushman, 1927
Genus
Globorotalia Cushman 1927
Spesies
Globorotalia tumida (Brady), 1877
Subspesies
Globorotalia tumida flexuosa Koch 1923
Catatan
Tatacara penulisan nama fosil dalam taksonomi, mulai dari tingkatan Kingdom
hingga tingkatan Ordo, ditulis dengan huruf besar semua. Contoh: Kingdom
ANIMALIA, Phylum PROTOZOA, Klas SARCODINA, Ordo FORAMINIFERA dOrbigny,
1933. Namun demikian, seringkali dalam penggunaan praktis,
kesepakatan
tersebut kerapkali tidak diikuti. Namun demikian apabila Anda menulis artikel
khusus yang berkaitan dengan topik FORAMINIFERA disarankan konsep tersebut
supaya dipakai.

Jumlah tingkatan kehidupan dalam sistematika mulai dari tingkatan Kingdom


hingga tingkatan Famili relatif tetap. Famili merupakan gabungan dari beberapa
Ordo, sedang Ordo merupakan gabungan dari beberapa Klas, dan Klas merupakan
gabungan dari beberapa Genus. Sejalan dengan perkembangan penelitian, pada
masing-masing tingkatan (yang dianggap merupakan tingkatan transisi) sering
ditambahkan kata, sub ataupun super, contoh: subfamili, subordo, superfamili,
superordo dan selanjutnya. Meskipun demikian, tampaknya diantara paleontolog
belum ada kesepakatan dalam pemberian nama dalam usaha untuk mengetahui
tingkat dalam kedudukan pada taksonomi. Namun demikian untuk tingkatan
tertentu ditambah dengan akhiran sebagai penciri, misal ditambahkan akhiran
inae untuk subfamili, dan ditambahkan akhiran idae untuk subfamili. Sebagai
contoh, Subfamili Lenticulininae Sigal, 1952 dan Famili Lagenidae Schultze, 1854.
Meskipun demikian, kebanyakan paleontolog sepakat memberikan akhiran tertentu
sebagai penciri. Perhatikan tingkatan dalam klasifikasi berikut:
Tingkatan Ordo diakhiri dengan
ida contoh: Ordo Foraminiferida
Eichwald, 1830.
Tingkatan Subordo diakhiri dengan ina, contoh: Subordo Allogromiina
Loeblich & Tappan, 1961; Subordo Textulariina Delage &Herouard, 1896.
Tingkatan Superfamili diakhiri dengan idea atau inae contoh:
Superfamili Alveolinidea Schultze; 1854, Superfamili Nonionidea Schulze,
1854; Superfamili Globigerinidea Carpenter, 1862; Superfamili Discorbidea
Cushman, 1927; Superfamili Globigerinidea Carpenter, 1862; Nummulitinae
Carpenter, 1859; Superfamili Gloigerininae Carpenter, 1862,
Tingkatan Famili diakhiri dengan idae contoh: Famili Lagynidae Schultze,
1854; Famili Heterohelicidae Cushman, 1927; Famili Polymorphinidae
dOrbigny, 1846; Famili Ammosdiscidae Reuss 1862; Famili Rzehakinidae
Cushman, 1933; Famili Nouriidae Chapman & Parr, 1936; Famili Miliolidae
Ehrenberg, 1839; Nodosariidae Ehrenberg, 1838; Famili Glandulinidae Reuss,
1860.
Tingkatan Subfamili diakhiri dengan inae contoh:
Subfamili
Ammodiscinae Reuss, 1862, Subfamili Tolypammininae Cushman, 1928,
Subfamili Cyclammininae Marie, 1941, Subfamili Lituolininae de Blainville,
1825. Subfamili Moravammininae Pokorny, 1951. Subfamili Schagerininae
Dunbar & Henbest, 1930; Subfamili Quinqeloculininae Cushman, 1917;
Glandulininae Reuss, 1860; Miliolinelinae Vella, 1957; Subfamili Miliolinae
Ehrenberg, 1839; Nodosariinae Ehrenberg, 1838; Oolininae Loeblich &
Tappan, 1961.
Sejalan dengan kegiatan penelitian baik dalam bidang paleontologi maupun
neontologi jumlah tingkatan genus hingga tingkatan subspesies terus meningkat.
Pemberian nama pada tingkatan genus,
masih sedikit kurang eksak bila
dibandingkan dengan pemberian nama pada tingkatan spesies atau subspecies.
Meskipun demikian, pemberian nama pada tingkatan genus masih berpedoman
pada International Code Zoological Nomenclature (ICZN), dan ini merupakan
kesepakatan bersama diantara paleontolog dan biolog, dan sangat disarankan

untuk diikuti. Seperti Anda ketahui, khususnya pada Ordo Foraminifera meletakkan
posisinya dalam taksonomi pada tingkat:
Genus semata-mata ditentukan oleh variasi susunan kamar, letak aperture
serta keberadaan gigi pada aperturenya. Keberadaan keel juga merupakan
salah satu faktor yang perlu juga dipertimbangkan. Aperture merupakan
lubang tempat plasma keluar dari rongga test. Nama pada tingkatan genus
terdiri dari satu kata, diawali dengan huruf besar, diberi garis bawah atau
dicetak dengan tulisan miring (huruf italic). Contoh: Fusulina Fischer De
Waldheim, 1829, sering ditulis dengan Fusulina Ficher De Waldheim (tanpa
tahun), atau Fusulina. Sudah merupakan kesepakatan kata Fusulina harus
dicetak dengan huruf italic menjadi Fusulina atau dengan diberi garis
dibawahnya, contoh Fusulina. Contoh yang lain: Lagena Walker & Jacob ,
1798; Glandulina dOrbigny in de la Sagra, 1839; Oolina dOrbigny, 1839;
Dendritina dOrbigny, 1826; Peneropis de Monfort, 1808.
Pada tingkatan spesies utamanya didasarkan pada bentuk dan jumlah kamar
dan juga perlu dipertimbangkan macam hiasan, sering disebut dengan
ornament. Tatacara memberi nama, nama pada tingkatan spesies dimulai
dengan menulis nama genus ditambah dengan nama pada tingkatan spesies,
namun nama tingkatan spesies ditulis dengan huruf kecil semuanya, dan
diletakkan dibelakang nama pada tingkatan genus. Contoh: Hastigerinella
jarvisi Cushman, 1930, sering ditulis Hastigerinella jarvisi Cushman (tanpa
tahun) dan ditulis dengan huruf italic, menjadi Hastigerinella jarvisi atau
dengan digaris dibawahnya menjadi Hastigerinella jarvisi. Nama penemunya
tetap dicetak dengan huruf tegak, diawali dengan huruf besar. Nama pada
tingkatan spesies mempunyai umur geologi dengan jangka waktu yang lebih
pendek dibandingkan dengan nama pada tingkatan genus. Oleh sebab itu
sering dipergunakan sebagai fosil indeks. Contoh yang lain: Lagena perlucida
(Montagu);
Pseudomassilina australis (Cushman), 1938; Triloculina cf
oblonga (Montagu); Lagena clavata (dOrbigny); Glandulina laevigata
(dOrbigny); Discorbis cf.diminutus (Parker & Jones)
Tingkatan subspecies, struktur dinding test Foraminifera mendapat perhatian
utama. Contoh: Globrotalia tumida flexuosa Koch 1923 (nama tingkatan
subspecies digaris dibawahnya) atau ditulis Globorotalia tumida flexuosa
Koch 1923 (dengan huruf italic). Dalam hal yang demikian, nama subspesies
diikuti dengan nama orang/penemunya dan tahun. Nama orang dalam hal ini
Koch 1923, adalah orang yang menemukan/ mendeskripsi untuk pertama
kali. Nama penemu ditulis dengan huruf kecil diawali dengan huruf besar,
dan ditulis dengan huruf tegak. Dalam contoh ini nama penemunya Koch
1923. Namun tatacara penulisan disertai nama penemunya (tanpa tahun),
wajib dilakukan untuk keperluan ilmiah, tetapi bukan merupakan hal yang
wajib untuk keperluan yang sifatnya praktis. Nama tingkatan subspesies
mempunyai umur geologi dengan jangka waktu yang lebih pendek
dibandingkan dengan nama tingkatan
spesies. Oleh sebab itu sering
dipergunakan sebagai fosil indeks.

Sifat-sifat ini yang dipergunakan sebagai dasar oleh Carl Von Line (1707-1778),
seorang ilmuwan Swedia, yang kemudian mengganti namanya menjadi Carl Von
Linnaeus (1758) menciptakan tatacara penamaan suatu kehidupan, yang menganut
pada:

Nama yang sudah dipakai untuk nama suatu individu, tidak dibenarkan untuk
memberi nama individu yang lain. Konsep ini mengacu pada law of priority.
Sistem binomial sering disebut dengan istilah binomial
name. Dalam
pemberian nama taksonomi kehidupan pada tngkatan spesies terdiri dari 2
suku kata, kata pertama adalah nama taksonomi pada tingkatan genus,
diikuti nama kedua yang menunjukkan tingkat spesies. Tatacara penulisan
nama mengikuti kaidah yang telah ditentukan.
Untuk tingkatan subspesies, nama kehidupan terdiri dari 3 suku kata. Kata
pertama merupakan nama tingkatan genus, diikuti dengan kata kedua yang
merupakan nama tingkatan spesies dan kata ketiga menujukkan nama
tingkatan subspesies. Tatacara penulisan nama dalam tingkatan subspesies
menganut sistem trivial seperti yang telah disepakati bersama.Tatacara
penulisan nama mengikuti kaidah yang telah ditentukan. Contoh:
Globorotalia tumida tumida (dengan digaris bawah) atau Globorotalia tumida
tumida (dengan
tulisan dicetak miring, tanpa garis bawah); Brizalina
amygdalaeformis iokensis Asano.
Catatan:
o Kadang-kadang dibelakang nama fosil disertakan nama penemu fosil
bersama dengan tahun penemuan, misal Globorotalia tumida flexuosa
Koch 1923, Globorotalia menardii exilis Blow,1969. Namun untuk
penggunaan praktis nama penemu dan tahun sering tidak disertakan, lalu
menjadi Globorotalia tumida flexuosa.
o Kadang-kadang Anda mendapatkan nama fosil dengan nama penemunya
diletakkan didalam tanda kurung, misal: Globigerinoides trilobus (Reuss).
Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan dalam taksonomi awalnya
dimasukkan dalam genus Globigerina, lalu menjadi Globigerina trilobus
Reuss. Pada pendeskripsian berikutnya ternyata yang semula dimasukkan
pada genus Globigerina dinilai tidak tepat, karena mempunyai aperture
lebh dari satu sehingga
lebih memberikan ciri pada Globigerinoides,
sehingga menjadi Globigerinoides trilobus (Reuss), nama penemunya
diletakkan diantara tanda kurung, sebagai tanda penghormatan penemu
pertama, dan ditulis dengan huruf tegak diawali dengan huruf capital.
o Seringkali Anda mendapatkan nama fosil: Globorotalia humerosa n.sp
Takayanagi &Saito, 1962, n.sp artinya new species (spesies baru). Contoh
lain: Quinqueloculina aberensis n.sp Sukandarrumidi &Haynes 1989, n.sp
artinya new species (spesies baru). Pada penulisan nama berikutnya
cukup ditulis Quinqueloculina aberensis Sukandarrumidi & Hayenes;
Triloculina malayensis n.sp Sukandarrumidi & Haynes 1989. Pada
penulisan berikutnya cukup ditulis Triloculina malayensis Sukandarrumidi

o
o

o
o

& Haynes. Triloculina siuriensis n.sp. Sukandarrumidi & Haynes 1989. Pada
penulisan berikutnya cukup ditulis Triloculina siuriensisi Sukandarrumdi &
Haynes.
Globigerinita
naparimaensis
n.gen.,n.sp.,
yang
ditemukan
oleh
Bronnimann 1951 baik untuk tingkatan genus dan tingkatan spesies.
Untuk pemakaian selanjutnya ditulis menjadi Globigerinita naparimaensis
Bronnimann: Contoh yang lain: Cassigerinella boudecensis n.gen., n.sp.
yang ditemukan oleh Pokorny, 1955 baik untuk tingkatan genus dan
spesies. Untuk pemakian selanjutnya ditulis menjadi Cassigerinella
boudecensis Pokorny.
Nama fosil sering juga dituliskan: Globorotalia acostaensisi pseudopima
n.subsp yang ditemukan oleh Blow, 1969, n.subsp artinya subspecies
baru. Bila fosil ini dimuat pada publikasi-publikasi berikutnya, cukup ditulis
dengan Globorotalia acostaensis pseudopima Blow, 1969 atau
Globorotalia acostaensis pseudopima Blow (tanpa tahun), atau sering pula
ditulis dengan nama Globorotalia acostaensis pseudopima (tanpa Blow
dan tahun). Contoh lain Haynesella barlii n.gen.,n.sp. Sukandarrumidi &
Haynes, 1989, artinya Haynesella merupakan genus baru dan Haynesella
barlii merupakan spesies baru. Pada penulisan berikutnya cukup ditulis
Haynesella barlii Sukandarrumidi & Haynes. Paulina furssenkoi Grigyalys
limbata n.subsp Sukandarrumidi & Haynes, 1989.,n.subsp. artinya
subspesies baru. Pada penulisan berikutnya cukup ditulis Paulina
furssenkoi Grigyalys limbata Sukandarrumidi & Haynes. Caribeanella
elatensis Perelis & Reiss gamaensis n.sbsp. Sukandarrumidi & Haynes
1989, n.subsp. artinya subspesies baru. Pada penulisan berikutnya cukup
ditulis Caribeanella elatensis Perelis & Reiss gamaensis Sukandarrumidi &
Haynes.
Ada juga nama fosil: Dentalium (s.str) ruteni Martin, artinya fosil yang
dtemukan tersebut sinonim dengan Dentalina ruteni Martin yang
diumumkan sebelumnya. (s.str=sensu stricto)
Bila nama fosil ditulis: Globigerina angulisuturalis?, artinya pendeskripsi
tidak yakin benar apakah itu Globigerina angulisuturalis
Anda sering mendapatkan nama: Globorotalia cf.tumida, artinya
pendeskripsi tidak yakin benar apakah bentuk ini Globorotalia tumida,
tetapi dapat dibandingkan dengan spesies ini (cf=confer)
Dapat juga nama ditulis: Sphaeroidinella aff dehiscens, artinya bentuk ini
berdekatan dengan Sphaeroidinella dehiscens (aff=affiliation)
Nama fosil sering juga dituliskan : Pleumotora carinata Gray,
var.woodwardi Martin, yang artinya Gray memberikan nama spesies
sedang Martin memberikan nama varietas.
Nama fosil ada juga yang diikuti dengan kata spp. artinya spesies plural
misal: Globigerina spp, artinya fosil-fosil yang ditemukan semuanya
masuk dalam genus Globigerina namun nama-nama spesiesnya tidak
disebutkan.

Sering juga terdapat tulisan nama fosil: type spesies; Globigerina rubra
dOrbigny, 1839, kemudian diikuti dengan nama Globigerinoides rubra
(dOrbigny) - nama dOrbigny berada didalam tanda kurung. Ini artinya
dOrbigny pada saat penemuannya tahun 1839, memasukan spesies ini
dalam kelompok genus Globigerina, namun pada masa berikutnya direvisi
karena ternyata masuk dalam genus Globigrinoides. Untuk tetap
menghormati penemu awal, kemudian nama penemu ditulis dalam tanda
kurung, sehingga menjadi Globigerinoides rubra (dOrbigny). Hal yang
serupa terdapat pada: Globigerina glutinata Egger menjadi Globigerinita
glutinata (Egger); Rosalina lateralis Terquem, 1878, menjadi Poroeponides
lateralis (Terquem); Nautilus ammonoides Gronovius, 1781 menjadi
Operculina
ammonoides
(Gronovius);
Operculinoides
tamanensis
Vaughan&Cole menjadi
Nummulites tamanensis
(Vaughan&Cole);
Elphidium hispidulum Cushman, 1936 menjadi Parrelina hispidula
(Cushman).

2.3. BAGIAN-BAGIAN TUBUH FORAMINIFERA


Mengacu hasil penelitian Foraminifera yang masih hidup, yang sering disebut
dengan istilah Foraminifera resen, tubuh Foraminifera tersusun oleh dua bagian
utama yaitu bagian yang lunak dan bagian yang keras. Bagian yang lunak terdiri
dari protoplasma dan inti, yang disebut terakhir ini disebut juga dengan istilah
nucleus. Protoplasma merupakan bagian tubuh yang lunak dan dapat berubah
bentuk, terbagi menjadi dua lapisan. Lapisan bagian luar yang disebut dengan
nama ekstoplasma, yang berwarna terang dan lapisan bagian dalam disebut
dengan nama endoplasma, yang berwarna lebih gelap. Endoplasma bersama
dengan inti tetap berada pada rongga test, sedang ekstoplasma dapat keluar dari
rongga test melalui lubang yang dikenal dengan istilah aperture. Ekstoplasma
sesudah berada diluar rongga test dapat berfungsi sebagai pseudopodia yang
disebut pula dengan istilah kaki semu yang difungsikan untuk bergerak, dapat pula
berfungsi sebagai alat untuk menangkap makanan kemudian mencernanya. Test
yang terdapat pada Foraminifera berfungsi sebagai eksoskeleton.
Nucleus sering disebut inti dalam satu
sel hanya terdapat satu,
terdapat
didalam
endoplasma.
Ekstoplasma
mengelilingi penyebaran endoplasma.
Endoplasma dan ekstoplasma dapat
merubah
bentuk
sesuai
dengan
kepentingannya, antara lain semacam
tentakel untuk bergerak, atau sebagai
penangkap makanan dan sekaligus
sebagai alat pencerna makanan. Plasma
ini pada Foraminifera yang masih hidup

akan berada dan dilindungi oleh test,


Namun demikian, karena test juga ada
lubang yang disebut sebagai aperture,
ekstoplasma masih dapat keluar dari
rongga test. Plasma ini akan membusuk
bila Foraminifera mati, dan yang tinggal
adalah bagian yang keras, sebagai
eksoskeleton dengan berbagai bentuk.

Foraminifera benthos hidup secara sesil (misalnya Cibicidella), atau bersifat vagil,
mereka dapat bergerak dengan pseudopodia (yang berfungsi sebagai kaki semu)
bergerak pada sedimen dasar samodra, pada algae atau pada substrate yang lain.
Kecepatan gerakannya kurang lebih 1 centimeter per jam dengan panjang
organisme kurang lebih 0,5 mm. Foraminifera plangton berpindah tempat (migrate)
di dalam kolom air hingga sampai permukaan laut. Pergerakan bukan karena
pseudopodia, diduga kuat akibat perubahan suasana kimia, antara lain kandungan
gas yang ada pada protoplasma (Haq &Boersma, 1983).
Terdapat 4 macam test Foraminifera, yaitu jenis (1). Organic membrane yang
terdiri dari tectin (sejenis protein mucopolysaccarida, yang merupakan gabungan
karbohidrat dan protein), sering disebut dengan istilah khitine atau tektin.Dinding
khitine atau tektin merupakan bentuk dinding yang paling primitif pada
Foraminifera. Dinding ini terbuat dari zat organik yang menyerupai zat tanduk,
fleksibel dan transparan, biasanya berwarna kekuning-kuningan, tidak berpori
(disebut pula dengan istilah imperforate). Foraminifera yang mempunyai dinding
seperti ini jarang yang menjadi fosil, kecuali golongan Allogromidae. Beberapa
golongan Foraminifera lainnya seperti Miliolidae, Lituolidae dan beberapa jenis
Astrorhizidae sebagian dinding testnya terbuat dari khitine, tetapi biasanya hanya
melapisi bagian dalamnya saja. Cushman (1955) menganggap bentuk dinding yang
paling primitif yang dalam perkembangan selanjutnya akan berubah menjadi
dinding agglutine atau arenaceous dengan jalan mengumpulkan material asing dari
sekitarnya yang kemudian direkatkan kebagian luar tubuhnya. (2). Dinding test
agglutine sering disebut dengan istilah arenaceous, merupakan kumpulan
berbagai mineral asing dengan ukuran yang sangat kecil, terikat menjadi satu
dengan semen karbonat atau silikat, menunjukkan kenampakan permukaan yang
kasar, Berdasarkan kualitasnya, ukuran dan bentuk material yang dipergunakan
dapat dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu: dinding arenaceous, material

asingnya hanya terdiri atas butiran pasir saja. Misal: Psammosphaera mengambil
butiran-butiran pasir saja, Psammosphaera parva mengambil butiran-butiran
dengan ukuran tertentu dan spikulae. Psammosphaera bowmanni hanya mengambil
kepingan-kepingan mika, Psammosphaera rustica hanya mengambil sponge
spikulae. Sedang pada dinding agglutine material asingya terdiri atas bermacammacam material seperti mika, sponge spikulae, cangkang Foraminifera, lumpur dan
lain sebagainya. Biasanya test semacam ini mempunyai lapisan khitine yang tipis
dibagian dalamnya. Dinding silikaan (siliceous), jarang ditemukan. Material silika
dapat dihasilkan oleh organisme itu sendiri atau dapat juga merupakan material
sekunder dalam pembentukannya. Contoh Foraminifera yang mempunyai dinding
silikaan adalah golongan Ammodiscidae, Hyperamminidae, Silicinidae dan beberapa
spesies dari golongan Miliolidae yang direkatkan dengan zat tanduk. Beberapa
contoh yang memiiki jenis test arenaceous antara lain genus: Ammobaculites,
Halyphysema, Bathysiphon, Eggerellina, Gaudryina, Reophax, Rhabdammina,
Rhizammina Miliammina. (3).Hyaline disebut pula dengan istilah calcareous
perforate, ciri utama permukaannya berubang-lubang sering disebut dengan istilah
perforate atau pori-pori, berwarna putih mengkilat. Jenis ini merupakan test yang
dominan pada Foraminifera. Beberapa contoh yang memiliki test hyaline antara
lain: Globigerina, Globorotalia, Globigerinoides, Globoguadrina, Sphaeroidinella,
Pulleniatina, Orbulina (4). Test porcelinaeous disebut pula dengan istilah
calcareous imperforate, ciri utama permukaannya tidak berpori-pori, berwarna putih
kusam. Beberapa contoh yang memiliki test porcelainaeous, antara lain genus
Quinqueloculina, Triloculina, Pyrgo dan Biloculina.
Pada umumnya test Foraminifera mempunyai komposisi utama terdiri dari senyawa
kalsium karbonat (CaCO3). Namun demikian Loeblich & Tapan (1964) melaporkan
komposisi kimia test Foraminifera adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Komposisi senyawa kimia pembentuk test Foraminifera yang
calcareus(dalam %)
Spesies
Amphistegina lessonii
Orbitolites complanata laciniata
Orbiculina adunca
Quinqueloculina auberiana
Polytrema mineaccum
Tinoporus baculatus
Biloculina sp
Sumber: Loeblich & Tappan, 1964.

CaCO3
92,85
86,46
89,76
90,11
88,76
88,70
92,05

MgCO3
4,9
12,52
10,04
9,33
11,22
11,08
-

Fe2O3
trace
0,68
0,09
0,564
0,024
0,19
-

SiO2
0,3
0,58
0,11
0,03
-

Dari tabel tersebut diatas dapat disimpulkan CaCO 3 yang merupakan senyawa kimia
pembentuk test Foraminifera yang dominan.
Hasil penelitian beberapa spesies Foraminifera menunjukkan kandungan unsur
kimia sebagai berikut:

Tabel 2.2. Elemen pembentuk test Foraminifera (dalam %)


Spesies

>10

10-1

Amphistegina
Ca
Si,Mg,Na,
radiate
(Red
Sr
Sea)
Amphistegina
Ca
Mg,Sr
radiate (Bikini)
Calcarina
Ca
Mg,Na,Sr
defrancii (Bikini)
Amphisorus
Ca
Si,Mg,SR,
hemprichii
Na
(Red Sea)
Sumber: Loeblich &Tappan (1964)

1-01

0,1-0,01

0,01-0,001

Al

Mn,Fe

Ti,Pb,Sn,Cr,
V,Cu,Ag,Ba,B

Si,Na

Al,Fe

Si

Al

Mn,Ti,Cr,
V,Cu,Ba,B
Mn,Ti,V,
Cu,Ba,Fe,B
Mn,Ti,Cr,V,
Cu,Fe,Ba,B

Al

<0,00
1
-

Pb,Ag
Pb,Ag,C
r
Pb,Ag

Timbul pertanyaan: bagaimana komposisi kimia untuk test Foraminifera yang


agglutinated. Perhatikan tabel berikut ini:
Tabel 2.3. Komposisi senyawa kimia test Foraminifera yang agglutinated
(dalam%)
(Vinogradov, 1953, vide Boltovskoy & Wright, 1976).
Spesies
SiO2
CaCO3
CaO
Fe2O3 Al2O3
Astrorhiza crassatina
96,2
2,5
*
1,3
*
Rhabdammina abyssorum
94,7
2,9
*
2,4
*
R.abyssorum
88,3
4,0
*
7,4
*
R.abyssorum
95,7
1,9
*
2,4

Hiperammina friabilis
93,6
4,0
*
2,0
*
Protobotellina cylindrical **
81,0
*
3,3
1,0
8.3
Saccammina sphaerica **
78,0
*
4,9
0,7
5,1
Pilulina jeffreysii **
87,0
*
4,2
0,6
4,6
Cyclammina cancellata **
*
*
2,0
2,0
C.cancellata **
84,8
5,5
*
9,4
*
C.cancellata **
84,7
6,8
*
9,4
*
Haplophragmoides
76,1
7,3
*
16,3
*
Tak terdeteksi, ** analisa oleh Hedley, 1963.
Dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan sementara bahwa fosil Foraminifera
benthos dengan test yang terdiri dari agglutinated menunjukkan bahwa senyawa
kimia didominasi oleh SiO2
Timbul pertanyaan, bagaimana dengan komposisi test Foraminifera plangton ?.
Perhatikan tabel berikut ini.
Tabel 2.4. Komposisi senyawa kimia test beberapa Foraminifera plangton (dalam
%)
Spesies
CaCO3
MgCO3
Fe2O3
SiO2
Globigerina bulloides
93,14
0,57
1,72
1,57
Globorotalia menardii
77,02
3,67
3,98
15,33
Operculina complanata
93,60
4,8
0,1
O,9

Sphaeroidinella dehiscens

84,38

1,79

4,94

8,89

Dari tabel tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa meski spesiesnya sama, namun
lokasi
dimana spesies diambil dapat menunjukkan prosentase yang berbeda.
Dengan demikian kandungan unsur kimianya juga menjadi berbeda. Untuk test
yang calcareous komposisi senyawa kimia didominasi oleh CaCO 3, sedang untuk
test yang agglutinated didominasi oleh SiO2.
Disamping itu dapat disimpulkan bahwa batugamping, yang selama ini dianggap
mempunyai komposisi CaCO3 murni, namun bila mengandung fosil Foraminifera
tidak akan terbebas dari unsur Mg, Si, Fe dan Al, serta unsur-unsur minor yang lain.

Gambar 2.1. Test Foraminifera, (1). Tectin-Allogromiina (gbr.kiri) (2).


Arenaceous (sering disebut dengan istilah agglutinated) Rhabdammina
(gbr.tengah kiri)-, (3). Hyaline (gbr.tengah kanan)-Globigerina, (4).
Porcelain (gbr.kanan)-Quinqueloculina.

Gambar 2.2.Test Foraminifera, (1). Arenaceous- Bathysiphon crasatina


(gbr.kiri), (2). Hyaline- Globorotalia (gbr.tengah kiri), (3). Globoquadrina
(gbr. tengah kanan, (4). Porcelain- Pyrgo-gbr.kanan).
2.4. CARA BERKEMBANGBIAK
Foraminifera merupakan binatang yang sangat kecil dan
lemah.
Hdup di
lingkungan air khususnya dilaut. Karena kecilnya untuk melihat lebih teliti perlu
menggunakan mikroskop. Sifat lemah dari Foraminifera mengakibatkan banyak

predator yang ingin memangsanya. Oleh sebab itu untuk menghindarkan diri dari
kepunahan, Foraminifera berkembangbiak dengan cara aseksual dikenal pula
dengan istilah membelah diri dan berkembangbiak dengan cara seksual, yaitu
bersatunya sel jantan dan sel betina membentuk zygote.
(1), Perkembangbiakan secara aseksual
Keterangan gambar
(1).Individu
sel
Foraminifera
berkembang menjadi dewasa (2). Inti
membesar dan membetuk dua bagian
diikuti dengan perkembangan plasma,
(3). Inti pecah menjadi dua sedang
plasma membentuk diri menjadi dua
bagian
namun
saat
ini
masih
berhubungan (4). Inti dan plasma telah
terbentuk menjadi dua bagian namun
masih berhubungan namun sudah mulai
menggenting,
(5).
Plasma
dengan
masing-masing
inti
menjadi
menggenting, (6). Dua bagian dengan
masing-masing inti dan plasma terpisah
menjadi individu baru. Individu baru ini
apabila sudah dewasa siap berkembang
biak dengan cara membelah ataupun
dengan cara seksual / kawin.
Gambar 2.3. Mekanisme perkembangbiakan secara aseksual
Aseksual merupakan cara perkembangbiakan Foraminifera yang paling dominan
dalam kondisi lingkungan yang normal. Hasil penelitian pada Foraminifera resen
menunjukkan perkembangbiakan aseksual menghasilkan individu Foraminifera
dengan ukuran yang relatif kecil, namun meningkatkan jumlah individu sangat
cepat.
(2). Perkembangbiakan secara seksual
Sel Foraminifera yang sudah dewasa dapat menghasilkan jutaan ovum dan sperma.
Ovum dan sperma yang sudah masak, akan keluar dari tubuh Foraminifera.
Sebuah ovum akan
dibuahi oleh sperma dari individu yang berbeda, dan
membentuk zygote. Selanjutnya zygote akan berkembang menjadi individu baru
yang siap berkembangbiak. Perkembangbiakan secara seksual relative jarang
terjadi dibandingkan dengan perkembangbiakan secara aseksual. Cara
perkembangbiakan seksual menghasilkan individu Foraminifera dengan ukuran
yang relatif besar.
(3). Perkembangbiakan modification of generation.

Individu yang terbentuk secara seksual apabila lingkungan telah memungkinkan


akan berkembang menjadi dewasa dan selanjutnya berkembangbiak dengan cara
membelah. Individu yang terbentuk secara membelah akan berkembang menjadi
dewasa, selanjutnya
masing-masing individu akan menghasilkan ovum dan
sperma, yang kemudian bersatu membentuk individu baru. Perkembangbiakan
secara seksual berubah menjadi aseksual dan berkembangbiakan secara seksual
berubah menjadi aseksual berlangsung secara silih berganti. Kejadian secara
alamiah ini dikenal dengan istilah modification of generation.
Foraminifera kecil mempunyai dua bentuk khususnya pada Foraminifera benthos.
Jenis ini dikelompokkan menjadi Foraminifera benthos kecil dan Foraminifera
benthos besar. Sifat demikian disebut dengan istilah dimorphic. Sifat dimorphic
dimiliki oleh Foraminifera plangton juga namun dalam bentuk yang lain. Bentuk itu
dikenal dengan istilah
generasi microspheric dengan proloculus kecil yang
disebut sebagai bentuk B, diyakini terbentuk sebagai akibat perkembangbiakan
dengan cara aseksual, sedang bentuk yang lain dikenal dengan istilah
megalospheric dengan proloculus besar dikenal sebagai bentuk A. diyakini
terbentuk sebagai akibat perkembangbiakan secara seksual. Pada beberapa jenis
Foraminifera terjadi perkembangbiakan yang dikenal sebagai alteration of
generation, yaitu perubahan dari perkembangbiakan cara aseksual dilanjutkan
dengan perkembangbiakan seksual. Fase schizogony yang merupakan fase aseksual
dilanjutkan dengan fase gamegony dengan perkembanbiakan seksual. Fase
schizogony dicirikan dengan kamar awal besar dengan proloculus kecil, sedang
fase gamegony dikenal dengan bentuk macrospheric/megalospheric
dengan
proloculus besar. Foraminifera kebanyakan berkembangbiak dengan cara aseksual,
namun perkembangbiakan dengan cara seksual jarang dilakukan inipun dengan
catatan
apabila keadaan lingkungan memungkinkan. Dengan tiga cara
berkembangbiakan tersebut, jumlah individu Foraminifera dapat berlipat ganda
dalam waktu yang sangat singkat. Namun demikian, sebagian juga tidak akan
selamat karena dimangsa oleh predator.
2.5. CARA HIDUP FORAMINIFERA

Interpretasi cara hidup Foraminifera utamanya didasarkan oleh


studi Foraminifera resen atau Foraminifera yang hidup masa kini.
Foraminifera merupakan hewan mikro yang hidup dalam lingkungan
air, khususnya air laut. Berdasarkan atas ukurannya, dan cara
pengamatannya
Foraminifera
digolongkan
menjadi
dua,
yaitu
Foraminifera
kecil,
disebut
juga
dengan
istilah
Small
Foraminifera dan Foraminifera besar, disebut juga dengan istilah
Large
Foraminifera.
Foraminifera
kecil
identifikasinya
berdasarkan atas kenampakan kamar-kamar
dari pandangan luar,
sedang Foraminifera besar identifikasi utamanya berdasarkan atas
kenampakan kamar-kamar bagian dalam.

Mengacu pada Boltovskoy & Wright (1976), Foraminifera disebut


binatang mikro, namun beberapa jenis mempunyai ukuran test yang
dianggap cukup besar. Bentuk-bentuk yang dijumpai sebagai fosil
ada yang berukuran cukup besar, antara lain: Nummulites
gizehensis (110 mm), Lepidocyclina gigas (120 mm), keduanya
merupakan Tertiary spesies, Loftusia yang merupakan fosil
Cretaceous. Foraminifera resen Neusina agassazi (190 mm) yang
diperoleh pada kedalaman 300 meter di Laut Pasifik dan
Protobotellina cylindrical (120 mm), yang ditemukan dalam keadaan
mati. Jenis test Foraminifera yang dijumpai masih bersama
protoplasmanya adalah Syringammina pacifica dari New Zealand yang
mempunyai ukuran 44 mm, Timbul pertanyaan: bagaimana dengan
Foraminifera yang berukuran paling kecil? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut agak sukar, karena para peneliti mengalami
kesulitan dalam membedakan bentuk muda (juvenile) dengan bentuk
dewasa (adult). Dua spesies dari genus Silicotextulia, yaitu
S.diatomitarum (0,042 mm) yang diperoleh dari lapisan Tersier
California,
dan
S.deflandrei
(0,078
mm)
yang
merupakan
Foraminifera resen dari Argentina, merupakan contoh yang dianggap
sudah dewasa. Boltovskoy & Gualancanay (1976?) mendeskripsi
mature specimen: Cassidulina subglobosa yang
berukuran 200-800
mikron.
Cara hidup Foraminifera, antara lain sebagai berikut:
Bila Anda berhadapan dengan Foraminifera besar, semasa
hidupnya Foraminifera pasti benthos
Bila Anda mendapatkan Foraminifera kecil, cara hidupnya
semula adalah sebagai plangton ataupun benthos.
fosil yang berdinding test
Bila Anda berhadapan dengan
arenaceous, cara hidupnya semula pasti benthos, Bila dominan
kelompok
dengan
dinding
test
arenaceous
menunjukkan
lingkungan brackish hingga paralic Bila dominan kelompk
porcelain (khusunya grup Miliolid) menunjukkan lingkungan
lagoon, maupun daerah pinggiran pantai. Bila dominan
kelompok hyaline menunjukkan lingkungan laut.
test,
Bila Anda berhadapan dengan fosil yang berdinding
porcelain, cara hidupnya semula pasti benthos
Bila Anda berhadapan dengan fosil yang berdinding test
hyaline semasa hidupnya
semula mungkin
benthos atau
plangton.
Hidup secara pelagis yaitu mengambang di badan air dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu:
Hidup secara plangton artinya hidup mengambang dibadan air
dan bergerak secara pasif, terangkut oleh aliran air laut.
Foraminifera plangton hidup secara pelagis

Hidup secara nekton artinya hidup mengambang dibadan air


dan bergerak secara aktif. Foraminifera tidak mungkin dapat
hidup secara nekton, karena berat tubuh secara keseluruhan
tidak memungkinkan.
Hidup secara benthos, yaitu hidup didasar badan air. Kelompok ini
dibagi menjadi dua yaitu
hidup
secara benthos sesil ataupun
hidup secara benthos vagil. Benthos sesil menambatkan diri pada
substrate, sedang benthos vagil hidup dipermukaan substrate namun
bergerak aktif.
Foraminifera benthos pasti hidup dilaut dangkal, karena
jenis Foraminifera ini memerlukan algae sebagai makanan dan
algae perlu sinar matahari. Hanya pada daerah photic, yaitu
pada kedalaman kurang dari 200 meter. Hingga kedalaman itu
sinar matahari masih dapat ditangkap oleh algae.
Lingkungan laut
mempunyai dasar, tempat dimana Foraminifera
bertempat tinggal. Dasar lingkungan laut dapat dibedakan menjadi
dasar laut yang dangkal dan dasar laut yang dalam.
Kedalaman dasar laut dapat interpretasi dengan metode PB rasio,
yaitu jumlah individu fosil Foraminifera plangtonik, dibagi
dengan (jumlah individu fosil plangtonik + individu fosil
benthonik) x 100%. Mencermati besaran angka prosentase tersebut
dapat
dimanfaatkan
untuk
menentukan
kedalaman
lingkungan
sedimentasi. Grimsdale dan Markoven (1955) menyusun PB rasio
sebagai berikut:
Tabel 2.5. PB rasio dan kedalaman
Lingkungan
Kedalaman
Inner shelf
0-20 meter
Middle shelf
20-100
Outer shelf
100-200 meter
Upper shelf
200-500 meter
Lower shelf
500-2.000 meter

dasar laut
PB rasio (%)
0-20%
20-50%
20-50%
30-50%
50-100%

Memanfaatkan konsep PB rasio,


Anda hanya dituntut cukup dapat
membedakan mana yang fosil Foraminifera, dan mana yang bukan
fosil Foraminifera, mana yang termasuk Foraminifera benthos dan
mana yang termasuk Foraminifera plangton.

Benthos sesil artinya hidup menambatkan pada benda atau


dasar yang tetap. Foraminifera tampaknya tidak dapat hidup
secara tetap. Foraminifera tidak dapat hidup dengan cara
sesil
Benhos vagil artinya hidup dan bergerak dengan kekuatannya
sendiri. Foraminifera sering hidup bersimbiose dengan algae
atau tubuhan air yang dapat mengapung dan bergerak.

Keberadaan Foraminifera besar


yang hidup secara benthos
vagil menunjukkan lingkungan laut dangkal. Bila dijumpai
bersama dengan Foraminifera kecil jenis plangtonik
dalam
jumlah
banyak
menunjukkan
lingkungan
laut
terbuka.
Foraminifera besar pada saat hidupnya bersimbiose dengan
koral. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila fosil
Foraminifera besar sering terdapat bersama dengan koral
membentuk batugamping.
Fosil Foraminifera kecil, sering terdapat bersama dengan
fosil Ostracoda. Terdapat hubungan yang kontradiktif antara
Foraminifera
kecil
dan
Ostracoda.
Apabila
populasi
Foraminifera kecil banyak, maka keberadaan Ostracoda dapat
sedikit, sebaliknya apabila populasi Foraminifera kecil
sedikit ada kemungkinan populasi Ostracoda menjadi banyak.
Perbandingan antara keberadaan jumlah individu Foraminifera
dibanding dengan keberadaan jumlah individu Ostracoda mampu
dimanfaatkan
untuk
menentukan
kedalaman
lingkungan
sedimentasi
Bandy (1967) membuat pernyataan sebagai berikut:.
Bila nilai F/O rendah, artinya
jumlah
Foraminifera
sedikit
sedang jumlah Ostracoda banyak
Nilai
F/O
mendekati
100%,
artinya
jumlah
individu
Foraminifera
banyak,
sedang
jumlah
individu
Ostracoda
sedikit

Menunjukkan lingkungan marsh,


laut dangkal ataupun kondisi
lagoon
Daerah laut dangkal
yang
terbuka

Bersama ini dicantumkan bentuk cangkang Ostracoda yang umum


disebut dengan istilah carapace.

Gambar 2.4. Beberapa contoh carapace. (cangkang Ostracoda)


2,4. CIRI-CIRI FORAMINIFERA PLANGTON
DAN BENTHOS
Membahas tentang mikrofosil, Anda pasti selalu teringat
dengan
Foraminifera, karena jumlahnya yang melimpah dalam batuan sedimen.
Disamping itu telah banyak hasil penelitian tentang
Foraminifera
yang dilakukan oleh paleontolog. Hal ini, mengindikasikan bahwa fosil
jenis ini mempunyai peranan penting baik dalam khasanah ilmiah maupun
khasanah teknologi. Berdasarkan cara hidupnya dalam lingkungan air
laut, Foraminifera dibedakan menjadi dua bagian besar.
(1). Foraminifera plangton, dengan ciri-ciri:
Pada umumnya bentuk test bulat, kecuali Globorotalia bentuknya
tampak pipih
Susunan kamar pada umumnya trochospiral
Aperture biasanya terbuka lebar, berada dipertemuan suture,
kecuali genus Orbulina
Komposisi test umumnya hyaline
dekat permukaan
Hidup dengan cara mengambangkan diri pada atau
laut
Beberapa contoh Foraminifera plangton adalah sebagai berikut:

Gambar 2. 5. Globigerina bulloides (gbr.kiri), Pulleniatina


obliquelocullata (gbr.tengah), Sphaeroidinella dehiscen
(gbr.kiri).
Foraminifera plangton ukurannya relatif kecil dibandingkan dengan
Foraminifera benthos, Meskipun jumlah spesiesnya relative sedikit
golongan ini mempunyai arti yang penting terutama dimanfaatkan
sebagai fosil indeks untuk korelasi regional, dan bermanfaat dalam
menyusun biostratigrafi.
(2). Foraminifera benthos dengan cirri-ciri:
Berdasarkan ukurannya Foraminifera benthos dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu: (a). Foramiifera benthos kecil dan (b). Foraminifera benthos besar
(a). Foraminifera benthos kecil
Jenis Foraminifera benthos kecil ini ukurannya relatif kecil, hampir sama dengan
Foraminifera plangton
Hanya saja jenis Foraminifera ini hidupnya menempel atau merayap pada dasar
laut. Ciri utama Foraminifera benthos kecil adalah::

bentuk test cenderung pipih dan memanjang,


susunan kamar umumnya planispiral,
komposisi testnya dapat arenaceous, agglutine, hyaline ataupun porcelain.
aperture terletak pada terminal kamar terakhir
Berdasarkan susunan bentuk dan jumlah kamar, Foraminifera benthos kecil dibagi
menjadi dua, yaitu:
Monothalamus: terdiri dari satu kamar (unicellular). Aperture terletak pada
terminal dari kamar terakhir. Contoh: Saccamina, Lagena, Bathysiphon

Gambar 2. 6.Saccamina (gbr.kiri), Lagena (gbr.tengah(, Bathysiphon (gbr.


kanan).
Polythalamus, terdiri lebh dari satu kamar (multicellular). Contoh: Uvigerina,
Bulimina, Dentalina. Aperture terletak pada kamar terakhir, baik dengan
leher ataupun tidak

Gambar 2.7. Uvigerina (gbr.kiri), Bulimina (gbr.tengah), Dentalina (gbr.kanan).


(b). Foraminifera benthos besar
Terminologi Foraminifera benthos besar sering disebut dengan istilah Foraminifera
besar atau Large Foraminifera dipakai untuk kelompok Foraminifera benthos yang
memiliki ukuran relatif besar dengan jumlah kamar relatif banyak dan struktur
dalam yang sangat kompleks. Pada umumnya Foraminifera besar dijumpai pada
batuan karbonat khususnya berasosiasi dengan batugamping terumbu, berasosiasi
dengan algae yang menghasilkan CaCO 3 sebagai pembentuk test Foraminifera itu
sendiri. Untuk membedakan jenis Foraminifera besar utamanya berdasarkan atas
susunan kamar dari kenampakan pada sayatan tipis specimen fosil atau sayatan
tipis batuan. Ketebalan sayatan tipis kurang lebih 0,03 mm. Sayatan ini diperiksa

dengan mikroskop binokuler, sedang obyek disinari dari bagian bawah meja obyek.
Contoh Foraminifera besar antara lain: Lepidocyclina, Miogypsina, Miogypsinoides,
Nummulites, Discocyclina,
Cycloclypeus, Alveolina, Alveolinella,Operculina,
Operculinella.

Gambar 2. 8. Semua gambar dari sayatan tipis: Lepidocyclina (gbr.kiri), Miogypsina


(gbr.tengah), Nummulites (gbr.kanan).

Gambar 2.8. Kumpulan lepas Foraminifera, berbagai jenis Foraminifera benthos


(gbr.kiri), berbagai jenis Foraminifera plangton (gbr.kanan)-perhatikan perbedaan
bentuk test dari dua kelompok tersebut.
Jumlah variasi genus Foraminifera baik yang benthos maupun yang plangton cukup
banyak, demikian pula jumlah variasi spesies dan jumlah variasi subspesiesnya.
Bila demikian halnya, pada Anda timbul pertanyaan, mungkinkah saya mampu
mengingat-ingat bentuk Foraminifera dan namanya. Anda tidak perlu khawatir.
Berdasarkan pengalaman selama ini, bila Anda sering melihat gambar tipe (yang
dimuat pada buku reference ataupun pada Jurnal Paleontologi) dan bentuk

spesimen fosilnya, Anda akan mudah untuk mengenalnya. Biasakan, yang akhirnya
seolah-olah pada fosil ada tulisan nama yang Anda cari.
Catatan kerja
2.3.
Teknik Penyajian Fosil :
1. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel batuan di lapangan hendaknya diperhatikan tujuan yang akan kita capai.
Mendapatkan sampel yang baik diperhatikan interval jarak tertentu terutama untuk menyusun
biostratigrafi.
Kriteria - kriteria pengambilan sampel batuan :
Memiiih sampel batuan yang insitu dan bukan berasal dari talus, karena. dikhawatirkan fosilnya
sudah tidak insitu
Batuan yang berukuran butir halus lebih memungkinkan mengandung fosil, karena batuan yang
berbutir kasar tidak dapat mengawetkan fosil atau kemungkinan fosilnya rusak. Contoh batuan yang
diambil sebaiknya dari batuan lempung (clay), serpih (shale), napal ,(marl), tufa napalan (marly tuff),
batugnmping bioklastik, batugamping dengan campuran batupasir sangat halus.
Batuan yang lunak akan memudahkan dalam proses pemisahan fosil.
Jika endapan turbidit, diambil pada bntuan yang berbutir halus, yang diperkirakan merupakan
endapan suspensi yang juga mencerminkan kondisi normalnya
2. Penguraian / Pencucian
Proses pencucian batuan dilakukan dengan cara yang umum sebagai berikut :
Batuan sedimen ditumbuk dengan palu karet atau palu kayu hingga ukuran diameternya, 3-6mm.
Melarutkan dalam larutan H202 (hidrogen peroksida) 50% dan diaduk atau dipanaskan.
Kemudian mendiamkan sampai butiran batuan tersebut terlepas semua (24 jam), jika fosil masih
nampak kotor dapat dilakukan perendaman dengan air sabun, (lalu dibilas dengan air bersih.
Selanjutnya dikeringkan dengan terik matahari dan siap untuk diayak.
3. Pemisahan Fosil
Langkah awal menganalisa, perlu diadakan pemisahan fosil dari kotoran butiran yang bersamarnya.
Cara pengambilan fosil - fosil tersebut dengan jarum dari cawan tempat contoh batuan untuk
memudahkan dalam pengambilan fosilnya perlu disediakan air (jarum dicelupkan terlebih dahulu
sebelum pengambilan fosil).
Peralatan yang dibutuhkan dalam pemisahan fosil antara lain :
- Cawan untuk tempat contoh batuan
- Jarum untuk mengambil fosil ' Kuas bulu halus
- Cawan tempat air
- Lem untuk merekatkan fosil
- Fosil yang telah dipisahkan diletakkan pada plate (tempat fosil)

Anda mungkin juga menyukai