Disusun Oleh:
Nur Wahyuni
Mohamad Bastomi
Hebbi Endar S.
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat, taufik
serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan untuk menyusun makalah
dengan judul Kinerja & Etos Kerja Islami guna memenuhi tugas Semester empat.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Ahmad Muis,S.Ag, MA selaku dosen pengampu mata kuliah STUDI ALQURAN DAN AL-HADITS yang memberikan arahan dan masukan dalam makalah ini.
2. Serta semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini yang tidak
mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi tercapainya
suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat berguna
bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kinerja
2.2 Konsep Kerja dalam Islam
2.3 Aspek Pekerjaan dalam Islam
2.4 Etos Kerja secara Umum
2.5 Etos Kerja dalam Persepektif Islam
2.6 Karakteristik Etos Kerja islam
2.7 Indikasi Orang Beretos Kerja Islami Tinggi
2.8 Etika Kerja dalam Islam
2.9 Etos Kerja Rasulullah Sebagai Uswah (Contoh)
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam yang berdasarkan al-Quran dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga
mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam selain diperintahkan untuk beribadah Allah
memerintahkan untuk bekerja (berusaha). Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi
mencapai tujuan, selain mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih
pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Di dalam Al-Quran dan Hadist sudah jelas tentang pekerjaan yang baik dan bagaimana kita
memperoleh rezeki dengan cara yang diridhai Allah SWT. Hal ini sangat penting sekali dibahas,
karena semua orang dunia ini pasti membutuhkan makanan, sandang maupun papan. Disini pasti
manusia berlomba-lomba atau memenuhi kebutuhannya tersebut dengan bekerja untuk
mendapatkan yang diinginkan sehingga kita juga harus tahu, bahwa semua yang kita dapatkan
semuanya dari Allah SWT dan itu semua hanya titipan Allah SWT semata. Sebagai umatnya
diwajibkan mengembangkannya dengan baik dan hati-hati. Untuk itu diperlukannya etos kerja
dalam setiap kinerja pribadi muslim demi kelangsungan umat sehari-hari.
1.3 Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kinerja
Pada dasarnya pengertian kinerja dapat dimaknai secara beragam. Dalam Kamus Besar
Indonesia, kerja mempunyai arti kegiatan melakukan sesuatu.[1] Dalam Oxford Advanced
Learners Dictionary diterangkan arti lebih detail, kerja merupakan penggunaan kekuatan fisik
ayau daya mental untuk melakukan sesuatu.[2] Dalam Ensiklopedi Indonesia dengan konteks
ekonomi, kerja diartikan sebagai pengerahan tenaga (baik pekerjaan jasmani maupun rohani).
Agar terdapat kejelasan mengenai kinerja, akan disampaikan beberapa pengertian mengenai
kinerja.
Bernardin and Russel mendefinisikan kinerja sebagai berikut:
Performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or
activity during a time period. Berdasarkan pendapat Bernardin and Russel, kinerja cenderung
dilihat sebagai hasil dari suatu proses pekerjaan yang pengukurannya dilakukan dalam kurun
waktu tertentu.
Pendapat yang lebih komprehensif disampaikan oleh Brumbrach sebagai berikut:
Performance means behaviours and results. Behaviours emanate from the performer and
transform performance from abstraction to action. Not just the instruments for results,
behaviours are also outcomes in their own right the product of mental and physical effort
applied to tasks and can be judged apart from results.
Brumbrach, selain menekankan hasil, juga menambahkan perilaku sebagai bagian dari
kinerja. Menurut Brumbach, perilaku penting karena akan berpengaruh terhadap hasil kerja
seorang pegawai.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan pokok: 1). Kerja itu
merupakan aktivitas bertujuan, dengan sendirinya dilakukan secara sengaja;
2). Pengertian
kerja dengan konteks ekonomi adalah untuk menyelenggarakan proses produksi. Jadi,
merupakan upaya memperoleh hasil. Sedangkan pengertian kerja di sini mencakup pula konteks
keagamaan. Oleh karenanya pengertian hasil dapat bersifat transenden dan nonmateriil, di
samping yang bersifat materiil; dan 3). Kerja itu mencakup kerja bersifat fisik dan nonfisik atau
kerja batin. Kerja lahir merupakan aktifitas fisik, anggota badan, termasuk panca indera seperti
mengajar disekolah, menjalankan sholat, dan sebagainya. Sedangkan kerja batin itu ada dua
macam; kerja otak (seperti belajar) dan kerja qalb (seperti mencintai).
Dari beberapa pendapat tersebut, kinerja dapat dipandang dari perspektif hasil, proses,
atau perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas dalam konteks
penilaian kinerja, tugas pertama pimpinan organisasi adalah menentukan perspektif kinerja yang
mana yang akan digunakan dalam memaknai kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya.
Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (1998: 16-17) adalah
sebagai berikut:
1. Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi,
komitmen, dll.
2. Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan berkaitan dengan
kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua
kelompok kerja.
3. Faktor kelompok/rekan kerja (team factors). Faktor kelompok/rekan kerja berkaitan
dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.
4. Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode kerja yang
ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi.
5. Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan
dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal.
Dari uraian yang disampaikan oleh Armstrong, terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja seorang pegawai. Faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian serius dari
pimpinan organisasi jika pegawai diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal.
Setiap organisasi pada dasarnya telah mengidentifikasi bahwa perencanaan prestasi dan
terciptanya suatu prestasi organisasi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan prestasi
individual para pegawai. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa prestasi kerja organisasi
merupakan hasil dari kerjasama antara pegawai yang bersangkutan dengan organisasi dimana
pegawai tersebut bekerja. Untuk mencapai prestasi kerja yang diinginkan, maka tujuan yang
diinginkan, standar kerja yang dinginkan, sumber daya pendukung, pengarahan, dan dukungan
dari manajer lini pegawai yang bersangkutan menjadi sangat vital. Selain itu sisi motivasi
menjadi aspek yang terlibat dalam peningkatan prestasi kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat
Torington dan Hall (1995: 316) yang menyatakan bahwa Prestasi kerja dilihat sebagai hasil
interaksi antara kemampuan individual dan motivasi.
Mondy & Noe (1990: 382) mendefinisikan penilaian prestasi kerja sebagai: Suatu sistem
yang bersifat formal yang dilakukan secara periodik untuk mereview dan mengevaluasi kinerja
pegawai.
Sedangkan Irawan (1997: 188) berpendapat bahwa penilaian prestasi kerja adalah Suatu
cara dalam melakukan evaluasi terhadap prestasi kerja pegawai dengan serangkaian tolok ukur
tertentu yang obyektif dan berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta dilakukan secara
berkala.
Sementara itu Levinson seperti dikutip oleh Marwansyah dan Mukaram (1999: 103)
mengatakan bahwa Penilaian unjuk kerja adalah uraian sistematik tentang kekuatan/kelebihan
dan kelemahan yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang atau sebuah kelompok.
Adapun sasaran proses penilaian dikemukakan oleh Alewine (1992: 244) sebagai berikut:
Sasaran proses penilaian prestasi kerja adalah untuk membuat karyawan memandang diri
mereka sendiri seperti apa adanya, mengenali kebutuhan perbaikan kinerja kerja, dan untuk
berperan serta dalam membuat rencana perbaikan kinerja. Sedangkan tujuan umum penilaian
kinerja adalah mengevaluasi dan memberikan umpan balik konstruktif kepada para pegawai
yang pada akhirnya mencapai efektivitas organisasi.
Sementara itu, menurut Cummings dan Schwab (1973: 4), penilaian kinerja pegawai pada
umumnya memiliki dua fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi summative atau evaluative. Fungsi ini biasanya berhubungan dengan rencana
pengambilan keputusan yang bersifat administratif. Sebagai contoh, hasil dari penilaian
ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan gaji pegawai yang
dinilai, memberikan penghargaan atau hukuman, promosi, dan mutasi pegawai. Dalam
fungsi ini manajer berperan sebagai hakim yang siap memberikan vonis.
2. Fungsi formative. Fungsi formative berkaitan dengan rencana untuk meningkatkan
keterampilan pegawai dan memfasilitasi keinginan pegawai untuk meningkatkan
kemampuan mereka. Salah satu maksudnya adalah untuk mengidentifikasi pelatihan yang
dibutuhkan pegawai. Manajer berperan sebagai konsultan yang siap untuk memberikan
pengarahan dan pembinaan untuk kemajuan pegawai.
Sedangkan Stewart dan Stewart (1977: 5) menyatakan bahwa penilaian kinerja pegawai
dimaksudkan untuk:
1. Memberikan feedback bagi pegawai. Agar efektif, maka masukan yang diberikan kepada
pegawai harus jelas (tepat sasaran), deskriptif (menggambarkan contoh-contoh pekerjaan
yang benar), objektif (memberikan masukan yang positif dan negatif), dan konstruktif
(memberikan saran perbaikan).
2. Management by Objective. Manajer menentukan target dan tujuan yang harus dicapai
oleh setiap bawahan. Target dan tujuan tersebut harus disetujui oleh kedua belah pihak,
dan evaluasi dilaksanakan berdasarkan pada hal-hal yang sudah disetujui bersama.
3. Salary review. Hasil dari penilaian digunakan untuk menentukan apakah seseorang akan
mendapatkan kenaikan atau penurunan gaji.
4. Career counselling. Dalam pelaksanaan penilaian, manajer mempunyai kesempatan
untuk melihat kemungkinan perjalanan karier pegawai, salah satunya bisa melalui
pengiriman pegawai kedalam program diklat.
5. Succession planning. Penilaian pegawai dapat membantu manajer dalam membuat daftar
pegawai yang memiliki keterampilan dan kemampuan tertentu, sehingga jika ada posisi
yang kosong, manajer bisa dengan cepat menunjuk seseorang.
6. Mempertahankan keadilan. Adalah suatu hal yang wajar jika seseorang lebih menyukai
seseorang dibanding orang lain. Penilaian pegawai dapat mengurangi terjadinya hal
tersebut misalnya dengan melibatkan atasan dari atasan langsung kita untuk ikut secara
acak dalam proses penilaian.
7. Penggantian pemimpin. Sistem penilaian pegawai dapat mengurangi beban pekerjaan
manajer baru yang tidak tahu menahu kondisi dan kompetensi pegawainya. Data yang
ada dalam dokumen penilaian dapat digunakan sebagai informasi yang penting untuk
mengetahui kompetensi dan mengenal bawahan lebih cepat dan mungkin akurat.
Dari uraian sebelumnya, terlihat bahwa penilian kinerja memberikan banyak tujuan.
Tujuan penilian kinerja ini pada akhirnya akan memberikan manfaat, tidak hanya untuk pegawai
yang bersangkutan, akan tetapi juga untuk organisasi. Perlu diingat bahwa penilaian kinerja tidak
dimaksudkan untuk memberikan hukuman jika pegawai tidak dapat memenuhi capaian kinerja
yang ditentukan.
Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam penilaian kinerja adalah adanya apresiasi
yang proporsional dan program pengembangan SDM yang tepat. Apresiasi diberikan kepada prg
yang mampi mencapai atau melebihi tingkat kinerja yang diharapkan. Sedangkan program
pengembangan pegawai diberikan kepada pegawai yang memerlkukan treatment tertentu untuk
meningkatkan kinerjanya.
wahyu (al-Quraan dan al-Hadits). Maka, proses terlahirnya amal-amal itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
Dari gambar di atas, tampak jelas bahwa amal dan kerja islami ternyata menjadi muara
sekaligus pernyataan daris seluruh kawasan tujuan hidup orang islam. Ternyata islam tidak
merekomendasikan kehidupan yang hanya mengejar hasanah di akhirat dengan cara
mengabaikan hasanah di dunia. Bahkan ajaran islam menegaskan bahwa mengabaikan
keduniaan serta menganggap remeh urusannya adalah sikap negatif, tercela dan keluar dari garis
fitrah serta jalur as-sirat al-mustaqim. Oleh karena itu, Rasul melarang cara berpikir anti dunia
karena senang pada akhirat.
Allah juga berfirman dalam Q.S al-Qasas/28:77,
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
Dari surah di atas dapat diketahui bahwa islam tidak hanya mengajarkan aqidah saja,
tetapi mengajarkan syariah sebagai tata menjalani kehidupan sesuai dengan al-Quran dan alHadits. Dengan demikian, dapat diketahui bahwasanya amal atau kerja mempunyai makna urgen
bagi setiap manusia, ternyata juga merupakan bukti keimanan orang islam.
Pengertian kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang
dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini,
sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan menerima
upah baik bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
muamalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam
pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para
pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja
dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu
perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarriun: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah
SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum
kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.
Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan
porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
Disamping kewajiban bekerja akan mendapatkan pahala, juga Allah Swt menjanjikan
akan mengampuni dosa-dosanya kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad sebagai berikut : Barangsiapa yang pada malam hari merasakan
kelelahan dari upaya keterampilan kedua tanganya pada siang hari maka pada malam itu ia
diampuni. Demikian halnya terdapat hadits berikutnya yang diriayatkan oleh imam Abu Nuaim
bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda : Sesungguhnya diantara perbuatan dosa ada dosa yang
tidak bisa terhapus (ditebus) oleh (pahala) shaum dan sholat. Ditanyakan pada Beliau, Apakah
yang dapat menghapuskanya, ya Rasulullah? Jawab Rasul Saw: Kesusahan (bekerja) dalam
mencari nafkah kehidupan.
Posisi Kerja
a). Kerja dan Eksistensi Manusia
Menurut pandangan islam, kerja merupakan sesuatu yang digariskan bagi manusia.
Dengan bekerja manusia mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhiratnya. Agama juga
menjadikan kerja sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Amat jelas bahwa kerja
mempunyai makna eksistensial dalam menunjukkan kehidupan orang islam. Karena
berhasil/gagalnya dan tinggi/rendahnya kualitas hidup seseorang ditentukan oleh amal dan
kerjanya.[4]
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya,
agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. AlKahfi/18:7). Dengan demikian, lulus/tidaknya manusia dalam menghadapi ujian hidup di dunia
ini dapat dilihat dari amal atau kerja yang telah dilakukan. Apalagi manusia diberikan tugas
sebagai khalifah yang bertugas sebagai pemakmur bumi. Hal tersebut merupakan tugas besar
yang jika tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh, mustahil rasanya bila amanah tersebut
dapat dilaksanakan.
Manusia yang eksis muncul karena kerja dan kerja itulah yang membentuk eksistensi
kemanusiaan. Pandangan ini sejalan dengan salah satu inti sari dari QS. An-Najm/53:39 yang
menjelaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh suatu apapun tanpa usaha yang ia lakukan
sendiri. Dengan bekerja, manusia memperoleh sebuah peran dalam mempertahankan
penghidupannya. Bekerja yang baik adalah bekerja sesuai kemampuan yang dimiliki masingmasing individu.
b). Dari Iman sampai Kerja
Perlu diperhatikan bahwa Allah bila menyebut perkataan, dalam ayat-ayat alQuran selalu menyambungnya dengan . Hal tersebut mengisyaratkan bahwa
iman harus disertai amal saleh atau pekerjaan baik. Amal saleh adalah penjelmaan dari iman.
Iman yang tidak melahirkan amal saleh dapat disebut iman yang mandul. Maka, islam
menghubungkan aqidah dengan perilaku yang dituntutnya secara mutlak. Sehingga iman atau
aqidah memancar, mengarahkan dan berpengaruh amat positif tehadap perilaku pemiliknya.
Menurut Isa Abduh dan Ahmad Ismail Yahya, ada tiga cara untuk mewujudkan kinerja
yang baik, yaitu:
Islam mewajibkan setiap umatnya bekerja untuk mencari rezeki dan pendapatan bagi
menyara hidupnya. Islam memberi berbagai-bagai kemudahan hidup dan jalan-jalan
mendapatkan rezeki di bumi Allah yang penuh dengan segala nikmat ini. Firman-Nya
bermaksud:
"Dan sesungguhnya Kami telah menetapkan kamu (dan memberi kuasa) di bumi dan Kami
jadikan untuk kamu padanya (berbagai-bagai jalan) penghidupan." (al-A'raf: 168)
Dan firman-Nya lagi bermaksud:
"Dialah yang menjadikan bumi bagi kamu mudah digunakan, maka berjalanlah di merata-rata
ceruk rantaunnya, serta makanlah dari rezeki yang dikurniakan Allah dan kepada-Nya jualah
dibangkitkan hidup semula." (al-Mulk: 15)
Islam memerintahkan umatnya mencari rezeki yang halal kerana pekerjaan itu adalah
bagi memelihara maruah dan kehormatan manusia. Firman Allah bermaksud:
"Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di muka bumi yang halal lagi baik". (alBaqarah: 168)
Sabda Nabi (s.a.w) bermaksud: "Mencari kerja halal itu wajib atas setiap orang Islam."
Oleh yang demikian Islam mencela kerja meminta-minta atau mengharapkan pertolongan
orang lain kerana ianya boleh merendahkan harga diri atau maruah. Dalam sebuah hadis
Rasulullah (s.a.w) bermaksud:
"Bahawa sesungguhnya seseorang kamu pergi mengambil seutas tali kemudian mengikat
seberkas kayu api lalu menjualnya hingga dengan sebab itu ia dapat memelihara harga dirinya,
adalah lebih baik daripada ia pergi meminta-minta kepada orang sama ada mereka
rnemberinya atau menolaknya."
"Belilah makanan untuk keluargamu dengan satu dirham manakala satu dirham lagi belikanlah
sebilah kapak". Kemudian Rasulullah (s.a.w) meminta lelaki itu datang lagi, lalu lelaki itupun
datang dan baginda telah membubuhkan hulu kapak itu dan menyuruh lelaki itu pergi mencari
kayu api sambil baginda mengatakan kepada lelaki itu supaya lelaki itu tidak akan berjumpa lagi
dalam masa 15 hari. Lelaki itu pergi dan kembali lagi selepas 15 hari sambil membawa datang 10
dirham, lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, Allah telah memberkati saya pada kerja yang tuan
suruh saya itu." Maka baginda Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Itu adalah lebih baik daripada anda
datang pada hari kiamat kelak sedang pada muka anda bertanda kerana meminta-minta.
Berdasarkan kepada banyak hadis mengenai perkara ini, para ulama membuat
kesimpulan bahawa larangan meminta-minta itu bukanlah sekadar perintah bersifat akhlak sahaja
bahkan orang yang menjadikan kerja meminta-minta itu sebagai "profesion", hendaklah
dikenakan hukuman yang berpatutan.
seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa. Adapun etos kerja menurut arti yang
bertolak belakang dari etika, yaitu moralitas dan kebajikan dalam bekerja, ia dapat dijabarkan
dalam bentuk kode etik sebagai code of conduct. Kode etik inilah kemudian menjelma menjadi
etika kerja, etika profesi, atau kerja sebagai kearifan sikap dalam bekerja.
Nabi Muhammad bersabda: Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, mulailah
orang yang wajib kamu nafkahi, sebaik-baik sedekah dari orang yang tidak mampu (di luar
kecukupan), barang siapa yang memeliharanya, barang siapa yang mencari kecukupan maka
akan dicukupi oleh Allah.
Maksud hadits tersebut tidak berarti bahwa memperbolehkan meminta-minta, tetapi
memotivasi agar seorang muslim mau berusaha dengan keras agar dapat menjadi tangan di atas,
yaitu orang yang mampu membantu dan memberi sesuatu pada orang lain dari hasil jerih
payahnya.([8]) Seorang akan dapat membantu sesame apabila dirinya telah berkecukupan. Seorang
dikatakan berkecukupan jika ia mempunyai penghasilan yang lebih. Seseorang akan mendapat
penghasilan lebih jika berusaha keras dan baik. Karena dalam bekerja harus disertai etos kerja
tinggi.
Islam mencela orang yang mampu bekerja dan memiliki badan yang sehat tetapi tidak
mau berusaha keras. Seorang muslim harus dapat memanfaatkan karunia yang diberikan Allah
yang berupa kekuatan dan kemampuan diri untuk bekal hidup layak di dunia-akhirat. Etos kerja
yang tinggi merupakan cerminan diri seorang muslim.
Keterangan: paradigma terbentuknya etos kerja islami. Kerja islami terpancar dari sistem
keimanan/aqidah islam berkenaan dengan kerja. Aqidah itu terbentuk oleh ajaran wahyu dan akal
yang bekerjasama secara proporsional menurut fungsi masing-masing.
Persamaan dan perbedaan etos non-agama dan etos islam
Dengan mencermati pembahasan sebelum dan sesudahnya, dapat ditangkap adanya
persamaan dan perbedaan mendasar antara keduanya.
a.
Persamaan:
Etos kerja non agama dan etos kerja kerja islami sama-sama berupa karakter dan kebiasaan
berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya
Keduanya sama-sama timbul karena motivasi.
Motivasi keduanya sama-sama didorong dan dipengaruhi oleh sikap hidup yang mendasar
terhadap kerja.
Keduanya sama-sama dipengaruhi secara dinamis dan manusiawi oleh berbagai faktor intern
timbul
dari
hasil
kerja
akal di
sini
identik
dengan
sistem
dan/pandangan
hidup/nilai-nilai
dianut
bertolak
(tidak
dari
keagamaan tertentu)
proporsional.
Akal
berfungsi
muncul
dari
akal
alat.
dan Motivasi berangkat dari niat beribadah
berdasarkan
dan/pandangan
hidup/nilai-nilai
dianut.
kehidupan ukhrowi.
akal Etika kerja berdasarkan
keimanan
aqidah
islam
sehubungan
dengan kerja.
Dengan demikian, etos kerja islami terbentuk karena adanya banyak faktor, baik faktor
internal maunpun eksternal, sehingga tidak lah mungkin etos kerja muncul secara murni oleh
salah satu faktor saja. Beberapa faktor tersebut muncul dalam satu kesatuan yang tidak berdiri
sendiri-sendiri. Kesatuan demikian dapat digambarkan sebagai berikut:[9]
Di antara faktor-faktor tersebut mungkin ada yang berperan lebih besar dibandingkan
dengan yang lainnya, dan ada pula yang peranannya lebih kecil. Namun, masing-masing tidak
dapat berdiri sendiri. Dari faktor-faktor itu, muncullah pengaruh yang bersifat positif atau
negatif, internal atau eksternal.
Berkenaan dengan niat tersebut, seorang muslim hendaknya melandasi niat dari setiap amalnya
dengan berharap mendapatkan ridho dari Allah. Kerja berlandaskan niat beribadah hanya kepada
Allah adalah salah satu karakteristik penting etos kerja islami yang tergali dan timbul dari
aqidah.
2. Kerja Dilandasi Ilmu
Pengertian akal umumnya mencakup kerja otak dan kerja qalb dalam rangka memahami
sesuatu. Akal diciptakan dengan tujuan sebagai alat pemaham manusia. Dengan kepahaman yang
dimiliki, manusia akan mampu mewujudkan kehidupan yang benar di dunia ini.
Manusia menjadi lain daripada yang lain karena ia mempunyai akal dan kehendak bebas.
Dengan potensi akal, ilmu pengetahuan dan nafsu yang dikaruniakan Tuhan, manusia memang
menjadi lebih potensial untuk menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Dari penjabaran di atas, dapat ditemukan hal yang bersifat tegas dalam menguraikan peran
ilmu dalam etos kerja, yaitu:
Bahwasanya sumber ilmu yang mendasari etos kerja islami adalah wahyu dan keteraturan
Orang beretos kerja islami menyadari bahwa potensi yang dikaruniakan dan dapat
dihubungkan dengan sifat-sifat Ilahi pada dasrnya merupakan amanah yang harus ditunaikan
dengan bertanggung jawab sesuai dengan syariat islam.
sifat
pekerjaan
Tuhan
(baca:
Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan mencapai
standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal.
Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan
ilmunya dan tetap berlatih. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat
dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan
sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin.
dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. (al-Quran Surat Al-Najm ayat 39).
Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas
seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah istifragh ma fil wusi, yakni mengerahkan
segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat
juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah
SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia
sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka
melaksanakan apa yang Allah ridhai. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah
apa yang ada pada dirinya. (al-Quran Surat Ar-Radu ayat 11).
Berkompetisi dan Tolong-menolong
Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih.
Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qurani yang bersifat amar atau
perintah, seperti fastabiqul khairat (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah
serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau
mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (taawun).
Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan selalu
melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam.
Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja
dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan
waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terusmenerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
Disiplin atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap
moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap
bertanggungjawab terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara
umum, dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah
bagian dari dasar pentingnya sikap amanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup
seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa
dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia. Untuk menepati
amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan
dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga
menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang
dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik,
jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata.
Orang atau lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan
sekaligus akan mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada
hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
Percaya diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka,
karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak
pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki
yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri
merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama
Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau
mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau
tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan urf
(kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk
berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal.
Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau bakhil.
Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku yang berada antara
sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat
tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan
sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat.
264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang kafir (Al-Baqoroh: 264).
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar
utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya.
Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan
membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut
sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi
pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah
atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT.
Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka
bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta
tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan
harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu
mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu
tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut :
(1) Ikhlas menerima takdir
Bertolak dari kerelaan terhadap takdir, (setelah berusaha sungguh-sungguh) orang beriman
dapat menerima kenyataan dengan hati lebih ikhlas dan istiqomah. Semangat kerjanya menjadi
lebih stabil dan segar. Bila seseorang bekerja didukung oleh kesadaran bahwa kerja itu
merupakan karunia bernilai ibadah dan menghasilkan sesuatu yang diharapkan bersifat duniawi
dn ukhrawi, niscaya akan melahirkan makna tersendiri bagi hidup dan kehidupan orang
bersangkutan.
Sehubungan dengan bagaimana cara mnsikapi takdir, Rasul Saw bersabda: Antusiaslah
terhadap apa saja yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan
sekali-kali kamu bersikap lemah. Kalau mengalami kejadian yang merupakan musibah, kamu
tidak usah berkata, andaikata aku dulu melakukan begini begitu, yang terjadi tentu begini
begitu. Tetapi berkatalah, apa yang terjadi merupakan takdir Allah. Dia berbuat
sekehendaknya. Sesungguhnyalah berandai-andai akan membuka peluang bagi perbuatan
setan.([12])
Hadits di atas menyiratkan ajaran agar orang beriman tetap antusias melakukan apa saja yang
bermanfaat dalam berbagai keadaan, termasuk ketika dihadapkan pada situasi atau kejadian yang
tidak menyenangkan. Menyerahkan segala persoalan di luar kemampuan kepada Allah
merupakan solusi yang menyebabkan hati orang bersangkutan menjadi lebih ikhlas, lapang, dan
nyaman sehingga menuntun batin menuju keridhaan kepada Allah.
(2) Menegakkan proporsionalitas
Keunikan ajaran islam dalam hidup giat bekerja terletak pada pola hidup berkeseimbangan
yang diajarkannya.([13]) Jika inner wordly ascestism yang mendorong kerja giat para penganut
ajaran Protestan menurut weber adalah panggilan untuk menjadi orang terpilih oleh Tuhan,
maka kemutlakan islami pada setiap muslim dan muslimah ialah untuk berusaha melaksanakan
ajaran Islam secara kaffah, simultan dan proporsional, baik dalam mengerjakan ibadah mahdah
maupun ibadah dalam arti menunaikan aktivitas keduniaan. Ketidak seimbangan atau tidak adil
dalam dua jalur hubungan tersebut tidak etis dan akan mengakibatkan Zillah kerendahan,
kehinaan atau kekalahan bagi umat bersangkutan.
Etos kerja islami, proporsional bisa diterapkan oleh manusia dalam seluruh aktivitasnya, baik
pada aktivitas keduniaan maupun ubudiyah formal. Dengan kesadaran dan semangat yang sama,
bertolak dari niat ibadah dan mencari rida Allah. Dengan demikian, orang yang beretos kerja
islami di samping giat dalam altivitas duniawi dia tentu giat pula menunaikan shalat, puasa dan
rukun islam dan amalan-amalan sunnah lainnya.
Berkenaan dengan masalah hukum dan norma-norma agama, ternyata dalam perspektif islam
ditemukan kerja yang masyru, diperkenankan bahkan didiorong untuk mengamalkannya.
Namun di samping itu terdapat kerja yang ghairu masyru, hukumnya tidak diperkenankan atau
dilarang. Dalam hal ini mesti dikembangkan sikap-sikap dan perilaku yang bertolak dari ketaatan
terhadap norma-norma Ilahi sehubungan dengan kerja.
Kerja masyru misalnya berdagang bila dibarengi dengan kejujuran, keikhlasan, menjaga
amanah, dan bersih akan mendatangkan berkah dari pekerjaan yang telah ia lakukan. Sedangkan
kerja ghairu masyru adalah menimbun barang dagangan, merampas hak orang lain, mencuri, dan
pekerjaan-pekerjaan yang mengandung zulm lainnya.
Kalau penjelasan dan uraian di taas dianalisis secara cermat, akan tampak esensi
persoalannya bahwa masyru dan tidak masyrunya pekerjaan ditentukan oleh:
- Latihan berkonsentrasi
- Perlunya beristirahat
6. Bekerja adalah sebuah panggilan Tuhan
Aspek Kecerdasan yang Perlu Dibina dalam Diri, untuk Meningkatkan Etos Kerja :
1. Kesadaran : keadaan mengerti akan pekerjaanya.
2. Semangat : keinginan untuk bekerja.
3. Kemauan : apa yang diinginkan atau keinginan, kehendak dalam bekerja.
4. Komitmen : perjanjian untuk melaksanakan pekerjaan (janji dalam bekerja).
5. Inisiatif : usaha mula-mula, prakarsa dalam bekerja.
6. Produktif : banyak menghasilkan sesuatu bagi perusahaan.
7. Peningkatan : proses, cara atau perbuatan meningkatkan usaha, kegiatan dan sebagainya dalam
bekerja.
8. Wawasan : konsepsi atau cara pandang tentang bekerja
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah
ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja.
Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap
kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian
besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini rela
mencium tangan Saad bin Muadz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW,
dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan
mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para
sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah;
teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka
beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah
SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam
hidupnya.
Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu : Pertama, Sebagai Rasul.
Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah
menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari
6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang
memutuskan berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua, Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala
memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik negara-negara
sahabat. Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan
kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
Ketiga, Sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin
pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih
dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik,
keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik,
membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap para istri beliau, tujuh
anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap
keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri
bajunya.
Kelima, Sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah
mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan,
dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis
Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam
perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship
Rasulullah SAW terbukti dengan terpikatnya konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid,
yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad
Sebagai Seorang Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam
perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai
mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah kenyataan bila Rasulullah
SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang
terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan
beliau sebagai orang yang paling berpengaruh.
Rahasia Kesuksesan Karier dan Pekerjaan Rasulullah SAW
1. Pertama, Rasul selalu bekerja dengan terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau
bersabda, Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka
hendaklah meningkatkan kualitasnya.
2. Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang
jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
3. Ketiga, Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. Barang siapa yang
dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu
kapan kebaikan ditutup darinya. Demikian Beliau bersabda.
4.
Keempat, dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah
sosok yang
5. Kelima, Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan
berkualitas.
6. Keenam, Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid
yang percaya pada cita-cita bersama.
7. Ketujuh, Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun
waktu, kecuali menjadi
8. Kedelapan, tentunya ada nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah
SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan
untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah
kunci terpenting.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kerja merupakan perkara yang mubah untuk dilakukan. Namun akan berbeda-beda
hukum yang muncul berdasrkan niat dari mengerjakan pekerjaan tersebut. Bekerja dengan
sungguh-sungguh adalah anjuran yang ditujukan untuk pribadi muslim karena seyogyanya islam
tidak menyukai umat yang bermalas-malasan dan menganggur.
Etos kerja merupakan semangat untuk bekerja. Bekerja itu sendiri merupakan melakukan
usaha kegiatan untuk mencapai tujuan. Etos kerja diperlukan dalam melaksanakan suatu
pekerjaan karena dengan etos kerja, seseorang akan lebih baik dalam bekerjanya. Etos kerja tidak
hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja. Namun banyak faktor yang menjadi penentu etos dalam
bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Ilfi, Nur Diana. 2008. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: Uin-Malng Press (Anggota IKAPI).
Asifudin, A. Janan. 2004. Etos Kerja Islami. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan al-Quran, Jakarta : Mizan.
Asnan SyafiI Wagino, Menabur Mutiara Hikmah, Jakarta : Mizan