Anda di halaman 1dari 11

MACAM-MACAM TRAUMA THORAKS DAN PENANGANAN DEFINITIF DENGAN

PEMASANGAN CHEST TUBE


Dipresentasikan pada Initial Management on Emergency Cases (IMEC) 2015
Sigit Jatmika
ANATOMI DAN FISIOLOGI THORAKS
Thoraks adalah bagian atas batang tubuh yang terletak antara leher dan abdomen. Cavitas
Thoracis yang dibatasi oleh dinding thoraks, berisi thymus, jantung (cor), paru-paru (pulmo), bagian
distal trachea dan bagian besar oesophagus. Dinding thoraks terdiri atas kulit, fascia, saraf, otot dan
tulang. Kerangka dinding thoraks membentuk sangkar dada osteokartilagenous yang melindungi
jantung, paru-paru, dan beberapa organ abdomen.1

Gambar 1. Gambaran rongga thoraks, pleura, dan paru serta garis khayal pada daerah dada (Sumber:
CURRENT Diagnosis and Treatment Surgery, 13th Edition)2

Dinding dada merupakan rongga yang kedap udara,dan berbentuk cone-shaped. Ventilasi paru
terjadi akibat adanya tekanan negatif di dalam rongga dada yang berekspansi secara simultan oleh
karena tarikan antara tulang rusuk dan diafragma yang tertarik ke arah bawah. Dinding thorax bagian
ventral merupakan bagian yang terpendek dan meluas dari bagian suprasternal notch ke xyphoideus
dengan jarak sekitar 18 cm pada orang dewasa secara umum. Bagian ini dibentuk oleh manubrium,
tulang dada, dan proses xifoideus. Tujuh pasang tulang rusuk pertama melekat langsung dengan bagian
sternum, tiga pasang berikutnya terhubung ke batas bawah tulang rusuk sebelumnya, dan dua terakhir
berakhir di dinding perut (melayang).1
Sisi-sisi dinding dada terdiri dari sepuluh tulang rusuk. Dinding dada posterior dibentuk oleh 12
tulang vertebra toraks, proses transversus, dan 12 tulang rusuk. Bagian ventral atas dinding dada
1

ditutupi oleh klavikula dan pembuluh darah subklavikula. Bagian lateral, dibatasi oleh bahu dan
pembuluh darah serta saraf aksila. Bagian dorsal tertutup oleh sebagian tulang skapula.2
Aliran darah dan persarafan dari dinding dada melalui pembuluh darah dan saraf inerkostalis,
sedangkan bagian atas torax menerima aliran darah dan persarafan dari bagian servikal dan region
axila. Bagian sisi bawah dari sternum di vaskularisasi oleh cabang arteri toracikus interna, yang
beranastomose dengan pembeluh darah intercostal di sepanjang bagian lateral dinding dada.2
Terdapat dua pleura yaitu pleura parietal merupakan lapisan terdalam dari dinding dada yang
dibagi menjadi empat bagian: pleura servikal (cupula), pleura kosta, pleura mediastinum, dan pleura
diafragma. Pleura visceral adalah lapisan mesodermal yang melekat pada bagian paru-paru. Rongga
pleura normalnya hanya berisi beberapa mililiter cairan serosa. Namun, ruang ini dapat membesar jika
produksi cairan menjadi berlebihan baik itu karena penumpukan cairan (hydrothorax), darah
(hemothorax), nanah (pyothorax atau empiema), cairan limfatik (chyclothorax), atau udara
(pneumotoraks).2

Gambar 2. (A) Gambaran rongga thoraks pada potongan melintang, dan (B) Aliran saraf, dan pembuluh darah
interkostalis (Sumber: CURRENT Diagnosis and Treatment Surgery, 13th Edition)2

Tekanan rongga pleura biasanya negatif, yang diakibatkan oleh karena kekuatan yang
berlawanan dari elastisitas paru-paru dan perluasan aktif dari ruang dengan dinding dada. Selama
keadaan tenang, tekanan pleura saat respirasi bervariasi, yaitu saat inspirasi -15 cmH2O dan 0 - 2
cmH2O pada saat ekspirasi. Pernafasan dalam menyebabkan perubahan tekanan yang besar yaitu -60
cmH2O, kemudian pada ekspirasi paksa menjadi +30 cmH2O. Karena gravitasi, tekanan pleura pada
2

apex lebih negative terutama ketika tubuh berdiri, dan terjadi perubahan sekitar 0,2 cmH2O/sentimeter
setiap penambahan tinggi.2,3
Penyerapan cairan pada rongga pleura tergantung pada persamaan hukum starling, yang terdiri
atas tekanan hidrostatik, koloid, dan tekanan jaringan yang berperan pada permeabilitas membran
pleura. Normalnya, cairan dibentuk oleh pleura parietal dan diserap kembali oleh pleura visceral.
Tekanan hisrostatik kapiler sistemik adalah 30 cmH2O, dan tekanan negatif intrapleural rata-rata -5
cmH2O. Bersama-sama memberikan tekanan hidrostatik bersih 35 cmH2O yang menyebabkan
transudasi cairan dari pleura parietal. Sedangkan tekanan osmotik koloid kapiler sistemik adalah 34
cmH2O dan tekanan osmotic kavum pleura ialah 8 cmH2O, sehingga tekanan osmotic bersih yang
digunakan untuk menarik cairan kembali ke kapiler sistemik ialah 26 cmH2O. Tekanan hidrostatik
sistemik (35 cmH2O) lebih besar dari tekanan osmotik kapiler (26 cmH2O) sehingga dapat menarik
cairan kembali ke kapiler sistemik.2
ANATOMI MEDIASTINUM
Mediastinum adalah suatu kompartemen yang terletak diantara rongga pleura. Memanjang
kearah anterior dari suprasternal notch menuju proses xifoideus. Bagian posterior berasal dari vertebra
toraks ke-1 hingga ke-11. Dibagian superior, berbatasan dengan fascial planes region leher, dan bagian
inferior mediastinum dibatasi oleh diafragma.2

Gambar 3. Klasifikasi Burkell: Mediastinum anterior, mediastinum tengah, dan mediastinum posterior
(Sumber: CURRENT Diagnosis and Treatment Surgery, 13th Edition)2

Menurut klasifikasi burkel, bagian mediastinum anterior terdiri atas kelenjar thymus,
limfonodi, asending aorta, transvers aorta, pembuluh darah besar, dan jaringan areolar. Pada
3

mediastinum bagian tengah terdiri atas jantung, pericardium, trakea, hilus, nervvus frenikus, limfonodi,
dan jaringan areolar. Sedangkan pada mediastinum posterior terdiri atas nervus vagus, saraf simpatis,
esophagus, duktus toracikus, desending aorta, dan limfonodi.2
INSIDENSI
Trauma torak semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Di Amerika Serikat didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma. 25 %
diantaranya karena trauma torak langsung, sedangkan 5 % lagi merupakan trauma torak tak langsung
atau penyerta.4
Sedangkan kejadian di Indonesia yang dikutip dari Jurnal Cardiothoracic Surgery didapatkan
kasus trauma toraks selama 26 tahun sebanyak 432.639 pasien yang datang ke IGD, sekitar 3473
merupakan kasus trauma toraks yang terdiri atas 2.949 pasien laki-laki, dan 524 pasien perempuan,
dengan usia tertua berumur 90 tahun akibat kasus kecelakaan, dan yang termuda dengan usia 2 bulan
akibat kekerasan dalam rumah tangga. Dari keseluruhan data yang tercatat, sekitar 2.536 pasien
(73.02%) akibat kecelakaan lalu-lintas, 625 pasien (17.99%) akibat kasus kriminalitas, 214 pasien
(6.17%) merupakan kecelakaan yang tidak terduga, siasanya yaitu 98 pasien (2.82%) merupakan
korban kekerasan dalam rumah tangga. Dari total kasus yang tercatat, sekitar 53.51% ditatalaksanai
dengan tindakan operasi, 41.51% melalui intra-torakal drainase, dan 4.98% lainnya melalui eksplorasi
torakostomi.4
JENIS TRAUMA THORAKS
Ada beberapa cedera yang terjadi akibat trauma thoraks, baik disebabkan oleh trauma tumpul
atau tajam yang berpotensi mengancam nyawa, antara lain:5
1. Simple Pneumothoraks
Simple pneumotoraks terjadi akibat adanya udara pleura yang masuk dalam ruang
potensial antara pleura viseralis dab parietalis, baik yang diakibatkan oleh trauma tembus
ataupun tidak tembus. Toraks pada kondisi normal terisi oleh paru hingga ke dinding toraks
akibat tegangan permukaan antara permukaan pleura.Ketika terjadi kebocoran udara akibat
laserasi paru menyebabkan udara dalam ruang pleura menjadi bertambah sehingga mendesak
tekanan kohesi antara pleura viseralis dan parietalis yang mengakibatkan paru kolaps. Defek
ventilasi/perfusi dapat terjadi akibat darah yang memvaskularisasi area non ventilasi tidak
mendapat vaskulrarisasi. Gejala klinis yang didapatkan berupa suara nafas yang akan menurun
pada sisi yang sakit, dan pada pemeriksaan perkusi didapatkan hipersonor.
4

Gambar 4. Gambaran paru pada simple pneumothoraks (Sumber: ATLS Student Course Manual 8th ed.
Chapter 4: Trauma of Thorax)5

2. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks terjadi akibat kebocoran udara yang disebabkan oleh oneway-valve baik itu melalui paru atau melalui dinding toraks. Udara yang terdorong masuk ke
dalam rongga toraks terperangkap sehingga memicu paru untuk kolaps menyebabkan
mediastinum terdorong ke sisi yang sehat dan terjadi penurunan aliran darah balik vena yang
bermanifestasi sebagai nyeri dada, air hunger, distress nafas, takikardia, hipotensi, devaiasi
trakea, hilangnya suara nafas pada salah satu paru, distensi vena jugularis, dan sianosis sebagai
manifestasi lanjut. Tension pneumotoraks dapat merupakan komplikasi dari simple
pneumotoraks pasca trauma tumpul ataupun trauma tembus yang terjadi akibat defek yang
memicu terjadinya mekanisme flap-valve. Hal ini mencerminkan kondisi udara di dibawah
tekanan dalam ruang pleura.

Gambar 5. Gambaran paru pada tension pneumothoraks (Sumber: ATLS Student Course Manual 8th ed. Chapter
4: Trauma of Thorax)5
5

3. Open Pneumothoraks

Gambar 6. Gambaran paru pada open pneumothoraks (Sumber: ATLS Student Course Manual 8th ed. Chapter
4: Trauma of Thorax)5

Open pneumotoraks terjadi akibat defek besar pada dinding toraks yang tetap terbuka.
Hal ini terjadi akibat lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga dari diameter trakea.
Karena udara cendereung mengalir ke lokasi yang bertekanan lebih rendah, maka udara akan
mengalir melalui defek dinding toraks setiap melakukan inspirasi, pada akhirnya akan
menyebabkan tercapainya keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer. Hal ini
menyebabkan ventilasi efektif terganggu sehingga memicu terjadinya hipoksia dan hiperkarbia.
4. Flail Chest dan Kontusio Paru

Gambar 7. Gambaran paru pada Flail Chest (Sumber: ATLS Student Course Manual 8th ed. Chapter 4:
Trauma of Thorax)5

Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding thoraks tidak memiliki kontinuitas tulang
sehingga terjadi defek pada thoracic cage. Kondisi ini terjadi akibat trauma terkait fraktur
costae multipel, yaitu 2 atau lebih tulang iga mengalami fraktur pada dua tempat atau lebih.
Adanya segmen flail chest ini menyebabkan gerakan paradoksal dada pada saat inspirasi dan
6

ekspirasi, namun defek ini tidak menyebabkan gangguan apabila tidak trauma yang terjadi
tidak bermakna. Jika trauma yang mengenai cukup bermakna maka akan menyebabkan
tampakan klinis berupa nyeri, hipoksia, pernafasan asimetris, dan gerakan paradoksal. Pada
palpasi juga sering didapatkan krepitasi iga atau fraktur kartilago.
5. Hemotoraks
Hemotorak terjadi oleh karena terdapat laserasi paru atau robekan pada pembuluh
darah

intercostal

atau

mammaria

interna akibat adanya trauma tembus


ataupu trauma tumpul. Hemotoraks
dikatakan

massif

jika

akumulasi

perdarahan > 1500 ml atau lebih dari


sepertiga volume darah pasien yang
berada pada rongga toraks. Akumulasi
darah yang terdapat pada rongga toraks
menyebabkan
Gambar 8. Gambaran paru pada Hemothoraks
(Sumber: ATLS Student Course Manual 8th ed.
Chapter 4: Trauma of Thorax)5

pernafasan

gangguan

upaya

akibat penekanan paru.

Selain itu pasien dengan hemotoraks

akan didapatkan hipoksia, vena jugularis yang datar akibat hipovolemia, dan suara nafas yang menurun
hingga menghilang. Tidak jarang juga didapatkan tension pneumotoraks jika akumulasi cairan sudah
mendesak mediastinum.
CHEST DRAIN
Chest Drain merupakan sebuah tube atau selang yang dimasukan ke dinding dada melewati
interkosta menuju kavum pleura yang bertujuan untuk mengevakuasi udara (pneumothoraks), darah
(hemotoraks), cairan (efusi pleura) atau pus (empyema) yang terperangkap dalam rongga toraks. Hal
ini membutuhkan kerjasama dengan pasien untuk mendapatkan efektivitas drainase yang adekuat
dengan cara mempertahankan posisi tube, sehingga dapat membantu mengembalikan fungsi
hemodinamik dan respirasi pasien.

Pemasangan WSD diindikasikan pada pasien baik dalam keadaan emergensi ataupun tidak.
Hal-hal tersebut antara lain:7

Tabel 1. Indikasi pemasangan Chest Tube (Sumber: The New England Journal of Medicine, Ed. 357:15)7

WSD merupakan terapi definitive dari gangguan yang terjadi pada trauma thoraks, contohnya
pada pneumothoraks, hemotoraks, tension pneumothoraks, simple pneumothoraks, dan open
pneumothoraks. Tidak ada kontraindikasi mutlak yang menjelaskan dalam pemasangan chest tubeWSD ini. Adapun kontraindikasi relative ialah apabila terdapat gangguan koagulopatif. Namun hal ini
dapat ditangani dengan pemberian faktor pembekuan.7
Dalam memasang chest tube dengan WSD hal-hal yang perlu diperhatikan ialah sterilitas dan
persiapan dari alat yang perlu dipersiapkan, antara lain: scalpel no. 11 dan beberapa deseksi instrument
seperti Kelly klem atau klem arteri, spuit 10 cc dan 20 cc, lidokainn, gunting, benang non absorbable,
jarum lengkungukuan 1.0 atau dapat digunakan yang lebih besar, dan chest tube. Penggunaan chest
tube sendiri sesuai dengan indikasi yang dijelaskan pada tabel dibawah ini:7

Tabel 2. Ukuran chest tube menurut indikasi pemasangan chest tube (Sumber: The New England Journal of
Medicine, Ed. 357:15)7
8

Langkah-langkah pemasangan chest tube antara lain:5

Gambar 9. (A) Menentukan posisi pemasangan chest tube, (B) melakukan diseksi, (C) arah diseksi (Sumber:
The New England Journal of Medicine, Ed. 357:15)7

1. Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi papilla mammae (sela iga V) pada daerah anterior
linea midaksilaris pada dada yang terkena.
2. Siapkan area pembedahan dan tempat insersi dengan povidone iodine kemudian mempersempit
area dengan menggunakan duk lubang steril.
3. Anestesi lokal kulit dan periosteum iga.
4. Lakukan insisi secara transversal/horizontal yaitu kira-kira 2-3 cm pada tempat yang telah
ditentukan, kemudian diseksi tumpul melalui jaringan subkutan tepat diatas iga.
5. Tusuk pleura parietal dengan klem dan masukkan jari ke dalam tempat insisi untuk mencegah
melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan serta bekuan darah.
6. Klem ujung proksimal tube torakostomi dan dorong tube ke dalam rongga pleura kearah
superior-posterior.
7. Lihat tanda fogging pada chest tube saat ekspirasi yang menandakan bahwa chest tube telah
berada pada posisi rongga thoraks.
8. Sambung ujung chest tube torakostomi ke WSD dan atur tekanan WSD (jika menggunakan
alat) sebesar -20 mmH2O.
9. Jahit tube di tempatnya untuk fiksasi dengan menggunakan benang 1.0 atau 2.0 non absorbable.
10. Tutup dengan kain/kasa dan plester.
11. Lakukan foto rontgen thoraks untuk mengkonfirmasi posisi chest tube dan keadaan rongga
thoraks.

12. Lakukan pemeriksaan lain berupa analisa gas darah, atau pasang pulse oxymeter sesuai dengan
kebutuhan pemeriksa.
Sedangkan indikasi dilakukan pencabutan chest tube tergantung dari tujuan awal atau alasan
dilakukan pemsangan chest tube. Seperti pada pneumothoraks jika gelembung udara sudah tidak
didapatkan, dan pada pemeriksaan radiologi paru-paru telah mengembang sempurna maka dapat
dilakukan pelepasan chest tube. Selain itu, praktisi melakukan observasi selama 12-24 jam dengan cara
melakukan klem pada tube setelah observasi terakhir untuk memastikan tidak ada kebocoran udara dan
paru-paru tetap mengembang sebelum chest tube dilepas. Jika indikasi pemsangan awal oleh karena
cairan, maka jika produksi cairan < 200 cc/24 jam, dan cairan berbentuk serous, paru-paru
mengembang sempurna pada pemeriksaan radiologi, keadaan klinis membaik maka ini juga
merupakan salah satu indikasi dari pelepasan chest tube.6,7
Langkah-langkah melakukan pelepasan chest tube:7
1. Siapkan alat berupa gunting, benang 2.0 beserta jarum jika diperlukan tambahan jahitan untuk
menutup luka pasca pemasngan chest tube.
2. Lakukan tindakan secara asepsis dan steril.
3. Potong benang yang memfiksasi chest tube pada kulit.
4. Instruksikan pasien untuk bernafas spontan dan melakukan valsava maneuver atau menarik
nafas yang panjang setelah ekspirasi maksimal.
5. Cabut chest tube pada akhir ekspirasi secara cepat.
6. Jahit luka pasca pemasangan chest tube jika diperlukan.
7. 12-24 jam setelah pelepasan, lakukan foto rontgen thoraks untuk mengevaluasi expansi paru.

10

DAFTAR PUSTAKA:
1. Keith L Moore, Anne M R Agur. 2002. Essential Clinical Anatomy. Section 2: Thorax. Pp. 3244. William and Wilkins: United States.
2. Doherty G. 2009. Chapter 18th: Thoracic Wall, Pleura, Mediastinum, and Lung. CURRENT
Diagnosis and Treatment Surgery, 13th Edition. Pp. 291-99. Lange, MC Graw Hill: United
States.
3. Charles F, et al. 2010. Schwartzs Principles of Surgery 9th Ed. Chapter 19th: Chest Wall, Lung,
Mediastinum, and Pleura, Pp. 519-26. Mc Graw Hill: New York.
4. Puruhito, et al. 2013. A Retrospective study of the management of thoracic injury in Surabaya,
Indonesia: twenty-six years experiences (1987-2012). Journal of Cardiothoracic Surgery ed 23rd
pp. 40. World Congress: Croatia.
5. Advanced Trauma Life Support. 2008. ATLS Student Course Manual 8th ed. Chapter 4:
Trauma of Thorax, Pp. 98-115. American College of Surgeons Committee on Trauma: United
States.
6. NHS. 2009. Guidelines for the insertion and management of Chest Drains. Doncaster and
Bassetlaw Hospitals, version 1, Pp. 3-13. NHS Foundation Trust: United States.
7. Shelly P, et al. 2007. Chest Tube Insertion. The New England Journal of Medicine, Ed. 357:15,
Pp. 15-18. NEJM: England.

11

Anda mungkin juga menyukai