Anda di halaman 1dari 4

Parahyangan Concursos Corales: Secukupnya Menawan

Paduan Suara Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (PSM Unpar)


kembali mempersembahkan rangkaian acara menarik bertajuk Concursos
Corales, sebuah program prakompetisi yang diselenggarakan untuk
mempersiapkan beberapa anggota PSM terpilih di dua kompetisi di Eropa
pada bulan Juli ini, yaitu Bla Bartk 27th International Choir Competition and
Folklore Festival di Hongaria dan The 62nd International Choral Contest
Habaneras and Polyphony di Spanyol.
Di tengah bulan puasa ini, saya berkesempatan menghadiri konser
Concursos Corales yang diadakan di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, dan
saya pun ingin mengikuti perkembangan PSM Unpar di bawah kepemimpinan
Ivan Yohan, konduktor Indonesia yang sejak lama mengharumkan nama
Indonesia dengan keterlibatannya di kancah paduan suara dunia yang bisa
dikatakan sangat kompetitif. Sebelumnya saya pernah mengulas konser PSM
Unpar tahun lalu bertajuk Parahyangan Heritage, dan hingga sekarang masih
menoreh kesan mendalam bagi saya.
Walaupun demikian, terasa PSM-Unpar belum mengunjukkan keterampilan
mereka sepenuhnya pada konser Concursos Corales ini lantaran suara-suara
yang belum selaras (out of tune); pelafalan bahasa asing yang masih
terdengar kaku, terutama karya-karya berbahasa Prancis; dan belum ada
rasa kebersamaan yang kuat antara suara-suara. Namun saya pun harus
mengakui bahwa PSM-Unpar sangatlah unggul dalam kecerdasan
musikalitas. Tidak terhabiskan ide musikal yang kreatif dan meyakinkan dari
geliat tubuh Ivan Yohan, konduktor yang pada awal tahun 2016 juga
mendirikan Swara Vocal Ensemble di Belgia.
Konser ini dibagi dalam dua bagian besar. Tiap babak dimulai dengan
penampilan dari anggota-anggota yang tergabung dalam grup paduan suara
kamar (chamber choir), disusul dengan tambahan anggota-anggota lainnya
di pertengahan babak yang membentuk grup paduan suara campuran
(mixed choir). Babak pertama dibuka dengan penuh keyakinan dari PSMUnpar dengan gubahan komponis asal Hongaria Szab Barna berjudul Ye
heavy states of night, karya syahdu dan pelan yang juga melatih penyanyipenyanyi untuk saling mendengarkan, dikarenakan oleh penekanan pada
harmoni-harmoni panjang yang disonan (seperti minor secondo dan tritonus)
dan cenderung tidak beresolusi.
Berikutnya adalah lagu berjudul Aprs un rve (Ivan Yohan), karya yang
meraih penghargaan Prix pour une uvre de creation di Tours, Prancis
pada tahun 2011. Dibuka dengan dengungan bouches fermes (teknik
vokalisasi dengan merapatkan mulut), karya yang judulnya berarti setelah
sebuah mimpi secara perlahan-lahan terurai menjadi benang-benang
melodi berkelim yang menyihir penonton ke alam bernuansa eksotis.

Atmosfer yang dihasilkan sudah tepat, tetapi tidak terhindarkan nada-nada


yang fals, terutama di bagian lambat, dan keseimbangan antar suara yang
belum sempurna, terutama suara wanita yang cenderung tertutup.

Walaupun demikian, PSM-Unpar berhasil mengumpulkan fokus mereka di


lagu-lagu berikutnya yang berjudul Kyrie (Jung-Sun Park) dan Ov, lass, il bel
viso? (Morten Lauridsen). Mirip dengan lagu pembuka, Kyrie adalah lagu
yang menguji kesabaran para penyanyi dengan tempo yang lambat dan
tertahan, seolah melawan angin kuat yang mendorong dan memperlambat
langkah kaki; hasilnya adalah pembawaan yang sangat khusyuk dan indah.
Namun adakalanya penyanyi-penyanyi yang tergabung dalam satu suara
tidak masuk secara bersamaan, terutama ketika memulai kalimat baru.
Sedangkan Ov menguji kebersamaan dan fokus paduan suara karena
tempo yang silih berganti secara subito (drastis) tanpa terlalu dieja.
Pembawaan karya ini yang sangat bergairah dan penuh pesona dari PSMUnpar patut diacungkan jempol.
Kegairahan tersebut tersalurkan pada karya berikutnya, Ltoile a pleur rose
(Vajda Jnos), yang dibuka dengan tempo dan ritme menyerupai derap kuda.
Sayangnya pelafalan bahasa Prancis yang kurang meyakinkan membuat teks
sulit dipahami sehingga makna dibalik teks tersebut hilang di antara
kerumunan nada. Contohnya di kata pertama ltoile (bintang), suara (a) di
suku kata -toi- bisa lebih dibuka, dan suara schwa () di -le diberikan terlalu banyak
penekanan sehingga terdengar kaku. Liaison (z), yang merupakan suara yang khas dalam bahasa
Prancis, juga kurang berdengung di beberapa frase kunci seperti rose au dan tes oreilles.
PSM-Unpar kemudian mengangkat sebuah lagu yang juga digubah Ivan Yohan berjudul Dies
Irae, karya yang mengenang komponis-komponis terdahulu dengan mengutip melodi dari kidung
Gregorian abad ke-13 dan menggunakan motif yang menyerupai nada-nada pertama dari lagu
Confutatis Maledictis dari Requiem (Wolfgang Amadeus Mozart). Dies Irae kemudian
dilanjutkan dengan Angele Dei, gubahan komponis muda dari Medan bernama Ken Steven, yang
juga memegang posisi direktur artistik paduan suara Medan Community Male Choir. Karya ini
bisa dibilang yang lebih mudah dicerna penonton karena pemilihan harmoni yang cenderung
beraturan dan mengikuti pola tensi-resolusi yang bisa didengar dengan jelas. Pembawaan yang
pada umumnya santai tetapi ekspresif menjadikan lagu ini lagu favorit penonton dengan sorakan
yang sangat meriah pada birama terakhir.
Dua karya menggebu dan berenergi tinggi berjudul Veni (Knut Nystedt) dan Gloria Patri (Budi
Susanto Yohanes) akhirnya menutup babak pertama dengan kemeriahan yang tidak tertandingi,
dan PSM-Unpar mampu memberikan yang terbaik dengan pengeksekusian ritme yang tepat dan
penggambaran rasa mendesak yang sesuai dalam konteks lagu.

Babak kedua pun tidak kalah hebatnya dari segi substansi dan pemilihan lagu, dan secara
keseluruhan performa PSM-Unpar jauh lebih kuat di babak kedua. Dua lagu pembuka adalah
Cor Mundum (Gyrgy Orbn) dan O Magnum Mysterium (William Hawley). Saya lebih terpikat
pada O Magnum Mysterium karena penggunaan teknik canon yang geliang-geliut di antara
banyak suara. Pembawaan yang sangat legato dan berbaur dengan rapi berhasil menciptakan satu
rangkaian melodi utuh yang panjang, bagaikan perjalanan spiritual yang tidak berujung.
Kerapian paduan suara juga bisa dinikmati di beberapa karya berikutnya: Stabat Mater (Vytautas
Barkauskas) dan Negros fantasmas (Ivan Yohan). Keduanya membangun suasana urgensi
melalui penggunaan harmoni-harmoni disonan dan pergantian dinamika yang mendadak
sekaligus mengejutkan. Energi yang diberikan para penyanyi terdengar sangat nyata dan
bersemangat, dan Ivan melalui gerakan tubuhnya dengan mudah membentuk dan memanipulasi
kalimat-kalimat musik sehingga tiap kalimat mempunyai efek dan makna yang berarti.
Lagu My Poor Fool (Tams Beischer-Maty) dan Mte saule (Pteris Vasks) adalah dua karya
yang saling kontras. Yang pertama mempunyai permulaan yang berenergi dan juga meresahkan,
tetapi berakhir dengan suasana yang khidmat, seolah menyerah diri pada yang kuasa. Pelafalan
kata-kata dalam bahasa Inggris pada umumnya bisa lebih tajam, terutama pada kata-kata yang
berakhir dengan huruf konsonan seperti k dan t, dan juga suara aspirasi hw" pada kata-kata
seperti why". Suasana tenang yang mengakhiri Mte saule kemudian berlanjut di lagu
berikutnya. Nyanyian uu" yang lembut dan menenangkan di suara wanita menjadi benang
merah yang mempertautkan keseluruhan paduan suara. Perlahan penonton bisa mendengarkan
benang-benang lain saling silang-menyilang sehingga timbulnya lapisan-lapisan suara yang
sangat halus dan sophisticated.
Akhir babak kedua dimeriahkan dengan dua lagu yang bisa disebut virtuosik dan spontan. Lagu
bertempo cepat O Frondens Virga (Ben Hanlon) menggunakan mixed meter (tanda birama yang
kerap berganti dalam waktu yang sangat berdekatan) yang membuat menghitung sulit dan
ketukan tidak beraturan. Terlihat ada beberapa bagian di lagu ini yang belum terdengar kompak
dikarenakan mixed meter yang rumit. Alhasil kesannya ada beberapa penyanyi yang terlihat
menunggu daripada mempercayakan diri masing-masing. Namun energi yang dihasilkan sangat
memukau dan menarik perhatian penonton. Lagu terakhir dalam program, yaitu Fecit Potentiam
(Ken Steven) juga tidak kalah menarik. Lagu yang menggunakan teknik body percussion
(perkusi tubuh) ini mengedepankan ritme dan koreografi yang menjadi daya tarik tersendiri.
Sebagai encore, PSM-Unpar menyuguhkan dua lagu habanera (lagu dansa yang mempunyai
ritme habanera yang khas) yang dipadukan dengan koreografi penuh kesan ceria dari para
penampil.
Pada keseluruhan PSM-Unpar mampu memberikan pertunjukkan yang sangat memukau dan
tidak dapat dimungkiri bahwa Ivan Yohan sangat berjasa mengharumkan nama PSM-Unpar
dengan dedikasinya yang tertanam kuat, serta ketulusan hatinya pada musik itu sendiri. Saya
sendiri yakin bahwa PSM-Unpar mampu meraih prestasi yang gemilang di kancah kompetisi
paduan suara berskala internasional; pembenahan diri, kedisiplinan dalam belajar, dan rasa
kekeluargaan pun harus tetap dijaga. Semoga sukses kedepannya!

Hazim Suhadi

Anda mungkin juga menyukai