Pada karya Prelude of Tristan und Isolde, Wagner membuka jalan baru kepada
komposer abad 20 dengan cara mengekspansi tonalitas secara masif. Secara harmoni,
Wagner tidak menggunakan sistem hirarki akor dominant dan tonic yang mendasar.
Harmoni awal pada karya tidak memberikan penjelasan harmoni secara eksplisit, lalu
penggunaan tangga nada dalam lagu. Hal ini ditunjukkan melalui penggunaan akor
yang membuat peran dari key signature menjadi resesif. Contoh yang dapat ditelusuri
adalah melalui modulasi pertama di birama ke-7 dengan interval 3 menuju ke c minor,
dan pada birama ke-11 dilanjutkan dengan modulasi menuju E Major. Akhirnya,
harmoni dalam karya ini menjadi ambigu dan menghasilkan dissolution of tonality.
Penggunaan melodi pada karya ini juga membentuk kesan harmoni yang tiada
batasnya. Elemen musikal yang mendukung ambiguitas harmoni terdiri dari beberapa
aspek seperti ritme, tonalitas, teknik orkestrasi dan tekstur. Dari segi ritme, Wagner
menulis dengan birama 6/8 yang juga banyak menggunakan “tie” notes sehingga
pulse yang terdapat pada karya ini terkesan tidak terstruktur, dilanjuti dengan
perubahan nilai pada not yang semakin mengecil. Dari segi instrumentasi, teknik
variatif ditambahkan, mulai dari penggunaan teknik pizzicato pada bagian strings di
bar 16, indikator penggunaan “sul G” (memainkan senar G) pada instrumen biola di
bar 22 sampai 23, dan penggunaan tremolando pada instrumen viola di bar 77 sampai
83, juga instrumen double bass di bar 86. Tekstur yang secara umum berlangsung
adalah homofoni yang berpusat pada melodinya, dimana bagian bass dan voicing
diluar dari melodinya secara polifoni berperan sebagai melodi juga. Kondisi melodi
yang menunjukkan chromaticism, menghasilkan suara yang disonan, membuat frasa
terkesan tiada habisnya, dan memberikan berbagai klimaks disonan yang membuat
It’s just meant to be there; a moment of tension without the expected release.
In other words, the Tristan chord marked the first time that a harmony’s sound
Keunikan struktur harmoni dalam karya ini diekspresikan menggunakan akor disonan
berupa tristan chord, yang merupakan akor French 6 dari tonal awal. Akor ini
th
kadens yang tidak teresolusi. Dalam karya tersebut, Wagner menulis bentuk akor ini
pada ketukan pertama, dengan tujuan untuk menciptakan efek suspension dan tension
yang terus kembali, tiada akhir. Hal ini juga menggambarkan tidak adanya antecedent
dan consequent, yang menimbulkan lemahnya dan tidak jelasnya pada struktur frasa
dan rangkaian kadens dalam lagu tersebut. Dengan begitu, ekspansi tonalitas akan
nyata terdengar dan menghilangkan direksi dan arah tujuan dari karya itu sendiri.
Ragam modulasi ini juga didukung oleh penggunaan chromaticism, dimana Wagner
Penggunaan ini memberikan kesan melodi yang tiada akhir. Penggunaan ini juga
didukung dengan perpindahan akor dari dominant ke dominant yang lain (tanpa
resolusi) yang menimbulkan efek tension pada tonal yang terkesan tidak memiliki
akhir, juga memberikan resonansi dan ekspansi nada yang sangat panjang. Adapun,
panjang dan banyak disertai dengan nada disonan baik dalam melodi dan akor
ditambah dengan beberapa elemen lain yang tidak sesuai dengan hirarki pada
umumnya menyebabkan tonal menjadi fleksibel. Secara keseluruhan, struktur seperti
Struktur melemah
JAWABAN NO 2
tekstur yang kompleks, harmoni dan orkestrasi yang kaya dan bervariatif, perubahan
tonalitas yang ekstrim, dan elaborasi penggunaan leitmotifs. Perubahan ini ditunjukkan
memacu para penyanyi untuk menyanyi dengan gaya yang baru, dan melakukan
eksplorasi terhadap praktek teatrikal. “Music drama”, istilah untuk opera, yang
diciptakan Wagner memiliki karakteristik yang sama yaitu ekspansi terhadap struktur
melodi yang diasosiasikan dengan karakter, objek, tema, dan emosi tertentu.
Beberapa komposer lain menciptakan karya dengan gaya penulisan yang mirip atau
menentang (sangat berbeda) dari Wagner. Anton Bruckner, Hugo Wolf, Jules Massenet,
Richard Strauss, dan Alexander von Zemlinsky adalah contoh komposer yang sangat
terpikat pada gaya penulisan komposisi Wagner. Gustav Mahler, pada usia 15 tahun,
sangat terpikat pada Wagner sehingga dia mencari Wagner pada kunjungannya ke
Vienna pada tahun 1875. Komposisinya disebut oleh Richard Taruskin sebagai
kelanjutan dari “Wagner’s maximalization of the temporal and the sonorous” pada
musik simfoni. Revolusi harmoni dari Claude Debussy dan Arnold Schoenberg juga
dapat ditinjau kembali dari karya Tristan dan Parsifal. Bentuk Italia dari operatic
realism, disebut sebagai Verismo, juga didasarkan pada konsep Wagner dalam bentuk
musiknya.
Signifikasi perubahan gaya penulisan komposisi Wagner membawa musik
menjadi lebih pribadi, ekspresif, beragam, dan kaya, baik dalam hal suara, instrumentasi,
harmoni, tekstur, bentuk, dan lain-lain. Batasan yang diciptakan pada musik abad-19,
yaitu sistem tonal yang tradisional, seperti ditarik sampai batas maksimal. Komposer
menjadi lebih bebas dalam membuat karya, sehingga gaya penulisan musik yang baru
bagaimana teknik Wagner dapat diadaptasikan pada penggambaran subjek opera, seperti
mimpi buruk yang bersifat dreamy dan kemudian berujung pada penghancuran diri
sendiri. Debussy menggunakan whole-tone scale sebagai simbol perpetual stacism dan
kurangnya arah atau direksi melodi, hal ini menggambarkan karakter dan tindakan tokoh
Melisande, melalui rasa takutnya pada dorongan yang tidak diketahui (unknown force).
Debussy menekankan pada impresi, penggambaran suasana hati, dan latar yang bersifat
atmospheric → blur. Karya Gustav Mahler, “Symphony No. 8 in E-Flat Major”, yang
dan penampil secara maksimal sehingga eksplorasi timbre yang dihasilkan juga semakin
kayal. Arti dari ekspansi tersebut merupakan salah satu cara untuk mendobrak limitasi
---
Karena pengaruh revolusi yang terjadi di eropa pada tahun 1848-1849, Tristan
und Isolde karya Wagner mempengaruhi simbolisme dan metaphysical concerns dari
Schoenberg. Contoh salah satu karyanya berjudul Pierrot Lunaire Op. 21 No. 14 -
Die Kreuze, dengan arti judul berupa penyaliban. Pada karya ini, Schoenberg banyak
artinya salib) penyaliban : major 7th: sesuatu yang sifatnya diabolical; tritone (pake
nya do mi sol ti) tonality itu being challenged, juga di push away.
2. Decreasing structural dependence: musik kek gini membiaskan, gabisa detect lgi
lagunya gimana
4. No strong sense of homekey: gabisa nyatain homekey dimana, dan keysignature juga
5. No strong sense of cadence: pdhl sgt penting dri sebuah struktur, buat nyatain the end
6. Frequent use of modulation, dan often times modulasinya ga berlaku dalam hukum
tonal
7. Menggunakan pandiatonic system (triad antar tangan tu gada koneksi nya in between)
d. Endless melody
Schoenberg broke completely traditional tonal system yaitu dengan twelve tone
(ITALY)
→ walaupun masih tonal tetapi krn penggunaan semitone jadi lack of tonal
harmony, kalo dari pak mar: adalah one of the last pieces to carry a
4. Gustav Mahler - Nun she’ ich wohl, warum so dunkle Flammen (I can see such dark
→ Di lagu ini, walaupun bunyinya tonal semua, tapi progresi chord yang
dipakai tuh ga cukup common, jadi voice linenya menyanyikan some kind of
tonal, orchestranya juga mainin some kind of tonal, tapi tonalnya clashing. Ini
ada di ilmu teori, namanya pandiatonic: the free use of diatonicism; artinya
yang standar, alhasil bunyinya jadi agak aneh. Ga berpadu gitu. Akibat: no
cadence
(RUSSIA)
1. Glinka → misalnya operanya (gatau tpi operanya yg mna huhu) Glinka itu tp
sering kali ga diliat di sejarah soalnya cumin bkins atu lagu yang berkaitan
along with exploring the church modes and the whole-tone scale.
Elegie by Busoni,
chromatic menyebabkan key signature yang merupakan organisasi dari tonal music menjadi
ga ada gunanya. Ini menunjukkan titik equilibrium antara chromatic dan diatonic.
Contoh lain:
Paragraf 1:
Pengaruh Wagner terhadap perubahan musical style pada akhir abad ke-19 menjadi sebuah
awal bagi komposer lain untuk menciptakan karya-karya dengan gaya penulisan yang baru.
Dalam karyanya, Wagner melakukan eksperimen dengan menggunakan chord yang tidak
biasa, harmoni, dan struktur musikal yang berbeda dari sebelumnya. Hal tersebut membuat
aturan tradisional harmoni dan tonalitas juga menjadi buram dan tersingkirkan.
JAWABAN NO 3
Pada abad ke-19, banyak artis dan kritikus yang mulai terobsesi dengan
originalitas jadi setiap karya harus baru dan berbeda dari sebelumnya dan pada
pertengahan abad ke-19 muncul historisisme dengan cara mengambil elemen musik
orkestra yang kaya dan memiliki lapisan-lapisan (layered sounds), komposer dari Second
Viennese School memberikan pengaruh yang berbeda pada perkembangan musik pada abad-
20. Hal tersebut juga mempengaruhi cara penulisan komposisi musik. Komposer tidak lagi
mengutamakan keseimbangan melodi dan harmoni, tonalitas yang jelas, seperti saat generasi
komposer First Viennese School, yaitu Haydn, Mozart, Beethoven, dan Schubert.
Arnold Schoenberg dan pengikutnya, Anton Webern, Albarn Berg, dan lainnya mulai
melakukan eksplorasi expressionism pada musik. Expressionism adalah gerakan dalam seni
visual yang memunculkan emosi melalui distorsi. Aturan-aturan tradisional dalam hal
perspektif dan warna ditinggalkan. Schoenberg dan pengikutnya mendorong batasan pada
musik dan menciptakan warna suara baru yang menentang kaidah. Mereka mempercayai
bahwa sejak Wagner, standar dari pengaplikasian musik sudah mulai terkikis. Hal tersebut
Arnold Schoenberg adalah sosok yang penting dalam mengembangkan metode 12-
tone, disebut juga Serialism. Schoenberg menciptakan metode komposisi yang menyediakan
landasan baru bagi struktur komposisi musik untuk menggantikan tradisi lama, yang menurut
dia sudah ditarik dan dirusak dari prinsip utama. Daripada menggunakan 1 atau 2 tones
sebagai fokus utama dalam keseluruhan komposisi, Schoenberg menggunakan 12 tones yang
memiliki hubungan setara satu sama lain, tanpa adanya hierarki. Anton Webern juga
terpengaruh dengan metode 12-tone tersebut, yang nantinya ia kembangkan menjadi Total
Serialism.
gaya penulisan yang mereka buat. Kategori pertama adalah para komposer yang menganggap
gaya baru dari Second Viennese School adalah sesuatu yang menyenangkan, mereka berusaha
untuk terus menciptakan karya-karya dengan komposisi yang ekstrim, unik dan keluar dari
batas aturan penulisan tradisional. Kategori kedua adalah para komposer yang melihat
kemunculan Second Viennese School sebagai perubahan yang masih bisa dirangkul, mereka
menciptakan karya dengan gaya penulisan baru namun masih dalam batas yang wajar dan
dapat diterima oleh pendengar. Kategori ketiga adalah para komposer yang menolak Second
Viennese School, memilih jalannya sendiri, dan menciptakan teori atau buku sendiri sesuai
Gaya penulisan komposisi pada abad-20 memiliki fokus pada warna dalam
musik. Warna dalam musik dianggap dapat menyampaikan pesan, ekspresi, emosi secara
maksimal. Ada beberapa cara untuk menyampaikan warna dalam musik. Pertama, melalui
tone color, dalam karya Debussy, “Reflets dans l’eau”, tone color digunakan untuk
menggambarkan air, secara khusus cahaya direfleksikan melalui permukaan air. Teknik
arpeggio, pedal-point, staccato, tremolo, dan glissando digunakan untuk menggambarkan air
lagunya, “Atmosphere”, terkenal dengan teksturnya yang padat dan menggunakan konsep
instrumen musikal dengan cara yang tidak lazim, untuk melakukan eksplorasi terhadap
The most striking aspect of music in the twentieth century is its stylistic diversity; bisa
menjadi sumber yang menyenangkan ataupun bisa bkin panik/frustasi bagi para
traditional form)
The result, by the end of the century, was a musical landscape that was either
yang embrace all tradition. Makanya itu, musical landscape yag ada d abad 20th,
stylenya pecah2, ada banyak, like gimana sih? Atau music abad 20 itu aalah
abandonly (diversitynya sangat kaya). Belum ada bunyi bunyian yang sekaya abad
20th.
Music di abad 20 juga ga jadi universal language lgi soalnya sekarang kalo mo
nikmatin musik udah sendiri2 aja gt ga butuh pertemuan ngumpul2 dance2 gt lg.
Musicnya jg udah available dlm bentuk recording gt. Terus ada rapid development of
technologies jg
Modernism, yang merupakans ebuah fenomena yang affected all the arts in the
twentieth century. Modernism itu sendiri merupakan suatu kesadaran yang berusaha
untuk membuat sesuatu yang sgt baru, yang paling baru, at any cost, dengan slogan
bahwa harus berbeda total dengan apapun yang ada pada sebelumnya. In music, the
less confrontational (composer yang masi agak sedikit softer) create neoclassicism,
mengakibatkan musik yang either bisa diliar dri dua siisi; hopelessly fragmented or
abandonly diversed.
For much of the twentieth century, music was known as “difficult” music, while not
particularly popular with the general listening public, nevertheless enjoyed a certain
→ seringkali dijudge sbg music yg terlalu subjective ato harsly sbg music yang ga
ekspresif
→ trllu logical (smpe gbs ngelakuin apa yang menurut kita taste lg)
→ composer d jaman ini nya tu jg put the listeners off, nganggep listeners bkn part of
the music (padahal kan dlu tujuan music ditulis adalah untuk kebutuhan society)
The term “modern music” seems to imply something negative (for difficult music). In
short, much modern music seems “unmusical” (yang ga ekspresif ga komunikatif itu)
Music and the popular culture: composer abad 20 kebagi menjadi 2. Ada yang
progressive , yaitu kaum2 impressionist, serialist, ato apapun yang berhubungan dgn
lazim untuk menghasilkan tone colour yang beraneka ragam), experimentalis (kata
lain, avangard, dmn didalemnya kita bisa membagi 2 sub lagi, yaitu electronic music
berhubungan dengan affect emotion dll). Ini dicetuskan pertamakali oleh Schoenberg
(serialism)
ngebacot)
Music jadii ada hubungannya sama race, protest, dijadiin bentuk bentuk