Anda di halaman 1dari 37

PENDAHULUAN

Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung
yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atau otomatis. Aritmia timbul
akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi
ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik
aktivitas listrik sel. Aritmia terbagi menjadi takiaritmia dan bradiaritmia.1
Atrioventrikular (AV) blok adalah salah satu jenis bradiaritmia yang
didefinisikan sebagai keterlambatan atau gangguan dalam transmisi impuls dari
atrium ke ventrikel akibat gangguan anatomis atau fungsional dalam sistem
konduksi. Gangguan konduksi dapat bersifat sementara atau permanen. Konduksi
dapat

ditunda,

intermiten,

atau

tidak

ada.

Hambatan

Atrioventrikuler

(Atrioventricular block) pada sistem koduksi jantung terjadi ketika depolarisasi


atrium gagal untuk mencapai ventrikel atau depoilarisasi atrial yang
terkonduksikan dengan terlambat.2
Blok AV derajat 1 dapat ditemukan pada orang dewasa yang sehat, dan
insidennya meningkat seiring usia. Pada usia 20 tahun, interval PR dapat melebihi
0,20 detik di 0,5-2% dari orang sehat. Pada usia 60 tahun, lebih dari 5% dari
individu yang sehat memiliki interval PR melebihi 0,20 detik. Blok AV derajat 2
tipe Mobitz jarang terjadi pada orang sehat, sedangkan blok AV derajat 2 tipe
Mobitz I (Wenckebach) didapati pada 1-2% orang muda yang sehat, khususnya
selama tidur. Blok AV derajat 3 jarang didapatkan secara bawaan, pada 1 kasus
per 20.000 kelahiran. AV blok lebih sering terjadi pada usia diatas 70 tahun,
terutama pada mereka yang memiliki penyakit jantung struktural.3
Total AV blok merupakan keadaan darurat jantung yang membutuhkan
penanganan segera. Blok AV derajat III terjadi jika tidak ada impuls atrium yang
dihantarkan

ke

ventrikel

berdenyut

sendiri-sendiri

(terdapat

disosiasi

atrioventrikel). Atrium berdenyut teratur mengikuti impuls yang berasal dari


simpuls SA. Ventrikel juga berdenyut dengan teratur namun frekuensinya jauh
lebih

lambat

dibandingkan

atrium

(20-60x/menit).

Blok biasanya berkembang dari blok derajat I dan II, tetapi total AV blok dapat
juga terjadi tanpa blok parsial sebelumnya atau interval PR yang bisa normal
segera setelah terjadi periode blok total.4
1

Penatalaksanaan total AV blok dilakukan dengan obat obatan dan


pemasangan pacu jantung. Obat-obatan yang diberikan berupa sulfas atropin yang
merupakan obat pilihan, dan sebagai alternatif adalah isoproterenol. Bila obat
tidak menolong, dipasang alat pacu jantung temporer. Biasanya jarang diperlukan
alat pacu jantung permanen.4,5
Makna klinis dan prognosis blok AV bergantung pada penyebabnya. Blok
AV akibat peningkatan rangsang vagus atau pada keracunan digitalis yang
ditangani dengan baik, mempunyai prognosis yang cukup baik. Namun bila
ditemukan perubahan mendadak dari irama sinus menjadi blok AV total (sindrom
Adam-Stokes), prognosisnya menjadi serius, karena dapat mendatangkan
kematian akibat henti jantung mendadak atau fibrilasi ventrikel.4,5

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. MD

Umur

: 67 tahun

Alamat

: Aceh Timur

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Suku

: Aceh

No. RekamMedik

: 1-07-81-66

Tanggal Masuk

: 20 Januari 2016

Tanggal Pemeriksaan

: 3 Februari 2016

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dada sebelah kiri
Keluhan Tambahan
- Sesak napas
- Mudah lelah
- Hoyong

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak 1 bulan SMRS.
Nyeri dada dirasakan seperti menusuk namun tidak menjalar. Nyeri dada
memberat ketika pasien beraktivitas dan dirasakan pasien berkurang
dengan istirahat serta berlangsung > 20 menit. Pasien juga mengeluhkan
mudah lelah ketika beraktivitas dan terkadang merasa sesak nafas. Sesak
nafas terjadi jika pasien melakukan aktivitas berat. Tidak ada riwayat
penurunan kesadaran ataupun pingsan. Namun pasien belakangan ini
sering merasa hoyong. Keluhan sering berdebar-debar tidak dirasakan
pasien. Pasien tidak mengeluhkan riwayat bengkak pada kaki maupun

wajah. Tidak ada riwayat mual dan muntah. Selain keluhan-keluhan


tersebut pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS
disertai dengan dengan demam dengan suhu yang tidak tinggi. Selain itu
BAK pasien juga dikeluhkan terasa nyeri dan berpasir.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak pernah mengeluhkan hal ini sebelumnya
- Pasien hari rawatan ke-13 di RSUDZA. Pasien merupakan rujukan
dari RS IDI dengan diagnosis vesikolitiasis.
- Riwayat hipertensi ada sejak 10 tahun yang lalu dan riwayat diabetes
mellitus disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada di keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama dengan
pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah melakukan pengobatan terhadap keluhannya.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: E4M6V5
Tekanan Darah
: 160/80 mmHg
Frekuensi nadi
: 30 x/menit
Frekuensi nafas
: 22 x/menit
Temperatur aksila : 36,7 C
Status Generalis
Kulit
Warna
: Kuning langsat
Turgor
: kembali cepat
Sianosis : tidak dijumpai
Kepala
Bentuk : normosefali
Wajah
: simetris
Mata
: edema palpebra (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya
tak langsung (+/+), pupil isokor bulat (3 mm/ 3 mm)
Telinga
Hidung
Mulut
Bibir
Leher
KGB
TVJ

: normotia, serumen (-/-)


: nafas cuping hidung (+/+), sekret (-)
: sianosis (-)
: Pembesaran KGB (-/-)
: 5 - 2 cmH2O

Thoraks
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi

: simetris saat statis dan dinamis


: nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran organ
: sonor di kedua lapangan paru
: suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wh(-/-)
: iktus kordis tidak terlihat
: iktus kordis teraba di ICS V linea midklavicula

sinistra, tekanan vena jugularis R + 2 cm H2O


Perkusi
: batas-batas jantung
Batas atas : ICS III linea mid klavicularis sinistra
Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea aksilaris anterior sinistra
Batas kanan: ICS IV linea parasternal dekstra
Auskultasi : S1 > S2, iregular (+), bising (-)
Abdomen
Inspeksi
: simetris ,distensi abdomen (-)
Palpasi
: soepel (+), hepar/lien/renal tidak teraba membesar
Perkusi
: timpani (+), shifting dullness (-)
Auskultasi
: peristaltik 5x/menit, kesan normal
Genetalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Superior
Inferior

: ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral hangat,


CRT > 2 detik
: ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral hangat,
CRT > 2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis pemeriksaan
Hematologi
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Eritrosit
- Leukosit
- Trombosit
Hitung jenis
- Eosinofil

Waktu
pemeriksaan
20/1/2016
Pkl 12.02 WIB

Hasil

Satuan

13,1
38
4,6
7,3
162

g/dl
%
6
10 /mm3
103/mm3
103/mm3

%
5

Basofil
Netrofil segmen
Netrofil batang
Limfosit
Monosit

0
0
62
26
9

%
%
%
%
%

2
7

Menit
Menit

Negatif

Negatif

U/L

Elektrolit
- Natrium
- Kalium
- Klorida

141
3.6
106

mmol/L
mmol/L
mmol/L

Diabetes
- Gula darah sewaktu

134

mg/dl

Ginjal Hipertensi
- Ureum
- Kreatinin

49
0.98

mg/dl
mg/dl

10.6
10.2
0.99

Detik
Detik
Detik

38.2
33.9

Detik
Detik

Faal Hemostasis
- Waktu perdarahan
- Waktu pembekuan
Imunoserologi
- HbsAg
Kimia klinik
- Troponin
- CK-MB

Faal Hemostasis
- PT
Pasien
Kontrol
INR
- APTT
Pasien
Kontrol

1/2/2016

Foto Thorak PA

Foto Thorak PA pada


20/1/2016
Kesan: inspirasi kurang
a. Cor/Aorta : CTR
54%, membesar
dengan kalsifikasi
aortic knob
b. Lung : tampak
infiltrat di paru kiri
c. Soft tissue dan
skeletal : normal
d. Sinus costoprenicus
dan kardioprenicus
tajam
Kesimpulan : kardiomegali
dengan sklerosis aorta +
pneumonia

Elektrokardiografi
EKG (20/1/2016)

Irama
Denyut jantung
Axis
Gel P
Kompleks QRS
PR interval
RR interval
QT interval
ST elevasi/ depresi
T inverted
LVH/RVH
Kesimpulan

: sinus
: 30 x/i
: LAD
: normal, jarak P ke P sama
: kesan LBBB, gel P dan gel QRS tidak berhubungan kesan
TAVB
: normal
: normal
: normal
: (-)
: avL, v1-v6
: (+/-)
: irama sinus bradikardi dengan TAVB + LAD + hipertrofi
ventrikel kiri + LBBB

EKG (25/1/2016) post TPM

Irama
Denyut jantung
Axis
Gel P
Kompleks QRS
PR interval
RR interval
QT interval
ST elevasi/ depresi
T inverted
LVH/RVH

: sinus on TPM
: 71 x/i
: LAD
: normal, jarak P ke P sama
: normal
: normal
: normal
: normal
: (-)
: (-)
: (+/-)

Kesimpulan

: irama sinus on TPM + LAD + hipertrofi ventrikel kiri

EKG (4/2/2016) post PPM

Irama
Denyut jantung
Axis
Gel P
Kompleks QRS
PR interval
RR interval
QT interval
ST elevasi/ depresi
T inverted
LVH/RVH
Kesimpulan

: sinus on PPM
: 60 x/i
: LAD
: normal, jarak P ke P sama
: normal
: normal
: normal
: normal
: (-)
: (-)
: (+/-)
: irama sinus on PPM + LAD + hipertrofi ventrikel kiri

Ekokardiografi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Katup-katup malkoaptasi RCC-NCC-LC dengan AR ringan


Dimensi ruang-ruang jantung LV dilatasi
Tidak tampak trombus
Fungsi sistolik LV menurun
Fungsi sistolik RV normal
Fungsi diastolik LV tidak dapat dievaluasi
Tampak LVH eksentrik
Tampak lead TPM di dalam IVC, RA hingga ke apeks RV, letak dan fungsi
baik

Kesimpulan: dilatative cardiomiopathy + total AV block with TPM lead


DIAGNOSIS KERJA
Dilated Cardiomiopati (DCM) + Total Atrioventrikular Blok (TAVB) post
Permanent Pacemaker (PPM) + Vesikolitiasis
PENATALAKSANAAN
Terapi Suportif :
1. Pemberian oksigen sungkup nasal kanul 2-4 liter/menit dengan target
saturasi >95%
2. Pemasangan kateter urin

10

Terapi Farmakologi :
Sebelum Pemasangan TPM:
1. O2 4 L/menit (k/p)
2. IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam
3. Dopamin 1 x 0.25 mg
4. Amlodipin 1 x 5 mg
5. Amlodipin 5 mg tablet 1x1
Setelah pemasangan TPM:
1. O2 4 L/menit (k/p)
2. IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam
3. Dopamin 1 x 0.25 mg
4. Amlodipin 1 x 5 mg
5. Salbutamol 3 x 2 mg
6. Inj. Alinamin 1 amp / 24 jam/ IV
7. Drip amiodaron dalam dektrose 5% 300 mg/6 jam selanjutnya 600
mg/18jam selama 24-48 jam
Setelah pemasangan PPM:
1. O2 4 L/menit (k/p)
2. Dopamin 1 x 0.25 mg
3. Amlodipin 1 x 5 mg
4. Amiodaron 2 x 200 mg
5. Inj. Cefotaxim 1 g/12 jam/IV (selama 3 hari)
6. PCT tab 3 x 500 mg
PLANNING
Pemeriksaan EKG per hari
PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia

11

Quo ad sanactionam

: dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal
20.1.2016

Subjective
lemas

Objective
Kes : CM
TD : 160/80 mmHg
HR : 26 x/i
RR : 20 x/i

Assesment
- TAVB
- Hipertensi stage I
- Vesikolithiasis

Mata : anemis-/-, ikterik-/TVJ : R+2cmH2O


Toraks : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler, ST : -/Abd. : soepel,Hati, Lien, Renal :
tidak teraba, BU (N)
Ekst: akral hangat, edema
pretibial : -/-

Planning
Th
- O2 4 L/menit (kp)
- IVFD NaCl
0,9% 500
cc/24 jam
- Dopamin 1 x
0.25 mg
- Amlodipin 1
x 5 mg
P:
- Persiapan
TPM
- USG urologi

EKG: sinus, regular, HR 30 kpm


BNO: vesikolitiasis
23.11.2016

Sakit kepala Kes : CM


(+)
TD : 160/80 mmHg
HR : 75 x/i
RR : 18 x/i
Mata : anemis-/-, ikterik-/TVJ : R+2cmH2O
Toraks : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler, ST : -/Abd. : soepel,Hati, Lien, Renal :
tidak teraba, BU (N)
Ekst: akral hangat, edema
pretibial : -/EKG: sinus, regular, HR 30 kpm
BNO: vesikolitiasis

TAVB
+ Th
- O2 4 L/menit (kp)
Bradikardi
Hipertensi stage - IVFD NaCl
1
0,9% 500
Vesikolithiasis
cc/24 jam
- Dopamin 1 x
0.25 mg
- Amlodipin 1
x 5 mg
- Salbutamol 3
x 2 mg
- Inj. Alinamin
1 amp / 24
jam/ IV
P:
- Pasang folley kateter
- Persiapan TPM

12

26.11.2016

Sakit kepala Kes : CM


(+)
nyeri TD : 150/80 mmHg
BAK (+)
HR : 75 x/i
RR : 18 x/i

Mata : anemis-/-, ikterik-/TVJ : R+2cmH2O


Toraks : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler, ST : -/Abd. : soepel,Hati, Lien, Renal :
tidak teraba, BU (N)
Ekst: akral hangat, edema
pretibial : -/EKG: sinus, regular, HR 30 kpm
BNO: vesikolitiasis
27.11.2016

Tidak
ada Kes : CM
keluhan
TD : 150/80 mmHg
HR : 60 x/i
RR : 18 x/i
Mata : anemis-/-, ikterik-/TVJ : R+2cmH2O
Toraks : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler, ST : -/Abd. : soepel,Hati, Lien, Renal :
tidak teraba, BU (N)
Ekst: akral hangat, edema
pretibial : -/EKG: sinus, regular, HR 60 kpm
BNO: vesikolitiasis

TAVB
+ Th
- O2 4 L/menit (kp)
Bradikardi
Hipertensi stage - IVFD NaCl
1
0,9% 500
Vesikolithiasis
cc/24 jam
- Dopamin 1 x
0.25 mg
- Amlodipin 1
x 5 mg
- Salbutamol 3
x 2 mg
- Inj. Alinamin
1 amp / 24
jam/ IV
P:
Pasang TPM hari ini
TAVB on TPM
Th
Hipertensi stage - O2 4 L/menit (kp)
1
- IVFD NaCl
Vesikolithiasis
0,9% 500
cc/24 jam
- Dopamin 1 x
0.25 mg
- Amlodipin 1
x 5 mg
- Salbutamol 3
x 2 mg
- Inj. Alinamin
1 amp / 24
jam/ IV
- Drip
amiodaron
dalam
dektrose 5%
300 mg/6
jam
selanjutnya
600
mg/18jam
selama 24-48
jam
P:
Pasang PPM

13

29.11.2014

Batuk
berdahak (+)

Kes : CM
TD : 130/80 mmHg
HR : 75 x/i
RR : 18 x/i

Mata : anemis-/-, ikterik-/TVJ : R+2cmH2O


Toraks : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler, ST : -/Abd. : soepel,Hati, Lien, Renal :
tidak teraba, BU (N)
Ekst: akral hangat, edema
pretibial : -/EKG: sinus, regular, HR 30 kpm
BNO: vesikolitiasis

1.2.2016

Tidak
ada Kes : CM
keluhan
TD : 160/100 mmHg
HR : 60 x/i
RR : 18 x/i
Mata : anemis-/-, ikterik-/TVJ : R+2cmH2O
Toraks : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler, ST : -/Abd. : soepel,Hati, Lien, Renal :
tidak teraba, BU (N)
Ekst: akral hangat, edema
pretibial : -/EKG: sinus, regular, HR 30 kpm
BNO: vesikolitiasis

TAVB on TPM Th
- O2 4 L/menit (kp)
pro PPM
Hipertensi stage - IVFD NaCl
1
0,9% 500
Vesikolithiasis
cc/24 jam
- Dopamin 1 x
0.25 mg
- Amlodipin 1
x 5 mg
- Salbutamol 3
x 2 mg
- Amiodaron 3
x 200 mg
- Fluimucyl 3
x 200 mg
P:
- pasang PPM

TAVB post PPM Th


Hipertensi stage - O2 4 L/menit (kp)
1
- Dopamin 1 x
Vesikolithiasis
0.25 mg
- Amlodipin 1
x 5 mg
- Amiodaron 2
x 200 mg
- Inj.
Cefotaxim 1
g/12 jam/IV
(selama 3
hari)
- PCT tab 3 x
500 mg
P:
Rencana
vesikolitiasis
(10/2/2016)

14

op
rabu

ANALISA KASUS
Pasien laki-laki 67 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sejak 1 bulan
SMRS. Nyeri dada dirasakan seperti menusuk namun tidak menjalar. Nyeri dada
memberat ketika pasien beraktivitas dan dirasakan pasien berkurang dengan
istirahat serta berlangsung > 20 menit. Pasien juga mengeluhkan mudah lelah
ketika beraktifitas dan terkadang merasa sesak nafas.
Hal ini sesuai dengan teori dimana nyeri dada merupakan salah satu keluhan
yang paling banyak ditemukan di klinik. Nyeri dada tersebut dapat disebabkan
oleh penyakit jantung ataupun penyakit paru yang serius. Diagnosa yang tepat
sangat tergantung dari pemeriksaan fisik serta anamnesis dari sifat nyeri dada
mengenai lokasi, penyebaran, lama nyeri serta faktor pencetus yang dapat
menimbulkan nyeri dada.2
Salah satu bentuk nyeri dada yang paling sering ditemukan disebabkan oleh
aritmia. Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung
yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atau otomatis. Aritmia timbul
akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi
ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik
aktivitas listrik sel. Gangguan irama jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas
denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan denyut dan konduksi yang
menyebabkan berkurangnya cardiac output sehingga mengurangi proses
oksigenasi jaringan.2
Keluhan aritmia lain bisa berupa perubahan tekanan darah (hipertensi atau
hipotensi), nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi, bunyi jantung irama tak
teratur, bunyi ekstra, denyut menurun, kulit pucat, sianosis, berkeringat, edema,
produksi urin menurun bila curah jantung menurun berat, sinkop, pusing,
berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil, nyeri dada
ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah, nafas
pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan, bunyi nafas tambahan
(crackles, ronki, mengi) mungkin ada juga yang menunjukkan komplikasi
pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena

15

tromboembolitik pulmonal, hemoptisis, demam, kemerahan kulit (reaksi obat),


inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial) dan kehilangan tonus
otot/kekuatan.3,4
Sesuai dengan teori pada pasien ini selain nyeri dada juga ditemukan
keluhan sesak nafas, lemas dan cepat lelah, namun tidak dijumpai adanya
riwayat sinkop.
Aritmia terbagi menjadi dua yaitu takikardi dan bradiaritmia. Bradiaritmia
atau bradikardi secara umum didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
frekuensi denyut jantung dibawah 60x/menit. Terdapat 2 etiologi utama terjadinya
bradiaritmia, yaitu gangguan pembentukan impuls dan gangguan konduksi
impuls.2,3
Gangguan Pembentukan Impuls
Sinus Bradikardi
Sinus bradikardia adalah frekuensi denyut jantung yang lambat sebagai
akibat sinyal dari nodus sinoatrial yang melambat, yaitu dibawah 60x/menit.2,3,4
Sinus bradikardi pada saat istirahat, tidur, atau pada atlet adalah normal
ditemukan2,3 . Oleh karena itu, klinisi perlu menentukan apakah keadaan sinus
bradikardi ini adalah normal atau patologis dan apakah penatalaksanaan
diperlukan. Hal tersebut dapat ditentukan berdasarkan umur pasien, ada tidaknya
penyakit jantung, jenis aktivitas fisik, gejala klinis, dan apakah frekuensi denyut
bertambah dengan olahraga.2
Sinus bradikardia yang ringan umumnya asimtomatik dan tidak memerlukan
penatalaksanaan. Namun, penurunan frekuensi denyut nadi dapat menyebabkan
berkurangnya output, sehingga dapat menyebabkan kelelahan, pusing, bahkan
pingsan. Pada keadaan demikian, faktor-faktor ekstrinsik yang menyebabkan
bradikardi harus dikoreksi.2

16

Penyebab Bradikardia 1
Faktor Intrinsik
Degenerasi Idiopatik (proses penuaan)
Infark / iskemia
Penyakit Infiltratif
Sarkoidosis
Amiloidosis
Hemokromatosis
Penyakit Kolagen-Vaskular
SLE
Reumatoid Artritis
Skleroderma
Distropi otot miotonik
Trauma Bedah
Penggantian Katup
Koreksi penyakit kongenital
Transplantasi jantung
Penyakit Keturunan
Penyakit Infeksi
Chagas Disease
Endokarditis

Faktor Ekstrinsik
Sindroma Gangguan Autonomik
Sinkop Neurokardial
Sinus karotid Hipersensitif
Gangguan Situasional
Batuk
Defekasi
BAK
Muntah
Obat
Beta Blocker
Calcium-channel Blocker
Clonidine
Digoxin
Obat antiaritmia
Hipothyroid
Hipotermia
Gangguan Neurologis
Gangguan Elektrolit
Hipokalemi
Hiperkalemi

Sick Sinus Syndrome


Sick sinus syndrome adalah sekumpulan gejala yang disebabkan oleh
abnormalitas dari SA node , yaitu termasuk : (1) sinus bradikardi spontan yang
menetap, yang tidak disebabkan oleh obat dan tidak sesuai dengan keadaan
fisiologis; (2) Sinus arrest atau exit block; (3) kombinasi gangguan konduksi SA
dan AV; (4) bradycardia-tachycardia syndrome. 3

Hypersensitive Carotid Sinus Syndrome

17

Hipersensitivitas cabang afferen atau efferen dari reflex lengkung sinus


karotid menyebabkan aktivasi vagal dan atau inhibisi simpatis, sehingga
menyebabkan bradikardi dan vasodilatasi 6

18

2.

Gangguan Penghantaran Impuls


Atrioventricular Conduction Block
AV Block didefinisikan sebagai hambatan atau gangguan pada peenjalaran

impuls dari atrium ke ventrikel yang disebabkan oleh gangguan anatomis maupun
gangguan fungsional dari sistem konduksi.5,6 Gangguan konduksi ini dapat
bersifat sementara atau permanen; konduksi dapat hanya diperlambat, hanya
sesekali, atau terhambat. Gangguan konduksi diklasifikasikan menjadi 3
berdasarkan derajat keparahan, yaitu derajat 1, 2, dan 3.2
Pada pemeriksaan pasien didapatkan denyut nadi 30x/menit sehingga
pasien tergolong mengalami bradikardi. Bradikardi pada pasien ini kemungkinan
disebabkan karena degeneratif idiopatik (penuaan). Pada pasien tidak dijumpai
adanya riwayat coronary artery disease, infeksi jantung dan paru, infeksi sistemik
lain, autoimun maupun faktor ekstrinsik seperti gangguan elektrolit ataupun
penggunaan obat-obatan yang dapat mengganggu irama jantung. Maka untuk
menentukan jenis bradikardi pada pasien diperlukan pemeriksaan penunjang
seperti EKG. Pemeriksaan fisik pasien juga ditemukan adanya pelebaran batas
jantung dengan kesan kardiomegali.
Kardiomegali adalah sebuah keadaan anatomis (struktur organ) di mana
besarnya jantung lebih besar dari ukuran jantung normal, yakni lebih besar dari
55% besar rongga dada. Kardiomegali salah satu atau lebih dari 4 ruangan jantung
membesar. Namun umumnya kardiomegali diakibatkan oleh pembesaran bilik
jantung kiri (ventrikel sinistra). Hal ini dapat dikaitkan dengan banyak penyebab,
tapi sebagian besar karena output jantung yang rendah, jika tidak disebut sebagai
gagal jantung. Penyebab yang terbanyak: 6
a. Penyakit Jantung Hipertensi
Pada keadaan ini terdapat tekanan darah yang tinggi sehingga jantung
dipaksa kerja ekstra keras memompa melawan gradien tekanan darah perifer anda
yang tinggi. Pada kasus ditemukan adanya riwayat hipertensi stage 1 dengan
pengobatan teratur menggunakan amlodipin selama 10 tahun terakhir. Jadi
kemungkinan hipertensi sebagai penyebab kardiomegali masih bisa dimasukkan.
b. Penyakit Jantung Koroner

19

Pada keadaan ini sebagian pembuluh darah jantung (koroner) yang


memberikan pasokan oksigen dan nutrisi ke jantung terganggu sehingga otot-otot
jantung berusaha bekerja lebih keras dari biasanya menggantikan sebagian otot
jantung yang lemah atau mati karena kekurangan pasokan darah. Pada kasus
tidak dijumpai adanya riwayat penyakit jantung koroner. Dari EKG juga tidak
dijumpai adanya tanda-tanda iskemik atau infark lama maupun baru.
c. Kardiomiopati (diabetes, infeksi)
Yakni penyakit yang ditandai dengan dilatasi ataupun hipertrofi dari ruang
dan otot jantung yang diakibatkan gangguan atau kerusakan langsung pada otototot jantung. Hal ini dapat bersifat bawaan atau karena penyakit metabolisme
seperti diabetes atau karena infeksi. Akibatnya otot jantung harus kerja ekstra
untuk menjaga pasokan darah tetap lancar. Pada kasus ini dari hasil
ekokardiografi dijumpai adanya dilatasi pada ruang jantung sehingga
kardiomiopati bisa menjadi penyebab kardiomegali pada pasien ini.
d. Penyakit Katup Jantung
Di jantung ada 4 katup yang mengatur darah yang keluar masuk jantung.
Apabila salah satu atau lebih dari katup ini mengalami gangguan seperti misalnya
menyempit (stenosis) atau bocor (regurgitasi), akan mengakibatkan gangguan
pada curah jantung (kemampuan jantung untuk memopa jantung dengan volume
tertentu secara teratur). Akibatnya jantung juga perlu kerja ekstra keras untuk
menutupi kebocoran atau kekurangan darah yang dipompanya. Pada kasus ini
dari hasil pemeriksaan fisik maupun penunjang tidak dijumpai adanya kelainan
pada katup-katup jantung
e. Penyakit Paru Kronis
Karena pada penyakit paru kronis dapat timbul keadaan di mana terjadi
perubahan sedemikian rupa pada struktur jaringan paru sehingga darah menjadi
lebih sulit untuk melewati paru-paru yang kita kenal dengan nama "Hipertensi
Pulmonal". Karena itu bilik jantung kanan yang memompa darah ke paru-paru
perlu kerja ekstra keras, sehingga tidak seperti kebanyakan kardiomegali bukan
bilik kiri yang membesar tapi bilik kanan, tapi jika sudah berat bahkan bilik kiri
pun akan ikut membesar. Pada kasus ini dari anamnesis tidak ada riwayat
penyakit paru kronis yang biasanya adalah penyumbang terjadinya kardiomegali.

20

Pada pasien juga tidak ditemukan tanda-tanda hipertensi pulmonal maupun


pelebaran ventrikel dan atrium kanan dan juga tidak ditemukan right axis
deviation (RAD) pada EKG maupun ekokardiografi sehingga kardiomegali pada
pasien kemungkinan tidak disebabkan penyakit paru kronis.
f. Penyakit gangguan tiroid
Masalah pada tiroid baik itu tiroid kurang aktif (hipotiroidisme) ataupun
kelenjar tiroid yang terlalu aktif (hipertiroidisme) dapat menyebabkan masalah
jantung, termasuk pembengkakan jantung. Pada kasus ini tidak dijumpai adanya
masalah pada tiroid secara anamnesis dan pemeriksana fisik. Namun sebaiknya
perlu dilakukan pemeriksaan hormon tiroid pada kasus-kasus tertentu dimana
dijumpai gejala dan tanda khas dari kelainan tiroid.
g. Anemia
Anemia adalah suatu kondisi di mana tidak ada sel-sel darah merah yang
sehat untuk membawa oksigen yang cukup dan memadai untuk jaringan. Anemia
kronis yang tidak diobati dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat atau
tidak teratur. Hal ini terjadi karena jantung harus memompa lebih banyak darah
untuk menebus kekurangan oksigen dalam darah. Pada pasien dijumpai kadar
hemoglobin dalam batas normal sehingga penyakit jantung anemia bisa
disingkirkan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
bradikardi adalah EKG, foto thoraks dan ekokardiografi.
Pemeriksaan penunjang EKG sebelum dilakukan pemasangan transient
pace maker didapatkan irama sinus, bradikardi 30 x/menit, left bundle branch
block (LBBB), left ventrikel hypertrophy (LVH), left axis deviation (LAD) disertai
juga kesan TAVB.
Pada blok AV total seluruh impuls dari supraventrikel gagal diteruskan ke
ventrikel akibat adanya blok di AV junction. Akibatnya aktifitas ventrikel tidak
lagi distimulasi oleh pacu jantung (pace maker) normal yaitu simpul SA,
melainkan dari sumber atau fokus yang berada distal terhadap lokasi blok, bisa di
AV jantung atau lebih distal seperti berkas cabang. Fokus ini disebut subsidiary
pacemaker. Karena itu baik aktifitas atrium dan ventrikel akan tampak berjalan
sendiri-sendiri. Tidak ada hubungan konstan atau koordinasi antara gelombang P

21

dan kompleks QRS ( independent satu sama lain). Interval PP dan RR tampak
teratur, kecuali ekstra sistol.3,4
Dalam kondisi normal, persimpangan AV yang terdiri dari AVN dengan
sambungannya terhadap jalur internodal atrium, bundel AV dan bagian yang tidak
bercabang dari bundel His, memberikan hubungan tunggal untuk transmisi impuls
antara sistem konduksi atrioventrikuler. Serat-serat pada AVN memiliki sifat
tahanan yang tinggi yang menyebabkan penundaan antara transmisi impuls
atrioventrikuler. Penundaan ini memberikan waktu optimal bagi pengisian
ventrikel dan melindungi ventrikel dari laju abnormal yang berasal dari atrium.
Gangguan konduksi dari AVN paling banyak dihubungkan dengan fibrosis atau
jaringan luka pada sistem konduksi. Gangguan konduksi dapat juga berakibat dari
pengobatan, termasuk digoxin, beta-bloker, calcium channel blocker dan
antiaritmia kelas 1A. Faktor tambahan yang memperberat termasuk gangguan
elektrolit, penyakit radang , atau operasi jantung. Blok jantung mengacu kepada
gangguan konduksi impuls. Gangguan konduksi dapat berupa perubahan
fisiologis atau patologis. Hal ini dapat terjadi pada serat AVN atau bundel AV.
Interval PR pada EKG akan sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk
penyampaian impuls dari nodus SA sampai ke jalur ventrikel.2
AV Blok terbagi menjadi: 3,4,5
a. Blok AV derajat satu

Gambar : blok AV derajat 1

AV derajat satu merupakan derajat yang paling ringan. Pada jenis ini, impuls
yang dibentuk disimpul SA mengalami perlambatan disimpul AV. Karena itu,
istilah blok AV pada kondisi ini sebenarnya kurang tepat, karena yang terjadi
adalah perlambatan (delay), bukan blok. Pada derajat satu, blok biasanya terjadi di
simpul AV. Pada umumnya durasi kompleks QRS yang mengikuti masih sempit
22

kecuali bila terjadi aberansi. Interval PR tampak konstan tanpa episode dropped
beat. Karena itu interval RR juga tampak teratur.3,4
Pemanjangan interval ini antara lain disebabkan konsumsi obat-obatan
(penyekat reseptor beta, antagonis kalsium, amiodaron dan digoksin), penyakit
jantung koroner. Meskipun jarang, pemanjangan interval PR (0,21-0,22 det)
kadang masih akan ditemukan pada individu tanpa kelainan struktural apa-apa di
jantung. Pasien sering kali tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Blok AV
derajat satu biasanya tdak memerlukan tindakan apa-apa.4
Kriteria diagnostiknya adalah :
1) Setiap gelombang P di ikuti oleh QRS ( tidak ada episode dropped beat).
2) Interval PR > 0,2 detik. Pemanjangan interval ini konstan dari beat ke beat.2
b. Blok AV derajat dua
Tahun 1899, Karel Frederik Wenckebach, menjelaskan sebuah fenomena
timbulnya sebuah ketidakteraturan denyut nadi karena blok parsial di atrium
ventrikular junction. Akibat blok parsial ini, terjadi pemanjangan progresif waktu
konduksi di jantung. Fenomena ini kemudian disebut sebagai fenomena
Wenckebach. Pada bulan juli 1923 woldemar mobitz untuk pertama kali membagi
blok AV derajat dua menjadi dua tipe yaitu :3,4
1) Tipe I ( mobitz tipe I atau Wenckebach phenomenon)

Gambar: Blok AV mobitz I

Pada mobitz tipe I impuls yang datang dari atrium lebih sulit melawati
simpul AV. Pada EKG tampak pada interval PR memanjang progresif hingga suatu
saat gelombang P tidak diteruskan menjadi kompleks QRS karena simpul AV
masih refrakter (Wenckebach phenomenon). Dengan demikian, depolarisasi dari
atrium tidak lagi diteruskan ke ventrikel atau dropped beat. Setelah dropped beat
ini terjadi, masa refrakter simpul AV telah selesai. Dengan kata lain simpul AV
telah siap untuk menerima dan meneruskan impuls yang baru dari atrium. Karena
itu saat ada impuls yang baru datang, simpul AV kembali dapat meneruskannya ke

23

distal dengan interval PR lebih pendek dibanding sebelum terjadinya dropped


beat. Siklus baru akan di mulai kembali interval PR perlahan-lahan kembali
memanjang hingga suatu saat kembali terjadi dropped beat demikian seterusnya.
Interval PR perlahan-lahan akan tampak memendek hingga terjadinya blok.
Karena adanya fenomena ini kompleks QRS akan tampak seperti mengelompok
seperti adanya blok. Bila menemukan fenomena seperti ini kita dapat mencurigai
terjadinya blok wenckebach sebelum menyelidiki hubungan antara gelombang P
dan kompleks QRS.3
Tidak semua blok derajat ini memperlihatkan pemanjangan interval PR yang
jelas. Pada sebagian kasus pemanjangan interval ini terjadi perlahan hingga
terjadinya dropped beat. Meskipun demikian , kita akan selalu melihat bahwa
interval PR setelah dropped beat akan selalu lebih pendek dibanding sebelum
episode blok.4
Pada blok AV derajat dua tipe I lokasi blok biasanya masih berada disimpul
AV atau bagian atas regio junctional atau supra his. Biasanya kompleks QRS juga
akan normal (sempit). Hemodinamik masih akan normal. Pasien-pasien seperti ini
akan tetap asimtomatik bertahun-tahun tanpa mengalami perburukan derajat.3
Pada kasus blok wenckebach terdapat interval PR memanjang progresif
hingga suatu saat gelombang P gagal dihantarkan melalui nodus AV sehingga
tidak diikuti kompleks QRS.3
Mobitz tipe satu dapat timbul karena konsumsi obat-obat tertentu seperti
digoksin atau penyekat reseptor beta. Blok ini cukup sering terjadi pada infark
miokard inferior akibat gangguan suplai darah ke simpul AV. Selain itu, juga dapat
terjadi pada miokarditis, proses sklerodegeneratif yang melibatkan nodus AV dan
tonus vagal yang tinggi (seperti saat tidur, muntah, atlet terlatih).5
2) Tipe II ( mobitz tipe II)

24

Gambar : Blok AV mobitz II

Tipe ini mengindikasikan terjadinya kerusakan struktural permanen berkas


cabang akibat infark miokardium anterior luas atau proses degeneratif luas sistem
konduksi. Lokasi blok biasanya terdapat dibawah bekas his atau infra his. Lokasi
blok di simpul AV sangatlah jarang karena itu sebagian besar akan disertai oleh
blok berkas cabang.2,3
Pada mobitz tipe II tidak di dapatkan pemanjangan progresif interval PR
yang membedakannya dari mobitz tipe I. Interval PR akan konstan, bisa
memanjang atau normal. Yang khas adalah terdapat blok intermiten gelombang P
dengan rasio yang bervariasi (3:2,4:3,dll). Durasi QRS sering kali lebar yang
menandakan lokasi blok di distal berkas his. Kriteria diagnosa mobitz tipe II yaitu
adanya denyut yang hilang tanpa pemanjangan progresif dari interval PR.3
c. Blok AV derajat tiga (Blok AV total)

Gambar : blok AV total

Pada blok AV total seluruh impuls dari supraventrikel gagal diteruskan ke


ventrikel akibat adanya blok di AV junction. Akibatnya aktifitas ventrikel tidak
lagi distimulasi oleh pacu jantung (pace maker) normal yaitu simpul SA,
melainkan dari sumber atau fokus yang berada distal terhadap lokasi blok, bisa di
AV jantung atau lebih distal seperti berkas cabang. Fokus ini disebut subsidiary

25

pacemaker. Denyut yang ditimbulkan pada fokus di bawah SA adalah dibawah 60


x /menit. Pada blok AV total seperti pada kasus baik aktifitas atrium dan ventrikel
akan tampak berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada hubungan konstan atau koordinasi
antara gelombang P dan kompleks QRS ( independent satu sama lain). Interval PP
dan RR tampak teratur, kecuali ekstrasistol.6,7
Pada kasus ini juga dijumpai interval PP dan RR teratur, pasien memiliki
irama sinus, sedangkan pada pasien dengan irama dasar fibrilasi atrium atau
kepak atrium (atrial flutter), terjadinya blok AV Total dapat dikenali jika respon
ventrikel menjadi teratur.2,3
Pada EKG pasien terlihat adanya irama yang mengambil alih dan sesuai
dengan kriteria blok av total yaitu:
a) Tidak terdapat hubungan antara aktifitas atrium (gelombang P) dan
ventrikel (komplek QRS).
b) Gelombang P muncul dengan interval teratur sebagaimana kompleks QRS,
tetapi tidak berhubungan satu sama lain. Komplek QRS tampak melebar
menyatakan bahwa asalnya dari ventrikel.2,3
AV blok adalah hasil dari beragam keadaan patologis yg menyebabkan
infiltrasi, fibrosis, atau kerusakan di sistem konduksi terutama pada usia tua
seperti yang ditemukan pada kasus ini. AV blok derajat tiga bisa juga ditemukan
secara kongenital pada pasien dengan usia lebih muda ataupun di sebabkan oleh
faktor lain nya.3 Kelainan-kelainan yang bisa menyebabkan AV blok diantaranya :
penyakit degeneratif sistem penghantaran (Lev's disease, Lenegre' disease),
iskemi atau infark miokard, kardiomiopati dilatasi, keracunan obat karena
digitalis, quinidin, fenotiazin, anti depresi trisiklik, penyakit katup jantung
khususnya stenosis aorta dan insufisiensi aorta, kelainan miokard dan jaringan
ikat (sarkodiosis, skeloderma, amiloidosis, SLE, penyakit tiroid) pembedahan,
hiperkalemia dan diikuti anti aritmia, tumor jantung (baik primer maupun
sekunder), dan Chagas' disease.5
Pada pasien kemungkinan TAVB disebabkan karena adanya penyakit
degeneratif sistem hantaran yang disertai dengan adanya kardiomiopati.
Diagnosis total AV blok pada pasien ini juga bisa ditegakkan dengan
pemeriksaan EKG. Pada EKG dapat dijumpai frekuensi gelombang P tidak sama
dengan kompleks QRS, bentuk kompleks QRS dapat normal (picu sekunder di AV
junction) atau menyerupai bentuk denyut ektopik ventrikel (picu sekunder pada
26

dinding ventrikel). Gelombang P sinus dan banyak, sementara kompleks QRS


hanya ada beberapa. Adanya disosiasi AV dimana tidak adanya hubungan
gelombang P dan kompleks QRS. Interval RR masih teratur. Irama atrial lebih
cepat daripada irama ventrikel, irama ventrikel sangat lambat 30 x/menit.3
Left Bundle Branch Block (LBBB) juga dapat ditemukan pada EKG pasien
kardiomegali. LBBB terjadi akibat adanya hambatan atau blok impuls pada
tingkat berkas cabang kiri. Karena blok ada diberkas cabang kiri dengan
sendirinya fase awal aktivasi ventrikel (aktivasi septum) pasti berubah. Artinya,
aktivasi septum tidak lagi berlangsung dari sisi kiri ke kanan, melainkan
sebaliknya. Aktivasi septum pada LBBB berlangsung sangat lambat dari otot ke
otot. Karena itu waktu yang diperlukan lebih lama tidak heran jika durasi QRS
pun akan menjadi lebih lebar.4
Pada LBBB urutan aktivasi ventrikel menjadi abnormal, baik dalam vektor
awal maupun vektor akhir kompleks QRS. Akibat blok, eksitasi ventrikel akan di
mulai oleh impuls yang dihantarkan melalui berkas cabang kanan. Berkas cabang
kanan berjalan dari atas septum ke distal (di sisi kanan septum interventrikel)
menuju apeks ventrikel kanan sebagai sebuah serabut tanpa memberikan cabang
apa-apa. Daerah yang di eksitasi lebih awal adalah sisi kanan septum ventrikel,
apex dan dinding bebas ventrikel kanan. Proses eksitasi septum selanjutnya
berlangsung dari sisi kanan ke kiri. Pada LBBB, gelombang q septal ini akan
hilang akibat perubahan arah vektor awal QRS.4
Selanjutnya eksitasi diteruskan ke ventrikel kiri yang ada di kiri belakang.
Dengan demikian depolarisasi dan rerata vektor QRS juga berubah ke arah kiri
dan posterior. Karena depolarisasi dihantarkan tidak melalui sistem konduksi
normal, maka defleksi yang timbul tampak lebar. Selain itu hjuga terdapat
perubahan arah repolarisai, vektor segmen ST dan T menjadi berlawanan arah
dengan vektor QRS. Akibatnya, terekam gambaran ST depresi dan infersi
gelomabang T di sadapan precordial kiri, sadapan 1 dan AVL.4
Kriteria diagnosis LBBB :
a) Durasi QRS > 0,12det
b) Gelombang R tampak lebar , bertakik, disandapan prekordial kiri , I dan aVL.
c) Gelombang q menghilang di sadapan prekordial kiri
d) Onset intrisicoid deflection terlambat di V6 namun masih normal di V1.
e) Depresi segmen ST dan inversi gelombang T berlawanan arah dengan arah
defleksi kompleks QRS (discordan).4,5

27

LBBB sering kali merupakan petunjuk adanya kelainan struktural di


jantung. Konduksi patologis yang sering berhubungan adalah hipertensi lama,
stenosis aorta, kardiomiopati dilatasi, infrak miokard, PJK dan kelainan sistem
konduksi listrik jantung. LBBB sering timbul pada PJK dengan fungsi ventrikel
kiri yang rendah.4
EKG pasien menunjukkan terjadinya LBBB terlihat dari gelombang QRS >
0.12 detik, dimana gelombang R tampak lebar dan bertakik, dan inversi
gelombang T. LBBB pada pasien kemungkinan disebabkan karena adanya
kelainan struktur seperti kardiomegali dan hipertensi lama.
Pada pemeriksaan foto toraks mungkin ditemukan kardiomegali pada
jantung kiri kemungkinan disebabkan karena berbagai faktor, seperti adanya
hipertensi lama ataupun kardiomiopati serta penyakit katup jantung, juga mungkin
ditemukan adanya kongesti pada bradikardi dengan penyakit dasar gagal jantung.
Pemeriksaan foto toraks pada kasus sesuai dengan pemeriksaan fisik yang
mendukung kardiomegali disertai dengan sklerosis dari aorta yang menunjukkan
pada pasien mulai terjadi proses degenerasi. Pada kasus tidak ditemukan adanya
kongesti.4
Pemeriksaan ekokardiografi dapat juga dilakukan untuk mengetahui etiologi
pasti dari bradikardi sekaligus bisa menilai dimensi ruang jantung, anatomi dan
fungsi jantung.
Ekokardiografi pada pasien menunjukkan hasil dilated kardiomiopathy
disertai dengan total AV blok.
Kardiomiopati adalah sekumpulan kelainan pada jantung dengan kelainan
utama terbatas pada miokardium. Kondisi ini seringkali berakhir dengan menjadi
gagal jantung.1 Etiologi terkadang dapat diketahui tetapi tidak jarang pula
etiologinya tidaklah jelas. Yang tidak termasuk dalam klasifikasi penyakit ini
tetapi sama-sama menganggu miokardium dan dapat menimbulkan gagal jantung
adalah kondisi seperti hipertensi, penyakit katup atau penyakit arteri koroner.1,2
Kardiomiopati dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan perubahan anatomi
yang terjadi, yaitu kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofi dan
kardiomiopati restriksi.1,3 Kardiomiopati dilatasi adalah jenis kardiomiopati
dengan ciri- ciri yaitu terdapatnya dilatasi ruang ventrikel yang progresif dan
disertai disfungsi dari kontraksi ventrikel saat sistolik. Penyakit ini memiliki
28

banyak etiologi antara lain: genetik, bahan toksik (alkohol, doxorubicin),


peripartum, miokarditis virus tetapi pada sebagian besar kasus penyebabnya
adalah idiopatik.3
Dilatasi ruang yang terjadi lebih sering mengenai salah satu ventrikel saja.
Dilatasi ruang ventrikel biasanya diikuti pembesaran dinding ventrikel tetapi
pembesaran dinding yang terjadi masih lebih kecil dibandingkan dengan dilatasi
ruang ventrikel.2 Penyebab dari gejala klinis yang tampak pada kardiomiopati
dilatasi adalah adanya penurunan fungsi kontraksi miokardium diikuti oleh
adanya dilatasi pada ruang ventrikel. 3 Penurunan fungsi kontraksi miokardium
disebabkan karena adanya kerusakan pada kardiomiosit, kerusakan ini akan
mengakibatkan kontraksi ventrikel menurun, dan diikuti dengan penurunan
volume sekuncup serta curah jantung. Penurunan kontraksi ventrikel jika sudah
tidak dapat diatasi lagi oleh mekanisme kompensasi (baik oleh peningkatan
simpatis, mekanisme Frank-Starling, sistem renin angiotensin- aldosteron/RAA
dan vasopresin), maka akan menyebabkan ventrikel hanya dapat memompa
sejumlah kecil darah ke sirkulasi, sehingga nantinya darah tersebut akan lebih
banyak tertimbun di ventrikel, timbunan darah inilah yang akan menyebabkan
dilatasi ruang ventrikel yang bersifat progresif.2
Dilatasi ruang yang progresif nantinya akan membuat disfungsi katup mitral
(katup mitral tidak dapat tertutup sempurna), kelainan pada katup mitral ini akan
menyebabkan terjadinya regurgitasi darah ke atrium kiri. Regurgitasi darah ke
atrium kiri memiliki tiga dampak yang buruk, yaitu peningkatan tekanan dan
volume yang berlebihan di atrium kiri sehingga atrium kiri membesar yang akan
meningkatkan resiko, dampak buruk berikutnya adalah regurgitasi ke atrium kiri
menyebabkan darah yang dipompakan oleh ventrikel kiri lebih sedikit sehingga
memperparah penurunan stroke volume yang telah terjadi, dampak buruk yang
terakhir adalah pada saat diastolik volume darah yang masuk ke atrium
kirimenjadi lebih besar karena mendapat tambah darah yang disebabkan oleh
regurgitasi ventrikel kiri yang pada akhirnya akan menambah jumlah darah di
ventrikel kiri, sehingga memperparah dilatasi yang telah terjadi.4 Hal ini sesuai
dengan yang dietmukan pada kasus dimana pada pemeriksaan fisik, EKG, dan

29

foto thoraks serta ekokardiografi tampak adanya pembesaran atrium dan ventrikel
kiri.7,8

Gambar : Kardiomiopati

Pada usia tua seperti pada kasus muncul adanya miosit disarray sehingga
rentan terhadap timbulnya aritmia yang malignan akibat munculnya fokus ektopik
dan mulai terjadi degenerasi sistem konduksi yang menyebabkan terjadinya
fibrosis sehingga menimbulkan gangguan irama jantung.3
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami TAVB yang ditandai dengan sinus bradikardia. Sinus
bradikardi seperti pada kasus ini biasa juga terjadi pada kondisi patologis setelah
mengalami miokard infark pada dinding jantung inferior yang mempengaruhi
arteri koroner kanan, yang mensuplai darah pada SA node. Bisa juga diakibatkan
oleh berbagai kondisi lain dan penggunaan obat tertentu. Signifikasi klinis dari
bradikardi bergantung pada berapa lambat kecepatannya dan apakah pasien
mengalami gejala (pengaruh). Sebagai contoh orang dewasa dapat menoleransi
sinus bradikardi hingga 45 sampai 59 kali/ menit, tetapi kurang toleran jika
kecepatan dibawah 45 kali/menit.3,7
Sinus bradikardi biasanya tidak menyebabkan keluhan (gejala) yang berarti,
kecuali jika pasien menunjukan tanda gejala penurunan curah jantung (cardiac
output), tidak ada terapi yang dibutuhkan.7
Pada kasus awalnya pasien juga tidak merasakan adanya gejala seperti
nyeri dada, sinkop ataupun lemas dan sesak. Pasien baru mengeluhkan keluhan
nyeri dada sejak 1 bulan SMRS dan keluhan tersebut tidak terlalu berat.
Saat tidak bergejala pasien dikatakan mengalami bradikardi asimtomatik,
dimana sudah terjadi gangguan irama jantung namun masih cukup memenuhi
cardiac output dan sesuai teori hal ini belum memerlukan terapi.7
30

Ketika sinus bradikardi menyebabkan gejala, maka harus ditangani dengan


tepat seperti pada pasien ini baik itu dengan obat-obatan maupun dengan alat.
Jantung pada pasien dengan gangguan jantung tidak mampu mengkompensasi
penurunan kecepatan jantung melalui peningkatan volume sekuncup (stroke
volume). Pada jantung sehat dapat dikompensasi dengan peningkatan volume
sekuncup. Seperti pada pasien dalam kasus ini dengan usia yang semakin tua
dimana jantung mulai mengalami degenerasi dengan adanya kardiomegali maka
yang tadinya curah jantung masih cukup mengkompensasi lama kelamaan akan
terjadi penurunan curah jantung yang berakibat munculnya tanda gejala seperti
hipotensi dan pusing. Palpitasi (jantung berdegup) dan iregularitas denyut nadi
dapat terjadi jika pasien mengalami denyut ektopik (denyut di luar pacemaker SA
node) seperti premnature atrial, junctional, atau ventrikular kontraksi. Penurunan
aliran darah ke serebrum (otak) menyebabkan gejala seperti penurunan tingkat
kesadaran

(level

of

consciousness)

seperti

bingung.

Bradikardi

dapat

menyebabkan pingsan (syncope) atau dapat mengalami Stokes-Adams attack.8


Bradikardi seperti pada pasien ini, merupakan faktor pencetus (predisposisi)
masalah aritmia yang lebih serius seperti ventrikular takikardi (VT) dan
ventrikular fibrilasi (VF).8

Gambar : Sinus bradikardi

Penatalaksanaan pada kasus ini tergantung dari apakah simtomatik atau


asimtomatik. Jika pasien tidak mengalami gejala apa pun (asimtomatik) dan tanda
vital dalam batas normal (stabil), maka terapi tidak dibutuhkan. Lanjutkan untuk
mengobservasi irama jantung, monitoring perkembangan dan durasi (lama waktu)

31

bradikardi. Evaluasi toleransi pasien pada saat istirahat dan beraktivitas. Tinjau
kembali penggunaan obat atau obat-obatan yang sudah diberikan. Periksa dengan
petugas kesehatan mengenai penghentian obat yang dapat menekan fungsi SA
node seperti digoksin, beta-adrenergic blocker, atau calcium channel Blocker.
Sebelum pemberian obat, pastikan denyut jantung dalam batas aman.6
Jika pasien mengalami gejala, treatmen bertujuan untuk mengindentifikasi
dan memperbaiki faktor penyebab. Sementara itu, denyut jantung (heart rate)
harus dijaga dengan transcutaneous pacing (alat pacu jantung). Gunakan obat
seperti atropin, epinefrin, atau dopamin, selama menunggu pacemaker atau
jika pacing (alat pacu) tidak efektif.6,7
Penatalaksanaan bradikardi yang disebabkan total AV blok sendiri hampir
sama yaitu dilakukan dengan obat obatan dan pemasangan pacu jantung. Obatobatan yang diberikan berupa sulfas atropin 0,5 mg intravena dengan dosis
maksimal 2 mg merupakan obat pilihan, dan sebagai alternatif adalah
isoproterenol.8,9
Pada kasus digunakan terapi medikamentosa berupa digoksin 1x 0.25mg,
amlodipin 1x5 mg, amiodaron 2 x 200 mg, dan salbutamol 2 x 2 mg dimana
sebelumnya diberikan juga amiodaron secara drip selama 48 jam.7,8
Digoksin adalah glikosida jantung, 6580% diserap setelah pemberian
secara oral. Begitu sampai ke dalam darah, seluruh golongan glikosida jantung
didistribusikan secara merata ke jaringan-jaringan, meliputi sistem saraf pusat.
Akan tetapi, distribusi digoksin memang relatif lambat; oleh karena itu, meskipun
diberikan melalui intravena, ada kelambatan beberapa jam antara pemberian obat
dengan efek antiarimia. Waktu paruh eliminasi digoksin adalah 36 jam pada
pasien dengan fungsi ginjal normal. Oleh karena itu digoksin dapat diberikan
sekali dalam sehari seperti pada kasus. Sedangkan kadar digoksin dalam darah
dicapai setelah

pemberian selama seminggu sebagai permulaan terapi

pemeliharaan. Digoksin dieksresi melalui ginjal dengan clearance

rate yang

sebanding dengan glomerular filtration rate.8


Amiodaron adalah antiaritmia kelas 3 yang memiliki sifat farmakokinetik
dan dinamik yang unik. Amiodaron memiliki bioavailabilitas yang sangat
bervariasi, yaitu berkisar antara 22 hingga 95%. Absorpsinya meningkat bila

32

diminum bersamaan dengan makanan. Karena bersifat larut dalam lemak maka
amiodaron ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi di jaringan lemak dan otot,
hati, paru dan kulit. Amiodaron juga dapat menembus sawar plasenta dan
ditemukan pada air susu ibu.9
Waktu paruh amiodaron sangat panjang, rata-rata 58 hari. Secara
elektrofisiologis,

amiodaron

menyebabkan

pemanjangan

interval

QT,

melambatkan laju jantung dan konduksi AV node dengan menghambat kanal


kalsium dan reseptor beta, lalu dengan menginhibisi kanal kalium dan natrium
menyebabkan

pemanjangan

masa

refrakter

dan

perlambatan

konduksi

intrakardiak. Amiodaron bersifat sangat lipofilik dan didistribusikan ke berbagai


jaringan seperti jaringan adiposa, miokardium, hati dan paru-paru. Sekitar 35-65%
obat ini diabsorbsi setelah pemberian oral. Waktu bekerjanya setelah pemberian
oral berlangsung lambat dan kadar yang stabil dalam darah (amiodaronisasi)
mungkin belum tercapai selama beberapa bulan, kecuali bila dosis besar diberikan
pada awal pemakaian. Bahkan dengan pemberian intravena, efek penuh
elektrofisiologisnya lambat tercapai. Saat pemberian awal secara intravena
amiodaron intravena seakan cepat menghilang dari plasma karena redistribusi ke
jaringan bukan karena eliminasi keluar dari tubuh. Karena redistribusi di jaringan
ini dibutuhkan loading dose sebelum konsentrasinya stabil (steady state) di
jaringan. Amiodaron tidak diekskresikan melalui ginjal namun melalui kelenjar
lakrimal, kulit, dan traktus biliaris. Sebagian besar (66-75%) dieliminasi melalui
empedu dan feses.3,5 Efek antiaritmia amiodaron merupakan hasil interaksinya
dengan sistem konduksi jantung. Penggolongan obat antiaritmia dibagi menjadi
empat kelas berdasarkan mekanisme ionik dan reseptor obat pada proses potensial
aksi di sistem konduksi jantung.9
Amiodaron termasuk golongan III, yaitu obat aritimia yang terutama bekerja
di saluran K+ sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan interval QT.
Mekanisme kerja amiodaron juga meliputi aktivitas obat aritmia kelas I, II, dan IV
sehingga disebut sebagai obat aritmia dengan spektrum luas dan cukup efektif
digunakan pada berbagai macam aritmia.1 Di antaranya adalah paroksismal
supraventrikuler aritmia sebagai agen pilihan kedua setelah adenosin dan calcium

33

channel blocker nondihidropiridin, sebagai obat kardioversi untuk fibrilasi atrium,


dan sebagai pilihan utama untuk takiaritmia ventrikuler.9
Amiodaron direkomendasikan untuk beberapa keadaan, antara lain: terapi
pada VT tanpa nadi atau VF yang refrakter terhadap defibrilasi; terapi VT
polimorfik atau takikardia dengan QRS kompleks yang lebar yang tidak diketahui
sebabnya; kontrol VT dengan hemodinamik stabil apabila kardioversi tidak
berhasil, sangat berguna terutama bila fungsi ventrikel kiri menurun; sebagai obat
tambahan pada kardioversi supraventrikular takikardia atau paroksismal
supraventrikular takikardi; dapat digunakan untuk terminasi takikardia atrial
multifokal atau ektopik dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik; dapat
digunakan untuk kontrol denyut jantung pada atrial fibrilasi atau atrial flutter bila
terapi lain tidak efektif. Pada keadaan di mana efek antiaritmia amiodaron
dibutuhkan cepat, dosis awal oral (loading dose) dapat sebesar 800-1600 mg/hari
dalam 3-4 dosis sedangkan secara intravena dalam satu hari dapat diberikan
sampai 1000 mg. Pada keadaan yang lebih ringan amiodaron oral diberikan
dengan dosis awal 600 mg per hari. Loading dose ini dapat diberikan selama 7-14
hari sampai aritmia dapat dikontrol lalu diturunkan lagi menjadi 400-800 mg/hari
untuk satu sampai tiga minggu berikutnya. Besar dosis pemeliharaan yang
diberikan untuk jangka panjang tergantung dari aritmianya; pada atrial flutter atau
fibrilasi atrial dosisnya dapat lebih kecil yaitu 100 mg/hari dibandingkan dengan
200-400 mg/hari untuk kontrol aritmia ventrikuler.9
Amlodipin

adalah

golongan

Calcium

Channel

Blocker (Nifedipin,

Amlodipin). Bekerja dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam otot polos


pembuluh darah sehingga mengurangi tahanan perifer. Merupakan antihipertensi
yang dapat bekerja pula sebagai obat angina dan antiaritmia, sehingga merupakan
obat utama bagi penderita hipertensi yang juga penderita angina.7
Kasus ini juga diberikan salbutamol atau golongan B2 agonis. Salbutamol
dalam dosis kecil mempunyai efek kerja pada reseptor B2 jauh lebih kuat
dibandingkan B1. Akan tetapi bila dosisnya ditinggikan , selektivitasnya hilang,
sehingga diperoleh efek aktivasi reseptor B1 sehingga dapat menstimulasi
jantung.7

34

Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu jantung temporer. Biasanya
jarang diperlukan alat pacu jantung permanen. Sangat perlu diperhatikan kondisi
hemodinamik pasien. American Heart Association/ American College of
Cardiology membagi indikasi pemasangan pacu jantung ke dalam 3 kelas: kelas
I,II,III. Yang dimaksud kelas I adalah keadaan dimana pacu jantung harus
dipasang, kelas II keadaan dimana masih terdapat perbedaan mengenai
kepentingannya, dan kelas III keadaan dimana tidak diperlukan pacu jantung.
Khusus untuk indikasi kelas I pemasangan pacu jantung pada blok AV adalah
sebagai berikut:7,8
1.

AV blok derajat III pada setiap tingkatan anatomik yang dihubungkan


dengan salah satu komplikasi berikut:
a. Brakikardi asimtomatik
b. Aritmia dan kondisi lain yang menimbulkan brakikardia simtomatik
c. Periode asistol yang terekam > 3 detik atau setiap kecepatan yang hilang
< 40 denyut/menit pada pasien yang bebas dari gejala
d. Blok AV pasca operasi yang tidak diharapkan terjadi
e. Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti: distrofi miotonik
muskular, Kearns-Sayre syndrome, Erb's dystrophy dan atrofi muskular
peroneal.

2.

Blok AV derajat II tidak memandang jenis atau letak blok dengan


bradikardia simtomatik.
Pada pasien tersebut ditemukan kriteria kelas I dimana adanya riwayat

bradikardi asimtomatik dan aritmia dan kondisi lain yang menimbulkan


brakikardia simtomatik serta kecepatan < 40 denyut/menit.
Idealnya pada semua pasien bradikardi simtomatik termasuk yang
disebabkan TAVB dilakukan pemasangan pacu jantung. Pada pasien dalam kasus
pemberian obat-obatan telah dicoba untuk memperbaiki denyut jantung namun
tidak berhasil, maka dilakukan pemasangan pacu jantung sebagai sumber energi
eksternal yang digunakan untuk menstimuli jantung jika gangguan pembentukan
impuls dan/ atau transmisi menimbulkan bradiaritmia. Diharapkan dengan pacu
jantung akan mengembalikan hemodinamik ke tingkat normal atau mendekati
nomal pada saat istirahat dan aktivitas. Pemasangan pacu jantung temporer
biasanya untuk memberikan stabilisasi segera sebelum pemasangan pacu jantung
permanen. Seperti pada pasien ini sebelum dipasang PPM dilakukan pemasangan
35

TPM (temporary pacemaker). Insersi biasanya dilakukan transvena ke apeks


ventrikel kanan. Sedang pacu jantung permanen insersinya dilakukan melalui
vena subklavia atau sefalika dengan sadapan yang diletakkan dalam aurikula
kanan untuk pemasangan atrium dan apeks ventrikel kanan untuk pemasangan
pacu jantung ventrikel. Untuk memenuhi kebutuhan curah jantung pada
peningkatan aktivitas maka dipilih alat pacu jantung menetap yang dilengkapi
respon denyut, yaitu suatu VVIR. Dalam hal ini untuk mengurangi efek buruk
pemacuan ventrikel jangka panjang, maka sebaiknya lead ventrikel diletakkan di
alur keluar ventrikel kanan bukan di apeks.7

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Rilantono L. Penyakit Kardiovaskular Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012.


2. Dharma S. Sistematika Interpretasi EKG : Pedoman Praktis Jakarta: Kedokteran
EGC; 2009.
3. Abraham MBM. Critical decisions in emergency medicine and acute
electrocardiography. PubMed. 2007;: p. 281-2.
4. Sulista. Farmakologi dan terapi Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI; 2012.
5. J L. ECG : Diagnosis complete hearth block. 2011; 15(2).
6. Rilanto LBFKS. Buku Ajar Kardiologi Jakarta: FKUI; 2004.
7. Yuniadi. Bradikardia simtomatik : mekanisme dan tatalaksana. Jurnal
Kardiologi Indonesia. 2011 : 30 : 23-31
8. Supraba DH. Intosikasi Digoksin. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2011:32:36-41
9. Yuniadi. Clinical Aplication of Amiodaron Trials. Jurnal Kardiologi Indonesia.
2009 : 30 : 25-31

37

Anda mungkin juga menyukai