mensejahterakan kehidupan rakyatnya dirasa masih kurang efektif. Karena dalam implementasi
kegiatan pembangunan menggunakan pendekatan yang bersifat top-down, sentralistis, dan
mengutamakan keseragaman (uniformity), dalam pendekatan ini masyarakat tidak mempunyai
hak dan kewenangan untuk menyatakan pendapat dan menyalurkan aspirasinya, meskipun hal ini
adalah ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan hidupnya. Dalam pelaksanaan program ini
seringkali masyarakat hanya dilibatkan dalam pembangunannya saja, dan tidak dilibatkan dalam
tahap perencanaannya. Setelah pendekatan yang berbasis pada keputusan pemerintah ini
berlangsung cukup lama, tidak banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat dalam
tujuannya untuk mensejahterakan hidupnya. Apa yang dibutuhkan dan dikeluhkan oleh
masyarakat kalangan bawah (miskin) justru tidak tersentuh oleh program dari pemerintah ini,
alasannya adalah pemerintah yang berpihak sebagai fasilitator bersikap sok tahu dengan apa
yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Adanya pemahaman bahwa pihak dari pemerintah lah yang
mengetahui apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya dan apa yang terbaik untuk rakyatnya
menjadi masalah yang paling mendasar gagalnya program berbasis pemerintah ini.
Atas kondisi yang tidak mampu memperbaiki taraf hidup masyarakat, akhirnya muncul
kritik-kritik dari berbagai pihak untuk menggeser posisi program peningkatan kesejahteraan
hidup yang berbasis pemerintah menjadi program peningkatan kesejahteraan hidup yang berbasis
pada masyarakat. Apabila pendekatan sebelumnya menggunakan pendekatan yang berasal dari
pusat dalam hal ini pemerintah, diubah menjadi pendekatan yang berasal dari masyarakat.
Dengan demikian pendekatan yang dipergunakan disebut dengan pemberdayaan masyarakat.
Dalam program pemberdayaan masyarakat menggunakan teori pembangunan yang berpusat pada
rakyat (people centered development) yang dalam implementasinya dijabarkan ke dalam
pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah sebuah pendekatan yang memberikan kesempatan,
wewenang yang lebih besar kepada masyarakat terutama masyarakat lokal untuk mengelola
proses pembangunannya. Kewenangan tersebut meliputi keseluruhan proses pembangunan sejak
identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan menarik manfaat
hasil pembangunan (Soetomo, 2013:69). Sehingga dalam program ini masyarakat tidak hanya
sebagai obyek, yang asal menerima jadi program yang telah dirancang oleh pemerintah. Tidak
seperti program sebelumnya, pada program pemberdayaan masyarakat ini mulai dari tahap
pertama hingga tahapan terakhir masyarakat benar-benar dilibatkan dalam pelaksanaanya. Oleh
karena itu, tujuannya adalah agar masyarakat sebagai penerima program yang nantinya sebagai
penerima manfaat merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
Sehingga
apabila
terdapat
resiko
atau
dampak
negatif
dari
program
yang
akan
menjadi kebutuhan dan masalah apa yang dihadapi serta potensi apa yang bisa dimanfaatkan dari
wilayah setempat.
Beberapa usaha yang telah diupayakan oleh program pemberdayaan masyarakat tentunya
tidak serta-merta mencapai keberhasilan, dalam keberlangsungannya perubahan sifat pendekatan
yang berusaha diupayakan masih mengalami berbagai persoalan yang membutuhkan
penyelesaian dan pemecahan yang lebih mendalam. Persoalan tersebut bisa muncul dari berbagai
sebab, salah satunya yakni konsep pemberdayaan yang tidak sesuai dengan tujuan dari
pemberdayaan itu sendiri. Misalnya, program pemberdayaan masyarakat dalam bidang
penyelesaian masalah kebutuhan hidup. Dalam upaya penyelesaiannya menggunakan cara
pemberian bantuan berupa pembagian beras murah bagi warga miskin (raskin). Dalam program
pemberdayaan yang diberikan ini justru membuat masyarakat menjadi semakin tergantung
kepada pemerintah. Selain itu bantuan yang diberikan merupakan program pemberdayaan yang
tidak mendidik, dan tidak berorientasi kepada pengembangan kapasitas sehingga justru tidak
mampu membuat masyarakat hidup secara mandiri. Contoh yang kedua yakni program
pemberdayaan berupa pinjaman modal bagi Usaha Kecil Menengah (UKM), dalam
keberlangsungannya seringkali bunga pinjaman yang tinggi dibebankan kepada masyarakat
dalam hal ini penerima manfaat, yang akhirnya justru membuat penerima manfaat menjadi
tereksploitatif. Hal ini juga tidak sesuai dengan tujuan utama dari pemberdayaan masyarakat
yakni mensejahterakan kehidupan masyarakat.
Persoalan lain juga muncul dari beberapa pihak yang mendukung program pemberdayaan
masyarakat, salah satunya yakni munculnya beberapa gerakan sosial seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang seharusnya bertugas memperkuat posisi masyarakat sipil (civil society)
dan meningkatkan peranan masyarakat sipil dalam bentuk pengembangan kapasitas dan
perlindungan atau advokasi, justru memanfaatkan kondisi dan peluang yang ada untuk
memperoleh keuntungan pribadi yang mengarah pada tindakan manipulasi dan korupsi. Selain
itu, pihak yang justru berperan penting dalam proses pemberdayaan masyarakat yakni
masyarakat sendiri khususnya kalangan bawah atau masyarakat miskin seringkali bersikap apatis
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka perwujudan program pemberdayaan.
Sebagai contoh dalam upaya perubahan pendekatan yang bersifat top-down menjadi bottom-up
yang menggunakan model perencanaan partisipasif, keberadaan masyarakat kalangan bawah
yang justru merupakan instrument paling penting untuk mengetahui apa yang menjadi
kebutuhannya lebih memilih untuk mempercayakan dan mewakilkan penyaluran aspirasinya
melalui tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap lebih berkompeten seperti tokoh RT, RW, guru
dan dosen, serta pengusaha. Kondisi seperti ini biasa disebut dengan bias elit. Akhirnya dalam
kelangsungannya masih terjadi sentralisasi pada masyarakat lokal. Dengan demikian
pengambilan keputusan yang dihasilkan hanya berdasarkan beberapa lapisan masyarakat yang
justru kalangan menengah ke atas, sehingga tidak mampu merepresentasikan apa yang menjadi
kebutuhan seluruh lapisan masyarakat yang ada. Dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan
yang diambil tidak mampu menyelesaikan masalah yang dialami seluruh lapisan masyarakat,
khususnya kalangan bawah. Sehingga dalam hal ini masyarakat lapisan bawah masih berada
dalam posisi yang marginal, apabila sebelumnya termarginalisasi oleh pemerintah pusat saat ini
oleh elit lokal.
Berdasarkan beberapa persoalan yang muncul dari upaya peningkatan kesejahteraan
hidup melalui pemberdayaan masyarakat, diperlukan suatu tindakan evaluasi karena dari waktu
ke waktu upaya pemberdayaan masyarakat semakin membutuhkan perbaikan dalam kinerjanya,
pengembangan dalam penggunaan metodenya, pemikiran ulang tentang ukuran keberhasilan,
serta penumbuhkembangan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat
tidak lagi menjadi rutinitas kegiatan sehari-hari yang tanpa perubahan, tetapi terus menerus
memerlukan penelitian dan evaluasi untuk pengembangan dan perbaikannya (Mardikanto,
2011:3-4). Evaluasi dalam kehidupan sehari-hari biasa diartikan pula dengan penilaian, yaitu
suatu tindakan pengambilan keputusan untuk menilai sesuatu obyek, keadaan, peristiwa, atau
kegiatan tertentu yang sedang diamati (Hornby dan Parnwell, 1972). Keberadaan evaluasi sangat
berguna dalam pelaksanaan suatu program atau pengambilan kebijakan dan keputusan yang
menyangkut orang banyak khususnya masyarakat. Sehubungan dengan pengertian evaluasi yang
telah dijelaskan sebelumnya, Frutchey (1973) mengemukakan bahwa kegiatan evaluasi selalu
mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Observasi (pengamatan)
b. Membanding-bandingkan antara hasil pengamatan dengan pedoman yang ada atau telah
ditetapkan lebih dahulu
telah direncanakan sebelumnya. Jenis evaluasi yang ketiga yakni evaluasi dampak
program, dampak dalam hal ini dapat diartikan sebagai hasil yang diperoleh dari
pelaksanaan program.
f. Evaluasi Proses dan Hasil
Merupakan dua macam evaluasi dari hasil kesimpulan berbagai macam evaluasi yang
telah disebutkan di atas, antara lain: evaluasi proses, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk
melihat seberapa jauh proses yang telah dilaksanakan itu sesuai (dalam arti kuantitatif
maupun kualitatif) dengan rencana program yang telah dibuat sebelumnya. Sedangkan
evaluasi hasil, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk meninjau mengenai seberapa jauh
tujuan-tujuan yang direncanakan telah dapat tercapai, baik dalam pengertian kuantitatif
maupun kualitatif.
Setelah dijelaskan mengenai beberapa macam evaluasi hendaknya perlu diketahui
beberapa komponen lain yang terdapat dalam kegiatan evaluasi, salah satunya yakni tujuan dari
diadakannya evaluasi (Stufflebeam, 1971 dalam Mardikanto, 2011:52) adalah untuk mengetahui
seberapa jauh kegiatan-kegiatan yang telah sesuai atau menyimpang dari pedoman yang
ditetapkan, atau untuk mengetahui tingkat kesenjangan (diskrepansi) antara keadaan yang telah
dicapai dengan keadaan yang dikehendaki atau seharusnya dapat dicapai, sehingga akan dapat
diketahui tingkat efektivitas dan efisiensi kegiatan yang telah dilaksanakan; untuk selanjutnya
dapat segera diambil langkah-langkah guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan
seperti yang dikehendaki.
Komponen selanjutnya yakni agar dalam kegiatan evaluasi mengenai suatu program
pemberdayaan masyarakat dapat berjalan secara maksimal diperlukan suatu kualifikasi evaluasi
yang baik, yang meliputi:
a. Memiliki tujuan yang jelas dan spesifik, artinya bahwa tujuan dari diadakannya kegiatan
evaluasi mengenai suatu program pemberdayaan harus mudah dipahami oleh setiap orang
dan tidak menimbulkan kesalahan arti dalam pemahamannya. Selain itu, tujuannya juga
harus spesifik sehingga jelas apa yang harus dievaluasi dan bagaimana pengukurannya.
b. Mengutamakan instrument yang tepat dan teliti, dalam penggunaan alat ukur untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan evaluasi harus benar-benar mampu mengukur yang
seharusnya diukur. Selain itu, sebuah alat ukur yang digunakan hendaknya mampu
memberikan hasil yang sama ketika digunakan untuk jenis mayarakat yang beraneka
ragam.
c. Memberikan gambaran yang jelas tentang perubahan perilaku penerima manfaatnya,
kegiatan pemberdayaan memiliki tujuan merubah perilaku masyarakat penerima manfaat.
Karenanya, hasil dari kegiatan evaluasi harus mampu memberikan gambaran tentang
perubahan perilaku yang terjadi atau dialami oleh masyarakat dalam hal penerima
manfaatnya, baik yang mengenai pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya.
d. Evaluasi harus praktis, praktis dapat diartikan mampu dilaksanakan oleh pelaksananya,
sesuai dengan pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan yang dimiliki, hak atau
kewenangan pelaksana evaluasi, dan tersedianya sumber daya baik dalam pendanaan,
perlengkapan, dan waktu yang disediakan.
Dengan demikian penting kiranya dalam memilih jenis evaluasi yang sesuai dengan program
pemberdayaan yang akan dievaluasi, serta memperhatikan segala komponen pendukungnya agar
dalam pelaksanaannya dapat berjalan secara maksimal. Sehingga hasil yang didapatkan dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Daftar pustaka: