Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

BIAS-BIAS DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

MATA KULIAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

OLEH:
NAZLI AMALIA PASARIBU
NIRM.01.4.3.17.0565

PROGRAM STUDI PENYULUHAN PERKEBUNAN PRESISI


JURUSAN PERKEBUNAN
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN MEDAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2020
BIAS-BIAS DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah startegi, sekarang telah banyak


diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. KTT
pembanguan sosial di Copenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam
berbagai kesepakatanya. Namun, upaya mewujudkanya dalam praktik
pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang
belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan
merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang
dihadapi.
Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak
mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntunan-
tuntunan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan
demokrasi pemberdayaan ini. Lebih lanjut, didasari pula adanya berbagi bias
terhadap pemberdayaan masyarakat sebagi suatu paradigma baru pembangunan
(Kartasasmita, 1997).
Kegagalan program dalam mewujudkan kemandirian masyarakat adalah lebih
disebabkan karena tidak sinerginya antara strategi pendekatan dengan tujuan
pembangunan itu sendiri, dimana tujuan mewujudkan pengembangan masyarakat
ditempuh melaui langkah-langkah yang justru hanya berdampak pada sekedar
memberikan pengaruh terhadap community interest (kepentingan masyarakat
dalam artian bagaiamana menyenangkan masyarakat), artinya dukungan berbagai
program secara umum hanya terfokus pada bagaimana mencukupi keinginan atau
kebutuhan masyarakat yang justru siifatnya instan bukan pada bagaimana
membangun masyarakat yang mandiri. Inilah yang kemudian justru memicu apa
yang dinamakan dengan "society depends" (masyarakat yang tergantung).
Contoh konkrit misalnya, program Coorporate Social Responsibility (CSR)
dari sebuah perusahaan pertambangan, tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya
tujuan program tersebut hanyalah sekedar untuk meredam social impact(dampak
sosial) dari masyarakat yang kontra dengan hadirnya aktivitas pertambangan.
Pertimbangan itulah yang kemudian program CSR dialokasikan lebih banyak
bersifat instan hanya sekedar memenuhi hasrat/keinginan masyarakat yang kontra,
namun justru upaya dalam mendorong bagaimana mewujudkan pengemmbangan
masyarakat terkesan masih dikesampingkan.
Memang diakui bahwa tidak mudah dalam mewujudkan commmunity
development, hal ini karena dalam implementasinya seringkali berbenturan
dengan dinamika masyarakat, khususnya kaitannya dengan sosial-kultur
masyarakat. Rendahnya sdm masyarakat disinyalir juga berdampak pada
rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kemandirian, tidak bisa
dipungkiri memang kondisi masyarakat tersebut justru diperparah dengan peran
pembinaan dan pendampingann yang minim. Berbagai bentuk program, harus
diakui masih bersifat instan dengan pendekatan top down.
Diumpamakan masyarakat hanya diberi umpan, namun lupa diiberi kailnya,
sehingga yang terjadi justru mencetak masyarakat yang tidak visionner dan
kurang mandiri. Padahal seyogyanya kebijakan program mestinya diarahkan
untuk memberikan peluang bagi terciptanya kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang kuat, produktif, mandiri dan berkelanjutan.
Menurut Prof. Ginanjar Kartasasmita, banyak pemikir dan praktisi saat ini yang
justru belum memahami dan meyakini bahwa konsep pengembangan masyarakat
sebagai alternatif dalam memecahkan permasalahan pembangunan, namun masih
berpegang pada teori-teori pembangunan model lama, dimana tidak mudah untuk
menyesuaikan dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan prinsip
keadilan.
Dari pandangan Prof. Ginanjar, kita dapat simpulkan bahwa memang ada yang
salah seelama ini dalam perencanaan dan implementasi program-program
pembangunan diberbagai sektor tidak terkecuali pada sub sektor akuakultur.
Kesalahan tersebut mana kala pengendalian program masih bersifat top down,
dimana unsur birokrasi dalam hal ini Pemerintah masih cukup dominan dalam
menentukan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan
dengan hanya fokus pada indikator output dan belum menyentuh pada bagaimana
mencapai outcome.
Lebih lanjut Prof. Ginanjar menyebutkan bahwa dalam implementasi program
pembangunan, sebagian besar praktisi, maupun birokrat seringkali terjebak pada
pandangan-pandangan yang keliru yang oleh beliau dinamakan dengan "bias-bias
pemikiran tentang konsep pemberdayaan masyarakat", yaitu:

1. Bias Pertama
Bias pertama aadalah kecenderungan pemikiran bahwa dimensi rasional dari
pembangunan lebih penting dari dimensi moral, dimensi material lebih penting
dari dimensi kelembagaan, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi
sosialnya. Akibatnya dari anggapan tersebut menyebabkan alokasi sumberdaya
pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang demikian.
Pada sektor pertanian misalnya, kita tidak menampik kenyataan bahwa pola-
pola pendekatan masih terfokus pada bagaimana mewujudkan pertumbuhan
ekonomi makro melalui peningkatan produksi sebesar-besarnya. Padahal, pada
level masyarakat petani misalnya, pencapaian produksi tersebut tidak melulu
berbanding lurus dengan kinerja penguatan ekonomi dan kapasitas usaha
masyarakat. Sebuah indikator keberhasilan pembangunan pertanian adalah jika
implementasi program kebijakan mampu berdampak terhadap pengembangan
masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan melalui pendekatan kebijakan yang
berorientasi pada keseluruhan aspek multidimensi mulai dimensi ekologi,
ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, artinya dengan kata lain aspek
multidimensi tersebut harus diperlakukan secara berimbang.
2. Bias Kedua
Bias kedua adalah anggapan bahawa pendekatan pembangunan yang
bersifat top down lebih sempurna dari pada pengalaman dan aspirasi
pembangunan di tingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijakan-kebijakan
pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi
yang nyata di tingkat masyarakat.
Di berbagai sektor khususnya sector rill, kenyataan ini menjadi hal klasik yang
hingga saat ini masih dianggap paling pas dalam pelaksanaan program kebijakan.
Perencanaan program-program pembangunan justru hanya fokus pada
pencapaian output bukan outcome (indikator dampak). Parameter penyerapan
anggaran sebuah program masih seringkali menjadi parameter indikator utama
dalam menilai keberhasilan sebuah program pembangunan.
Dari sisi penyerapan anggaran memang efefktif, namun bagiamana dampak
ikutan dari pelaksanaan program pembangunan justru belum menjadi sasaran
utama, hal ini disebabkan karena minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan program kebijakan tersebut.
Peran birokrat (pemerintah) masih kuat mendominasi mulai dari perencanaan
hingga pelaksanaannya, artinya masyarakan hanya diposisikan sebagai objek,
jikapun dilibatkan masih bersifat partisipasi informatif bukan partisipasi
konsultatif apalagi dilibatkan sebagai pengambil keputusan. Kondisi inilah yang
kemudian menyebabkan program tidak berjalan efektif dan berkesinambungan
karena cenderung dilakukan secara instan bukan didasarkan pada need
assesment dan aspirasi dari grass-root.
3. Bias Ketiga
Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat di tingkat bawah lebih
memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial.
Anggapan ini justru seringkali menyebabkan pemborosan sumberdaya dan dana,
karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan manajerial dalam
pengembangan sumberdaya manusia, dan mengakibatkan makin tertinggalnya
masyarakat di lapisan bawah.
Pendekatan pembangunan pada berbagai sektor masih dominan berorientasi
untuk memberikan dukungan/bantuan yang bersifat material seperti bantuan sosial
dan lainnya, yang justru bersifat instan dan hanya berdampak jangka pendek
karena tidak berbasis pada need assesment, peran partisipasi masyarakat dan
penguatan kapasiitas SDM.
Dampaknya, begitu banyak bentuk dukungan baik material maupun fasilitas
penunjang yang justru tidak efefktif dan inefisien sebagai akibat tidak
dipersiapkannya tiga unsur di atas. Beberapa analisis terhadap hasil pelaksanaan
program pada sector-sektor rill seperti pertanian dan perikanan, menyimpulkan
bahwa ketidakberhasilan sebuah program lebih banyak disebabkan karena
minimnya kemampuan teknis dan manajerial dari masyarakat.
4. Bias Keempat
Bias keempat adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah
berkembang di kalangan masyarakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif
bahkan menghambat proses pembangunan. Diakui atau tiidak, eksistensi
kelembagaan masyarakat lokal/adat saat ini dalam perkembangannya semakin
menurun. Jika, kita kaji, bahwa fenomena penurunan eksistensi kelembagaan
masyarakat lokal tersebut sebagai akibat kurangnnya peran pemerintah dalam
memperkuat dan memfasilitasi keberadaan kelembagaan tersebut. Padahal, dalam
kaitannya dengan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, peran
kelembagaan masyarakat lokal/ adat menjadi sangat penting terutama dalam
upaya menjaga kelestarian sumberdaya yang ada.
Pengelolaan sumberdaya yang berbasis pada kearifan lokal saat ini menjadi
sangat dibutuhkan. Beragam permasalahan yang mendera, disinyalir salah satu
penyebabnya karena kurangnya memasukan nilai-nilai moral kearifan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Keberadaan kelembagaan masyarakat lokal/adat
juga penting khususnya terkait dengan produk aturan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya alam, dimana dalam implementasinya justru sangat efefktif sekalipun
jika kita bandingkan dengan produk hukum yang dikeluarkan oleh negara. Oleh
karena itu, seyogyanya sebuah regulasi maupun produk hukum menjadikan aturan
lokal/adat yang telah berkembang di masyarakat sebagai referensi, dengan begitu
dalam penerapannya bisa diterima oleh masyarakat sebagai pelaku utama.
5. Bias Kelima
Bias kelima adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang
diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka
harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan
meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Ini tercermin pada keraguan
sementara kalangan, apakah tepat masyarakat miskin dipersilahkan memilih
sendiri bagaimana memanfaatkan dana bantuan yang diperolehnya. Akibat dari
anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat,
tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan
masyarakat. Bias ini melihat masyarakat sebagai objek dan bukan subjek
pembangunan.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan pada semua sektor, masyarakat
ditempatkan sebagai subjek dengan memberikan peran seluas-luasnya untuk
memberdayakan diri. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa tidak efektifnya
sebuah program pemberdayaan karena diakibatkan minimnya need
asssesment yang didasarkan pada aspirasi masyarakat di bawah (bottom up).
Idealnya, program pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah solusi dalam
upaya memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat, dan kita harus
menyadari bahwa masyarakatlah yang tahu persis terkait apa dan bagaimana
masalah tersebut. Maka, tidak heran jika pendekatan pelaksanaan program
secara top down akan menghasilkan dampak yang tidak berkesinambungan,
sebagai akibat terabaikannya peran partisipatif masyarakat yang nota bene justru
sebagai subjek pembangunan itu sendiri.
6. Bias Keenam
Bias keenam adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan,
anggapan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada sektor yang dapat segera
menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat, akan
menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih
lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) yang
lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang
sangat bersifat teknis dan tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari
pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.
Program pembangunan saat ini diakui atau tidak hanya terkesan memacu
pertumbuhan ekonomi makro yang justru azas manfaatnya bersifat sentralistik
pada kalangan menengah ke atas dan kurang memberikan pengaruh secara holistik
terhadap seluruh level masyarakat terutama masyarakat bawah (dampak treackle
down effect tidak dirasakan). Kondisi ini disebabkan karena pemangku kebijakan
belum memposisikan diri sebagai fasilitator dan katalisator yang efefktif bagi
terciptanya peluang-peluang dalam memberikan kemudahan akses bagi penguatan
dan kemandirian masyarakat. Pembangunan ekonomi yang kuat seyogyanya
berawal dari bagaimana status kemandirian masyarakatnya sebagai fondasi utama,
bukan dari penilian pembangunan fisik semata.
7. Bias Ketujuh
Bias ketujuh adalah anggapan bahwa sektor pertanian secara umum adalah
sektor tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang,
karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besar-besaran di
sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra dengan petani dan usaha-usaha kecil di
sektor pertanian dan perdesaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki
risiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan menghambat
upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian dan usaha
kecil di perdesaan.
Disisi lain, bahwa kebijakan investasi melalui sektor perbankan saat ini lebih
terpusat pada investasi besar, dan sebagian cukup besar di antaranya untuk
investasi di sektor properti yang bersifat sangat spekulatif. Kegiatan investasi
makin cenderung terpusat di perkotaan, di sektor industri yang justru banyak
disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi. Berbeda
dengan apa yang terjadi di negara Taiwan dan Jepang, yang menunjukkan bahwa
investasi di wilayah perdesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus
pemerataan yang menyebabkan ekonominya menjadi kuat.
Contoh nya berupa program dukungan pembiayaan melalui berbagai skame
pembiayaan semisal Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga lunak, pada
kenyataannya tidak berjalan optimal, ini bisa dilihat dari penyerapan anggaran
KUR secara nasional khususnya pada sektor pertanian dan perikanan yang masih
rendah. Persyaratan skame kredit pada kenyataannya dilapangan masih dirasakan
memberatkan pembudidaya ikan, misalnya terkait dengan ketentuan harus adanya
agunan. Lagi-lagi, ini sebuah masalah yang tentunya berawal dari perencanaan
yang belum belum mempertimbangkan kebutuhan dan keterbatasan masyarakat,
tentunya muaranya adalah sebagai akibat dari terabaikannnya peran partisipatif
masyarakat yang seharusnya menjadi tumpuan pelaksanaan program kebijakan.
8. Bias Kedelapan
Bias kedelapan adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas
selalu jauh dari ampuh dari pada teknologi yang berasal dari masyarakat itu
sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang
disatu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk
seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam tahap
perkembangannya ini. Di lai pihak, pendekatan pembangunan terlalu
mengabaikan potensi teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan
dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan
dibandingkan dengan teknologi impor.
9. Bias Kesembilan
Bias kesembilan adalah berkaitan dengan diatas, adalah bahwa orang miskin
adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya
harus bersifat peternalistik seperti memperlakukan orang bodoh dan malas, dan
bukan dengan memberi kepercayaan. Dengan anggapan demikian masalah
kemiskinan dipandang lebih sebagi usaha sosial (charity) dan bukan usaha
penguatan ekonomi.
10. Bias Kesepuluh
Bias kesepuluh adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana.
Kecendrungan menabung pada rakyat, yang cukup tinggi di Indonesia seperti
tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan PBB (di atas 30%,
termasuk salah satu tingkat tertinggi dunia), kerapkali terasa tidak seimbangi
dengan kebijakan investasi melalu sektor perbankan yang lebih terpusat pada
investasi besar, dan sebagian cukup besar diantaranya untuk investasi disektor
properti yang bersifat sanagt spekulatif. Kegiatan investasi makin cendrung
terpusat pada perkotaan, disektor industri yang justru banyak disubsidi dan
diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan
Jepang sebelumnya) menunjukan bahwa investasi di wilayah pedesaan dapat
meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus pemerataan yang menyebabkan
ekonominya menjadi kukuh.

Anda mungkin juga menyukai