Anda di halaman 1dari 29

TUGAS RESUME BUKU

I: Edo Pranata Ginting


Nim: 105210119
Kelas:IP 1D
MK: Dasar Dasar Ilmu Pemerintahan
Judul buku: Implementasi Kebijakan Publik
Penulis: Erwan Agus Purwanto,Ph.D
Dyah Ratih Sulistyastuti
Th terbit:
BAB 1
PERLUNYA REVITALISASI STUDI IMPEMENTASI

Mengapa lebih banyak kebijakan yang gagal dibanding yang berhasil?


Telah lebih dari 4 dekade sejak Risman dan wildavsky pada tahun 1970 melakukan suatu
studi untuk memahami mengapa implementasi berbagai program yang dirancang oleh
pemerintah pusat (federal government) cenderung gagal ketika diimplementasikan oleh
pemerintah negara bagian (state government, namun sampai hari ini fenomena tersebut masih
terus saja berulang) Dalam kasus Indonesia, kita sering membaca di media cetak, melihat di
TV, atau bahkan menyaksikan secara langsung berbagai kejadian kegagalan implementasi
kebijakan, program, dan proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pepemerintah (baik
pemerintah pusat provinsi maupun daerah).

Contoh yang nyata adalah kegagalan pemerintah mengimplementasikan berbagai program


anti kemiskinan. Tekad pemerintah Indonesia untuk mengatasi kemiskinan, sejak era orde
baru sampai era reformasi ternyata dalam realisasinya masih jauh dari yang dicita-citakan.
Mulai dari Inpres desa tertinggal (IDT) yang dirancang oleh pemerintah presiden Soeharto
sampai dengan program bantuan langsung tunai (BLT) dan PNPM mandiri³ yang digagas
oleh pemerintah presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kurang dapat
diimplementasikan secara baik.

Berbagai faktor disinyalir menjadi penyebab kegagalan program program anti kemiskinan
tersebut selain karena masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)yang menjadi faktor
utama kegagalan berbagai program anti kemiskinan yang diluncurkan oleh pemerintah pusat
variabel penjelasan yang lain, seperti adanya kecenderungan untuk penyeragaman kebijakan,
lemahnya dukungan pemerintah daerah, dan rendahnya pengetahuan kelompok sasaran
terhadap berbagai bagai program yang diimplementasikan juga merupakan kontributor
terhadap kegagalan implementasi program program anti kemiskinan yang diluncurkan oleh
pemerintah.

Pada tingkat pemerintah daerah, banyak kaca dapat dijadikan sebagai bukti yang
menunjukkan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten gagal menjalankan tugasnya untuk
mewujudkan tujuan otonomi daerah sebagai sebagaimana dirumuskan secara ideal dalam UU
NO.22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU NO.32/2004,yaitu: meningkatkan kualitas
pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing
daerah (lihat penjelasan undang-undang 32 tahun 2004). Berbagai penelitian yang dilakukan
oleh perguruan tinggi (salah satu nya oleh PPSKK-UGM),Non government organisation
(NGO) (misalnya,SMERU),lembaga internasional (PERC), maupun lembaga-lembaga
pemerintah sendiri misalnya komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan kementerian
pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi (ma pandan RB) menunjukkan
bahwa sebagian besar pemerintah daerah gagal menggunakan kewenangan yang diberikan
Nya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah mereka masing-masing fakta
ini diperkuat hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan oleh kementerian
dalam negeri terhadap 205 kabupaten dan provinsi pemekaran.

Kegagalan implementasi berbagai kebijakan dan program pembangunan sebagaimana


digambarkan di atas tentu menggunakan keprihatinan masyarakat atau publik secara luas.
Alasan pertama untuk prihatin adalah berkaitan dengan kerugian secara finansial atau biaya
yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat kegagalan tadi titik kebijakan dan program
pembangunan pemerintah jelas menyerap dana publik atau yang diperoleh dari pajak dan
retribusi yang jumlahnya tiap tahun mencapai ribuan triliun rupiah.

Alasan kedua untuk prihatin adalah hilangnya kesempatan karena kegagalan implementasi
berbagai kebijakan dan program tadi titik realitasnya, karena adanya keterbatasan anggaran
setiap pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pasti akan menyebabkan terjadinya
pertukaran yaitu kondisi dilematis yang harus dipilih oleh pemerintah karena keterbatasan
anggaran yang dimilikinya tersebut titik pada saat pemerintah memiliki untuk memperoleh
jelaskan penyelesaian suatu persoalan publik dengan menggunakan instrumen kebijakan
tertentu misalnya, subsidi, hibah, dan transfer dana, pasti akan berimplikasi tidak dapat
dilakukannya kebijakan lain yang bukan menjadi prioritas karena anggaran yang ada sudah
terserap untuk membiayai upaya menyelesaikan masalah yang menjadi prioritas. Setiap
contoh, apabila pemerintah memberikan perintah untuk mengatasi persoalan pendidikan
dengan membelajarkan membelanjakan anggaran yang dimilikinya untuk memberi subsidi
biaya pendidikan bagi masyarakat maka pada saat yang sama pemerintah akan kehilangan
kesempatan atau kemampuan untuk membelanjakan anggarannya guna memberi subsidi di
bidang kesehatan, pertanian dan perumahan. Hal ini berarti apabila kebijakan atau program
pembangunan yang telah dipilih untuk diprioritaskan tersebut gagal diimplementasikan maka
masyarakat akan menderita kerugian dua kali yaitu;itu pertama,Hilangnya dana publik yang
telah dipelajari akan tersebut titik yang kedua hilangnya kesempatan yang mestinya dapat
dinikmati oleh masyarakat apabila dana yang terbuat terbuang percuma tersebut dipakai
untuk membiayai kebijakan atau program yang lain.

Implikasi kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan


dan program pembangunan adalah masih belum mampu diwujudkan nya agen pemerintah
untuk mengatasi berbagai persoalan publik, seperti: peningkatan kualitas pelayanan
pendidikan kesehatan, sanitasi dan air bersih, peningkatan kesempatan kerja, dan membangun
infrastruktur. Dari semua persoalan tersebut tentu agen yang paling terpengaruh karena
kegagalan pemerintah dan mengimplementasikan berbagai kebijakan dan program mereka
adalah upaya untuk memerangi kemiskinan di negara ini.

Pemberantasan kemiskinan memang telah menjadi agenda utama untuk dilakukan oleh
pemerintah sejak Indonesia merdeka, banyak program yang telah dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna mengatasi persoalan kemiskinan yang
mencengkeram negeri ini akan tetapi sebagaimana telah disebutkan di depan, implementasi
berbagai program anti kemiskinan yang diluncurkan oleh pemerintah selama ini sayangnya
banyak yang mengalami kegagalan.

Implementasinya karena hanya menghasilkan dampak yang sangat kecil dalam


menyelamatkan nasib masyarakat miskin di tengah-tengah tekanan hebat akibat krisis
moneter (krismon) yang terjadi pada tahun 1997.
Jika dilihat secara cermat faktor-faktor yang menjadi penyebab kegagalan implementasi JPS
tersebut ternyata sangat kompleks baik karena faktor-faktor yang melekat pada masyarakat
itu sendiri sebagai sasaran program maupun faktor-faktor yang ada pada birokrasi sebagai
implementor program.
Pertama, rendahnya sosialisasi program kepada masyarakat terutama kelompok sasaran.
Kedua, ketidakpedulian para perangkat desa sebagai implementor program.
Ketiga, lemahnya mekanisme pengawasan.
Keempat, dominannya budaya formalitas.
Akan tetapi kenyataan persoalan implementasi tidak semudah yang dibayangkan, melibatkan
banyak aktor dengan berbagai kepentingan mereka masing-masing, kerumitan bisa bertambah
ketika kebijakan yang diimplementasikan tidak dirumuskan secara jelas sebagai akibat
kompromi-kompromi politik yang mewarnai proses perumusan kebijakan tersebut.
Karena secara logis dalam dokumen kebijakan yang sudah ditetapkan tersebut secara
gamblang sudah diatur berbagai hal yang berkaitan dengan implementasi yaitu: apa tujuan
kebijakan, siapa lembaga atau aparatur yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan
kebijakan tersebut, berapa anggaran dan sumber dayanya untuk membiayai melintasi, siapa
kelompok sasaran kebijakan tersebut, dan lain sebagainya.

Akan tetapi asumsi yang dibangun para ahli yang menggunakan basis berpikir dikhotomi
tersebut sayangnya sulit atau tidak selalu mulus di lapangan, sebagaimana dikatakan oleh
hogwood dan Gunn (1984: 239-245) tidak pernah terwujud karena beberapa hal yaitu:
Ada hambatan kondisi eksternal
Waktu dan sumber dayanya tidak tersedia secara memadai
Kebijakan tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat tentang hubungan
sebab-akibat (kuasalitas) antara kebijakan dan hasil yang ingin dicapai
Hubungan sebab-akibat antara kebijakan dan hasilnya jarang bersifat langsung
Lembaga pelaksana jarang yang bisa mandiri
Jarang ada kesepakatan yang bersifat umum di antara para aktor tentang tujuan kebijakan dan
cara mencapainya
Jarang ada suatu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang sempurna

Konseptualisasi Implementasi

Berbagai kegagalan implementasi kebijakan / program pemerintah sebagaimana dipaparkan


di depan telah menimbulkan keprihatinan para ahli administrasi publik.Bentuk keprihatinan
tersebut kemudian diwujudkan dalam wujud inisiatif untuk memahami bagaimana proses
implementasi kebijakan/program sesungguhnya berjalan,melakukan pemahaman yang lebih
tentang proses implementasi dilakukan secara akurat diharapkan akan dapat dirumuskan
rekomendasi yang dapat digunakan untuk memperbaiki sehingga di masa-masa mendatang
implementasi suatu kebijakan akan lebih memiliki peluang untuk berhasil dibandingkan
dengan sebelumnya.

Untuk dapat memahami proses implementasi maka perlu dipahami konsep implementasi
terlebih dahulu, penggunaan istilah implementasi mulai muncul ke permukaan beberapa
dekade yang lalu, yang pertama gunakan istilah tersebut adalah Harold Laswell
(1959).Setelah dirintis konsep implementasi kemudian mulai digunakan secara luas oleh para
ilmuwan politik, administrasi publik dan kebijakan publik.

Secara ontologis, subject matter studi implementasi adalah atau dimaksud untuk memahami
fenomena implementasi kebijakan publik, seperti: (i) mengapa suatu kebijakan publik gagal
diimplementasikan di suatu daerah, (ii) mengapa suatu kebijakan publik yang sama, yang
dirumuskan oleh pemerintah, memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda-beda ketika
diimplementasikan oleh pemerintah daerah, (iii) mengapa suatu jenis kebijakan lebih mudah
dibandingkan dengan jenis kebijakan lain, (iv) mengapa perbedaan kelompok sasaran
kebijakan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan politik.
Dari serangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para ahli maka dapat dipetakan apa
sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan ataupun kegagalan implementasi
suatu kebijakan.Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi
tersebut:
Sementara itu sabatier (1986:268) menyebutkan, setelah review berbagai penelitian
implementasi cuma ada 6 variabel utama yang dianggap memberi kontribusi keberhasilan
atau kegagalan implementasi.
Tujuan atau sasaran kebijakan yang jelas dan konsisten
Dukungan teori yang kuat dalam merumuskan kebijakan
Proses implementasi memiliki dasar hukum yang jelas sehingga menjamin terjadi kepatuhan
para petugas di lapangan dan kelompok sasaran
Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan
Dukungan para stake holder
Stabilitas kondisi sosial ekonomi dan politik.

Dua pendekatan studi implementasi

definisi implementasi mengalami perubahan seiring dengan berkembang di implementasi itu


sendiri, implementasi di maknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut: untuk
menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan
dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan
dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus diwujudkan
dalam tujuan kebijakan (to compelete).

Implementasi sebagai studi, tentunya memiliki berbagai elemen penting yaitu: subject matter
(ontologi), cara memahami objek yang dipelajari (epistemologi), dan rekomendasi tindakan
yang diperlukan kan (aksiologi). Secara kronologis, tahapan-tahapan ilmiah implementasi
sebagai suatu studi tersebut adalah:
1. Menentukan masalah atau fenomena implementasi yang menarik untuk dikaji.
2. Merumuskan pertanyaan penelitian (research question) yang hendak diteliti.
3. Merumuskan landasan teoritis, konsep, dan variabel variabel penelitian.
4. Menetapkan metodologi yang hendak dipakai untuk mengumpulkan data.
5. Mengolah dan menganalisis data.
6. Rekomendasi kebijakan.

berbagai fenomena implementasi yang menarik dikaji dan memerlukan penjelasan adalah:
Mengapa suatu kebijakan yang telah dirumuskan dengan baik, dengan melalui proses
deliberasi yang panjang, kemudian gagal diimplementasikan.
Mengapa kebijakan nasional yang sama ketika diimplementasikan oleh pemerintah daerah
yang berbeda berbeda-beda memiliki variasi keberhasilan yang berbeda fenomena ini tentu
menarik untuk dijelaskan sebab secara hipotetikal berarti keberhasilan implementasi sangat
dipengaruhi oleh variabel variabel yang ada.

Kebijakan publik, meskipun didefinisikan secara sama sebagai instrumen untuk memecahkan
masalah publik, bukanlah sesuai yang seragam. Kebijakan publik bervariasi menurut: wilayah
yang diintervensi, tujuan yang ingin dicapai, kelompok sasaran yang dituju, dan substansi
perubahan yang diharapkan.
fenomena implementasi yang digambarkan di atas mengisyaratkan bahwa keberhasilan
implementasi atau kinerja implementasi bervariasi menurut berbagai variabel, baik para
implementor. Kebijakan, jenis kelompok sasaran dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
apabila meminjamkan logika yang positif Istiqomah upaya untuk menjelaskan fenomena
implementasi seringkali digambarkan sebagai hubungan antara variabel tergantung yaitu
kinerja implementasi dengan variabel bebas kualitas sdm birokrasi sebagai implementasi
implementasi dukungan kelompok sasaran, dan lain-lain.
BAB II
PERKEMBANGAN STUDI IMPLEMENTASI

PENGANTAR

Perkembangan studi implementasi yang terjadi saat ini sangat dipengaruhi oleh beberapa
kondisi.
Sebagai dari studi Ilmu administrasi publik studi implementasi kebijakan tentu tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi publik. Yaitu mulai dari
dik Tommy politik versus administrasi sampai ilmu administrasi negara sebagai ilmu
administrasi negara (cf.henry,1985). Atau jika mengikuti istilah dan denhardt dan denhardt
(2003) dari paradigma old public administrasi menuju new public management dan
selanjutnya new public servis.
Kemunculan era demokrasi dan konsep governance yang memberikan ruang partisipasi
masyarakat sebagai sebuah konsep, governance dirancang dengan pemikiran pokok perlunya
mengakhiri dominasi negara dalam pembuatan kebijakan dan eksekusinya. Di masa lalu
pemerintah menjadi satu-satunya aktor dalam merumuskan dan mengimplementasikan
berbagai kebijakan dan program pembangunan maka dengan munculnya konsep good
governance pemerintah diminta untuk melibatkan stakeholder yaitu: sektor swasta dan
masyarakat sipil dalam menggunakan kewenangan ekonomi, politik, dan adminitrasi.
Kemajuan teknologi rumah terutama teknologi informasi memberikan dampak yang cukup
besar terhadap dinamika studi implementasi, dalam bahasa yang sederhana, perkembangan
teknologi informasi akan memperluas cakupan variabel variabel determinan sebagai penentu
keberhasilan implementasi yang harus di eksplorasi dan di jelaskan benarannya, dari sisi
implementer, teknologi informasi akan memberikan berbagai kemudahan, seperti:
mempermudah koordinasi, pengawasan, pendataan, dan lain-lain yang akan membuka
peluang lebih besar terhadap keberhasilan implementasi.

Perkembangan studi implementasi

Sebagai salah satu bidang kajian yang dinamis, studi implementasi senantiasa terus
mengalami perkembangan dari masa ke masa, penelitian yang telah dihasilkan oleh para
peneliti sebelumnya studi implementasi telah melahirkan banyak publikasi yang berusaha
untuk memahami fenomena implementasi, baik yang bersifat deskriptif maupun berupa
model-model kausalitas hubungan sebab akibat antara kinerja implementasi dan variabel
variabel yang mempengaruhinya, para peneliti menghasilkan yang berupaya untuk
memahami fenomena implementasi tersebut dapat dibedakan menjadi tiga generasi yang
berbeda karakteristik dan pencapaian masing-masing generasi tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:

Generasi I (1970-1975) Generasi yang menggunakan fase study,

kemunculan studi implementasi generasi 1 tidak dapat dilepaskan dari kegelisahan dan
kegundahan para ahli tentang realitas yang mereka hadapi dan temukan dalam kehidupan
praksis kebijakan publik.
Generasi II (1975-1980) building model,

kontribusi penting para peneliti generasi 1 adalah menyediakan begitu banyak bahan bagi
para peneliti generasi tua sehingga mereka dapat membangun teori serta model implementasi
untuk diuji di lapangan, secara umum berdasarkan cara para peneliti generasi 2 memahami
dan menjelaskan permasalahan implementasi mereka dapat dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu para pendekatan top down dan bottom up

Generasi III (1980): more scientific approach,

pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh para peneliti generasi tua makin memberikan
arah yang lebih jelas bagi pengembangan studi implementasi, Berbagai upaya untuk
membangun model dan mengujinya di lapangan makin membuat body of knowledge studi
implementasi terus mengalami perkembangan, akan tetapi apa yang telah dicapai oleh para
peneliti generasi 2 tersebut bukan tanpa kelemahan, para peneliti generasi berikutnya yang
kritis melihat banyak lubang-lubang yang menjadi perangkap lemahnya model-model
implementasi yang dihasilkan oleh para peneliti generasi, agar penelitian implementasi makin
diakui kualitas kadar keilmiahan Nya maka peneliti perlu (i) memperjelas konsep konsep
yang digunakan, terutama konsep implementasi itu sendiri. (ii) memperbanyak kasus yang
akan di study sehingga memberi ruang yang lebih baik untuk menjalankan hubungan kausal
guna menjalaskan fenomena implementasi (iii) membangun model dan indikator yang akan
dipakai untuk menguji hipotesis (iv) berani melakukan perbaikan terhadap persoalan
pengguna konsep dan pengukuran yang dihadapi oleh para peneliti generasi sebelumnya.

Dinamika yang tidak pernah selesai: gugatan terhadap kemandegan studi implementasi
Studi implementasi yang berkembang pada tahun 1970 merupakan upaya untuk memenuhi
kebutuhan guna menjawab tantangan yang sulit dipenuhi oleh ilmu politik yaitu: memadukan
antara perspektif teoritis dan praktis kebijakan publik, akan tetapi meskipun studi
implementasi yang dilakukan oleh generasi I-III telah memberikan banyak sumbangan dalam
menjelaskan dunia teori dan praktis pada tahun 1997 implementasi mengalami gugatan
karena beberapa Kelemahan yang dialami berbagai gugatan tersebut dilakukan karena para
peneliti generasi yang baru merasa harapan untuk mengembangkan studi implementasi ke
level yang lebih tinggi nampaknya sulit untuk direalisasikan.

Salah satu dari pengobatan tersebut adalah sabatier and Jenkins (1992). Kedua sarjana ini
mengatakan bahwa sangat sedikit manfaat yang dapat diharapkan dari studi implementasi,
terutama manfaatnya untuk memajukan penelitian dan pengajaran bidang kebijakan titik
karena kelemahan tersebut kedua sarjana ini menganjurkan agar para pakar kebijakan
bergerak lebih lanjut untuk melakukan studi yang mereka sebut sebagai:”policy change and
leatning”, yaitu lebih fokus pada bagaimana respon kebijakan yang gagal diimplementasikan
dan bagaimana implementasi belajar dari kegagalan tersebut.

Dalam kesempatan yang lain P.deLeon (1999) mengatakan bahwa studi implementasi
mencapai suatu titik yang ia sebut sebagai “intelectual dead-end” ada yang bayar sama atau
menyebutnya “lacking any consensual theory” karena sulitnya mengembangkan ide ide untuk
menjauhkan penelitian implementasi titik kritik tajam tersebut disampaikan karena kegagalan
para peneliti yang melakukan kajian implementasi untuk membangun “grand theory”
implementasi. Realitas yang ada menunjukkan bahwa para peneliti implementasi cenderung
“sibuk” dengan modal mereka sendiri yang hanya berlaku dalam ruang dan waktu yang
sangat terbatas sehingga sampai saat ini belum dicapai suatu kesempatan tentang teori
implementasi yang bersifat umum.

Tidak hanya berkaitan dengan konseptual isasi dan teori kritik yang dilontarkan oleh para ahli
tentang studi implementasi juga berkaitan dengan epistomologi yang dipakai dalam penelitian
ini. para pengkritik mengatakan bahwa studi implementasi tertentu kompleks dijelaskan
dengan pendekatan positivistik (metode penelitian kuantitatif) yang mereduksi realitas
implementasi menjadi variabel variabel dan merangkainya menjadi sebuah model. Menurut
mereka, studi implementasi seharusnya dikembangkan dengan pendekatan yang lebih
“intrinstik” (kualitatif)Dengan memberi ruang pada berbagai kemungkinan untuk
mengeksplorasi penjelasan terhadap fenomena implementasi secara lebih komprehensif.
Saran ini didasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor yang menjelaskan keberhasilan
implementasi sangat kompleks yang dalam logika positivistik melibatkan sebagai level unit
analisis yang berbeda-beda: organisasi, kebijakan, individu, komunitas yang akan lebih
memberi ruang bagi peneliti untuk mengeksplorasi semua faktor tersebut dengan
mendekatkan yang lebih intuitif daripada dengan penelitian kuantitatif yang lebih kaku.Ada
empat posisi peneliti dalam pengembangan studi implementasi seperti tabel berikut.

Beberapa kandidat : Generasi IV

Dinamika yang terjadi pada relasi sosial ekonomi dan politik global, secara langsung maupun
tidak langsung membawa dampak terhadap perkembangan studi implementasi berikut
beberapa kandidat teori untuk generasi IV dalam studi implementasi.

a. Communication theory

Yang dikemukakan oleh malcolm goggin et.al.(1990) menyatakan bahwa teori ini digunakan
untuk memahami hubungan antara berbagai tingkatan pemerintah untuk menjelaskan
fenomena implementasi.

b. Regim theory

yang dipelopori oleh Rebort Stoker memiliki beberapa proposisi. Diawali dengan proposisi
bawah orang-orang yang terlibat dalam implementasi adalah aktor-aktor yang memiliki nilai-
nilai yang diwujudkan dalam proses implementasi.

c. Kontigensi

James Lester memelopori kemunculan teori kontigrnsu (contigency theory) dengan proposisi
yang menyebut bahwa keberhasilan implementasi sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
komitmen dan kapasitas pemerintah daerah.

d. Ambiguity conflict modal

teori ini didasarkan pada proposisi yang menyebutkan bahwa implementasi akan
memunculkan ambiguitas dan konflik di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi
berdasarkan dua variabel pokok tersebut, implementasi dapat dibedakan menjadi 4 bagian.
Trust and involvement theory Kepercayaan dan keterlibatan masyarakat sebagai kelompok
sasaran yang menjadi kata kunci pada teori ini. Keberhasilan implementasi sangat sangat
penting dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan dan keterlibatan para aktor yang terlibat dalam
implementasi.Policy learning model,Teori ini mengasumsi bahwa manajer publik yang
diberikan tugas untuk mengimplementasikan suatu kebijakan selalu mengetahui secara detail
bagaimana suatu kebijakan baru harus diimplementasikan. Namun dalam realitasnya, manajer
publik harus belajari serangkaian teknik yang tidak jarang merupakan suatu yang sangat baru
sama sekali untuk mengimplementasikan suatu kebijakan. Perlunya manajer belajar karena
terkadang suatu kebijakan mengandung tujuan yang tidak jelas.

Menurut heclo (1974) policy learningadalah tindakan yang dibutuhkan oleh implementor
untuk merespon tuntunan lingkungan eksternal yang berubah. Selain itu, dalam
perkembangannya, tidak hanya lingkungan saja yang direspon,policy learning juga
memperhatikan aspek efektivitas kebijakan.

Untuk dapat mengimplementasikan program secara baik maka manajer publik harus belajar
titik proses belajar dilakukan dengan berbagai cara untuk meningkatkan kemampuan dan
kompetensi mereka titik proses pembelajaran ini mengharuskan manajer publik tetap terikat
oleh birokrasi dan mengembangkan peran sebagai birokrat. Struktur organisasi juga akan
membantu proses belajar bagi aparat birokrasi dengan memfasilitasi lingkungan kerja bagi
pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam proses belajar tersebut waktu
merupakan variabel penting. Sementara detail akan menjamin proses transformasi suatu
kebijakan menjadi tindakan nyata di lapangan.

Asumsi daerah learning implementation adalah kebijakan publik diimplementasikan karena


birokrat termotivasi untuk menerjemahkan strategi mengimplementasikan kebijakan menjadi
tindakannya di lapangan. Upaya tersebut dapat dilakukan karena birokrat memperoleh
pengetahuan tentang teknik dan prosedur titik teknik yang baru ini kemudian di
terinternalisasi menjadi kegiatan rutin.

Selanjutnya asumsi yang dibangun berupa tingkat motivasi birokrat dalam belajar merupakan
cerminan dari sikap profesional dan tanggung jawab terhadap organisasi. Kesempatan untuk
mengimplementasikan kebijakan baru juga dapat menjadi motivasi bagi titik proses
pembelajaran akan meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan peningkatan kemampuan
tersebut maka kebijakan tidak dipandang sebagai sesuatu yang baru sehingga implementasi
akan menjadi pekerjaan rutin.

A. Upaya Membangun Arah: Tentang Implementasi

Perlu upaya untuk mendefinisikan apa sebenarnya implementasi secara lebih jelas (policy
implementation as a peocs ,a series of subnational decisions and actions directed toward
putting a prior authoritative federal decision into effect). Perlu mengidentifikasikan sebagai
implementasi dan peran mereka dalam proses implementasi . perlu memahami motif dan
kepentingan aktor yang terlebih dalam implementasi. Para pengkritik studi implementasi
lebih baik menyumbangkan saran dan konstruktif daripada yang destruktif.
Strategi pengembangan teori
Recognizing and building on points of genernal agreement
Probing points of thereticel disagreement and communicating the results
Comparativa advantage
Tapping synthetic perspective in practical ways
B. Pendekatan Democratic Governance

Selama ini implementasi terkesan hanya mengeksekusi kebijakan yang sudah ada titik proses
implementasi yang dimiliki itu secara garis besar hanya menekankan pada tujuan yang akan
dicapai titik sedangkan mekanisme pencapaian tujuan tersebut yang terjadi dalam kelompok
sasaran kurang mendapat perhatian.
Strategi implementasi seperti itulah yang disebut dengan pendekatan democratic governance .
Menurut pendekatan democratic governance penilaian terhadap kinerja implementasi melalui
dua tahap. Pertama, penilaian keberhasilan partisipasi masyarakat titik yaitu seberapa besar
tingkat partisipasi masyarakat untuk merancang program. Hal ini memiliki asumsi bahwa
apabila kegiatan yang direncanakan bersifat aspiratif dan bermanfaat bagi masyarakat lusa
maka dinilai berhasil. Kedua, apakah program yang mereka rancang yang diimplementasikan
dengan benar sehingga mencapai tujuan.
BAB III
PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Nilai-nilai kepublikan sebagai tujuan kebijakan tersebut dapat memiliki wujud bermacam-
macam, namun demikian secara umum kebijakan publik adalah alat untuk (i) mewujudkan
nilai-nilai yang diidealkan masyarakat seperti keadilan, persamaan, dan keterbukaan. (ii)
memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat misalnya masalah kemiskinan
pengangguran, kriminalitas, dan pelayanan publik yang buruk. (iii)memanfaatkan peluang
baru bagi kehidupan yang lebih baik bagimasyarakat seperti mendorong investasi, inovasi
pelayanan, dan peningkatan ekspor, (iv) melindungi masyarakat dari praktik swasta yang
merugikan misalnya pembuatan undang-undang perlindungan konsumen, ijin trayek, ijin
gangguan.

Seorang ahli menggambarkan kompleksitas dalam upaya mewujudkan tujuan kebijakan dan
proses implementasi itu sebagai berikut “it refers to the process of conveeting
financial,material,technical and human inputs into output googds and sweveres” hanya
setelah melalui proses yang kompleks termasuk maka akan dihasilkan apa yang disebut
sebagai policy outcomes: suatu kondisi dimana implementasi tersebut menghasilkan realisasi
kegiatan yang berdampak pada tercapainya tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dampak kebijakan yang paling nyata adalah adanya perubahan kondisi yang
diserahkan oleh kelompok sasaran yaitu dari kondisi yang satu (misalnya miskin dan tidak
sejahtera) ke kondisi yang lain yang lebih baik (misalnya makmur dan sejahtera).
Sebab ini akan mendiskusikan bagaimana proses implementasi dilakukan titik mengapa
disebut sebagai proses, karena didalamnya terkandung beberapa tahap yang harus dilalui titik
penjelasan tentang bagaimana proses implementasi dilakukan memiliki arti strategi dalam
studi implementasi sebab upaya untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang fenomena
implementasi kebijakan hanya akan dapat dilakukan apabila seorang peneliti memahami
proses implementasi secara gomblang. Dengan memahami tersebut maka seseorang meneliti
dapat mematahkan elemen-elemen yang mempengaruhi bekerjanya implementasi yang dapat
dilihatnya nanti akan membantu menjelaskan hubungan sebab-sebab antara kinerja
implementasi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

A. Keterkaitan antara variabel dan implementasi

Dalam upaya mempermudah identifikasi variabel variabel tersebut para ahli biasanya
membedakan berbagai variabel dalam dua kelompok besar yaitu variabel tergantung
(dependent variabel)yang hendak dijelaskan yaitu kinerja implementasi kebijakan dengan
variabel bebas (independent variabel)yaitu berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja
tersebut implementasi tersebut. Kinerja implementasi kebijakan merupakan variabel pokok
yang akan dijelaskan oleh variabel variabel yang lain. Kinerja implementasi kebijakan
tersebut secara sederhana menggambarkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan, yaitu: apakah
hasil-hasil kebijakan yang diperoleh melalui serangkaian proses implementasi tersebut secara
nyata maupun mewujudkan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan (policy goals).
Sementara itu variabel independen merupakan seluruh variabel yang diharapkan maupun
menjelaskan derajat kinerja kebijakan tersebut. Variabel independen tersebut adalah
keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses implementasi suatu kebijakan
yang dilakukan.
Hubungan yang kompleks antara berbagai variabel:, independen, intervening dengan variabel
dependen (kinerja implementasi kebijakan) tersebut tergambar secara nyata dalam berbagai
model implementasi yang dihasilkan oleh para ahli implementasi generasi II, misalnya:
George Edward III(1998), Daniel mazmanian (1983),merilee grindle (1980),Van metter dan
Van horn (1965).
Sebagai variabel dependen kinerja implementasi kebijakan menduduki posisi sentral. Karena
fenomena kinerja implementasi kebijakan inilah yang selama beberapa generasi coba
dijelaskan eksistensinya. Akan tetapi, sebagai suatu konsep yang menggambarkan kegagalan
atau keberhasilan implementasi, ukuran atau kriteria untuk menilai kinerja implementasi
sendiri sering tidak seragam. Hal ini karena apa yang disebut sebagai implementasi sendiri
sering dipahami secara berbeda antara peneliti satu dengan yang lain.
Prespektif kepatuhan boleh dikatakan sangat kenal dipengaruhi oleh pandangan yang melihat
keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh persoalan pengelolaan an-nur usan
administrasi dan manajemen.
Cara pandang yang demikian sangat relevan manakala dalam realitanya seringkali ditemukan
banyak kasus ketika penyampaian keluaran kebijakan kepada kelompok sasaran sudah sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan, akan tetapi nasib kelompok sasaran tidak banyak
mengalami perubahan s atau dengan kata lain implementasi kebijakan gagal mencapai tujuan
kebijakan yang telah ditetapkan, yaitu mengubah nasib kelompok sasaran dari suatu kondisi
ke kondisi lain yang lebih baik sebagaimana diidealkan dalam dokumen kebijakan.
Bagi para ahli yang mengikuti perspektif kedua, pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan
untuk mengetahui keberhasilan implementasi adalah, (goggin,1990):
pertanyaan strategi Siapa dan bagaimana kondisi serta distribusi kelompok sasaran.
Apakah program sesuai dengan tujuan kebijakan, dan berapa besar kemungkinan berhasil
dalam implementasi.

Pertanyaan tentang compliace Apakah kegiatan kegiatan program mampu mencapai orang,
rumahtangga atau kelompok masyarakat yang direncanakan Apakah program memberi
sumber, pelayanan atau manfaat lain seperti yang diinginkan. pertanyaan tentang dampak:
Apakah program mencapai tujuannya dengan efektif Apakah hasil yang dicapai disebabkan
oleh faktor lain selain program Apakah terdapat efek yang tidak diinginkan pertanyaan
tentang efisiensi Berapa besar biaya untuk penyelenggaraan pelayanan dan manfaat bagi
kelompok sasaran Apakah program ini lebih efisien dibandingkan program yang lain

B. Kompleksitas proses implementasi

Karena lebih komprehensif dalam memahami bagaimana realita implementasi suatu


kebijakan yang sesungguhnya terjadi, perspektif kedua sebagaimana disebut oleh ripley
(1985) di dapat lebih banyak dipakai sebagai acuan oleh para ahli implementasi titik
perspektif tersebut memang lebih membantu para peneliti yang berusaha untuk menjelaskan
bagaimana realitas implementasi suatu kebijakan, yaitu bagaimana setelah melalui
serangkaian proses yang panjang suatu kebijakan kemudian mampu mewujudkan tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai.
Sebagaimana telah dijelaskan di bagian lain buku ini pada dasarnya suatu kebijakan atau
program diformulasikan dengan misi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu untuk
mencapai tujuan tersebut maka suatu kebijakan membutuhkan masukkan masukkan
kebijakan (policy input). Masukan kebijakan yang umum dipakai untuk mencapai tujuan
kebijakan publik adalah berupa anggaran misalnya. 2 anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) untuk menandai berbagai kebijakan yang dirancang oleh pemerintah dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk membiayai berbagai kebijakan yang
dirumuskan oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten atau kota.
Policy output sebagai instrumen kebijakan tidak akan sampai kepada kelompok sasaran tanpa
dilakukannya kegiatan menghantar policy output tersebut (berupa realisasi kegiatan atau
distribusi bantuan) kepada kelompok sasaran.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan konsep governance saat ini implementing
agency tidak hanya menjadi monopoli pemerintah titik selain karena semakin terbatasnya
kemampuan pemerintah, dari segi: anggaran, SDM, teknologi, dan kepastian manajemen
untuk dapat memecahkan semua urusan publik sendiri, era demokrasi juga menuntut
pemerintah makin terbuka dan makin inklusif dalam memberi ruang bagi civil society
organizations (CSOs) dan sektor swasta untuk dapat terlibat dalam implementasi suatu
kebijakan.

Dalam melakukan implementasi suatu kebijakan di bantu atau dilakukan bersama-sama


dengan sektor swasta atau perusahaan yang secara khusus dibentuk (SPV,special purpose
vehicle) untuk menjalankan misi guna mencapai tujuan suatu kebijakan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah titik beberapa contoh yang sudah dilakukan adalah upaya pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan transportasi perkotaan di Yogyakarta dengan program
revitalisasi sarana transportasi perkotaan melalui program bus trans Jogja program ini
diimplementasikan bersama-sama antara pemerintah kota dengan PT.

Untuk menjamin implementasi dapat berjalan dengan lancar, sebelum kegiatan penyampaian
berbagai keluaran kebijakan dilakukan kepada kelompok sasaran dimulai perlu di dahului
dengan penyampaian informasi kepada kelompok sasaran titik tujuan pemberi informasi ini
adalah agar kelompok sasaran memahami kebijakan yang akan diimplementasikan sehingga
mereka tidak hanya akan dapat menerima berbagai program yang diinisiasi oleh pemerintah
akan tetapi berpartisipasi aktif dalam upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan.
Informasi yang disampaikan dalam mencapai dukungan terhadap kelompok sasaran ini paling
tidak harus mencakup berbagai hal berikut. 2 penjelasan secara lengkap tentang tujuan
kebijakan, manfaat serta keuntungan yang akan dirasakan oleh kelompok sasaran, stakeholder
yang terlibat, dan mekanisme kegiatan sebuah kebijakan atau program.

Meskipun sosialisasi merupakan tahap yang penting dalam implementasi kebijakan, nama
kegiatan sosialisasi sayangnya masih menyadarkan diri pada cara pandang yang pasif
terhadap masyarakat titik sosialisasi di artikan sebagai upaya untuk membuat masyarakat
tahu dan sadar bahwa ada suatu kebijakan yang akan diimplementasikan dan konsekuensi
dari implementasi tersebut dapat berdampak positif atau menghasilkan manfaat bagi suatu
kelompok akan tetapi bisa juga berdampak negatif bagi kelompok yang lain.

Dengan adanya perubahan paradigma mencapai cara dengan terhadap masyarakat tersebut
maka strategi sosialisasi kebijakan yang selama ini dipakai tentu saja harus berubah titik
konsep sosialisasi publik atau yang memandang masyarakat pasif dan menerima apa yang
telah diputuskan oleh pemerintah perlu diganti dengan konsep konsultasi publik yang
menghendaki adanya keterlibatan masyarakat secara aktif dengan proses perumusan
kebijakan.
Informasi yang disampaikan dalam mencari dukungan terhadap kelompok sasaran ini paling
tidak harus mencukupi berbagai hal berikut: penjelasan secara lengkap tentang tujuan
kebijakan, manfaat serta keuntungan yang akan dirasakan oleh kelompok sasaran, stakeholder
yang terlibat, dan mekanisme kegiatan sebuah kebijakan atau program. Kegiatan
penyampaian informasi ini bisa disebut sebagai kegiatan sosialisasi. Sosialisasi dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Sosialisasi secara
langsung dilakukan melalui titik 2 ceramah, forum warga , sarasehan, dialog interaktif lewat
radio atau TV atau internet. Sedangkan sosialisasi secara tidak langsung terjadi ketika para
petugas garda depan dalam mensosialisasikan suatu kebijakan tidak berinteraksi dengan
kelompok sasaran maupun stakeholders.

Namun, di era demokrasi, kegiatan sosialisasi kebijakan tidak lagi memandang bahwa
masyarakat bersifat pasif. Dari pengetahuan tersebut diharapkan masyarakat berperan aktif
guna mendukung implementasi suatu kebijakan di saat ini masyarakat tidak bisa dilihat lagi
sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek kebijakan titik karena logika demokrasi
mengetahui bahwa masyarakat adalah pemilik dari negara titik-titik sehingga masyarakat
yang menentukan apa yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan titik dengan kata lain
era demokrasi menghendaki adanya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam tiap
perumusan kebijakan sehingga cita-cita untuk mewujudkan good governance atau yang
menghendaki adanya keterlibatan pemerintah masyarakat dan sektor swasta dalam
pembantuan kebijakan dapat realisasikan.

Konsultasi publik merupakan strategi yang dianggap lebih tepat untuk mengkomunikasikan
kebijakan yang akan diimplementasikan titik pandangan ini didasarkan pada argumen ketika
sejak awal masyarakat atau terutama kelompok sasaran terlibat aktif dan merumuskan
masalah dan memiliki alternatif untuk memecahkan masyarakat tersebut maka kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dapat ditingkatkan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat
tersebut dapa gilirannya akan mempermudah pemerintah memperoleh dukungan masyarakat
ketika suatu kebijakan diimplementasikan cara melakukan konsultasi publik dapat
mengambil berbagai bentuk misalnya forum warga, forum multi stakeholder dan public
hereing.

Setelah proses sosialisasi maka kegiatan selanjutnya adalah delivery activities titik yaitu
kegiatan untuk menyampaikan policy output kepada kelompok sasaran kegiatan untuk
menyampaikan policy output kepada kelompok sasaran ini yang dalam prospektif sempit
sebagaimana dikatakan oleh repley (1985) sering dipahami sebagai kegiatan implementasi
kebijakan.

Tujuan dari delivery activities adalah sampainya policy output kepada kelompok sasaran titik
realisasi delivery activities dapat terjadi dalam berbagai bentuk misalnya pemberian
pelayanan atau seringkali gratis maupun realisasi bentuk atau hibah barang yang diberikan
oleh pemerintah seperti kompor gas, traktor untuk petani, mesin jahit untuk pelaku UKM.
Ketika policy output telah sampai kepada kelompok sasaran maka dapat dikatakan bahwa
kebijakan tersebut telah menimbulkan policy effect (efek suatu kebijakan) atau dalam
konseptualisasi para ahli yang lain sering disebut sebagai initial outcomen yaitu dampak yang
langsung dirasakan oleh kelompok sasaran ketika ada kegiatan delivery activities sepatu
policy output kepada kelompok sasaran (Cole and parston 2006:21). Sebagai gambar, ketika
ada kebijakan pemerintah untuk membantu para petani dengan memberikan hibah traktor
tangan maka policy effect ini muncul dalam bentuk diterimanya traktor tersebut oleh
sejumlah petani.

Tahap berikutnya setelah kelompok sasaran menerima policy output adalah dimanfaatkannya
bantuan tersebut untuk kegiatan yang menunjukkan kehidupan utama kelompok sasaran.
Sebagai ilustrasi setelah seorang petani menerima bantuan traktor tangan dari pemerintah
maka dia akan menggunakan alat tersebut untuk mengelola tanah pertanian yang dimilikinya.
Secara teoritis, dengan menggunakan traktor tersebut maka cara mengelola tanah pertanian
menjadi jauh lebih baik dibanding dengan kondisi sebelumnya yang hanya menggunakan
peralatan sederhana, misalnya dengan cara mencangkul saja.
Policy outcomen kemudian perlu dibandingkan dengan tujuan kebijakan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Apabila policy outcomes mampu mewujudkan tujuan kebijakan
maka kita bisa mengatakan bahwa kinerja implementasi kebijakan tersebut (policy
performance) tinggi.

C. KETERLIBATAN PUBLIK

Implementasi terjadi dalam suatu wilayah yang didalamnya terdapat berbagai faktor seperti:
kondisi geografis, sosial ekonomi dan politik yang memiliki kontribusi penting dalam
kegiatan implementasi titik diantara faktor-faktor tersebut, faktor politik yang dianggap
memiliki pengaruh yang dominan, meskipun pada awalnya variabel politik dianggap kurang
penting dalam proses implementasi.
Mengikuti pandangan dik motomo is tersebut, implementasi kebijakan sering hanya dilihat
sebagai proses manajemen: bagaimana kebijakan atau seringkali disederhanakan sebagai
peraturan hukum di. Sebab dalam kenyataannya implementasi kebijakan ternyata tidak
sekedar sebagai kegiatan manajerial akan tetapi juga merupakan kegiatan yang bersifat
politik.

Lebih lanjut torenviled dan Thomson(2004). Menyebutkan adanya tawar-menawar politik


dalam proses implementasi titik political bargaining merupakan realitas yang tidak dapat
dihindarkan ketika proses implementasi terjadi di ranah publik yang mengandung
kepentingan yang bersifat heterogen . Ada kelompok yang memperoleh manfaat positif dari
implementasi suatu program. Akan tetapi ada juga sebagai anggota kelompok tersebut yang
menderita kerugian akibat implementasi program tersebut.

Di dalam kondisi yang demikian itu pihak-pihak yang merasa dirugikan akan mencoba
mempengaruhi implementing agency untuk melakukan penundaan. Sementara itu pihak pihak
yang akan diuntungkan akan menekan agar implementasi segera bisa dilakukan di tarik
memiliki kepentingan yang bertujuan pada penundaan terhadap implementasi dalam kasus
kebijakan pemangkasan subsidi BBM adalah contoh nyata adanya political bargaining dalam
proses implementasi.

Tingginya muatan politik dalam proses implementasi terjadi karena sebagaimana telah
disebutkan di bagian lain buku ini, permentasi melibatkan banyak stakeholder.kiviniemi
(1986) menyebutkan adanya non-governmental actors yang ikut berinteraksi dalam proses
implementasi memuat proses implementasi menjadi sangat dinamis.

Interaksi aktor-aktor, baik dari kalangan pemerintah maupun nonpemerintah menimbulkan


adanya dinamika politik yang menyertai proses implementasi.
Menggambarkan bahwa kebijakan publik akan bertujuan pada tindakan pemerintah
(governmental actions) yang didukung oleh dua hal, yaitu: sumber daya yang dimiliki oleh
pemerintah dan nilai-nilai yang ingin dicapai titik tindakan pemerintah tersebut dilakukan
bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks dimana tindakan-tindakan individu
maupun lembaga non pemerintah juga terjadi.

Menurut perspektif kiviniemi(1986), non governmental actors tersebut juga disebut sebagai
faktor lingkungan dalam proses implementasi titik lingkungan kebijakan yang kondusif tentu
akan menciptakan kondisi yang memungkinkan implementasi untuk dapat berhasil.
Sebaliknya lingkungan kebijakan yang buruk justru akan membuat implementasi kebijakan
menjadi terhambat atau gagal sama sekali.
Interaksi dalam proses implementasi dengan lingkungannya, menghasilkan empat kategori
atau tipologi implementasi, yaitu:cooperation(kerjasama),conformitu(dukungan),cunter
action(tindakan tandingan),dan detachment(pemutusan hubungan). 4 tipologi implementasi
tersebut merupakan pertemuan dua variabel pokok, yaitu: dua pertama, persetujuan para
stakeholder terhadap isi kebijakan :, sumberdaya yang dimiliki oleh para stakeholder tersebut.
Variabel persetujuan terhadap pro policy (mendukung) dan Contra policy (menantang).

Berdasarkan tipologi implementasi tersebut, maka dapat dibuat hipotesis bahwa peluang
dihasilkannya kinerja implementasi yang baik adalah ketika suatu kebijakan yang
diimplementasikan mendapat dukungan dari stakeholder dan pemerintah titik kondisi yang
demikian akan menghasilkan tipe implementasi co operation dan conformity.

Seiring dengan munculnya gelombang demokratisasi di mana-mana sedih implementasi juga


tidak lepas dari pengaruh gagasan gagasan tentang pentingnya mengadopsi nilai-nilai
demokrasi untuk menjelaskan kegagalan dan keberhasilan implementasi titik Beberapa
peneliti, salah satunya adalah deleon dan deleon(2001) mengemukakan pentingnya perspektif
untuk mendemokratisasikan proses implementasi ini gagasan tersebut tidak lepas dari fakta
empiris yang menunjukkan bahwa ketika pembuatan kebijakan publik dilakukan secara
demokrasi maka akan menciptakan situasi yang kondusif bagi keberhasilan implementasi.

Merujuk kata pendekatan deleon dan deleon (2001) di atas maka para peneliti implementasi
diingatkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi tidak
hanya menyangkut dimensi administrasi dan manajemen yang sangat dipengaruhi q&a
gagasan Wilson tentang dikotomi politik administrasi, akan tetapi dapat ditarik jauh ke
belakang berkaitan dengan sejarah bagaimana kebijakan tersebut di formulasikan. Dalam
pandangan mereka berdua apabila kebijakan publik dirumuskan dengan cara demokrasi maka
potensi kebijakan tersebut untuk berhasil menjadi semakin besar sebab:

Masyarakat memiliki pemahaman lebih baik tentang tujuan program sekaligus memberikan
input Masyarakat memahami akan keuntungan program, sekaligus dapat melakukan
identifikasi kendalanya Masyarakat menghasilkan tentang mekanisme implementasi program
dengan lebih baik Ketika masyarakat mengetahui mekanismenya maka masyarakat bisa
terlibat dalam melakukan kontrol.

Stich dan eagle(2005) juga mengungkapkan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses
implementasi titik menurutnya keterlibatan masyarakat seharusnya dipahami lebih dari
sekedar adanya kebutuhan atau tuntunan demokrasi. Keterlibatan masyarakat memiliki
makna yang lebih tinggi, yaitu sebagai media pembelajaran bersama antara pemerintah
dengan masyarakat.
D PERMASALAHAN DALAM PROSES IMPLEMENTASI

telah dikemukakan di atas bahwa proses implementasi merupakan proses yang rumit dan
kompleks hal ini dipahami karena proses implementasi melibatkan interaksi banyak variabel
saling sekaligus merumuskan mekanisme delivery activities.
Makinde(2005) mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam proses
implementasi di negara berkembang titik 1 di kasus pertama tentang permasalahan
implementasi tersebut diperoleh dari penelitiannya di Nigeria. Berdasarkan data yang
diperolehnya, kegagalan implementasi disebabkan antara lain:
Kelompok sasaran tidak terlibat dalam implementasi program.
Program yang diimplementasikan tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan sosial a.
a. ekonomi dan politik
b. adanya korupsi
c. Sumber daya manusia yang pasti kapasitasnya rendah
d. Tidak adanya koordinasi dan monitoring
e. Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan implementasi di Pakistan adalah:
f. Ketidakjelasan tujuan kebijakan
g. Komitmen politik
h. Struktur pemerintahan
i. Sentralisasi kewenangan
j. Sumber daya
k. Ketergantungan pada bantuan asing.

Kegagalan implementasi yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kegagalan yang
ditemukan di negara lain setidaknya ada 4 faktor yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya
suatu proses implementasi.
Kualitas kebijakan itu sendiri titik kualitas di sini menyangkut banyak air seperti kejelasan
tujuan, kejelasan implementor atau penanggung jawab implementasi, dan lain-lain.
Kecukupan input kebijakan atau terutama anggaran titik suatu kebijakan atau program tidak
akan dapat mencapai tujuan atau sasaran tanpa dukungan anggaran yang memadai Ketepatan
instrumen yang dipakai untuk mencapai tujuan kebijakan atau pelayanan, subsidi, hibah dan
lain-lain.

Kapasitas implementor atau struktur organisasi, dukungan SDM, koordinasi, pengawasan,


dan sebagainya. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran atau apakah kelompok
sasaran adalah individu atau kelompok atau laki-laki atau perempuan, terdiri atau tidak.
Karakteristik kelompok sasaran tersebut akan sangat berpengaruh terhadap dukungan
kelompok sasaran terhadap proses implementasi.

Kondisi lingkungan geografi sosial ekonomi dan politik dimana implementasi tersebut
dilakukan titik kebijakan yang dilakukan tidak akan terlibat ketika diimplementasikan dalam
situasi dan kondisi lingkungan yang tidak kondusif terhadap upaya pencapaian tujuan
kebijakan strategi yang dilakukan tentu saja di sesuaikan dengan tipe kegagalan implementasi
program. Ada empat tipe implementasi sebuah kebijakan goggin et,al(1990). Tipologi
tersebut menunjukkan potensi kegagalan dan keberhasilan mencapai tujuan suatu kebijakan
atau program:

Penyimpangan (defiance): tipe implementasi ini diwarnai terjadinya kemunduran atau bahkan
pembatalan implementasi oleh implementor yang disertai perubahan perubahan baik tujuan,
kelompok sasaran maupun mekanisme implementasi yang berkaitan tidak tercapainya tujuan.
Penundaan (delay), yaitu penundaan tanpa modifikasi.

Penundaan strategi, yaitu penundaan strategi modifikasi yang bertujuan memperbesar


keberhasilan implementasi. Taat (compliace), yaitu tipe implementasi dimana implementor
menjalankan implementasi tanpa disertai dengan perubahan terhadap isi dan mekanisme
implementasi kebijakan tertentu.
ilustrasi kasus tersebut bahwa proses implementasi merupakan proses yang rumit. Hingga
implementasi menjadi berujung pada kegagalan titik kegagalan implementasi sebagaimana
dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh makatita (2010) apabila dicermati
memang diakibatkan oleh beberapa hal yang sebagian sudah tersebut dibagi lain dari buku ini
diantaranya adalah sosialisasi yang kurang baik, masyarakat tidak dilibatkan dalam
pengembalian keputusan sehingga dukungannya merendah titik adanya korupsi serta proses
monitoring yang tidak berjalan dengan baik.

D. Faktor-faktor yang bekerja dalam proses implementasi

Menurut gogging et al.(1990), kebijakan diasumsikan sebagai suatu pesan dari pemerintah
federal atau pusat kepada pemerintah daerah titik keberhasilan implementasi pesan tersebut
sangat dipengaruhi oleh tiga hal pokok:
1. Isi kebijakan (the content of the policy message)
2. Format kebijakan ( the eputation of the policy massege)
3. Reputasi aktor (the reputation of the communicators)
4.
rondinelli dan chemma(1983:28) mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi kinerja
implementasi yaitu: Kondisi lingkungan ( environmental conditioner) Hubungan antara
organisasi ( inter arganizational relationship) Sumber daya (resources)
Karakter institusi implementor.

kemudian dwiyanto dkk (2006:144-222) mengungkapkan bahwa kinerja pelayanan publik


juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
Kewenangan diskresi yaitu langkah yang ditempuh oleh administrator untuk menyelesaikan
suatu kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam suatu regulasi yang baku
Orientasi terhadap perubahan, menunjukkan sejauh mana kesediaan aparat birokrasi
menerima perubahan Budaya paternalisme, merupakan sistem yang menempatkan pemimpin
sebagai pilihan yang paling dominan Etika pelayanan, dilihat dari apakah seorang aparat
birokrasi dalam memberi pelayanan kepada masyarakat Sistem insentif, berupa pemberian
penghargaan materi maupun nonmateri kepada karyawan yang berprestasi untuk mencapai
hasil kerja yang diinginkan.

Semangat kerjasama, dikonsepkan sebagai keterpaduan kerja organisasi publik dipengaruhi


oleh faktor-faktor yang beranekaragaman.salah satu seperti yang digunakan Iskandar (2005)
untuk melihat kinerja pelayanan dinas kependudukan dan catatan sipil kota Magelang, yaitu:
Akuntabilitas, menyangkut pertanggungjawaban pemerintah atau pihak yang mengelola
sumber-sumber daya masyarakat kepada masyarakat yang menjadi pengaruh jasanya
Responsivitas yaitu kemampuan organisasi dalam mengenali kebutuhanmasyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan.
Orientasi terhadap pelayanan adalah penggunaan seluruh sumber daya organisasi untuk
memberikan pelayanan kepada para pengguna jasa.
BAB IV
MENILAI KINERJA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Sebagai fokus kajian, kinerja implementasi menjadi bagian yang paling penting dalam studi
implementasi titik pengetahuan penelitian tentang kinerja implementasi menjadi hal yang
vital, sebab berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya tersebut ia akan membuat judgment
atau penilaian apakah implementasi suatu kebijakan boleh dikatakan berhasil atau gagal.
Membuat penilaian implementasi suatu kebijakan sebagai gagal atau berhasil tentu bukan
urusan yang mudah titik penilaian tersebut akan memiliki banyak implikasi bagi yang dinilai
maupun penilaian bagi yang dinilai, kegagalan implementasi suatu kebijakan yang politik
administratif keuangan dan hukum.

Karena berbagai konsekuensi yang akan muncul atas kesimpulan yang dibuat oleh peneliti
berkaitan dengan kinerja implementasi suatu kebijakan maka ketepatan metode yang
digunakan untuk menilai kinerja, seperti: pemilihan indikator untuk menilai kinerja, teknik
sampling pengumpulan data dan analisis data menjadi pilar penting untuk menenangkan
judgment tentang kinerja implementasi suatu kebijakan.

A. Kerangka Pengukuran Kinerja

Oxford English dictionary mendefinisikan kinerja sebagai: the,


Accomplishment,execution,carying out,working out of anything ordered or undertaken. Dari
definisi tersebut kinerja dapat diartikan sebagai keberhasilan kesuksesan suatu tindakan,
tugas atau operasi yang dilakukan oleh orang, kelompok orang atau organisasi. Kinerja
dengan demikian dapat merujuk pada keluaran hasil atau pencapaian.

Untuk dapat menentukan tinggi rendahnya kinerja implementasi suatu kebijakan maka
penilaiannya terhadap kinerja merupakan suatu yang penting. Penilaian terdapat kinerja
adalah penerapan metode yang dipakai oleh peneliti untuk dapat menjawab pertanyaan pokok
dalam studi implementasi, yaitu
Apa isi dan tujuan dari suatu kebijakan
Apa tahap-tahap yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut

Apakah setelah tahap tersebut dilakukan, implementasi yang dijalankan tadi mau
mewujudkan tujuan kebijakan atau tidak Tercapainya tujuan suatu kebijakan akan melalui
tahap-tahap yang cukup panjang tahap tersebut dimulai dari adanya: Input kebijakan atau
sumber daya yang dipakai untuk menghasilkan produk dan layanan dari suatu program
Proses atau kegiatan kegiatan untuk menghasilkan produk dan layanan publik, dan output
kebijakan keluaran kebijakan berupa produk dan layanan publik yang dapat dinikmati oleh
kelompok sasaran, Hasil awal, Hasil jangka menengah, Hasil jangka panjang
Tujuan akhir dari program dicapai setelah output program berupa bantuan traktor tangan
untuk petani dibagi kepada para petani yang berhak untuk menerimanya. Setelah traktor
tersebut diterima, maka para petani tersebut akan menggunakan traktor untuk mengelola
lahan pertanian mereka. Sebagai konsekuensinya, setelah pengelolaan tanah dilakukan
dengan traktor maka produktivitas panen per hektar juga akan mengalami peningkatan.
B. Indikator Pengukuran Kinerja

Indikator secara harfiah diartikan sebagai alat untuk membantu panca indera kita mengetahui
berbagai macam fenomena alam seperti: termometer untuk mengukur panas kompas untuk
mengetahui arah mata angin dan speedometer untuk mengetahui kecepatan titik selain untuk
membantu manusia mengetahui berbagai peristiwa alam, indikator dalam perkembangannya
kemudian juga bermanfaat dalam membantu manusia memahami fenomena sosial ekonomi
dan politik.

Jika dikaitkan dengan kebijakan publik indikator merupakan instrumen penting untuk
mengevaluasi kinerja implementasi suatu kebijakan titik dengan adanya indikator maka
peneliti dapat mengetahui keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan,
program atau proyek.

Sebagai sebuah alat ukur indikator dapat bersifat kualitatif atau naratif maupun kuantitatif
atau angka-angka. Angka-angka atau deskripsi tersebut sangat berguna dalam
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan kebijakan yang telah ditetapkan
titik indikator yang baik akan membantu peneliti mengenai kondisi yang akan muncul ketika
tujuan suatu kebijakan dapat diwujudkan. Indikator juga akan membantu kita mengenai
kemajuan atau pencapaian tujuan suatu kebijakan indikator tersebut akan menjadi semacam
pandan (milestone) yaitu menjadi petunjuk arah bawah setahap demi setahap hasil
implementasi kebijakan yang berwujud nya mencapai tujuan kebijakan.

Sementara reliabilitas berkaitan dengan keterandalan alat ukur yaitu kualitas yang
menunjukkan bahwa alat ukur akan memberikan faktor atau data yang sama ketika dipakai
untuk mengukur suatu fenomena yang sama meskipun dalam waktu yang berbeda titik ciri-
ciri indikator yang baik tersebut antara lain:

Memiliki relevansi dengan kebijakan atau program yang akan di evaluasi titik hal ini sangat
jelas, indikator yang baik mesti mencerminkan realitas kebijakan dan program.
Memadai, dalam arti jumlah indikator yang kita gunakan memiliki kemampuan
menggambarkan secara lengkap kondisi tercapainya tujuan suatu kebijakan.
Data yang diperlukan mudah untuk diperoleh di lapangan sehingga tidak akan menyulitkan
evaluator. Selain itu, data yang mudah diperoleh dari tadi juga akan menghemat tenaga biaya
dan waktu yang dibutuhkan evaluator.

Indikator yang kita susun idealnya juga memenuhi standar nasional, bahkan lebih bagus lagi
apabila dapat memenuhi standar. Indikator policy output Indikator output digunakan untuk
mengetahui konsekuensi langsung yang dirasakan oleh kelompok sasaran sebagai akibat
adanya realisasi kegiatan, aktivitas, pendistribusian hibah, subsidi, dan lain yang
dilaksanakan dalam implementasi suatu kebijakan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
Mengidentifikasi policy output dari suatu kebijakan atau program yang akan dievaluasi
Mengidentifikasi kelompok sasaran kebijakan atau program, apakah kelompok sasaran
tersebut individu keluarga, komunitas, dan lain-lain
Mengidentifikasi frekuensi kegiatan penyampaian output yang dilakukan oleh implementer
Mengidentifikasi kualitas produk yang disampaikan oleh implementasi kepada kelompok
sasaran.
CF repley 1986) maka berbagai indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas policy
output adalah sebagai berikut:
Akses Indikator akses digunakan untuk mengetahui bahwa program atau pelayanan yang
diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran selain itu akses juga mengandung
pengertian bahwa dan orang-orang yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan
kebijakan atau program mudah dikontrol oleh masyarakat yang menjadi kelompok sasaran
kebijakan atau program tersebut apabila mereka membutuhkan informasi atau ingin
menyampaikan pengaduan.

Cangkupan (coverge)

Prosedur yang digunakan untuk mengukur cakupan adalah:


Menetapkan siapa saja yang menjadi kelompok sasaran (keluarga miskin, petani, anak
sekolah, dan lain sebagainya). Membuat proporsi (perbandingan) jumlah kelompok sasaran
yang sudah dapat layanan terhadap total kelompok target.

Frekuensi

frekuensi merupakan indikator untuk mengatur beberapa sering kelompok sasaran dapat
memperoleh layanan yang dijanjikan oleh suatu kebijakan atau program, semakin tinggi
frekuensi pelayanan maka akan semakin baik implementasi kebijakan atau program tersebut,
jenis layanannya tidak hanya diberikan sekali, namun berulang kali seperti program raskin,
bantuan langsung tunai, dan program pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah.

Bias

bios merupakan indikator yang digunakan untuk menilai apakah pelayanan yang diberikan
oleh implementer bias (menyimpang) kepada kelompok masyarakat yang bukan menjadi
sasaran atau kelompok masyarakat yang tidak eligible untuk menikmati bantuan hibah, atau
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah melalui suatu kebijakan atau program, sebagai
contoh, pertanyaan yang perlu diajukan dalam implementasi program raskin adalah apakah
ada penerima raskin dari keluarga yang bukan kategori keluarga miskin atau tidak jika ada
keluarga tidak miskin yang menerima raskin, maka hal ini menunjukkan bahwa dalam
implementasi program raskin terjadi bias.
Service delivery (ketepatan layanan)
indikator ini digunakan untuk menilai apakah pelayanan yang diberikan dalam implementasi
suatu program dilakukan tepat waktu atau tidak, contoh pentingnya menggunakan indikator
service delivery ini adalah dalam implementasi program operasi pasar untuk pembelian gabah
petani pada saat panen raya, tujuan program ini adalah untuk melindungi petani agar mereka
tidak dirugikan oleh ulah para tengkulak yang membeli gabah petani dengan harga murah
pada saat panen raya.
Akuntabilitas

Indikator ini digunakan untuk menilai apakah tindakan para implementer dalam menjalankan
tugas mereka untuk menyampaikan keluaran kebijakan kepada kelompok sasaran dapat
dipertanggung jawabkan atau tidak,sebagai contoh dalam program raskin dinyatakan bahwa
melalui program tersebut pemerintah akan memberikan hak kepada keluarga miskin untuk
membeli beras dengan harga murah sebesar 20 kilo setiap bulan jika dalam praktiknya
keluarga miskin hanya boleh membeli beras sebanyak 10 kg apakah ini merupakan bentuk
penyimpangan atau tidak.

Kesesuaian program dengan kebutuhan

indikator ini digunakan untuk mengukur apakah berbagai keluaran kebijakan atau program
yang diterima oleh kelompok sasaran memang sesuai dengan kebutuhan mereka atau tidak,
sebagai ilustrasi, beberapa saat yang lalu kementerian sosial membuat program untuk
membantu para pelaku UKM di sektor konveksi dengan memberikan mesin jahit high speed,
sayangnya setelah mesin jahit tersebut didistribusikan akhirnya mesin-mesin itu tidak pernah
digunakan dan hanya menjadi barang hiasan di ruang tamu para pelaku UKM tersebut.

Indikator Policy Outcome

indikator kedua adalah policy outcome yaitu untuk menilai hasil implementasi suatu
kebijakan dalam berbagai literatur indikator outcom juga disebut sebagai indikator dampak
kebijakan (policy impact)hasil kebijakan ini jika dirunut merupakan konsekuensi lanjutan
atas keluaran kebijakan (pelayanan, hibah, transfer dana) yang diterima oleh kelompok
sasaran.

Berbagai perubahan yang muncul sebagai konsekuensi implementasi suatu kebijakan atau
program tersebut perlu diukur untuk dapat diketahui sejauh mana kinerja implementasi suatu
kebijakan atau program. Manfaat lain mengetahui dampak kebijakan adalah:
Untuk menguji implementasi suatu pilotproject apakah dapat dikembangkan menjadi suatu
program. Untuk menguji design suatu program yang paling efektif sehingga ditemukan suatu
cara untuk mengintegrasikan berbagai program. Untuk menguji apakah modifikasi suatu
program membuahkan hasilatautidak. Untuk mengambil keputusan terhadap keberlangsungan
suatu program. Dampak yang terjadi tentunya sangat tergantung dengan kebijakan maupun
programnya, dalam realita di lapangan dirumuskan indikator dampak tidak mudah dilakukan
hal ini disebabkan oleh setidaknya dua hal yaitu (i) luasnya cakupan kebijakan (ii) tujuan
kebijakan seringkali tidak spesifik.

pengukuran kinerja

meskipun telah ada indikator yang dapat digunakan tetapi pengukuran kinerja terhadap
keberhasilan kebijakan publik tetap bukanlah pekerjaan yang mudah oleh karena itu tidak
mengherankan jika banyak persoalan yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam upaya
untuk melakukan pengukuran kinerja tersebut, sebagai akibat sulitnya pengukuran kinerja
kebijakan publik maka memunculkan sejumlah permasalahan sebagai berikut:
Monitoring vs evaluasi
secara teoritis penilaian kinerja implementasi suatu kebijakan atau program dapat dilakukan
atas dasar waktu pelaksanaannya, pertama adalah evaluasi ex-ante. Kedua adalah evaluasi
yang disebut sebagai going process evaluation atau yang juga dikenal dengan nama
monitoringl.

Sequence perencanaan dan evaluasi yang tidak sesuai


Persoalan lain yang dihadapi oleh pemerintah (terutama pemerintah daerah) di dalam
melakukan penilaian kinerja adalah menyangkut squence antara perencanaan dan evaluasi,
sebagaimana telah dijelaskan di muka umum tujuan pokok dilakukannya evaluasi kinerja
terhadap kebijakan dan program pemerintah daerah adalah agar pemerintah daerah yang
bersangkutan dapat mengetahui sejauh mana implementasi sebagai kebijakan atau program
yang dilakukan oleh kementerian dan mampu mewujudkan visi dan misi pemerintah.

Evaluasi tidak menggambarkan hasil kebijakan atau program

Program-program pembangunan yang disusun oleh pemerintah setiap tahunnya berjumlah


sangat banyak atau ribuan program, program yang begitu banyak maka akan sangat sulit bagi
pemerintah untuk mengevaluasi hasil hasil kebijakan atau program suatu persatuan dengan
baik dan sesama, selain itu fragmentasi monitoring yang dilakukan untuk melihat realisasi
pelaksanaan proyek juga membuat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah makin sulit
memperoleh informasi tentang dampak kebijakan atau program yang muncul di tengah-
tengah masyarakat sebagai agregat dari berbagai kegiatan yang disusun oleh pemerintah.

Evaluasi program vs kegiatan rutin pelayanan

Evaluasi kinerja selama ini juga bias pada program-program pembangunan yang dilakukan
pada kurun waktu tertentu, jika dilihat dari visi dan misi pemerintah daerah maka jelas
terlihat bahwa visi dan misi tersebut selain dicapai melalui implementasi berbagai program
yang bersifat aksidental juga diwujudkan melalui pelayanan publik yang merupakan kegiatan
rutin dari SKPD maupun UPTD yang diberi tugas untuk melakukan peran pelayanan.

Pengembangan dimensi

belajar dari berbagai kelemahan yang terjadi di dalam penilaian kinerja implementasi sebuah
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun daerah sebagaimana sudah dipaparkan di
atas maka upaya untuk melakukan perbaikan kiranya perlu dilakukan.
Selama ini penilaian terhadap kinerja implementasi kebijakan oleh pemerintah semestinya
tidak hanya dilihat dari aspek output saja, akan tetapi juga perlu dilihat dari aspek outcome.
Sebagai ilustrasi evaluasi yang menilai outcome tersebut sudah pernah dilakukan oleh pusat
studi kebijakan dan kependudukan (PSKK-UGM) dengan melakukan kajian yang bertajuk
governance assessment survey (GAS) yang dilakukan pada tahun 2006 (GAS,2006).
Mengembangkan metode pengukuran kinerja

karena unit pengukuran dan area yang dijadikan pengukuran berbeda-beda maka perlu
dikembangkan suatu metode agar kita dapat melakukan penilaian dengan tepat, salah satunya
yaitu melalui pengembangan indikator, contoh bagaimana mengukur keberhasilan suatu
kebijakan yang bersifat makro seperti proyek penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP),
Kebijakan pendayagunaan aparatur negara dan pemerintahan daya saing investasi daerah.
Secara umum unit pengukuran ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Keluarga dan individu
2. Komunitas
3. Organisasi atau kelompok
4. Institusi masyarakat atau sistem
5. Keberhasilannya tidak saja dilihat dari aspek ekonomi tetapi juga dari aspek fisik dan
sosial. Secara lebih terperinci aspek yang dijadikan pedoman pengukuran dampak
diantaranya:
6. Ekonomi
7. Akses untuk memperoleh modal
8. Akses untuk pemasaran
9. Akses terhadap teknologi
10. Politik atau struktural
11. Akses untuk mengartikulasikan kepentingan
12. Kesamaan kesempatan berusaha
13. Perlindungan dari kompetisi yang tidak sehat
14. Budaya
15. Peningkatan semangat kerja
16. Budaya menabung (Memupuk modal)
17. Semangat kewirausahaan
BAB V
ORGANISASI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kemampuan implementasi agency untuk menjalankan perannya sangat dipengaruhi oleh


kapasitas organisasi tersebut. Kepastian organisasi itu sendiri merupakan fungsi dari berbagai
macam hal seperti: ketepatan struktur jumlah dan kualitas sdm yang dimiliki, bussines
prosces yang dirancang untuk menjalankan peran yang harus di yang harus di emban oleh
organisasi, dan last but not least dukungan lingkungan di mana tugas organisasi tersebut
harus di harus dilakukan.

Siapa implementasi agency


Mengikuti gagasan dikotomi politik administrasi, lembaga yang paling otoritatif untuk
mengimplementasikan kebijakan adalah atau pemerintah dititik sesuai dengan pembagian
tugas yang secara luas diakui maka tugas lembaga politik DPR adalah merumuskan
kebijakan.

Agar pemerintah dapat menjalankan tugas untuk mengeksekusi berbagai kebijakan tersebut
maka kemudian membentuk organisasi yang solid yang kemudian disebut sebagai birokrasi.
Selain eksekutif, dalam perkembangannya, organisasi yang terlibat dalam implementasi
kebijakan publik makin hari makin luas. Bahkan sejak paham dikotomi politik terakhir,
implementasi juga melibatkan pihak legislatif DPR atau DPRD.

Sektor swasta juga diakui makin memiliki peran penting dalam membantu pemerintah
mengimplementasikan berbagai kebijakan mereka titik efisiensi cara kerja sektor swasta,
kualitas sdm yang mereka miliki, kecepatan adopsi terhadap berbagai perkembangan
teknologi sering menjadi alasan mengapa pemerintah merasa perlu melibatkan sektor swasta.
Upaya untuk memanfaatkan berbagai keunggulan sektor swasta tersebut kemudian
diformulasikan dalam bentuk kementrian antara pemerintah dengan swasta. Pada saat yang
sama sektor swasta dapat memperoleh keuntungan dengan membantu pemerintah mencapai
berbagai tujuan untuk mewujudkan common good atau kebaikan bersama untuk seluruh
anggota masyarakat.

Kapasitas organisasi untuk implementasi

Meskipun implementasi agency yang terlibat dalam implementasi kebijakan publik bisa
sangat beragam akan tetapi birokrasi sampai saat ini masih memiliki posisi yang paling
dominan dibanding dengan organisasi yang lain di birokrasi masih menjadi tulang punggung
bagi tercapainya berbagai tujuan kebijakan publik sebagaimana telah disebut.
Demikian pula gogging et.al(1990:120) mendefinisikan kepastian organisasi sebagai suatu
kesatuan unsur organisasi yang melibatkan:
Struktur

Mekanisme kerja atau koordinasi antara unit yang terlibat dalam implementasi
Sumber daya manusia yang ada dalam organisasi
Dukungan finansial serta sumber daya yang dibutuhkan organisasi tersebut untuk bekerja
Crosby (1996:23-24) mengidentifikasi unsur-unsur kepastian organisasi di antara lain:
1. Kemampuan untuk menjembatani berbagai kepentingan
2. Kapasitas untuk menggalang dan menjaga dukungan
3. Kemampuan untuk beradaptasi terhadap tugas-tugas yang baru dan memiliki suatu
framework untuk melakukan proses pembelajaran
4. Kemampuan untuk mengenali perubahan lingkungan
5. Kemampuan untuk melakukan lobby and advokasi
6. Memiliki kemampuan untuk memonitor dan mengendalikan implementasi
7. Memiliki mekanisme koordinasi yang baik
8. Memiliki mekanisme untuk motor dampak dari kebijakan

Struktur organisasi

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa tujuan suatu kebijakan seringkali kompleks, luas,
dan implementasinya melibatkan lintas sektoral. Dengan karakternya yang demikian maka
proses implementasi kebijakan pasti melibatkan banyak aktor organisasi, dan bahkan level
pemerintah yang berbeda-beda.
Agar struktur organisasi yang diberi mandat untuk mengimplementasikan suatu kebijakan
bisa bekerja secara efektif maka struktur organisasi harus disusun sesuai dengan tujuan dan
kompleksitas kebijakan.
Secara teoritis ada tiga pendekatan untuk membentuk struktur organisasi, yaitu horizontal
vertikal dan spesial.

Bentuk struktur organisasi tentunya akan dipengaruhi oleh adanya tujuan sebuah kebijakan
atau program yang diimplementasikan, makin kompleks sebuah kebijakan atau program yang
diimplementasikan makan lebih tepat jika strukturnya juga lebih kompleks yang mampu
mengakomodasi berbagai organisasi yang terlibat dalam implementasi.

Menunjukkan bahwa tahun 1963 sampai 1964 hanya 83,5% kebijakan publik yang harus
diimplementasikan dengan struktur yang melibatkan banyak aktor (multi actor). Pada periode
1993 sampai 1950 4 persentasenya naik menjadi 90% secara keseluruhan dari waktu ke
waktu memang implementasi kebijakan cenderung dilakukan oleh organisasi yang bersifat
multi daripada single, yaitu 85,4% sebagai yang di implementasinya melibatkan multi aktor
yang dengan mudah dapat ditemukan di Indonesia.

Pendekatan horizontal dapat diilustrasikan melalui kebijakan penanggulangan kemiskinan di


suatu daerah, kebijakan penanggulangan kemiskinan hanya akan efektif apabila melibatkan
banyak dinas yang bidang tugasnya memiliki keterkaitan erat dengan persoalan pengentasan
kemiskinan.

Untuk mewujudkan tujuan kebijakan pengentasan kemiskinan tersebut hanya dapat dicapai
melalui beberapa kegiatan seperti dibawah ini:
Dinas sosial, berperan mengembangkan sistem bantuan dan jaminan sosial bagi PMKS
(penyandang masalah kesejahteraan sosial)
Badan pusat statistik bertugas untuk mendata penduduk miskin
dinas pendidikan melaksanakan program wajib belajar Dinas kesehatan menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat miskin
Dinas perindustrian dan perdagangan dapat mengambil peran terhadap pembinaan usaha kecil
dan menengah.

struktur bantuan biasanya diperlukan ketika organisasi yang diberi mandat untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan belum terlalu familiar dengan persoalan yang
berkaitan dengan kebijakan yang harus diimplementasikan tersebut misalnya yang berkaitan
dengan substansi kebijakan, instrumen yang tepat untuk memecahkan masalah, keberadaan
kelompok sasaran, dan dan sebagainya.

Sebagai contoh adalah ketika suatu pemerintah daerah harus menghadapi persoalan yang baru
seperti masalah HIV atau AIDS pada awalnya pemerintah daerah tersebut bersifat denial,
dalam arti tidak mengakui keberadaan persoalan Dengan mengatakan bahwa di daerahnya
tidak ada penderita HIV atau AIDS.

Namun demikian para aktivis LSM yang lebih peduli dengan persoalan HIV atau AIDS lebih
tangkas dalam menyikapi persoalan ini, mereka lebih banyak bekerja di lapangan dengan
tanpa banyak publisitas untuk membantu para penderita HIV atau AIDS.
Belajar dari masa lalu implementasi program penanggulangan bencana, terutama saat
melakukan respon kedaruratan, sering mengalami kegagalan karena masing-masing dinas
atau satuan kerja perangkat daerah atau SKPD yang terlibat dalam implementasi program
penanggulangan bencana sulit dikoordinasi oleh karena itu ketika UU nomor 24/2007
dirancang para perumus UUD tersebut membuat suatu model struktur implementasi
kebijakan dengan model lead agency tersebut hal ini dilakukan dengan memposisikan badan
penanggulangan bencana nasional (BNPB) dan badan penanggulangan bencana daerah
(BPBD) sebagai lead agency dengan kewenangan yang lebih besar dibanding dengan
kementerian atau lembaga lain dan dinas/SKPD lain (untuk level pemerintah daerah).

Tim kerja

selain struktur, unsur yang tidak bisa diabaikan dalam mendukung kapasitas organisasi adalah
sumber daya manusia sumber daya manusia (SDM) dalam sebuah organisasi dimaknai
sebagai aktor penggerak organisasi pada saat ini SDM dalam organisasi tidak hanya dipahami
sebagai individu individu akan tetapi seringkali merupakan sebuahtim kerja. Hal ini terkait
dengan beberapa keunggulan yang dimiliki oleh sebuah tim Robbins dan jungle (2007)
mengemukakan bahwa karakteristik sebuah tim work adalah: memiliki tujuan kolektif,
bersinergi secara positif, akuntabilitas secara pribadi maupun mutual, dan adanya keahlian
(skill) yang bersifat komplementer diantara sesama anggotanya.

Jumlah SDM yang dimiliki

Jumlah SDM yang dimiliki oleh organisasi yang diberi mandat untuk mengimplementasikan
suatu kebijakan akan mempengaruhi kapasitas organisasi tersebut dalam menjalankan
misinya untuk mewujudkan tujuan organisasi (Goggin et. Al, 1990).
Perkembangan teknologi yang mampu menunjang pelaksanaan pekerjaan rumah terutama
teknologi informasi dalam (TI), saat ini juga akan sangat mempengaruhi ukuran tentang
jumlah SDM yang diperlukan oleh suatu organisasi.
Kesesuaian tujuan individu atau personil dengan pesan kebijakan

Anda mungkin juga menyukai