10 KEBIJAKAN PUBLIK
KEBIJAKAN
PUBLIK
10
Revisi: 00/2019
Hal. 1 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
CHAPTER 10
TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK
CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu menganalisis tantangan
kebijakan publik di masa yang akan datang.
Menurut Ginandjar Kartasasmita (1996) proses transformasi global yang kini tengah
berlangsung pada dasarnya digerakan oleh dua kekuatan besar yaitu pergadangan dan
kemajuan teknologi yang keduanya saling menunjang satu sama lain. Peningkatan
perdagangan selain mendorong alih teknologi juga menhuatkan teknologi. Sebaliknya
peningkatan teknologi memperluas dan memperlancar arus barang, jasa dan informasi.
Interaksi keduanya telah mendorong terjadinya penyesuaian structural perekonomian di
banyak negara di dunia. Keseluruhan proses tersebut menghasilkan tatanan
perekonomian dunia yang makin terintegrasi dan trasnparan yang pada gilirannya
melahirkan perubahan politik, sosial, dan kultural yang cepat dan luas di setiap belahan
bumi ini. Sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli, maka keberhasilan suatu negara
sangat ditentukan oleh bagaimana suatu negara memberikan tanggapan terhadap
tantangan yang menyertai gelombang globalisasi tersebut.
Dari pengalaman yang kita ikuti dan amati selama ini menunjukan bahwa negara-negara
maju yang berhasil melaksanakan pembangunannya ternyata tidak hanya memfokuskan
kebijakan pembangunannya pada aspek ekonomi semata melainkan pula sangat
memperhatikan aspek-aspek sosial dan budaya. Karena keberhasilan suatu negara dalam
menjalankan pembangunannya selain dipengaruhi oleh kemampuannya mengatasi dan
mengatur hambatan-hambatan ekonomi dan politik, juga dipengaruhi oleh
kemampuannya mengatasi kendala-kendala sosial dan kultural. Sedikitnya terdapat tujuh
kendala sosial yang menghambat pembangunan
1. Tatanan dan ikatan-ikatan tradisional serta primordial yang kurang mendukung
semangat pembangunan. Misalnya nilai-nilai sosial yang kurang berorientasi ke masa
Hal. 2 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
Hal. 3 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam kaitannya dengan pembangunan ini, fungsi utama kebijakan secara umum adalah
mengoptimalkan dampak positif pembangunan dan meminimalkan dampak negatif
pembangunan. Namun demikian, kegagalan di berbagai negara seperti Afrika, Amerika
Latin dan India dalam melaksanakan sistem perencanaan kebijakan terpusat,
memunculkan suatu anggapan bahwa kebijakan tidak diperlukan karena akan
menghambat sistem pasar yang secara ilmiah mengatur mekanisme pengadaan dan
pendistribusian barang dan jasa bagi kebutuhan masyarakat. Anggapan skeptis seperti ini
tentunya tidak sepenuhnya benar, karena kegagalan kebijakan sosial sering kali terjadi
bukan karena adanya kebijakan sosial itu sendiri, melainkan bersumber pada beberapa
faktor lain, seperti:
1. Mekanisme dan proses perumusan kebijakan tidak tepat, imformasi yang kurang tepat
dan akurat, metodologi yang tidak tepat, atau formulasi kebijakan yang tidak realistis
dapat menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan.
2. Tidak sejalannya perencanaan dan implementasi kebijakan. Kebijakan yang
dilaksanakan tidak sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan para pelaksana kebijakan,
lemahnya sistem pengawasan, atau karena kurangnya dukungan sumber dana.
3. Orientasi kebijakan tidak sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan masyarakat.
Misalnya kebijakan sosial yang tidak terlalu berorientasi pada bantuan-bantuan
konsumtif, tanpa memperhatikan pada peningkatan kemampuan dan kemandirian
masyarakat setempat. Kebijakan seperti ini dapat menimbulkan sikap malas, fatalistik
bahkan stigma di kalangan penerima bantuan. Dengan demikian, yang keliru bukan
kebijakannya tetapi paradigma atau falsafah di balik kebijakan itu yang tidak menganut
prinsip “menolong orang agar dapat menolong dirinya sendiri” (to help people to help
them selves).
4. Kebijakan terlalu kaku dan mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat sampai
yang sekecil-kecilnya. Kebijakan ini tidak mempertimbangkan keunikan manusia dalam
hukum “penawaran dan permintaan” (supply and demand) karena semua kegiatan
diatur seluruhnya oleh pemerintah.
Hal. 4 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
5. Kebijakan bersifat top down dan elitis dalam arti hanya melibatkan kelompok tertentu
saja yang dianggap ahli. Kebijakan yang menganut ‘bias profesional’ (professional bias)
ini tidak memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Rakyat
hanya dituntut untuk mengikuti kebijakan, tanpa harus mengetahui apa manfaat
kebijakan dan mengapa mereka harus menaatinya. Kebijakan seperti ini sering kali
gagal karena tidak mendapat dukungan dari rakyat.
Hal. 5 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
Seperti di kota, didesa juga terdapat stratifikasi sosial baru, yang semula berdasarkan
status kehormatan, kini cenderung berdasarkan kelas (market situation). Desa yang
semula homogeny dari segi pekerjaan (semua petani) kini terdapat division of labour.
Didesa terdapat petani, buruh tani, pekerja non pertanian, pengusaha, pegawai negeri,
ABRI (Kuntowijoyo, 1997). Di daerah perkotaan, perubahan sosial ini lebih cepat,
intensif dan masif. Problema sosial lama seperti kemiskinan, pengangguran,
kriminalitas kini semakin berhimpitan dengan permasalahan sosial psikologis
kontemporer, seperti keterasingan, konsumerisme, hedonisme, apatis, serta berbagai
perilaku menyimpang dan semakin asusila (pemerkosaan, sodomi, masalah AIDS)
Di lain pihak, industrialisasi juga berdampak pada perluasan kesempatan berusaha dan
kesetaraan jender yang pada gilirannya berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah
pekerja anak, pekerja wanita, pekerja migran (didalam maupun diluar negeri), serta
tumbuhnya pekerja di sektor informal. Perubahan sosial ini memerlukan kebijakan
sosial yang lebih responsive terhadap kebutuha-kebutuhan baru. Oleh karena itu,
diperlukan agenda kebijakan sosial guna merespon secara tepat perubahan-perubahan
sosial akibat industrialisasi dan modernisasi.
Hal. 6 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
Dengan demikian diperlukan agenda kebijakan sosial yang difokuskan pada usaha-
usaha mengatasi dampak negative dari lajunya kependudukan dan urbanisasi.
Kebijakan yang mendorong pendistribusian penduduk, perbaikan fasilitas dan
infrastruktur di perkotaan dan wilayah-wilayah tertinggal, pengentasan kemiskinan di
perkotaan, pemberdayaan sektor informal misalnya perlu mendapat perhatian sungguh-
sungguh.
Hal. 7 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
dapatlah dinyatakan bahwa isu tentang kesenjangan ekonomi ini masih mewarnai
fenomena masyarakat Indonesia. Kesenjangan ekonomi ini terutama terjadi di kota
besar seperti DKI Jakarta. Hal ini ditunjukan oleh angka Gini Ratio (1993) bernilai 0.423
yang lebih besar dari angka rata-rata nasional sebesar 0.335. Artinya angka
ketidakmerataan pembagian pendapatan di DKI jauh di atas rata-rata nasional.
Ketidakmerataan ini memerlukan perangkat kebijakan sosial yang dapat menjamin
perluasan kesesempatan berusaha dan pendistribusian sumber-sumber ekonomi
secara lebih merata dan berkeadilan sosial.
5. Pemberdayaan masyarakat
Salah satu arah pembangunan nasional adalah membangun bangsa yang maju,
mandiri, sejahtera,dan berkeadilan. Kebijakan ideal tersebut dapat dicapai dengan
memobilisasi segenap potensi dan sumberdaya masyarakat yang ada. Bangsa yang
maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan merupakan ciri dari bangsa yang memiliki
keberdayaan yang kuat. Dengan kata lain, maka kebijakan sosial harus memiliki
wawasan pemberdaya masyarakat.
Hal. 8 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
dari luar negeri. Gejolak dunia yang semanking meningkat baik di bidang politik,
ekonomi, dan sosial berikut rentetan permasalahan-permasalahan internasional yang
menyertainya akan mempengaruhi pula kepada kehidupan masyarakat Indonesia.
Status Indonesia yang masih termasuk negara berkembang dalam banyak hal sangat
dipengaruhi oleh keadaan hubungannya dengan negara-negara maju. Sebagai bagian
dari masalah ‘hubungan utara-selatan’, posisi negara berkembang seperti Indonesia
terhadap kedudukan negara maju, masih belum menguntungkan. Pengaruh negara
maju dalam bidang perdagangan, teknologi, investasi, bantuan luar negeri, terhadap
Indonesia masih sangat besar (Email Salin,1986). Sayangnya, baik hubungan yang
bersifat bilateral maupun multilateral, dalam beberapa aspek, masih lebih
menguntungkan negara donor ketimbang negara penerima. Keadaan ini perlu
diantisipasi oleh upaya-upaya yang dapat mendorong penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) serta peningkatan daya kompetitif dan kemandirian Indonesia.
Selain kuncinya terletak pada peningkattan kualitas sumber daya manusia (SDM)
sebagai human capital dan investasi sosial, kebijakan sosial internasional (international
social policy) perlu digagas untuk mengatur keadilan sosial antarnegara. Indonesia
dapat mendorong negara-negara maju dan berkembang antarkawasan untuk
merumuskan kebijakan sosial yang mengatur kompensasi atas ‘ketidakseimbagan’
neraca perdagangan di antara mereka. Sehingga negara-negara yang lebih
diuntungkan dengan gap perdagangan ini dapat memberikan kompensasi pada negara-
negara yang tertinggi. Kompensasi bisa berbentuk pemberian kesempatan dan
beasiswa bagi putra-putri Indonesia di negara-negara maju atau dapat pula berbentuk
bantuan teknis (technical assistance) dari negara maju ke negara-negara berkembang.
Prinsip kebijakan sosial internasional ini hampir serupa dengan mekanisme
pemerataan sosial melalui redistribusi pendapatan, transfer pendapatan (income
transfer) atau jaminan sosial (social security) di dalam negeri di mana warga atau
penduduk yang kuat melindungi warga yang lemah. Bedanya pada konteks
internasional mekanisme tersebut dibuat dalam skala global sehingga kelompok
sasarannya tidak lagi bersifat perseorangan, melainkan negara.
Hal. 9 dari 10
CHAPTER MODUL MATA KULIAH
10 KEBIJAKAN PUBLIK
BAHAN REVIEW
Mahasiswa diharapkan melakukan review terkait modul chapter di atas!
Hal. 10 dari 10