358
Namun yang terjadi justru sebaliknya masyarakat
hanya menerima apapun program-program pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Untuk bisa
membangun lebih baik, masyarakat harus berpendidikan
dan bermoral lebih baik.
Seperti pada zaman orde baru yang kita kenal
dengan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dari yang I
(Pertama) hingga terakhir berhenti di angka VII (Tujuh)
dimana masih diingat pada saat itu pemerintah
mencanangkan akan tinggal landas, namun yang terjadi
justru Indonesia tinggal di landasan alias nyungsep tidak
bisa terbang. Cita-cita untuk tinggal landas terus hanya
tinggal cita-cita dan cerita. Mengapa hal seperti ini bisa
terjadi ?
B. Kegagalan Paradigma Pertumbuhan dan
Kesejahteraan
Paradigma diartikan secara sederhana sebagai
suatu pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan
menggunakan paradigma maka kita akan terbantukan
dalam hal merumuskan tentang apa yang harus
dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab,
bagaimana seharusnya untuk menjawab, serta aturanaturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
informasi yang harus dikumpulkan dalam rangka
menjawab persoalan-persoalan tersebut. Bagaimana
paradigma dalam pembangunan ?
Paradigma-paradigma pembangunan yang disusun
oleh para teoritisi dan perencana pembangunan tidak
bisa dipungkiri lebih berputar kepada pendekatan teoritis
dan keilmuan daripada sebuah kajian konseptual yang
lebih mengacu kepada praktek. Pendekatan pembangunan mulai yang diwarnai oleh pendekatan
ekonomi sejak dedengkot pemikir klasik seperti Adam
Smith yang mengajarkan tentang pasar dengan invisible hand nya, David Ricardo dengan perdagangan
bebas antar negara dengan keunggulan komparatif,
disusul Karl Marx dengan ekonomi terpimpin nya, hingga
John Maynard Keyness yang mengusulkan perpaduan
antara kebebasan dan pengaturan oleh pemerintah, atau
yang lebih kontemporer seperti teori Dorongan Besar
(Big Push) hingga Pertumbuhan Seimbang (Balanced
Growth) maupun Pendekatan Politik Kulturalis, yakni
yang percaya bahwa kemajuan bisa diperoleh dengan
injeksi nilai-nilai maju (biasanya mengacu kepada nilai
di negara maju sendiri) ataupun Strukturalis yang bisa
membuat negara berkembang menjadi maju karena
yang terjadi adalah struktur yang tidak benar bukan nilai
yang tidak benar.
Diakui bahwa pembangunan yang dilaksanakan di
359
C. Paradigma People Centered Development Dalam
Pembangunan Desa
Penggunaan paradigma pertumbuhan dan kesejahteraan telah menimbulkan dampak yang cukup
memprihatinkan, dimana telah menghasilkan adanya
distorsi atau krisis lingkungan dengan menipisnya daya
dukung alami, meningkatnya ketergantungan rakyat
yang luar biasa dengan proyek pembangunan atau
kepada birokrasi dan menjadi kendala pada pembangunan berkelanjutan (sustained development), di
samping partisipasi yang tumbuh lebih merupakan
mobilisasi partisipasi dalam implementasi, bukan
partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Kelemahan-kelemahan dari paradigma tersebut
selanjutnya memunculkan paradigma people centered
development. Adapun logika yang mendominasi
paradigma ini adalah keseimbangan ekologi manusia,
dengan didukung sumber pembangunan utamanya
adalah informasi dan prakarsa yang kreatif yang tak
akan pernah habis, dengan tujuan utamanya adalah
perkembangan manusia dengan aktualisasi yang optimal dari potensi manusia.
Paradigma ini memberi tempat yang penting bagi
prakarsa dan keanekaragaman lokal, dan menekankan
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri. (Korten
dalam Tjokrowinoto, 1999:217). Kemudian manajemen
pembangunannya mengubah peranan birokrasi
pemerintah dari merencanakan dan melaksanakan
pembangunan untuk rakyat, berubah menjadi aktor
dalam menciptakan kondisi yang menimbulkan
kemandirian rakyat atau dengan kata lain, sebagai
katalis dalam mempercepat proses pembangunan yang
berpusat kepada kemandirian lokal. (Korten dalam
Tjokrowinoto, 1999:214).
Pembangunan yang berorientasi dengan menempatkan rakyat sebagai aktor utama, yang memiliki
kekuatan di dalam merencanakan, merumuskan dan
melaksanakan pembangunan sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya, dalam mewujudkan
keterkaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek
sosio-ekonomis dan kultur dengan melihat saat ini dan
di masa datang, tentunya dengan pendekatan pembangunan desa terpadu (integrated rural development)
yang menekankan multi sektoral, dengan mengedepankan partisipasi lokal dan perencanaan dari bawah.
Hal ini merupakan model pembangunan yang tepat
untuk dilaksanakan seiring dengan semakin kuatnya
tuntutan daerah akan otonomi yang luas.
Mengedepankan peningkatan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan merupakan reaksi,
dimana selama ini partisipasi rakyat hanya sekedar
mobilisasi partisipasi dalam implementasi saja, selaras
360
dengan model pembangunan top down yang dikembangkan selama ini. Pembangunan desa terpadu yang
diarahkan untuk melibatkan secara maksimal rakyat,
dalam program pembangunan memerlukan bimbingan
melalui kerjasama dengan organisasi lokal, membuat
rencana bantuan teknisi lokal, latihan, bantuan
keuangan, peraturan dan perwakilan (birokrasi lokal)
dengan mengedepankan naluri dalam membimbing
mereka.
Sejalan dengan konsep pembangunan yang
berpusat pada rakyat, menurut pemikiran Korten
menekankan perkawinan antara delivered development
atau top-down strategy dengan participatory development. Dengan demikian dalam proses pelaksanaan
pembangunan desa tidak hanya melibatkan mobilisasi
sosial, tetapi juga pelimpahan wewenang (devolution
of power). Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana menciptakan suatu institusi dan pola
kebijaksanaan yang memungkinkan masyarakat
mengerjakan dan mengendalikan inisiatif sendiri.
Pemecahannya adalah sebagaimana yang disarankan oleh Korten, yaitu :
1. Perlunya intervensi yang harus terus menerus
dilakukan untuk mengembangkan kemampuan
masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya yang
tersedia secara mandiri.
2. Perlunya pengembangan struktur-struktur dan
proses organisasional yang berfungsi menurut
prinsip-prinsip self organizing system.
3. Pengembangan sistem-sistem produksi dan
konsumsi yang terorganisir secara teritorial
berdasarkan pemilikan dan penguasaan lokal.
(Korten dan Rud Klaus, 1984).
Bertolak dari pemikiran tentang peningkatan kualitas
manusia dengan menggunakan istilah paradigmanya
Korten, dan mencoba mengadaptasikannya terhadap
masalah menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam
pembangunan desa, melalui serangkaian program yang
disebut perencanaan pembangunan sosial (social development planning) yang terpadu didaerah pedesaan.
Program ini mencakup serangkaian kegiatan untuk
membangkitkan munculnya usaha-usaha bersama
masyarakat, dan menemukan alternatif terbaik bagi
peningkatan taraf hidup masyarakat desa setempat.
Konsep tersebut muncul dari pemikiran bahwa
keterlibatan masyarakat desa dalam gerakan pembangunan desa, belum mendapat peranan yang
seimbang dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Dengan demikian adanya upaya penumbuhan kemandirian (self-reliance) dapat diartikan, sebagai upaya
meningkatkan kemampuan rakyat, dengan meman-
361
DAFTAR PUSTAKA
Afiffuddin, 2010, Pengantar Administrasi Pembangunan
: Konsep, Teori dan Implikasinya di Era
Reformasi, Alfabeta, Bandung.
Korten, David C., & Rudi Klaus, 1984, People Centered
Development, Kunarian Press, West Hatford.
Kumorotomo, Wahyudi, 1992, Profil Desa Tertinggal,
Bapenas, Jakarta.
Ngusmanto, 2005, Bahan Ajar Administrasi
Pembangunan Pedesaan Terpadu, Program
Magister Ilmu Sosial Untan, Pontianak.