Anda di halaman 1dari 5

STRATEGI PEMBANGUNAN DESA TERPADU :

SUATU PILIHAN PARADIGMA PEOPLE CENTERED DEVELOPMENT


Oleh :
Agus Hendrayady
Dosen Ilmu Administrasi Negara dan Pembantu Dekan I
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji
Abstract
Development in Indonesia has long begun, since the Soekarno-Hatta proclaimed the republic until the present time which we are familiar with the reform area. But to keep in mind that
the development which has been implemented by the government, perceived by the public
not to touch or no taxable wearing or in accordance with what is actually desired by the
community.
Keywords : Development, community, people centered development paradigm.
A. Pendahuluan
Asumsi orang selama ini tentang pembangunan
selalu tentang pembangunan gedung-gedung pencakar
langit, menara tinggi yang menunjuk langit, jembatan
layang yang bertingkat-tingkat, hingga pembangunan
di kota-kota besar, dan lain sebagainya. Disamping
pembangunan sebagaimana tersebut, ternyata
pembangunan dihadapkan pada permasalahanpermasalahan meningkatnya kesenjangan antara Jawa
dan Luar Jawa, antara Kawasan Barat dan Kawasan
Timur Indonesia, serta antara Kota dan Desa.
Pertumbuhan pembangunan yang tidak seimbang
antara Kota Besar/Metropolitan dengan Kota Menengah
dan Kota Kecil dengan pemusatan ekonomi di Pulau
Jawa-Bali serta pertumbuhan kota-kota menengah dan
kecil serta kawasan pedesaan yang berjalan lambat
mengakibatkan berbagai kesenjangan tersebut. Di
samping itu, kemampuan masing-masing daerah tidak
merata dalam kapasitas kelembagaan, sumber daya
aparatur, pengelolaan keuangan, dan kapasitas anggota
legislatif.
Untuk Indonesia, sebagaimana yang diharapkan
oleh para founding father adalah pembangunan
masyarakat yang adil dan makmur. Yang utama adalah
pembangunan masyarakat (manusia), sedangkan
pembangunan fisik hanyalah pertanda bahwa sebagian
manusianya makmur. Satu hal yang harus menjadi
pemikiran bersama, adilkah jika terdapat gedunggedung pencakar langit, menara tinggi yang menunjuk
langit, jembatan layang yang bertingkat-tingkat, hingga

pembangunan di kota-kota besar, namun sebagian


masyarakatnya masih menderita? Hal ini jangan sampai
menjadi pembenaran terhadap apa yang disampaikan
oleh Selo Sumarjan (dalam Ngusmanto, 2005:13),
bahwa pembangunan menurut orang kecil/miskin adalah
sebuah malapetaka dan mendamparkan hidup orang
kecil. Jelaslah bahwa kasih sayang, kesejahteraan,
kebahagiaan dan cinta tidak bisa dibeli, sebagaimana
lagu The Beatles : Money cant buy me love.
Secara sederhana, Pembangunan, menurut literaturliteratur ekonomi pembangunan, sering didefinisikan
sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari
peningkatan pendapatan riil per kapita melalui
peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya.
(Afiffuddin, 2010:67). Apakah definisi seperti ini sudah
cukup, karena bagaimanapun juga belum memenuhi
keinginan sebagaimana penjelasan sebelumnya. Oleh
karena itu penulis kutipkan pendapat lain mengenai
pembangunan.
Pembangunan Menurut Siagian (1995:2-3 & 2005:4),
rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan
perubahan secara terencana & dilakukan secara sadar
yang ditempuh oleh suatu negara, bangsa & pemerintah,
menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa
(nation building). Dari pendapat tersebut jelas bahwa
pembangunan haruslah dilakukan secara terencana dan
mencakup segala segi kehidupan dan penghidupan
bangsa dan negara dengan membuat program-program
yang sesuai dengan keinginan masyarakat disesuaikan
dengan skala prioritas.

358
Namun yang terjadi justru sebaliknya masyarakat
hanya menerima apapun program-program pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Untuk bisa
membangun lebih baik, masyarakat harus berpendidikan
dan bermoral lebih baik.
Seperti pada zaman orde baru yang kita kenal
dengan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dari yang I
(Pertama) hingga terakhir berhenti di angka VII (Tujuh)
dimana masih diingat pada saat itu pemerintah
mencanangkan akan tinggal landas, namun yang terjadi
justru Indonesia tinggal di landasan alias nyungsep tidak
bisa terbang. Cita-cita untuk tinggal landas terus hanya
tinggal cita-cita dan cerita. Mengapa hal seperti ini bisa
terjadi ?
B. Kegagalan Paradigma Pertumbuhan dan
Kesejahteraan
Paradigma diartikan secara sederhana sebagai
suatu pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan
menggunakan paradigma maka kita akan terbantukan
dalam hal merumuskan tentang apa yang harus
dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab,
bagaimana seharusnya untuk menjawab, serta aturanaturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
informasi yang harus dikumpulkan dalam rangka
menjawab persoalan-persoalan tersebut. Bagaimana
paradigma dalam pembangunan ?
Paradigma-paradigma pembangunan yang disusun
oleh para teoritisi dan perencana pembangunan tidak
bisa dipungkiri lebih berputar kepada pendekatan teoritis
dan keilmuan daripada sebuah kajian konseptual yang
lebih mengacu kepada praktek. Pendekatan pembangunan mulai yang diwarnai oleh pendekatan
ekonomi sejak dedengkot pemikir klasik seperti Adam
Smith yang mengajarkan tentang pasar dengan invisible hand nya, David Ricardo dengan perdagangan
bebas antar negara dengan keunggulan komparatif,
disusul Karl Marx dengan ekonomi terpimpin nya, hingga
John Maynard Keyness yang mengusulkan perpaduan
antara kebebasan dan pengaturan oleh pemerintah, atau
yang lebih kontemporer seperti teori Dorongan Besar
(Big Push) hingga Pertumbuhan Seimbang (Balanced
Growth) maupun Pendekatan Politik Kulturalis, yakni
yang percaya bahwa kemajuan bisa diperoleh dengan
injeksi nilai-nilai maju (biasanya mengacu kepada nilai
di negara maju sendiri) ataupun Strukturalis yang bisa
membuat negara berkembang menjadi maju karena
yang terjadi adalah struktur yang tidak benar bukan nilai
yang tidak benar.
Diakui bahwa pembangunan yang dilaksanakan di

Strategi Pembangunan Desa Terpadu :


Suatu Pilihan Paradigma People Centered Development

Indonesia selama ini lebih berorientasi pada paradigma


pertumbuhan, dengan karakteristik berupa memperluas
pengembangan teknologi dan pembangunan infra
struktural dalam meningkatkan produksi (prinsip
produktivitas), dimana didalam realitanya telah gagal
mewujudkan trickle down effect development, justru
sebaliknya menimbulkan kesenjangan antara yang kaya
dan miskin, ketidakadilan dalam penguasaan dan akses
dalam bidang ekonomi atau monopoli dan oligopoli
ekonomi serta pemerataan hasil pembangunan atau
dengan kata lain timbulnya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial yang akhirnya mengarah kepada
permasalahan politik. Di samping itu kemajuan
pertumbuhan ekonomi, belum mampu mencerminkan
keadaan sesungguhnya yang terjadi mengenai
pemerataan pendapatan, ketimpangan, dan pengangguran. Ketidakmampuan ini jelas tidak sesuai dengan
kredo dunia hari ini, yaitu the only sign of life is growth,
and the only sign of growth is speed. (Kalau Anda tidak
mau hidup ya jangan tumbuh, dan kalau mau tumbuh
harus cepat), semenjak globalisasi mendesakkan fakta
bahwa there is only two thing left in the world : the quick
and the dead. (Jika ingin hidup kita harus serba cepat).
Kegagalan tersebut mengilhami timbulnya paradigma kesejahteraan, yang menjanjikan kesejahteraan
rakyat dan keadilan, serta cenderung memandang
rakyat sebagai objek alamiah melalui charity strategy,
pendekatan patronnizing, asuk dan proteksi. (Tjokrowinoto, 1999 : 217). Kemudian Korten dan Alfonso
(dalam Tjokrowinoto, 1999 : 217) mengemukakan
bahwa paradigma tersebut justru meningkatkan
dependensi masyarakat terhadap birokrasi dan menjadi
kendala pada pembangunan yang berkelanjutan (sustained development), dan partisipasi yang tumbuh
menyertai gaya pembangunan seperti ini, lebih
merupakan mobilisasi partisipasi dalam implementasi,
bukan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Padahal kita ketahui bahwa partisipasi adalah sebuah
harga yang sulit untuk ditawar.
Dalam kenyataan pelaksanaan pembangunan yang
berorientasi pada kesejahteraan tersebut, masih
melekat bahwa rakyat dipandang sebagai obyek
pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan.
Keadaan ini menyebabkan masyarakat amat tergantung
kepada pemerintah didalam melindungi, menyelamatkan
dan mensejahterakan kehidupan mereka. Hal ini
tentunya amat memprihatinkan karena akan memperlemah daya juang rakyat di dalam memecahkan
permasalahannya, maupun menumbuhkan partisipasi
dalam pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri.
Berdasarkan pengalaman bangsa Indonesia dalam
melaksanakan pembangunan sampai akhir pem-

Strategi Pembangunan Desa Terpadu :


Suatu Pilihan Paradigma People Centered Development

bangunan jangka panjang (PJP) I, cenderung bersifat


normatif dan seragam serta kurang mengungkapkan
variasi lokal yang memanifestasikan orisinalitas dan
kepentingan atau kehidupan penduduk setempat.
Kecenderungan ini akan mengalihkan perhatian dari
masalah-masalah riil masyarakat, seperti kemiskinan,
ketimpangan, produktivitas yang rendah, terbatasnya
kesempatan kerja dan sebagainya.
Selain hal tersebut dikemukakan oleh David C.
Korten (dalam Kumorotomo, 1992), bahwa program
pembangunan komunitas pada skala luas yang
dilaksanakan pada negara berkembang tidak lebih dari
seperangkat program dan target baru yang dirumuskan
dari pusat dengan pelaksana struktur-strukutr birokrasi
yang konvensional, akan tidak tanggap terhadap
preferensi atau kebutuhan-kebutuhan rakyat setempat.
Dampak dari pandangan tersebut pada akhir
pembangunan jangka panjang (PJP) I terlihat bahwa
setelah selama 25 tahun pemerintah melaksanakan
pembangunan desa, ternyata masih terdapat 20.633
desa (31,5%) tergolong tertinggal di seluruh Indonesia.
Desa tertinggal yang berada di perkotaan sebanyak
1.008 desa (14,7%) dan didaerah pedesaan sebanyak
19.625 desa (33,4%) (Sumodiningrat, 1998 : 31).
Semakin meningkatkan kemiskinan di daerah
pedesaan tersebut tentunya perlu dicari jalan keluarnya
bagaimana mengurangi kemiskinan di daerah pedesaan.
Salah satu strategi yang digunakan adalah pembangunan desa terpadu (integrated rural development),
yang memberi tekanan pada aktivitas multi sektoral,
perencanaan dari bawah (bottom up planning),
partisipasi lokal dan mobilisasi. Hal ini sejalan dengan
permasalahan pembangunan desa yang bersifat multi
dimensi atau sangat kompleks, yang mencakup budaya,
politik, sosial, teknikal, dan dimensi lainnya.
Dikatakan oleh Ruttan (dalam Compos, tanpa tahun
: 15) bahwa pembangunan desa melibatkan adanya
interaksi dalam sejumlah besar antar hubungan aktivitas
yang diwujudkan kedalam implementasi program yang
terpadu, di dalam mencapai tujuan peningkatan
kesejahteraan di daerah pedesaan secara cepat.
Dengan kata lain pembangunan desa terpadu
berupaya memadukan berbagai sektor pembangunan
yang perlu dikembangkan, dengan melihat berbagai
dimensi baik kekuatan maupun kelemahannya, seperti
budaya, sosial, politik, kelembagaan, potensi, kemampuan, dan lainnya, dengan menumbuhkan kekuatan
rakyat melalui partisipasi lokal di dalam membicarakan,
merumuskan dan merencanakan yang bersumber dari
bawah, atau dengan kata lain rakyat menentukan apa
yang diinginkan atau dibutuhkan sesuai dengan potensi
yang dimiliki oleh lokal.

359
C. Paradigma People Centered Development Dalam
Pembangunan Desa
Penggunaan paradigma pertumbuhan dan kesejahteraan telah menimbulkan dampak yang cukup
memprihatinkan, dimana telah menghasilkan adanya
distorsi atau krisis lingkungan dengan menipisnya daya
dukung alami, meningkatnya ketergantungan rakyat
yang luar biasa dengan proyek pembangunan atau
kepada birokrasi dan menjadi kendala pada pembangunan berkelanjutan (sustained development), di
samping partisipasi yang tumbuh lebih merupakan
mobilisasi partisipasi dalam implementasi, bukan
partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Kelemahan-kelemahan dari paradigma tersebut
selanjutnya memunculkan paradigma people centered
development. Adapun logika yang mendominasi
paradigma ini adalah keseimbangan ekologi manusia,
dengan didukung sumber pembangunan utamanya
adalah informasi dan prakarsa yang kreatif yang tak
akan pernah habis, dengan tujuan utamanya adalah
perkembangan manusia dengan aktualisasi yang optimal dari potensi manusia.
Paradigma ini memberi tempat yang penting bagi
prakarsa dan keanekaragaman lokal, dan menekankan
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri. (Korten
dalam Tjokrowinoto, 1999:217). Kemudian manajemen
pembangunannya mengubah peranan birokrasi
pemerintah dari merencanakan dan melaksanakan
pembangunan untuk rakyat, berubah menjadi aktor
dalam menciptakan kondisi yang menimbulkan
kemandirian rakyat atau dengan kata lain, sebagai
katalis dalam mempercepat proses pembangunan yang
berpusat kepada kemandirian lokal. (Korten dalam
Tjokrowinoto, 1999:214).
Pembangunan yang berorientasi dengan menempatkan rakyat sebagai aktor utama, yang memiliki
kekuatan di dalam merencanakan, merumuskan dan
melaksanakan pembangunan sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya, dalam mewujudkan
keterkaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek
sosio-ekonomis dan kultur dengan melihat saat ini dan
di masa datang, tentunya dengan pendekatan pembangunan desa terpadu (integrated rural development)
yang menekankan multi sektoral, dengan mengedepankan partisipasi lokal dan perencanaan dari bawah.
Hal ini merupakan model pembangunan yang tepat
untuk dilaksanakan seiring dengan semakin kuatnya
tuntutan daerah akan otonomi yang luas.
Mengedepankan peningkatan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan merupakan reaksi,
dimana selama ini partisipasi rakyat hanya sekedar
mobilisasi partisipasi dalam implementasi saja, selaras

360
dengan model pembangunan top down yang dikembangkan selama ini. Pembangunan desa terpadu yang
diarahkan untuk melibatkan secara maksimal rakyat,
dalam program pembangunan memerlukan bimbingan
melalui kerjasama dengan organisasi lokal, membuat
rencana bantuan teknisi lokal, latihan, bantuan
keuangan, peraturan dan perwakilan (birokrasi lokal)
dengan mengedepankan naluri dalam membimbing
mereka.
Sejalan dengan konsep pembangunan yang
berpusat pada rakyat, menurut pemikiran Korten
menekankan perkawinan antara delivered development
atau top-down strategy dengan participatory development. Dengan demikian dalam proses pelaksanaan
pembangunan desa tidak hanya melibatkan mobilisasi
sosial, tetapi juga pelimpahan wewenang (devolution
of power). Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana menciptakan suatu institusi dan pola
kebijaksanaan yang memungkinkan masyarakat
mengerjakan dan mengendalikan inisiatif sendiri.
Pemecahannya adalah sebagaimana yang disarankan oleh Korten, yaitu :
1. Perlunya intervensi yang harus terus menerus
dilakukan untuk mengembangkan kemampuan
masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya yang
tersedia secara mandiri.
2. Perlunya pengembangan struktur-struktur dan
proses organisasional yang berfungsi menurut
prinsip-prinsip self organizing system.
3. Pengembangan sistem-sistem produksi dan
konsumsi yang terorganisir secara teritorial
berdasarkan pemilikan dan penguasaan lokal.
(Korten dan Rud Klaus, 1984).
Bertolak dari pemikiran tentang peningkatan kualitas
manusia dengan menggunakan istilah paradigmanya
Korten, dan mencoba mengadaptasikannya terhadap
masalah menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam
pembangunan desa, melalui serangkaian program yang
disebut perencanaan pembangunan sosial (social development planning) yang terpadu didaerah pedesaan.
Program ini mencakup serangkaian kegiatan untuk
membangkitkan munculnya usaha-usaha bersama
masyarakat, dan menemukan alternatif terbaik bagi
peningkatan taraf hidup masyarakat desa setempat.
Konsep tersebut muncul dari pemikiran bahwa
keterlibatan masyarakat desa dalam gerakan pembangunan desa, belum mendapat peranan yang
seimbang dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Dengan demikian adanya upaya penumbuhan kemandirian (self-reliance) dapat diartikan, sebagai upaya
meningkatkan kemampuan rakyat, dengan meman-

Strategi Pembangunan Desa Terpadu :


Suatu Pilihan Paradigma People Centered Development

faatkan sumber daya manusia dan sumber daya alami,


untuk mencapai kehidupan yang lebih baik secara
mandiri. Dukungan bantuan teknis dari luar harus diberi
nilai sebagai stimulans yang bersifat sementara, dan
berada dalam jangkauan masyarakat untuk mengenali
dan mendapatkannya.
Oleh karena itu program pembangunan desa
merupakan strategi yang berorientasi pada dua hal
pokok :
1. Bahwa pembangunan desa perlu didukung oleh
pengenalan teknologi mulai dari yang sederhana
sampai yang lebih canggih.
2. Pembangunan desa agar berorientasi kepada
kepentingan masyarakat dengan bertumpu pada
potensi setempat.
Kemudian dalam penerapannya mencakup unsurunsur pokok sebagai satu kesatuan muatan yaitu :
1. Menempatkan individu atau kelompok masyarakat
sebagai subjek dan objek.
2. Memberikan bimbingan dan penyuluhan.
3. Menyediakan stimulan yang bersifat teknis dan
kebendaan.
4. Meningkatkan ketrampilan dan produktivitas.
Kesuksesan pembangunan desa dalam menumbuhkan kemandirian rakyat atau lokal, kiranya perlu
diambil langkah-langkah, pertama masyarakat desa itu
sendiri perlu melakukan inventarisasi dan identifikasi
serta menganalisa melalui pendekatan sosial budaya,
ekonomi dan teknologi. Keseluruhan faktor yang
berpengaruh tersebut dianalisis dengan menggunakan
SWOT (strength, Weakness, Oportunity, and Threat),
atau analisa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan
ancaman.
Pendekatan analisis keadaan masyarakat seperti ini
diperlukan, agar dapat diketahui terlebih dahulu kondisikondisi dan gejala-gejala sosial ekonomi yang perlu
diperhitungkan, yang dapat berpengaruh kepada
kehidupan masyarakat. Dengan demikian masyarakat
dapat merumuskan secara obyektif permasalahannya
dan dapat secara tepat menentukan prasyarat yang
diperlukan, disamping lebih mudah mengamati faktor
penghambat dan pendukung terjadinya perubahanperubahan sosial (social change).
Banyak model pendekatan dan strategi serta konsep
tentang program pembangunan, yang ditujukan untuk
mengatasi kesenjangan di daerah pedesaan, salah satu
diantaranya pendekatan people-oriented development,
yang mencoba menempatkan manusia, sebagai
makhluk yang memiliki kreativitas (values creating) yang
merencanakan, menentukan dan mengerjakan sesuai
dengan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan

361

Strategi Pembangunan Desa Terpadu :


Suatu Pilihan Paradigma People Centered Development

(potensi) yang mereka miliki, serta mereka pulalah yang


memanfaatkan dan menilai keberhasilan pembangunan
desa yang dilaksanakan. Hal ini tentunya akan
memberikan kontribusi kekuatan bagi pembangunan
yang berkelanjutan (sustanaible development).
D. Penutup
Pembangunan desa terpadu untuk pada masa-masa
seperti sekarang ini sesungguhnya dengan konsep yang
paling ideal bagi pemerintah baik pusat maupun daerah
dengan menggunakan paradigma people-centered de-

velopment. Hal ini lebih dikarenakan bahwa masyarakat


sekarang ini bukanlah seperti zaman dahulu yang hanya
nrimo atau manut.
Masyarakat sekarang adalah masyarakat yang
selalu ingin berpartisipasi dalam pembangunan apalagi
dengan slogan dari, oleh dan untuk masyarakat,
sehingga pola yang paling tepat adalah apa yang
diinginkan oleh masyarakat, yang diusulkan oleh
masyarakat sehingga mereka tidak hanya sekedar
menunggu saja apa yang ingin dan akan dibuat oleh
pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Afiffuddin, 2010, Pengantar Administrasi Pembangunan
: Konsep, Teori dan Implikasinya di Era
Reformasi, Alfabeta, Bandung.
Korten, David C., & Rudi Klaus, 1984, People Centered
Development, Kunarian Press, West Hatford.
Kumorotomo, Wahyudi, 1992, Profil Desa Tertinggal,
Bapenas, Jakarta.
Ngusmanto, 2005, Bahan Ajar Administrasi
Pembangunan Pedesaan Terpadu, Program
Magister Ilmu Sosial Untan, Pontianak.

Siagian, Sondang P., 1995, Administrasi Pembangunan,


PT. Toko Gunung Agung, Jakarta.
, 2005, Administrasi Pembangunan :
Konsep, Dimensi & Strateginya. PT. Bumi Aksara,
Jakarta.
Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Pelajar dan IDEA,
Yogyakarta.
Tjokrowinoto Moeljarto, 1999, Pembangunan, Dilema
dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai