Anda di halaman 1dari 12

ARTIKEL

MK: PEMBANGUNAN POLITIK

OLEH :
Diana San Tabun, S.Pd.,M.IP. / NIDN. 0014089204

PRODI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2022
POLITIK PEMBANGUNAN

Tujuan Instruksional Khusus


Pada akhir pembahasan ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menjelaskan adanya pengaruh kuat pemikiran dan rezim politik yang berkuasa saat
itu terhadap desain pembangunan yang dirumuskan;
2. Menjelaskan pasang surut peran masyarakat dalam proses politik pembangunan
mulai sangat dinafikan hingga menjadi prasyarat;
3. Menjelaskan dampak pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat dalam
proses perumusan maupun implementasinya.
Deskripsi Singkat :
Dalam perkuliahan yang membahas tema ini mahasiswa mempelajari beberapa model
paradigmatik tentang kebijakan pembangunan yang sangat ditentukan oleh pemikiran dan
rezim politik yang berkuasa saat itu. Mulai dari strukturalisme hingga politik yang
membangun manusia dan masyarakat. Sekaligus pergeseran ini menunjukkan peran
masyarakat dalam proses politik pembangunan yang tadinya disingkirkan hingga menjadi
bagian yang tak terpisahkan dan bahkan menjadi tujuan dari kebijakan pembangunan.
Pokok Bahasan
Politik Pembangunan
Bahan Bacaan.

Arief, Sritua, Adi Sasono, 1990, Ketergantungan dan Keterbelakangan di Indonesia, Jakarta,
Lembaga Studi Pembangunan.

Choy, Yee Keong, 2004, Sustainable Development and The Social and Cultural Impact of a
Dam-Indiced Development Strategi : The Bakun Experience, Pasific Affairs, Spring
2004, 77,1, p. 50-68, Wilson Social Sciences Abstracts.

Cohen, CN & Uphoff NT, 1977, Rural Development Participation, Cornell University Press.

Colajacomo, Jaroslave, 2000, The Chixoy Dam : The Maya Achi’ Genocide, The Story of
Forced Resettkement, Reform The World Bank, Italy, http://www.dams.org/, p. 1-12.

Korten, David, & Sjahrir, 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor,
Jakarta.

Sachs, Wolfgang, 1995, Kritik Atas Pembangunanisme : Telaah Pengetahuan Sebagai Alat
Penguasaan, CPSM, Jakarta.

Sinclair, A. John, 2002, Public Consultation for Sustainable Development Policy Initiatives :
Manitoba Approach, Policy Studies Journal, 2002, 30, 4, p. 423-443. Wilson Social
Sciences Abstracts.
Politik Pemberdayaan
Dalam perspektif elit, politik pembangunan di Indonesia, baik era orde lama maupun
orde baru sangat menafikan peran masyarakat sebagai aktor pembangunan baik dalam
proses persiapan, pelaksanaan maupun upaya pelestarian hasil-hasil pembangunan.
Selama era orde lama, politicking terjadi dalam segala sektor sehingga menyebabkan
pembangunan utamanya peningkatan kesejahteraan masyarakat masih terkalahkan dengan
isu-isu politik yang ideologis dan bombastis. Kebijakan masih didominasi oleh orientasi
aktor politik dalam rangka pembentukan dan pemantapan nasionalisme kebangsaan.
Di masa orde baru, orientasi kebijakan pembangunan menekankan pada proses
pertumbuhan ekonomi mengejar ketertinggalan dari negara lain. Hal ini menyebabkan
kebijakan pembangunan dilakukan secara tersentralisasi dari Pemerintah, khususnya
Pemerintah pusat. Seluruh potensi nasional dimobilisasi menjadi potensi pertumbuhan
secara optimal.
Upaya-upaya represif khususnya berkaitan dengan tingkat partisipasi massa
dilakukan untuk menjaga stabilitas sosial politik, sehingga pembangunan (ekonomi) dapat
dilaksanakan secara optimal. Orientasi masyarakat sebagai aktor pembangunan selalu
dikorbankan untuk alasan kepentingan pembangunan dan kepentingan lain yang lebih
besar yakni pertumbuhan ekonomi nasional.
Dominasi orientasi aktor pemerintah dilakukan untuk mengejar efektivitas
pembangunan dan masih kuatnya anggapan bahwa masyarakat belum memiliki
pengetahuan dan ketrampilan teknis yang memadai. Persiapan dan pelaksanaan
pembangunan diusulkan dan dilaksanakan tanpa melibatkan peran serta masyarakat,
kalaupun terlibat masyarakat lebih bersifat pelengkap untuk memberi alasan legitimasi
semata.
Paradigma kebijakan pembangunan tersebut sangat menekankan pada ukuran-
ukuran ekonomis sebagai tolok ukur keberhasilannya. Kebijakan ini sama seperti di
kebanyakan negara berkembang lainnya yang memitoskan pertumbuhan (growth) dalam
tujuan pembangunannya. Dalam ranah kebijakan, pembangunan yang bersifat kapitalistik
tersebut, konsep pembangunan telah direduksi menjadi “economic growth” (Sachs, 1995).
Dalam model kebijakan seperti ini pembangunan secara sederhana berarti pertumbuhan
pendapatan setiap orang di daerah yang secara ekonomis terbelakang.
Dalam model “development economic” ini faktor sentral untuk mencapai
pertumbuhan yang maksimal adalah faktor modal. Secara keseluruhan, formulasi model ini
memang tidak mempertimbangkan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, distribusi
pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan dampak teknologi yang digunakan dalam proses
produksinya. Selain itu kerangka teoretis yang dikemukakan juga tidak mempertimbangkan
aspek orientasi dan kelembagaan masyarakat.
Pejabat pengambil kebijakan mempercayai bahwa dengan model pertumbuhan ini,
di dalam masyarakat akan terjadi suatu proses yang harmonis dalam penyebaran manfaat
pertumbuhan ekonomi dalam keseluruhan strata masyarakat melalui mekanisme yang
dikenal sebagai tetesan ke bawah (trickle down effect mechanism). Sehingga masalah
kesejahteraan masyarakat sebenarnya tinggal menunggu waktu, asalkan masyarakat mau
bersabar dan tidak banyak menuntut pada akhirnya akan mendapatkan tetesan
kesejahteraan sebagai dampak logis dari pembangunan (pertumbuhan ekonomi) yang
dilaksanakan.
Konsekuensi logis bagi model “development economic” ini adalah menafikan
orientasi aktor masyarakat, baik dalam proses persiapan, pelaksanaan maupun menikmati
hasil pembangunannya. Masyarakat bukan saja tidak terlibat dalam proses pembangunan
lebih dari itu tersingkir dari proses maupun menikmati hasilnya. Sehingga banyak persoalan
sosial dan ekonomi yang muncul begitu pembangunan direncanakan, dilaksanakan hingga
beberapa tahun ke depan setelah program pembangunan selesai dilaksanakan.
Pendekatan “development economic” ini dalam khazanah teori pembangunan
disebut juga sebagai pendekatan strukturalis (Arief dan Sasono, 1990; Baran, 1957;
Sachs, 1995). Pendekatan strukturalis mendasarkan pada kenyataan yang terjadi di
negara-negara Amerika Latin, dengan eksposisi teoretis yang bertumpu pada proses
akumulasi modal dan perubahan sosial ekonomi yang terjadi di negara-negara berkembang
yang mayoritas merupakan bekas jajahan. Dalam keseluruhan sistem ekonomi di negeri
bekas jajahan akhirnya terbentuk suatu pola distribusi pendapatan dan pola distribusi
penguasaan sumber daya ekonomi yang sangat timpang. Struktur masyarakat terdiri dari
sekelompok kecil penduduk berpenghasilan tinggi sebagai comprador dari elit di negara
maju dan massa rakyat yang sedang berkembang.
Dalam konteks perumusan kebijakan yang merupakan interaksi dari orientasi
pemerintah, aktor masyarakat dan aktor lainnya maka ketimpangan struktural menjadi
konsekuensi logis. Dengan alasan untuk mengamankan kepentingan yang lebih luas yang
pada prinsipnya merupakan kepentingan kapitalisme internasional, kepentingan pusat atas
daerah, kepentingan kota atas desa dan kepentingan orang kaya atas orang miskin maka
perumusan dan pelaksanaan kebijakan dikendalikan secara struktural.
Paradigma strukturalis ini terbukti tidak mampu menjawab permasalahan
pembangunan yang mensejahterakan masyarakat, sehingga dikembangkan kritik baru yang
dalam khazanah teori pembangunan dikenal sebagai paradigma neo-strukturalis.
Paradigma pembangunan neo-strukturalis menitik beratkan kepada pembangunan yang
mewujudkan pembentukan suatu sistem sosial budaya yang mampu menghasilkan
sumberdaya manusia atau human capital yang berkualitas tinggi, tangguh dan berwatak
sosial. Upaya-upaya penting dalam kebijakan pembangunan adalah melibatkan orientasi
masyarakat dalam proses persiapan dan pelaksanaan pembangunan. Dalam ranah
kebijakan hal ini merupakan upaya memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam proses
perumusan keputusan dan pelaksanaan program-program pembangunan sebagai bagian
dari proses kebijakan.
Kebijakan pembangunan di Indonesia menunjukkan pengalaman bahwa dengan
menafikan aspek masyarakat (tidak partisipatif) dalam proses pembangunan ternyata tidak
pernah menghasilkan output yang maksimal. Hasil-hasil pembangunan lebih berupa objek
fisik yang terlepas dari kebutuhan dan eksistensi masyarakat di sekitarnya.
Proses pembangunan yang tidak partisipatif ini lebih banyak mengorbankan
kepentingan masyarakat dibandingkan dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
Kebijakan pembangunan seperti ini dalam jangka panjangnya dapat menimbulkan apatisme
masyarakat bahkan antipati yang ditunjukkan dengan sikap acuh terhadap pelestarian hasil
pembangunan dan bahkan cenderung merusak hasil-hasil pembangunan.
Pengalaman terdahulu dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air di Indonesia
menunjukkan bahwa faktor orientasi dan kepentingan masyarakat dalam segala proses
kebijakannya memang sangat dipinggirkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan
orientasi kebijakan pengelolaan sumber daya air agar lebih partisipatif. Sehingga
pembangunan yang tujuan idealnya berorientasi untuk kepentingan rakyat tersebut dapat
diterima dan didukung oleh rakyat karena prosesnya yang partisipatif dan tidak menyakiti
rakyat.
Kebijakan pengelolaan sumber daya air di berbagai kasus dan di berbagai Negara
menunjukkan kenyataan bahwa masyarakat sering menjadi objek dan korban
pembangunan. Khususnya dalam pembangunan infra struktur prasarana sumber daya air
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pembangunan sejenis ini selalu
meminta korban sosial yang sangat besar, tidak hanya dalam proses persiapan dan
pelaksanaannya namun juga dalam proses pelestariannya.
Pemberdayaan Komunitas Lokal
Hasil pembangunan ternyata tidak selalu berpihak kepada masyarakat lokal
khususnya mereka yang tidak mampu bersaing atau justru terpinggirkan dalam proses
maupun menikmati hasil pembangunan tersebut. Hasil penelitian yang dilaksanakan Choy
pada masyarakat sekitar Waduk Bakun di Malaysia, menyimpulkan bahwa pembangunan
Waduk seharusnya merupakan pembangunan yang meningkatkan kelestarian sosial
ekonomi dan budaya asli masyarakat di sekitarnya. Tapi yang terjadi justru masyarakat
tercabut dari akar historis sosial ekonomi dan ekosistemnya akibat pembangunan yang
dilaksanakan secara otoriter dan represif. Pembangunan Waduk seharusnya merupakan
pembangunan yang melindungi dan melestarikan komunitas asli dengan segala aktifitas
sosial budaya dan ekonomi yang makin meningkat bukan justru menggusurnya (Choy,
2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Colajacomo (2000) menghasilkan temuan yang
dramatis dengan deskripsinya terhadap musnahnya etnis Maya Achi’ akibat pembangunan
Waduk Chixoy di Guatemala. Lebih dari 400 orang tewas dalam konflik yang
berkepanjangan untuk mempertahankan tanah ulayat dan lahan pertaniannya dari
genangan air. Setelah Waduk terbangun, masyarakat yang tersisa meskipun telah
ditempatkan pada wilayah yang bebas genangan (resettlement), namun mereka telah tewas
secara eksistensi hidupnya karena tidak mampu bersaing dengan para pendatang yang
menguasai sumber daya ekonomi, sosial dan informasi.
Di Indonesia, pembangunan Waduk/bendungan yang secara teknis membutuhkan
pengorbanan tanah rakyat untuk menjadi daerah genangan selalu menyisakan masalah
sosial di kemudian hari. Proses imbalan yang merugikan rakyat, memutus jalur-jalur
komunikasi dan transportasi tradisional, bahkan memutuskan hubungan kultural
masyarakat dengan makam dan peninggalan leluhurnya akibat terputus oleh genangan
Waduk tersebut.
Dalam berbagai kasus, dampak pembangunan waduk juga merubah atau
menghapus kegiatan ekonomi tradisional masyarakat yang biasanya berwujud pertanian
dan sektor ekonomi lain yang bersifat subsisten. Relokasi masyarakat di lahan baru
(resettlement), meskipun secara geografis mirip dengan tempat tinggal lamanya, namun
tidak mampu membentuk pola hubungan ekonomi dan sosial sebagaimana aslinya.
Proses pembangunan waduk selalu menekankan faktor teknis ekonomis yang
merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk memacu pertumbuhan ekonomi
meskipun harus mengesampingkan faktor manusia dengan segala persoalan sosialnya.
Dalam proses pembangunan ini akomodasi antara orientasi pemerintah dengan orientasi
masyarakat dalam keseluruhan proses kebijakan bukanlah hal yang penting. Seringkali
justru orientasi masyarakat harus dihindari karena membuat proses pembangunan menjadi
tidak efektif dan efisien. Dampak sosial merupakan bom waktu meskipun pembangunan
Waduk tersebut telah dilaksanakan bertahun-tahun yang lalu.
Melihat dampak sosial yang terjadi, perubahan paradigma dalam persiapan,
pelaksanaan dan pengelolaan Waduk sebagai sumberdaya yang massif perlu dilakukan.
Perubahan ini dilakukan dengan sharing yang saling menguntungkan antar stakeholder
yang berkepentingan. Pelibatan masyarakat ini merupakan upaya perubahan paradigma
kebijakan yang menekankan pada pentingnya orientasi aktor dalam proses kebijakan
pembangunan.
Kebijakan pembangunan pengelolaan sumber daya air yang meletakkan peran serta
masyarakat dalam setiap tahapan proses pembangunan, merupakan alternatif
pembangunan yang dinilai lebih manusiawi. Upaya inilah yang dimaksud sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air. Sehingga proses
persiapan, pelaksanaan dan hasil pembangunan merupakan hasil darin orientasi aktor
(negara dan masyarakat) yang memiliki posisi sepadan dan saling bertanggung jawab.
Pentingnya peran masyarakat dalam proses pembangunan dalam pengelolaan
sumber daya air ini ditekankan oleh Sinclair (2002) yang menekankan pentingnya “publik
Consultation” dalam persiapan, pelaksanaan dan pengelolaan pembangunan Waduk
Manitoba di Brazil. Dalam model yang disebut sebagai “Manitoba Approach” ini
disimpulkan bahwa, konsultasi masyarakat (pertemuan untuk menjaring dan memahami
orientasi masyarakat) merupakan bagian integrated yang harus dilakukan dalam setiap
tahapan pembangunan, baik proses persiapan, pelaksanaan maupun pelestarian hasil
pembangunan.
Pemberdayaan berkonotasi sebagai pemanusiaan yakni upaya mandiri dari orang
yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Kondisi ini perlu dikembangkan agar
masyarakat memiliki kreativitas dan inisiatif untuk membangun dirinya. Dengan kata lain
pembangunan akan berpusat pada rakyat yang menempatkan individu sebagai aktor dalam
menentukan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi kehidupannya ( Korten, 1988).
Konsep pemberdayaan sesungguhnya lebih berorientasi pada usaha dari bawah
yakni usaha yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, di samping adanya kesadaran dari
atas (pemerintah) bahwa masyarakat perlu didudukkan sebagai aktor yang independen
dalam proses persiapan, pelaksanaan dan pelestarian hasil-hasil pembangunan.
Dalam konteks kebijakan pembangunan khususnya dalam pengelolaan sumber
daya air, pemberdayaan lebih dikonotasikan sebagai upaya menciptakan kemandirian di
kalangan masyarakat dalam rangka melakukan mobilitas ke atas. Mobilitas ini khususnya
dalam pengambilan keputusan tentang orientasi dan masa depannya berhadapan dengan
aktor lain seperti negara, masyarakat atau aktor privat lainnya dalam pembuatan,
pelaksanaan dan pelestarian program pembangunan.
Dengan pemberdayaan ini diharapkan masyarakat memiliki kreativitas dan
produktivitas serta inisiatif dengan modal potensi diri dan penguasaan wilayah yang ada,
untuk mencapai kesejajaran posisi dalam interaksi orientasi antar aktor yang biasanya
bermuara ke pada upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial atau mobilitas
ekonomi dan sosial secara vertikal (Korten, 1988).
Kebijakan yang mendukung proses pemberdayaan harus mengacu kepada orientasi
masyarakat, kesesuaian dengan kondisi sumber daya alamnya serta prospek
pengembangannya ke depan. Masyarakat dianggap mampu dan dihargai eksistensinya
sebagai aktor pembangunan yang tidak hanya menjadi obyek pembangunan melainkan
dengan kesadarannya, mampu beraktualisasi dan menjadi pelaku pembangunan yang
secara interface memiliki daya tawar (bargaining) dengan Pemerintah atau berbagai aktor
pembangunan di sisi lainnya.
Apakah kebijakan pembangunan prasarana sumberdaya air di Indonesia seperti
waduk dalam perumusannya telah memberdayakan masyarakat sekitarnya? Bagaimanakah
seharusnya keterlibatan masyarakat sebagai salah satu aktor yang memiliki orientasi
berhadapan dengan orientasi aktor lainnya dalam proses perumusan kebijakan
pembangunan prasara sumber daya air? Hal inilah yang menjadi fokus problem yang
berupaya dijawab dalam penelitian ini. Fokus penelitian adalah fenomena perumusan
kebijakan yang mendukung pengelolaan waduk Dawuhan dalam perumusan Program
Pemberdayaan Masyarakat Pada Pengelolaan Waduk Dawuhan (PPMPWD) yang
tujuannya adalah meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
Waduk Dawuhan.
Secara historis, pembangunan Waduk Dawuhan yang menjadi objek kajian
penelitian ini ternyata tidak melibatkan peran serta masyarakat di sekitarnya. Kebijakan
pembangunan disusun secara searah dengan tanpa memperhitungkan orientasi aktor
masyarakat. Berdasar hasil wawancara dengan masyarakat yang terkena dampak, dalam
proses pembangunan waduk tersebut telah terjadi penggusuran/pemindahan pemukiman
masyarakat secara represif yang tidak mempertimbangkan orientasi masyarakat akibat
dominasi pemerintah yang sangat kuat pada saat itu.
Waduk Dawuhan direncanakan oleh Belanda pada tahun 1939 dan dibangun sekitar
tahun 1958–1963 Pembangunan Waduk tersebut disamping memaksa masyarakat
berkorban atas lahannya ternyata juga memberikan implikasi pada perubahan mata
pencaharian penduduk di sekitarnya.
Pembangunan Waduk yang direncanakan secara sentralistis ini juga menyebabkan
terputusnya hubungan sistem ekologis yang berlangsung sebelumnya. Pembangunan yang
tidak melibatkan peran serta masyarakat dalam perancangan teknis, pelaksanaan dan
pengelolaan fungsinya ini membuat masyarakat merasa asing terhadap keberadaan dan
fungsi Waduk tersebut. Sehingga antara eksistensi masyarakat dengan eksistensi Waduk
sebagai hasil proses pembangunan yang besar mengalami hubungan yang terputus.
Hubungan keterlibatan baik perasaan maupun aktualisasi diri masyarakat untuk
memelihara kelestarian Waduk menjadi berkurang atau bahkan tidak ada. Kondisi ini
menyebabkan penurunan kualitas Waduk bukanlah menjadi persoalan yang penting bagi
masyarakat, bahkan secara tidak sadar masyarakat telah banyak melakukan kegiatan yang
banyak merugikan kepentingan konservasi dan pelestarian Waduk dan lahan
pendukungnya.
Dalam perspektif kebijakan pembangunan, idealnya pembangunan Waduk seperti
Waduk Dawuhan merupakan program strategis yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya petani di sekitar Waduk dalam budidaya
pertaniannya. Kenyataannya, manfaat Waduk sebagai pemasok kebutuhan irigasi justru
dinikmati oleh masyarakat yang berada relatif jauh dari Waduk bukan masyarakat di sekitar
Waduk yang terkena dampak langsung dari keberadaan Waduk tersebut.
Masyarakat sekitar Waduk Dawuhan secara tradisionil adalah masyarakat petani
pinggiran hutan yang memiliki pekerjaan sambilan mengumpulkan kayu dan buah-buahan
hasil hutan. Dengan adanya pembangunan Waduk Dawuhan ini, maka jarak tempuh ke
pinggiran hutan di atas Waduk menjadi jauh dan sulit dicapai karena harus menyeberang
Waduk atau berjalan menyusuri tepi Waduk yang melingkar lebih jauh lagi.
Dampaknya banyak warga masyarakat yang berupaya mengalihkan mata
pencahariannya ke sektor yang lain yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan
keberadaan Waduk tersebut. Kegiatan pengambilan dan penjualan barang-barang apa saja
yang bisa diambil dari areal sekitar Waduk, memanfaatkan sungai up stream Waduk untuk
mengalirkan kayu curian, menanam palawija di areal genangan Waduk yang mengering
dengan alasan efisiensi.
Kegiatan-kegiatan tersebut berpotensi merusak Waduk khususnya pada
peningkatan sedimentasi dan pencemaran Waduk. Perilaku masyarakat di sekitar Waduk
ini cenderung tidak memelihara dan merawat Waduk sebagai asset pembangunan namun
justru mempercepat pengurangan usia hidup (life time) dari Waduk sebagai hasil dari proses
pembangunan yang panjang dan mahal.
Sebagai gambaran, pada awal pembangunannya daya tampung air Waduk
Dawuhan memiliki kapasitas yang cukup untuk kebutuhan air masyarakat sekitarnya.
Waduk Dawuhan mempunyai luas genangan 116 ha dengan elevasi dasar Waduk +75,00 m
(peilschall 0,00 m) dan elevasi spillway atau pelimpah +83,84 m (peilschall 8,84 m). Semula
Waduk ini mempunyai daya tampung 5.200.000 m3, namun hingga tahun 2005 volume
Waduk Dawuhan tinggal 2.303.000 m3 dengan kedalaman rata-rata 2,45 m. Hal ini berarti
selama 42 tahun (1963 - 2005) terdapat penurunan daya tampuh lebih dari 50% dan
endapan sedimen 2.694.000 m3 atau 70.894 m3/tahun.
Usia produktif Waduk ini ketika dibangun diproyeksikan akan mencapai 100 tahun,
namun dalam kondisi sekarang ini jika tidak ada upaya pelestarian yang melibatkan
partisipasi masyarakat sekitarnya maka usia produktif Waduk diperkirakan tidak akan
sampai 10 tahun lagi.
Berkurangnya usia produktif akibat merosotnya daya tampung Waduk terjadi akibat
tingginya endapan sedimen yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: Pertama dari aspek
kemiringan lahan/kelerengan terutama kemiringan lahan yang terletak di sebelah selatan,
barat, dan timur Waduk Dawuhan. Tingginya kemiringan lahan ini memiliki dampak yang
sangat besar pada tingginya erosi yang terjadi ketika terjadi guyuran hujan di bagian atas
Waduk.
Kedua, rusaknya hutan penyangga di bagian atas Waduk, khususnya di daerah
aliran sungai pemasok air Waduk. Rusaknya hutan akibat dari penjarahan hutan
menyebabkan tingkat erosi dari upstream Waduk menjadi sangat tinggi dan menyebabkan
percepatan sedimentasi di daerah genangan.
Ketiga, pola pemanfaatan Waduk oleh masyarakat sekitar yang tidak sesuai dengan
standar operasional Waduk seperti penanaman padi dan palawija di area genangan Waduk,
sistem pemeliharaan ikan di daerah genangan dan berbagai upaya lain yang dilakukan
masyarakat dalam mempertahankan eksistensi hidupnya dengan menggunakan Waduk
sebagai sarananya. Termasuk dimanfaatkan sebagai sarana pencurian kayu dan
perusakan peralatan operasional Waduk untuk dijual.
Perilaku masyarakat yang bertentangan dengan standart operating prosedure
(SOP) pengelolaan waduk Dawuhan ini selain menimbulkan kerusakan sarana dan
prasarana waduk juga membahayakan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Tidak saja
fungsi Waduk sebagai sumber irigasi menjadi berkurang, pemanfaatan sarana dan
prasarana Waduk yang sembarangan juga memungkinkan terjadinya kerusakan seperti
peningkatan pendangkalan Waduk yang lebih cepat. Dampak yang lebih berbahaya lagi
adalah jebolnya tanggul plengsengan di sekeliling Waduk yang berpotensi
menenggelamkan desa-desa di sekitar Waduk.
Kondisi ini cenderung dipahami secara apatis oleh masyarakat karena secara
eksistensi keberadaan waduk dinilai tidak ada kaitannya dengan kepentingan hidupnya
bahkan dianggap merugikan dalam kesejarahan proses pembangunannya hingga sekarang.
Menyikapi orientasi masyarakat yang cenderung apatis terhadap keberadaan
Waduk Dawuhan tersebut, maka pada tahun 2001 hingga 2003 Pemerintah melaksanakan
program pengamanan bendungan (Waduk) yang berupa program PPMPWD. Program ini
dilaksanakan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (DepKimpraswil)
ditjend Sumberdaya Air yang mendapatkan dukungan dana dari Bank Dunia yang dalam
pelaksanaannya dibawah kegiatan Dinas Pengairan Propinsi Jawa Timur.
Program PPMPWD ini menarik untuk diteliti lebih mendalam dengan beberapa
alasan: Pertama, dalam kacamata pesimistis program tersebut dapat dimaknai sebagai
upaya lip service Pemerintah agar mendapat simpati dari masyarakat ketika terbukti bahwa
Pemerintah tidak lagi mampu menunjukkan keperkasaannya dalam memelihara hasil
pembangunan tanpa melibatkan masyarakat. Hal ini sekaligus memutus mitos bahwa
Pemerintah secara strukturalis merupakan superbody yang serba tahu dan serba bisa dalam
persiapan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan.
Dalam kacamata yang optimistis, program PPMPWD ini dapat dimaknai sebagai
paradigma baru dalam kebijakan tentang pembangunan di Indonesia. Meskipun terlambat
tetapi program ini merupakan harapan baru bagi pemanusiaan masyarakat dalam proses
persiapan pembangunan.
Kedua, pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat selama ini lebih banyak
bersifat politis strategis, bukan merupakan model pembangunan yang dianut Pemerintah
secara paradigmatis. Kebanyakan program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dalam
kerangka “Social safety net” (jaring pengaman sosial), sehingga aktualisasinya sangat jauh
dari kenyataan pemberdayaan masyarakat yang seharusnya.
Berbeda dengan program pemberdayaan masyarakat pada umumnya di Indonesia,
Program PPMPWD ini tidak dalam rangka JPS melainkan sebuah program perumusan
kebijakan yang interaktif disusun bersama antara Pemerintah dan masyarakat dalam
pengelolaan dan menjaga kelestarian waduk Dawuhan dan di sisi yang lain mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena disusun secara interaktif dengan
melibatkan orientasi aktor, tolok ukur keberhasilan dari program kebijakan ini tidak hanya
dilihat dari sisi bagaimana masyarakat bisa lebih berdaya, melainkan juga bagaimana
Pemerintah mampu merumuskan perubahan paradigma kebijakan yang partisipatif dalam
arti meletakkan posisi masyarakat sebagai mitra yang setara dan saling bertanggung jawab.
Ketiga, dalam perspektif kebijakan, proses orientasi aktor dalam program ini
menggambarkan model kebijakan pembangunan masyarakat yang berorientasi pada
manusia (people oriented). Model pembangunan inilah yang dianggap lebih manusiawi
dan tidak sekedar economy oriented.
Artikel ini mengkaji bagaimana sebuah kebijakan dibuat melalui proses orientasi
aktor/interaksi elit sehingga menghasilkan sebuah kebijakan yang dapat dianggap
perpaduan orientasi semua aktor dan dilaksanakan serta menjadi tanggung jawab semua
aktor yang terlibat.

Anda mungkin juga menyukai