PDF Narkoba PDF
PDF Narkoba PDF
BAB I
PENDAHULUAN
apabila
dipergunakan
secara
tidak
teratur
menurut
takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang
menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna
itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk
mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena
sebab-sebab
emosional.
Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah
yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi
dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional
terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui
1
Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.1 Masalah ini menjadi
begitu penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) itu adalah suatu zat
yang dapat merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila
penggunanya tanpa resep dokter.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah
sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena
Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi,
arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan
dinamika sasaran opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan
masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan
yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal
bermacam macam jenis narkotika. Kekhawatiran ini semakin di pertajam
akibat maraknya peredaran gelap narkotika yang telah merebak di segala
lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat
berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara pada masa mendatang.
Narkotika berpengaruh terhadap fisik dan mental, apabila digunakan
dengan dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau
dokter phsikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau
penelitian sehingga berguna bagi kesehatan phisik dan kejiwaan manusia.
Adapun yang termasuk golongan narkotika adalah candu dan komponen
Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
Oleh Anak, UMM Press, Malang, hal. 30.
komponennya yang aktif yaitu morphin, heroin, codein, ganja dan cocoain,
juga hasish, shabu-shabu, koplo dan sejenisnya.
Bahaya penyalahgunaannya tidak hanya terbatas pada diri pecandu,
melainkan dapat membawa akibat lebih jauh lagi, yaitu gangguan terhadap
tata kehidupan masyarakat yang bisa berdampak pada malapetaka runtuhnya
suatu bangsa negara dan dunia. Negara yang tidak dapat menanggulangi
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan diklaim sebagai sarang
kejahatan ini. Hal tersebut tentu saja menimbulkan dampak negatif bagi citra
suatu negara. Untuk mengantisipasi masalah tersebut telah diadakan berbagai
kegiatan yang bersifat internasional, termasuk konferensi yang telah diadakan
baik dibawah naungan Liga Bangsa-Bangsa maupun di bawah naungan
Peserikatan Bangsa Bangsa.
Liga Bangsa Bangsa pada tahun 1909 di Shanghai, Cina telah
diselenggarakan persidangan yang membicarakan cara-cara
pengawasan
Mengingat Stbl 1927 No. 278, jo. No 536 tentang obat bius tersebut
sudah terlampau lama, sehingga tidak bisa di terapkan untuk menanggulangi
kejahatan penyalahgunaan narkotika dewasa ini, mengingat modus operandi
yang dilakukan oleh para pelaku yang makin canggih. Menanggapi hal
tersebut, guna menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dikeluarkan instruksi Presiden RI Nomor 6 tahun 1971, yang mengatur
mengenai usaha-saha penanggulangan masalah-masalah sosial, diantaranya
berkenaan dengan narkotika. Namun dalam pemberlakuannya terdapat
kelemahan-kelemahan yang terletak pada dasar hukum pengaturan narkotika,
sehingga instruksi Presiden tersebut tidak diberlakukan lagi sekaligus
mencabut pemberlakuan Verdoovenden Middelen Ordonantie dan yang
terakhir dikeluarkanlah Undang undang nomor 35 tahun 2009 , tentang
narkotika.
Peredaran Narkotika yang terjadi di Indonesia
sangat
bertentangan
bermanfaat
pengendalian
dan
pengawasan
sebagai
upaya
yang
tadinya hanya sebagai daerah transit bagi barang barang terlarang tersebut,
belakangan ini telah dijadikan daerah tujuan operasi peredaran narkotika
oleh jaringan penegdar narkotika internasional.
Memperhatikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika semakin hari
semakin meningkat, menunjukkan aplikasi Undang undang Nomor 9 tahun
1976 belum dapat secara efektif dalam mengatasi setiap tindak pidana
narkotika, padahal pemerintah telah mengupayakan untuk mengantisipasi
dengan membentuk dan memberlakukan Undang undang yang bersifat
khusus, karena kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
dimiliki tidak bisa menjangkau kejahatan tersebut oleh karena itu ketentuan
pidana di dalam per Undang undangan pidana khusus lebih interen dan
lebih mendekati tujuan reformasi di banding dengan yang tercantum di dalam
KUHP yang telah kuno itu.2
Ketidakefektifan Undang undang nomor 9 tahun 1976, sebagai
akibat dari pada tahap perumusan atau formulasinya dari pembentuk Undang
undang tersebut tidak jeli mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan
terutama ilmu pengobatan dan akibat sampingan yang ditimbulkan sangat
merugikan, serta menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai nilai
budaya. Padahal dalam proses penegakan hukum dalam tahap kebijakan
legislative / formulatif merupakan tahap yang paling strategis.
Kelemahan kebijakan legislatif akan berdampak pada para penegak
hukum, yaitu kesulitan mengaplikasikan aturan aturan tersebut dalam
menangani kasus kasus tindak pidana narkotika.
Perumusan kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak pidana yang
kurang
Andi Hamzah, 1997, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, hal 67.
manfaat,
keseimbangan,
keserasian,
dan
keselarasan
dalam
materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas
tersebut, selain didasarkan pada faktor faktor di atas juga
karena
kekuatan
hukum
tetap,
perpanjangan
pengadilan
jangka
waktu
10
mengingat
tingkat
bahaya
yang
ditimbulkan
akibat
mengancam
dalam penyusunan
11
b.
2.
12
kelompok
melalui
permufakatan
(konspirasi),
maka
bila
di lakukan bila
sindikat
yang
kondisi
berupa sangsi
(pidana) dalam pelanggaran hukum publik dan sangsi dalam bidang hukum
lainnya. Sangsi pidana dalam hukum pidana merupakan salah satu cara untuk
menanggulangi kejahatan, dan peran sangsi pidana dalam menanggulangi
kejahatan merupakan perdebatan yang telah berlangsung beratus-ratus tahun.
Dalam mengantisipasi ancaman dan bahaya penyalahgunaan narkotika
yang berskala internasional di samping Undang undang No. 22 tahun 1997
tentang narkotika, Indonesia secara keseluruhan telah memiliki instrument
Undang undang sebagai berikut :
13
penyalahgunaan
politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan di Indonesia dari tahun 1998
sampai dengan 2001.3
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia dalam
lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Pada tahun
2002 pengguna narkotika di Indonesia baru sebanyak 2,2 juta orang. Empat
14
tahun kemudian yakni tahun 2006 pengguna narkotika meningkat dua kali
lipat, menjadi 4 juta pengguna.4
Perkembangan tingkat tindak pidana penyalahgunaan narkoba sudah
sangat memperihatinkan. Kalau dulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya
berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada satupun kecamatan, atau bahkan
desa di Republik ini yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap
obat terlarang itu. Bahkan pesantrenpun tidak lepas dari sasaran. Kalau dulu
peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar pada remaja dan keluarga
mapan, kini penyebarannya telah merambah kesegala penjuru strata sosial
ekonomi maupun kelompok masyarakat dari keluarga melarat hingga
konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga yang
tua tua.5
Hasil survey Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2004, pecandu Narkoba mencapai
1,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 3.256.000 smapai 4 juta orang. Dari
jumlah itu, sekitar 800.000 pecandu mengkonsumsi narkotika dengan jarum
suntik yang digunakan secara bergantian, yang dampaknya sangat buruk
yakni menularnya virus HIV/AIDS.6
Dalam laporan Departemen Kesehatan RI, angka kematian akibat
penyalahgunaan narkotika mencapai
kalau
Ibid, hal 6.
15
sarana pariwisata. Terlebih jika daerah itu memang menjadi tujuan utama
bagi para turis mancanegara untuk sekedar melancong atau berlibur.
Salah satu daerah yang rentan dengan peredaran narkoba itu adalah
Pulau Bali. Daerah yang terkenal dengan sebutan The Last Paradise In The
World dan The Morning Of The World itu dalam perkembangannya,
menjadi daerah yang terbuka bagi transaksi dan peredaran berbagai jenis
benda nakotika. Bahkan, Bali menjadi daerah yang makin marak dengan
peredaran dan penyalah gunaan narkotika yang berbahaya yang indikasinya
makin meningkat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kemudian
ditindak lanjuti dengan menyampaikan secara luas dalam amanat tertulis
Kapolda Bali, Irjen Pol Drs Hadiatmoko, SH. Pada acara pencanangan
gerakan kampanye Anti Madat di Denpasar yang secara nasional di
laksanakan secara serentak diwilayah hukum Polda Bali.
Bali, sebagai daerah pariwisata terdiri dari 8 (tujuh) Daerah Kabupaten
dan 1 kota. Salah satunya daerah yang tidak luput dari tujuan peredaran
gelap narkotika adalah Denpasar.
Adapun data
pengungkapan kasus
16
Tabel 1
Data Pengungkapan Kasus Narkotika
Tahun 2005 Tahun 2010
Jumlah TP Narkotika Tahun 2005 - 2010
No
Kesatuan
2005
2006
2007
2008
2009
2010
150
151
210
210
154
204
Polresta Denpasar
133
160
149
129
121
145
Res Buleleng
47
33
38
66
67
53
Res Tabanan
15
49
64
67
23
40
Res Gianyar
96
113
113
105
76
104
Res Klungkung
17
28
21
19
Res Bangli
39
22
44
28
52
Res Karangasem
18
49
65
72
Res Jembrana
45
22
32
33
10
Res Badung
29
61
84
65
68
453
578
737
804
628
790
Jumlah
17
seperti Sanur, Kuta, Nusa Dua dan daerah wisata lainnya yang ada
diwilayah hukum
penyelesaian kasus Narkotika dari tahun 2005 tahun 2010 seperti pada
tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2
Data Penyelesaian Kasus Narkotika
Tahun 2005 Tahun 2010
Jumlah TP Narkotika Tahun 2005 - 2010
No
Kesatuan
2005
2006
2007
2008
2009
2010
153
147
185
209
163
188
Polresta Denpasar
144
162
148
129
119
122
Res Buleleng
40
26
46
63
43
55
Res Tabanan
15
49
62
63
23
38
Res Gianyar
96
113
113
105
73
107
Res Klungkung
15
28
21
19
Res Bangli
39
19
41
25
40
Res Karangasem
17
32
84
67
Res Jembrana
45
18
32
32
10
RES Badung
29
58
84
69
60
458
568
708
772
653
728
Jumlah
18
Denpasar telah menjadi kawasan paling rawan saat ini untuk peredaran
narkotika, dengan kata lain
modus
yang harus
karena hal ini bisa menyebabkan rusaknya generasi bangsa. Oleh karena itu
kewaspadaan akan peredaran narkotika harus lebih ditingkatkan, sehingga
penanggulangan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dapat di
lakukan seefektif dan seefisien mungkin. Khusus pada tahap aplikasi hukum
terutama pengadilan, hakim dalam memeriksa memutus tindak pidana
penyalahgunaan narkotika harus tegas menerapkan hukum yang berlaku,
sehingga dengan keputusannya dapat berakibat, maupun preventif, artinya
dengan putusan hakim yang tegas dalam menerapkan sanksi pidana dapat
memberikan efek jera dan gambaran bagi calon pelaku lainnya.
19
2.
No. 35
tahun 2009
tentang Nnarkotika
dan
narkotika, karena di
dalam tujuan
20
dan
di wilayah hukum
dialami
dalam
melaksanakan
hambatan-hambatan
penanggulangan
dan
21
apakah
pemidanaan upaya
yang
dijadikan
landasan
penangulangan tindak
dalam
pidana
disparitas
narkotika
dan
narkotika di
Upaya
22
melakukan
(b).
23
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dapat
Landasan Teori
1.7.1
Teori Kebijakan
Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika tidak bisa lepas dari tujuan Negara untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum berdasarkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945.7
Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian
pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan.
Disisi lain perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban
24
dan
Barda Nawawi Arief, 2005 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya Bakti
Bandung, hal 22
25
perlindungan
(b)
(c)
Dalam
menggunakan produk
hukum
lainnya,
harus
26
2.
10
27
b.
c.
28
pokok
11
Soerjono Soekanto, 1988. Efektivitas Hukum dan Peraan Saksi, Remaja, Karyawa,
Bandung, hal 68.
29
2.
3.
4.
5.
relevan dengan
12
Amirudding dan Zainal Asikin, 2004 Pengantar Metode Penelitian Hukum PT. Raja
Grafindo Persada Jakarta, hal 135.
30
2.
3.
4.
13
Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung. hal. 78
31
warga
suatu
masyarakat.
Hal
ini
juga
perlu
32
dasar sahnya hukum positif tertulis yang dapat ketahui dari ajaran
ajaran tentang Rechysgeful atau Rechtsbewustzijn, dimana intinya
adalah tidak ada hukum yang mengikat warga - warga masyarakat
kecuali atas dasar kesadaran hukum. Hal tersebut merupakan suatu
aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran
hukum sering kali di kaitkan dengan penataan hukum, pembentukan
hukum, dan efektivitas hukum. Aspek aspek ini erat kaitannya
dengan anggapan bahwa : hukum itu tumbuh bersama sama
dengan tumbuhnya masyarakat, dan menjadi kuat bersamaan dengan
kuatnya masyarakat, dan akhirnya berangsur angsur lenyap
manakala suatu bangsa kehilangan kepribadian nasionalnya.
1.7.3 Teori Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum
Kesadaran hukum, terkait dengan ketaatan hukum atau
efektivitas hukum, dalam arti kesadaran hukum menyangkut masalah
apakah ketentuan hukum tersebut di patuhi atau tidak dalam
masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
mematuhi hukum, faktor- faktor tersebut adalah :
1.
2.
33
3.
4.
14
Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali. PT Refika Aditama, Bandung, hal 153 154.
34
c.
Sikap hukum
Adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena
adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu bermanfaat
atau menguntungkan jika hukum itu di taati.
d.
35
Culture), yaitu sikap publik atau nilai nilai komitmen moral dan
kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum
memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat.15 Dengan demikian untuk dapat beroperasinya hukum
dengan baik, hukum itu merupakan satu kesatuan (sistem) yang
dapat dipertegas sebagai berikut :
-
15
36
Substansi mencakup
isi norma
dengan
sistem
hukum
tersebut,
Otje
Salman
16
37
1.
2.
Berdasarkan dengan
17
38
1.
2.
3.
4.
Berpijak
pada
perndapat
Parson
ini
maka
untuk
1.8
Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir atau kerangka teoritis (toritical framework) atau
kerangka konseptual (conceptual framework) yaitu kerangka berpikir dari
peneliti yang bersifat teoritis mengenai masalah yang akan diteliti, yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep atau variable-variable
yang akan di teliti. Kerangka berpikir tersebut di landasi oleh teori teori
yang sudah di rujuk sebelumnya.
Bertitik tolak dari landasan teori yang diacu dalam pengkajian
permasalahan maka dapat di muat suatu kerangka berpikir atau kerangka
teori atas dasar acuan teori teori yang telah di sebutkan atau diuraikan
tersebut di atas, bahwa adanya Undang undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika di maksudkan sebagai alat rekayasa (law as a tool of
19
39
penyalahgunaan narkotika.
Analisis mengenai penanggulangan penyalahgunaan narkotika sesuai
Undang undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika berdasarkan pada
teori kebijakan. Teori efektivitas hukum, teori kepatuhan dan ketaatan
hukum serta teori sistem hukum digunakan untuk menganalisis hambatanhambatan dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.
Secara singkat dapat diajukan suatu kerangka berpikir sebagai berikut :
Kerangka berpikir
Tindak
pidana
narkotika
Teori
Kebijakan
Upaya
penanggulangan
tindak pidana
narkotika
Upaya melalui
kebijakan non
penal
Upaya melalui
kebijakan penal
Upaya
penanggulangan
berhasil
Hambatan
teratasi
Upaya
penanggulan
gan tidak
berhasil
Hambatan
tidak teratasi
Masya
rakat
sehat
dan
sejah
tera
Degra
dasi
derajat
kesehat
an
masyar
akat
40
Keterangan
menyebabkan
mengalisis
mengenai
Upaya
Penanggulangan
dan
di Wilayah Hukum
yang
bersifat
kualitatif
deskriptif.
Penelitian
ini
peraturan perundang-undangan
bersifat
deskriptif yaitu
bertujuan
41
20
Ibid, hal 24
21
Ibid, hal 24
42
apa
adanya
tentang
proses
tindak
lanjut
43
Hukum
dengan
Aspek
Empiris
tentang
44
45
data
dilakukan
dengan
teknik
deskripsi
yaitu
46
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
46
47
48
49
akibat, atau dengan lain perkataan : akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang
50
oleh hukum. Dalam Outlines of criminal Lau 1952 pag. 13 tentang criminal
act atau dengan bahasa latin : actus reus ini diterangkan sebagai berikut:
actus reus may be defined as such result of human conduct as the law seek
(mencoba) to prevent.it is important to note that the actus reus, which is the
result of conduct, must be distinguished from the conduct which produced the
result
Kedua.
Karena
criminal
act
ini
juga
dipisahkan
dari
person
guilt,
unless
the
mind
is
guilt).
Bahwa
untuk
51
Beberapa istilah tersebut di atas yang paling tepat untuk dipakai adalah
istilah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana bukan saja yang
berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat (melanggar suruhan/
gebod) atau tidak bertindak. Terkait dengan definisi tindak pidana atau
peristiwa pidana, dan apabila di lihat dalam peraturan perundang undangan
yang ada, tidak pernah diketemukan. Pengertian tindak pidana yang dipahami
selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hokum, para ahli hukum pidana
umumnya masih memasukkan kesalahan.
22
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana Untuk Tiap
Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 36-37.
52
D. Simon
D. Simon mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan
yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan
dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab. 23 Perumusan Simon tersebut menunjukkan unsure unsure tindak
pidana atau peristiwa pidana sebagai berikut ;
1.
23
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, hal. 25.
53
a.
b.
c.
2.
3.
4.
54
5.
b.
Van Hamel
Perumusan Van Hamel sebenarnya sama dengan perumusan
Simon, hanya Van Hamel menambah satu syarat lagi yaitu : perbuatan itu
harus pula patut di pidana (Welk Handeling een Strafwaarding karakter
heft). Secara tegas Van Hamel mengatakan bahwa Strafbaarfeit itu adalah
kelakuan orang
Schaffmeister
Beliau mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat
melawan hukum, dan dapat dicela. 25 Dalam hal ini, sekalipun tidak
menggunakan istilah kesalahan, namun data dicela umumnya telah dapat
dipahami sebagai makna kesalahan. Menurut Vos peristiwa pidana
adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh Undang
24
25
Ibid.
55
Undang (Een Strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld feit).26
Begitu berpengaruhnya pandangan ahli ahli hukum Belanda tersebut,
sehingga umumnya diikuti oleh ahli ahli hukum pidana Indonesia,
termasuk generasi sekarang, seperti misalnya :
1.
Komariah E. Sapardjaja.
Beliau menyatakan, Tindak Pidana adalah suatu perbuatan manusia
yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat
bersalah melakukan perbuatan itu.27
2.
26
27
Komariah E. Sapardjaya, 2002, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana
Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni,
Bandung, hal. 22.
28
Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan, Jakarta, hal. 155.
56
3.
29
Ridwan Halim, 1986, Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Alumni, Bandung.
57
yang
melakukan
tindak
pidana
tersebut
Artinya
kemudian
30
31
Moelyatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal 155.
58
Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan
sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan
melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan
akibat, yang dilarang oleh Undang undang.
Pengertian sebagaimana tersebut di atas, dalam pasal 11 rancangan
KUHP di rumuskan dengan, Tindak pidana adalah perbuatan melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang undangan
dinyatakan
33
Andi Hamzah, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal 90.
59
pidana
berdasarkan peraturan
merupakan
prinsip
utama
dari
asas
legalitas,
sehingga
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang
Undang.
2.
3.
60
Rumusan tindak pidana juga berisi ancaman pidana atau sanski yang
diletakkan pada tindak pidana tersebut. Ancaman pidana ini ditunjukkan bagi
orang yang melakukan tindak pidana. 34 Hoven dalam Andi Hamzah,
menyatakan yang dapat dipidana ialah pembuat.35 Ancaman pidana karenanya
ditunjukkan kepada orang yang melakukan kelakuan yang di larang,
mengabaikan printah yang seharusnya di lakukan, dank arena perbuatannya
menimbulkan akibat terlarang.
Ancaman pidana tidak ditunjukkan terhadap perbuatan terlarang
tersebut. Melainkan ditunjukkan terhadap orang yang melakukannya. Hal ini
berdasarkan pada pandangan bahwa hanya oranglah yang dapat memiliki
kesalahan. Kealahan itu difat orang, dan bukan sifat dari suatu perbuatan.
Tiada Pidana Tanpa Kesalahan berarti tiada pemindaaan tanpa kesalahan.
Pemindanaan di timpakan terhadap orang, dan bukan terhadap suatu
perbuatan.
Perumusan tindak pidana dalam KUHP tidak sepenuhnya demikian.
Adakalnya ancaman pidana ditunjukkan terhadaporang, tetapi dalam
rumusan tindak tindak pidana yang lain, ancaman pidana justru ditujukan
terhadap perbuatannya. Andi Hamzah mengatakan, ancaman pidana di
tujukan terhadap orang ternyata dan rumusan tindak pidana yang dimulai
dengan kata barang siapa56 Kata ini menunjukkan kepada siapa saja orang
yang melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam pasal tersebutdiancam
34
Roeslan Saleh, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru,
Jakarta, hal. 234.
35
61
dengan pidana. Misalnya, pasal 111 KUHP ayat (1) barang siapa
mengadakan hubungan dengan Negara asing, dengan niat hendak membujuk
atau supaya mereka itu bermusuhan atau berperang dengan Negara ini, atau
dengan maksud hendak memperkuat maksud mereka itu tentang hal itu, atau
dengan maksud menjanjikan pertolongan tentang hal itu, atau memberi
pertolongan dalam hal persiapannya, dipidana dengan pidana penjara selama
lamanya lima belas tahun. Dari uraian pasal 111 ayat (1) KUHP tersebut,
jelas ancaman pidana ditujukkan pada perbuatannya.36
Apabila memperhatikan beberapa tindak pidana di luar KUHP,
bahkan dirumuskan dengan kata kata yang lebih tegas menuju kepada
orang. Yaitu : setiap orang yang menggantikan barang siapa. Demikian
pula halnya dengan Rancangan KUHP. Sekalipun kata kata setiap orang
disini bukan hanya ditujukan terhadap orang perorangan, tetapi juga
korporasi. namun demikian tetap saja ancaman pidana ditunjukkan terhadap
pembuatanya (baik orang perseorangan dan / atau korporasi), dan tidak lagi
ditinjaukan terhadap perbuatannya.
Tindak pidana narkotika begitu membahayakan kelangsungan generasi
muda, oleh sebab itu tindak pidana ini perlu ditanggulangi dan diberantas.
Marjono
Reksodiputro
merumuskan
penanggulangan
sebagai
untuk
36
Andi Hamzah, 1996, Hukum Pidana ekonomi, Erlangga, Jakarta, hal. 26.
62
penegak
hukum
dalam
pemberantasan
tindak
pidana
37
Arief Amrullah, 2010, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Jakarta, hal. 22.
38
Otje Salman, 1989, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, hal. 35.
63
atau
bersikap
sesuai
dengan tata kaidah hukum atau dengan kata lain realitas hukum adalah hukum
dalam tindakan.39
Pada dasarnya hukum mempunyai hubungan dengan jiwa suatu
bangsa, hal ini sesuai dengan pendapat Madzab sejarah, di dunia ini terdapat
bermacam macam bangsa yang pada tiap tiap bangsa mempunyai suatu
Volkgeist jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda beda baik menurut waktu maupun
Undang-undang setempat. Penerimaan dari adanya jiwa yang beradab ini
tampak pada kebudayaannya dari bangsa yang berbeda. Ekspresi itu tampak
pula pada hukum yang sudah tentu berbeda pula pada setiap waktu dan
tempat.
Hukum sangat tergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan
yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan manusia dari masa
ke masa. Dengan demikian Hukum itu selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat yang ditentukan oleh pergaulan hidup manusia.
39
64
Salah satu tokoh dalam aliran sejarah Friedrich Carl Von Savigny, antara lain
mengatakan : Das recht nicht gemact, est ist and wird mit dem volke. yang
artinya, hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat.40
Searah dengan paham aliran Sejarah dan Kebudayaan, Eugen Ehrlich,
tokoh dari aliran Sociological Jurispruence: Hukum yang baik adalah hukum
yang hidup di dalam masyarakat.41 Tujuan pokok teori teori yang
dikemukakan adalah meneliti latar belakang aturan- aturan formal yang
dianggap sebagai hukum yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang
olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (living law).
Hukum yang hidup di masyarakat adalah hukum yang dilaksanakan
dalam masyarakat sebagai hukum yang diterapkan oleh Negara. Ehrlich lebih
lanjut mengatakan, bahwa hukum tunduk pada kekuatan kekuatan tertentu.
Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif oleh karena ketertiban pada
pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan pada penerapannya secara resmi
oleh Negara. Bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan fakta diterimanya hukum
yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem
hukum. Secara konsekuen ia beranggapan bahwa mereka yang
berperan
40
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001.Dasar dasar Filsafat dan Teori Hukum Citra Aditnya
Bakti Bandung, hal. 65
41
65
yang
masalah yang berkenan dengan motif yang bersifat intern bagi individu
individu.
Hukum berkenaan dengan sifat ekstrim yaitu yang menyangkut
perbuatan manusia untuk menyesuaikan diri pada keadaan extern yaitu
sebagai yang di tentukan oleh hukum positif. 42 Pendapat ini dianut oleh
aliran hukum alam yang pada awalnya menyatakan bahwa hukum alam itu
bersifat universal : berlaku sepanjang zaman dan berlaku secara universal dan
tidak abadi, melainkan dasar daripada hukum alam adalah kebutuhan umat
manusia. Karena kebutuhan manusia ini berubah ubah sepanjang waktu
dan tempat akibatnya hukum alam yang di hasilkan juga berubah ubah
setiap dan waktu. Salah satu tokoh yang menganut aliran ini adalah Rudolf
42
Lili Rasjidi, 1989.Dasar dasar Filsafat Hukum Alumni Bandung, hal 36.
66
Stammler, yang menyatakan bahwa; adil tidaknya suatu hukum terletak pada
dapat tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia. 43
Hukum alam disebut sebagai asas asas hukum umum. Beberapa
tokoh yang menyebutnya adalah Duguil dengan Soliderete Socialnya, Hans
Kelsen dengan Grund Normnya, Rescoe Pound dengan paham hukum alam
sebagai asas hukum umum nampaknya berkembang karena sampai saat kini
diakuinya moral sebagai asas hukum, seperti yang dikatakan Soetandyo
Wignyosoebroto, hukum adalah sebuah konsep dan tak ada konsep tunggal
mengenai apa yang disebut hukum itu. Dalam sejarah
perkembangan
Ibid hal 38
44
Soejono H.Abdurrahman, 1997. Metode Penelitian Hukum.Rineka Cipta ; Jakarta, hal 88.
67
2.2
Pengertian Narkotika
Secara harafiah narkotika sebagaimana di ungkapkan oleh Wilson
Nadaek alam bukunya Korban Ganja dan Masalah Narkotika,
merumuskan sebagai berikut : Narkotika berasal dari bahasa Yunani, dari
kata Narke, yang berarti beku, lumpuh, dan dungu.45 Menurut Farmakologi
medis, yaitu Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama)
rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek
stupor (bengong masih sadar namun masih haruis di gertak) serta adiksi. 46
Soedjono D. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika
adalah sejenis zat, yang bila dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan
membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut berupa :
menenangkan, merangsang, dan menimbulkan
khayalan (halusinasi). 47
45
Wison Nadack, 1983, Korban Ganja dan Masalah Narkotika, Indonesia Publishing
House, Bandung, hal. 122.
46
Wijaya A.W. 1985, Masalah Kenakan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Armico,
Bandung, hal. 145.
47
68
gelap, selain juga terkenal istilah dihydo morfhine. 48 Selain definisi yang
diberikan oleh para ahli, terdapat juga pengertian narkotika dalam Undang
undang. Pada Undang undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika
memberikan pengertian narkotika sebagai berikut :
Narkotika adalah ;
a. Bahan bahan yang disebut dalam angka 2 sampai angka 3
b. Garam garam dan turunan turunan dan morfhine dan kokaina
c. Bahan bahan lain namun alamiah sintesa maupun semi sintesa yang
belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfhine atau
kokaina yang ditetapkamn oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika,
bilamana di salahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan yang
merugikan, sepertimorfina dan kokaina.
d. Campuran campuran yang sedian sedian mengandung bahan yang
tersebut dalam huruf a,b, dan c.
Undang undang Nomor. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
menyebutkan yaitu narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan
atau
perubahan
kesadaran,
hilangnya
rasa,
mengurangi
sampai
48
69
dapat
tersebut.
Zat
Narkotika
bersifat
menurunkan
bahkan
49
70
deksamfitamin,
pethadin,
meperidin,
metadon,
dipopanon, dan lain lain. Zat / obat sintesis juga dipakai oleh para
dokter untuk terapi bagi para pecandu narkoba.
Menurut pengaruh penggunaannya (effect), akibat kelebihan dosis
(overdosis) dan gejala bebas pengaruhnya (Withdrawal Syndrome) dan
kalangan medis, obat obatan yang sering disalahgunakan itu dibagi ke
dalam 5 (lima) kelompok yaitu:50
a.
50
The National AIDS Program Office of The US Public Health service, Drug of Abuse
dalam Andi Hamzah dan R.M. Surachman, 1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika,Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 5.
71
Menurut Doctrine
1) Dolus dan Culpa
Dolus berarti sengaja, delik dolus adalah perbuatan sengaja
yang dilarang dan diancam dengan pidana, contoh : pasal 336
KUHP. Culpa berarti alpa. Culpose Delicten artinya perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan
tidak sengaja hanya karena kealpaan (ketidak hati hatian) saja,
contoh : pasal 359 KUHP. Tindak pidana narkotika sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dirumuskan adanya kesengajaan yang
mensyarakatkan adanya tindak pidana.
2) Commissionis, Ommissionis dan Commissionis per Ommissionem.
Commissionis delik yang terjadi karena seseorang melangar
larangan, yang dapat meliputi baik delik formal maupun delik
material.Contoh : pasal 362 KUHP : Pasal 338 KUHP. Ommissions
delik yang terjadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak
berbuat) biasanya delik formal. Contoh : pasal 164 KUHP, pasal 165
KUHP. Commissionis per Ommissionem delik yang pada umumnya
dilaksanakan dengan perbuatan, tetapi mungkin terjadi pula bila
orang tidak berbuat (berbuat tapi yang tampak tidak berbuat).
Contoh : Pasal 304 yakni dengan sengaja menyebabkan atau
membiarkan orang dalam kesengsaraan sedang ia wajib member
kehidupan, perawatan atau pemelihaaan kepada orang itu.
3) Material dan Formal.
Kategorisasi ini didasarkan pada perumusan peristiwa pidana yakni
delik material dan delik formal.
72
4)
victim, dimana para pelaku juga berperan sebagai korban. Menurut Hj.
Tutty Alawiyah A.S dalam Moh. Taufik Makarao dkk menyebut, tindak
pidana atau kejahatan narkotika adalah merupakan salah satu bentuk
kejahatan yang dikenal sebagai kejahatan tanpa korban (Victimless
Crime). Selain narkotika, yang termasuk kejahatan tanpa korban adalah
perjudian, minuman keras, pornograpi, dan prostitusi. 52
Kejahatan tanpa korban biasanya bercirikan hubungan antara
pelaku dan korban yang tidak kelihatan akibatnya. Tidak ada sasaran
korban, sebab semua pihak adalah terlibat dan termasuk dalam kejahatan
tersebut. Ia menjadi pelaku dan korban sekaligus. Namun demikian, jika
di kaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban (Victimless
51
52
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, H. Moh Zakky A.S., 2003, Tindak Pidana Narkotika,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal, viii.
73
Crime) ini sebetulnya tidak tepat, karena semua perbuatan yang masuk
ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik
langsung maupun tidak langsung, atau dalam bahasa agamanya
perubahan perubahan yang dilakukan ini lebih banyak mudharatnya
dari pada manfaatnya. Oleh karena itu kejahatan ini lebih tepat disebut
sebagai kejahatan yang disepakati (Concensual Crimes).53
Kejahatan tanpa korban ini adalah kejahatan yang grafiknya
meningkat karena terlibatnya lembaga dan kelompok tertentu, misalnya
polisi, jaksa, pengadilan, bea cukai, imigrasi, lembaga, professional, dan
lain sebagainya. Di Amerika Serikat, maupun di Negara Negara lain
seperti misalnya : Cina, Belanda merupakan suatu konsekuensi yang
sangat serius terhadap hukum berkaitan dengan kejahatan tanpa korban
adalah bahwa kejahatan ini berkembang menjadi sebuah jaringan operasi
yang disebut sebagai kejahatan terorganisir (organize crime). Kejahatan
terorganisasi seperti ini adalah merupakan kejahatan yang berkaitan
dengan kepentingan ekonomi. Dia eksis dan berkembang karena
memberikan barang dan pelayanan kepada orang yang terlibat secara
melawan hukum.
b. Menurut KUHP
KUHP
yang
berlaku
di
Indonesia
sebelum
53
Ibid.
tahun
1918
74
1) Kejahatan (Crimes)
2) Perbuatan buruk (Delict)
3) Pelanggaran (Contraventions) 54
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, tindak pidana itu ada dalam
dua (2)
54
perbedaan
antara
pelanggaran dan
75
Kejahatan
merupakan delik
hukum
sedang
pelanggaran
55
Lamintang, 1984, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hal. 71.
76
77
78
1. Pendapat
56
57
58
Chaerudin, 1996, Materi Pokok Asas-asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Islam As Syafiiyah, hal. 1.
79
80
BAB III
UPAYA PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA NARKOTIKA
3.1
Kebijakan tersebut
merupakan upaya
Al. Wisnubroto dan G. Widiatana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 10.
80
81
penerapan
mempengaruhi
hukum
pandangan
pidana,
pencegahan
masyarakat
mengenai
tanpa
pidana
dan
kesejahtraan
dan
kepidanaan lewat media masa. Dalam hal tersebut dapat dipahami upaya
untuk mencapai kesejahteraan melalui aspek penanggulangan secara garis
besarmya dapat dibagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu : lewat jalur penal
82
(hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan / di luar hukum
pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik
beratkan pada sifat repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan)
sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non penal lebih menitik
beratkan pada sifat preventif (pencegahan / penangkalan / pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena
tindakan refresif pada hakekatnya Undang-undang dapat dilihat sebagai
tindakan preventif dalam arti luas.60
Upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika
ini akan diawali dengan upaya preventif dan preemtif, yaitu berupa
pencegahan / penangkalan / pengendalian) sebelum tindak pidana tersebut
terjadi melalui kebijakan non penal yang kemudian dilanjutkan dengan
upaya penal atau dengan upaya repressive (penindasan / pemberantasan /
penumpasan) sesudah tindak pidana narkotika itu terjadi.
Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri. Karena manfaatnya tersebut, maka pasokan
terhadap
narkotika
sangat
diperlukan
di
bidang
kesehatan
dan
60
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 118.
83
terhadap
upaya
penanggulangan dan
84
85
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
86
i.
j.
pidana narkotika juga perlu dilakukan terhadap anak (dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud
dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan). Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa anak seringkali dijadikan sebagai target bagi jaringan
narkotika untuk menggunakan atau mengedarkan narkotika, apalagi dengan
jiwa muda mereka yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Terkait
dengan kebijakan non penal ini maka Muhammad Joni dan Zulchaina
Tanamas
setidaknya
merekomendasikan
beberapa
alternatif
untuk
b.
c.
d.
e.
87
f.
oleh anak
dapat
menjadi
pemicu
psikotropika,
Badan
Nasional
Narkotika
(BNN),
berusaha
Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan anak
dalam Perspektif Kovensi Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4-5.
88
dalam
memahami
dan
menyesuaikan
diri
dengan
menghayati
kebudayaannya
dalam
memenuhi
kebutuhan
atau
penyimpangan
yang
dilakukan
oleh
89
90
perlu memberikan
gejala
ekonomi
kapitalis
internasional
yang
91
seperti berupa penguatan rasa takut, rasa bersalah, dan rasa malu
terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, melalui
sarana penebakan hukum, agama, pendidikan moral, pengawasan social dan
pengembangan ideologi, penggunaan sarana tersebut bukan tanpa
kelemahan dan kendala : agama seringkali dogmatis, ritual, dan
sekretarian, pendidikan moral, adanya instruksi budaya asing yang
sangat kuat, meminggirkan budaya lokal, pengembangan sistem nilai,
terkendala oleh kesenjangan antara nilai ideal dengan nilai nyata,
pengembangan rasa malu, masyarakat makin metarialis,
individualis,
dan
92
b.
c.
b.
c.
d.
Sebagai pengawas
b.
c.
d.
e.
f.
93
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Menjadi guru
Strategi komunikasi pencegahan penyalahgunaan narkotika perlu
memperhatikan :
a.
Khalayak yang heterogen mempunyai pilihan media masing masing. Untuk kampanye melawan penyalahgunaan narkotika
secara besar-besaran, harus terlebih dahulu ada base-line data.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
94
narkoba
{narkotika
dan
psikotropika)
dilakukan oleh sebagian besar oleh kaum muda {remaja dan pemuda)
karena pada satu sisi masa remaja adalah masa transisi dari masa
anak ke masa dewasa, penuh badai dan ketegangan, merupakan masa
yang penuh tantangan dan paling sulit, sementara pada sisi lainnya
dihadapkan pada situasi lingkungan sosial kota besar yang permisif,
anomi
(hukum
tidak
berjalan
sebagaimana
mestinya)
dan
mengkhawatirkan.
Masa remaja ditandai oleh : perubahan fisik, emosional,
intelektual,
seksual,
mengakibatkan
dan
dampak,
sosial.
sebagai
Perubahan
berikut
tersebut
pencarian
jati
dapat
diri,
95
narkotika :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
b.
c.
d.
96
e.
f.
g.
para orang
tua
bahwa penyalahgunaan
gejala-gejala
97
2)
3)
5.
98
b.
c.
waktu
luang
dan
usaha
berkelanjutan
melawan
99
b.
Bila
perlu
mensponsori
penelitian
guna
mengembangkan
d.
sistematik
penyalahgunaan
psikotropika
narkotika,
tentang kelompok
dan obat-obatan
terlarang lainnya dari laporan kepolisian, rumah sakit, pusatpusat rehabilitasi, perusahaan dan lain-lain.
e. Pelatihan bagi petugas pengumpul data.
f. Membangun pusat pencatatan, penyimpangan, anahsis, dan
evaluasi data.
g. Menemukan pola penyalahgunaan narkotika.
h. Mengenal jenis penyalahgunaan narkotika, perlu ditentukan
sebagai berikut :
1) Gejala umum penggunaan secara aktif (jumlah pemakai
dalam waktu tertentu seperti dalam satu tahun terakhir).
100
pertama
kalinya.
4) Jenis narkotika yang dipakai pertama kali.
5) Sumber dari mana memperaleh narkotika dan psikuirupiku
yang digunakan sekarang.
6) Gejala umum penggunaan narkotika oleh kelompok tertentu.
7) Tingkat
penggunaan
jenis
narkotika
tertentu
yang
101
psikologi,
pendidikan
hidup
sehat
(ilmu
kesehatan
masyarakat).
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan masalah
sosial
sekaligus
menjadi
masalah
hukum
dalam
masyarakat.
63
Said Zainal Abidin, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, h. 20-21.
102
103
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
104
9.
mengirim,
mengakibatkan
105
perbuatan
membawa,
mengirim,
mengangkut,
atau
mengakibatkan
106
27. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III.
28. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram.
29. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III.
30. Perbuatan
perbuatan
membawa,
mengirim,
mengangkut,
atau
107
yang dengan
108
41. Perbuatan
menitipkan,
menyembunyikan
atau
menyamarkan,
109
pengobatan,
sarana
penyimpanan sediaan
farmasi
milik
pengetahuan;
pimpinan
Industri
Farmasi
tertentu
yang
110
111
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini
tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak social,
ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi
kehidupan bangsa negara. Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya
tindak pidana narkotika, sedangkan peredaran gelap dimaksud disini adalah
merupakan peredaran narkotika di Indonesia tanpa di dukung oleh
dokumen-dokumen serta persyaratan-persyaratan sebagaimana ditentukan
oleh Undang-Undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Hukum bisa dikatakan sebagai pro of conduct men behavior in a society
serta merupakan the normative of the state and its citizen sebagai sebuah
sistem hukum dapat berfungsi sebagai control social (as a tool of social
control), sebagai sarana penyelesaian konflik
65
Lawrence Friedmann, 1975, The Legal System A Social Science Persperctive, Russel
Sage Foundations, New York, hal.269.
112
Thimasef
juga
kondisi
berupa sanksi
(pidana) dalam pelanggaran hukum publik dan sanksi dalam bidang hukum
lainnya. Sanksi pidana dalam hukum pidana merupakan salah satu cara
untuk menanggulangi kejahatan, dan peran sanksi pidana dalam
menanggulangi kejahatan merupakan perdebatan yang telah berlangsung
beratus-ratus tahun.
Usaha penangulangan tindak pidana narkotika secara represif, juga
merupakan usaha pengangulangan kejahatan dengan hukum pidana yang
pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha pencegahan hukum
113
Pengertian
kebijakan atau poltik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum
maupun dari politik criminal. Menurut Prof. Sudarto politik hukum
adalah:
1.
2.
peraturan-peraturan
yang
dikehendaki
yang
66
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 21.
67
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 20.
68
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,
hal. 20.
114
arti,
merumuskan
suatu
bagaimana
per
mengusahakan
undang-undangan
atau
membuat
dan
pidana
yang
baik.
69
O.C. Kaligis dan Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkoba dan Peradilan di Indonesia,
Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundang-undangan dan Peradilan, Kaligis Associates,
Jakarta, hal. 22.
115
70
Ibid.
71
116
c.
Untuk
lebih
mengefektifkan
pencegahan
dan
pemberantasan
117
e.
penyidikan
penyadapan
(wiretapping),
teknik
pembelian
118
tataran dari berbagai perspektif ilmu tersebut di atas, juga ditunjang dengan
pemberantasan penyalahgunaan narkotika dapat dilakukan sesuai dengan
kajian epidemiologi dan etiologi. Kajian epidemiologi dan etiologi mengenai
Penyalahgunaan narkotika menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika
terjadi akibat interaksi dari beberapa factor : individu, kepribadian dan
sosial.
Pemberantasan primer ditujukan kepada pemberian informasi dan
pendidikan kepada individu, kelompok, komunitas atau masyarakat luas,
yang belum nampak tanda-tanda adanya kasus tindak pidana narkotika,
meliputi kegiatan alternatif untuk menghindarkan individu, kelompok atau
komunitas dari tindak pidana narkotika serta memperkuat kemampunnya
untuk menolak narkotika. Pemberantasan sekunder, ditujukan kepada
119
rehabilitasi dan pemulihan serta pelayanan untuk menjaga agar tidak kambuh.
Ketiga jenis pemberantasan tersebut mempunyai sasaran khalayak,
tujuan. pendekatan, dan metoda khusus.
Pengetahuan
Sasaran
Tujuan
Pendekatan
khalayak
Primer
Masyarakat luas
- melindungi orang-
yang belum
terkena atau
penyalahgunaan
rentan terhadap
narkotika.
tindak pidana
narkotika.
, kesehatan jasmani
-
terhadap remaja
narkotika .
- mengembangkan
gaya hidup bebas
narkotika.
pengembangan
kehidupan keluarga
- mengurangi minat
untuk menolak
pengembangan taraf
harmonis
-
menggugah
kesadaran
masyarakat akan
bahaya narkotika.
120
Sekunder
Individu dan
- membuat orang-
- konseling dan
komunitas
pendidikan
rentan tindak
individual atau
pidana
dalam lingkungan
kelompok .
narkotika dan
rawan
menyediakan
mereka yang
penyalahgunaan
pelayanan perawatan
telah coba-coba
narkotika .
dan pemulihan
menengarai
mendorong
berbagai dampak
penyalahgunaan
buruk
untuk
penyalahgunaan
menggunakan
narkotika.
pelayanan
mengembangkan
memotivasi
lingkungan dan
penyahgunaan
untuk terus
sehat
mengikuti
mengembangkan
perawatan dan
program
pemulihan
perawatan dan
pemulihan
menorong keluarga
dan pihak lainnya
untuk menciptakan
lingkungan sosial
yang mendukung
121
bagi pemulihan
Tertier
Penyalahgunaan
atau penderita
ketergantungan
narkotika yang
menjaga jangan
menciptakan dan
sampai kambuh
memelihara suasana
mengembangkan
system dukungan
telah mengikuti
dan bebas
perawatan dan
narkotika.
pemulihan
menyiapkan
keluarga , sekolah
dan tempat kerja
yang mendorong
program perawatan
dan pemulihan
b.
c.
122
penegak
penyalahgunaan
hukum
narkotika,
dalam
pemberantasan
serta
konsekuensi
tindak
pidana
yuridis terhadap
123
menyebutkan,
berupa
72
124
yang berasal dari warga negara asing. Pelaku tindak pidana narkotika ini
memiliki jaringan yang tidak saling mengenal. Oleh sebab itu
pengungkapan kasus tindak pidana narkotika ini memerlukan strategi yang
matang dari aparat penegak hukum. Adapun statistik pengungkapan dan
penyelesaian kasus yang dilakukan oleh kepolisian resor kota Denpasar
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3
Data Pengungkapan dan Penyelesaian Kasus Narkotika
Tahun 2005 Tahun 2010
Jumlah TP Narkotika Tahun 2005 2010
No
Tindakan hukum
Pengungkapan Kasus
2005
2006
2007
2008
2009
2010
133
160
149
129
121
145
144
162
148
129
119
122
di Polresta Denpasar
2
Penyelesaian Kasus di
Polresta Denpasar
125
dalam
kebijakan
penanggulangan
tindak
pidana
represif
dilakukan
melalui
kebijakan
penal
dalam
126
menganggulangi
tindak
pidana
narkotika.
Dalam
127
128
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENANGGULANGAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH
HUKUM KEPOLISIAN RESOR KOTA DENPASAR
4.1
Faktor Hukum
Konsekuensi negara hukum yang telah dipilih oleh pendiri negara
mengimplikasikan bahwa segala bentuk kegiatan manusia diatur oleh
hukum. Hukum yang dimaksud bukan hanya pada ketentuan-ketentuan
normatif yang dikeluarkan oleh penguasa, tetapi meliputi pula asas-asas
hukum yang mendasari ketentuan normatif tersebut. Mengenai asas hukum
ini Satjipto Rahardjo menyatakan
Asas hukum memberikan nutrisi kepada sistem perundang-undangan,
sehingga ia tidak hanya merupakan bangunan perundang-undangan,
melainkan bangunan yang sarat dengan nilai dan punya filsafat serta
semangatnya sendiri. Sebagai konskuensi apabila kita meninggalkan
asas-asas hukum adalah adanya kekacauan dalam sistem hukum 73
Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dinyatakan bahwa undang-undang ini diselenggarakan berasaskan keadilan,
pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nilai
ilmiah; dan kepastian hukum. Undang-undang tentang Narkotika bertujuan:
73
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal.
141.
128
129
a.
b.
c.
d.
74
Adnan Buyung Nasution, Visi Pembangunan Hukum Tahun 2025 Akses Terhadap
Keadilan dalam Negara Demokrasi Konstitusional, Jurnal Buah Pena Vol. V/No.4/Agustus 2008.
130
75
Mahfud MD dalam Iman Syaukani dan A.Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik
Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 6.
76
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal 152-153.
131
menanam,
menyimpan,
mengedarkan,
dan
atau
77
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
132
78
Antony Allot, 1980, The Limit of Law, Butterworth & Co., London, hal. 3.
133
134
perubahan
memperlancar
dalam
kehidupan
pergaulan masyarakat,
masyarakat
dengan
cara
79
Abdul Manan, 2009, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media Goup,
Jakarta, hal. 20-21.
80
hal. 128.
Goeffrey Sawer, 1965, Law in Society, Clarendon Oxford University Press, London,
135
memiliki struktur politik pula. 81 Hukum hanya merupakan sebuah teks mati
jika tidak ada lembaga yang menegakkannya. Oleh sebab itu, dibentuklah
penegak hukum yang bertugaskan untuk menerapkan hukum. Dalam
pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur
negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap
perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan
yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku
dalam masyarakat negara.82 Mengenai penegak hukum, Zainuddin Ali
berpendapat:
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup
ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata
atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas
penerapan hukum, petugas seyoggianya harus memiliki suatu pedoman
salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup
tugasnya.83
Institusi negara dibentuk justru dengan maksud untuk makin
mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa Indonesia, sesuai
dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju, mandiri, sejahtera lahir
batin, demokratis dan berkeadilan. 84 Penegakan hukum oleh para penegak
hukum dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat yang ideal. Masyarakat
81
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Nimatul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 76.
83
84
136
yang
ideal
memperbesar
menurut
Bentham
adalah
masyarakat
yang
mencoba
ketidakbahagiaan atau
85
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal. 274-275.
137
b.
c.
d.
138
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
139
j.
140
c.
d.
e.
f.
g.
141
h.
142
b.
143
144
145
146
oleh
pengadilan.
Untuk
kepentingan
penyidikan
atau
147
Narkotika
yang
sedang
dalam
pemeriksaan,
dilarang
148
149
86
150
151
merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang
bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun
internasional.
Optimalisasi
tindakan
pencegahan
dan
pemberantasan
Narkotika.
Dalam
rangka
mencegah
dan
memberantas
152
(gerechtigheit)
disamping
sebagai
kepastian
hukum
Faktor Masyarakat
Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan atas tiga
alasan. Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak
berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang.
Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara
87
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI, hal. 154
153
realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering
dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan
kekuasaan. 88 Dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa pembangunan
tata hukum khususnya di bidang narkotika ditujukan untuk menciptakan
kondisi masyarakat yang sejahtera dan sehat lahir serta batin.
Masyarakat merupakan poin penting dari upaya penanggulangan dan
pemberatasan tindak pidana narkotika. Hukum mengikat bukan karena
negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari
kesadaran hukum masyarakat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya,
yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat itu diutarakan oleh H.
Krabbe dalam bukunya Die Lehre der Rechtssouveranitat. Selanjutnya
beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal
pada perasaan hukum setiap individu yaitu perasaan bagaimana seharusnya
hukum itu.89 Hal ini sesuai dengan pendapat Stammler yang menyatakan
bahwa law clearly is volition sehingga penerapan hukum terindikasi dari
kemauan masyarakat untuk melaksanakannya. 90
Dapat dikatakan budaya hukum akan mempengaruhi penolakan dan
penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini penting
diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan dari
88
90
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala
Lumpur, hal. 49.
154
91
H. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, hal. 155-156.
92
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8
155
mental
masyarakat
menjadi
penyebab
terjadinya
maka
pihak
kepolisian,
telah
melakukan
upaya
dengan
156
157
Faktor Kebudayaan
Aspek kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang perikelakuan
atau blueprint for behavior yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai
apa yang seharusnya dilakukan, apa yang selayaknya dilakukan dan
seterusnya. 95 Aspek-aspek budaya telah masuk sejak perumusan ketentuan
hukum hingga penerapan hukum. Untuk mewujudkan generasi yang sehat
dan bebas dari penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika, maka
diperlukan ketentuan di bidang narkotika yang dapat mewujudkan hal
tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang
menganggap bahwa hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu.
Selanjutnya dikatakan Apabila memulai berbicara tentang nilai-nilai, maka
telah termasuk pula kegiatan menilai dan memilih. Keadaan tersebut
memberikan arah-arah tertentu pada jalannya hukum di suatu negara.96
Dalam teori sistem hukum sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya, budaya hukum merupakan salah satu unsur dari sistem hukum.
94
Muchsin & Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang,
95
hal 18.
hal. 204.
96
158
97
159
98
99
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hal. 212.
100
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 81-82.
160
the proponents of the behavioral position often seem oddly obtuse in the
face of modern knowledge.101 Pandangan holistik dari sudut pandang
agama, adat-istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir
mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat
menjadi upaya untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana
narkotika.
101
Herbert Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press,
California, hal. 60.
161
BAB V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
161
162
penegakan
hukum
terhadap
pelaku
tindak
pidana
narkotika.
menghadapi pelaku
yang
163
Saran
Adapun hal-hal yang dapat disarankan adalah sebagai berikut:
1.
2.
hendaknya
melakukan
hal-hal
yang
positif
guna