Anda di halaman 1dari 4

Tugas 3 Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama/HKUM4408

Nama : Suheri
NIM :042427975

Kasus 1

Cababa adalah seorang anak tunggal keturunan bangsawan kaya raya dengan total kekayaan
sebesar 10 triliun rupiah, saat ayahnya meninggal dunia diketahui ternyata ayahnya memiliki
seorang istri siri dengan dikaruniai 2 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Tidak hanya itu, diwakili oleh pengacaranya, yang berdasarkan surat wasiat diketahui ayah
cababa telah mewakafkan 30% hartanya untuk pembangunan rumah ibadah dan panti asuhan.
serta menghibahkan 15% dari harta yang dia miliki kepada anak perempuannya dari hasil
nikah siri. Dari kejadian ini cababa tidak terima dan menempuh jalur hukum untuk masalah
ini. Hingga berita ini turun masih sementara dilakukan upaya mediasi oleh pengadilan di
peradilan agama.

1. Siapa saja yang masuk dalam kategori ahli waris berdasar kajian hukum yang
berlaku.

Menurut Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”Namun,
perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan
Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUP
yang menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan:
• Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
• Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah
Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang- Undang
No. 32 Tahun 1954. Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan
siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP
menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu
Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.”
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak
mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya
(Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan
antara kedua orang tuanya. Jadi jika anak hasil pernikahan siri tersebut dapat membuktikan
bahwa dia adalah anak kandung dari ayah nya maka dia bisa mendapatkan warisan.
Namun harus di perhatikan Pasal 285 KuhPer yang berbunyi apabila si anak dapat
pengakuan dari ayah nya sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dan anak
di luar kawin nya tersebut, maka pengakuan anak di luar kawin tidak boleh merugikan
pihak istri dan anak kandung pewaris. Pendapat ini di kuat kan oleh Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Tanggal 10 Maret 2012 yang menyatakan anak siri hanya berhak mendapat harta
wasiat dari ayah nya, Kesimpulan nya anak hasil pernikahan siri bisa mendapatkan warisan
apabila di setujui atau di Ikhlaskan oleh ahli waris yang sah menurut Negara, atau ayah nya
(si pewaris) meninggalkan Wasiat. Oleh karena itu, yang termasuk dalam kategori ahli waris
berdasarkan kasus diatas adalah Cababa, dan anak perempuan dari hasil nikah siri yang
mendapat harta wasiat dari ayahnya.

2. Berapa jumlah yang seharusnya diterima masing-masing dari ahli waris yang
ada dalam kasus tersebut?

Sebelum pembagian harta warisan, secara hukum ahli waris dibebani dengan kewajiban yang
harus ditunaikan, antara lain, yaitu:

• mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;


• menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang:
• menyelesaikan wasiat pewaris;
• baru kemudian membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak (Vide Pasal
175 KHI ayat (1)).

Berdasarkan kasus diatas, untuk perhitungan warisan tersebut ; ( harta bawaan ayah Cababa
+ Piutang/jika ada ) - biaya pemakaman – wakaf 30% dari harta bawaan – wasiat ( 15% dari
harta bawaan yang diberikan kepada anak perempuan dari hasil nikah siri )= sisa akhir dari
pembagian tersebut merupakan milik Cababa sebagai ahli waris yang sah.

Kasus 2

Hermawan diketahui memperoleh hibah dari laki-laki bernama ahmad. Diketahui bahwa
ahmad hidup sebatangkara dan di rawat oleh hermawan. Sebelum meninggal, ahmad melalui
pengacaranya membuat akta dengan menghibahkan tanahnya seluas 5.000 m2 serta
mewakafkan 7000 m2 dari total 20.000 m2 luas tanah yang dimilikinya kerpada hermawan.
Sepeninggal ahmad ternyata diketahui bahwa dia memiliki ahli waris yakni 2 orang anak
laki-laki yang melayangkan gugatan ke pengadilan agama makassar terkait hibah dan wakaf
yang dibuat ahmad mengingat mereka ahli waris hanya mendapatkan kurang dari ½ bagian
dari total tanah warisan peninggalan orangtuanya. Setelah gugatan diterima langsung
dilakukan proses acara peradilan dengan putusan memenangkan gugatan tergugat. Namun
belakangan ternyata putusannya dinyatakan batal demi hukum.

Silahkan analisis kasus di atas, kemudian kemukakan pendapat terkait peristiwa yang
ada berdasar asas serta dasar hukum yang relevan?

Hibah harus memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“BW”), bahwa hibah merupakan pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya
secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang- barang bergerak (dengan
akta Notaris) maupun barang tidak bergerak (dengan
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah – “PPAT”) pada saat pemberi hibah masih hidup.

Hibah merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan kepada siapa saja
yang ia kehendaki. Jadi, pemberi hibah bertindak secara aktif menyerahkan kepemilikan
hartanya kepada penerima hibah. Namun kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain. Di
dalam harta pemberi hibah, terdapat hak bagian mutlak (legitieme portie) anak sebagai ahli
warisnya dan hak ini
dilindungi undang-undang. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang
lain juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar
hak anak, maka anak dapat menggugat pemberian hibah. Namun jika anak tidak
mempermasalahkan, maka hibah tetap bisa dilaksanakan. Untuk non muslim, akan tunduk
pada aturan yang ada di Pasal 881 ayat (2) BW, yang mengatakan bahwa “dengan sesuatu
pengangkatan waris atau hibah yang demikian, si yang mewariskan (dan menghibahkan-red)
tak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”. Untuk
muslim tunduk
pada Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, penegasan SKB MA dan Menteri Agama No.
07/KMA/1985 dan Qs Al-Ahzab (33): 4-5, bahwa pemberian hibah harus taat pada ketentuan
batas maksimum sebesar 1/3 dari seluruh harta pemberi hibah.
Kesimpulannya, jika dapat dibuktikan bahwa pemberian hibah tersebut tidak melebihi 1/3
harta peninggalan pewaris (dalam sistem kewarisan Islam) atau tidak melanggar legitieme
portie dari ahli waris (dalam sistem kewarisan perdata Barat), maka hibah tersebut tetap sah.

Sumber : BMP HKUM4408, Hukumonline.com


This study source was downloaded by 100000858027516 from CourseHero.com on 11-27-2022 11:21:23 GMT -06:00

Anda mungkin juga menyukai