Anda di halaman 1dari 8

Tugas Toksikologi Ganja

2b2
GANJA
1. Pengertian Ganja
Ganja adalah istilah untuk bunga dan daun dari tanaman Cannabis
Sativa ataupun Indica yang dikeringkan dimana memiliki kandungan zat
psikoaktif yang tinggi (minimal 10%). Pada awalnya, tanaman ganja yang
memiliki nama latin cannabis sativa in tumbuh di daerah timur dan tenggara
Laut Kaspia, di Asia bagian barat, dimana banyak ditemukan tanaman
cannabis yang dapat tumbuh liar di daerah tersebut. Namun, sebagai akibat
dari keterlibatan manusia terhadap tanaman ini, maka sekarang tanaman ini
dapat ditemukan tumbuh atau ditanam di seluruh dunia (Emmett & Nice,
2009).

Tanaman Cannabis sativa dan sediaan ganja.

Struktur kimia Delta-9-tetrahydrocannabinol (THC).


2. Kandungan Ganja
Cannabis mengandung lebih dari 460 jenis senyawa kimia, dimana
lebih dari 60 senyawa di antaranya digolongkan dalam kategori cannabinoid
(Amar, 2006). Jenis cannabinoid yang paling banyak mengandung zat
psikoaktif dan terdapat didalam tanaman ganja disebut sebagai delta-9tetrahydrocannabinol atau THC (Amar, 2006). Sementara itu, senyawa kimia
cannabinoid yang lain, seperti delta-8-THC, cannabinol, cannabidiol,

cannabicyclol, cannabichromene, dan cannabigerol, hanya ada pada jumlah


yang sedikit dan tidak memilki efek sebesar THC (Amar, 2006).
3. Manfaat Ganja dan Pemanfaatannya
Pada awalnya, tanaman yang dibudidayakan secara luas di Amerika
Serikat ini hanya dimanfaatkan seratnya sebagai bahan pembuat pakaian dan
tali. Kemudian, sejak abad ke-19, efek pengobatan yang dimiliki oleh getah
cannabis (ganja) pun mulai menjadi perhatian dan mulai dipasarkan oleh
beberapa perusahaan obat untuk menyembuhkan beberapa penyakit, seperti
rematik, encok, kolera, depresi dan neuralgia (penyakit yang disertai kejang
pada sepanjang urat syaraf) (Kring et al., 2010). Selain itu, ganja juga
digunakan sebagai alternatif terapi untuk mengobati rasa sakit (nyeri), rasa
mual, muntah, maupun gangguan syaraf dan pergerakan (neurological &
movement disorder) yang diasosiasikan dengan pasien kemoterapi, serta
untuk mengobati kehilangan selera makan dan penurunan berat badan yang
parah pada penderita AIDS.
Fungsi medis yang dimiliki oleh tanaman ganja tersebut, dijelaskan
pada artikel berjudul The Brains Own Marijuana oleh Nicoll & Alger
(dalam Tim Lingkar Ganja Nusantara, 2011), sebagai akibat dari adanya zat
endocannabinoid yang diproduksi oleh otak manusia, dimana zat tersebut
berfungsi sama persis dengan tetrahydrocannabinol (THC), zat psikoaktif
utama yang dikandung oleh ganja. Zat endocannabinoid tersebut diketahui
berperan dalam hampir semua proses fisiologis manusia. Selain itu, sistem
endocannabinoid juga disebut sebagai pengatur keseimbangan global
(homeostatis) dan aliran energi dalam tubuh manusia (Melamede; Cota et al.,
dalam Tim Lingkar Ganja Nusantara, 2011).
Hasil beberapa penelitian menunjukkan fakta bahwa senyawa
cannabinoid yang hanya dihasilkan oleh tanaman ganja memiliki fungsi yang
sama dengan endocannabinoid yang dihasilkan oleh otak manusia. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila ganja disebut sebagai tanaman obat
yang memiliki fungsi medis paling banyak dibandingkan tanaman obat
lainnya (Ratsch, dalam Tim Lingkar Ganja Nusantara, 2011).
Pemanfaatan Ganja dikategorikan menjadi 3, yaitu:
o Hemp Industry (Ganja untuk industri)
Hemp adalah jenis pohon ganja dengan kandungan zat psikoaktif
yang sangat rendah dan memiliki serat dan getah yang lebih banyak.
Tanaman ganja ini dimanfaatkan untuk kebutuhan industri pada umumnya
yaitu makanan, pakaian, bahan bangunan, kertas, plastik, bahan bakar
bahkan kosmetik.
o Rekreasi Pengguna Ganja
Rekreasi pengguna ganja adalah penggunaan ganja dengan cara
dihisap atau dimakan yang bertujuan untuk relaksasi. Hal ini biasanya
dilakukan oleh seseorang yang pada saat tersebut psikologinya mengalami
stress ringan. Sama halnya seperti seseorang menghisap rokok tembakau
untuk meluruskan saraf-saraf yang kaku, dengan kata lain menghilangkan
kepenatan.

o Ganja Medis
Ganja medis adalah ganja yang dimanfaatkan sebagai terapi
pengobatan. Hal tersebut disebabkan karena, ternyata otak manusia
memproduksi zat anandamide, yaitu zat Endocannabinoid alami yang
berfungsi sebagai penekan rasa sakit. Senyawa yang diproduksi oleh otak
ini mirip sekali dengan senyawa delta-9-tetrahydrocannabinol (THC)
yang terdapat dalam ganja. Pada tahun 90-an para peneliti menunjukan
bahwa reseptor dalam otak dan tubuh manusia terhubung dengan
cannabinoid.
Reseptor yang ada dalam tubuh manusia tersebut dapat diibaratkan
sebagai lubang kunci pada permukaan sebuah sel yang tentu
membutuhkan kunci yang tepat (yang dimaksud dengan kunci yang
tepat adalah zat yang sesuai dengan receptor sebagai penerimanya) untuk
membukanya dan mengirim pesan-pesan. Pesan-pesan tersebut adalah
penyampaian tubuh ketika bereaksi terhadap sesuatu, salah satu contohnya
adalah ketika di dalam tubuh terdapat pengganggu dan sistem kekebalan
dalam tubuh harus menyerangnya. Para ilmuwan menemukan dua jenis
receptor cannabinoid pada tubuh. Salah satunya bernama receptor CB1
yang utamanya terdapat dalam otak, dan yang satunya lagi bernama CB2
yang utamanya terletak pada sel kekebalan tubuh manusia. Receptor jenis
CB1 ini sangat berlimpah dalam otak, tapi ternyata tidak hanya dalam otak
saja, receptor CB1 ini juga ditemukan pada organ-organ besar diseluruh
bagian tubuh seperti jantung, hati, ginjal dan pancreas. Reseptor CB2
dapat bereaksi seperti target bagi cannabinoid. Ketika kunci yang tepat
(yang dimaksud kunci yang tepat disini adalah zat yang sesuai yaitu zat
THC) terikat pada reseptor CB2, kunci-kunci tersebut memberikan sinyal
atau perintah kepada sel-sel kanker untuk mati, dan itulah yang akan
dilakukan oleh sel kanker tersebut. Karena itulah ganja dikatakan dapat
menyembuhkan kanker.
Karena zat THC yang dimiliki oleh ganja merupakan kunci yang
sesuai karena dapat diterima dengan baik oleh reseptor CB1 dan CB2 yang
ada dalam tubuh. Dan penemuan yang mengejutkan lagi adalah, reseptor
CB1 tidak hanya ditemukan pada manusia melainkan juga pada seluruh
makhluk bertulang belakang, yang berarti bahwa semua jenis mamalia,
ungags reptile, amfibi hingga berbagai jenis ikan dibumi dapat merasakan
efek dari zat THC yang terkandung dalam pohon ganja. Sedangkan
receptor CB2 hanya ditemukan pada jenis mamalia. Hal tersebut terbukti
dengan adanya penelitian dari Brown University.
Dalam studi tersebut, para peneliti merangsang Periqueductal Grey
Area (PAG) pada tikus yang dibius. PAG adalah bagian dari batang otak
yang terlibat dalam penindasan nyeri dan hanya ditemukan pada mamalia.
Tikus-tikus itu juga disuntik dengan iritasi kimia yang disebut formalin,
suatu zat yang menyebabkan nyeri berkepanjangan. Para peneliti
mengukur jumlah anandamide di wilayah PAG menggunakan tekananbahan kimia mesin ionisasi atmosfer spektrometri massa. Ini instrumen
yang sangat sensitif memungkinkan para ilmuwan untuk mengukur jumlah

yang sangat kecil dari senyawa anandamide. Para peneliti menemukan


bahwa ketika wilayah PAG dirangsang, ada peningkatan pelepasan
anandamide. Ketika suntikan formalin diberikan, jumlah anandamide
yang lebih besar dilepaskan. Temuan ini menunjukkan bahwa otak
menggunakan zat cannabinoid, anandamide, untuk mengontrolsensitivitas
nyeri. Sehingga hal itulah yang menyebabkan ketika seseorang yang
memiliki penyakit tertentu menggunakan ganja untuk medis, zat THC
yang ada dalam ganja tersebut diterima dengan baik oleh receptor yang
ada pada otak manusia, sehingga menimbulkan reaksi yang cepat dalam
masa penyembuhannya.
4. Tingkat Penggunaan Ganja
Berdasarkan Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM-IIIR), terdapat tiga level penggunaan zat atau obat-obatan terkait
perilaku dan keberfungsian manusia (American Psychiatric Association,
dalam Fothergill & Ensminger, 2006), yaitu:
(1) menggunakan (use), yang mengacu pada konsumsi yang rendah
atau jarang dengan hanya sedikit konsekuensi negatif;
(2) penyalahgunaan (abuse), yang mengacu pada konsumsi dengan
dosis dan/atau frekuensi yang lebih rendah dibandingkan level
ketergantungan;
(3) ketergantungan (dependence), yang dikarakteristikkan dengan
tingkat penggunaan atau konsumsi yang tinggi serta adanya
konsekuensi negatif yang parah pada kesehatan dan
keberfungsian.
5. Cara Konsumsi Ganja
Ganja telah dikonsumsi selama ribuan tahun oleh masyarakat dunia
dengan budaya yang berbeda-beda, sehingga terdapat juga perbedaan dalam
cara mengonsumsi 10 ganja. Namun secara umum, ganja dapat dikonsumsi
dengan cara dihisap atau dihirup dan dimakan atau diminum.1,16,31 96% dari
pecandu ganja mengonsumsi ganja dengan cara dihisap atau dihirup. Cara ini
merupakan yang paling efisien dalam mengonsumsi ganja dan memiliki efek
yang cepat pada otak sehingga pecandu ganja akan cepat merasakan euforia,
halusinasi dan relaksasi. 70% ganja dihisap atau dihirup melalui lintingan
ganja, 16% melaui pipa air atau bong dan 5% dengan mencampurkan ganja
dengan rokok tembakau.
Masyarakat Barat sering menggunakan ganja dalam bentuk lintingan
ganja atau rokok ganja. Lintingan ganja terdiri dari sejumlah ganja yang
dilinting dalam kertas beras silinder baik dengan cara manual atau
menggunakan mesin penggulung. Lintingan ganja biasanya berisi 0,51 gram
ganja dengan atau tanpa tambahan tembakau.

Konsumsi ganja dengan cara dilinting.


Ganja juga dapat dihisap atau dihirup menggunakan berbagai jenis
pipa. Pipa tembakau sederhana juga dapat digunakan untuk mengonsumsi
ganja, namun biasanya pipa untuk ganja terbuat dari bahan tahan panas
seperti batu, kaca, gading dan logam. Pipa yang paling sering digunakan
untuk mengonsumsi ganja adalah pipa air yang disebut dengan bong. Bong
memiliki berbagai varian bentuk namun pada prinsipnya memiliki cara kerja
yang sama. Ketika menggunakan bong, asap pembakaran ganja akan terhisap
melalui lapisan air yang dingin. Bong merupakan alat yang cukup kompleks
dan tidak mudah dibawa.

Pipa air atau bong.


6. Waktu Paruh Ganja dalam Tubuh
Metabolisme THC terjadi di hati dan dipecah menjadi 11-hydroxyTHC yang juga merupakan agen psikoaktif. Karena sifatnya yang lipofilik,
eliminasi THC dari dalam tubuh berlangsung cukup kompleks dan
membutuhkan waktu yang cukup lama. THC berakumulasi di jaringan
adiposa selama lima sampai tujuh hari dan secara perlahan dikeluarkan lagi
ke tubuh. Waktu paruh eliminasi dari THC dari jaringan mencapai tujuh hari
dan eliminasi secara total mencapai 30 hari. THC diekskresikan 25% melalui
urin dan 65% ke dalam usus untuk di reabsorbsi sehingga efek samping dari
THC dapat bertahan lebih lama.
7. Efek Samping Penggunaan Ganja
Penggunaan ganja akan memberikan efek atau pengaruh terhadap
fisiologis maupun psikologis manusia. Akan tetapi, efek yang ditimbulkan
dapat menjadi pengalaman subjektif yang berbeda-beda pada setiap orang,

bergantung pada banyak hal. Hal-hal tersebut antara lain, dosis yang
digunakan, lingkungan tempat menggunakan ganja serta mood atau
kepribadian pengguna ganja, familiaritas terhadap ganja dan harapan yang
diinginkan dari penggunaan ganja (Iversen, 2000). Selain itu, cara
menggunakan ganja (dihisap dalam bentuk rokok, dimakan, diminum) juga
dapat memengaruhi efek yang diberikan (Rogers, 2011).
Lebih lanjut, efek yang biasa ditimbulkan dari penggunaan ganja
terhadap fisiologis manusia, antara lain pusing, kepala terasa ringan,
gangguan pada koordinasi dan gerakan, sensasi berat pada tangan dan kaki,
rasa kering pada mulut dan tenggorokan, merah atau iritasi pada mata,
penglihatan menjadi tidak jelas, detak jantung menjadi lebih cepat, rasa sesak
di dada, adanya keanehan pada pendengaran (seperti mendengar bunyi
berdengung, terasa ada tekanan atau suara yang berubah) serta munculnya
rasa lapar yang biasa diasosiasikan dengan keinginan atas sesuatu yang manis
(Rogers, 2011).
Sementara itu, efek-efek yang biasa dirasakan dari penggunaan ganja
terhadap keadaan psikologis, antara lain perubahan mood (termasuk tertawa
cekikikan, kegembiraan dan euforia), distorsi perseptual (terhadap ruang,
waktu, jarak), disorganisasi proses berpikir (seperti terpecah-pecah, gangguan
memori, atensi cepat berubah) dan kehilangan kontak dengan realitas (tidak
merasa terlibat dalam hal yang sedang dikerjakan). Selain itu, adapula efek
psikologis yang bersifat positif, yaitu kemungkinan adanya peningkatan rasa
penghargaan diri dan peningkatan dalam kemampuan bersosialisasi (Rogers,
2011).
Efek-efek negatif dari ganja atau marijuana, antara lain membuat
jantung berdetak cepat, membuat hilangnya koordinasi tubuh serta
memengaruhi critical skills (termasuk kemampuan yang penting dalam
mengoperasikan kendaraan dengan aman, seperti menentukan jarak &
kecepatan bereaksi) secara negatif (Clark, 2000). Meskipun merokok ganja
ditemukan membuat penggunanya merasa tenang (relaks) dan mudah bergaul
(Kring et al., 2010).
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa ganja memiliki efek
adiktif. Salah satunya adalah observasi terkontrol yang dilakukan oleh
Compton, Dewey & Martin (dalam Kring et al., 2010), yang telah
membuktikan bahwa penggunaan marijuana secara terus-menerus (yang
sudah menjadi kebiasaan) akan menghasilkan toleransi (peningkatan jumlah
pemakaian). Kemudian, survey dan studi laboratorium yang dilakukan
sepuluh tahun terakhir ini menyatakan bahwa withdrawal symptoms, seperti
gelisah, cemas, tegang, nyeri pada perut dan insomnia, memang benar terjadi
pada pengguna marijuana (Rey et al., dalam Kring et al., 2010).
Sementara itu, ada pula beberapa hasil penelitian yang membantah
argumen tersebut dan menyatakan bahwa ganja sama sekali tidak
mengandung zat yang mengakibatkan penggunanya menjadi adiksi. Rogers
(2011) menyatakan bahwa marijuana (ganja) bukanlah zat yang dapat
membuat ketergantungan fisik, dimana tidak ada withdrawal symptoms
(gejala putus zat) ketika penggunaan zat dihentikan. Ketergantungan secara

psikologis memang dapat terjadi, tetapi hanya pada pengguna dengan tipetipe tertentu saja (Rogers, 2011). Watt (1965, dalam Cipta, 2010) juga
menjelaskan bahwa sebuah ketergantungan (adiksi) secara psikologis dapat
terbentuk apabila telah ada predisposisi (seperti gangguan psikotik)
sebelumnya.
8. Langkah Penanganan Bagi Pengguna Ganja
Seseorang dikatakan ketergantungan dengan ganja atau zat tertentu
apabila telah memiliki minimal tiga kriteria Diagnostic and Statical Manual
of Mental Disorder-IV (DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American
Psychiatric Association pada tahun 1994, yaitu:
1. Toleransi, yaitu terjadi peningkatan kebutuhan dosis dari ganja yang
dikonsumsi agar mendapatkan efek yang diinginkan atau akan
terjadi penurunan efek ganja apabila digunakan terus-menerus
dengan dosis yang sama.
2. Ketagihan, yaitu terjadi sindrom ketagihan pada ganja dan dengan
penarikan ganja dapat mengurangi simtom-simtom ketagihan pada
seseorang.
3. Ganja biasanya dikonsumsi dengan jumlah yang lebih banyak
dalam jangka waktu yang lebih lama.
4. Terdapat keinginan yang persisten untuk mendapatkan ganja atau
gagalnya upaya untuk mengurangi dan berhenti mengonsumsi
ganja.
5. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan ganja,
menggunakan ganja dan berhenti mengonsumsi ganja.
6. Berkurangnya kemampuan seseorang dalam menjalankan
kehidupan sosial, bekerja dan aktivitas lainnya akibat efek dari
ganja.
Tetap mengonsumsi ganja walaupun telah mengetahui efek samping
ganja terhadap kesehatan fisik dan psikologisnya dan kemungkinan terjadinya
eksaserbasi dalam mengonsumsi ganja.1,30 Salah satu cara agar pecandu
ganja berhenti mengonsumsi ganja yaitu dengan proses rehabilitasi.
Menurut UURI No. 35 tahun 2009, terdapat dua jenis rehabilitasi,
yaitu rehabilitasi medis, yang merupakan suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika
dan rehabilitasi sosial, yang merupakan suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu ganja
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa pecandu ganja yang menjalani masa rehabilitasi
merupakan orang yang telah berhenti mengonsumsi ganja dan tidak
menunjukkan tanda-tanda ketergantungan. Akan tetapi, pecandu ganja yang
telah berhenti mengonsumsi ganja masih dapat mengalami defisit fungsi
fisiologis dan psikologis akibat riwayat konsumsi ganja sebelumnya.
Keparahan defisit fungsi fisiologis dan psikologis bergantung pada usia ketika
mengonsumsi ganja, lamanya mengonsumsi ganja, dan jumlah ganja yang
digunakan.

9. Daftar Pustaka
Amar, M. B. 2006. Cannabinoids In Medicine: A review of their therapeutic
potential. Journal of Ethnopharmacology, 105, 1 25.
doi:10.1016/j.jep.2006.02.001.
Cipta. 2010. Ganja Bukan Narkotika.
Diunduh dari:www.legalisasiganja.com.
Clark, P. A. 2000. The Ethics of Medical Marijuana: Government Restrictions
vs. Medical Necessity. Journal of Public Health Policy, 21 (1), 4060.
Diunduh dari: http://www.jstor.org /stable/3343473.
Emmett, D. & Nice, G. 2009. What You Need To Know About Cannabis:
Understanding The Facts. Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Fothergill, K. E. & Ensminger, M. E. (2006). Childhood and Adolescent
Antecedents of Drug and Alcohol Problems: A longitudinal study. Drug
and Alcohol Dependence, 82, 61 7doi:10.1016/j.drugalcdep.2005.08.009.
Iversen, L. L. 2000. The Science of Marijuana. New York: Oxford University
Press, Inc.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C. & Neale, J. M. 2010. Abnormal
Psychology (11th Edition). New York: John Wiley & Sons.
Rogers, Kara. 2011. Substance Use and Abuse. New York: Britannica
Educational Publishing.
Tim Lingkar Ganja Nusantara (Narayana, D., Syarif, I. M. & Marentek, R.
C.). 2011. Hikayat Pohon Ganja. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai