Anda di halaman 1dari 7

KELANGSUNGAN HIDUP ORDO PROBOSCIDEA (ELEPHANTIDAE)

Oleh:
Nama
NIM

: Marieta Malik Rinelda


: B1J014016

TUGAS TERSTRUKTUR SISTEMATIKA HEWAN II

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016

I.

PENDAHULUAN

Proboscidea (dari bahasa Latin proboscis) merupakan ordo taksonomi


yang terdiri dari satu famili yang masih hidup Elephantidae dan beberapa famili
yang sudah punah. Ordo ini pertama kali di deskripsikan oleh J. Illiger tahun
1811, meliputi mamalia bergading. Proboscidean pertama yang diketahun adalah
Eritherium, selanjutnya Phosphatherium, binatang yang kecil seukuran rubah.
Proboscideans terdiversifikasi selama Oligosen dan awal Eosen. Beberapa
keluarga primitif dari zaman tersebut telah dijelaskan, termasuk Numidotheriidae,
Moeritheriidae, dan Barytheriidae di Afrika, dan Anthracobunidae dari anak benua
India.
Elephantidae adalah keluarga dari gajah dan mamut yang merupakan
mamalia darat yang besar dengan belalai dan gading. Kebanyakan genus dan
spesies dari keluarga ini sudah punah. Hanya dua genus yang masih hidup yaitu
Loxodonta (Gajah Afrika) dan Elephas (Gajah Asia). Keluarga ini dideskripsikan
pertama kali oleh John Edward Gray tahun 1821 yang kemudian dimasukkan
dalam urutan taksonomi dalam ordo Proboscidea. Elephantidae juga telah
beberapa kali direvisi oleh beberapa autor untuk memasukkan atau mengeluarkan
genus yang sudah punah (Ozawa, 1997).
Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dengan yang paling mencolok adalah
belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal, terutama untuk bernapas,
menghisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh menjadi taring yang
dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda atau
menggali. Daun telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka.
Gajah afrika memiliki telinga yang lebih besar dan punggung yang cekung,
sementara telinga gajah asia lebih kecil dan punggungnya cembung. Mereka
berkomunikasi melalui sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara. Gajah
menggunakan infrasuara dan komunikasi seismik untuk jarak jauh. Kecerdasan
gajah telah dibandingkan dengan kecerdasan primata dan cetacea. Mereka
tampaknya memiliki kesadaran diri dan menunjukkan empati kepada gajah lain
yang hampir atau sudah mati.

II.
PEMBAHASAN
Gajah afrika digolongkan sebagai spesies yang rentan oleh International
Union for Conservation of Nature (IUCN), sementara gajah asia diklasifikasikan
sebagai spesies terancam. Salah satu ancaman utama bagi gajah adalah
perdagangan gading yang memicu perburuan liar. Ancaman lain adalah
kehancuran habitat dan konflik dengan penduduk lokal. Gajah digunakan sebagai
hewan pekerja di Asia. Dulu mereka pernah digunakan untuk perang dan kini,
gajah seringkali dipertontonkan di kebun binatang dan sirkus. Gajah dapat dengan
mudah dikenali dan telah digambarkan dalam seni, cerita rakyat, agama, sastra,
dan budaya populer.
Gajah afrika memperoleh perlindungan secara hukum di negara habitat
mereka, tetapi 70% persebarannya berada di luar wilayah yang dilindung. Upaya
konservasi yang berhasil di beberapa wilayah menghasilkan kepadatan populasi
yang tinggi. Pada tahun 2008, jumlah lokal dikontrol melalui kontrasepsi atau
translokasi. Pembantaian berdasarkan kriteria tertentu (culling) berakhir pada
tahun 1988 setelah Zimbabwe menghentikan praktik tersebut. Pada tahun 1989,
gajah afrika dimasukan dalam Apendiks I oleh Convention on International Trade
in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sehingga perdagangan
gajah afrika menjadi ilegal. Status Apendiks II (yang memperbolehkan
perdagangan terbatas) diberikan kepada gajah di Botswana, Namibia, dan
Zimbabwe pada tahun 1997, dan Afrika Selatan pada tahun 2000. Di beberapa
negara, perburuan gajah untuk memperoleh trofi diperbolehkan; Afrika Selatan,
Botswana, Gabon, Kamerun, Mozambik, Namibia, Tanzania, Zambia, dan
Zimbabwe menetapkan kuota ekspor CITES untuk trofi gajah.
Pada tahun 2008, IUCN mendaftarkan gajah asia sebagai spesies terancam
karena penurunan populasi sebesar 50% dalam 6075 tahun terakhir, sementara
CITES memasukannya ke dalam Apendiks I. Gajah asia pernah tersebar dari
Suriah dan Irak (subspesies Elephas maximus asurus) hingga Tiongkok (hingga
Sungai Kuning) dan Jawa. Gajah asia kini telah punah di wilayah-wilayah
tersebut, dan persebarannya saat ini sangat terpecah. Jumlah populasi gajah asia
diperkirakan sebesar 40.00050.000, walaupun perkiraan ini merupakan perkiraan
kasar. Meskipun jumlah gajah asia secara keseluruhan mengalami penurunan

(terutama di Asia Tenggara), populasi di Ghat Barat tampaknya mengalami


peningkatan.
Perburuan untuk mengambil gading, daging, dan kulit merupakan salah
satu ancaman terbesar bagi keberlangsungan gajah. Dalam sejarah, beberapa
peradaban membuat ornamen dan karya seni lain dari gading gajah, dan
penggunaannya menyaingi emas. Perdagangan gading menjadi salah satu
penyebab penurunan populasi gajah afrika pada abad ke-20. Hal ini memicu
larangan impor gading yang dimulai oleh Amerika Serikat pada Juni 1989, yang
kemudian diikuti oleh negara-negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang.
Sementara itu, Kenya menghancurkan semua persediaan gadingnya. CITES
memberlakukan larangan perdagangan gading pada Januari 1990. Setelah
larangan tersebut ditetapkan, jumlah pengangguran meningkat di India dan Cina,
karena secara ekonomi industri gading merupakan industri yang penting. Di sisi
lain, Jepang dan Hong Kong, yang juga merupakan bagian dari industri, mampu
beradaptasi dan tidak terkena dampak buruk. Zimbabwe, Botswana, Namibia,
Zambia, dan Malawi ingin melanjutkan perdagangan gading dan hal tersebut
diperbolehkan, tetapi hanya jika gajah tersebut mati secara alami atau merupakan
hasil culling.
Berkat larangan ini, populasi gajah di Afrika mulai pulih. Pada Januari
2012, ratusan gajah di Taman Nasional Bouba Njida, Kamerun, dibunuh oleh
penyerang dari Chad. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai "salah satu pembunuhan
terkonsentrasi terburuk" semenjak diberlakukannya larangan perdagangan gading.
Sementara itu, gajah asia tidak terlalu rentan terhadap perdagangan gading karena
gajah betina umumnya tidak memiliki taring. Namun, sejumlah gajah telah
dibunuh untuk diambil gadingnya di beberapa wilayah, seperti di Taman Nasional
Periyar di India.
Ancaman lain terhadap gajah adalah kehancuran dan fragmentasi habitat.
Gajah asia hidup di wilayah yang sangat padat. Karena mereka membutuhkan
lebih banyak wilayah dibanding hewan darat simpatrik lainnya, merekalah yang
pertama kali merasakan dampak keberadaan manusia. Bahkan dalam beberapa
kasus yang ekstrem, habitat gajah terbatas pada hutan kecil yang dikelilingi oleh
wilayah yang didominasi oleh manusia. Gajah tidak dapat hidup berdampingan
dengan manusia di wilayah pertanian karena besar tubuh dan kebutuhan makanan

mereka. Pada umumnya gajah merusak dan memakan tanaman petani, sehingga
memicu konflik dengan manusia, dan akibatnya ratusan gajah dan manusia telah
mati. Mitigasi konflik merupakan salah satu unsur penting dalam konservasi.
Salah satu usulan yang diajukan adalah penyediaan koridor urban yang
memungkinkan gajah mengakses wilayah penting.

III.

KESIMPULAN

Karakter taksonomi adalah atribut unik yang dipakai untuk mengenali


suatu taksa yang membedakannya dengan taksa yang lain. Atribut tersebut
berfungsi sebagai dasar pengelompokkan makhluk ke dalam taksa-taksa tertentu.
Karakter taksonomi Polychaeta diantaranya adalah bentuk operculum, branchial
crown, serta bentuk, tipe, dan posisi seta di sepanjang leher, thorax, dan abdomen.

DAFTAR REFERENSI

Arteaga-Florez, C., V. Fernandez-Rodriguez, & M. H. Londono-Mesa. 2014. First


Record of The Polychaete Ficopomatus uschakovi (Pillai, 1960)
(Annelida, Serpulidae) in the Colombian Caribbean, South America.
ZooKeys 371 : 1-11.
Bastable, B. S. 2002. Perawat sebagai Pendidik. Jakarta : EGC.
Junardi. 2008. Karakteristik Morfologi dan Habitat Cacing Nipah Namalycatis
rhodochorde (Polychaeta: Nereididae: Namanereididae) di Kawasan
Hutan Mangrove Estuaria Sei Kakap Kalimantan Barat. J. Sains MIPA,
14 (2) pp. 85-89.
Nishi, E., K. Matsuo, M.K. Wakabayashi, A. Mori, S. Tomioka, H. Kajihara, M.
Hamaguchi, N. Kajihara, & P. Hutchings. 2014. Partial Revision of
Japanese Pectinariidae (Annelida: Polychaeta), Including Redescriptions
of Poorly Known Species. Zootaxa, 3895 (3) pp. 433-445.
Pechenik, J. A., 2005. Biology of the Invertebrates. New York : McGraw Hill.
Wahid, A. 2012. Analisis Karakteristik Sedimentasi di Waduk PLTA Bakaru.
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2 (2) pp. 229-236.

Anda mungkin juga menyukai